Professional Documents
Culture Documents
September
17
/ 2015
21:38 WIB
Oleh :
Kurniawan A. Wicaksono
Share this post :
Dalam pasal 1 ayat (1) PMK tesebut dinayatakan untuk keperluan penghitungan
Pajak Penghasilan (PPh) ditetapkan besarnya perbandingan antara utang dan
modal bagi Wajib Pajak (WP) badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham.
“Selama ini kan biaya bunga boleh dibiayakan berapapun tidak ada batasannya.
Kalau dengan batasan itu, yang boleh dibiayakan ya 4:1. Artinya, di atas 80% ya
dibayar pajaknya,” katanya.
Selain meredam tingkat utang swasta khususnya utang luar negeri, Bambang
berujar pemerintah ingin ada penguatan dari sisi modal bagi perusahaan yang
berinvestasi di Tanah Air. Penguatan modal, sambungnya, akan menghindari
perusahaan-perusahaan yang hanya mengandalkan pinjaman atau utang.
Namun, tidak semuanya WP badan dikenai formula DER 4:1. Dalam beleid
tersebut diatur enam WP badan yang dikecualikan dengan perbandingan antara
utang dan modal tersebut, yakni WP bank, WP lembaga pembiayaan, WP
asuransi dan reasuransi.
Selain itu, WP yang menjalankan usaha di bidang pertambangan minyak dan gas
bumi, pertambangan umum, dan pertambangan lainnya yang terikat kontrak
bagi hasil, kontrak karya, atau perjanjian kerja sama pengusahaan
pertambangan, dan dalam kontrak atau perjanjian di maksud mengatur atau
mencantumkan ketentuan mengenai batasan perbandingan antara utang dan
modal.
TENTANG
Menimbang :
dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 5 ayat (3) dan Pasal 8 Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya
Perbandingan antara Utang dan Modal Perusahaan untuk Keperluan
Penghitungan Pajak Penghasilan, perlu menetapkan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak tentang Pelaksanaan Penentuan Besarnya Perbandingan antara Utang dan
Modal Perusahaan untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan dan Tata
Cara Pelaporan Utang Swasta Luar Negeri;
Mengingat :
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
Pasal 1
Pasal 2
(1) Untuk keperluan penghitungan Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak badan
yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia yang modalnya terbagi
atas saham-saham, besarnya biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak yang
dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dalam menghitung penghasilan kena
pajak dihitung berdasarkan Perbandingan Antara Utang dan Modal.
(2) Biaya pinjaman yang ditanggung Wajib Pajak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
bunga pinjaman;
diskonto dan premium yang terkait dengan pinjaman;
biaya tambahan yang terjadi yang terkait dengan perolehan pinjaman
(arrangement of borrowings);
beban keuangan dalam sewa pembiayaan;
biaya imbalan karena jaminan pengembalian utang; dan
selisih kurs yang berasal dari penyesuaian terhadap biaya pinjaman
sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e,
dalam hal biaya pinjaman tersebut dalam mata uang asing.
(3) Perbandingan Antara Utang dan Modal sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) paling tinggi sebesar empat dibanding satu (4:1).
(4) Dalam hal besarnya Perbandingan Antara Utang dan Modal Wajib Pajak
melebihi besarnya perbandingan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), biaya
pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan
Modal sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
(5) Besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan dalam menghitung
penghasilan kena pajak sesuai dengan Perbandingan Antara Utang dan Modal
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga wajib memperhatikan ketentuan Pasal
6 dan Pasal 9 Undang-undang PPh.
(6) Dalam hal Wajib Pajak mempunyai utang kepada pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa, maka besarnya biaya pinjaman yang dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak, selain harus memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) juga harus memenuhi tingkat biaya
pinjaman sesuai Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha.
(7) Biaya pinjaman yang tidak memenuhi ketentuan sebagai dimaksud pada
ayat (6), dianggap sebagai dividen bagi pihak yang menerima atau
memperolehnya dan dikenakan pajak pada saat biaya pinjaman tersebut
dibayarkan atau jatuh tempo pembayarannya.
Pasal 3
(1) Biaya pinjaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) yang tidak
dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak meliputi:
selisih antara biaya pinjaman yang ditangggung oleh Wajib Pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) dengan biaya pinjaman yang dapat
diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4);
selisih antara biaya pinjaman atas utang kepada pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa yang dapat diperhitungkan dalam menghitung penghasilan kena pajak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (4) dengan biaya pinjaman yang
memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (6);
biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang bukan merupakan objek pajak; dan
biaya pinjaman atas utang yang digunakan untuk mendapatkan, menagih dan
memelihara penghasilan yang dikenai pajak bersifat final.
(2) Dalam hal biaya pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dikapitalisasi sebagai harga perolehan harta, penyusutan atas bagian harta yang
merupakan kapitalisasi biaya pinjaman dimaksud tidak dapat diperhitungkan
dalam menghitung penghasilan kena pajak.
