You are on page 1of 16

INDAHNYA PERSAHABATAN

Betapa enak menjadi orang kaya. Semua serba ada. Segala keinginan
terpenuhi. Karena semua tersedia. Seperti Tyas. Ia anak konglomerat.
Berangkat dan pulang sekolah selalu diantar mobil mewah dengan supir
pribadi.
Meskipun demikian ia tidaklah sombong. Juga sikap orang tuanya. Mereka
sangat ramah. Mereka tidak pilih-pilih dalam soal bergaul. Seperti pada
kawan kawan Tyas yang datang ke rumahnya. Mereka menyambut seolah
keluarga. Sehingga kawan-kawan banyak yang betah kalau main di rumah
Tyas.
Tyas sebenarnya mempunyai sahabat setia. Namanya Dwi. Rumahnya
masih satu kelurahan dengan rumah Tyas. Hanya beda RT. Namun, sudah
hampir dua minggu Dwi tidak main ke rumah Tyas.
“Ke mana, ya,Ma, Dwi. Lama tidak muncul. Biasanya tiap hari ia tidak
pernah absen. Selalu datang.”
“Mungkin sakit!” jawab Mama.
“Ih, iya, siapa tahu, ya, Ma? Kalau begitu nanti sore aku ingin
menengoknya!” katanya bersemangat
Sudah tiga kali pintu rumah Dwi diketuk Tyas. Tapi lama tak ada yang
membuka. Kemudian Tyas menanyakan ke tetangga sebelah rumah Dwi. Ia
mendapat keterangan bahwa Dwi sudah dua minggu ikut orang tuanya
pulang ke desa. Menurut kabar, bapak Dwi di-PHK dari pekerjaannya.
Rencananya mereka akan menjadi petani saja. Meskipun akhirnya
mengorbankan kepentingan Dwi. Terpaksa Dwi tidak bisa melanjutkan
sekolah lagi.
“Oh, kasihan Dwi,” ucapnya dalam hati,
Di rumah, Tyas tampak melamun. Ia memikirkan nasib sahabatnya itu.
Setiap pulang sekolah ia selalu murung.
“Ada apa, Yas? Kamu seperti tampak lesu. Tidak seperti biasa. Kalau
pulang sekolah selalu tegar dan ceria!” Papa menegur
“Dwi, Pa.”
“Memangnya kenapa dengan sahabatmu itu. Sakitkah ia?” Tyas
menggeleng.
“Lantas!” Papa penasaran ingin tahu.
“Dwi sekarang sudah pindah rumah. Kata tetangganya ia ikut orang tuanya
pulang ke desa. Kabarnya bapaknya di-PHK. Mereka katanya ingin menjadi
petani saja”.
Papa menatap wajah Tyas tampak tertegun seperti kurang percaya dengan
omongan Tyas.
“Kalau Papa tidak percaya, Tanya, deh, ke Pak RT atau ke tetangga
sebelah!” ujarnya.
“Lalu apa rencana kamu?”
“Aku harap Papa bisa menolong Dwi!”
“Maksudmu?”
“Saya ingin Dwi bisa berkumpul kembali dengan aku!” Tyas memohon
dengan agak mendesak.
“Baiklah kalau begitu. Tapi, kamu harus mencari alamat Dwi di desa itu!”
kata Papa.
Dua hari kemudian Tyas baru berhasil memperoleh alamat rumah Dwi di
desa. Ia merasa senang. Ini karena berkat pertolongan pemilik rumah yang
pernah dikontrak keluarga Dwi. Kemudian Tyas bersama Papa datang ke
rumah Dwi. Namun lokasi rumahnya masih masuk ke dalam. Bisa di
tempuh dengan jalan kaki dua kilometer. Kedatangan kami disambut orang
tua Dwi dan Dwi sendiri. Betapa gembira hati Dwi ketika bertemu dengan
Tyas. Mereka berpelukan cukup lama untuk melepas rasa rindu. Semula
Dwi agak kaget dengan kedatangan Tyas secara mendadak. Soalnya ia tidak
memberi tahu lebih dulu kalau Tyas ingin berkunjung ke rumah Dwi di
desa.
“Sorry, ya, Yas. Aku tak sempat memberi tahu kamu!”
“Ah, tidak apa-apa. Yang penting aku merasa gembira. Karena kita bisa
berjumpa kembali!”
Setelah omong-omong cukup lama, Papa menjelaskan tujuan
kedatangannya kepada orang tua Dwi. Ternyata orang tua Dwi tidak
keberatan, dan menyerahkan segala keputusan kepada Dwi sendiri.
“Begini, Wi, kedatangan kami kemari, ingin mengajak kamu agar mau ikut
kami ke Surabaya. Kami menganggap kamu itu sudah seperti keluarga
kami sendiri. Gimana Wi, apakah kamu mau?” Tanya Papa.
“Soal sekolah kamu,” lanjut Papa, “kamu tak usah khawatir. Segala biaya
pendidikan kamu saya yang akan menanggung.”
“Baiklah kalau memang Bapak dan Tyas menghendaki demikian, saya
bersedia. Saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan Bapak
yang mau membantu saya.”
Kemudian Tyas bangkit dari tempat duduk lalu mendekat memeluk Dwi.
Tampak mata Tyas berkaca-kaca. Karena merasa bahagia.Akhirnya mereka
dapat berkumpul kembali. Ternyata mereka adalah sahabat sejati yang tak
terpisahkan. Kini Dwi tinggal di rumah Tyas. Sementara orang tuanya tetap
di desa. Selain mengerjakan sawah, mereka juga merawat nenek Dwi yang
sudah tua.
Unsur Instrinsik :

