You are on page 1of 10

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang
spontan dan tidak diperkirakan. Serangan panik adalah periode kecemasan atau
ketakutan yang kuat dan relatif singkat (biasanya kurang dari satu tahun), yang
disertai oleh gejala somatik tertentu seperti palpitasi dan takipnoe. Gangguan
panik sering kali disertai dengan agorafobia, yaitu ketakutan berada sendirian di
tempat-tempat publik (sebagai contoh, supermarket), khususnya tempat dari mana
pintu keluar yang cepat akan sulit jika orang mengalami serangan panik. Di
Amerika Serikat, sebagian besar peneliti di bidang gangguan panik percaya bahwa
agorafobia hampir selalu berkembang sebagai suatu komplikasi pada pasien yang
memiliki gangguan panik.1
Istilah agorafobia pertama kali dipakai tahun 1871 untuk menggambarkan
kondisi pasien yang takut pergi ketempat-tempat umum sendirian. Kata ini
didapatkan dari bahasa Mesir agora dan phobos dan berarti ketakutan akan
tempat jualan. Prevalensi hidup gangguan panik kira-kira 1-4% populasi,
sedangkan serangan panik sekitar 3-6%. Wanita 2-3 kali lebih banyak menderita
gangguan ini dibanding laki-laki. Prevalensi agorafobia kira-kira 2-6%.2
Prevalensi seumur hidup agorafobia telah dilaporkan dengan rentang antara yang
terendah 0,6 % sampai tertinggi 6 %. Walaupun penelitian tentang agorafobia
pada lingkungan psikiatrik telah dilaporkan sekurangnya terdapat tiga perempat
pasien yang terkena juga menderita gangguan panik, penelitian agorafobia pada
sampel masyarakat telah menemukan bahwa sebanyak separuh pasien menderita
agorafobia tanpa gangguan panik. Pada banyak kasus onset agorafobia terjadi
mengikuti suatu peristiwa traumatik.1

1.2 Tujuan Penulisan


Tujuan dari pembuatan paper ini adalah untuk menguraikan teori-teori
mengenai agorafobia, dimulai dari pembahasan definisi, etiologi, diagnosis, dan
penatalaksanaannya. Penyusunan paper ini sekaligus untuk memenuhi persyaratan
2

kegiatan Program Pendidikan Profesi Dokter (P3D) di Departemen Psikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

1.3 Manfaat Penulisan


Paper ini diharapkan dapat mengembangkan kemampuan penulis maupun
pembaca khususnya peserta P3D untuk lebih memahami tentang berbagai
penyakit psikiatri yang umum terjadi , dan mampu melaksanakan diagnosis dan
pengobatan yang tepat terhadap penyakit tersebut sesuai dengan Standar
Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI).
3

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agorafobia
2.1.1 Definisi
Agorafobia merupakan jenis fobia yang menyebabkan ketidakmampuan
berat bagi pasien karena membuat seseorang tidak mampu berfungsi dengan baik
ditempat kerja maupun dilingkungan sosial di luar rumah. Di Amerika Serikat
sebagian besar peneliti percaya bahwa agorafobia hampir selalu terjadi akibat
komplikasi pada pasien dengan gangguan panik. Tetapi sebagian peneliti lain
kurang setuju karena agorafobia bisa juga tanpa riwayat gangguan panik.
Serangan panik bisa juga ditemukan pada gangguan mental lain (seperti gangguan
depresi dan kondisi medik tertentu seperti, gangguan putus zat atau keracunan).1,3

2.1.2 Etiologi1,4
Penelitian tentang dasar biologis untuk gangguan panik telah
menghasilkan berbagai temuan, antara lain sebagai berikut.
1. Faktor Biologik
a. Kelainan biologis di dalam struktur otak dan fungsi otak, sistem saraf otonomik
pada beberapa pasien gangguan panik telah dilaporkan menunjukkan
peningkatan tonus simpatetik, beradaptasi secara lambat terhadap stimuli yang
berulang, dan berespons secara berlebihan terhadap stimuli yang sedang.
Penelitian status neuroendokrin pasien dengan gangguan panik telah
melaporkan adanya beberapa kelainan. Sistem neurotransmiter utama yang
terlibat adalah norepinefrin, serotonin, dan gamma-amino-butyric acid
(GABA). Keseluruhan data biologis telah menyebabkan suatu perhatian kepada
batang otak (khususnya neuron noradrenergik di lokus sereleus dan neuron
serotonergik di nukleus raphe medialis), sistem limbik (kemungkinan
bertanggung jawab untuk terjadinya kecemasan yang terjadi lebih dahulu), dan
korteks prafrontalis (kemungkinan bertanggung jawab untuk terjadinya
penghindaran fobik).
4

