You are on page 1of 38

LONGCASE EXAMINATION

GENERAL ANESTESI DENGAN TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA


(TIVA) PADA PASIEN ABCESS FLANK DEXTRA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun oleh :
Taufik Andaru
20164011138

Pembimbing :
dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An

SMF ILMU ANESTESI DAN TERAPI INTENSIF


RSUD PANEMBAHAN SENOPATI BANTUL
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
HALAMAN PENGESAHAN

GENERAL ANESTESI DENGAN TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA


(TIVA) PADA PASIEN ABCESS FLANK DEXTRA

Disusun untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti


Ujian Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif
di RSUD Panembahan Senopati Bantul

Disusun Oleh:
Taufik Andaru
20164011138

Telah dipresentasikan pada:

Mengetahui,

Dokter Pembimbing

dr. Kurnianto Trubus, M.Kes, Sp. An


BAB I
STATUS UJIAN

A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Bp AA
Umur : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Laki- laki
Alamat : Kuwaru RT 03 poncosari, srandakan
Pekerjaan : Wiraswasta
Tanggal Masuk : 13 Februari 2018
Berat Badan : 103 Kg
Diagnosis : Abses Flank Dextra

B. ANAMNESIS
1. Keluhan Utama
Pasien mengeluh benjolan pada pinggang kanan
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli bedah karena memiliki benjolan pada pinggang kanan.
Awalnya hanya merupakan benjolan kecil dan gatal, sehingga sering digaruk,
setelah 2 bulan benjolan semakin besar dan terkadang nyeri.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
Riwayat TB Paru : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat Operasi : Disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat Diabetes Melitus : Disangkal
Riwayat TB Paru : Disangkal
Riwayat Asma : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal

5. Riwayat Personal Sosial


Pasien tidak merokok dan personal higiene kurang baik.

6. Kesimpulan Evaluasi Pra Anestesi


Ya Tidak
Hilangnya Gigi V
Masalah mobilisasi leher V
Leher pendek V
Batuk V
Sesak nafas V
Nyeri dada V
Denyut jantung tidak normal V
Kejang V
Merokok V
Alergi V
Stroke V
Pingsan V
Muntah V
Susah kencing V
Obesitas V
Hipertensi V
Gigi palsu V
Diabetes melitus V
C. PEMERIKSAAN FISIK
1. Keadaan Umum
Baik, tidak tampak kesakitan
2. Kesadaran
Sadar Penuh (Compos Mentis)
3. Tanda Vital
Suhu badan : 36,7 0C
Frekuensi nadi : 84 x/menit
Frekuensi pernafasan : 20 x/menit
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Skor nyeri : 0

4. Status General
a. Kepala
Mata : Pupil isokor, Konjungtiva anemis -/- , Sklera
Ikterik -/-
Mulut : Mukosa bibir lembab, tanda candidiasis (-),
stomatitis (-), tonsil T1-T1, faring hiperemis
(-), Mallampati II, buka mulut 3 jari.
Telinga : Simetris, membran timpani intak

b. Leher
Pembesaran limfonodi (-) , nyeri (-) , peningkatan JVP (-) , leher jarak
pendek (-) , jarak thyromental > 6,5 cm, pergerakan leher bebas.
c. Thoraks
1) Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tak tampak
Palpasi : Iktus cordis teraba pada SIC 4 linea
midclavicula kiri.
Perkusi : Batas kanan atas linea para
sternalis kanan SIC 2, batas kiri
atas linea para sternalis kiri SIC 2,
batas kanan bawah linea para
sternalis SIC 4, batas kiri bawah
line mid sternalis SIC 4.
Auskultasi : S1-S2 Reguler, murmur - , gallop -

2) Paru
Inspeksi : Simetris saat inspirasi dan
ekspirasi, retraksi intracostal - ,
retraksi substernal -
Palpasi : Fremitus +/+
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+ , suara
tambahan -

d. Abdomen
Inspeksi : Supel
Auskultasi : Peristaltik +
Perkusi : Tympani +
Palpasi : Hepar lien dbn, massa - , nyeri -

e. Ekstremitas
Akral hangat, nadi kuat, capillary refill time <2 detik, edema kaki -/-

5. Status Lokalis
Regio Flank dextra
Inspeksi : tampak lesi berwarna kemerahan, berbentuk bulat batas tegas dengan
puncak mengeluarkan nanah.
Palpasi : Hangat, Fluktuasi (+)
6. Pemeriksaan Khusus
Tinggi Badan : 170 cm
Berat Badan : 103 Kg
Buka mulut : 3 Jari
Jarak Thyromental : > 6,5 cm
Mallampati : II
Gerakan Leher : Bebas

7. Evaluasi Airway, Breathing, Circulation (ABC)


Airway (A) : Jalan nafas clear, jarak thyromental > 6,5 cm,
buka mulut 3 jari, mallampati II, pergerakan
leher bebas.
Breathing (B) : Spontan, RR 20 x/menit, Suara dasar
vesikuler +/+, suara tambahan -/-
Circulation (C) : TD 130/80 mmHg, N 84 x/menit, s1-s2
Reguler.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Rontgen Thoraks
Kesan : Cor dan Pulmo Normal
2. Elektrocardiogram (EKG)
Kesan : Normal Sinus Rythim
3. Laboratorium
Hematologi
Hemoglobin 13 12.0-16.0 gr/dL
Lekosit 14.7 4.0-11.0 ribu/uL
Eritrosit 4.73 4.00-5.00 ribu/uL
Trombosit 318 150-450 ribu/uL
Hematokrit 38.4 36.0-46.0 ribu/uL
Hitung Jenis
Eosinofil 1 2-4 %
Basofil 1 0-1 %
Batang 0 2-5 %
Segmen 70 51-67 %
Limfosit 25 20-35 %
Monosit 3 4-8 %
Golongan Darah
Golongan B
Darah
Hemostatis
PTT 13 12-16 detik
APTT 27.6 28-38 detik
Control PTT 14.3 11-16 detik
Control APTT 34.1 28-36.5 detik
Fungsi Ginjal
Ureum 18 17-43 mg/dl
Creatinin 1.12 0.90-1.30 mg/dl
Diabetes
GDS 88 80-200 mg/dl
Elektrolit
Natrium 138.9 137.0-145.0 mmol/l
Kalium 3.9 3.50-5.10 mmol/l
Klorida 103.1 98.0-10.0 mmol/l
Sero-Imunologi
Infeksi Lain
HbSag Negatip 0.00 Negatip <0.13

E. DIAGNOSIS KERJA
1. Absess flank dextra
2. American Society of Anesthesiologists (ASA) II pada rencana insisi absess flank
dextra dengan Rencana General Anestesi, teknik Total Intravenous Anesthesia
(TIVA)

