You are on page 1of 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hematologi adalah ilmu yang mempelajari tentang darah serta jaringan
yang membentuk darah. Darah merupakan bagian penting dari sistem transport.
Darah merupakan jaringan yang berbentuk cairan yang terdiri dari 2 bagian besar
yaitu plasma darah dan bagian korpuskuli. Sel-sel yang beredar dalam darah
terdiri dan sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan sel trombosit
(sesungguhnya berupa fragmen-fragmen sel). Sel darah putih (leukosit) terdiri dari
seri granulosit (eosinofil, basofil, neutrofil), seri limfosit (limfosit-T, limfositB, sel
Natural Killer, sel-sel stem/batang), serta monosit.
Anemia telah menjadi salah satu masalah kesehatan utama yang dihadapi
saat ini, terutama pada negara-negara berkembang. Secara global anemia terjadi
pada 24,8% dari populasi dunia yaitu sekitar 1.62 juta orang. Tingginya
angka kejadian anemia ini mengindikasikan status nutrisi dan kesehatan
masyarakat yang masih buruk. Anemia dapat terjadi pada semua kelompok
usia namun paling sering ditemui pada anak-anak dan ibu hamil (WHO,
2008).
Ada beberapa perbedaan mengenai darah antara anak-anak dan orang
dewasa, antara lain dalam hal: jumlah normal, penyebab anemia, insidensi dan
tipe keganasan, masalah-masalah karena kelahiran/prematuritas, kelainan-kelainan
kongenital (thalasemia, sindroma anemia Fanconi, dan lain-lain).
Pada anak-anak, kadar Hemoglobin (Hb) normal saat lahir sekitar 12-
20g/dl, sedangkan eritrositnya berupa makrositik, dan Hbnya juga masih
mengandung HbF. Pada usia 2-3 bulan, Hb terendah adalah 9 g/dl dan sampai usia
14 tahun akan meningkat secara pelan-pelan, dimana pada laki-laki akan menjadi
13-17 g/dl dan perempuan sekitar 12-18 g/dl. WHO telah menyederhanakan
kriteria untuk anemia, dimana usia 6 bulan- 6 tahun adalah lebih dan 11 g/dl (> 11
g/dl), sedangkan untuk usia lebih dan 6 tahun adalah lebih dan 12 g/dl. Sel darah
merah (eritrosit) mengandung Hb sebagai pembawa oksigen. Pada anemia akan
terjadi keadaan dimana Hb dalam darah rendah. Pada keadaan seperti ini maka
ukuran sel darah merah bisa menjadi lebih kecil dan normal (mikrositik), atau bila
dilihat harga MCV (Mean Cell Volume) terlihat rendah. Keadaan lain bisa terjadi

1
yaitu ukuran sel darah merah tetap normal (normositik) / nilai MCV normal atau
ukuran sel menjadi lebih besar dan normal (makrositik) atau nilai MCV tinggi.
Selain itu Indonesia termasuk dalam kelompok negara yang beresiko
tinggi untuk penyakit Thalasemia.Yayasan Thalasemia Indonesia menyebutkan
bahwa setidaknya 100.000 anak lahir di dunia dengan Thalasemia α. Di Indonesia
sendiri, tidak kurang dari 1.000 anak kecil menderita penyakit ini. Penderita
Thalasemia β jumlahnya mencapai sekitar 200.000 orang. Angka kejadian
carrier Thalasemia β di Indonesia sekitar 3-5%, bahkan di beberapa daerah
mencapai 10%. 2.500 bayi baru lahir diperkirakan akan mengidap Thalasemia
setiap tahunnya. Prevalensi Thalasemia bawaan atau carrier di Indonesia
adalah sekitar 3-8%. Dengan angka kelahiran 23 per 1000 dari 240 juta
penduduk Indonesia, diperkirakan ada sekitar 5.520.000 bayi penderita
Thalasemia yang lahir tiap tahunnya. Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007
menunjukkan prevalensi nasional Thalasemia di Indonesia adalah 0,1%.
Terdapat 6 provinsi yang menunjukkan prevalensi Thalasemia lebih
tinggi daripada prevalensi nasional. Beberapa dari 6 provinsi itu antara lain
adalah Aceh dengan prevalensi 13,4%, Jakarta dengan prevalensi 12,3%,
Sumatera Selatan dengan prevalensi 5,4%, Sumatera Utara dengan prevalensi
3,71%, Gorontalo dengan prevalensi 3,1%, dan Kepulauan Riau dengan
prevalensi 3%.
Setiap orang mengetahui bahwa pendarahan pada akhirnya akan berhenti
ketika terjadi luka atau terdapat luka lama yang mengeluarkan darah kembali. Saat
pendarahan berlangsung, gumpalan darah beku akan segera terbentuk dan
mengeras, dan luka pun pulih seketika. Sebuah kejadian yang mungkin tampak
sederhana dan biasa saja di mata Anda, tapi tidak bagi para ahli biokimia.
Penelitian mereka menunjukkan, peristiwa ini terjadi akibat bekerjanya sebuah
sistem yang sangat rumit. Hilangnya satu bagian saja yang membentuk sistem ini,
atau kerusakan sekecil apa pun padanya, akan menjadikan keseluruhan proses
tidak berfungsi.
Darah harus membeku pada waktu dan tempat yang tepat, dan ketika
keadaannya telah pulih seperti sediakala, darah beku tersebut harus lenyap. Sistem
ini bekerja tanpa kesalahan sedikit pun hingga bagian-bagiannya yang terkecil.
Jika terjadi pendarahan, pembekuan darah harus segera terjadi demi mencegah
kematian. Di samping itu, darah beku tersebut harus menutupi keseluruhan luka,

2
dan yang lebih penting lagi, harus terbentuk tepat hanya pada lapisan paling atas
yang menutupi luka. Jika pembekuan darah tidak terjadi pada saat dan tempat
yang tepat, maka keseluruhan darah pada makhluk tersebut akan membeku dan
berakibat pada kematian.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum
Mengetahui asuhan keperawatan anak dengan gangguan sistem hematologi
(anemia, hemofilia, dan thalasemia)
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pengertian, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, manifestasi
klinis, komplikasi, dan penatalaksanaan pada anak dengan gangguan
hematologi (anemia, hemofilia, thalassemia)
2. Mengetahui asuhan keperawatan anak dengan gangguan hematologi
(anemia, hemophilia, dan thalassemia)

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANEMIA
2.1.1 Pengertian Anemia
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin turun dibawah normal (Wong,2003). Anemia berarti kekurangan sel
darah merah, yang dapat di sebabkan oleh hilangnya darah yang terlalu cepat atau
karena terlalu lambatnya produksi sel darah merah. (Guyton,1997).
Anemia merupakan suatu keadaan dimana kadar Hb dan atau hitung
eritrosit lebih rendah dari normal. Anemia adalah berkurangnya jumlah eritrosit

serta jumlah Hb dalam 1 darah atau berkurangnya volume sel yang

didapatkan (packed red cells volume) dalam 100 ml darah.

2.1.2 Klasifikasi Anemia


Akibat Pembentukan Eritrosit
1. Anemia Defisiensi besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya
mineral Fe sebagai bahan yang diperlukan untuk pematangan eritrosit.
Kebutuhan Fe dalam makanan sekitar 20 mg sehari, dari jumlah ini hanya kira-
kira 2 mg yang diserap. Jumlah total Fe dalam tubuh berkisar 2-4 g, kira-kira
50 mg/kg BB pada wanita. Umumnya akan terjadi anemia dimorfik, karena
selain kekurangan Fe juga terdapat kekurangan asam folat (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000). Pada anak-anak, anemia defisiensi besi paling sering terjadi
antara usia 6 bulan sampai 3 tahun; remaja dan bayi prematur juga beresiko
(Kepertawatan Pediatrik, 2005).
2. Anemia Aplastik
Merupakan keadaan yang disebabkan berkurangnya sel hematopeatik
dalam darah tepi seperti eritrosit, leukosit, dan trombosit akibat berhentinya
pembentukan sel hemopoetik dalam sumsum tulang. Terjadi karena
ketidaksanggupan sumsum tulang untuk membentuk sel darah (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000). Anemia aplastik dikarakteristikkan dengan pansitopenia
(anemia, granulositopenia, dan trombositopenia) dan hipoplasia sumsum tulang
(Keperawatan Pediatrik, 2005).
3. Anemia Megaloblastik

4
Anemia megaloblastik secara umum mempunyai abnormalitas
morfologi dan pematangan eritrosit tertentu. Morfologi megaloblastik dapat
dijumpai pada sejumlah keadaan, hampir senua kasus pada anak disebkan oleh
defisiensi asam folat, vitamin B12 atau kedua-duanya.
Kelainan
1. Anemia Sel Sabit
Penyakit sel sabit (sickle cell disease) merupakan kelompok penyakit
yang bersifat hemolitik, genetik berat, kronis, dihubungkan dengan hemoglobin
S (Hb S), yang mentrasnformasikan sel darah merah ke dalam bentuk sabit
(seperti bulan sabit) pada saat oksigenasi darah menurun. Hemoglobin SS
(anemia sel sabit) merupakan bentuk paling umum dari penyakit sel sabit.
Anemia sel sabit ditemukan paling sering pada orang-orang di
pedalaman afrika, tetapi juga juga pada orang-orang mediterania, karibia,
amerika tengah dan selatan, arab, dan pedalaman Indian timur. Anemia sel sabit
merupakan hemoglobinopati yang paling sering terjadi pada orang afrika
amerika dan diperkirakan mencapai 1 setiap 375 kelahiran hidup. Ciri sel sabit
merupakan gangguan benigna dan bersifat carrier (Keperawatan Perdiatrik,
2005).
2. Anemia Hemolitik
Pada anemia hemolitik, umur eritrosit menjadi lebih pendek (normal
umur eritrosit 100-120 hari).
Perdarahan
Anemia yang terjadi karena perdarahan. Perdarahan baik akut maupun
kronis mengakibatkan penurunan total sel darah merah dalam sirkulasi.