b. Zat penyebab panik (panic-inducing substance) adalah zat yang menyebabkan


serangan panik pada sebagian besar pasien dengan gangguan panik pada
bagian lebih kecil orang tanpa gangguan panik atau riwayat serangan panik.
Zat tersebut adalah karbon dioksida (campuran 5 sampai 35 persen), natrium
laktat, dan bikarbonat. Zat penyebab panik neurokimiawi yang bekerja melalui
sistem neurotransmitter spesifik, adalah yohimbin (Yocon), suatu antagonis
reseptor adrenergik-alfa2, fenfluramin (Pondimin), suatu obat pelepas
serotonin; suatu obat dengan efek serotonergik multipel; obat beta-carboline;
agonis pembalik reseptor GABAB; flumazenil; suatu antagonis reseptor
GABAB, kolesistokinin; dan kafein. Isoproterenol (Isuprel) juga merupakan zat
penyebab panik, walaupun mekanisme kerjanya dalam menyebabkan serangan
panik adalah belum dipahami..
c. Pencitraan otak, satu penelitian MRI melaporkan kelainan, khususnya atrofi
kortikal, di lobus temporalis kanan pasien dengan gangguan panik, penelitian
pencitraan otak fungsional sebagai contoh, tomografi emisi positron (PET;
positron emission tomography) telah menunjukkan suatu disregulasi aliran
darah serebral. Secara spesifik, gangguan kecemasan dan serangan panik
adalah disertai dengan vasokonstriksi serebral, yang dapat menyebabkan gejala
sistem saraf perifer yang mungkin diakibatkan oleh hiperventilasi dan
hipokapnia.
d. Prolapsus katup mitralis, penelitian riset telah menemukan bahwa prevalensi
gangguan panik pada pasien dengan prolapsus katup mitralis adalah tidak
berbeda dari prevalensi gangguan panik pada pasien tanpa prolapsus katup
mitralis.
2. Faktor Genetika
Berbagai penelitian telah menemukan adanya peningkatan risiko gangguan
panik sebesar empat sampai delapan kali lipat pada sanak saudara derajat pertama
dari pasien dengan gangguan psikiatrik lainnya.
3. Faktor Psikososial
Baik teori kognitif-perilaku dan psikoanalitik telah dikembangkan untuk
menjelaskan patogenesis gangguan panik dan agorafobia.
5

a. Teori kognitif perilaku, menyatakan bahwa kecemasan adalah suatu respons


yang dipelajari baik dari perilaku modeling orang tua atau melalui proses
pembiasaan klasik.
b. Teori psikoanalitik, memandang serangan panik sebagai akibat dari pertahanan
yang tidak berhasil dalam melawan impuls yang menyebabkan kecemasan
2.1.3 Diagnosis dan Kriteria Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan wawancaraa psikiatrik, yang meliputi hal-
hal seperti keluhan-keluhan, sejarah pasien dan keluarga yang lengkap, termasuk
annggota keluarga dengan fobia. Tabel 1 menuliskan kriteria untuk agorafobia.
Tabel 2.1 Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Panik dengan Agorafobia1
A. Baik (1) dan (2):
(1) serangan paniik rekuren yang tidak diharapkan
(2) sekurangnya satu serangan telah diikuti oleh sekurangnya 1 bulan (atau
lebih) berikut ini:
(a) kekhawatiran yang menetap akan mengalami serangan tambahan
(b) ketakutan tentang arti serangan atau akibatnya (misalnya, kehilangan,
kendali, menderita serangan jantung, “menjadi gila”)
(c) perubahan perilaku bermakna berhubungan dengan serangan
B Terdapat agorafobia
C Serangan panik bukan karena efek fisiologis langsung dari zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum
(misalnya, hipertiroidisme).
D Serangan panik tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain,
seperti fobia sosial (misalnya, terjadi saat mengalami situasi sosial yang
ditakuti), fobia spesifik (misalnya, mengalami situasi fobik tertentu),
ganguan obsesif-kompulsif (misalnya, terpapar kotoran pada seseorang
dengan obsesi tentang kontaminasi), gangguan stres pascatraumatik
(misalnya, sebagai respons terhadap stimuli yang berhubungan dengan
stresor parah, atau gangguan cemas perpisahan (misalnya, sebagai respon
jauh dari rumah atau sanak saudara dekat).
6

