Professional Documents
Culture Documents
53
Istiana, dkk. Status kerentanan larva Ae. Aegypti
akan menetas menjadi nyamuk dewasa dalam bergerak lagi. Untuk kontrol, ke dalam gelas arloji
waktu kira-kira 2 hari. Nyamuk dewasa diberi dimasukkan 1 ml alkohol 70%. Jika kematian larva
makan darah manusia dan air gula 10%. Setelah pada kelompok kontrol lebih dari 20%, maka
bertelur, telur ditetaskan dengan cara meletakkan pengujian harus diulang. Mortalitas larva uji harus
kertas saring yang berisi telur pada media air. dikoreksi dengan formula Abbot jika ada kematian
Larva yang telah ditetaskan ditunggu 3-4 hari untuk pada kelompok kontrol sebesar 5-20%. Jumlah
kemudian diuji secara bioassay. larva mati dihitung dengan cara menyentuh larva
Pembuatan konsentrasi temefos dengan lidi dan jika tidak bergerak berarti sudah
mati.
Pembuatan konsentrasi temephos dilakukan
dengan pengenceran. Terlebih dahulu dibuat Data yang diperoleh kemudian dianalisis dengan uji
suspensi temephos standar dengan cara one way Anova untuk mengetahui perbedaan antar
memasukkan abate yang mengandung temephos kelompok perlakuan dan dilanjutkan dengan Probit
1% sebanyak 100 mg ke dalam tabung yang berisi Analysis untuk mengetahui LC50 dan LC99 melalui
alkohol 70% sebanyak 400 ml. Larutan suspensi ini program SPSS 15.13
adalah larutan temephos dengan dosis 0,25 g/l Hasil
atau 250 ppm. Akan tetapi karena abate hanya
Jumlah kematian larva yang teramati setelah
mengandung 1% temefos, maka dosis
dipaparkan dengan dosis perlakuan dapat dilihat
temephosnya adalah 2,5 ppm. Dari larutan
pada tabel 1. Hasil menunjukkan bahwa juga pada
suspensi ini dibuat berbagai konsentrasi yang
kelompok kontrol yang menggunakan alkohol 70%,
diinginkan.
persentase kematian larva adalah 0%. Hal ini
Uji Bioassay berarti bahwa kematian larva uji hanya dipengaruhi
Larva instar III-IV Ae.aegypti sebanyak 25 ekor di oleh pemberian larvasida. Pada penelitian ini tidak
masukkan kedalam masing-masing gelas arloji dilakukan koreksi kematian larva dengan uji Abbot,
yang berisi dosis perlakuan dengan 4 replikasi. karena tidak ditemukan kematian lebih dari 20%
Dilakukan pengamatan selama 24 jam kemudian pada kelompok kontrol. Didapatkan bahwa dosis
dihitung jumlah larva yang mati. Larva yang mati temephos terkecil (0,005 ppm) telah menghasilkan
merupakan larva yang sudah tenggelam dan tidak rata-rata kematian pada larva coba sebesar 71%.
Tabel 1. Kematian larva Ae.aegypti dari Banjarmasin Barat setelah pemberian dosis temephos selama 24 jam.
Jumlah
2 0 16 21 23 25 25 25 25 25
yang mati
Jumlah
3 0 18 19 25 25 24 25 25 25
yang mati
Jumlah
4 0 19 22 23 24 25 25 25 25
yang mati
Rata-rata % mati 0% 71% 82% 95% 98% 99% 100% 100% 100%
Kematian 99% terjadi pada dosis 0,045 ppm dan target yang menginduksi insensitivitas (target site
kematian 100% mulai terjadi pada dosis resistance) dan atau adanya peningkatan
temephos 0,06 ppm. Secara deskriptif, metabolisme insektisida (metabolic-based
temephos masih efektif digunakan sebagai resistance). Peningkatan metabolik insektisida
larvasida di Kecamatan Banjarmasin Barat. meliputi biotransformasi molekul insektisida oleh
Hasil uji statistik dengan one way Anova enzim dan keadaan ini menjadi mekanisme kunci
menunjukkan ada perbedaan antar kelompok penyebab resistensi insektisida pada nyamuk.