2.1.3 Etiologi Anemia Pada Anak


Anemia dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:

a. Gangguan pembentukan eritrosit


Gangguan pembentukan eritrosit terjadi apabila terdapat defisiensi
substansi tertentu seperti mineral (besi, tembaga), vitamin (B12, asam
folat), asam amino, serta gangguan pada sumsum tulang.
b. Perdarahan

5
Perdarahan baik akut maupun kronis mengakibatkan penurunan total sel
darah merah dalam sirkulasi.
c. Hemolisis
Hemolisis adalah proses penghancuran eritrosit.
Anemia terjadi sebagai akibat gangguan, atau rusaknya mekanisme
produksi sel darah merah. Penyebab anemia adalah menurunnya produksi sel-sel
darah merah karena kegagalan dari sumsum tulang, meningkatnya penghancuran
sel-sel darah merah, perdarahan, dan rendahnya kadar ertropoetin, misalnya pada
gagal ginjal yang parah. Gejala yang timbul adalah kelelahan, berat badan
menurun, letargi, dan membran mukosa menjadi pucat. Apabila timbulnya anemia
perlahan (kronis), mungkin hanya timbul sedikit gejala, sedangkan pada anemia
akut yang terjadi adalah sebaliknya (Fadil, 2005).

2.1.4 Manifestasi Klinik Anemia pada Anak


Area Manifestasi klinis
Keadaan umum Pucat , penurunan kesadaran, keletihan berat ,
kelemahan, nyeri kepala, demam, dipsnea,
vertigo, sensitive terhadap dingin, BB turun.
Kulit Jaundice (anemia hemolitik), warna kulit pucat,
sianosis, kulit kering, kuku rapuh, koylonychia,
clubbing finger, CRT > 2 detik, elastisitas kulit
munurun, perdarahan kulit atau mukosa (anemia
aplastik)
Mata Penglihatan kabur, jaundice sclera, konjungtiva
pucat.
Telinga Vertigo, tinnitus
Mulut Mukosa licin dan mengkilat, stomatitis,
perdarahan gusi, atrofi papil lidah, glossitis,
lidah merah (anemia deficiency asam folat)
Paru – paru Dipsneu, takipnea, dan orthopnea
Kardiovaskuler Takikardia, lesu, cepat lelah, palpitasi, sesak
waktu kerja, angina pectoris dan bunyi jantung
murmur, hipotensi, kardiomegali, gagal jantung
Gastrointestinal Anoreksia, mual-muntah, hepatospleenomegali
(pada anemia hemolitik)
Muskuloskletal Nyeri pinggang, sendi
System persyarafan Sakit kepala, pusing, tinnitus, mata berkunang-
kunang, kelemahan otot, irritable, lesu perasaan
dingin pada ekstremitas.

6
Gejala Khas Masing-masing anemia menurut Bakta (2003) yang menjadi
ciri dari masing-masing jenis anemia adalah sebagai berikut:
a. Anemia defisiensi besi: disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis.
b. Anemia defisisensi asam folat: lidah merah (buffy tongue)
c. Anemia hemolitik: ikterus dan hepatosplenomegali.
d. Anemia aplastik: perdarahan kulit atau mukosa dan tanda-tanda infeksi.

2.1.5 Patofisiologi Anemia Pada Anak


Timbulnya anemia mencerminkan adanya kegagalan sumsum atau
kehilangan sel darah merah secara berlebihan atau keduanya. Kegagalan sumsum
dapat terjadi akibat kekurangan nutrisi, pajanan toksik, invasi tumor atau
kebanyakan akibat penyebab yang tidak diketahui. Sel darah merah dapat hilang
melalui perdarahan atau hemplisis (destruksi), hal ini dapat akibat defek sel darah
merah yang tidak sesuai dengan ketahanan sel darah merah yang menyebabkan
destruksi sel darah merah. Lisis sel darah merah (disolusi) terjadi terutama dalam
sel fagositik atau dalam system retikuloendotelial, terutama dalam hati dan
limpa. Hasil samping proses ini adalah bilirubin yang akan memasuki aliran
darah. Setiap kenaikan destruksi sel darah merah (hemolisis) segera direfleksikan
dengan peningkatan bilirubin plasma (konsentrasi normal ≤ 1 mg/dl, kadar diatas
1,5 mg/dl mengakibatkan ikterik pada sclera). (Smeltzer & Bare. 2002 : 935).
Apabila sel darah merah mengalami penghancuran dalam sirkulasi, (pada
kelainan hemplitik) maka hemoglobin akan muncul dalam plasma
(hemoglobinemia). Apabila konsentrasi plasmanya melebihi kapasitas
haptoglobin plasma (protein pengikat untuk hemoglobin bebas) untuk mengikat
semuanya, hemoglobin akan berdifusi dalam glomerulus ginjal dan kedalam urin
(hemoglobinuria) (Fadil, 2005)

7
2.1.6 WOC Anemia

Hemolisis (Eritrosit mudah Perdarahan


Defisiensi nutrient Penekanan sumsum tulang
pecah)
(misalnya: kanker)

Rusaknya mekanisme produksi sel darah


merah

Penurunan produksi sel-sel darah merah

Kurang paparan informasi ANEMIA anoreksia Mual


Mual/muntah

Berkurangnya Hb dalam
Defisiensi pengetahuan Intake nutrisi
darah
inadekuat

viskositas darah menurun

resistensi aliran darah perifer Ketidakseimbangan Nutrisi


kurang dari dari kebutuhan
penurunan transport O2 ke jaringan tubuh
ketidakefektifan Keletihan
perfusi jaringan perifer
hipoksia, pucat, lemah

8
Intoleransi aktivitas
2.1.7 Penatalaksanaan
Tujuan utama dari terapi anemia adalah untuk identifikasi dan perawatan
karena penyebab kehilangan darah,dekstruksi sel darah atau penurunan produksi
sel darah merah (Catherino,2003).
a. Pemberian tambahan oksigen, pemberian cairan intravena,
b. Resusitasi pemberian cairan kristaloid dengan normal salin.
c. Tranfusi kompenen darah sesuai indikasi.
Evaluasi Airway, Breathing, Circulation dan segera perlakukan setiap
kondisi yang mengancam jiwa. Kristaloid adalah cairan awal pilihan yang harus
segera diberikan.

2.1.8 Komplikasi
Anemia dapat menyebabkan daya tahan tubuh anak berkurang, akibatnya
anak anemia akan mudah terkena infeksi. Mudah terserang batuk, flu, atau terkena
infeksi saluran napas, jantung juga menjadi mudah lelah, karena harus memompa
darah lebih kuat. Pada kasus ibu hamil dengan anemia, jika lambat ditangani dan
berkelanjutan dapat menyebabkan kematian, dan berisiko bagi janin. Selain bayi
lahir dengan berat badan rendah, anemia bisa juga mengganggu perkembangan
organ-organ tubuh, termasuk otak (Fadil, 2005).

2.1.9 Asuhan Keperawatan Anemia pada Anak


1. Pengkajian
A. Pengumpulan data.
a. Identitas klien.
Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin, alamat, no.register
b. Riwayat penyakit sekarang.
Kronologis penyakit yang dialami saat ini sejak awal hingga anak dibawa
ke rumah sakit secara lengkap. Pada anak yang menderita anemia akan
mengeluh pusing tubuh terasa lemah.

c. Riwayat penyakit dahulu.


Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu. Mungkin ketika
masih bayi, baik yang ada hubungannya dengan penyakit sekarang
maupun yang tidak berhubungan dengan penyakit sekarang, riwayat
operasi dan riwayat alergi.

9
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Adakah penyakit degeneratif dari keluarga perlu juga untuk dikaji.Atau
adanya penyakit ganas dan menular yang dimiliki oleh anggota
keluarganya.
e. Riwayat Tumbuh Kembang
- Tahap pertumbuhan
Pada anak umur lima tahun, perkiraan berat badan dalam kilogram
mengikuti patokan umur 1-6 tahun yaitu umur ( tahun ) x 2 + 8. Tapi ada
rata-rata BB pada usia 3 tahun : 14,6 Kg, pada usia 4 tahun 16,7 kg dan 5
tahun yaitu 18,7 kg. Untuk anak usia pra sekolah rata – rata pertambahan
berat badan 2,3 kg/tahun.
Sedangkan untuk perkiraan tinggi badan dalam senti meter
menggunakan patokan umur 2- 12 tahun yaitu umur ( tahun ) x 6 +
77.Tapi ada rata-rata TB pada usia pra sekolah yaitu 3 tahun 95 cm, 4
tahun 103 cm, dan 5 tahun 110 cm. Rata-rata pertambahan TB pada usia
ini yaitu 6 – 7,5 cm/tahun.Pada anak usia 4-5 tahun fisik cenderung
bertambah tinggi.
- Tahap perkembangan
Perkembangan psikososial, perkembangan psikosexsual,
perkembangan kognitif, perkembangan moral, perkembangan spiritual,
perkembangan social, perkembangan bahasa, tingkah laku personal
social.
f. Riwayat Imunisasi
Anak usia pra sekolah sudah harus mendapat imunisasi lengkap antara
lain : BCG, POLIO I,II, III; DPT I, II, III; dan campak.

g. Riwayat Nutrisi
Untuk mengetahui status gizi pada anak, adakah tanda-tanda yang
menunjukkan anak mengalami gangguan kekurangan nutrisi.

B. Pola Fungsional Gordon

1. Pola Presepsi Kesehatan dan Manajemen Kesehatan


Menggambarkan persepsi keluarga dalam menangani keluhan nutrisi
pada anak, misalnya cara yang dapat dilakukan keluarga untuk
meningkatkan asupan makanan pada anak.
2. Pola Nutrisi

10
Menggambarkan masukan nutrisi, penurunan dan peningkatan nafsu
makan anak, mual, dan penurunan berat badan anak. Pada pasien
anemia biasanya mengeluhkan perut terasa penuh dan rasa mual
sehingga asupan makanan menjadi berkurang dan berat badan rendah
tidak sesuai usia. Kaji juga penilaian status gizi dengan ABCD :
A : Pengukuran antropometri meliputi BB, TB, IMT
B : Data biomedis : hasil lab dari sampel darah seperti Hb, Ht, Kadar
feritin.
C : Clinical Sign : tanda-tanda klinis status nutrisi
D : Riwayat diet pasien seperti jenis makanan yang biasa diberikan,
lama pemberian makanan tersebut.
3. Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi dan kandung kemih. Pengkajian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah ada masalah dalam BAK atau BAB
pada anak.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pada anak anemia cenderung mudah lelah akibat kurangnya suplai
oksigen dalam darah, sehingga aktivitasnya terbatas.

