You are on page 1of 8

Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Teknik Mesin 2017

Tiga Kata Pertama Judul (Nama Penulis) 1

KARAKTERISASI SERAT BAMBU PETUNG UNTUK BAHAN


KOMPOSIT HIJAU POLIMER EPOKSI

Gunawan Refiadi1, Novan Bayu2, Hermawan Judawisastra3 Mardiyati4


1,2
STKIP Sebelas April Sumedang , 3,4 Institut Teknologi Bandung
g4refiadi@gmail.com

ABSTRACT
Synthetic Fiber Reinforced Polymeric Matrix Composites has been developed. The advantages of PMC
qualities have been also proved for many years. On the other hand, synthetic fiber should be substituted by
natural fiber because it was not decomposed in nature. One of the nature fibers such as Bambu Petung
(Dendrocalamus Asper) was chosen as an alternative for PMC reinforced fiber. These nature fibers for PMC
produce green composites which renewable, healthy, and environmental friendly. Unfortunately, nature fiber
has lack of properties such as hygroscopic. This barrier should be solved through fiber chemical treatments.
This topic is a part of a research on developing green composites: bamboo fiber-reinforced polymers. The
provisional suspicion is that the strength of the fiber-treated composite of alkalization will be higher than the
starting one. The extraction of bamboo slats was produce fiber bundle with ±150m diameter. Tensile of
428,283 MPa, modulus of 13,815 GPa, and 3,1% strain still in accordance with the results of previous research.
Wide variability data still found with Weibull modulus as low as 1,277.

Keywords: petung bamboo, alkalization, green composite

ABSTRAK
Komposit matriks polimer berpenguat serat sintetis telah berhasil dikembangkan dan telah banyak
ditemukan berbagai keunggulannya. Akan tetapi sifat serat sintetis yang tidak dapat terurai di alam menjadi
masalah tersendiri yang memerlukan solusi. Salah satu alternatif bahan alami serat penguat komposit polimer
adalah serat bambu petung (Dendrocalamus Asper). Aplikasi serat ini pada komposit polimer menghasilkan
komposit hijau yang sifatnya ramah lingkungan karena dapat terurai di alam, tidak polutif, dan aman bagi
kesehatan. Diantara kelemahan serat alam adalah sifatnya yang higroskopis. Oleh karena itu perlu ditemukan
solusinya melalui proses perlakuan serat secara kimiawi. Penelitian ini merupakan bagian dari riset komposit
hijau berpenguat serat bambu petung. Dugaan sementara, kekuatan tarik komposit hijau dengan perlakuan alkali
pada serat akan memiliki sifat mekanik lebih baik daripada komposit berpenguat serat bambu tanpa perlakuan
alkali. Ekstraksi bambu petung menghasilkan bundel serat dengan diameter ±150m. Karakterisasi sifat
mekanik serat memberikan kekuatan Tarik  = 428,283 MPa, modulus elastisitas E = 13,815, dan regangan e =
3,1% yang masih berada dalam rentang harga hasil penelitian sebelumnya. Variabilitas data yang lebar
ditunjukkan pula oleh harga modulus Weibull, m = 1,277.

Kata kunci: bambu petung, alkalisasi, komposit hijau

Komposit sintetis dimana matriks dan


PENDAHULUAN
serat penguat berbahan sintetis telah banyak
Komposit adalah material yang dipakai karena unggul dalam hal kekakuan,
dibangun dari dua jenis material berbeda dan massa ringan, dan sifat mekanik tinggi sehingga
sifatnya berbeda dari komponen individu menjadi alternatif pengganti baja. Akan tetapi,
penyusunnya (Fowler, 2006). Material pemakaian material penyusun komposit dengan
penyusun komposit yang utama adalah matriks bahan non-alami seperti matriks sintetis
(logam, keramik, dan polimer) dan penguat (epoksi, polyester, polyurethane, dan
(serat, granular, partikel, dan tenun) (ASM, polypropylene) dan serat sintetis (E-glass, HS
2002). carbon, dan Kevlar) menghasilkan komposit
polimer yang sulit terurai di alam,
2 Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Teknik Mesin 2017