perlakuan (p= 0,001) sehingga dilakukan analisis Mekanisme ini menghasilkan perubahan genetik yaitu
probit. Berdasarkan analisis probit, didapatkan adanya suatu mutasi dari protein enzim dan adanya
LC50 24 jam pada penelitian ini berkisar antara mutasi dari regio non koding yang berfungsi untuk
0,0064-0,0126 ppm dengan rata-rata pengaturan pembentukan enzim sehingga terjadi
0,0096 ppm dan LC99 24 jam berkisar antara over produksi yang mampu menyebabkan
0,0196-0,0340 ppm dengan rata-rata metabolisme insektisida. Tiga kelompok enzim, yaitu
0,0243 ppm. Menurut WHO, dosis diagnostik sitokrom P450 monooksigenase, glutation S
untuk mendeteksi adanya resistensi larva Ae. tranferase (GSTs) dan karboksi/kolinesterase (CCEs)
aegypti terhadap temephos adalah jika LC99 ≥ berhubungan dengan metabolisme insektisida.
0,02 ppm,sehingga apabila LC99 24 jam melebihi Enzim ini juga berhubungan dengan respon nyamuk
angka tersebut, maka populasi A e . a e g y p t i terhadap logam berat, polutan organik dan insektisida
yang bersangkutan dinyatakan resisten.12,14-15 kimia.17-19
Jika dibandingkan dengan standar WHO, maka Ada tiga mekanisme resistensi suatu serangga
populasi Ae. aegypti di kecamatan Banjarmasin terhadap insektisida yang dilaporkan sampai saat ini,
Barat telah mengalami resistensi terhadap yaitu 1) Peningkatan detoksifikasi (menjadi tidak
temephos . beracun) insektisida oleh karena bekerjanya enzim-
Pembahasan enzim tertentu, 2) Penurunan kepekaan tempat
sasaran insektisida pada tubuh serangga, dan 3)
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa telah
Penurunan laju penetrasi insektisida melalui kulit atau
terjadi resistensi larva Ae. aegypti terhadap
integumentum seperti yang terjadi pada ketahanan
temephos di Kecamatan Banjarmasin Barat.
terhadap kebanyakan insektisida.15-16
Resistensi larva Ae. Aegypti yang berasal dari
Kecamatan Banjarmasin Barat dapat Larvasida yang digunakan untuk pengendalian lerva
disebabkan oleh banyak faktor. Faktor yang vektor DBD di Kalimantan Selatan adalah abate yang
menyebabkan berkembangnya resistensi mengandung bahan aktif temephos 1% dengan cara
meliputi faktor genetik, faktor biologi-ekologi dan menaburkan di tempat penampungan air yang sulit
faktor operasional. Faktor genetik meliputi dikuras. Sedangkan untuk nyamuk dewasa
frekuensi, jumlah dan dominasi alel resisten. digunakan malathion dan piretroid yang diaplikasikan
Faktor bioekologi meliputi perilaku nyamuk, melalui thermal fogging (pengasapan). Kedua
jumlah generasi per tahun, mobilitas dan migrasi. insektisida ini telah lama digunakan yaitu hampir 30
Faktor operasional meliputi jenis dan sifat tahun. Penggunaan temephos yang lama dan terus-
insektisida yang digunakan, jenis-jenis menerus dapat memicu terjadinya resistensi larva
insektisida yang digunakan sebelumnya, jangka nyamuk sasaran.6,7,9
waktu, dosis, frekuensi dan cara aplikasi, dan Temephos merupakan insektisida golongan
bentuk formulasi. Faktor genetik dan bioekologi organofosfat yang memiliki kemampuan sebagai
merupakan sifat asli serangga sehingga di luar racun yang mempengaruhi sistem neurotransmitter.
pengendalian program.14-16 Berdasarkan tiga mekanisme terjadinya resistensi
Resisten secara genetik terhadap insektisida suatu insektisida yang telah dijelaskan di atas maka
pada nyamuk terutama disebabkan oleh dua kemungkinan pada temephos telah terjadi hal berikut
mekanisme, yaitu adanya perubahan tempat
yaitu telah tejadi detoksifikasi terhadap enzim teratur dapat menyebabkan perubahan kepekaan
mikrosomal oksidase, glutation transferase, larva.
