You are on page 1of 11

ATURAN DER: Rasio 4:1 Mulai Berlaku Tahun Pajak 2016

September
17
/ 2015
21:38 WIB
Oleh :
Kurniawan A. Wicaksono
Share this post :

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution (kiri) didampingi


Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro. - Antara
Bisnis.com, JAKARTA – Setelah ditunda sejak akhir 1985, pemerintah secara
resmi akan kembali menerapkan ketentuan pembatasan rasio utang terhadap
modal (debt to equity ratio / DER) 4:1 lebih longgar dari patokan terdahulu 3:1.

Kebijakan itu diamanatkan dalam Peraturan Menteri Keuangan No.


169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang
dan Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan yang
ditetapkan dan diundangkan pada 9 September 2015 dan dirilis di laman
Kemenkeu, hari ini (17/9/2015).

Dalam pasal 1 ayat (1) PMK tesebut dinayatakan untuk keperluan penghitungan
Pajak Penghasilan (PPh) ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan
modal bagi Wajib Pajak (WP) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.

“Besarnya perbandingan antara utang dan modal sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 1 ayat (1) ditetapkan paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4: 1),”
bunyi pasal 2 aturan tersebut.

Sebelumnya, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengatakan patokan


4:1 dipilih karena populasi terbesar ada pada perusahaan dengan tingkat DER
3:1 sehingga masih dianggap wajar. Dengan batasan tersebut, besaran utang
lebih dari 80% tidak bisa dibebankan sebagai biaya.

“Selama ini kan biaya bunga boleh dibiayakan berapapun tidak ada batasannya.
Kalau dengan batasan itu, yang boleh dibiayakan ya 4:1. Artinya, di atas 80% ya
dibayar pajaknya,” katanya.

Selain meredam tingkat utang swasta khususnya utang luar negeri, Bambang
berujar pemerintah ingin ada penguatan dari sisi modal bagi perusahaan yang
berinvestasi di Tanah Air. Penguatan modal, sambungnya, akan menghindari
perusahaan-perusahaan yang hanya mengandalkan pinjaman atau utang.

Namun, tidak semuanya WP badan dikenai formula DER 4:1. Dalam beleid
tersebut diatur enam WP badan yang dikecualikan dengan perbandingan antara
utang dan modal tersebut, yakni WP bank, WP lembaga pembiayaan, WP
asuransi dan reasuransi.
Selain itu, WP yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas
bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak
bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan
pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian di maksud mengatur atau
mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan
modal.

WP yang atas seluruh pengasilannya dikenai pajak penghasilan yang bersifat


final berdasarkan peraturan perundang-undangan tersendiri dan WP yang
menjalankan usaha di bidang infrastruktur.

Bagi WP yang mempunyai utang swasta luar negeri, wajib menyampaikan


laporan besarnya utang swasta luar negeri dan wajib menyampaikan laporan
besarnya utang swasta luar negeri tersebut kepada Dirjen Pajak. Apabila WP
tidak menyampaikan laporan, atas biaya pinjaman yang terutang dari utang
swasta luar negeri tersebut tidak dapat dikurangkan untuk menghitung
penghasilan kena pajak.

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK


NOMOR PER-25/PJ/2017

TENTANG

PELAKSANAAN PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN


MODAL PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK
PENGHASILAN DAN TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI

DIREKTUR JENDERAL PAJAK

Menimbang :

dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 8 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan
Penghitungan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan
Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan dan Tata
Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri;

Mengingat :

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan


Besarnya Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan
Penghitungan Pajak Penghasilan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015
Nomor 1351);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan :

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK TENTANG PELAKSANAAN


PENENTUAN BESARNYA PERBANDINGAN ANTARA UTANG DAN MODAL
PERUSAHAAN UNTUK KEPERLUAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN DAN
TATA CARA PELAPORAN UTANG SWASTA LUAR NEGERI.