menghasilkan emisi CO2 yang tinggi, dan terganggu. Inilah peluang riset yang perlu
berbahaya bagi kesehatan. Hal ini jelas difokuskan pengerjaannya.
bertentangan dengan konsep Sustainable Sedangkan Pati/starch merupakan salah
Development Goal yang saat ini tengah menjadi satu matriks hayati yang bisa dikonversi dari
fokus global. fermentasi atau teknologi polimer produk hayati
Konsep komposit hijau dapat dijadikan seperti kentang, sawit, jagung, atau bahan alam
solusi untuk masalah di atas. Menurut (Faruk, berbasis protein hewan maupun lignin
2012), (Mitra, 2014), kriteria komposit hijau tumbuhan (Misra, 2011), (Faruk, 2012),
adalah bila salah satu atau dua komponen (Cardona, 2016). Dari sisi proses dan produk,
penyusun komposit (matriks dan serat penguat) PLA (polylactic acid) merupakan polimer alam
harus berbasis hayati: yang paling cocok untuk mengganti polimer
a. Serat penguat alam dengan matriks polimer sintetis/petropolymer karena renewabilitas,
sintetis (polyolefins polyester, epoxy, vinyl biodegradabilitas, biocompatibilitas, sifat
ester, phenolics) thermomekanik yang baik serta harga yang
b. Matriks polimer alam (Polylactic Acid/PLA, relative murah (Armentano:2010)
Polyhydroxy Alkanoat/PHA) berpenguat Review perkembangan signifikan
serat alam (jute, ramie, bambu) komposit hijau yang ramah lingkungan, CO2
c. Matriks polimer alam berpenguat serat netral, dan aman bagi kesehatan telah
sintetis (serat E-glass atau karbon) dipublikasi (Faruk, 2012). Upaya riset komposit
hijau telah ditujukan untuk peningkatan kinerja
Serat penguat alam berbasis lignin mekanik agar material maju ini bisa
seperti bambu, rami, ijuk, dan kelapa telah memperluas kapabilitas dan aplikasinya
terbukti berkontribusi lebih baik terhadap (Pickering, 2016). Komposit hijau telah dipakai
kekuatan komposit hijau (Hojo:2014). Alasan untuk pengepakan, biomedis, sipil, dan
pemilihan serat alam untuk komposit hijau otomotif (Srikanth Pilla, 2011). Perkembangan
adalah: terakhir (Takagi N. K., 2014), menemukan
1. Dampak buruk aplikasi serat alam lebih keunggulan komposit hijau serat bambu yang
kecil daripada dampak serat sintetis kapasitas peredaman getarannya lebih baik
2. Aplikasi serat alam dapat mengurangi daripada komposit polimer sintetis berpenguat
pemakaian matriks sintetis karena untuk serat gelas.
kinerja komposit yang sama diperlukan Serat alam memiliki keunggulan
lebih banyak serat alam daripada serat diantaranya adalah bobotnya yang ringan, non-
sintetis abrasif, mampu-bakar, bebas racun, murah, dan
3. Pada aplikasi otomotif, densitas serat alam mudah terurai di alam. Hal ini menjadikan serat
yang lebih rendah dapat mendukung alam sangat potensial sebagai kandidat material
peningkatan efisiensi BBM Komposit Hijau. Akan tetapi serat alam
4. Emisi CO2 hasil pembakaran komposit memiliki kelemahan. Diantaranya adalah
hijau lebih kecil daripada komposit sintetis mudah menyerap air/hydrophilic karena
merupakan turunan dari lignocelulose, titik
Material penyusun komposit hijau leleh dan adhesi antar muka rendah (Kalia,
adalah serat alam dan matriks hayati. Serat alam 2009).
melimpah ketersediaannya, non abrasif, dan Bambu Petung (Dendrocalamus asper),
renewable. Akan tetapi material ini masih bambu Ampel (Bambusa vulgaris var.
memiliki kelemahan daripada bahan sintetis, vitata), dan bambu Kuning (Bambusa vulgaris
diantaranya mudah menyerap air sehingga var. striata) merupakan tiga spesies bambu
integrasi serat-matriks komposit hijau menjadi yang paling banyak tersebar di Indonesia.
Dendrocalamus asper di Indonesia dikenal
Tiga Kata Pertama Judul (Nama Penulis) 3