5. Pola Istirahat dan Tidur


Anak lebih banyak tidur atau istirahat karena anak mudah lelah.
Menjelaskan pula kualiatas dan kuantitas anak ketika tidur untuk
mengetahui kecukupan istirahat dan tidur anak.
6. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan persepsi kognitif seperti kemampuan anak dalam daya
ingat, menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecapan,
perabaan, persepsi nyeri, dan kognitif.
7. Pola Hubungan Peran
Menggambarkan keefektifan peran dan hubungan dengan orang
terdekat seperi orang tua, kakak, adik, dan keluarga lainnya. Bagaimana
peran anak dalam keluarga, apakah anak ikut dilibatkan dalam
pengambilan keputusan misalnya dalam hal pemilihan menu makanan
untuk dirinya.
8. Pola Konsep Diri

11
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi diri terhadap
kemampuan. Pengkajian ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana
anak menerima keadaannya.
9. Pola Reproduksi dan Seksualitas
Menjelaskan masalah seksualitas yang dialami anak. Pengkajian ini
diperlukan untuk mengetahui hubungan kondisi tubuh anak yang
mengalami kekurangan dalam nutrisi dengan kesehatan reproduksinya.
10. Pola Koping dan Stress
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan penggunaan
sistem pendukung. Dalam pengkajian ini dapat ditemukan adanya
perubahan suasana hati seperti depresi, penarikan diri, cemas, takut,
dan marah.
11. Pola Nilai Keyakinan
Menjelaskan keyakinan yang diyakini oleh anak dan keluarga.
Pengkajian ini diperlukan untuk mengetahui keyakinan terhadap
kesembuhan dari penyakit yang sedang anak alami.
2. Pengkajian Fisik
1) B1 (Blood)
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien anemia dapat ditemukan
tekanan darah hipotensi, nadi bradikardi, takikardi. Frekuensi nadi cepat dan
lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya
menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer, irama jantung tidak teratur,
CRT> 2 detik, konjungtiva mata anemis.
2) B2 (Breath)
Pasien dengan anemia terjadi peningkatan frekuensi pernafasan yang
kadang-kadang disertai penggunaan otot bantu pernafasan.
3) B3 (Brain)
Keadaan umum tampak lemah, kesadaran pada pasien anemia
biasanya terjadi penurunan akibat kurangnya suplai darah dan oksigen ke
otak.
4) B4 (Bladder)
Pada anak dengan anemia biasanya terjadi penurunan produksi urine.
5) B5 (Bowel)
Anak dengan anemia akan mengalami konstipasi.
6) B6 (Bone)
Klien akan terjadi penurunan berat badan, adanya keterbatasan
aktivitas karena kondisi tubuh yang lemah. Ukuran fisik anak terlihat lebih

12
kecil bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Kulit kelihatan
pucat karena adanya penurunan kadar hemoglobin dalam darah, selain itu
warna kulit kekuning- kuningan.

3. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa untuk penderita anemia yang biasanya muncul adalah:
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan transport oksigen ke
jaringan
2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia
3. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan transport oksigen ke jaringan

4. Intervensi Keperawatan
1. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan penurunan transport oksigen ke
jaringan
NOC NIC
Toleransi terhadap aktivitas 1. Bantuan perawatan diri (1800)
(0005) a. Monitor kemampuan
1. Saturasi oksigen ketika perawatan diri secara
beraktivitas mandiri
SaO2 normal : 95-100% b. Berikan bantuan sampai
2. Frekuensi nadi ketika pasien mampu melakukan
beraktivitas perawatan diri mandiri
Nadi Normal Anak : 80- c. Bantu pasien menerima
90x/menit kebutuhan terkait dengan
3. Frekuensi pernafasan ketika kondisi ketergantungannya
beraktivitas 2. Peningkatan keterlibatan
RR normal Anak : 20- keluarga (7110)
30x/menit a. Identifikasi kemampuan
4. Kemudahan bernafas ketika anggota keluarga untuk
beraktifitas terlibat dalam perawatan
5. Kekuatan tubuh bagian atas pasien
6. Kekuatan tubuh bagian b. Dorong perawatan oleh
bawah anggota keluarga selama
Kekuatan Otot perawatan di rumah sakit
Pada anak yang kooperatif atau perawatan di fasilitas
5: Normal perawatan jangka panjang
4: Dapat melawan tekanan 3. Terapi oksigen (3320)
3: Dapat menahan berat - a. Monitor aliran oksigen
tidak dapat melawan b. Monitor efektifitas terapi
tekanan oksigen dengan tepat

13
2: Hanya dapat 4. Manajemen nutrisi (1100)
menggerakkan anggota a. Tentukan status gizi pasien
badan dan kemampuan pasien
1: Teraba gerakan untuk memenuhi kebutuhan
konstraksi otot, tidak dapat gizi
bergerak 5. Manajemen pengobatan (2380)
0: Tidak ada konstraksi a. Tentukan obat apa yang
7. Kemudahan dalam diperlukan dan kelola
melakukan aktivitas hidup menurut resep dan/atau
harian protocol
b. Monitor efektifitas cara
pemberian obat yang sesuai
c. Monitor efek samping obat
6. Monitor tanda-tanda vital (6680)
a. Monitor tekanan darah,
nadi, suhu dan status
pernapasan dengan tepat
b. Identifikasi kemungkinan
penyebab perubahan tanda-
tanda vital

2. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


ketidakadekuatan masukan besi

NOC NIC
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari 1. Manajemen nutrisi (1100)
kebutuhan tubuh (00002) a. Tentukan status gizi pasien
1. Nafsu makan bertambah (1014) dan kemampuan pasien
a. Ada hasrat/keinginan untuk untuk memenuhi kebutuhan
makan gizi
b. Intake nutrisi dan makanan b. Tentukan jumlah kalori dan
yang adekuat jenis nutrisi yang dibutuhkan
2. Berat Badan : Massa Tubuh untuk memenuhi persyaratan
(1006) gizi
a. Berat badan bertambah 2. Terapi Nutrisi (1120)
3. Status Nutrisi (1004) a. Lengkapi pengkajian nutrisi,
a. Asupan makanan meningkat sesuai kebutuhan
b. Rasio berat badan/tinggi badan b. Monitor intake
yang ideal makanan/cairan dan hitung
masukan kalori perhari sesuai
kebutuhan
3. Monitor Nutrisi (1160)
a. Timbang Berat Badan pasien
b. Lakukan pengukuran
antropometrik pada komposisi
tubuh

14
c. Lakukan pemeriksaan
laboratorium dan monitor
hasilnya (Hb, Ht, albumin,
kreatinin, darah rutin, darah
lengkap)
4. Manajemen Berat Badan (1260)
a. Hitung berat badan ideal
pasien
b. Diskusikan dengan pasien
mengenai hubungan antara
asupan makanan, olahraga,
peningkatan berat badan, dan
penurunan berat badan

2.2 THALASEMIA
2.2.1 Pengertian Thalasemia
Thalasemia adalah suatu gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin (Suriadi, 2010). Hemoglobin
merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam sel darah merah yang
berfungsi untuk mengangkut oksigen dari paru ke seluruh bagian tubuh (McPhee
& Ganong, 2010). Pasien thalasemia biasanya mengalami anemia yang
disebabkan karena adanya gangguan pada sistem pembentukan sel darah merah
dalam tubuh. Gangguan tersebut terjadi akibat penurunan laju sintesis rantai
globin yang normal yang mengakibatkan tidak stabilnya transport oksigen ke
jaringan, sehingga sel darah merah cenderung rapuh dan mudah pecah (Darmono,
2011).
2.2.2 Klasifikasi Thalasemia
Thalasemia terjadi akibat adanya perubahan pada gen globin pada
kromosom manusia, ditandai oleh penurunan atau tidak adanya sintesis beberapa
rantai polipeptida globin. Secara garis besar sindrom thalasemia dibagi dua
golongan besar yaitu jenis alfa dan beta sesuai kelainan berikutnya produksi rantai
polipeptida. Thalasemia alfa disebabkan oleh delesi (penghapusan) gen yang
mengatur produksi tetrameter globin, sedangkan thalasemia beta disebabkan
karena adanya mutasi pada satu atau dua rantai globin yang ada. Gen yang

15
mengatur produksi rantai beta terletak di sisi pendek kromosom 11. Pada
thalasemia beta, terjadi mutasi gen disertai berkurangnya produksi mRNA dan
berkurangnya sintesis globin dengan struktur normal. Thalasemia beta dibagi
menjadi dua golongan besar, yaitu mutasi beta nol (β0) ditandai dengan tidak
adanya produksi rantai globin dan mutasi beta plus (β +) ditandai dengan adanya
sedikit produksi rantai globin. Seringkali, sebagian besar individu yang mewarisi
penyakit ini mengikuti pola resesif autosomal, dengan individu heterozigot
(pembawa sifat/ carrier) memiliki kelainan gen tersebut, sedangkan pada individu
homozigot, kelainan itu memanifestasi sebagai penyakit beta-thalasemia mayor
atau intermedia (Wijaya & Putri, 2013).
Secara klinis telasemia dibagi atas 2 golongan, yaitu:
a. Thalasemia mayor (bentuk homozigot) memberikan gejala klinis yang jelas
b. Thalasemia minor biasanya tidak memberikan gejala klinis

2.2.3 Etiologi Thalasemia


a. Penyebab primer : kekurangan sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak
efektif disertai penghancuran sel sel eritrosit intrameduler.
b. Penyebab sekunder: karena defisiensi asam folated, bertambahnya
volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi dan
distraksi eritrosit oleh sistem retikuloendotelial dalam limfa dan hati.