hidrolase dan esterase. Akan tetapi hal ini masih Indikasi terjadinya resistensi larva terhadap
harus dilakukan penelitian lebih lanjut secara temephos di Banjarmasin Barat ini
biokimia. Kemungkinan kedua adalah telah terjadi mengimplikasikan perlunya antisipasi yang cepat
penurunan kepekaan tempat sasaran insektisida dan tepat seperti mengganti larvasida yang selama
pada tubuh nyamuk, dalam hal ini ini digunakan dengan larvasida baru yang lebih
asetilkolinesterse. Penelitian terakhir dilaporkan efektif. Disamping itu perlu diwaspadai resistensi
telah terjadi penurunan laju penetrasi insektisida silang Ae. aegypti terhadap temephos dan
melalui kulit karena terjadinya toleransi yang piretroid karena biasanya untuk mengatasi
berhubungan dengan faktor genetik dan peningkatan kasus demam berdarah di musim
bioekologi.16-19 hujan dilakukan pula upaya pengendalian nyamuk
Salah satu faktor yang mempengaruhi laju dengan pengasapan piretroid.11,13 Tidak tertutup
perkembangan resistensi adalah tingkat tekanan kemungkinan terjadi resistensi Ae. aegypti
seleksi yang diterima oleh suatu populasi terhadap temephos, juga sekaligus terhadap
serangga. Pada kondisi yang sama, suatu populasi piretroid, yang membuat upaya pengendalian
yang menerima tekanan yang lebih keras akan menjadi lebih kompleks.
berkembang menjadi populasi yang resisten dalam
Kesimpulan
waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan
populasi serangga yang menerima tekanan seleksi Larva Ae. aegypti di Banjarmasin Barat sudah
yang lebih lemah.18,19 resisten terhadap temephos (Lc99= 0,0243 ppm).
Dengan adanya resistensi ini perlu dilakukan
Sejak tahun 2007, semenjak dinyatakan di seluruh
penelitian lanjutan tentang mekanisme resistensi
Indonesia telah mengalami Kejadian Luar Biasa
temefos secara biokimia sehingga diketahui pola
(KLB) Demam Berdarah Dengue, maka
resistensi yang terjadi. Perlu pula dipertimbangkan
pemerintah semakin menggalakkan program
pencarian larvasida alami yang berasal dari bahan
pengendalian penyakit menular ini. Salah satunya
alam dan lebih ramah lingkungan serta efektif
adalah dengan menggiatkan program pemakaian
sebagai pengganti temephos yang sudah resisten
temephos terutama di daerah yang memiliki kasus
terhadap larva nyamuk Ae. aegypti.
(insiden rate) dan Case Fatality Rate (CFR) tinggi,
maka dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini Ucapan Terimakasih
telah terjadi penekanan yang luar biasa terhadap
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Fakultas
penggunaan temephos. Tekanan yang lebih keras
Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat atas
dapat mempercepat terjadinya mekanisme
bantuan dana penelitian. Ucapan terima kasih juga
resistensi.19
disampaikan kepada seluruh petugas kesehatan
Terjadinya resistensi Ae. aegypti di Kecamatan Puskesmas di Kecamatan Banjarmasin Barat atas
Banjarmasin Barat diduga akibat penggunaan bantuan tenaga, serta mahasiswa Fakultas
dosis yang tidak sesuai dengan anjuran Kedokteran Unlam yang membantu dalam
pemerintah yaitu 0,1 g/l. Hal ini didasarkan atas penelitian ini.
adanya fakta bahwa penduduk Kecamatan
Banjarmasin Barat kebanyakan takut terhadap Daftar Kepustakaan
adanya efek samping pemberian abate terhadap 1. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
kesehatan keluarga selain baunya yang kurang Selatan. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan
sedap sehingga mereka mengurangi dosis yang Selatan Tahun 2006. Banjarmasin; 2007.
seharusnya untuk menghindari hal tersebut. 2. Dinas Kesehatan Provinsi Kalimantan
Selain itu pemberian Temephos yang tidak teratur Selatan. Profil Kesehatan Provinsi Kalimantan
dapat mempengaruhi kejadian resistensi di daerah Selatan Tahun 2008. Banjarmasin; 2009.
Banjarmasin Barat karena pemberian yang tidak
3. Braga IA, Mello CB, Montella IR, Lima JBP, Venezuela. Journal of Medical Entomology
Junior AJM,, Medeiros PFV et al. 2001. 38: 623-628.