• Tema : Persahabatan

• Tokoh : Tyas, Dwi, Papa Tyas, Dan Mama Tyas

• Watak :

Tyas : Suka Menolong


Dwi : Tidak Mau Membebani Orang Lain
Papa Tyas : Baik Hati
Mama Tyas : Peduli
• Alur : Maju

• Latar :

Tempat

Rumah Dwi (Lama)


Rumah Tyas
Rumah Dwi (Di Desa)

Waktu

Siang Hari
Suasana : Mengharukan

• Sudut pandang : Orang Pertama

• Amanat : Sebagai makluk tuhan kita harus saling tolong menolong Dan
Berbagi kepada sesama
TAKDIR
Gerimis tak berhenti juga, ditambah dengan Tari yang sejak pulang dari sekolah tadi tak
keluar-keluar dari kamarnya. Padahal jam dinding hadiah dari temannya sudah menunjukkan
pukul 17.15. Itu berarti adzan magrib semakin dekat.
Tari kembali melirik buku bututnya. Aduh! Susahnya, ia membanting napas kesal isi buku
yang dibacanya dari tadi belum masuk juga ke otaknya. Karena capek, ia selonjoran di kasur
bunga mawarnya itu. Tapi ia malah teringat oleh mantannya. Ditariknya foto tu dari
dompetnya. Huh, seandainya! Adu, dia melulu. Malas ah!
Ia sekejap langsung menyembunyikan benda kenangannya dengan Audra itu di dompetnya.
“Bodohnya aku!” Cewek berambut panjang hitam itu mengeluh, namun penyesalan yang
menginjak-nginjak batinnya nggak pergi-pergi juga. “Iih”, Tari menggumam. “Kenapa aku
dulu menyia-nyiakannya,ya? Ga dewasa, kurang bersyukur? Atau, dia yang terlalu seperti
anak kecil?”
Kenangan itu masih tertempel di otak Tari, saat sosok yang dikenangnya itu memberikan
surat kepadanya. Surat yang isinya mengajak Tari putus dengannya. Memang sosok Audra
yang seperti anak kecil, pemalu, pintar, berkulit cokelat, wajahnya yang bersih, dan bertubuh
tinggi itu bukan termasuk tipe Tari. Tapi ia sulit untuk memutuskan putus atau tidak pada saat
itu. Selama ini semenjak putus dengan Audra, ia sering berkhayal, berkhayal seandainya ia
bisa lebih berpikir dewasa lagi. Namun yang sudah terjadi tidak bisa kembali lagi.
Daripada ia teringat dengan kekerasan bapaknya, ia mending terlintas kenangannya dengan
Audra.:”Plak!!” Batin Tari tergoncang, tamparan bapaknya ke bundanya itu sampai
menggerakkan gendang telinganya.” Bapak, Bapak! Cukup!” Tari berlari menangis. Tak
heran kalau Tari terkadang berdiam diri di kelasnya. Wajah gelisahnya membuat dirinya
penuh dengan misteri. Tapi sesungguhnya ia termasuk perempuan sabar dan kuat karena ia
dapat bertahan dengan kondisin keluarga seperti itu.
Tet tet tet! Bunyi bel sekolah Tari berdenting, yang menandakan jam istirahat telah usai.
Namun Tari masih tetap duduk terenung di bangkunya sampai Yanti sobatnya itu
membangunkannya dari lamunannya.