dengan nama Bambu Petung. Bambu jenis ini serat dan belum mengarah pada pembuatan
mempuyai rumpun agak rapat, dapat tumbuh di komposit hijau.
dataran rendah sampai pegunungan dengan Hasil penelitian komposit hijau
ketinggian 2000 m di atas permukaan air laut. (Rosadi:2014) berpenguat serat bambu petung
Pertumbuhan Bambu Petung cukup baik telah dicapai pada 24 % fraksi volume serat dan
khususnya untuk daerah yang tidak terlalu memberikan kekuatan tarik 95 MPa pada arah
kering. Batang Bambu Petung berwarna hijau longitudinal serta modulus elastisitas 8 GPa,
kekuningkuningan dengan ciri-ciri terdapat dan regangan 4%. Pencapaian ini merupakan
serbuk-serbuk halus berwarna putih kusam di hasil proses Hand Lay-up. Rosadi menyarankan
permukaannya. Bambu Petung dapat mencapai penggunaaan metoda VARI (vacuum assisted
tinggi rata-rata 10-14 m, panjang ruas berkisar resin infusion) untuk memperoleh fraksi
antara 40–60 cm, diameter 6–15 cm, dan tebal volume serat yang lebih tinggi. Sebelumnya,
dinding 10-15 mm. Karena dimensinya yang optimasi komposit polyester berpenguat serat
relatif lebih besar dibanding bambu lainnya di E-glass dengan sistem VARI telah dilakukan
Indonesia, Bambu Petung sudah sejak lama (Gunawan:2013) dan memberikan tingkat fraksi
dipilih sebagai material konstruksi oleh volume serat lebih baik daripada Hand Lay-up
masyarakat di Indonesia (Kehutanan:2007). berdasarkan hasil statistik menggunakan
Penelitian terhadap empat jenis bambu metoda Taguchi. Penelitian komposit hijau
Apus (Gigantochloa apus), Petung Rosadi dan komposit sintetis Gunawan masih
(Dendrocalamus asper), Mayan (Gigantochloa menggunakan matriks polimer polyester dan
robusta) and Sembilang (Dendrocalamus belum menggunakan epoksi sebagai matriks
giganteus telah dilakukan (Sugesty :2014) akan kompositnya.
tetapi penelitian ini dimaksudkan untuk Penelitian komposit hijau berpenguat
memperoleh pulp yang tinggi untuk aplikasi serat bambu dan matriks epoksi telah dilakukan
pembuatan kertas. (Cruz:2015) bahkan telah diaplikasikan untuk
rompi anti peluru. Cruz telah membuktikan
Penelitian karakterisasi FTIR (fourier
bahwa serat bambu cukup efisien, ringan, dan
transformation infra-red) serat bambu petung lebih ekonomis untuk aplikasi anti peluru
(Ardiantoro:2014) membuktikan bahwa tingkat dibandingkan dengan serat aramid. Modifikasi
selulosa pada batang bambu di bagian atas lebih serat bambu untuk komposit epoksi telah
rendah daripada tingkat selulosa di bagian dilakukan pula (Ting Ju:2013) dan
bawah batang bambu. Hal ini sesuai dengan membuktikan peningkatan kekuatan tarik dan
sifat intrinsik pertumbuhan bambu yang berpola elongasi yang signifikan pada komposit yang
akropetal yaitu kecepatan pertumbuhan batang dihasilkan. Ting Ju tidak menyebutkan jenis
bambu yang digunakan. Sementara itu
bambu bagian bawah lebih tinggi dibanding
(Vuure:2010) telah menyatakan bahwa matriks
batang bambu bagian atasnya epoksi memiliki tingkat pembasahan
(Purnobasuki:1995). Konsekwensi dari hal ini serat/wetting dan tingkat adhesi terhadap serat
maka bagian batang bambu bagian bawah akan bambu Guadua Angustifolia yang direfleksikan
memiliki kandungan selulosa yang lebih tinggi dalam dua kondisi; pertama 95% transfer
(Kalia:2011). Tingkat selulosa yang tinggi ini modulus serat longitudinal terhadap modulus
komposit bending longitudinal. Kedua, 80%
mengakibatkan peningkatan kristalinitas serat
transfer modulus serat longitudinal terhadap
dan sebagai akibatnya diperoleh pula kekuatan komposit longitudinal.
peningkatkan kekuatan dan kekakuan serat Dari studi literatur tersebut, maka
hayati (Mohanty:2005). Ardiantoro telah penelitian ini ditujukan untuk membuat
memfokuskan penelitian pada karakteristik komposit hijau berpenguat serat bambu dengan
serat bambu petung berdasarkan posisi menggunakan polimer epoksi. Adapun
ketinggian dan kedalaman bilah bambu akan aplikasinya masih terbatas pada pembebanan
statis sebagai fungsi dari pengaruh kelembaban.
tetapi belum melakukan pengukuran densitas
4 Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Teknik Mesin 2017

