You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik
kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari di zaman sekarang, ini
disebabkan karena berbagai kebutuhan tanah yang sangat tinggi di zaman sekarang
sementara jumlah bidang tanah terbatas. Hal tersebut menuntut perbaikan dalam
bidang penataan dan penggunaan tanah untuk kesejahteraan masyarakat dan terutama
kepastian hukumnya. Untuk itu berbagai usaha yang dilakukan pemerintah yaitu
mengupayakan penyelesaian sengketa tanah dengan cepat untuk menghindari
penumpukan sengketa tanah, yang dapat merugikan masyarakat misalnya tanah tidak
dapat digunakan karena tanah tersebutdalam sengketa.
Pada dasarnya pilihan penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan 2 (dua)
proses. Proses penyelesaian sengketa melalui litigasi di dalam pengadilan, kemudian
berkemban gproses penyelesaian sengketa melalui kerja sama (kooperatif) di luar
pengadilan. Proses litigasi menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversial yang
belum mampu merangkul kepentingan bersama, cenderung menimbulkan masalah
baru, lambat dalam penyelesaiannya. Sebaliknya, melalui proses di luar pengadilan
menghasilkankesepakatan kesepakatn yang bersifat “win-win solution”, dihindari dari
kelambatan proses penyelesaian yang diakibatkan karena hal prosedural dan
administratif, menyelesaikan komprehensif dalam kebersamaan dan tetap menjaga
hubungan baik.
Penggunaan pranata penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut
kemudian diterapkan di Negara Indonesia yang di buatkan melaui Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah
menyediakan beberapa pranata pilihan penyelesaian sengketa (PPS) secara damai
yang dapat ditempuh para pihak untuk menyelesaikan sengketa atau beda pendapat
perdata mereka, apakah pendayagunaan pranata konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, atau penilaian ahli. Pilihan penyelesaian sengketa (PPS) di luar pengadilan
hanya dapat ditempuh bila para pihak menyepakati penyelesaiannya melaui pranata
pilihan penyelesaian sengketa (PPS).
Kemudian pilihan penyelesaian sengketa (PPS) dalam penyelesian sengketa
diluar pengadilan ini berkembang pada kasus-kasus perkara lain seperti kasus-kasus
perkara pidana tertentu dan sengketa tenaga kerja ataupun pada sengketa lingkungan
dan sengketa tanah, sehingga pilihan penyelesaian sengketa diluar pengadilan tidak
hanya berlaku pada kasus-kasus perdata saja.
Secara ekonomis, sengketa itu telah memaksa pihak yang terlibat untuk
mengeluarkan biaya. Semakin lama proses penyelesaian sengketa itu, maka semakin
besar biaya yang harus dikeluarkan dan sering kali biaya yang dikeluarkan untuk
menyelesaikan sengketa tanah hingga selesai tidak sebandingkan dengan harga dari
obyek tanah yang disengketakan. Namun oleh sebagian orang atau golongan tertentu
tanah sebagai harga diri yang harus dipegang teguh, tanah akan dipertahankan sampai
mati.
Selama konflik berlangsung tanah yang menjadi obyek konflik biasanya
berada dalam keadaaan status quo sehingga tanah yang bersangkutan tidak dapat
dimanfaatkan. Akibatnya terjadi penurunan kualitas sumber daya tanah yang dapat
merugikan kepentingan banyak pihak dan tidak tercapainya asas manfaat tanah.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan sengketa tanah ?

2. Apa saja faktor pendorong terjadinya sengketa tanah ?

3. Bagaimana upaya meminimalisir sengketa tanah yang dilakukan oleh masyarakat ?

4. Apa saja penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan oleh masyarakat ?

C. TUJUAN

1. Agar mengetahui Apa yang dimaksud dengan sengketa tanah

2. Agar mampu memahami faktor pendorong terjadinya sengketa tanah

3. Agar memahami upaya peminimalisiran sengketa tanah yang dilakukan oleh


masyarakat

4. Agar memahami penyelsaian sengketa tanah yang dilakukan oleh masyarakat


BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian sengketa tanah

Menurut sarjita, sengketa pertanahan adalah perselisihan yang terjadi antara


dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk
penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui
1
musyawarah atau pengadilan.