Pasal 1

Dalam Peraturan Direktur Jenderal ini, yang dimaksud dengan:


Undang-undang PPh adalah Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
undang Nomor 36 Tahun 2008.
Perbandingan Antara Utang dan Modal adalah perbandingan antara utang dan
modal perusahaan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 169/PMK.010/2015.
Hubungan Istimewa adalah hubungan istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal
18 ayat (4) Undang-undang PPh.
Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha adalah prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) Undang-
undang PPh.

Pasal 2

(1) Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi
atas saham-saham, besarnya biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena
pajak dihitung berdasarkan Perbandingan Antara Utang dan Modal.
(2) Biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
bunga pinjaman;
diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman
(arrangement of borrowings);
beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
selisih kurs yang berasal dari penyesuaian terhadap biaya pinjaman
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
dalam hal biaya pinjaman tersebut dalam mata uang asing.
(3) Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).
(4) Dalam hal besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Wajib Pajak
melebihi besarnya perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), biaya
pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal
6 dan Pasal 9 Undang-undang PPh.
(6) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa, maka besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak, selain harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga harus memenuhi tingkat biaya
pinjaman sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(7) Biaya pinjaman yang tidak memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada
ayat (6), dianggap sebagai dividen bagi pihak yang menerima atau
memperolehnya dan dikenakan pajak pada saat biaya pinjaman tersebut
dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya.

Pasal 3

(1) Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak
dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak meliputi:
selisih antara biaya pinjaman yang ditangggung oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dengan biaya pinjaman yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dengan biaya pinjaman yang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (6);
biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang dikenai pajak bersifat final.
(2) Dalam hal biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikapitalisasi sebagai harga perolehan harta, penyusutan atas bagian harta yang
merupakan kapitalisasi biaya pinjaman dimaksud tidak dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Pasal 4

Contoh penentuan Perbandingan Antara Utang dan Modal, penghitungan


besarnya biaya pinjaman yang dapat dikurangkan, dan penghitungan besarnya
biaya pinjaman yang tidak dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam
menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 adalah sesuai contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf A
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.

Pasal 5
(1) Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak termasuk:
utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; atau
utang yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(2) Nilai utang dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara
Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata utang pada satu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(3) Saldo rata-rata utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib
Pajak.
(4) Dalam hal rata-rata saldo utang tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo utang tersebut dihitung
menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi utang pada tiap akhir bulan.

Pasal 6

(1) Nilai modal dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara


Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata modal pada satu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(2) Saldo rata-rata modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung
berdasarkan rata-rata saldo modal tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib
Pajak.
(3) Dalam hal rata-rata saldo modal tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo modal tersebut dihitung
menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi modal pada tiap akhir bulan.
(4) Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
ekuitas yang dicatat pada neraca perusahaan sesuai dengan standar akuntansi
keuangan yang berlaku di Indonesia; dan
pinjaman tanpa bunga dari pihak yang memiliki Hubungan Istimewa.

Pasal 7

(1) Wajib Pajak Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di


Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham yang memiliki utang dan
mengurangkan biaya pinjaman dalam penghitungan penghasilan kena pajak
wajib menyampaikan laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara
Utang dan Modal sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak
Badan.
(2) Dalam hal Wajib Pajak Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki utang swasta luar negeri, Wajib Pajak juga wajib menyampaikan
laporan utang swasta luar negeri sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak Badan.
(3) Utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak
termasuk utang dagang yang tidak dibebani bunga.
(4) Format laporan penghitungan besarnya Perbandingan Antara Utang dan
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta petunjuk pengisiannya adalah
sebagaimana tercantum dalam Lampiran huruf B yang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari Peraturan Direktur Jenderal ini.
(5) Format laporan utang swasta luar negeri sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) serta petunjuk pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam
Lampiran huruf C yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Direktur Jenderal ini.
(6) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan/atau tidak menggunakan format laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
(7) Dalam hal Wajib Pajak tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan/atau tidak menggunakan format laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak Badan yang disampaikan dinyatakan tidak lengkap sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan biaya
pinjaman yang terutang dari utang swasta luar negeri tersebut tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Pasal 8

(1) Kewajiban penerapan ketentuan besarnya Perbandingan Antara Utang


dan Modal mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2016.
(2) Kewajiban penyampaian laporan penghitungan besarnya Perbandingan
Antara Utang dan Modal dan laporan utang swasta luar negeri sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) mulai berlaku sejak Tahun Pajak
2017.