Dalam makalah ini pembahasan masih terbatas


pada karakterisasi sifat Tarik serat bambu
petung mengingat proses pembuatan komposit
masih dalam tahap pengumpulan data

METODE
Pada penelitian ini pengumpulan data
dilakukan dengan metode eksperimental.
Kemudian analisis kajian data dilaksanakan
berdasarkan literatur yang telah ada untuk
memperkuat pengambilan kesimpulan.
Resin Epoksi disuplai dari Barkelit
Korea-16F111 dengan Hardener dari
Gambar 2. Proses Alkalisasi menggunakan celupan
Bratachem. Densitas epoksi dan hardener sesuai
larutan NaOH 20% v/v selama 60 menit – T 27oC
sertifikat analisa adalah 1,17 gr/cm3 dan 0,920
gr/cm3. Setelah itu bambu dicuci menggunakan
Bambu petung diperoleh dari Balai HCl 2%v/v dan aqua dm. Proses selanjutnya
Penelitian Bambu Bandung. Usia bambu dipilih bambu hasil alkalisasi dikeringkan di dalam
yang telah berumur dua tahun dan dipotong dari tungku muffle pada temperatur 105oC selama 1
jam. Kemudian bambu diproses lanjut secara
bagian bawah batangnya (gambar-1).
mekanik/rolling mengunakan menggunakan
mesin softening (gambar-3). Kemudian pada
serat hasil softening dilakukan proses combing
menggunakan sikat kawat untuk memperoleh
serat yang diinginkan.

Gambar 1. Bagian bawah batang bambu petung yang


sedang dibuat bilah untuk diekstraksi menjadi serat
bambu petung

Bambu dipotong pada bagian ruasnya Gambar 3. Proses softening untuk menghasilkan
tanpa mengikutsertakan bukunya kemudian serat bambu
dibuat bilah berukuran 35 x 5 x 0,5 cm. Bilah
diekstraksi menggunakan metoda kimia- Pengukuran densitas serat (SNI 0264 :
mekanik, yaitu melalui proses alkalisasi NaOH 2015) dilakukan untuk mengetahui sifat fisik
20%v/v dengan perendaman selama 1 jam pada komposit dan agar dapat menentukan berat serat
temperatur kamar (gambar-2). sesuai besaran fraksi volume serat yang
ditargetkan. Specimen disiapkan seperti
gambar-4.
Tiga Kata Pertama Judul (Nama Penulis) 5

Favigraph (gambar-6a) dengan mengacu pada


standar ASTM D3822/ D3822-14. Dari hasil
kekuatan serat yang diperoleh kemudian
ditentukan variabilitas datanya dengan cara
menghitung harga modulus Weibull, m-nya.
Dari harga m ini akan bisa ditentukan besarnya
harga kekuatan Tarik spesifik dari serat bambu
petung, o.

Gambar 4. Preparasi serat bambu hasil proses


chemo-mechanical untuk pengujian densitas dan
pengujian sifat mekanik.