F. PENATALAKSANAAN ANESTESI
 Pra Anestesi
Intruksi pra Anestesi :
a. Pasang IV line
b. Puasa minimal 8 jam sebelum operasi (Mulai tanggal 15 Februari 2018,
pukul 00.00 WIB)
c. Lengkapi Inform Consent Anestesi
 Anestesi
Diagnosa Pra Bedah : Fraktur Distal Radius Dextra
Diagnosa Pasca Bedah : Post Close Reduction
Premedikasi : Injeksi Midazolam 3,5 mg
Injeksi Fentanyl 75 mcg
Induksi : Injeksi Ketamin 40 mg
Injeksi Propofol 50 mg
Tambahan 30 mg dan 20 mg
Jenis Anestesi : General Anestesi
Teknik Anestesi : Total Intravenous Anesthesia (TIVA)
Pemeliharaan : O2 nasal kanul
Obat-obat : Injeksi Ondansetron 4 mg
Injeksi Ketorolac 30 mg
Kebutuhan cairan selama operasi
Berat badan ideal = Tinggi badan (Cm)- 100 (laki-laki) = 170-100
= 70 kg
Maintenance : 2cc/kg BB
Operasi (MO) 2 cc x 70 kg = 140 cc
Pengganti Puasa : Lama puasa x MO
(PP) 8 jam x 140 cc = 1120 cc
Stress Operasi : 4cc/kgBB/jam (Operasi ringan)
(SO) 4 cc x 70 kg = 280 cc
Kebutuhan : (½ x 1120) + 140+ 280 = 980 cc
cairan I
Perdarahan : 50cc ( kristaloid 1 : 3)= 150 cc
kristaloid
Urin output : 0c
Total kebutuhan : 980 cc + 150 cc + 0 cc = 1230 cc
cairan
Jumlah : Infus RL 500 cc
pemberian cairan
Sisa kebutuhan : 500 cc – 1230 cc = -730cc
Estimation : 70 x 70 = 4900 cc
Blood Volume
(EBV)
Allowable Blood : 20% x 4900 = 980 cc
Loss (ABL)
Lama Operasi : 15 Menit
 Post Anestesi
a. Maintenance anestesi
B1 (Breathing) : RR 16-20 x/menit
Suara dasar vesikuler +/+
Nafas terkontrol
VT 420-630 cc
B2 (Blood) : Perdarahan 0 cc
Tekanan darah terkontrol
B3 (Brain) : Pupil isokor
B4 (Bladder) : Tidak terpasang kateter
B5 (Bowel) : Peristaltik -
B6 (Bone) : Gerak (+)

b. Pemantauan di ruang PACU/RR


1) Monitoring Tanda Vital
Tekanan Darah : 110/78 mmHg
Frekuensi Nadi : 81 x/menit
Frekuensi Nafas : 16 x/menit
Saturasi : 100 %

2) Oksigenasi : Nasal Canul 2 liter/menit


3) Skor Aldrete Pasien
Skor Jam I Jam II Jam Jam IV
Aldrate III
Kesadaran 1 2
Sirkulasi 2 2
Pernafasan 2 2
Aktifitas 1 2
Warna 2 2
Kulit
TOTAL 8 1
0
Keterangan : pasien boleh pendah ke bangsal jika skor Aldrete > 8

c. Intruksi pasca Operasi


Observasi : Awasi Keadaan Umun dan Tanda
vital
Posisi : Supine
Infus : Ringer Laktat 20 tpm
Analgetik : Injeksi Ketorolac 30 mg/8jam IV
mulai pukul 18.15 WIB
Anti Muntah : Injeksi Ondansetron 4 mg/8jam
IV mulai pukul 18.15 WIB
Mobilisasi : Jika sadar penuh, peristaltik + ,
mual -, muntah -, coba makan
minum bertahap.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Obesitas
1. Definisi Obesitas
Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi
dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat
badan yang melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009).

2. IMT dan Klasifikasi


Indeks massa tubuh (IMT) adalah nilai yang diambil dari perhitungan antara berat
badan (BB) dan tinggi badan (TB) seseorang. IMT dipercayai dapat menjadi indikator
atau mengambarkan kadar adipositas dalam tubuh seseorang. IMT tidak mengukur
lemak tubuh secara langsung, tetapi penelitian menunjukkan bahwa IMT berkorelasi
dengan pengukuran secara langsung lemak tubuh seperti underwater weighing dan dual
energy x-ray absorbtiometry (Grummer-Strawn LM et al., 2002). IMT merupakan
altenatif untuk tindakan pengukuran lemak tubuh karena murah serta metode skrining
kategori berat badan yang mudah dilakukan. Untuk mengetahui nilai IMT ini, dapat
dihitung dengan rumus berikut: Menurut rumus metrik:

Untuk orang dewasa yang berusia 20 tahun keatas, IMT diinterpretasi


menggunakan kategori status berat badan standard yang sama untuk semua umur bagi
pria dan wanita. Untuk anak-anak dan remaja, intrepretasi IMT adalah spesifik
mengikut usia dan jenis kelamin (CDC, 2009).
Secara umum, IMT 25 ke atas membawa arti pada obes. Standar baru untuk IMT
telah dipublikasikan pada tahun 1998 mengklasifikasikan BMI di bawah 18,5 sebagai
sangat kurus atau underweight, IMT melebihi 23 sebagai berat badan lebih atau
overweight, dan IMT melebihi 25 sebagai obesitas. IMT yang ideal bagi orang dewasa
adalah diantara 18,5 sehingga 22,9. Obesitas dikategorikan pada tiga tingkat: tingkat I
(25-29,9), tingkat II (30-40), dan tingkat III (>40) (CDC, 2002). Untuk kepentingan
Indonesia, batas ambang dimodifikasi lagi berdasarkan pengalaman klinis dan hasil
penelitian di beberapa negara berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas
ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut:

3. Etiologi
Secara spesifik, yang dikatakan obesitas adalah merupakan suatu keadaan
kelebihan jumlah lemak dalam tubuh, sedangkan overweight adalah kelebihan berat
badan bukan hanya dari jumlah lemaknya namun juga termasuk otot, tulang, dan total
air dalam tubuh. Para ahli sepakat bahwa laki-laki dengan jumlah lemak tubuh lebih
dari 25 persen dan wanita lebih dari 30 persen masuk dalam golongan kelebihan berat
badan atau obesitas.Body Mass Index (BMI) menjadi indikator awal yang membantu
professional untuk mencari tahu perkiraan kelebihan berat badan seseorang yang
nantinya dihubungkan dengan resiko terjangkit suatu penyakit. Pada obesitas, seseorang
mengkonsumsi kalori lebih dari yang dapat dibakar secara normal, dalam arti kata
mereka makan banyak namun tidak diseimbangkan dengan aktivitas atau olahraga.
Namun ada faktor lain yang juga menjadi predisposisi seseorang menjadi obesitas.
Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1. Genetik.
Genetik memainkan peran sangat besar terhadap kejadian obesitas. Pada suatu studi
didapatkan kesimpulan umum yaitu ketika ibu biologis mengalami obesitas, maka kira-kira
75 persen anak-anaknya akan mengalami obesitas. Sedangkan jika ibu biologis memang
kurus atau tidak mengalami obesitas, kira-kira 75 persen anak-anaknya juga berbadan kurus.
Maka mereka yang memang memiliki “bakat” genetik seperti ini sudah seharusnya lebih bisa
menerima keadaan yang sulit untuk diubah namun dapat dilakukan manajemen yang baik.