Pasal 9

Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 November 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

ttd.

KEN DWIJUGIASTEADI

Menelaah Aturan Rasio Utang dan Modal


BY P.H on 3 NOVEMBER 2015 •(0)

B. Bawono Kristiaji

23

Pemerintah akhirnya merilis peraturan baru yang dipercaya akan mengisi


kekosongan hukum tentang pinjaman yang dapat digunakan sebagai pengurang
penghasilan kena pajak pada September lalu. Setelah ditangguhkan selama lebih
dari 30 tahun, KMK No. 1002/KMK.04/1984 tentang Penentuan Perbandingan
Antara Utang dan Modal Sendiri untuk Keperluan Pengenaan Pajak Penghasilan
“dihidupkan kembali” melalui PMK No 169/PMK.010/2015.

Aturan PMK-169 dipicu oleh adanya perbedaan perlakuan pajak antara return
dari pembiayaan melalui utang dan modal. Biaya bunga yang harus ditanggung
perusahaan akan menjadi pengurang dari penghasilan kena pajak, sedangkan
pembayaran dividen tidak. Perbedaan ini salah satu penyebab yang dapat
mendistorsi keputusan pembiayaan perusahaan (debt bias) yang mendorong
perusahaan untuk melakukan pembiayaan lebih banyak melalui utang atau
dengan skema thin capitalization.

Dalam skema perencanaan pajak, terdapat korelasi positif yang terjadi antara
perbedaan tarif PPh badan dengan struktur permodalan perusahaan. Pada kajian
yang dilakukan di 38 negara Eropa selama 1998-2007, ditemukan bahwa
dominasi utang perusahaan dalam struktur permodalan cenderung meningkat
seiring tingginya tarif PPh Badan. Celakanya, tarif PPh Badan Indonesia
termasuk cukup tinggi, sehingga diduga menjadi “incaran” perusahaan untuk
menaruh utang dalam jumlah besar.

Bagi pemerintah, jumlah utang perusahaan yang semakin besar berpotensi


untuk menggerus basis penerimaan pajak dan menciptakan risiko gagal bayar
maupun berpengaruh terhadap kestabilan nilai tukar mata uang.

Kini, banyak Negara telah menerapkan ketentuan untuk menangkal tingginya


utang yang berlebihan (interest limitation rules) dengan mengacu pada suatu
ambang batas utang terhadap modal (debt to equity ratio/DER).

Mencermati berbagai dampak negatif dari penggunaan utang yang berlebihan,


peranan ketentuan interest limitation rules pada PMK-169 jelas sangat
diperlukan. Namun demikian, desain PMK-169 masih memiliki beberapa hal
yang harus ditelaah kembali.

Di berbagai Negara, interest limitation rules telah dipercaya mampu mencegah


praktik penghindaran pajak. Namun dalam konteks Indonesia, ketentuan yang
akan berlaku secara efektif pada 2016 ini juga dituntut tetap memberikan
kelonggaran bagi perusahaan mencari pendanaan.
Dalam ketentuan ini, nilai utang perusahaan yang dapat dijadikan faktor
pengurang pajak penghasilan (PPh) maksimal sebesar empat kali lipat dari
jumlah modal yang dimiliki perusahaan. Tetapi, apakah rasio 4:1 dalam PMK-
169 ini sudah tepat? Jawabannya relatif.