Pengukuran diameter serat dilakukan


menggunakan mikroskop optik dan Scanning
Electron Microscope (SEM) di Lab. Metalurgi
(a) (b)
ITB dan di Lab.Kimia Balai Besar Tekstil
Gambar-6a.) Mesin uji tarik serat textexno
Bandung (BBT). Serat hasil ekstraksi diukur
Favigraph dan 6b.) Alat Scanning Electron
diameternya di bawah mikroskop optik Microscope
(gambar-5). Pengukuran diameter serat ini akan
digunakan untuk menghitung kekuatan Tarik Pengamatan daerah patahan spesimen
serat bambu petung. Karena hasil pengujian serat bambu dilakukan melalui analisis
mekanik serat dari mesin Textechno Favigraph morfologi patahan serat setelah hasil
hanya memberikan data kekuatan Tarik serat pemotretan dengan menggunakan SEM
per helai bukan kekuatan Tarik per satuan luas (gambar-6b).
penampang serat sehingga tidak dapat dipakai
untuk menghitung besarnya modulus elastisitas
serat. HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini memperoleh harga
pengukuran diameter serat bambu petung
dibawah mikroskop optik, hasil pengamatan
morfologi serat pada saat sebelum dan setelah
pengujian sifat mekanik, serta pengukuran
diameter menggunakan bantuan SEM.
adalah sebesar 10~13 m (gambar-6).
Sedangkan Ting Ju menyebutkan ukuran rata-
rata diameter sel serat (ultimate fiber) bambu
yang ditelitinya adalah 8 m. Kemungkinan
perbedaan ukuran diameter serat ini bisa
disebabkan jenis bambu yang berbeda,
Gambar 5. Pengukuran diameter serat di bawah
mikroskop optik perbedaan teknik preparasi serat serta teknik
pengambilan data.
Pengujian sifat mekanik serat dilakukan
di BBT menggunakan mesin Textechno
6 Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Teknik Mesin 2017

modulus, dan elongasi yang dihasilkan


sebelumnya. Hal ini berarti sifat mekanik serat
bambu petung hasil penelitian ini bisa
dikatakan valid.
Dari tabel-1 tampak harga modulus
elastisitas serat bambu petung yang dihasilkan
dari penelitian ini, E(2) ada pada batas atas harga
E(1). Hal ini bisa difahami karena kekuatan
Tarik,  yang diperoleh lebih besar sedangkan
harga strain, e nya lebih kecil sehingga harga E
(dimana, E =  /e) menjadi lebih besar.
Gambar 6. Penampang melintang serat bambu Selanjutnya dari hasil pengujian sifat
petung menunjukkan ultimate fiber (10~13 m) dan mekanik serat, diameter serat dengan bantuan
fiber bundle (156,400 m)
kurva distribusi Weibull (Gambar-7) diperoleh
Pada gambar-6 tampak permukaan sel harga modulus Weibull, m = 1,2744 dan harga
serat masih berada di dalam balutan selulosa o =566,220. Kurva distribusi Weibull dibentuk
amorf. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan oleh absis, y = ln(ln(1/S) dan ordinat x = ln .
Ting Ju. Selulosa amorf dapat menutupi Dimana S = 1 – F; dan F adalah probabilitas
kumpulan sel serat (fiber bundle) sehingga kegagalan serat yang didapat dari rumus (1) :
ukuran diameter fiber bundle bisa mencapai 10
x lebih besar ukuran sel serat bambu. Pada F = i / (n + 1) .... (1)
gambar-6 dapat dilihat ukuran bundel serat ±
150 m sedangkan sel serat hanya ± 10 m. Dimana :
Dari sini bisa disimpulkan bahwa serat yang i = nomor urutan data ascending
dihasilkan pada penelitian ini adalah bundel n = jumlah data
serat dan bukan sel serat/serat tunggal.
Pada tabel-1 dapat dilihat perbandingan Lebih jauh tentang distribusi Weibull
hasil pengujian sifat mekanik serat bambu silahkan lihat referensi (Trujillo:2012) dan
petung. (Weibull:1951).