“Tar!”
“Ei, kowe kok ngelamun aja toh?”
“Iya nih, lagi pusing aku.”
“Ooo, makanya kowe kok nggak sholat dhuha, biasanya kowekan rajin gitu.”
“He, itu itu Audra!” Yanti menyoel-nyoel Tari. Paan sih! Kalau kamu suka dia jangan kayak
gini dong! Alah yang suka aku apa kowe, Ihiir!! Yanti menyindir sobatnya itu.
Tapi dengan kelucuan sahabatnya itu, akhirnya Tari dapat tersenyum yang sejak kemarin ia
terus menangis dan bersedih karena bapaknya itu menampar bundanya yang tak sengaja
mengingatkan bapaknya untuk tidak merokok dan pulang malam. Yan, aku tuh udah putus
dengannya! Tari menyela sobatnya denan menahan ketawa sebab melihat wajah Yanti yang
berekspresi kayak “Aming” komedian itu.
Tentu saja Tari nggak akan mengatakan ke Yanti kalau ia sedang sedih dan menangisi
takdirnya. Batas bercerita tetap ada. Dan Tari tak ingin sobatnya itu bersedih lantaran
kehidupannya yang menyedihkan.
Dan siang itu meskipun Tari mengikuti pelajaran Bahasa Indonesia, tapi pikirannya masih
melayang kemana-mana. Seandainya Audra masih menjadi kekasihku! pasti masalahku akan
reda dengan adanya dirinya. Huh malangnya nasibku. Eiiiiihh!! Teriakannya membuat
sekelas gaduh dan kaget. Ini berawal dari Bejo yang menepuk bahu Tari.
“Tar, hihihihi, ngelamun aja, kesambet lo entar!” Bejo pura-pura tak ngerti kesalahannya.
Padahal gara-gara dia Tari dipanggil ke depan oleh Bu Tartik, guru paling killer di sekolah.
“Tari! Maju ke depan.”
“Oh, My God!”
“Bilang apa kamu tadi ?”
“Ndak Bu, ndak!”
Semua teman Tari tertawa sambil menahan ketawa karena tak ingin Bu Tartik mendengar
ketawa mereka, namun tidak dengan Yanti dan Audra. Mereka terlihat sedang berpikir
sesuatu.
“Ono opo ya ma Tari ?”
“Iya ya, ada apa dengan Tari, apa gara-gara aku ?”
Teman sebangku Yanti dan yang tak lain adalah Audra mencetuskan kata-kata seperti itu.
Dan membuat Yanti terkejut dan berpikir apa sebenarnya mereka berdua masih saling suka.
Tapi…………
Di lain posisi, Bu Tartik memarahi Tari abis-abisan.
“Tariiiii, kamu itu! Kalau kamu tidak ingin mengikuti pelajaran saya. Kamu jangan
menganggu pelajaran Ibu!” muka Tari yang memerah membuat dirinya tampak habis makan
100 cabe merah keriting yang biasa dilihatnya di dapur ketika ia memasak dengan bundanya.
Tet tet tet tet tet tet…………
Untung penderitaan Tari berhenti juga, bel sekolah yang memengakkan telinga itu
menyelamatkan hidupnya hari ini. Tak hanya Tari, teman-temannya juga terselamatkan.
Karena mereka ingin sekali tak mengikuti pelajaran ini. Tapi begitu melihat Bu Tartik,
akhirnya mereka mengikutinya.
“Duduk kamu! Ketua kelas pimpin doa!”
“Iya Bu.” Tari dan ketua kelasnya menyahut bersama. Setelah Bu Tartik keluar dari kelas,
Yanti dengan tas merah stroberinya itu langsung menyambar Tari. Tar kowe kenapa?
“Iya, kamu kenapa ?”
Oh My God, Audra! Tari yang semula cemberut langsung bersinar-sinar ketika Audra
menghampiri dan perhatian kepadanya.
“Aku nggak apa-apa kok Dra! Aku cuma cuma……..”
“Cuma ngelamunin kamu Dra.” Bejo menyela perkataan Tari namun Yanti membela
sobatnya.