Sengketa tanah adalah sengketa yang timbul karena adanya konflik


kepentingan atas tanah. Sengketa tanah tidak dapat dihindari dizaman sekarang.
Sengketa pertanahan yang terjadi dapat disebabkan oleh permasalahan tanah murni
atau permasalahan yang terkait dengan sector pembangunan lain (tidak terkait secara
langsung). Untuk itu, Pemerintah senantiasa meningkatkan upaya koordinasi dan
sinkronisasi antara instansi Pemerintah/pihak lain yang terkait, misalnya dengan
instansi yang menangani kehutanan, pertambangan dan sebagainya. Permasalahan
pertanahan merupakan isu yang selalu muncul dan selalu actual dari masa ke masa,
seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan semakin
meluasnya akses berbagai pihak untuk memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam
berbagai kepentingan.
Permasalahan pertanahan dimaksud dapat berupa pengaduan masyarakat yang
diajukan secara langsung, tertulis, ekspose di media cetak / elektronik dan bahkan
tidak jarang dilakukan melalui aksi unjuk rasa. Di samping itu terdapat juga perkara
pertanahan yang disampaikan melalui gugatan ke Pengadilan. Sengketa pertanahan
sudah muncul sejak sebelum zaman kemerdekaan. Hal ini dapat terlihat antara lain
dari adanya sengketa pertanahan akibat monopoli pemilikan tanah-tanah perkebunan
dan tanah partikelir oleh tuan-tuan tanah pada zaman kolonial atau adanya kewajiban
rakyat untuk menyerahkan tanahnya kepada tuan-tuan tanah.
Pemberlakuan Agrarische Wet pada tahun 1870, telah membuka kesempatan
kepada perusahaan swasta pada zaman itu untuk melakukan investasi di bidang

1
Dias restu wijayanti, jurnal upaya penyelesaian sengketa tanah antara masyarakat dengan TNI (2015) vol 4
agraris di Indonesia. Sebelum berlakunya Agrarische Wet, perusahaan swasta sama
sekali tidak memiliki kesempatan untuk berusaha di Indonesia, karena bidang agrarian
dimonopoli oleh Pemerintah Belanda, sehingga Agrarische Wet pada dasarnya lahir
akibat desakan para pemilik modal swasta besar yang membonceng Pemerintah
Belanda.2

2. Faktor Pendorong (Penyebab) Sengketa Lahan


Semua aturan berkaitan dengan Agraria dan pertanahan harus mengacu pada
Pasal 33 UUD 45 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang tentang Peraturan
Dasar Pokok-pokok Agraria, hal itu dilakuan dengan melakukan koreksi terhadap
peraturan-peraturan di tingkat pusat maupun di tingkat daerah, baik melalui instansi
terkait maupun melalui jalur Judicial Review, Eksekutif Review maupun legislatif
review. Menurut Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Pusat, setidaknya ada tiga
hal utama yang menyebabkan terjadinya sengketa tanah :3
a. Persoalan administrasi sertifikasi tanah yang tidak jelas, akibatnya adalah ada
tanah yang dimiliki oleh dua orang dengan memiliki sertifikat masing-masing.
b. Distribusi kepemilikan tanah yang tidak merata. Ketidakseimbangan dalam
distribusi kepemilikan tanah ini baik untuk tanah pertanian maupun bukan
pertanian telah menimbulkan ketimpangan baik secara ekonomi, politis maupun
sosiologis. Dalam hal ini, masyarakat bawah, khususnya petani/penggarap
tanah memikul beban paling berat. Ketimpangan distribusi tanah ini tidak
terlepas dari kebijakan ekonomi yang cenderung kapitalistik dan liberalistik.
Atas nama pembangunan tanah-tanah garapan petani atau tanah milik
masyarakat adat diambil alih oleh para pemodal dengan harga murah.
c. Legalitas kepemilikan tanah yang semata-mata didasarkan pada bukti formal
(sertifikat), tanpa memperhatikan produktivitas tanah. Akibatnya, secara legal
(de jure), boleh jadi banyak tanah bersertifikat dimiliki oleh perusahaan atau
para pemodal besar, karena mereka telah membelinya dari para petani/pemilik
tanah, tetapi tanah tersebut lama ditelantarkan begitu saja. Mungkin sebagian