Pasal 4
Pasal 5
(1) Utang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) tidak termasuk:
utang yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya; atau
utang yang digunakan untuk mendapatkan penghasilan yang bukan merupakan
objek pajak atau yang dikenai pajak yang bersifat final.
(2) Nilai utang dalam rangka penghitungan besarnya Perbandingan Antara
Utang dan Modal dihitung berdasarkan saldo rata-rata utang pada satu Tahun
Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
(3) Saldo rata-rata utang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung
berdasarkan rata-rata saldo utang tiap akhir bulan pada satu Tahun Pajak atau
Bagian Tahun Pajak menurut pembukuan yang diselenggarakan oleh Wajib
Pajak.
(4) Dalam hal rata-rata saldo utang tiap akhir bulan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) tidak dapat diketahui berdasarkan pembukuan yang
diselenggarakan oleh Wajib Pajak, rata-rata saldo utang tersebut dihitung
menurut dokumen yang dapat menunjukkan posisi utang pada tiap akhir bulan.
Pasal 6
Pasal 7
Pasal 8
Pasal 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkan di Jakarta
Pada tanggal 28 November 2017
DIREKTUR JENDERAL PAJAK,
ttd.
KEN DWIJUGIASTEADI
B. Bawono Kristiaji
23
Aturan PMK-169 dipicu oleh adanya perbedaan perlakuan pajak antara return
dari pembiayaan melalui utang dan modal. Biaya bunga yang harus ditanggung
perusahaan akan menjadi pengurang dari penghasilan kena pajak, sedangkan
pembayaran dividen tidak. Perbedaan ini salah satu penyebab yang dapat
mendistorsi keputusan pembiayaan perusahaan (debt bias) yang mendorong
perusahaan untuk melakukan pembiayaan lebih banyak melalui utang atau
dengan skema thin capitalization.
Dalam skema perencanaan pajak, terdapat korelasi positif yang terjadi antara
perbedaan tarif PPh badan dengan struktur permodalan perusahaan. Pada kajian
yang dilakukan di 38 negara Eropa selama 1998-2007, ditemukan bahwa
dominasi utang perusahaan dalam struktur permodalan cenderung meningkat
seiring tingginya tarif PPh Badan. Celakanya, tarif PPh Badan Indonesia
termasuk cukup tinggi, sehingga diduga menjadi “incaran” perusahaan untuk
menaruh utang dalam jumlah besar.
Penggunaan rasio antara utang dan modal seperti yang diatur dalam PMK ini
memang diakui lebih mudah secara administrasi jika dibandingkan upaya
memperbandingkan kewajaran struktur permodalan Wajib Pajak dengan
perusahaan lain di industri yang sama (arm’s length).
Pendekatan dengan rasio 4:1 ini sejatinya menutup mata atas fakta perbedaan
antara struktur permodalan usaha di masing-masing industri dan value chain.
Walau rasio 4:1 merupakan rasio yang moderat, namun sifatnya yang rigid justru
dapat mempengaruhi ekspansi bisnis di masa krisis.
Oleh karena itu, ada baiknya jika ketentuan rasio 4:1 juga dikombinasikan
dengan klausul pengujian secara arm’s length. Di Tiongkok misalkan, jika rasio
utang terhadap modal yang telah ditetapkan terlanggar, biaya bunga masih
dapat menjadi pengurang penghasilan kena pajak selama struktur permodalan
tersebut sebanding dengan perusahaan lain dalam industri sejenis.
Selain itu, dalam PMK 169 masih ada kelemahan, seperti rasio yang berbasis
neraca pendapatan, kaitan antara aturan ini dengan transfer pricing, penjelasan
detail mengenai wajib pajak yang dikecualikan, kriteria biaya pinjaman, dan
sebagainya. Ada baiknya pemerintah mengkaji kembali aturan itu agar benar-
benar efektif dan berfungsi maksimal.
Sumber: KONTAN
1. sector utama
a. Sektor pertanian (1)
b. Sector pertambangan (2)
2. sector manufaktur
a. Sektor industry dasar dan kimia (3)
b. Sektor aneka industry (4)
c. Industri barang konsumsi (5)
3. sector jasa
a. Sektor property dan real estat (6)
b. Sektor infrastruktur, utilitas dan transportasi (7)
c. Sektor keuangan (8)
d. Sektor perdagangan, jasa dan investasi
Uji Stasioneritas (unit root test)
Melakukan regresi dengan menggunakan data time series yang bersifat
nonstasioner kemungkinan besar akan menghasilkan regresi
lancung (spurious regression). Untuk data yang tidak stationer metode inferensia
klasik seperti OLS tidak bisa diterapkan (Gujarati, 2003, hal. 792, 830). Menurut
Baltagi (2005, hal. 356) dan Greene (2002, hal. 609), syarat yang harus dipenuhi
suatu data dapat dikatakan stasioner apabila mempunyai kondisi rata-rata tetap
(constant), , variasi data tetap , dan , untuk .