Tabel 2.2 Kriteria Diagnostik untuk Agorafobia tanpa Riwayat Gangguan Panik1
A. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala mirip
panik (misalnya, pusing atau diare)
B. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk gangguan panik
C Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum
D Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan, rasa takut
yang dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang biasanya
berhubungan dengan kondisi

Diagnosis agorafobia menurut DSM IV adalah:2,5,6


a. Cemas berlebihan apabila berada ditempat-tempat atau situasi-situasi yang
sangat sulit untuk menyelamatkan diri (atau akan mengalami rasa malu hebat)
atau pertolongan mungkin tidak bisa didapatkan dalam keadaan yang tidak
diharapkan atau situasi yang menjadi prediposisi serangan panik atau gejala-
gejala menyerupai panik. Ketakutan pada agorafobia ciri khasnya adalah takut
pada situasi-situasi terbuka (misal: diluar rumah sendirian, berada dalam
kemaraian atau berdiri dalam keramaian atau berdiri dalam satu antrian, berada
di atas jembatan, dalam perjalanan dengan bus, kereta api atau mobil).
b. Situasi-situasi tersebut akan dihindari (membatasi perjalanan) atau bila
dikerjakan akan ditandai dengan adanya distress atau kecemasan akan
kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau gejala-gejala menyerupai
panik, atau kecemasan akan kemungkinan terjadinya satu serangan panik atau
gejala-gejala menyerupai panik, atau gejala-gejala menyerupai panik, atau
sering minta ditemani kalau keluar rumah.
c. Kecemasannya atau penghindaran terhadap situasi yang ditakuti (fobia) tidak
bisa digolongkan kedalam gangguan mental lainnya.
DSM-IV tidak menentukan jumlah serangan panik minimal atau suatu
kerangka waktu tetapi mengharuskan adanya sekurangnya satu serangan yang
diikuti oleh periode keprihatinan selama sekurangnya satu bulan tentang
mengalami serangan panik lain atau tentang akibat serangan atau suatu perubahan
bermakna dalam perilaku. DSM-IV juga mengharuskan bahwa serangan panik
7

biasanya tidak diperkirakan tetapi memungkinkan perkiraan atau serangan yang


1,7
dipredisposisikan secara situasional.
2.1.4 Gambaran Klinik
Pasien agorafobia secara kaku menghindari situasi di mana akan sulit
untuk mendapatkan bantuan. Mereka lebih suka disertai oleh seorang teman atau
anggota keluarga di tempat-tempat tertentu seperti jalanan yang sibuk, toko yang
padat, ruang yang tertutup (seperti di terowongan, jembatan, dan elevator), dan
kendaraan tertutup (seperti kereta, bawah tanah, bus, dan pesawat udara). Pasien
mungkin memaksa bahwa mereka harus ditemani tiap kali mereka keluar rumah.
Perilaku tersebut dapat menyebabkan pertengkaran dalam perkawinan, yang dapat
keliru didiagnosis sebagai masalah primer. Pasien yang menderita secara parah
mungkin semata-mata menolak keluar dari rumah . Khususnya sebelum diagnosis
yang benar dibuat, pasien mungkin ketakutan bahwa mereka akan gila.1
2.1.5 Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk agorafobia tanpa suatu riwayat gangguan panik
adalah semua gangguan medis yang dapat menyebabkan kecemasan atau depresi.
Diagnosis banding psikiatrik adalah gangguan depresif berat, skizofrenia,
gangguan kepribadian paranoid, gangguan kepribadian menghindar, dan
gangguan kepribadian dependen.1
2.1.6 Perjalanan Penyakit dan Prognosis
Sebagian besar kasus agorafobia diperkirakan disebabkan oleh gangguan
panik. Jika gangguan panik diobati, agorafobia sering kali membaik dengan
berjalannya waktu. Untuk mendapatkan reduksi agorafobia yang cepat dan
lengkap, terapi perilaku kadang diperlukan. Agorafobia tanpa riwayat gangguan
panik sering kali menyebabkan ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif
dan ketergantungan alkohol sering kali mengkomplikasi perjalanan agorafobia.1
2.1.7 Penatalaksanaan1,2
I. Non Psikofarmalogik
1. Terapi Kognitif-Perilaku
2. Terapi Keluarga
3. Psikoterapi Berorientasi Insight (Tilikan)
4. Psikoterapi Kombinasi
8