Tabel 1. Perbandingan data densitas dan kekuatan


Tarik serat bambu petung
No. Th   E  e
Riset g.mm-3 [MPa] [GPa] [MPa [%]
]
1. 2014 - 310±208 7,9±5,7 397,5 4,1±1,2
2. 2017 1,395 428.283 13.815 566,2 3,1

Penelitian ini mengambil serat bambu


dari bagian bawah batang bambu petung. Hal
ini merujuk pada hasil penelitian sebelumnya Gambar-7 Distribusi Weibull untuk analisis
(Ardiantoro:2014) seperti tampak di baris (1) variabilitas data sifat mekanik serat alam
tabel-1.
Dari tabel-1 baris (2) tampak data hasil Harga o diperoleh dari persamaan
kekuatan Tarik,  = 428,283 MPa, modulus berikut (2) dan (3):
elastisitas, E = 13,815, dan elongasi 3,1% yang
diperoleh dari hasil penelitian ini masih berada C = - m ln  
di dalam rentang kekuatan Tarik, harga
Tiga Kata Pertama Judul (Nama Penulis) 7

  dimiliki oleh bundel serat sehingga sifat serat


atau  semakin tidak homogen (Wang:2012).
  Hasil pengamatan morfologi patahan sel
 serat setelah pelaksanaan uji mekanik
o =expC/m)
diperlihatkan pada gambar-8.

Dimana:
m = modulus Weibull serat atau gradient SIMPULAN
persamaan linear kurva distribusi Karakterisasi serat bambu petung telah
Weibull berhasil dilakukan dengan memberikan sifat
C = konstanta linear persamaan garis fisik berupa densitas serat,  = 1,395 kg/cm3.
kurva distribusi Weibull Karakterisasi sifat mekanik serat bambu petung
o = kekuatan karakteristik serat memberikan kesesuaian dengan penelitian
sebelumnya yaitu bahwa karakteristik mekanik
Nilai o adalah parameter skala atau serat bambu petung memiliki harga paling baik
kekuatan karakteristik yang menandakan di bagian bawah batang. Hal ini dibuktikan
kekuatan retak (fracture stress) dari serat dengan harga kekuatan Tarik serat  = 428,283
dimana kegagalan mulai terjadi. Sedangkan MPa, modulus elastisitas E = 13,815, dan
harga m merupakan parameter bentuk yang regangan e = 3,1%.
menyatakan luasnya sebaran data (Trujillo Hasil pengujian sifat mekanik serat
:2012). bambu petung menunjukan luasnya variabilitas
Aplikasi distribusi Weibull digunakan data yang dibuktikan dengan harga modulus
untuk menyatakan kekuatan serat hayati seperti Weilbull yang rendah (m = 1,2744) sedangkan
flax, jute, dan bambu yang tergolong pada harga kekuatan karakteristiknya lebih besar dari
material getas. kekuatan Tarik hasil pengujian ( o =566,220
Berdasarkan literatur jurnal (Nele
terhadap  = 428,283 MPa).
2010:588) harga modulus Weibull, m yang
rendah menunjukkan variasi data yang lebar.
Semakin besar harga m maka sebaran data DAFTAR RUJUKAN
semakin kecil. Untuk serat alam harga m Ardiantoro, (2014). Karakteristik Sifat Tarik
berkisar antara 1 s/d 5 dan untuk serat sintetis Serat Bambu Petung (Dendrocalamus
harga m ada pada kisaran antara 5 s/d 15. Dapat Asper). Tugas Akhir Teknik Material-ITB
difahami mengapa harga m untuk serat alam Armentano, et.al., (2010). Biodegradable
lebih kecil daripada serat sintetis. polymer matrix nanocomposites for tissue
engineering. Polymer degradation and
Harga m yang rendah ini dikarenakan
stability 95(11) (pp. 2126-2146).
serat bambu hasil ekstraksi kimia mekanik yang ASM. (2002). Introduction to Composites. In
dilakukan pada penelitian ini berupa bundel D. Miracle, ASM Hanbook Vol. 21
serat (fiber bundle). Bundel serat cenderung Composites (pp. 39- 68). New York:
lebih banyak memiliki cacat permukaan yang ASM International.
ditunjukkan oleh besarnya variasi diameter Cardona, D. F. (2016, April 23). Development
serat. Disamping itu, diameter bundel serat of bio-resins and bio-composites for
engineering applications. Retrieved from
memiliki ukuran minimal 10 kali lebih besar
Research-programs/biomass-
daripada serat tunggal (ultimate fiber). Kondisi composites/biomass-compositesbio-
diameter serat yang besar disertai dengan resins: http://www.usq.edu.au
adanya tingkat diskontinuitas pada serat Cruz, J. M. (2015). Giant Bamboo Fiber
tunggal, lignin, serta pectin penyusun serat Reinforced Epoxy Composite in
mengakibatkan tingginya tingkat cacat yang
8 Seminar Nasional Jurusan Pendidikan Teknik Mesin 2017