Beda struktur permodalan

Penggunaan rasio antara utang dan modal seperti yang diatur dalam PMK ini
memang diakui lebih mudah secara administrasi jika dibandingkan upaya
memperbandingkan kewajaran struktur permodalan Wajib Pajak dengan
perusahaan lain di industri yang sama (arm’s length).

Pendekatan dengan rasio 4:1 ini sejatinya menutup mata atas fakta perbedaan
antara struktur permodalan usaha di masing-masing industri dan value chain.
Walau rasio 4:1 merupakan rasio yang moderat, namun sifatnya yang rigid justru
dapat mempengaruhi ekspansi bisnis di masa krisis.

Oleh karena itu, ada baiknya jika ketentuan rasio 4:1 juga dikombinasikan
dengan klausul pengujian secara arm’s length. Di Tiongkok misalkan, jika rasio
utang terhadap modal yang telah ditetapkan terlanggar, biaya bunga masih
dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak selama struktur permodalan
tersebut sebanding dengan perusahaan lain dalam industri sejenis.

Persoalan berikutnya terkait adanya kewajiban administrasi dalam bentuk


pelaporan besaran utang luar negeri. Jika tidak dilaporkan, biaya pinjaman yang
terutang dari utang luar negeri tidak dapat dikurangkan untuk menghitung
penghasilan kena pajak. Nah, dalam merancang teknis pelaporan, pemerintah
harus mempertimbangkan cost of compliance. Pengungkapan transaksi via
lampiran saja cukup memadai.

Selain itu, dalam PMK 169 masih ada kelemahan, seperti rasio yang berbasis
neraca pendapatan, kaitan antara aturan ini dengan transfer pricing, penjelasan
detail mengenai wajib pajak yang dikecualikan, kriteria biaya pinjaman, dan
sebagainya. Ada baiknya pemerintah mengkaji kembali aturan itu agar benar-
benar efektif dan berfungsi maksimal.