2. Usia.

Ketika seseorang menginjak usia tua, tubuh mengalami penurunan kemampuan untuk
metabolisme makanan atau kalori. Makanan lebih lama diolah, diubah menjadi energi dan
pada akhirnya walaupun jumlah makanan yang dikonsumsi sejak orang tersebut usia 20
hingga usia tua tidak berubah namun sebenarnya ia tidak memerlukan jumlah kalori yang
sama. Hal ini terlihat jelas ketika mereka yang berusia 20-an mengkonsumsi banyak kalori
namun seimbang dengan aktivitas, pada mereka yang berusia diatas 40-an dengan jumlah
konsumsi kalori yang sama malah bertambah bobotnya karena aktivitas dan metabolisme
tubuh yang sudah menurun secara alamiah.

3. Gender.

Wanita dikatakan mengalami tendensi lebih sering menjadi overweight dibanding laki-laki.
Laki-laki memiliki kemampuan untuk metabolisme saat istirahat yang berarti energi juga
digunakan saat itu. Sehingga laki-laki membutuhkan jauh lebih banyak kalori untuk menjaga
keseimbangan metabolisme yang menghasilkan energi itu. Pada wanita, terutama yang sudah
mengalami menopause, rasio metabolisme mereka justru akan menurun, sehingga jelas
mereka akan mengalami penambahan berat badan setelah menopause.

4. Lingkungan.
Walaupun genetik merupakan faktor utama pada obesitas, namun pada beberapa kasus,
lingkungan juga merupakan faktor signifikan. Yang termasuk faktor lingkungan adalah gaya
hidup seperti apa yang dimakan dan seberapa aktif seseorang.

5. Aktivitas fisik.

Seseorang yang aktivitas fisiknya tinggi membutuhkan kalori untuk dibakar jauh lebih besar
untuk menyeimbangkan kebutuhan tubuhnya. Sebagai tambahan, aktivitas fisik rupanya
membantu seseorang dengan obesitas untuk ‘menggunakan’ lemak sebagai sumber
energinya. Sehingga ketika lemak tersebut dibakar, berkurang pula bobot tubuhnya. Dalam
20 tahun terakhir diketahui bahwa mereka yang obesitas memang mengurangi aktivitas
fisiknya dan berlebihan dalam urusan konsumsi kalori atau makanan berlemak.

6. Penyakit.

Ada beberapa penyakit yang juga berhubungan dengan kejadian obesitas. Diantaranya
hipotiroidisme (kerja hormon tiroid yang menurun sehingga metabolisme tubuh ikut
menurun), suatu penyakit pada otak yang meningkatkan nafsu makan (agak jarang terjadi),
dan depresi.

7. Psikologis.

Kebiasaan makan terkait dengan faktor psikis pada seseorang. Banyak orang melarikan diri
dari rasa sedih, bosan, depresi atau marah dengan makan berlebihan. Rasa bersalah,
diskriminasi, malu, atau ditolak dari lingkungan sosial juga banyak berpengaruh pada kondisi
psikis seseorang yang berhubungan dengan perubahan pola makan. Binge eating adalah
sebagai contoh dimana orang tersebut makan berlebihan tanpa ia sadari dan pada akhirnya ia
akan mencari pengobatan serius karena masalah ini. Hampir 30 persen orang dengan binge
eating terkait faktor psikis menyerah dengan pergi ke dokter untuk mencari bantuan akan
masalah ini.
8. Obat-obatan.
Beberapa obat seperti steroid dan anti-depresan memiliki efek samping penambahan berat
badan.
4. Anestesi pada pasien obesitas
Dalam berbagai macam literatur, anestesi pada pasien obesitas tidak menjadi
bahasan khusus. Akan tetapi, tata laksana anestesi pada pasien obesitas rupanya
memiliki kendala yang patut diperhatikan. Secara umum, ketika datang pasien obesitas
kedalam ruang operasi, dokter anestesi sudah memikirkan kemungkinan-kemungkinan
yang akan dihadapi sebelum, selama dan sesudah tindakan anestesi. Diantaranya adalah
prediksi kesulitan intubasi, prevensi tromboemboli, prevensi komplikasi pasca operasi
seperti atelektasis, penggunaan obat anestesi seperti analgesik yang dapat diberikan
atau obat-obat yang harus dihindari pemberiannya, manajemen pasien dengan
obstructive sleep apnea, kriteria pemindahan ke ICU dan penanganan mekanisme
ventilasi yang harus dilakukan, juga terapi cairan, eletrolit dan nutrisi.Masalah utama
pasien obesitas masih seputar gangguan pada sistem kardiovaskular, respirasi, dan
gastrointestinal. Masalah lain adalah pada ibu hamil dengan atau tanpa obesitas dan
anak-anak yang sedari kecil sudah mengalami obesitas.
Pada penggunaan induksi obat anesthesia penggunaan obat sesuai berat badan
aktual akan menyebabkan hipotensi yang signifikan sehingga penggunaan LBW ataupu
ABW lebih disarankan, dengan rekomendsi gambar di bawah ini :

B. Terapi cairan perioperative


Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk :
a. Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi
b. Penggantian cairan dan pemberian obat selama operasi
Pemberian cairan operasi dibagi :
 Pre Operasi
 Pemberian cairan sebelum operasi diberikan karena pasien sebelum operasi
dipuasakan terlebih dahulu. Sehingga pasien dapat mengalami defisit cairan.
Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml/ kgBB/ jam. Bila terjadi
dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5 % BB, berat 7 % BB. Setiap kenaikan suhu 1⁰ C
kebutuhan cairan bertambah 10-15 %
 Selama operasi
 Selama proses operasi dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi.
Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi :
a. Ringan : 4 ml/ kgBB/ jam
b. Sedang : 6 ml/ kgBB/ jam
c. Berat : 8 ml/ kgBB/ jam
Bila terjadi perdarahan selama operasi, perdarahan dihitung kurang dari 10% EBV
maka cukup diganti dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang
hilang. Apabila ada perdarahan lebih dari 10% maka dapat dipertimbangkan
pemberian plasma/ koloid/ dextran dengan dosis 1- 2 kali darah yang hilang.
 Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi
ditambah cairan kebutuhan pasien sehari- hari. Setelah operasi dilakukan pemulihan
dan perawatan pasca operasi dan anestesi. Biasanya akan dilakukan di dalam recovery
room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca operasi atau anestesi. Recovery
room atau ruang pemulihan adalah ruangan tempat pasien sebelum dipindahkan ke
bangsal (Latief, 2007)
C. GENERAL ANASTESI
1. Definisi
Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai
hilangnya kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi umum terdapat beberapa
teknik yang dapat dilakukan adalah anestesi umum dengan teknik intravena anestesi
dan anestesi umum dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan
dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau dengan teknik
gabungan keduanya yaitu inhalasi dan intravena (Latief, 2007)
2. Stadium general anestesi
Anestesi umum dibagi menjadi 4 stadium, yaitu stadium I (anelgesia), stadium II
(eksitasi), stadium III (pembedahan), dan stadium IV (depresi medulla oblongata).