2.2.4 Manifestasi Klinis Thalasemia


Menurut Wijaya dan Putri (2013) dijelaskan pada thalasemia β mayor
gejala klinik telah terlihat sejak anak baru berumur kurang dari 1 tahun. Gejala
yang muncul yaitu, anak tampak lemah, pucat, perkembangan fisik tidak sesuai
dengan umur, berat badan kurang. Pada anak sering dijumpai adanya gizi buruk,
perut membuncit karena adanya pembesaran limpa dan hati yang mudah diraba.
Biasanya pembesaran limpa dan hati tersebut mempengaruhi gerak pasien karena
kemampuannya terbatas. Limpa yang membesar ini akan mudah ruptur hanya
karena trauma ringan saja.
Gejala lain yang khas ialah wajah mongoloid dengan menonjolnya dahi,
tulang pipi, dan dagu atas disebabkan karena gangguan perkembangan tulang

16
muka dan tengkorak, hidung pesek, dan mata lebar. Tulang panjang menjadi tipis
akibat ekspansi sumsum tulang (Atmakusuma, 2010).
Keadaan kulit pucat kekuningan. Jika pasien sering mendapatkan transfusi
darah kulit menjadi kehitaman serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam
jaringan kulit. Penimbunan besi (hemosiderosis) dalam jaringan tubuh seperti
pada hepar, limpa, jantung akan mengakibatkan gangguan fungsi faal alat-alat
tersebut (Ngastiyah, 2005).

2.2.4 Patofisiologi Thalasemia


Hemoglobin adalah pigmen merah yang membawa oksigen dalam sel
darah merah. Normalnya hemoglobin terdiri dari Hb A dengan polipeptida 2 rantai
alfa dan 2 rantai beta. Sel darah merah yang normal dapat hidup sampai dengan
120 hari menjadi mudah rusak dan umur sel darah merah menjadi pendek kurang
dari 100 hari. Pada thalasemia β yang terjadi adalah tidak adanya atau kurangnya
rantai β dalam molekul hemoglobin yang mana eritrosit mengalami gangguan
dalam mengangkut oksigen sebagai kompensator produksi rantai alfa meningkat,
tetapi rantai beta juga memproduksi secara terus-menerus sehingga menghasilkan
hemoglobin defective. Ketidakseimbangan polipeptida ini menyebabkan
ketidakstabilan dan disintegrasi. Hal ini menyebabkan sel darah merah menjadi
hemolisis sehingga sel darah merah mudah rusak sebelum waktunya dan
menimbulkan anemia berat. Anemia berat yang berhubungan dengan thalasemia
beta mayor menyebabkan ginjal melepaskan eritropoietin yaitu hormon yang
menstimulasi bone marrow untuk menghasilkan lebih banyak sel darah merah,
sehingga hematopoesis menjadi tidak efektif. Eritropoiesis yang meningkat
mengakibatkan hiperplasia dan ekspansi sumsum tulang, sehingga timbul
perubahan tulang, peningkatan absorbsi besi, metabolisme rate yang tinggi dan
gambaran klinis thalasemia β mayor. Eritropoiesis juga merangsang jaringan
hematopoesis ekstra meduler di hati dan limpa sehingga timbul
hepatosplenomegali (Suriadi & Yuliani, 2010).
Thalasemia dapat menyebabkan penurunan suplai darah ke jaringan yang
kemudian membuat tubuh merespon dengan pembentukan eritroporetin yang
dapat merangsang eritroporesis, sehingga eritrosit imatur dan mudah lisis, maka

17
terjadilah penurunan Hb dibawah 10 g/dl, maka memerlukan transfusi. Transfusi
jangka panjang dapat mengakibatkan peningkatan jumlah besi dalam tubuh. Zat
besi tersebut bertambah dari lepasan sel darah yang ditransfusikan lalu menyebar
dan menumpuk ke bagian organ tubuh lain seperti jantung, kulit, dan kelenjar
endokrin. Hal ini terjadi karena jumlahnya yang membludak dan hati tidak
mampu lagi untuk menampung kelebihan zat besi tersebut. Jika zat besi
menumpuk di jantung maka akan menyebabkan gagal jantung, di limpa
penumpukan zat besi ini dapat mengakibatkan splenomegali. Di hati penumpukan
zat besi mengakibatkan hepatomegali yang menyebabkan penekanan pada dinding
perut sehingga pasien mengalami mual dan nafsu makan menurun. Hb yang
rendah dapat menyebabkan suplai oksigen dalam darah menurun dan jaringan
tubuh mengalami hipoksia, akibatnya terjadi metabolisme anaerob sehingga
terjadi penumpukan asam laktat, pada pasien akan tampak kelelahan. Selain akibat
tersebut, penumpukan zat besi juga dapat mengakibatkan perubahan sirkulasi
sehingga kulit berubah menjadi kehitaman (Ahmad Sukri, 2016).

18
2.2.5 WOC Thalasemia

Penyebab primer: Penyebab sekunder:

Sintetis Hb A << Defisiensi asam folat

Eritropoisis tidak efektif Hemodelusi

Destruksi eritrosit Destruksi eritrosit oleh s.


intramedular retikuloendotelial

Mutasi DNA

Produksi rantai alfa dan beta Hb berkurang

Kelainan pada eritrosit

Pengikatan O2 berkurang

Kompensator pada rantai α

Rantai β produksi terus menerus

Hb defectif

Resiko Infeksi
Ketidakseimbangan polipeptida

Anemia Transfusi
Eritrosit tidak stabil berat darah berulang

Hemosiderosis
Hemolisis

Suplay O2 <<

19
Suplai O2 << Hemosiderosis

Ketidakseimbangan Suplay O2 ke Ketidakefektifan Penumpukan


suplay O2 dan jaringan perfusi jaringan Besi
kebutuhan perifer << perifer

Hipoksia
Dyspneu Endokrin Jantung Hepar Limpa Kulit
menjadi
Ketidakefektifan Penggunaan otot kelabu
Tumbang Gagal Hepatomegali Splenomegali
pola nafas bantu napas
terganggu Jantung
kerusakan
Kelelahan Resiko
Keterlambatan integritas kulit
cidera Nyeri
pertumbuhan
akut
Intoleransi dan
aktivitas perkembangan

Malas makan

Intake
nutrisi <<

Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh 20
2.2.6 Komplikasi Thalasemia
Menurut Permono dkk (2010), terdapat komplikasi yang dapat dialami
oleh penderita Thalasemia, meliputi :
1) Kelebihan Besi
Komplikasi pada thalassemia umumnya terjadi akibat penyakitnya
sendiri (anemia kronis) dan akibat terapi utamanya, yaitu transfusi darah
berulang yang mengakibatkan penumpukan zat besi pada berbagai organ dan
jaringan tubuh seperti hati, limpa, kulit, jantung, dan lain-lain. Komplikasi
umumnya terjadi sejak usia 10 tahun, maka usia tersebut menjadi sangat
penting dilakukan pemantauan komplikasi pasien thalassemia mayor untuk
mendeteksi adanya gangguan fungsi organ, sehingga dapat dilakukan intervensi
sedini mungkin (Sari, 2014).
Kandungan besi tubuh normal 4 g, pada anak thalasemia sekitar 0,75
g/kgBB. Normalnya setiap orang menyerap 1 mg besi perhari dari pencernaan,
pada anak thalasemia sekitar 10 mg/hari. Setiap 1 unit darah segar atau
sebanyak 450 ml, mengandung 200-250 mg besi. Setiap cm kubik packed cell
mengandung 1-1,6 mg besi, dengan rata-rata transfusi pertahun dibutuhkan 180
cc/kg/packed cell, tubuh mengakumulasi 200 mg/kgBB besi setiap tahun
(Lokeshwar, 2005).
2) Splenomegali
Sebagian besar pasien thalasemia β yang berat akan mengalami
pembesaran limpa yang bermakna dan peningkatan kebutuhan sel darah merah
setiap tahunnya pada dekade pertama kehidupan. Meskipun hipersplenisme
terkadang dapat dihindari dengan transfusi lebih awal dan teratur, namun
banyak pasien yang memerlukan splenektomi. Splenektomi dapat menurunkan
kebutuhan sel darah merah sampai 30% pada pasien yang indeks transfusinya
(dihitung dari penambahan packed red cell (PRC) yang diberikan selama
setahun dibagi berat badan dalam kg pada pertengahan tahun) melebihi 200
ml/kg/tahun. Splenektomi sebaiknya dilakukan pada usia 5 tahun ke atas, saat
fungsi limpa dalam sistem imun tubuh dapat diambil alih oleh organ limfoid
lain dan agar tidak terjadi risiko infeksi. Sedikitnya 2-3 minggu sebelum
dilakukan splenektomi, pasien di vaksinasi dengan vaksin pneumococcal dan
Haemophlus influenza type B dan sehari setelah operasi diberi penisilin

21
profilaksis. Bila anak alergi, penisilin dapat diganti dengan eritromisin. Hal ini
dilakukan untuk mencegah infeksi virus tersebut melalui transfusi darah.

2.2.7 Pemeriksaan Diagnostik Thalasemia


Pemeriksaan diagnostik pasien thalasemia meliputi pemeriksaan umum,
pemeriksaan lanjutan, dan pemeriksaan khusus. Pemeriksaan umum meliputi
pemeriksaan hemoglobin, sediaan apus darah tepi (mikrositer, hipokrom,
anisositosis, sel eritrosit muda/normoblast, fragmentosit, sel target), indeks
eritrosit: MCV, MCH, dan MCHC menurun, RDW meningkat. Bila tidak
menggunakan cell counter, dilakukan uji resistensi osmotik I tabung (fragilitas)
(Permono dkk, 2010).
Pemeriksaan lanjutan meliputi analisis Hb terhadap kadar HbF, HbA dan
elektroforesis hemoglobin; kadar besi, saturasi transferin dan feritin. Pemeriksaan
khusus, meliputi:
a. Analisis DNA untuk menentukan jenis mutasi penyebab thalasemia.
b. Anemia dengan kadar Hb berkisar 2-9 g/dL, kadar MCV (normal 82-92 fl) dan
MCH (normal 27-31 pg) berkurang, retikulosit biasanya meningkat dan
fragilitas osmotic menurun.
c. Gambaran darah tepi memperlihatkan mikrositik hipokrom, fragmentasi, sel
target dan normoblast.
d. Kadar HbF meningkat antara 10-90%, kadar HbA2 bisa normal, rendah atau
sedikit meningkat. Peningkatan kadar HbA2 merupakan parameter penting
untuk menegakan diagnosis pembawa sifat thalasemia β. Besi Serum, feritin
dan saturasi transferin meningkat.(Pusponegoro dkk, 2005).
e. Pemantauan kadar besi di tubuh dilakukan melalui pemeriksaan feritin serum
setiap 3 bulan, namun bila mengalami kesulitan melakukan pemeriksaan feritin
serum, dapat menggunakan saturasi transferin (Sari, 2014).