“Bejo! kowe ojo ngono.”
“Nggak nggak, aku lagi pusing aja, kamu nggak pulang Dra ?” Tari mengalihkan suasana dan
itu berhasil.
“Ya uda, aku pulang dulu ya.” Audra melirik Tari dengan senyumnya yang bisa membuat
Tari mabuk kepayang. Bejo pun mengikutinya dari belakang.
“Tar, kowe bener-bener pusing ta ?”
“Ehmm, nggak sih, aku tadi lagi mikirin Audra tapi gara-gara Bejo tukang usil itu, aku jadi
dicereweti Bu Tartik deh.”
“Ooo, emang kowe tuh!”
“Eeemang!!!” Tari menggoda sobatnya itu dan merangkulnya agar Yanti segera pulang
dengannya. Lalu mereka harus masih menunggu kendaraan warna biru berlabelkan
“AMG”(Arjosari-Gadang) itu.
Jam 7 malam …………
Bapak sedang menonton TV dan bapak memanggil Tari. Tak biasanya bapak mau bicara
dengan Tari. Tari, sini!Bapak mau ngomong. Besok akan ada keluarga teman Bapak yang
mau melamarmu, jadi besok kamu harus langsung pulang setelah jam sekolah selesai.
“Tapi Pak, saya masih sekolah, masak mau dilamar.”
“Kamu bisa tunangan dulu dan setelah lulus dari kuliah, kamu baru menikah dengannya!”
Bapak tidak mau mendengar alasan apapun dari Tari. Jika Bapak sudah bicara A, maka Tari
harus mengikutinya. Tari tak tahu harus bagaimana, tak harus berbuat apa. Tari bingung! Tari
harus bagaimana ya Allah ? Bunda mengetuk pintu kamar Tari dan setelah bunda masuk,
mereka terlibat dalam pembicaraan.
“Sabar ya anakku, Bunda selalu disini menemanimu.” Mereka menangis berdua. Keesokan
harinya Tari tak masuk sekolah karena untuk masuk, ia terlalu capek. Capek menangis
semalaman. Ini merupakan takdir atau hanya kebetulan saja, Audra juga tak masuk. Entah
apa alasannya. Di sebuah rumah di jalan araya itu, ada perbincangan antar keluarga.
“Papa, Audra tak mau dijodohkan!”
“Nak, dia baik buat kamu! Terserah alasan kamu apa, yang penting sekarang kamu siap-siap
untuk sore nanti!”
“Pa!!!”
Jam di kamar Tari sudah menunjukkan pukul 15.00 dan sebentar lagi ia akan dilamar. Bun!
Aku nggak mau pake kebaya ini, ia melempar kebaya berwarna putih jika dipakenya akan pas
di badannya yang ramping itu. Bunda, aku mau dengan perjodohan ini hanya karena agar
Bunda tak disakiti Bapak! Tari memperjelas alasannya kepada Bundanya. Mendadak sebuah
sedan hijau masuk pelan ke halaman rumah Tari dan berhenti tepat di depan teras. Bapak
menyambut keluarga itu. Namun ada yang aneh, anak laki-laki dari keluarga itu terlihat
murung dan malas sama seperti Tari. Selamat datang! Silahkan masuk. Bapak
mempersilahkan mereka masuk.
Dibantu dengan bunda, ia segera memakai sepatu highheels warna putih mengkilat itu dengan
buru-buru. Meskipun terpaksa, Tari akhirnya keluar dan menemui keluarga pelamarnya.
Ketika Tari bertatap muka dengan anak laki-laki berjas hitam dengan kerah terbuka yang
terlihat tampan saat itu, ia serasa mau pingsan di tempat. Apa kamu?kamu?? Tari terheran
dengannya.
“Ya benar, aku Audra!” Dia memang Audra, mantanku. Oh, takdir macam apakah ini? Secara
reflek, Tari langsung memeluk Audra dan ……………
“Tar,Aku sayang kamu!”
“Aku juga Dra, aku sayang kamu!”
1. Tema : Percintaandantakdir