 Stadium I (Anelgesia)
Stadium analgesia dimulai sejak pemberian anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (anelgesia),
tetapi masih sadar. Pernapasan masih dipengaruhi kemauan dan keras,
frekuensi nafas, dan pulsus meningkat, pupil melebar, terjadi urinasi, dan
defekasi.
 Stadium II (Eksitasi)
Dimulai dari hilangnya reflek bulu mata sampai ventilasi kembali teratur.
Pada stadium ini, terjadi depresi pada ganglia basalis sehingga reflek-
reflek tidak terkendali atau terjadi reaksi berlebihan terhadap segala
bentuk rangsangan.
 Stadium III (Pembedahan)
Stadium III dimulai dengan tumbulnya kembali pernapasa yang teratur
dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Pada stadium ini
dibagi lagi menjadi 4 tingkat dan tiap tingkatan dibedakan dari perubahan
pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus otot dan
lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
o Tingkat 1
Pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan dada
dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis,
sedangkan tonus otot rangka mulai menurun.
o Tingkat 2
Pernapasan teratur, volume tidal menurun, reflek cahaya menurun
dan reflek kornea negatif, pupil mata melebar.
o Tingkat 3
Ventilasi teratur, pernafasan abdominal karena kelumpuhan saraf
intercostalis, lakrimasi tidak ada, pupil midriasis dan sentral, reflek
laring dan peritoneum negative dan tonus otot menurun.
o Tingkat 4
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat karena otot diafragma
mulai lumpuh, tonus otot sangat menurun, pupil midriasis, reflek
sfingter negative.
 Stadium 4 (Paralisis)
Stadium paralisis atau stadium kelebihan obat yaitu mulai dari henti nafas
sampai henti jantung (Pranowo, 2016).
3. Jenis Anastesi
Secara umum anestesi dapat dibagi atas dua golongan yaitu berdasarkan cara
penggunaan obat dan berdasarkan luas pengaruh obat. Berdasarkan cara penggunaan
obat anestesi dibagi menjadi :
 Topikal yaitu obat diberikan melalui kutaneus atau membran mukosa
untuk tujuan anestesi lokal
 Injeksi yaitu obat diberikan melalui suntikan baik secara intramuskuler,
intravena, ataupun subkutan
 Inhalasi yaitu obat diberikan melalui saluran respirasi dengan
menggunakan gas oksigen;
 Oral atau rektal yaitu obat diberikan melalui saluran pencernaan
(gastrointestinal) (Tranquilli et al., 2007).
Berdasarkan luas pengaruh obat anestesi dibagi menjadi anestesi lokal, anestesi
regional dan anestesi umum.
 Anestesi lokal merupakan suatu kondisi hilangnya berbagai sensasi seperti rasa
sakit yang terjadi di sebagian tubuh. Bahan anestetikum lokal bekerja dengan
menghambat pengiriman impuls ke ujung syaraf bebas dengan menghasilkan
blokade gerbang sodium sehingga terjadi penurunan sensasi, terutama rasa sakit
yang bersifat sementara di sebagian tubuh. Penggunaan anestetikum lokal dapat
dilakukan dengan meneteskan pada permukaan daerah yang akan dianestesi
(surface afication), dengan melakukan injeksi secara subkutan pada daerah yang
akan dianestesi (subdermal, intradermal), serta dengan melakukan pemblokiran
pada daerah tertentu (Sudisma, 2006).
 Anestesi regional adalah suatu tindakan menghilangkan rasa sakit yang
dilakukan dengan cara menyuntikkan anestetikum lokal pada lokasi syaraf yang
menginervasi regio atau daerah tertentu sehingga mengakibatkan hambatan
konduksi impuls yang reversibel. Anestetikum regional dapat menghilangkan
rasa nyeri pada suatu daerah atau regio tertentu secara reversibel tanpa disertai
hilangnya kesadaran.
 Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran dan bersifat irreversible. Anestesi umum yang sempurna
menghasilkan ketidak sadaran, analgesia, relaxasi otot tanpa menimbulkan
resiko yang tidak diinginkan dari pasien (Sasongko, 2005).
4. Klasifikasi
Obat anestesi umum dibagi menurut bentuk fisiknya dibagi terdiri dari 3
golongan:
a. Obat Anestetika gas (inhalasi)
Anestesi umum inhalasi merupakan salah satu metode anestesi umum
yang dilakukan dengan cara memberikan agen anestesi yang berupa gas dan
atau cairan yang mudah menguap melalui alat anestesi langsung ke udara
inspirasi. Hiperventilasi akan menaikkan ambilan anestetikum dalam alveolus dan
hipoventilasi akan menurunkan ambilan alveolus.
Kelarutan zat inhalasi dalam darah adalah faktor utama yang penting
dalam menentukan induksi dan pemulihan anestesi inhalasi. Induksi dan
pemulihan akan berlangsung cepat pada zat yang tidak larut dan lambat pada zat
yang larut.Anestetik gas tidak mudah larut dalam darah sehingga tekanan parsial
dalam darah cepat meningkat. Batas keamanan antara efek anesthesia dan efek
letal cukup lebar. Contoh :
 N2O
 Siklopropan
b. Obat Anestetika yang menguap
Anestetik yang menguap (volatile anesthetic) mempunyai 3 sifat dasar
yang sama yaitu berbentuk cairan pada suhu kamar, mempunyai sfat anestetik
kuat pada kadar rendah dan relative mudah larut dalam lemak, darah dan jaringan.
Kelarutan yang baik dalam darah dan jaringan dapat memperlambat terjadinya
keseimbangan dan terlawatinya induksi, untuk mengatasi hal ini diberikan kadar
lebih tinggi dari kadar yang dibutuhkan. Bila stadium yang diinginkan sudah
tercapai kadar disesuaikan untuk mempertahankan stadium tersebut. Untuk
mempercepat induksi dapat diberika zat anestetik lain yang kerjanya cepat
kemudian baru diberikan anestetik yang menguap.
Contoh :
 Enfluran halotan
 Isofluran
 Sevofluran
c. Obat Anestetika yang diberikan secara intravena
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia,
induksi dan pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada
anesthesia atau analgesia local, dan sedasi pada beberapa tindakan medik.
Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit dicapai oleh hanya satu
macam obat yaitu cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek analgesia,
disertai oleh amnesia pasca anestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan
oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit
mendepresi fungsi restirasi dan kardiovasculer, pengaruh farmakokinetik tidak
tergantung pada disfungsi organ. Untuk mencapai tujuan di atas, kita dapat
menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi lain. Kebanyakan obat
anestetik intravena dipergunakan untuk induksi. Kombinasi beberapa obat
mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi
pengaruh obat yang lain. Contoh :
 Barbiturate
 Fentanyl
 Propofol
 Etomidate
 Diazepam
 Ketamine