Menurut Levin, Lin, dan Chu (2001), dalam regresi data panel, pengujian
stasioneritas menjadi penting karena mengandung data time series. Namun, pengujian
stasioneritas pada data panel berbeda dengan data time series. Levin, Lin, dan Chu
menambahkan bahwa pengujian stasioneritas penting untuk dilakukan
ketika N (unit cross section) berada pada interval 10 dan 250 serta ketika T (unit time
series) berada pada interval 25 dan 250. Selain itu, Levin et al. (2001)
menambahkan bahwa penting untuk dilakukan pengujian stasioneritas jika T sangat
besar (walaupun N sangat kecil)
Pada data panel terdapat 4 (empat) uji yang dapat digunakan untuk melakukan
pengujian stasioneritas, yaitu LLC (Levin, Lin, dan Chu) test (1992), IPS (Im,
Pesaran, dan Shin test) (1997), Combining p-value test, Residual Based LM test.
Uji Levin, Lin, dan Chu (LLC test)
Uji LLC menyajikan uji kestasioneritasan waktu dengan
koefisien autoregressive order pertama yang identik di antara individu. Hal ini lebih
menguntungkan untuk datapooled, dikarenakan koefisien AR yang identik di
antara cross section diperlukan pada data yang stasioner. Struktur analisis LLC
menggunakan persamaan yang diperinci sebagai berikut:
; i = 1,2,...,N; t = 1,2,...,T (24)
Persamaan di atas mengasumsikan kehomogenan koefisisen autoregressive di antara
individu yaitu ρi = ρ untuk semua i.
Hipotesis dalam uji Levin, Lin, Chu adalah:
H0 : ρi = ρ = 0 untuk semua i (data tidak stasioner)
H1 : ρi = ρ < 0 untuk semua i (data stasioner)
LLC menunjukkan bahwa di bawah hipotesis null (H0), data tidak stasioner.
Digunakan nilai dari t-statistic yang disesuaikan untuk menghasilkan nilai ρ yang
secara asimptotik berdistribusi normal.
(25)
di mana:
dan adalah penyesuaian rata-rata dan standar deviasi yang disediakan oleh tabel
LLC. menyatakan estimator bagi variance jangka panjang untuk individu ke-
i. 𝑅𝑆𝐸 adalah standard error dari ρ. adalah estimasi variance dari variabel
error 𝜂. adalah perkiraan deret waktu yang disesuaikan, dengan rumusnya
adalah = T – ( i p𝑖 /N) – 1 (Baltagi, 2005).
Apabila nilai p-value LLC lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.
Uji Im, Pesaran, dan Shin (IPS test)
Uji IPS merupakan pengembangan dari uji LLC di mana error tidak
berkorelasi serial, namun T tetap. Im, Pesaran, dan Shin (IPS) menggunakan
kerangka likelihooddengan prosedur pengujian alternatif berdasarkan rata-rata unit
root test statistik individu dalam setiap grup untuk panel. IPS melakukan pengujian
berdasarkan rata-rata (augmented) Dickey Fuller (1979) yang mengacu pada t-bar
test. Asumsi IPS yaitu no cross-sectional correlation.
; i = 1,2,...,N; t = 1,2,...,T (26)
H0 : ρi = ρ = 0 untuk semua i (data tidak stasioner)
H1 : ρi = ρ < 0 untuk semua i (data stasioner)
(27)
Statistik (IPS) ini menunjukkan konvergensi dalam probability terhadap
standar normal secara sekuensial sejalan dengan T menuju tak hingga, dan diikuti
dengan Nmenuju tak berhingga, dimana T adalah time series
dimension dan N adalan cross sectional dimension. Konvergensi diagonal
antara T dan N menuju tak hingga, sementara NT ≥ k, dimana k merupakan konstanta
nonnegatif berhingga.
Apabila nilai p-value t-bar lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.
Combining p-value Test
Combining p-value tests merupakan pengujian stasioneritas yang
dikembangkan oleh Maddala dan Wu (1999) dan Choi (1999). Metode ini merupakan
penyempurnaan dari metode IPS, di mana metode ini sangat tepat digunakan untuk
menguji unit root apabila terjadi korelasi antar cross section.
Formula uji IPS adalah sebagai berikut:
(28)
Ketika N kecil, Choi menggunakan uji Z:
(29)
Z ∽ N (0,1)
Ti → ∞ dan N → ∞
Apabila nilai p-value Z lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.
Residual Based LM Test
Hadri (1999) melakukan uji stasioneritas terhadap residual dari setiap cross
sectiondengan menggunakan uji Lagrange Multiplier (LM).
Model residual yang dikemukakan oleh Hadri (1999) adalah sebagai berikut:
yit = rit + ηit (30)
rit = rit-1 + uit ; uit ∽ iid (0, σ2) dan ƞit
Statistik uji yang digunakan adalah Lagrange Multiplier (LM):
(31)
di mana :
Ti → ∞ dan N → ∞
Apabila nilai p-value LM lebih kecil dari alpha (α), maka Tolak H0 dan dapat
disimpulkan bahwa data yang digunakan telah stasioner.