2. Amanat :

 Dalam menghadapi hal apapun harus bersikap dewasa dan berpikir panjang.
 Jangan melamun dan tak fokus sewaktu pelajaran

3.Alur : Campuran

4. Setting :

  Kamar tari pukul 17.15

  Kelas sehabis jam istirahat sekolah

5. Penokohan / Perwatakan :

 Tari : sabar, tabah, tertutup, kuat, taat beribadah, pelamun.


 Audra : tidak dewasa, perhatian, pemalu
 Yanti : medok, baik, perhatian, suka, melucu, setia kawan
 Bapak : keras kepala, pemaksa, egois, suka memukul, mudah emosi
 Bunda : sabar, penyayang, perhatian, lemah lembut, rela berkorban
 Bejo : Usil, medok, nakal
 Bu Tartik : Pemarah, tegas, killer
 Papa : Egois

6. Sudut Pandang : Orang Ketiga


CONTOH CERPEN DARI KENANGAN MASA LALU DAN UNSUR INSTRINSIK :

‘’KENANGAN AYAH DAN KUMIS LEBATNYA”

Waktu bagaikan penentu perjalanan manusia yang terjadi dimasa lalu,sekarang hingga
masa depan.Waktu dapat dikatakan sebagai perekam yang merekam perjalanan hidup
dan proses yang dialami oleh setiap umat manusia yang dapat teringat kembali dimasa
yang akan datang. Berbagai waktu senang,waktu sedih, hingga waktu susahpun terselip
di antara waktu yang menceritakan perjalanan seseorang yang kemudian terangkai
menjadi sebuah kisah yang disebut dengan kenangan . Hal inipun tak luput terjadi pada
diriku sendiri, kenangan itu kujadikan sebagai salah satu pelajaran hidup yang berarti
maupun candaan yang tak akan terulang kembali dalam perjalanan hidupku. Banyak
kenangan masa kecil yang selalu telintas dalam ingatanku seperti salah satunya
kenangan ketika aku masih duduk ditaman kanak-kanak, masih teringat dengan jelas
bagaimana banyak kenangan yang terjadi pada masa itu padahal sekarang aku telah
duduk dibangku sekolah menengah atas ,entah mengapa kenangan ini tak dapat lepas
dari ingatanku . Kini kenangan itu kuceritakan kembali untuk mengenangnya.

Inilah salah satu pengalamanku. Ketika aku masih duduk disalah satu taman kanak-
kanak di daerah tempat tinggalku, aku selalu dijemput oleh ayahku. Ayahku adalah
orang yang sangat baik dan penyayang. Ayahku memiliki badan yang cukup tinggi dan
besar serta berkumis lebat. Ayahku bekerja sebagai seorang pegawai negeri yang
mengabdi didaerah tempat tinggalku. Setiap aku pulang sekolah dari taman kanak-
kanak ,ayahku selalu menjemputku dengan mobil dinasnya dan aku selalu
menunggunya didepan kelasku. Seperti biasa yang kulakukan ketika lonceng sekolahku
berbunyi disiang hari, aku menunggu ayahku untuk menjemputku.

Namun hari itu tampak berbeda dengan hari-hari biasanya karena aku tak melihat
ayahku sehingga membuatku gelisah bukan main .Oleh karena itu kuputuskan untuk
berjalan menuju pintu gerbang sekolahku, ketika kuberjalan aku berpapasan dengan
sesosok laki-laki yang menyerupai ayahku berbadan besar dan tinggi namun tak
berkumis lebat. Lalu orang tersebut berkata “ Ayo, Hana mari pulang!” langkahku
terhenti sejenak sambil memerhatikan wajah orang itu, namun tak kukenal sama sekali
siapa orang itu .Sehingga membuat begitu banyak pertanyaan yang muncul dalam
kepalaku, “ siapakah dia? Apakah ia adalah orang utusan ayahku untuk menjeputku?”.
Tak ada satupun jawaban yang terlintas untuk menjawab pertanyaan –pertanyaan itu.
Tetapi aku masih merasa bahwa aku mengenalnya ,lalu kucoba memperhatikan
wajahnya kembali. Betapa terkejutnya dan malunya aku waktu itu.Orang tersebut
adalah ayahku namun ayahku tanpa kumis lebatnya. Lalu ayahku merangkul bahuku
mengajakku jalan bersamanya menuju mobil dan pulang kerumah. Dalam
rangkulannya aku tak berani melihat mukanya karena perasaan sangat malu yang
bercampur dengan rasa tawa. Selama perjalanan aku masih terheran-heran terhadap
diriku sendiri karena aku tak bisa mengenali ayahku ketika ia tidak memiliki kumis,
apalagi jika ia botak mungkin aku benar-benar tak mengenalinya sama sekali dalam
benakku .