D. TOTAL INTRAVENOUS ANESTHESIA (TIVA)


1. Pengertian
Total Intravenous Anesthesia (TIVA) atau Anestesi Intravena merupakan teknik
anastesi umum/general anesthesia dengan menggunakan obat-obat anastesi yang
dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu
hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot. Kebanyakan obat-obat anastesi intravena hanya
mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai ketiga trias anastesi
sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi yang lengkap.
2. Kelebihan TIVA
 Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis yang lebih
akura dalam pemakaiannya.
 Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
 Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin anestesi khusus.
3. Indikasi Pemberian TIVA
TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :
 Obat induksi anastesi umum
 Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat
 Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
 Obat tambahan anastesi regional
 Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP
4. Obat Premedikasi
Tujuan premedikasi bukan hanya untuk mempermudah induksi dan mengurangi
jumlah obat – obatan yang digunakan, tetapi terutama untuk menenangkan pasien
sebagai persiapan anestesi. Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum
anestesi dilakukan.
Tindakan premedikasi ini mempunyai tujuan antara lain untuk memberikan rasa
nyaman bagi pasien, membuat amnesia, memberikan analgesia, mencegah muntah,
memperlancar induksi, mengurangi jumlah obat – obat anestesi, menekan reflek –
reflek yang tidak diinginkan, mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas.

 Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepin
dengan sifat yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan
benzodiapin kerja cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan
dengan reseptor benzodiazepin yang terdapat diberbagai area di otak seperti
di medulla spinalis, batang otak,serebelum system limbic serta korteks
serebri. Efek induksi terjadisekitar 1,5 menit setelah pemberian intra vena bila
sebelumnyadiberikan premedikasi obat narkotika dan 2-2,5 menit tanpa
premedikasi narkotika sebelumnya.
Midazolam di indikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi,
basal sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan
di bawah anestesi local serta induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat
ini dikontraindikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan
benzodiazepine, pasien dengan insufisiensi pernafasan, acut narrow-angle
glaucoma.
 Dosis premedikasi sebelum operasi
Pemberian intramuskular pada penderita yang mengalami nyeri
sebelum tindakan bedah, pemberian tunggal atau kombinasi dengan
antikolinergik atau analgesik. Dewasa : 0,05- 0,1 mg/ kg BB secara
IM sesuai dengan keadaan umum pasien, lazimnya diberikan 5mg.
Dosis usia lanjut dan pasien lemah 0,025 - 0,05 mg/ kg BB (IM).
Untuk basal sedation pada dewasa tidak melebihi 2,5 mg IV 5-10
menit sebelum permulaan operasi, pada orang tua dosis harus
diturunkan 1- 1,5 mg dengan total dosis tidak melebihi 3,5 mg IV.
 Midazolam mempunyai efek samping :
Efek yang berpotensi mengancam jiwa, yaitu midazolam dapat
mengakibatkan depresi pernafasan dan kardiovaskular, iritabilitas
padaventrikel dan perubahan pada kontrol baroreflek dari denyut
jantung. Efek yang berat dan ireversibel yaitu selain depresi SSP yang
berhubungan dengan dosis, tidak pernah dilaporkan efek samping
yang ireversibel. Efek samping simtomatik : agitasi, involuntary
movement, bingung, pandangan kabur, nyeri pada tempat suntikan,
tromboflebitis dantrombosis. Midazolam dapat berinteraksi dengan
obat alkohol, opioid, simetidin, ketamine.
 Fentanyl
Fentanil adalah merupakan derivat agonis sintetik opioid fenil
piperidin, yang secara struktur berhubungan dengan meperidin, sebagai
anestetik 75 – 125 kali lebih poten dari Morfin. Fentanil merupakan salah satu
preparat golongan analgesik opioid dan termasuk dalam opioid potensi tinggi
dengan dosis 1-2 μg/kgBB. Opioid dosis tinggi yang deberikan selama
operasi dapat menyebabkan kekakuan dinding dada dan larynx, dengan
demikian dapat mengganggu ventilasi secara akut, sebagaimana
meningkatnya kebutuhan opioid potoperasi berhubungan dengan
perkembangan toleransi akut. Maka dari itu, dosis fentanyl dan sufentanil
yang lebih rendah telah digunakan sebagai premedikasi dan sebagai suatu
tambahan baik dalam anestesi inhalasi maupun intravena untuk memberikan
efek analgesi perioperatif.
Sebagai analgesik, potensinya diperkirakan 80 kali morfin.
Lamanya efek depresi nafas fentanil lebih pendek dibanding meperidin. Efek
euphoria dan analgetik fentanil diantagonis oleh antagonis opioid, tetapi
secara tidak bermakna diperpanjang masanya atau diperkuat oleh droperidol,
yaitu suatu neuroleptik yang biasanya digunakan bersama sebagai anestesi
IV. Dosis tinggi fentanil menimbulkan kekakuan yang jelas pada otot lurik,
yang mungkin disebabkan oleh efek opioid pada tranmisi dopaminergik di
striatum. Efek ini di antagonis oleh nalokson. Fentanyl biasanya digunakan
hanya untuk anestesi, meski juga dapat digunakan sebagai anelgesi pasca
operasi. Obat ini tersedia dalam bentuk larutan untuk suntik dan tersedia pula
dalam bentuk kombinasi tetap dengan droperidol. Fentanyl dan droperidol
(suatu butypherone yang berkaitan dengan haloperidol) diberikan bersama-
sama untuk menimbulkan analgesia dan amnesia dan dikombinasikan dengan
nitrogen oksida memberikan suatu efek yang disebut sebagai
neurolepanestesia.
 Ketorolac
Ketorolac dapat diberikan secara oral, intramuscular atau intravena.
Tidak dianjurkan untuk intratekal atau epidural. Setelah suntikan
intramuscular atau intravena efek analgesinya dicapai dalam 30 menit,
maksimal setelah 1-2 jam dengan lama kerja sekitar 4-6 jam dan
penggunannya dibatasi untuk 5 hari.
Dosis awal 10-30 mg dan dapat diulang setiap 4-6 jam dan
penggunannya sesuai kebutuhan. Untuk pasien normal dosis sehari dibatasi
maksimal 90 mg dan untuk berat < 50kg, manula atau gangguan faal ginjal
dibatasi maksimal 60 mg. sifat analgetik ketorolac setara dengan opioid, yaitu
30 mg ketorolac = 12 mg morfin = 100 mg petidin, sedangkan sifat antipiretik
dan antiinflamasinya rendah. Ketorolac dapat digunakan secara bersamaan
dengan opioid.Cara kerja ketorolac adalah menghambat sintesis prostaglandin
di perifir tanpa menggangu reseptor opioid di sistema saraf pusat. Tidak
dianjurkan digunakan untuk wanita hamil, menghilangkan nyeri
persalinan,wanita sedang menyusui, usia lanjut, anal usia < 4 tahun, gangguan
perdarahan.
 Ondansetron
Merupakan suatu antagonis 5-HT3 yang sangat efektif mual dan
muntah karena sitostatika misalnya cisplatin dan radiasi. Ondansetron
mempercepat pengosongan lambung, bila kecepatan pengosongan basal
rendah. Tetapi waktu transit saluran cerna memanjang sehingga dapat terjadi
konstipasi. Ondansetron dieliminasi dengan cepat dari tubuh. Metabolisme
obat ini terutama secara hidroksilasi dan konjugasi dengan glukonida atau
sulfat dalam hati.5 Dosis ondansentron yang biasanya diberikan untuk
premedikasi antara 4-8 mg/kgBB. Dalam suatu penelitian kombinasi antara
Granisetron dosis kecil yang diberikan sesaat sebelum ekstubasi trakhea
ditambah Dexamethasone yang diberikan saat induksi anestesi merupakan
suatu alternatif dalam mencegah muntah selama 0-2 jam setelah ekstubasi
trakhea daripada ondansetron dan dexamethasone.