2.2.8 Penatalaksanaan Thalasemia


Menurut Wijaya & Putri (2013), penatalaksanaan pada pasien Thalasemia
meliputi :
a. Transfusi sel darah merah

22
Pemberian transfusi sel darah merah yang teratur, mengurangi
komplikasi anemia dan eritropoiesis yang tidak efektif, membantu
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan selama masa anak-anak, dan
memperpanjang ketahanan hidup pada thalasemia mayor (Permono dkk, 2010).
Transfusi bertujuan untuk mensuplai sel darah merah sehat untuk sementara
waktu bagi penderita. Transfusi darah yang teratur perlu dilakukan untuk
mempertahankan hemoglobin penderita di atas 10 g/dL setiap saat. Hal ini
biasanya membutuhkan 2-3 unit setiap 4-6 minggu. Pemberian darah dalam
bentuk packed red cell (PRC), 3 ml/kg BB untuk setiap kenaikan hemoglobin 1
g/dL (Wijaya & Putri, 2013).
b. Medikamentosa
1) Terapi kelasi besi diberikan jika kadar feritin serum ≥ 1.000 ng/mL atau
telah menerima 10-20 kali transfusi PRC, atau transfusi darah sebanyak 3
liter, atau saturasi transferrin ≥75%, atau hasil MRI T2* jantung abnormal.
Pemeriksaan MRI T2* jantung merupakan pemeriksaan baku emas untuk
mendeteksi secara dini adanya penimbunan besi di otot jantung. Saat ini di
Indonesia telah tersedia 3 macam obat kelasi besi, yaitu:
a) Deferoksamin, dosis 20-60 mg/kg, diberikan secara subkutan selama 8-
12 jam, 5-7 kali/minggu.
b) Deferipron, dosis 50-100 mg/kg, peroral, 3 kali/hari.
c) Deferasirox, dosis 20-30 mg/kg, peroral, dosis tunggal).
Tujuan pemantauan selama terapi kelasi besi adalah mencegah kelebihan
deposit besi ataupun mencegah turunnya besi yang berlebihan, memantau
efektivitas terapi, dan menilai kepatuhan penggunaan kelasi besi. Obat
kelasi besi dipilih berdasarkan jenis obat kelasi besi yang sudah lama
beredar karena sudah diketahui dengan pasti keunggulan dan efek samping
obat tersebut sehingga mudah dalam menentukan pemantauannya (Sari,
2014).
2) Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelasi besi, untuk
meningkatkan efek khelasi besi.
3) Asam folat 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
4) Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai anti oksidan dapat
memperpanjang umur sel darah merah.
c. Splenektomi

23
Splenektomi perlu dilakuakan untuk mengurangi kebutuhan darah.
Splenektomi harus ditunda sampai pasien berusi > 5 tahun karena tingginya
risiko infeksi pasca splenektomi. Splenektomi dilakukan dengan indikasi
hipersplenisme, ditandai dengan peningkatan kebutuhan transfusi darah atau
kebutuhan suspensi eritrosit melebihi 250 ml/kg BB dalam satu tahun.
d. Transplantasi sumsum tulang
Pengobatan thalasemia β yang berat dengan transplantasi sumsum
tulang allogenik pertama kali dilaporkan lebih dari satu dekade yang lalu,
sebagai alternatif dari pelaksanaan klinis standar dan saat ini diterima dalam
pengobatan thalasemia β. Meskipun penyembuhan pasien thalasemia β adalah
dengan transplantasi sumsum tulang, prosedur yang optimal untuk seleksi
pasien, waktu yang tepat untuk transplantasi dan regimen yang harus
dipersiapkan masih belum ditentukan dengan jelas hingga saat ini.
Keberhasilan transplantasi allogenik pada pasien thalasemia,
membebaskan pasien dari transfusi kronis namun tidak menghilangkan
kebutuhan terapi pengikat besi pada semua kasus. Pengurangan konsentrasi
besi hati hanya ditemukan pada pasien muda dengan beban besi tubuh yang
rendah sebelum transplantasi, kelebihan besi pada parenkim hati bertahan
sampai 6 tahun setelah transplantasi sumsum tulang, pada kebanyakan pasien
yang tidak mendapat terapi deferoksamin setelah transplantasi. Baik flebotomi
maupun pemberian deferoksamin jangka pendek aman dan efektif untuk
menurunkan besi jaringan pada pasien dan dapat dimulai 1 jam setelah
transplantasi sumsum tulang jika konsentrasi besi hati > 7 mg/kg berat kering
jaringan hati pada saat itu (Permono dkk, 2010).

2.2.9 Asuhan Keperawatan Pada Anak Dengan Thalasemia


1. Pengkajian
A. Riwayat kesehatan
1. Riwayat kesehatan sekarang
Pengkajian klinis tentang status nutrisi memberikan informasi mengenai
tanda-tanda nutrisi adekuat dan kekurangan atau kelebihan nutrisi (Wong,
2004). Keluhan yang mungkin dialami oleh pasien meliputi perut terasa
penuh, rasa mual, muntah, nafsu makan menurun, lemah, diare, demam,

24
anemia, ikterus ringan, berat badan menurun, perut membuncit,
hepatomegali, dan splenomegali.
2. Riwayat kesehatan dahulu
Perlu ditanyakan riwayat pasien pernah mengalami anemia sebelumnya,
sebagai gambaran klinis penyebab masalah keperawatan yang dialami saat
ini. Perlu dikaji pula kebiasaan makan anak baik diluar rumah ataupun
didalam rumah, apakah anak mengkonsumsi suplemen atau vitamin yang
mengandung besi atau fosfor. Perlu ditanyakan apakah anak pernah
mengalami penurunan atau peningkatan berat badan akhir-akhir ini (Wong,
2004).
3. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu ditanyakan adanya anggota keluarga yang pernah mengalami
penyakit yang sama, sebagai pendukung bahwa penyakit yang dialami
pasien merupakan penyakit keturunan. Perlu ditanyakan pula bagaimana
kebiasaan makan dalam keluarga, bagaimana cara dan bentuk penyajian
dalam makanan, dan siapa yang menyajian makanan tersebut dalam
keluarga.
4. Riwayat Ibu Saat Hamil (Ante natal Core – ANC)
Selama masa kehamilan, hendaknya perlu dikaji secara mendalam
adanya faktor resiko thalasemia. Apabila diduga ada faktor resiko, maka
ibu perlu diberitahukan resiko yang mungkin sering dialami oleh anak
setelah lahir.

B. Pola Fungsional Gordon


a. Pola Presepsi Kesehatan dan Manajemen Kesehatan
Menggambarkan persepsi keluarga dalam menangani keluhan nutrisi pada
anak, misalnya cara yang dapat dilakukan keluarga untuk meningkatkan
asupan makanan pada anak.
b. Pola Nutrisi
Menggambarkan masukan nutrisi, penurunan dan peningkatan nafsu makan
anak, mual, dan penurunan berat badan anak. Pada pasien thalasemia
biasanya mengeluhkan perut terasa penuh dan rasa mual sebagai akibat
pembesaran organ hati sehingga asupan makanan menjadi berkurang dan
berat badan rendah tidak sesuai usia. Kaji juga penilaian status gizi dengan
ABCD :
A : Pengukuran antropometri meliputi BB, TB, LILA, IMT

25
B : Data biomedis : hasil lab dari sampel darah seperti Hb, Ht, Kadar
feritin.
C : Clinical Sign : tanda-tanda klinis status nutrisi
D : Riwayat diet pasien seperti jenis makanan yang biasa diberikan, lama
pemberian makanan tersebut.
c. Pola Eliminasi
Menjelaskan pola fungsi eksresi dan kandung kemih. Pengkajian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah ada masalah dalam bak atau bab pada
anak.
d.Pola Aktivitas dan Latihan
Pada anak thalasemia mampu melakukan aktivitasnya secara normal,
namun anak akan cenderung mudah lelah sehingga aktivitasnya terbatas.
e.Pola Istirahat dan Tidur
Anak lebih banyak tidur atau istirahat karena anak mudah lelah.
Menjelaskan pula kualiatas dan kuantitas anak ketika tidur untuk
mengetahui kecukupan istirahat dan tidur anak.

f.Pola Persepsi Kognitif


Menjelaskan persepsi kognitif seperti kemampuan anak dalam daya ingat,
menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecapan, perbaan,
penghidu, persepsi nyeri, bahasa, memori dan penggambaran keputusan.
g.Pola Hubungan Peran
Menggambarkan keefektifan peran dan hubungan dengan orang terdekat
seperi orang tua, kakak, adik, dan keluarga lainnya. Bagaimana peran anak
dalam keluarga, apakah anak ikut dilibatkan dalam pengambilan keputusan
misalnya dalam hal pemilihan menu makanan untuk dirinya.
h.Pola Konsep Diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi diri terhadap
kemampuan. Pengkajian ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana anak
menerima keadaannya.
i.Pola Reproduksi dan Seksualitas
Menjelaskan masalah seksualitas yang dialami anak. Pengkajian ini
diperlukan untuk mengetahui hubungan kondisi tubuh anak yang mengalami
kekurangan dalam nutrisi dengan kesehatan reproduksinya.
j.Pola Koping dan Stress
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan penggunaan
sistem pendukung. Dalam pengkajian ini dapat ditemukan adanya

26
perubahan suasana hati seperti depresi, penarikan diri, cemas, takut, dan
marah.
k.Pola Nilai Keyakinan
Menjelaskan keyakinan yang diyakini oleh anak dan keluarga. Pengkajian
ini diperlukan untuk mengetahui keyakinan terhadap kesembuhan dari
penyakit yang sedang anak alami.
C. Pengkajian Fisik
1) B1 (Breath)
Pasien dengan thalassemia terjadi peningkatanfrekuensi pernafasan yang
kadang-kadang disertai penggunaan otot bantu pernafasan.