Oleh karena itu,jika kuteringat kejadian ini kembali aku ingin tertawa yang bercampur
malu,namun itu adalah salah satu kenangan yang mungkin tak akan kulupakan hingga
sekarang dan aku tahu sekarang alasan ayahku tak pernah mencukur habis kumis
lebatnya itu,ia takut aku tak mengenalinya lagi hingga sekarang sehingga ia memilih
untuk memeliharanya. Itu merupakan salah satu kenangan yang kualami ketika
kumasih kecil,mudah-mudahan pengalaman ini dapat menghibur kalian yang
membacanya.Salam kenal…
UNSUR INTRINSTIK :

 Tema

-mengenai pegalaman masa kecil yang tidak dapat dilupakan

 Tokoh dan penokohan.

-Tokoh : Aku dan ayahku.

-penokohan : Aku :pelupa.

Ayahku : sangat baik dan penyayang.

 Alur

-merupakan alur gabungan ( alur yang merupakan gabungan dari alur maju dan alur
mundur) .

 Latar

-Latar tempat : Lingkungan sekolah taman kanak-kanak(depan kelas,pintu gerbang


sekolah).

-Latar waktu : Siang hari.

-Latar suasana : bingung,menghibur,gelisa.

 Sudut pandang

-Sudut pandang orang pertama ( I ).

-Sudut pandang orang ketiga (III) .

 Gaya bahasa

-Menggunakan bahasa yang efektif sehingga isi cerita dapat dimengerti oleh pembaca.

 Amanat

-Semua orang mempunyai masa lalu yang berkesan maupun yang mengecewakan
namun semua pengalaman tersebut selalu memiliki makna tersendiri yang dapat kita
ambil dan dikenang kembali dimasa hidup kita kemudian . Selain dikenang pengalaman
dapat juga menjadi obat rindu kita terhadap masa lalu kita. Oleh karena itu apa yang
kita lakukan sekarang akan menentukan pengalaman yang akan dikenang kembali
dikemudian hari.
CONTOH CERPEN BESERTA UNSUR INTRINSIKNYA
“ SEBATANG KARA “

Tanah di pekuburan umum itu masih basah ketika para pentakziah sudah pulang. Sementara
Ogal masih duduk sambil sesekali menyeka air matanya. Ibu yang selama ini paling dia
hormati dan cintai, tadi malam telah meninggal dunia, menghadap Tuhan Yang Maha Esa.

Burung-burung camar terbang rendah dan sesekali mencelupkan paruhnya di air laut.

Bu Tutik dan suaminya masih berdiri di belakang sambil menunggu Ogal. Kedua orang tua
asuh itu sangat setia kepada Ogal.

“Rasanya saya sudah tidak punya siapasiapa lagi, Bu,” tiba-tiba Ogal berkata dengan suara
agak berat.

Bu Tutik memegang lengan Ogal sambil mengelus rambutnya.

“Jangan berkata begitu, anakku. Kami akan menjadi orang tuamu sampai kapan pun.”

“Sampai saya mandiri?” desak Ogal.

“Sampai kapan pun. Aku tidak akan membatasi kamu, sebab pada hakikatnya engkau adalah
anakku juga.”

“Maksud Ibu?” Ogal tidak mengerti.

“Ya, rupanya engkau ditakdirkan untuk aku asuh dan menjadi anak kami. Tetapi kami
bertekad untuk menjadi orang tuamu, bukan sekedar orang tua asuh.”

Ogal memeluk Bu Tutik. Air mata di pipinya tak henti-hentinya mengalir sehingga
membasahi bajunya. Sementara suami Bu Tutik turut berduka atas kematian Bu Arpati.

Sebenarnya Ogal masih ragu-ragu, apakah dia akan ikut Bu Tutik atau bertahan hidup
dengan mandiri. Jika dia ikut Bu Tutik, tentu tidak dapat bekerja seperti ketika ia masih
hidup bersama ibunya. Hal itu menjadikannya manja. Tetapi jika menolak kebaikan Bu Tutik,
terasa tidak enak. Pengorbanan Ibu Guru itu sudah sedemikian besarnya.