2
Pahlefi, jurnal Analisis bentuk – bentuk sengketa hukum atas tanah menurut peraturan perundang –
undangan di bidang agraria, 2014 volum 138
3
H Soesangobeng, Upaya Pembentukan Materi Hukuk dan Kebijakan Pertanahan. STPN-BPN, Yogyakarta.
hlm. 38
orang menganggap remeh dengan memandang sebelah mata persoalan sengketa
tanah ini, padahal persoalan ini merupakan persoalan yang harus segera di
carikan solusinya. Kenapa demikian? karena sengketa tanah sangat berpotensi
terjadinya konflik antar ras, suku dan agama. Akibatnya harga diri harus
dipertaruhkan.
Indonesia adalah Negara yang berdasar hukum, maka semua aspek kehidupan
bermasyarakat diatur oleh hukum yang diwujudkan dalam peraturan perundang
undangan. Masyarakat dalam suatu Negara hukum akan menyelesaikan masalahnya
dalam suatu lembaga peradilan yang diatur khusus oleh undang undang. Begitu pula
dengan pertanahan yang mempunyai undang-undang politik agrarian (UUPA). Namun,
sengketa tanah yang terjadi di Indonesia tidak pernah berakhir, selalu ada permasahalan
terkait masalah kepemilikan tanah dan hak guna pakainya.
Jadi dilihat dari substansinya, maka sengketa pertanahan meliputi pokok persoalan
yang berkaitan dengan :
1) Peruntukan dan/atau penggunaan serta penguasaan hak atas tanah.
2) Keabsahan suatu hak atas tanah.
3) Prosedur pemberian hak atas tanah.
4) Pendaftaran hak atas tanah termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti
haknya.
Problematik yang terjadi pada tataran normatif yaitu terdapat persoalan
sinkronisasi dan konsistensi berbagai aturan hukum di bidang pertanahan dalam
kaitannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini telah berlangsung secara
periodik dan memiliki variasi karakter hukumnya. Selama Orde Baru (1967 – 1998),
aturan hukum mengenai sumber daya alam, khususnya di bidang pertanahan diterbitkan
dikeluarkan secara sektoral dengan melepaskan kaitannya dengan UUPA sebagai
aturan hukum pokok (“payung”) dari semua aturan hukum agraria. Karakteristik aturan
hukum dan taraf kesinkronannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, sebagai berikut:4
a. Pada periode 1967–1973, aturan hukum mengenai pertanahan tidak sinkron dan
tidak konsisten dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan berkarakter:
eksploitatif terhadap sumber daya alam; berpihak pada sistem ekonomi kapitalis