5. Jenis-jenis Anastesi Intravena


 GOLONGAN BARBITURAT
Tiopental sekarang lebih dikenal dengan nama sodium Penthotal,
Thiopenal, Thiopenton Sodium atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum
barbiturat short acting, tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki
onset yang cepat (30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai
puncak konsentrasi dan setelah 5 – 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak dan
kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan menggunakan
infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya kesadaran.
 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg. Untuk
menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan dosis kecil dulu
50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.
 Efek samping
Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga jangan
memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya reaksi anafilaksis yang
jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi pada pasien dengan porfiria akut,
karena barbiturat akan menginduksi enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase,
dan dapat memicu terjadinya serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan
akan menyebakan nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi
dengan pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis. Obat ini
tersedia dalam bentuk serbuk higroskopis, bersifat basa, berbau belerang, larut
dalam air dan alcohol.Penggunaannya sebagai obat induksi, suplementasi dari
anastesi regional, antikonvulsan, pengurangan dari peningkatan TIK, proteksi
serebral. Metabolismenya di hepar dan di ekskresi lewat ginjal.
 Onset : 20-30 detik
 Durasi : 20-30 menit
 Dosis :
 Induksi iv : 30 mg/Kg BB, anak 5-6 mg/Kg BB, bayi 7-8 mg/kg BB
 Suplementasi anastesi : iv 0,5-1 mg/kg BB
 Induksi rectal : 25 mg/ kg BB
 Antikonvulsan : iv 1-4 mg/kg BB
 Efek samping obat:
 Sistem kardiovaskuler
o Depresi otot jantung
o Vasodilatasi perifer
o Turunnya curah jantung
 Sistem pernapasan, menyebabkan depresi saluran pernapasan 
konsentrasi otak mencapai puncak  apnea
 Dapat menembus barier plasenta dan sedikit terdapat dalam ASI
 Sedikit mengurangi aliran darah ke hepar
 Meningkatkan sekresi ADH (efek hilang setelah pemberian
dihentikan)
 Pemulihan kesadaran pada orang tua lebih lama dibandingkan pada
dewasa muda
 Menyebabkan mual, muntah, dan salvias
 Menyebabkan trombophlebitis, nekrosis, dan gangrene
 Kontraindikasi :
 Alergi barbiturate
 Status ashmatikus
 Porphyria
 Pericarditis constriktiva
 Tidak adanya vena yang digunakan untuk menyuntik
 Syok
 Anak usia < 4 th (depresi saluran pernapasan)
 GOLONGAN BENZODIAZEPIN
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi
adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed),
diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa propylene
glycol. Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, anxiolitik,
amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di sentral.
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek puncak akan
muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan secara I.V dan waktu
paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam. Dosis ulangan akan menyebabkan
terjadinya akumulasi dan pemanjangan efeknya sendiri. Midazolam dan diazepam
didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme mungkin akan
tampak lambat pada pasien tua.
 Diazepam
Karena tidak larut air, maka obat ini dilarutkan dalam pelarut
organic (propilen glikol dan sodium benzoate).Karena itu obat ini bersifat
asam dan menimbulkan rasa sakit ketika disuntikan, trombhosis, phlebitis
apabila disuntikan pada vena kecil. Obat ini dimetabolisme di hepar dan
diekskresikan melalui ginjal. Obat ini dapat menurunkan tekanan darah
arteri. Karena itu, obat ini digunakan untuk induksi dan supplement pada
pasien dengan gangguan jantung berat.
Diazepam biasanya digunakan sebagai obat premedikasi, amnesia,
sedative, obat induksi, relaksan otot rangka, antikonvulsan, pengobatan
penarikan alcohol akut dan serangan panic.
 Onset : iv < 2 menit, rectal < 10 menit, oral 15 menit-1 jam
 Durasi : iv 15 menit- 1 jam, PO 2-6 jam
 Dosis
o Premedikasi : iv/im/po/rectal 2-10 mg
o Sedasi : 0,04-0,2 mg/kg BB
o Induksi : iv 0,3-0,6 mg/kg
o Antikonvulsan : iv 0,05-0,2 mg/kg BB setiap 5-10 menit dosis
maksimal 30 mg, PO/rectal 2-10 mg 2-4 kali sehari
 Efek samping obat :
o Menyebabkan bradikardi dan hipotensi
o Depresi pernapasan
o Mengantuk, ataksia, kebingungan, depresi,
o Inkontinensia
o Ruam kulit
o DVT, phlebitis pada tempat suntikan
 Midazolam
Obat ini mempunyai efek ansiolitik, sedative, anti konvulsif, dan
anteretrogad amnesia. Durasi kerjanya lebih pendek dan kekuatannya 1,5-3x
diazepam. Obat ini menembus plasenta, akan tetapi tidak didapatkan nilai
APGAR kurang dari 7 pada neonatus.
 Dosis :
o Premedikasi : im 2,5-10 mg, Po 20-40 mg
o Sedasi : iv 0,5-5 mg
o Induksi : iv 50-350 µg/kg
 Efek samping obat :
o Takikardi, episode vasovagal, komplek ventrikuler premature,
hipotensi
o Bronkospasme, laringospasme, apnea, hipoventilasi
o Euphoria, agitasi, hiperaktivitas
o Salvasi, muntah, rasa asam
o Ruam, pruritus, hangat atau dingin pada tempat suntikan
 PROPOFOL
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia intravena
dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali digunakan dalam
praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi. Propofol digunakan untuk
induksi dan pemeliharaan dalam anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien
anak – anak usia lebih dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak
soybean, sedangkan pertumbuhan kuman dihambat oleh adanya asam
etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada pabrik
pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10 mg) dan pH 7-8.
Propofol adalah 98% protein terikat dan mengalami metabolisme hati
untuk metabolit glukuronat, yang akhirnya diekskresikan dalam urin.