II. Psikofarmakologik
1. Obat trisiklik dan tetrasiklik, data yang plaing kuat menyatakan bahwa
clomipramine dan imipramine efektif untuk pengobatan gangguan panik.
2. Inhibitor Monoamin Oksidase (MAOIs; monoamine oxidase inhibitors),
sebagian besar penelitian telah menggunakan phelzine (Nardil), walaupun
beberapa penelitian telah menggunakantranylcypromine (Parnate). Beberapa
penelitian telah menyatakan bahwa MAOIs adalah lebih efektif
dibandingkan obat trisiklik.
3. Inhibitor ambilan kembali spesifik serotonin (SSRIs; serotonin-specific
reuptake inhibitors), penelitian terkontrol baik dengan fluvoxamine.
4. Benzodiazepine, pemakaian benzodiazepine dalam pengobatan gangguan
panik adalah terbatas karena permasalahan tentang ketergantungan,
gangguan kognitif, dan penyalahgunaan.
9

BAB III
PENUTUP

Agorafobia merupakan jenis fobia yang menyebabkan ketidakmampuan


berat bagi pasien karena membuat seseorang tidak mampu berfungsi dengan baik
ditempat kerja maupun dilingkungan sosial di luar rumah. Pasien agorafobia
secara kaku menghindari situasi di mana akan sulit untuk mendapatkan bantuan.
Mereka lebih suka disertai oleh seorang teman atau anggota keluarga di tempat-
tempat tertentu seperti jalanan yang sibuk, toko yang padat, ruang yang tertutup
(seperti di terowongan, jembatan, dan elevator), dan kendaraan tertutup (seperti
kereta, bawah tanah, bus, dan pesawat udara). Sebagian besar kasus agorafobia
diperkirakan disebabkan oleh gangguan panik. Jika gangguan panik diobati,
agorafobia sering kali membaik dengan berjalannya waktu.
10

DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock BJ; Sadock, VA: Gangguan Panik dan Agorafobia di Dalam: Kaplan
HI, Saddock BJ & Grab JA. Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku
dan Psikiatri Klinis, Jilid II. Tangerang: Binarupa Aksara; 2010.32-42.
2. Yaunin Y. Gangguan Panik dengan Agorafobia. Majalah Kedokteran
Andalas. 2012: 2(36). 235-239.
3. Hara et al. The development of agoraphobia is associated with the symptoms
and location of a patients first panic attack. BioPsycho Social Medicine
2012, 6:12.
4. Hazlett-Steven H. Agoraphobia, in J.E. Fisher &W.T.Odonohue (Eds).
Practitioner’s guide to evidence –based psycotherapy. New York: Springer.
5. Elvira SD, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Edisi 2. 2010. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 268-269.
6. American Psychiatriic Association. Diagnostic and statistical manual of
mental disorders: DSM-IV (4th.ed). Washington, DC: Author.
7. Schimidt NB, Norr AM, and Korte KJ. Panic Disorder and Agoraphobia:
Considerations for DSM-V. Department of Psychology, Florida State
University. 2013.

You might also like