4
Hamadi Tamam. Kebijakan Pertanahan: Antara Regulasi dan Implementasi. Rajwali Pers, Jakarta. 2009. hlm.
35
(akumulasi modal); dan konservatif/ortodoks, yaitu hukum menjadi alat bagi
pelaksanaan ideologi dan program negara (positivis instrumentalis).
b. Pada periode tahun 1973–1984, aturan hukum mengenai penguasaan tanah
memiliki karakter: Konservatif/ortodoks, dengan ciri pemerintah sangat
dominan dalam pembentukkan hukum dan menentukan arah perkembangan
hukum masyarakat; Represif; dan Pragmatis dan sangat akomodatif terhadap
kekuatan modal (capitalism), terutama kekuatan modal asing lewat negara
donor maupun lembaga-lembaga keuangan Internasional. Dengan demikian,
aturan hukum pada periode ini juga tidak selaras (tidak sinkron dan tidak
konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
c. Pada periode tahun 1984–1990-an, aturan hukum mengenai penguasaan tanah
berorientasi untuk memudahkan perolehan tanah bagi investasi, oleh karena itu
karakter peraturannya bersifat pragmatis dan sangat akomodatif terhadap
kepentingan modal. Disamping itu, bersifat defensif-reaktif, artinya sangat
reaksioner terhadap berbagai sengketa agraria yang muncul pada saat itu dan
melihatnya sebagai persoalan administratif belaka. Aturan hukum pada periode
ini juga tidak sinkron dan tidak konsisten dengan semangat yang terkandung
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
d. Periode Desentralisasi (1998–2003), peraturan perundang-undangan di bidang
pertanahan yang mencerminkan ketidakpastian hukum (ambivalence),
akibatnya terjadi ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan aturan hukum di
bidang pertanahan. Karakter Peraturan Perundang-undangan pada periode ini
bersifat pragmatism-reaktif, dan parsial. Artinya peraturan-peraturan yang
dikeluarkan tidak didasarkan pada suatu format tertentu yang secara integral
berkesinambungan dan sistematis. Meskipun peraturan tersebut berkarakter
pragmatism-reaktif, tetapi materi muatannya lebih selaras (sinkron dan
konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 junto Pasal 2 dan 14 UUPA
junto Pasal 11 dan 12 UU No. 22 Tahun 1999.
e. Periode Resentralisasi (2004–2006), terjadi arus penarikan kembali
kewenangan daerah di bidang agrarian oleh pemerintah pusat, sehingga
wewenang agraria/pertanahan menjadi tersentralisasi lagi pada pemerintah
(pusat). Hal ini ditandai dengan diberlakukannya Perpres No. 36 Tahun 2005
yang kemudian diubah dengan Perpres No. 65 Tahun 2006 dan Perpres No. 10
Tahun 2006. Substansi ketiga Perpres tersebut berkarakter represif dan
berorientasi meningkatkan devisa negara lewat pembangunan dengan
keberpihakan penuh pada pemilik modal (capital). Selain itu, menempatkan
otoritas/kewenangan yang begitu besar kepada BPN (institusi pemerintah
(pusat). Dengan demikian, Peraturan Perundang-undangan pada periode ini
tidak selaras (tidak sinkron dan tidak konsisten) dengan Pasal 33 ayat (3) UUD
1945.

3. Upaya Meminimalisir Sengketa Tanah


Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dilakukan bukan hanya setelah UU
dibuat, namun justru pada saat proses UU tersebut dibuat sinkronisasi harus dilakukan
dengan mempertemukan masing-masing departemen dan mempertemukan kepentingan
demi mengeliminir ego sektoral. 14 Jika terdapat dua atau lebih UU yang mengatur
secara bersamaan norma hukum yang mirip/sama, akan lebih baik jika di kodifikasi
menjadi satu paket Undang-Undang Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral
dan Batubara dengan melibatkan pemerintah daerah dan tim ahli yang memahami
tentang pertambangan. Mensinkronkan peraturan perundang-undangan dengan UU
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan
Pasal-Pasal dalam UUD 45 yang memberi perlindungan kepada lingkungan hidup.
Berdasarkan kajian di atas, ternyata masalah urusan pertanahan, kehutanan dan
pertambangan disebabkan karena kurangnya pengaturan dalam kosepsi dasar dan
peraturan-perundang-undangan sektor banyak yang belum sinkron dengan undang-
undang pemerintahan daerah serta implementasinya belum dilaksanakan dengan
konsisten. Untuk itu saran dalam penyempurnaan undang-undang tentang
pemerintahan daerah serta perbaikan pelaksanaannya di masa yang akan datang dapat
dijelaskan sebagai berikut:5
a. Pertama, pentingnya pengaturan pertanahan, kehutanan dan pertambangan
perlu diatur secara khusus dalam pasal tersendiri pada revisi undang-undang
pemerintahan daerah;
b. Kedua, sebagai syarat dasar daerah otonom melaksanakan ketiga urusan ini,
wajib diterbitkan terlebih dahulu Norma, Standar, Kriteria dan Prosedur
(NSPK) bidang pertanahan, kehutanan maupun NSPK bidang pertambangan.