2) B2 (Blood)
Hasil pemeriksaan kardiovaskuler klien thalasemia dapat ditemukan tekanan
darah hipotensi, nadi bradikardi, takikardi. Frekuensi nadi cepat dan lemah
berhubungan dengan homeostatis tubuh dalam upaya menyeimbangkan
kebutuhan oksigen perifer.
Biasanya ketika dilakukan pemeriksaan hapusan darah tepi didapatkan
gambaran Anisositosis (sel darah tidak terbentuk secara sempurna),
Hipokrom (jumlah sel berkurang), Poikilositosis (adanya bentuk sel darah
yang tidak normal), Pada sel target terdapat fragmentosit dan banyak
terdapat sel normablast, serta kadar Fe dalam serum tinggi, Kadar
haemoglobin rendah, yaitu kurang dari 6 mg/dl.
3) B3 (Brain)
Status mental pada pasien thalassemia biasanya tidak terjadi gangguan,
motorik kasar masih bisa dinilai (seimbang).
4) B4 (Bladder)
Pada klien dengan thalassemia biasanya ditemukan BAK lebih sering , bisa
terjadi disyuria dan hematuria, Palpasi adanya distesi bladder (kandung
kemih).
5) B5 (Bowel)
Kelihatan membuncit dan pada perabaan terdapat pembesaran limpa dan
hati (hepatosplemagali). Klien dengan talasemia jug mengalami penurunan
nafsu makan. Bisa terjadi konstipasi/diare.
6) B6 (Bone)
Pertumbuhan fisiknya terlalu kecil untuk umurnya dan BB nya
kurang dari normal. Ukuran fisik anak terlihat lebih kecil bila dibandingkan
dengan anak-anak lain seusianya.

27
Kulit kelihatan pucat karena adanya penurunan kadar hemoglobin
dalam darah, selain itu warna kulit kekuning- kuningan. Jika anak telah
sering mendapat transfusi darah, maka warna kulit menjadi kelabu seperti
besi akibat adanya penimbunan zat besi dalam jaringan kulit
(hemosiderosis).
Anak yang belum/tidak mendapatkan pengobatan mempunyai
bentuk khas, yaitu kepala membesar dan bentuk mukanya adalah
mongoloid, yaitu hidung pesek tanpa pangkal hidung, jarak kedua mata
lebar, dan tulang dahi terlihat lebar.
Kemungkinan terjadi perubahan tulang-tulang terutama bisa
membuat bungkuk, mudah terjangkit virus salmonela osteomyelitis.
Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa
deformitas dan fraktur spontan, terutama kasus yang tidak atau kurang
mendapat transfusi darah. Deformitas tulang, disamping mengakibatkan
muka mongoloid, dapat menyebabkan pertumbuhan berlebihan tulang
prontal dan zigomatin serta maksila. Pertumbuhan gigi biasanya buruk.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan transport O2
tidak adekuat
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot pernafasan
akibat adanya fibrosis pada paru
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik
4. Gangguan kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan
sirkulasi
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurangnya intake nutrisi
6. Risiko gangguan tumbuh kembang berhubungan dengan terlambatnya
pertumbuhan sel dan otak

3. Intervensi Keperawatan
1. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan transport O2
tidak adekuat

28
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan 1. Periksa nadi perifer, edema,
perawatan selama 3 x 24 jam, pengisian kapiler, warna
diharapkan perfusi jaringan kulit/membrane mukosa, dan
perifer pasien efektif dengan suhu membrane mukosa.
kriteria hasil : 2. Pantau status cairan meliputi
- Status sirkulasi; aliran darah asupan dan keluaran.
yang tidak obstruksi dan satu 3. Rendahkan ekstremitas untuk
arah, pada tekanan yang sesuai meningkatkan sirkulasi rteri
melalui pembuluh darah besar dengan tepat
sirkulasi pulmonal dan 4. Ajarkan pasien/keluarga tentang
sistemik cara menghindari suhu yang
- Keparahan kelebihan beban ekstrim pada ekstremitas
cairan; keparahan kelebihan 5. Kolaborasi pengawasan hasil
cairan didalam kompartemen pemeriksaan laboraturium.
intrasel dan ekstrasel tubuh 6. Berikan sel darah merah
- Fungsi sensori kutaneus; lengkap/packed produk darah
tingkat stimulasi kulit sesuai indikasi.
dirasakan denga tepat 7. Tinggikan anggot badan yang
- Integritas jaringan: kulit dan terkena 200 atau lebih tinggi dari
membrane mukosa; keutuhan jantung untuk meningkatkan
structural dan fungsi fisiologis aliran darah balik vena, jika
normal kulit dan membrane diperlukan
mukosa
- Perfusi jaringan: perifer;
keadekuatan aliran darah
melalui pembuluh darah kecil
ekstremitas untuk
mempertahankan fungsi
jaringan
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kelelahan otot
pernafasan akibat adanya fibrosis pada paru

29
NOC NIC
Setelah dilakukan tindakan 1. Posisikan pasien untuk
perawatan selama 3 x 24 jam, memasimalkan ventilasi
diharapkan pola nafas pasien 2. Auskultasi suara nafas, catat
normal dengan kriteria hasil : adanya suara tambahan
- Respiratory status : ventilation 3. Monitor respirasi dan status
- Respiratory status : airway oksigen
patency 4. Pertahankan jalan nafas yang
- Vital sign status paten
Kriteria hasil : 5. Monitor aliran oksigen
- Suara nafas yang bersih, 6. Pertahankan posisi pasien
tidak ada sianosis dan 7. Observasi adanya tanda tanda
dyspneu, mampu bernafas hipoventilasi
dengan mudah, tidak ada 8. Monitor nadi, suhu, RR
pursed lips) 9. Monitor suara paru
- Menunjukan jalan nafas 10. Monitor pola pernapasan
yang paten (klien tidak abnormal
merasa tercekik, irama 11. Monitor suhu, warna dan
nafas, frekuensi kelembapan kulit
pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara
nafas abnormal)
- Tanda tanda vital dalam
rentang normal (tekanan
darah, nadi, pernafasan)
2.3 HEMOFILIA
2.3.1 Definisi Hemofilia
Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah congenital karena anak
kekurangan factor pembekuan VIII (hemofilia A) atau factor IX (Hemofilia B atau
penyakit chritmas) (Betz & Sowden, 2009).
Hemofili adalah kelainan genetic yang terkait kromosom x yang
mengakibatkan defisiensi faktor pembekuan darah yang diturunkan (herediter)
secara sex-linked recessive pada kromosom C (Xh). Terdapat dua macam
hemofilia, yaitu hemophilia A (HA) dan hemophilia B (Hb).
1. Hemofilia A (hemophilia klasik) akibat defisiensi atau disfungsi faktor
pembekuan VIII (F VIII)
2. Hemofili B (cristmas disease) akibat defisiensi atau disfungsi F IX
Sedangkan hemoflia C merupakan penyakit perdarahan akibat kekurangan
faktor XI yang diturunkan secara autosomal recessive (Nurarif & Kusuma, 2015).

2.3.2 Etiologi

30
Defisiensi faktor VII dan IX berdampak pada kurangnya produksi
thrombin melalui jalur intrinsic aliran koagulasi, yang mengakibatkan
kecenderungan perdarahan spontan. Hemofilia terjadi oleh karena adanya
defisiensi atau gangguan fungsi salah satu faktor pembekuan yaitu faktor VIII
pada hemofilia A serta kelainan faktor IX (Plasma Tromboplastic Antecendent)
pada hemofilia B dan faktor XI pada hemofilia C. Defisiensi faktor VIII / FVIII
(AHG) dapat disebabkan oleh kelainan konginetal faktor von Willebrand (vWF).
FVIII bersirkulasi untuk berikatan dengan vWF (Black & Hawks, 2009).

31
2.3.3 Manifestasi klinis
Manifestasi perdarahan yang timbul bervariasi dari ringan, sedang dan
berat. Dapat berupa perdarahan spontan yang berat dapat timbul saat bayi mulai
merangkak, perdarahan pasca trauma atau tindakan medis ekstraksi gigi atau
operasi. Hemofili berat biasanya terjadi pada sirkumsisi atau ambulasi
pertumbuhan gigi (Black & Hawks, 2009).

2.3.4 Patofisiologi
Hemofilia disebabkan dua faktor yaitu faktor genetik dan defisiensi
vitamin K. Faktor genetik tadi menyebabkan penurunan sintesis faktor pembekuan
darah VIII dan IX, dan karena penurunan faktor pembekuan darah tadi
menyebabkan fator X tidak teraktivasi sehingga terjadi pemanjangan APTT
(Activated Patrial Thromboplastin Time) dan menyebabkan proses pembentukan
trombin menjadi lama sehingga stabilitas fibrin pun menjadi tidak memadai
sehingga terjadi pendarah dan menyebabkan darah sukar membeku.
Defisiensi vitamin K menyebabkan gangguan faktor VIII dan IX sehingga
menjadikan proses koagulasi terganggu dan luka pun menjadi tidak tertutup dan
menyebabkan perdarahan.
Dari kedua hal tersebut menyebabkan terjadinya hemofilia, lantaran
hemofilia tersebut menyebabkan beberapa hal :
Yang pertama, karena perdarahan dari hemofilia dalam pernafasan tersebut
menyebabkan banyaknya kehilangan darah sehingga menyebabkan Hb turun dan
mengakibatkan aliran darah ke paru pun menurun dan menyebabkan hipoksia
sehingga terjadi dispneu dan lataran hal ini terjadi gangguan pola nafas.
Yang kedua, karena perdarahan tersebut pada darah menyebabkan
kumpulan trombositpun menurun sehingga sirkulasi darah ke jantungpun
terganggu dan terjadi iskemik miokard karena iskemik miokard tersebut pengisian
darah ke ventrikel kiripun menurun dan menyebabkan cardic out pun menurun
karena hal tersebut terjadilah intoleransi aktivitas.
Yang ketiga, karena pendarahan tersebut pada otak menyebabkan
vasokonstriksi pada pembuluh darah otak sehingga terjadi defisit faktor
pembekuan darah dan menyebabkan nekrosis pada jaringan otak sehingga otak

32
mengalami defisit fungsi neurologisnya dan menyebabkan letargi, lantaran hal ini
maka menyebabkan terjadinya resiko cedera.
Yang keempat, karena perdarahan tersebut pada GI menyebabkan absorpsi
ususpun menurun sehingga sari makanan pun tidak dapat diserap sehingga
menyebabkan perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan.