Effectiveness of methoprene, an insect growth 12. Sungkar S, Zulhasril. Status kerentanan larva
regulator, against temephos-resistant Aedes Aedes aegypti terhadap temefos di beberapa
aegypti populations from different Brazilian daerah di Jakarta. Majalah Kedokteran
localities, under laboratory conditions. Journal Indonesia. 1997; 47: 25-28.
of Medical Entomology. 2005; 42: 830-837.
13. Gafur A, Mahrina, Hardiansyah. Kerentanan
4. Biber PA, Duenas JR, Almeida FL, Gardenal larva Aedes aegypti dari
CN, Almiron WR. Laboratory evaluation of Banjarmasin Utara. Bioscientiae 2006; 3(2) :
susceptibility of natural subpopulations of 73-82.
Aedes aegypti larvae to Temephos. Journal of
14. Mansjoer A, Demam Dengue. Dalam Ilmu
the American Mosquito Control Association.
Penyakit Dalam Infeksi Trofik. Edisi 3 Jilid 1.
2006 ; 22:408-411.
Jakarta, Media Aesculapius, 2001.
5. Krueger. Effective Control of Dengue Vectors
15. Rodriguez MM, Bisset J, Ruiz M, Soca A.
With Curtains and Water Container Cover.
Cross-resistance to pyrethroid and
Treated With Insecticide in Mexico and
organophosphorus insecticides induced by
Venezuela: Cluster Randomized Trial. BMJ .
selection with temephos in Aedes aegypti
2006; 75: 1247-52.
(Diptera : Culicidae) from Cuba. Journal of
6. Campos J, Andrade CFS. Larval susceptibility Medical Entomology 2002; 39: 882-888.
to chemical insecticides of two Aedes aegypti
16. Ponce G, Flores AE, Badii MH, Rodriguez-
populations. Revista De Saude Publica.2001;
Tovar ML, Fernandez-Salas I. Laboratory
35: 232-236.
evaluation of Vectobac (R) as against Aedes
7. de Carvalho MDS, Caldas ED, Degallier N, aegypti in Monterrey, Nuevo Leon, Mexico.
Vilarinhos PDT, de Souza L, Amelia M, et al.. Journal of the American Mosquito Control
Susceptibility of Aedes aegypti larvae to the Association. 2002; 18: 341-343.
insecticide temephos in the Federal District,
17. Paeporn P, Komalamisra N, Thongrungkiat S,
Brazil. Revista De Saude Publica. 2001; 38:
Deesin V, Eshitas Y, Rongsriyam Y. Potential
623-629.
Development of temephos resistance in
8. Rawlins SC, Wan JOH. Resistance in Some Ae.aegypti related to its mechanism and
Caribbean Populations of Aedes aegypti to susceptibility to dengue virus. Southeast Asian
Several Insecticides. Journal of the American J Trop Med Public Health. 2003; 34 (Suppl 2):
Mosquito Control Association. 1995; 11: 59-65. 136-41.
9. Failloux AB, Ung A, Raymond M, Pasteur N. 18. Marcomber S, Poupardin R, Darriet F,
Insecticide Susceptibility in Mosquitos Reynaud S, Bonnet J, Strode C, et al.
(Diptera, Culicidae) from French-Polynesia. Exploring the molecular basis of insecticide
Journal of Medical Entomology. 1994; 31: 639- resistance in the dengue vector Aedes aegypti:
644. a case study in Martinique Island (French West
10. Ponlawat A, Scott JG, Harrington LC. Indies). BMC Genomics. 2009; 10:494.
Insecticide susceptibility of Aedes aegypti and 19. Ranson H, Burhani J, Lumjuan N, Black IV WC.
Aedes albopictus across Thailand. Journal of Review: Insecticide resistance in dengue
Medical Entomology. 2005; 42: 821-825. vectors. Tropica net. 2010. [(Diakses pada
11. Rodriguez, M.M., Bisset, J., De Fernandez, tanggal 12 Pebruari 2011) dari http://journal.
D.M., Lauzan, L., Soca, A.. Detection of tropika.net2].
insecticide resistance in Aedes aegypti
(Diptera : Culicidae) from Cuba and