5
Hasni, Hukum Penataan Ruang dan Penatagunaan Tanah. ( jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 29
Selanjutnya urusan tersebut dapat dilaksanakan oleh daerah otonom secara
penuh diikuti pembinaan dan pengawasannya secara melekat;
c. Ketiga, perlu segera dilakukan harmonisasi peraturan-perundang-undangan
yang tidak sesuai dengan undang-undang pemerintahan daerah; keempat, untuk
menghindari kekosongan penetapan NSPK dalam waktu yang lama, akibat dari
lamanya proses penyusunannya, maka penetapan NSPK dapat dipecah dalam
sub bidang-sub bidang misalnya di bidang pertambangan, diterbitkan dulu
NSPK pertambangan biji besi, NSPK pertambangan timah NSPK
pertambangan batubara. NSPK di bidang kehutanan dapat diterbitkan dahulu
NSPK kuasa kehutanan, NSPK penebangan pohon, NSPK reboisasi, NSPK
konservasi lahan, NSPK satwa liar;
d. Keempat, perlu diatur sanksi serta penegakan hukum yang tegas terhadap
pelanggaran NSPK di bidang pertanahan, kehutanan dan pertambangan;
e. Kelima, meskipun tanah, hutan dan tambang penting untuk kelangsungan hidup
negara, kepentingan umum dan kelestarian lingkungan hidup, maka urusan
pertanahan, kehutanan dan pertambangan tetap merupakan urusan yang
didesentralisasikan serta tetap mendorong inovasi dan kreatifitas daerah dalam
pemanfaatannya.
Pada prinsipnya adalah harus ada harmonisasi hukum, antar undang-undang
maupun peraturan organiknya harus sinkron dan harmonis. Menatap pada perubahan
sistem hubungan antara pusat dan daerah yang di dalamnya juga menyangkut
perubahan kewenangan maka sudah saatnya sinkronisasi dan harmonisasi dilakukan
dengan merubah peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih dan saling
bertentangan dan memberikan akses yang besar bagi masyarakat untuk ambil bagian
dalam melakukan sinkronisasi dan harmonisasi. Ketika masyarakat dilibatkan maka
kebijakan pertanahan pada khususnya dan sumber-sumber agraria yang lain akan
mengakar pada kepentingan masyarakat lokal. Perkara kesejahteraan, itu hanya
persoalan dampak sehingga akan tumbuh dengan sendirinya apabila setiap warga
negara mempunyai akses yang sama terhadap sumber-sumber agraria.
Dalam upaya meminimalisir terhadap sengketa pertanahan, maka diperlukan
strategi yang komprehensif guna mengantisipasi dan mengurangi angka sengeketa
dibidang pertanahan, maka untuk itu perlu dilaksanakan beberapa upaya strategi
sebagai berikut :6
a. Strategi Administrasi Negara, yang sangat membutuhkan professional yang
komprehenship/holistic (multidisiplin) yang tidak bisa diserahkan kepada
professional berorientasi produk, perubahan struktur organisasi sektoral bukan
berdasar produk (komoditas) tetapi struktur organisasi atas dasar proses. Hal
ini meminimalisasi kepentingan-kepentingan sektoral atas dasar produk yang
berdampak kebijakan yang dibuat menteri sebenarnya hanya hasil salah satu
deputy yang tupoksinya produk bukan proses yang membutuhkan professional
multidisiplin). Sekarang tidak bedanya format yang terjadi di Perguruan Tinggi
dengan pembagian fakultasnya, apa seperti ini format Administrasi untuk
semua Kementerian di Indonesia? Reformasi administrative. Khusus bidang
pertanahan harus Bagaimana?
b. Yudikatif, menyelesaikan timpang tindih perundangan dan rekomendasi
perumusan payung regulasi pertanahan Negara dapat dibentuk “KPN” Komisi
Pertanahan Negara yang merupakan bentuk implementasi regulasi kekuasaan
Negara terhadap tanah Negara, yang sekarang diemban oleh kekuasaan
pemerintah dan hanya sektoral.
c. Strategi legislative (wakil rakyat) bersama presiden berkewajiban mengatur
semua kebijakan terkait kekuasaan Negara, RAPBN (anggaran pendapatan dan
belanja Negara sudah benar, RPTPN (Rencana Penyediaan Tanah
Pembangunan Negara saat belum bekerja legislative, executive pun
menyerahkan kepada sektoral yang menguasai (administrative–BPN,
penguasaan tanah dominan –Kehutanan). Pertanyaannya apakah kehutanan
bukan sektoral komoditas? Mengapa menguasai tanah Negara dan semua
sektor mengacu kalau tidak mau dikatakan berbenturan dengan penguasaan
oleh kehutanan yang sebenarnya penguasaannya oleh kekuasaan Negara.
Sehingga perlu pertanyaan besar dimana letak demokrasinya untuk rakyat
tanpa kekuasaan Negara yang bekerja (executive bersama legislative terkait
dengan tanah, Mengapa anggaran bisa).7