33
2.3.5 WOC Hemofili

Faktor Kongiental: Faktor Lainnya : Defisiensi Vit.


Genetik K

Faktor Genetik Defisiensi Vit. K

Penurunan sintesis G3 pembentukan faktor VIII , IX


faktor VIII dan IX
G3 proses
Faktor X tdk teraktivasi koagulasi
Luka tidak tertutup
Pemanjangan
APTT perdarahan
Trombin lama
terbentuk
Stabilitas fibrin tdk memadai

Perdarahan

Darah sukar membeku

HEMOFILIA

Kehilangan Kumpulan Vasokonstriksi pembuluh Absorpsi usus


banyak darah trombosit menurun
darah otak
menurun
Hb menurun Defisit faktor Sari makanan
Sirkulasi darah ke tdk dpt diserap
pembekuan darah
jantung menurun
Aliran darah dan O2
ke paru menurun Nekrosis jaringan Perub. Nutrisi
2.3.6 Komplikasi Iskemik miokard
otak kurang dr
Menurut Handayani (2008), komplikasi yang dapat terjadi pada pasien
Hipoksia Defisit fungsi kebutuhan
hemofilia adalah Pengisian
perdarahanVSintrakranium,
menurun infeksi oleh virus imunodefisiensi
tubuh
neurologis
manusia sebelum diciptakannya F VIII artificial,letargi
Dispneu kekakuan sendi, hematuria
CO menurun
spontan dan perdarahan gastrointestinal, serta resiko tinggi terkena AIDS dan
Penurunan Kecemasan orang tua
Pola napas akibat transfusi
hepatitis darah. perfusi Resiko cedera
tidak efektif jaringan perifer

34
Kelelahan Intoleransi Aktivitas
Kekurangan Volume
Cairan
2.3.6 Pemeriksaan penunjang
a. Uji skrining untuk koagulasi darah
1. Jumlah trombosit (normal 150.000-450.000 tombosit per mm3 darah)
2. Masa protombin (normal memerlukan waktu 11-13 detik)
3. Masa tromboplastin parsial (meningkat, mengukur keadekuatan faktor
koagulasi intrinsik)
4. Assays fungsional terhadap faktor VIII dan IX (memastikan
diagnosis)
5. Masa pembekuan trombin (normalnya 10-13 detik)
b. Biopsi hati (kadang-kadang) digunakan untuk memperoleh jaringan
untuk pemeriksaan patologi dan kultur.
c. Uji fungsi faal hati (kadang-kadang) digunakan untuk mendeteksi adanya
penyakit hati (misalnya, serum glutamic-piruvic transaminase [SPGT],
serum glutamic-oxaloacetic transaminase [SGOT], fosfatase alkali,
bilirubin) (Betz & Linda, 2009).

2.3.6 Penatalaksanaan
a. Hemofilia A
Pengobatan dilakukan dengan meningkatkan kadar factor anti
hemofili sehingga perdarahan berhanti. Factor anti hemofili terdapat di
dalam plasma orang sehat tetapi mudah rusak bila disimpan di dalam
bank darah sehingga untuk menghentikan perdarahan pada hemofili A
perlu ditranfusikan plasma segar.
Penatalaksanaan secara umum perlu dihindari trauma, pada masa
bayi lapisi tempat tidur dan bermain dengan busa. Awasi anak dengan
ketat saat belajar berjalan. Saat anak semakin besar perkenalkan denga
aktivitas fisik yang tidak beresiko trauma. Hindari obat yang
mempengaruhi fungsi platelet dan dapat mencetuskan perdarahan (seperti
: aspirin). Therapy pengganti dilakukan dengan memberikan
kriopresipitat atau konsentrat factor VIII melalui infus.
b. Hemofili B
Meningkatkan kadar factor IX atau thromboplastin.
Thromboplastin tahan disimpan dalam bank darah sehingga untuk
menolong hemofilia B tidak perlu tranfusi plasma segar. Bila ada
perdarahan dalam sendi harus istirahat di tempat tidur dan dikompres
dengan es. Untuk menghilangkan rasa sakit diberi aspirin (biasanya 3-5

35
hari perdarahan dapat dihentikan) lalu diadakan latihan gerakan sendi
bila otot sendi sudah kuat dilatih berjalan.
Penatalaksanaannya sama dengan hemofilia A. Therapy pengganti
dilakukan dengan memberikan Fresh Frozen Plasma (FFP) atau
konsentrat factor IX. Cara lain yang dapt dipakai adalah pemberian
Desmopresin (DD AVP) untuk pengobatan non tranfusi untuk pasien
dengan hemofili ringan atau sedang (Betz & Linda, 2009).

2.3.7 Asuhan Keperawatan Hemofilia pada Anak


1. Pengkajian
A. Pengumpulan data.
a. Identitas klien.
Pengkajian mengenai nama, umur dan jenis kelamin, alamat,
no.register
b. Riwayat penyakit sekarang.
Kronologis penyakit yang dialami saat ini sejak awal hingga anak
dibawa ke rumah sakit secara lengkap. Pada anak yang menderita
hemofilia akan mengeluh nyeri perdarahan yang tidak berhenti.
c. Riwayat penyakit dahulu.
Penyakit yang pernah diderita pada masa-masa dahulu. Mungkin
ketika masih bayi, baik yang ada hubungannya dengan penyakit
sekarang maupun yang tidak berhubungan dengan penyakit
sekarang, riwayat operasi dan riwayat alergi.
d. Riwayat kesehatan keluarga.
Adanya anggota keluarga yang menderita /carier penyakit
hemophilia.
B. Pola Fungsional Gordon
1. Pola Presepsi Kesehatan dan Manajemen Kesehatan
Menggambarkan persepsi keluarga dalam menangani keluhan pada
anak.
2. Pola Nutrisi
Pada pasien hemofilia biasanya mengeluh mual dan terjadi
penurunan nafsu makan sehingga asupan makanan menjadi
berkurang dan berat badan berkurang.
3. Pola Eliminasi

36
Menjelaskan pola fungsi eksresi dan kandung kemih. Pengkajian ini
dilakukan untuk mengetahui apakah ada masalah dalam BAK atau
BAB pada anak.
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pada anak hemofilia aktivitasnya sangat terbatas dan harus berhati-
hati karena untuk menghindari adanya trauma yang menyebabkan
perdarahan.
5. Pola Istirahat dan Tidur
Anak lebih banyak tidur atau istirahat karena anak mudah lelah.
6. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan persepsi kognitif seperti kemampuan anak dalam daya
ingat, menggambarkan pola pendengaran, penglihatan, pengecapan,
perabaan, persepsi nyeri, dan kognitif.
7. Pola Hubungan Peran
Menggambarkan keefektifan peran dan hubungan dengan orang
terdekat seperi orang tua, kakak, adik, dan keluarga lainnya.
Bagaimana peran anak dalam keluarga, apakah anak ikut dilibatkan
dalam pengambilan keputusan misalnya dalam hal pemilihan menu
makanan untuk dirinya.
8. Pola Konsep Diri
Menggambarkan sikap tentang diri sendiri dan persepsi diri terhadap
kemampuan. Pengkajian ini diperlukan untuk mengetahui bagaimana
anak menerima keadaannya.
9. Pola Reproduksi dan Seksualitas
Menjelaskan masalah seksualitas yang dialami anak. Pengkajian ini
diperlukan untuk mengetahui hubungan kondisi tubuh anak yang
mengalami kekurangan dalam nutrisi dengan kesehatan
reproduksinya.
10. Pola Koping dan Stress
Menggambarkan kemampuan untuk menangani stres dan
penggunaan sistem pendukung. Dalam pengkajian ini dapat
ditemukan adanya perubahan suasana hati seperti depresi, penarikan
diri, cemas, takut, dan marah.
11. Pola Nilai Keyakinan
Menjelaskan keyakinan yang diyakini oleh anak dan keluarga.
Pengkajian ini diperlukan untuk mengetahui keyakinan terhadap
kesembuhan dari penyakit yang sedang anak alami.
C. Pengkajian Fisik

37
1. B1 (Blood)
Klien anemia tekanan darahnya hipotensi, nadi takikardi. Frekuensi
nadi cepat dan lemah berhubungan dengan homeostatis tubuh
dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan oksigen perifer, irama
jantung tidak teratur, CRT> 2 detik, konjungtiva mata anemis.
2. B2 (Breath)
Pasien dengan hemophilia terjadi peningkatan frekuensi pernafasan
karena rasa nyeri akibat terjadinya perdarahan terus menerus serta
kurangnya oksigen dalam jaringan yang menyebabkan hipoksia.

3. B3 (Brain)
Keadaan umum tampak lemah, kesadaran pada pasien anemia
biasanya normal namun apabila dalam keadaan kronis dapat terjadi
penurunan.
4. B4 (Bladder)
Pada anak dengan hemofilia bisa terjadi penurunan/peningkatan
produksi urine.
5. B5 (Bowel)
Anak dengan hemophilia biasanya akan mengalami konstipasi
akibat penurunan kekuatan mortilitas usus karena aktivitas yg
terbatas.
6. B6 (Bone)
Klien akan terjadi penurunan berat badan, adanya keterbatasan
aktivitas karena kondisi tubuh yang lemah, kulit kelihatan pucat.
Apabila klien memiliki luka pada tubuhnya maka jaringan kulit
pada luka akan sulit untuk menutup dan sembuh karena adanya
kelainan proses penyembuhan luka akibat penyakit hemophilia.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan akibat
perdarahan ditandai dengan mukosa mulut kering,turgor kulit lambat
kembali.
2. Perubahan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan perdarahan
aktif ditandai dengan kesadaran menurun, perdarahan.
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan efek perdarahan pada sendi
dan jaringan lain.

38
4. Risiko tinggi injuri berhubungan dengan kelemahan pertahanan
sekunder akibat hemofilia ditandai dengan seringnya terjadi cedera
5. Risiko perdarahan berhubungan dengan

3. Intervensi Keperawatan
1. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan akibat
perdarahan ditandai dengan mukosa mulut kering, turgor kulit lambat
kembali.