Sumber: KONTAN
1. sector utama
a. Sektor pertanian (1)
b. Sector pertambangan (2)
2. sector manufaktur
a. Sektor industry dasar dan kimia (3)
b. Sektor aneka industry (4)
c. Industri barang konsumsi (5)
3. sector jasa
a. Sektor property dan real estat (6)
b. Sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi (7)
c. Sektor keuangan (8)
d. Sektor perdagangan, jasa dan investasi
Uji Stasioneritas (unit root test)
Melakukan regresi dengan menggunakan data time series yang bersifat
nonstasioner kemungkinan besar akan menghasilkan regresi
lancung (spurious regression). Untuk data yang tidak stationer metode inferensia
klasik seperti OLS tidak bisa diterapkan (Gujarati, 2003, hal. 792, 830). Menurut
Baltagi (2005, hal. 356) dan Greene (2002, hal. 609), syarat yang harus dipenuhi
suatu data dapat dikatakan stasioner apabila mempunyai kondisi rata-rata tetap
(constant), , variasi data tetap , dan , untuk .
Menurut Levin, Lin, dan Chu (2001), dalam regresi data panel, pengujian
stasioneritas menjadi penting karena mengandung data time series. Namun, pengujian
stasioneritas pada data panel berbeda dengan data time series. Levin, Lin, dan Chu
menambahkan bahwa pengujian stasioneritas penting untuk dilakukan
ketika N (unit cross section) berada pada interval 10 dan 250 serta ketika T (unit time
series) berada pada interval 25 dan 250. Selain itu, Levin et al. (2001)
menambahkan bahwa penting untuk dilakukan pengujian stasioneritas jika T sangat
besar (walaupun N sangat kecil)
Pada data panel terdapat 4 (empat) uji yang dapat digunakan untuk melakukan
pengujian stasioneritas, yaitu LLC (Levin, Lin, dan Chu) test (1992), IPS (Im,
Pesaran, dan Shin test) (1997), Combining p-value test, Residual Based LM test.
 Uji Levin, Lin, dan Chu (LLC test)
Uji LLC menyajikan uji kestasioneritasan waktu dengan
koefisien autoregressive order pertama yang identik di antara individu. Hal ini lebih
menguntungkan untuk datapooled, dikarenakan koefisien AR yang identik di
antara cross section diperlukan pada data yang stasioner. Struktur analisis LLC
menggunakan persamaan yang diperinci sebagai berikut:
; i = 1,2,...,N; t = 1,2,...,T (24)
Persamaan di atas mengasumsikan kehomogenan koefisisen autoregressive di antara
individu yaitu ρi = ρ untuk semua i.
Hipotesis dalam uji Levin, Lin, Chu adalah:
H0 : ρi = ρ = 0 untuk semua i (data tidak stasioner)
H1 : ρi = ρ < 0 untuk semua i (data stasioner)
LLC menunjukkan bahwa di bawah hipotesis null (H0), data tidak stasioner.
Digunakan nilai dari t-statistic yang disesuaikan untuk menghasilkan nilai ρ yang
secara asimptotik berdistribusi normal.
(25)
di mana:
dan adalah penyesuaian rata-rata dan standar deviasi yang disediakan oleh tabel
LLC. menyatakan estimator bagi variance jangka panjang untuk individu ke-
i. 𝑅𝑆𝐸 adalah standard error dari ρ. adalah estimasi variance dari variabel
error 𝜂. adalah perkiraan deret waktu yang disesuaikan, dengan rumusnya
adalah = T – ( i p𝑖 /N) – 1 (Baltagi, 2005).
Apabila nilai p-value LLC lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.
 Uji Im, Pesaran, dan Shin (IPS test)
Uji IPS merupakan pengembangan dari uji LLC di mana error tidak
berkorelasi serial, namun T tetap. Im, Pesaran, dan Shin (IPS) menggunakan
kerangka likelihooddengan prosedur pengujian alternatif berdasarkan rata-rata unit
root test statistik individu dalam setiap grup untuk panel. IPS melakukan pengujian
berdasarkan rata-rata (augmented) Dickey Fuller (1979) yang mengacu pada t-bar
test. Asumsi IPS yaitu no cross-sectional correlation.
; i = 1,2,...,N; t = 1,2,...,T (26)
H0 : ρi = ρ = 0 untuk semua i (data tidak stasioner)
H1 : ρi = ρ < 0 untuk semua i (data stasioner)
(27)
Statistik (IPS) ini menunjukkan konvergensi dalam probability terhadap
standar normal secara sekuensial sejalan dengan T menuju tak hingga, dan diikuti
dengan Nmenuju tak berhingga, dimana T adalah time series
dimension dan N adalan cross sectional dimension. Konvergensi diagonal
antara T dan N menuju tak hingga, sementara NT ≥ k, dimana k merupakan konstanta
nonnegatif berhingga.
Apabila nilai p-value t-bar lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.
 Combining p-value Test
Combining p-value tests merupakan pengujian stasioneritas yang
dikembangkan oleh Maddala dan Wu (1999) dan Choi (1999). Metode ini merupakan
penyempurnaan dari metode IPS, di mana metode ini sangat tepat digunakan untuk
menguji unit root apabila terjadi korelasi antar cross section.
Formula uji IPS adalah sebagai berikut:
(28)
Ketika N kecil, Choi menggunakan uji Z:
(29)
Z ∽ N (0,1)
Ti → ∞ dan N → ∞
Apabila nilai p-value Z lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.
 Residual Based LM Test
Hadri (1999) melakukan uji stasioneritas terhadap residual dari setiap cross
sectiondengan menggunakan uji Lagrange Multiplier (LM).
Model residual yang dikemukakan oleh Hadri (1999) adalah sebagai berikut:
yit = rit + ηit (30)
rit = rit-1 + uit ; uit ∽ iid (0, σ2) dan ƞit
Statistik uji yang digunakan adalah Lagrange Multiplier (LM):
(31)
di mana :
Ti → ∞ dan N → ∞
Apabila nilai p-value LM lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.

You might also like