Dari pengalaman hidupnya selama ini, banyak hal yang dapat Ogal petik. Ia biasa bekerja
keras, tidak suka menggantungkan pada orang lain. Ia juga biasa hidup prihatin sehingga
tidak suka berfoya-foya.

“Bolehkah saya menjajakan kue lagi, Bu?” pinta Ogal kepada Bu Tutik.

“Buat apa, Ogal?”

“Agar saya tetap bisa bekerja.”

“Kurasa tidak perlu, Ogal. Pusatkan perhatianmu untuk belajar. Sebentar lagi engkau akan
ujian.”
“Tapi, saya tidak enak kalau menganggur, Bu!”

“Di rumahku engkau tidak mungkin menganggur. Engkau bisa belajar menggunakan
komputer, mengetik, nonton TV , dan memelihara kebun.”
“Tapi, saya akan tidak bekerja, Bu!”

“Pada hakikatnya engkau bekerja juga. Memelihara kebun atau membantuku di rumah juga
bekerja.”

“Jadi, tidak harus menjajakan kue, Bu?” Bu Tutik mengangguk.

“Kalau begitu, tolong carikan pekerjaan yang bisa saya lakukan.” Bu Tutik tersenyum.

“Jangan khawatir.”

Bu Tutik ternyata dapat memenuhi harapan Ogal. Banyak pekerjaan yang dapat dilakukan
Ogal. Misalnya, memelihara kebun mangga, mencatat keluar masuknya barang, dan
sebagainya.

Kali ini Ogal tidak kalah sibuknya dengan sewaktu berada di desa nelayan. Bahkan mungkin
boleh dikatakan sangat sibuk.

Pekerjaan di rumah Bu Tutik tidak hanya satu, melainkan sangat banyak. Walaupun begitu,
Bu Tutik tidak pernah memaksa Ogal untuk bekerja. Semua itu hanya semata-mata menuruti
keinginan Ogal.
UNSUR INTRINSIK CERPEN

1. Tema

“Sebatang Kara” bertema mengenai keteguhan hati seorang anak yatim piatu yang tidak
ingin bergantung kepada orang lain. Tema tersebut memiliki subtema mengenai kebaikan hati
seseorang.

2. Latar

1) Latar tempat: tanah pemakaman, rumah Bu Tutik.

2) Latar suasana: kesedihan, ketegaran dan keteguhan, serta kesibukan.

3) Latar waktu: saat di pemakaman, saat di rumah Bu Tutik.

3. Penokohan

Tokohnya:

– Ogal = Tegar dan bersemangat mandiri.

– Bu Tutik = Baik hati.


DIA SAHABATKU
Pada suatu hari hiduplah dua orang sahabat mereka bernama shelly dan
yenni. Mereka bersahabat selama 3 tahun lamanya. Shelly dan yenni saling
menyayangi bahkan banyak orang-orang yang menyangka bahwa mereka
saudara kandung. Setiap pagi sebelum berangkat kesekolah shelly selalu
pergi kerumah Yenni untuk bersama berangkat ke sekolah.

Pada siang harinya sesuai dengan rencana yang mereka telah sepakati
sebelumnya, merka akan pergi ke swalayan yang tidak berada jauh dari
sekolah mereka. Mereka pergi ke swalayan untuk membeli sebuah kado
dan kue yang akan mereka belikan untuk nenek shelly. Nenek Shelly
adalah orang yang baik. Ia selalu baik dan ramah kepada Yenni walaupun
Yenni bukan cucu dari sang Nenek. Bukan hanya itu Nenek shelly juga
terkadang memberikan nasihat dan uang saku Cuma-Cuma kepada
mereka.

Waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore tetapi belum juga ada kabar yang
pasti dari Yenni. Sembari menunggu kedatangan Yenni , Shelly membaca
novel yang sebelumnya di beli di Toko Buku langganan mereka bersama
Yenni. Membaca novel adalah hobi yang dimiliki shelly, berbeda dengan
Yenni yang lebih memilih untuk bermain basket. Meskipun hobi mreka
yang berbeda tetapi mereka tetap dapat bersama. Bila ada latihan basket di
sekolah maka shelly selalu setia menunggu Yenni sembari mengerjakan
tugas atau sekedar untuk melanjutkan membaca novel.