 Efek Klinis
Propofol menghasilkan hilangnya kesadaran dengan cepat, dengan waktu
pemulihan yang cepat dan langsung kembali pada kondisi klinis
sebelumnya (sebagai hasil waktu paruh distribusi yang pendek dan tingkat
clearance tinggi). Propofol menekan refleks laring sehingga sangat cocok
untuk digunakan dengan perangkat LMA agar dapat dimasukkan dengan
lancar. Ada insiden rendah mual dan muntah pasca operasi dan reaksi
alergi atau hipersensitivitas. Karena propofol tidak signifikan menumpuk
setelah bolus ulangan, propofol sangat cocok untuk infus jangka panjang
selama operasi sebagai bagian dari teknik anestesi Total intravena (TIVA)
dan di ICU untuk obat penenang jangka panjang.
 Dosis dan penggunaan
o Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
o Sedasi : 25 to 75 µg/kg/min dengan I.V infuse
o Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 µg/kg/min IV (titrate
to effect), bolus iv: 25-50mg
o Bolus intermiten: Suplemen 25-50 mg (2,5-5 mL) dapat diberikan.
Berikan bolus secara inkremental saat perubahan tanda vital
mengindikasikan respons terhadap stimulasi bedah atau anestesi ringan
o Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau apabila
digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
o Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan konsentrasi
yang minimal 0,2%
o Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada dalam
lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi sudah terbuka
lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari bakteri.1,2
 Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai
75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri pada
pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan lidokain (0,5
mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2 menit dengan
pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat suntikan, berikan
secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan muntah juga sering
sekali ditemui pada pasien setelah operasi menggunakan propofol.
Propofol merupakan emulsi lemak sehingga pemberiannya harus hati –
hati pada pasien dengan gangguan metabolisme lemak seperti
hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada sesetengah kasus dapat
menyebabkan kejang mioklonik (thiopental < propofol < etomidate atau
methohexital). Phlebitis juga pernah dilaporkan terjadi setelah pemberian
induksi propofol tapi kasusnya sangat jarang. Terdapat juga kasus
terjadinya nekrosis jaringan pada ekstravasasi subkutan pada anak-anak
akibat pemberian propofol.
 OPIOID
Morphine, meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil
merupakan golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang digunakan dalam
operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi, farmakokinetik dan efek samping.
Absorbsi cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan meperedin
intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60 menit. Fentanil sitrat
transmukosal oral merupakan metode efektif menghasilkan analgesia dan sedasi
dengan onset cepat (10 menit) analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 μg/Kg)
dan dewasa (200-800 μg).
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan lemak
yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar darah otak, sehingga
onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih panjang. Sebaliknya fentanil dan
sufentanil onsetnya cepat dan durasi singkat setelah injeksi bolus.
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan
dalam dosis tinggi. Opioid tidak mengganggu kardiovaskuler, sehingga banyak
digunakan untu induksi pada pasien jantung.
 Morfin
Penggunaanya untuk premedikasi, analgesic, anastesi, pengobatan nyeri yang
berjaitan dengan iskemia miokard, dan dipsnea yang berkaitan dengan
kegagalan ventrikel kiri dan edema paru.
Dosis :
o Analgesic : iv 2,5-15 mg, im 2,5-20 mg, Po 10-30 mg, rectal 10-20 mg
setiap 4 jam
o Induksi : iv 1 mg/kg
Onset : iv < 1 menit, im 1-5 menit
Durasi : 2-7 jam
Efek samping obat :
o Hipotensi, hipertensi, bradikardia, aritmia
o Bronkospasme, laringospasme
o Penglihatan kabur, sinkop, euphoria, disforia
o Retensi urin, spasme ureter
o Spasme traktus biliaris, konstipasi, anoreksia, mual, muntah,
penundaan pengosongan lambung
o Miosis
 Petidin
Penggunaannya untuk nyeri sedang sampai berat, sebagai suplemen sedasi
sebelum pembedahan, nyeri pada infark miokardium walaupun tidak seefektif
morfin sulfat, untuk menghilangkan ansietas pada pasien dengan dispnea
karena acute pulmonary edema dan acute left ventricular failure.
Dosis
o Dewasa :
Dosis lazim 50–150 mg setiap 3-4 jam jika perlu,
Injeksi intravena lambat : dewasa 15–35 mg/jam.
o Anak-anak :
1.1–1.8 mg/kg setiap 3–4 jam jika perlu.
o Untuk sebelum pembedahan : dosis dewasa 50 – 100 mg IM/SK
Petidin dimetabolisme terutama di hati
Kontraindikasi
o Pasien yang menggunakan trisiklik antidepresan dan MAOi. 14 hari
sebelumnya (menyebabkan koma, depresi pernapasan yang parah,
sianosis, hipotensi, hipereksitabilitas, hipertensi, sakit kepala, kejang)
o Hipersensitivitas.
o Pasien dengan gagal ginjal lanjut
Efek samping obat
o Depresi pernapasan,
o Sistem saraf : sakit kepala, gangguan penglihatan, vertigo, depresi,
rasa mengantuk, koma, eforia, disforia, lemah, agitasi, ketegangan,
kejang,
o Pencernaan : mual, muntah, konstipasi,
o Kardiovaskular : aritmia, hipotensi postural,
o Reproduksi, ekskresi &endokrin : retensi urin, oliguria.
o Efek kolinergik : bradikardia, mulut kering, palpitasi, takikardia,
tremor otot, pergerakan yg tidak terkoordinasi, delirium atau
disorintasi, halusinasi.
o Lain-lain : berkeringat, muka merah, pruritus, urtikaria, ruam kulit
o Pengunaan petidin perlu hati-hati pada pasien dengan disfungsi hati &
ginjal karena akan memperlama kerja & efek kumulasi opiod, pasien
usia lanjut, pada depresi sistem saraf pusat yang parah, anoreksia,
hiperkapnia, depresi pernapasan, aritmia, kejang, cedera kepala, tumor
otak, asma bronchial
 Fentanil
Digunakan sebagai analgesic dan anastesia
Dosis :
- Analgesik : iv/im 25-100 µg
- Induksi : iv 5-40 µg/ kg BB
- Suplemen anastesi : iv 2-20 µg/kg BB
- Anastetik tunggal : iv 50-150 µg/ kg BB
Onset : iv dalam 30 detik, im < 8 menit
Durasi : iv 30-60 menit, im 1-2 jam
Efek samping obat :
- Bradikardi, hipotensi
- Depresi saluran pernapasan, apnea
- Pusing, penglihatan kabur, kejang
- Mual, muntah, pengosongan lambung terlambat
- Miosis
 KETAMIN
Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali diperkenalkan oleh Domino
dan Carson tahun 1965 yang digunakan sebagai anestesi umum. Ketamin kurang
digemari untuk induksi anastesia, karena sering menimbulkan takikardi, hipertensi ,
hipersalivasi , nyeri kepala, pasca anasthesi dapat menimbulkan muntah – muntah ,
pandangan kabur dan mimpi buruk. Ketamin juga sering menyebabkan terjadinya
disorientasi, ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti
anesthesia, dan sering disebut dengan emergence phenomena.
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan didistribusikan
ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 – 60 detik setelah pemberian secara I.V
dengan dosis induksi, dan akan kembali sadar setelah 15 – 20 menit. Jika diberikan
secara I.M maka efek baru akan muncul setelah 15 menit.
 Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara
intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya pada
anak – anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan secara I.V
atau I.M.
o Dosis induksi adalah 1 – 2 mg/KgBB secara I.V atau 5 – 10 mg/Kgbb I.M
o Dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2 mg/KgBB dan harus dititrasi untuk
mendapatkan efek yang diinginkan.
o Pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu. Pemberian
secara intermitten diulang setiap 10 – 15 menit dengan dosis setengah dari
dosis awal sampai operasi selesai. Dosis obat untuk menimbulkan efek
sedasi atau analgesic adalah 0,2 – 0,8 mg/kg IV atau 2 – 4 mg/kg IM atau
5 – 10 µg/kg/min IV drip infus.
 Efek samping
Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi air
liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan lelah ,
halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot dapat
menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu ketamin juga
dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata dapat menyebabkan
terjadinya nistagmus dan diplopia.
 Kontra indikasi
o Hipertensi tak terkontrol
o Hipertroid
o Eklampsia/ pre eklampsia
o Gagal jantung
o Unstable angina
o Infark miokard
o Aneurisma intracranial, thoraks dan abdomen
o TIK tinggi
o Perdarahan intraserebral
o TIO tinggi
o Trauma mata terbuka
BAB III