Multilayered Ballistic Armor. Materials and their mechanical performance.


Research. 2015; 18(Suppl 2), 70-75. Composites Part A: Applied Science and
Dinas Kehutanan. (2007). Indonesia Bamboo Manufacturing, 86, 98-112.
Species. Bogor, Indonesia Rosadi, M.S., (2014). Kajian Sifat Serap Air
Fowler, J. M. (2006). Review Biocomposites: Dan Sifat Tarik Komposit
technology, environmental credentials Poliester Berpenguat Serat Bambu
and market forces. J Sci Food Agric, 86, Petung. Tesis Teknik Mesin ITB
1781–1789. Srikanth Pilla. (2011). Handbook of Bioplastics
Faruk, A. K.-P. (2012). Biocomposites and Biocomposites Engineering
reinforced with natural fibers: 2000– Applications. New Jersey: John Willey &
2010. Progress in Polymer Science, Son
37(11), 1552-1596 Sugesty (2014). Bamboo as raw materials for
Gunawan Refiadi, Hermawan Judawisastra, & dissolving pulp with environmental
Rochim Suratman. (2013). Optimasi friendly technology for rayon fiber. 3rd
Produk Komposit Polimer Vacuum International Seminar on Chemistry,
Assisted Resin Infusion (VARI) Department of Chemistry, Faculty of
menggunakan Metoda Taguchi. Jurnal Mathematics and Natural Sciences,
Teknologi Bahan dan Barang Teknik, Padjadjaran University (pp. 194- 199).
Kemenperin RI, 3(2), 69-76. Bandung: Procedia Chemistry 17, 2015.
Hojo, Z. X. (2014). Tensile Properties of Takagi, I. (2004). Effect of Fiber Length on
Bamboo, Jute and Kenaf Mat-Reinforced Mechanical Properties of "Green"
Composite. 11th Eco-Energy and Composites Using a Starch-Based Resin
Material Science Engineering (pp. 72- and Short Bamboo Fibers. JSME
279). Phuket, Thailand: Energy Procedia, International Journal Series A Solid
9 Mechanics and Material Engineering
Kalia, Susheel, et.al. (2011). Cellulose Fibers: Series A, Green Composite, 47(4), 551-
Bio- and Nano-Polymer Composites. 555
New York: Springer Ting Ju, et. al., (2013). Effect of surface
Mohanty, Amar K., et.al. (2005). Natural modification of bamboo cellulose fibers
Fibers, Biopolymers, and Biocomposites. on mechanical properties of
United States of America: Taylor & cellulose/epoxy composites Composites
Francais Part B, 51, pp. 28–34
Misra, N. R. (2011). Bioplastics And Green Vuure, et. al., (2010). Long Bamboo Fibre
Composites From Renewable Composites. 18th International
Resources: Where We Are And Future Conference On Composite Materials.
Directions. 18th International Sept. 2010
Conference On Composite Materials Wang, et al. 2012. Tensile Properties Of
(pp. 1-5). Jeju Island, Korea: Elsevier. Bamboo Units In Different Sizes. 55th
Nele D., et al. (2010). Assessment of the tensile International Convention of Society of
properties of coir, bamboo and jute fibre. Wood Science and Technology: China.
Composites Part A, 41, pp. 588–595 Weibull W. 1951. A statistical distribution
Purnobasuki, Hery (1995) Perkembangan function of wide application. J Appl
Batang Bambu Ampel. Bandung: ITB Mech, 18, pp. 293–293
Pickering, M. A. (2016). A review of recent
developments in natural fibre composites

You might also like