“Aduh Yenni kemana ya?, Tanya shelly dalam hati” Shelly yang merasa
panik terhadap Yenni karena sudah 3 jam setelah dirinya menunggu tidak
ada kabar yang pasti dari Yenni. “ Shelly “ Teriak seorang remaja yang
berada tidak jauh dari keberadaannya. “ maaf, tadi aku harus
membersihkan lapangan sebelum pulang, karena aku lupa mengerjakan
tugas Matematika “ Jawab Yenni. Dengan wajah kesal sekaligus kasihan
setelah mendengarkan alasan yang diberikan Yenni akhirnya Shelly
memutuskan untuk pergi ke Swalayan. “ kan aku udah pernah bilang, kalo
ada tugas itu langsung dikerjain malemnya “ Shelly member nasihat kepada
Yenni dengan sedikit marah.

Setelah sampai di tempat yang mereka tuju yaitu swalayan, mereka


langsung segera membeli kue dan memilih kira-kira kado yang mana yang
pantas untuk Nenek Shelly. Shelly dan Yenni memutuskan untuk membeli
baju sebagai hadiah yang akan mereka belikan kepada Nenek. Baju
berwarna kuning yang cocok dengan kuli Nenek yang berwarna cukup
cerah membuat mereka merasa itulah hadiah yang pas dan cocok untuk
mereka berikan kepada Nenek. Bagi Yenni, Nenek Shelly adalah neneknya
juga karena, Nenek Shelly juga selalu menyamakan kasih sayang yang ia
berikan kepada Shelly dan Yenni. Maka dari itu, Yenni selalu menyayangi
semua keluarga Shelly. Bagi Yenni mengeluarkan uang itu tak masalah
asalkan Nenek atau keluarga Shelly yang lain bahagia. Setelah selesai
membelanjakan kebutuhan apa saja yang mereka inginkan, mereka
memutuskan untuk pulang karena mereka sudah ditunggu di Rumah
Nenek oleh keluarga Shelly. Maka dari itu, mereka memutuskan untuk
cepat-cepat pulang.

Sesampainya di Rumah, mereka segera disambut oleh keluarga Shelly.


Keluarga Shelly sudah mengganggap Yenni sebagai keluarga. Kebersamaan
yang tidak bisa di dapatkan di dalam keluarga Yenni dapat Ia dapatkan di
saat bersama dengan keluarga Shelly. Selain itu baik keluarga Shelly juga
selalu memperhatikan Yenni.

Yenni hanya tinggal berdua dengan ayahnya selain itu, ayah Yenni sering
pergi meninggalkan Yenni untuk mencari uang berdagang di luar kota.
Dengan kata lain, Yenni selalu merasa kesepian bahkan kadang enggan
untuk pulang kerumah. Ibu Yenni telah lama bercerai dengan Ayahnya
kurang lebih semenjak Yenni berumur 11 tahun. Semenjak Ayah dan
Ibunya bercerai Yenni tidak pernah bertemu Ibunya. Ia tidak pernah
merasakan perhatian dari seorang Ibu semenjak kedua orang tuanya telah
resmi bercerai. Oleh karena hal itu, Shelly selalu berada di dekat Yenni
karena ia tidak ingin sahabatnya merasa kesepian karena baginya
persahabatan itu bukan hanya dapat dikatakan dimulut saja tetapi
dibuktikan dengan nyata.
UNSUR INSTRINSIK

a. Tokoh

-Shelly

-Yenni

-Nenek

b. Penokohan

-Shelly : Baik, Rajin, Pintar

-Yenni : Baik, Malas

-Nenek: Baik

c. Latar

- Sekolah

- Swalayan

- Rumah Nenek

d. Sudut Pandang

Dalam penulisan cerpen ini penulis menuliskan cerpen dengan


menggunakan sudut pandang orang ketiga karena dalam penulisan cerpen
menceritakan kisah orang lain.

e. Tema

Persahabatan

f. Amanat

Amanat yang di sampaikan dari cerpen di atas adalah kita harus


menyayangi orang lain walaupun kita tidak ada berhubungan darah dan
saling mengerti satu sama lain.

You might also like