NOC NIC
Kekurangan volume cairan 1. Timbang berat badan di waktu
Keseimbangan cairan 0601 yang sama (misalnya: setelah
- Mempertahankan BAK/BAB, sebelum sarapan)
urine output dengan 2. Monitor nadi dan tekanan darah
usia dan BB, BJ 3. Monitor adanya sumber-sumber
urine normal kehilangan cairan (misalnya:
- Vital sign normal perdarahan, keringat, muntah,
- Tidak ada tanda diare)
dehidrasi, elastisitas 4. Dukung asupan cairan oral
turgor kulit baik, (misalnya: berikan cairan lebih dari
membrane mukosa 24 jam dan berikan cairan dengan
lembab, tidak ada makanan), jika tidak ada
rasa haus yang kontraindikasi
berlebihan 5. Berikan cairan IV isotonik yang
- Orientasi terhadap diresepkan (misalnya cairan normal
waktu dan tempat saline atau ringer laktat) untuk
baik rehidrasi ekstraseluler dengan
Keseimbangan elektrolit dan tetesan aliran yang tepat.
asam basa 0600 6. Berikan colloid suspensions yang
- Elektrolit, Hb, Hmt diresepkan, misalnya plasmanate
dalam batas normal untuk pengganti volume intravena
- pH urine dalam dengan tepat.
batas normal 7. Berikan produk darah yang
- intake oral dan diresepkan untuk meningkatkan
intravena adekuat tekanan plasma onkotik dan
mengganti volume darah dengan
tepat.
8. Monitor adanya tanda reaksi
tranfusi darah
9. Gunakan pompa IV untuk m,enjaga
tetesan aliran infuse intravena tetap
stabil.
10. Monitor rongga mulut dari
kekeringan 3dan/atau membrane 39
mukosa yang pecah
11. Instruksikan pada keluarga untuk
mencatat intake-output dengan
tepat.
2. Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan
penurunan pengiriman oksigen ke jaringan
NOC NIC
Ketidakefektifan perfusi 1. Pengaturan Hemodinamik
jaringan perifer a. Lakukan penilaian
Perfusi Jaringan: Perifer komprehensif terhadap status
(0407) hemodinamik (memeriksa
a. CRT < 2 detik tekanan darah, denyut
b. Suhu kulit ujung jantung, denyut nadi, tekanan
kaki dan tangan vena jugularis, tekanan vena
normal (36.5-37.5 C) sentral, atrium kiri dan
Perfusi jaringan : Seluler kanan, tekanan ventrikel, dan
(0416) tekanan arteri pulmonalis),
a. Nilai rata-rata gas dengan tepat.
darah arteri b. Identifikasi adanya tanda dan
b. Saturasi oksigen gejala peringatan dini system
c. Keseimbangan hemodinamik yang
elektrolit dan dikompromikan (misalnya:
asam/basa dyspnea, penurunan
Status sirkulasi (0401) kemampuan untuk olahraga,
a. SaO2 normal >95% ortopnea, sangat kelelahan,
b. CRT < 2 detik pusing, melamun, edema,
c. Tekanan darah palpitasi, dyspnea
normal 80-100/60 paroksismal nocturnal,
mmHg perubahan berat badan tiba-
d. Nadi normal 80- tiba)
90x/menit c. Tentukan status perfusi (yaitu
Tanda-tanda vital (0802) apakah pasien terasa dingin,
a. Frekuensi nadi suam-suam kuku, atau
ketika beraktivitas hangat)
Nadi Normal Anak : d. Monitor denyut nadi perifer,
80-90x/menit pengisian kapiler, suhu dan
b. Tekanan darah warna ekstremitas.
normal 80-100/60 2. Manajemen Elektrolit/cairan
mmHg (2080)
c. Suhu normal 36.5- a. Amati membrane bukal
37.5 C pasien, sklera, dan kulit
d. Frekuensi terhadap indikasi perubahan
pernafasan ketika cairan dan keseimbangan
beraktivitas elektrolit (misalnya
RR normal Anak : kekeringan, sianosis, dan
20-30x/menit jaundice)
3. Interpretasi Data Laboratorium
a. Laporkan pada dokter
segera jika tiba-tiba terjadi

40
perubahan pada nilai
laboratorium
b. Analisa apakah hasil yang
didapatkan konsisten
dengan perilaku pasien dan
kondisi klinis
4. Terapi Oksigen (3320)
a. Pertahankan kepatenan
jalanan napas
b. Berikan oksigen tambahan
seperti yang diperintahkan
c. Monitor efektifitas terapi
oksigen ( misalnya tekanan
oksimetri, ABGs) dengan
tepat
5. Monitor tanda-tanda vital (6680)
a. Monitor tekanan darah,
nadi, suhu dan status
pernapasan dengan tepat
b. Identifikasi kemungkinan
penyebab perubahan tanda-
tanda vital

41
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anemia adalah keadaan dimana jumlah sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin turun dibawah normal. Anemia dapat diketahui dengan cara
pemeriksaan laboratorium darah secara lengkap. Penatalaksanaan yang dapat
dilakukan pada anemia yaitu pemberian cairan intravena, transfuse komponen
darah yang sesuai, dan pemberian tambahan oksigen yang tepat.
Thalasemia adalah gangguan darah yang diturunkan ditandai oleh
defisiensi produk rantai globulin pada hemoglobin. Pada umumnya pasien
denganthalasemia mengalami anemia yang disebabkan karena adanya gangguan
pada sistem pembentukan sel darah merah dalam tubuh. Penatalaksanaan yang
dapat dilakukan diantaranya yaitu, transfuse sel darah merah dan menggunakan
beberapa terapi.
Hemofilia adalah Hemofilia adalah penyakit koagulasi darah congenital
karena anak kekurangan factor pembekuan VIII (hemofilia A) atau factor IX
(Hemofilia B atau penyakit chritmas). Pasien dengan hemofili sangat rawan ketika
terjadi trauma. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan yaitu dengan cara
memberikan Fresh Frozen Plasma (FFP).

3.2 Saran
Informasi mengenai asuhan keperawatan anak dengan gangguan system
hematologi (anemia, hemophilia, dan thalasemia) yang telah didapatkan oleh
mahasiswa diharapkan tidak hanya sekedar diketahui, tetapi juga bisa dipahami
dan dapat diaplikasikan dalam pelaksanaan praktik keperawatan.
Bagi pasien yang memiliki gejala penyakit kelainan darah, maka segera
untuk melakukan pemeriksaan secara dini serta konsultasi kepada dokter agar
tidak terjadi komplikasi yang lebih lanjut. Selalu memperhatikan
kegiatan/aktivitas sehari-hari dan malakukan pengobatan secara rutin.

42
DAFTAR PUSTAKA

Atmakusuma. (2010). Thalassemia: Manifestasi klinis, pendekatan diagnosis, dan


thalassemia intermedia. Dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcellus
S.K., Siti S (Eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jakarta: Interna
Publishiing.

Aru et al. 2009. Ilmu Penyakit dalam Jilid II: Edisi V. Jakarta: Interna Publishing

Betz, C.L. & Sowden L.A. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri. Jakarta :
ECG.

Betz, Cecily L.. 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik E/3. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC

Black, J.M. & Hwks, J.H. 2009. Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis
Untuk Hasil yang Diharapkan. Jakarta: PT Salemba Medika.

Catherino jeffrey M.2003.Emergency medicine handbook USA:Lipipincott


Williams

Darmono. (2011). Toksikonologi genetik: Pengaruh, penyebab, dan akibat


terjadinya penyakit gangguan keturunan. Universitas Indonesia: Jakarta.

Doenges, Marillyn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3.Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Dorland’s Ilustrated Medical Dictionary, 29/E. 2002. Jakarta: Penerbit Buku


Kedokteran EGC

Fadil, M.(2005). Konsep Dasar Anemia. Available


http://digilib.unimus.ac.id/download.php?id=28334.

Guyton, Arthur C. 1997. Fisiologi Kedokteran. Ed 9. Jakarta: EGC.

Handayani, Wiwik. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan
Gangguan Sistem Hematologi. Jakarta: Salemba Medika.

Herdata, Heru Noviat.(2008). Thalasemia,

http://ebookfkunsyiah.wordpress.com/category/hematoonkologi/thalassemia/ 12.
Rachmilewitz E and Rund D. (2005
https://www.scribd.com/doc/60940559/RESPONSI-HEMATOLOGI-
2007)

Hoffard, A.V. 2005. Hematologi: Edisi IV. Jakarta: EGC

43
Lokeshwar MR. (2005). Modern trends in management of thalassemia. NEJM
2005: 5-7.

McPhee, S. J., & Ganong, W. F. (2010). Patofisiologi penyakit, Edisi 5. Jakarta:


EGC.

Monika ester, editor edisi bahasa indonesia, Sari kurniasih. Ed 4.Jakarta: EGC

Ngastiyah. 2005. Perawatan anak sakit. Jakarta : EGC.

Nurarif, A.H. & Kusuma, H. 2015. APLIKASI Asuhan Keperawatan Berdasarkan


Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction.

Permono, B., Sutaryo., IDG Ugrasena., Endang Windiastuti., Maria Abdulsalam.


(2010). Hemoglobin Abnormal: Talasemia. Dalam Buku ajar hematologi-
onkologi anak (hlm 64-84). Jakarta: Badan Penerbit IDAI.

PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan


Pengurus Pusat PPNI Indonesia.

Pusponegoro, et al. (2005). Standar medis pelayanan kesehatan anak. Jakarta:


IDAI

Sari, Teny Tjitra. (2014). Pemantauan Terapi dan Komplikasi Pasien Thalassemia
Mayor. Dalam Partini P.T., Ari P., Dina M., Amanda S. Pendekatan
Holistik Penyakit Kronik pada Anak untuk Meningkatkan Kualitas Hidup.
(hlm 139-146). Jakarta: Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM.

Sodeman.1995.Patofisiologi.Edisi 7.Jilid 2.Hipokrates.Jakarta

Sukri, Ahmad. (2016). Mengenal mendampingi dan merawat thalasemia. Jakarta:


bee menia pustaka.

Suriadi & Yuliani R. (2010). Asuhan Keperawatan pada Anak.Jakarta: CV.


Sagung Seto.

Wijaya, A. S & Putri, Y. M. (2013). KMB 2 Keperawatan Medikal Bedah,


Talasemia. Yogyakarta: Nuha Medik

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik/ Donna L. Wong:


alih bahasa

44

You might also like