DISKUSI KASUS

Abses adalah kumpulan tertutup jaringan cair, yang dikenal sebagai nanah, di suatu
tempat di dalam tubuh. Ini adalah hasil dari reaksi pertahanan tubuh terhadap benda asing.
Teknik general anestesi dengan Total Intravenous Anasthesia (TIVA) pada pasien ini
dilakukan atas pertimbangan lama waktu operasi yang relatif singkat. Sebelum operasi, pasien
diinstruksikan untuk berpuasa 8 jam agar lambung dalam keadaan kosong. Pemilihan obat yang
digunakan untuk premedikasi disesuaikan dengan kebutuhan anestesi. Prinsipnya adalah
mencapai trias anestesi yaitu, hipnotik, analgesi, dan relaksasi. Trias anestesi ini dapat
didapatkan dengan menggunakan obat-obatan yaitu midazolam, fentanyl, ketamine dan propofol.
Penentuan dosis obat-obatan yang digunakan sesuai dengan berat badan pasien ini yaitu
103 kg, berat badan ideal 70 kg dan lean body weight 66,3 kg. Dengan berat badan tersebut,
didapatkan dosis yang sesuai adalah, Midazolam 3,5 mg (0,05-0,1 mg/kgBB), Fentanyl 75 mcg
(1-2 mcg/kgBB), Ketamin 40 mg (1-2 mg/kgBB) dan Propofol 50 mg (2-2,5 mg/kgBB).
Sementara, pemeliharaan anestesi dilakukan dengan oksigenasi O2 nasal kanul.
Selama anestesi berlangsung, dilakukan monitor hal-hal sebagai berikut : Minute volume,
Volume tidal, dan respiration rate. Jika tiga hal ini dapat dikontrol, maka anestesi dapat
dikatakan berjalan dengan aman. Dimonitor pula tekanan darah, nadi, dan saturasi.
Pasca anestesi, perlu diperhatikan tanda-tanda vital agar tetap berada pada garis normal.
Pemindahan kebangsal dilakukan dengan mengitung skor aldetrate. Pemberian jumlah cairan
pasca operasi diukur dari kebutuhan saat operasi, pengganti puasa dan kehilangan darah saat
operasi. Pemilihan analgetik dan anti muntah pasca operasi disesuaikan dengan kebutuhan pasien
dan sumber daya rumah sakit.
KESIMPULAN

1. Pada kasus ini pasien dengan diagnosis absess flank dextra dilakukan tindakan insisi
menggunakan anestesi umum intravena atau Total Intravenous Anasthesia (TIVA)
dengan nasal canule karena durasinya operasi yang singkat dan faktor resiko
obesitas(ASA II).
2. Selama anestesi dan operasi berlangsung tidak didapati kendala atau masalah.
3. Setelah operasi pasien segera dipindahkan ke ruang pulih sadar, dengan skor aldrete 10
yang berarti pasien dapat langusng dipindahkan ke dalam ruang perawatan.
DAFTAR PUSTAKA

1. CDC. 2009. Obesity and Consequences. Available from :


www.cdc.gov/nccdphp/dnpa/obesity/consequences.html
2. SOBA UK. 2015. Peri-operative management for obese patient.
https://www.aagbi.org/sites/default/files/Peri_operative_management_obese_patientWEB.
pdf
Ed
3. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Departement Farmakologi dan Terapeutik 5
farmakologi dan Terapi. Jakarta : Gaya Baru ; 2007
4. Mangku G,dkk. Buku ajar Ilmu Anasthesia dan Reanimasi. Cetakan pertama. Jakarta :
Universitas Udayana Indeks ; 2010
5. Omoigui, S. 1997. Obat-obatan Anastesia. EGC : Jakarta
6. Latief SA. Suryadi KA. Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi dan Terapi Intensif
Edisi 3. Jakarta Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ; 2007

7. Al-Rifai, Z et al. Principles of Total Intravenous Anaesthesia, Emedicine. Medscape 2015.


8. Appleys AG: System of orthopaedic and fractures. 7 th ed. ELBS with ELBS Bitterwarth
Heineman, 1995.
9. Edward Morgan et al. Clinical Anesthesiology. Fourth Edition. McGraw-Hill Companies.
2006: 98.
10. Peter F Dunn. Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General Hospital.
Lippincot Williams & Wilkins. 2007 : 213 -217
11. Pranowo, Kurnianto Trubus. 2016. Anestesiologi dan Terapi Intensif. SMF Anestesiologi
dan Terapi Intensif RSUD Panembahan Senopati Bantul.
12. Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Trauma. Dalam: Colachis SC.
1986. ed. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta

You might also like