6
Effendi Bachtiar. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung :
Alumni, 1983). hlm. 83
7
Effendi Bachtiar. Pendaftaran Tanah Di Indonesia dan Peraturan-Peraturan Pelaksanaannya, (Bandung :
Alumni, 1983). hlm. 83
Dalam rangka memanfaatkan dan menggunakan tanah sebagai salah satu
sumber daya agraria secara adil, transparan dan produktif, keberadaan hak ulayat dan
masyarakat adatnya perlu diperhatikan. Selain itu, kelengkapan data mengenai
keberadaan, jumlah/luas tanah beserta status penguasaannya haruslah lengkap dan up
to date, sehingga dengan demikian akan tercipta tata ruang wilayah yang serasi dan
seimbang. Kalaupun terjadi sengketa atas tanah di suatu wilayah, dapat segera diatasi
oleh pejabat setempat dan hasil penyelesaian sengketa tersebut akan lebih dapat
diterima para pihak yang bertikai. Kondisi inilah yang nantinya akan menciptakan
pembaharuan hukum pertanahan dan sekaligus pembangunan masyarakatnya.
Pembaharuan hukum pertanahan yang didahului oleh pengembangan kebijakan
pertanahan tentunya harus diawali dengan pengembangan hukum pertanahan sebagai
bagian dari sistem hukum nasional. Namun demikian, pengembangan tersebut
semestinya tetap berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang ada pada UUPA sebagai
ketentuan pokok hukum pertanahan nasional.8

4. Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah Menurut Peraturan Perundang –


Undangan di Bidang Pertanahan

A. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Melalui Jalur Peradilan

1) Gugatan Perdata Sengketa Tanah Di Pengadilan Umum

Dalam perkara ini berlakulah ketentuan-ketentuan perdata seperti


KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan lain seperti UUPA.

Tugas dan kewenangan badan peradilan perdata adalah menerima,


memeriksa, mengadili, serta menyelesaikan sengketa di antara pihak yang
berperkara. Subjek sengketa di atur sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-
Undang No. 14 Tahun 1970 yang diubah menjadi UndangUndang No. 35
Tahun 1999; sekarang menjadi Pasal 16 ayat (1) UndangUndang No. 05
Tahun 2004. Gugatan perdata ada tiga jenis, yaitu:

8
Soerodjo.Proses Pendaftaran Tanah, (Jakarta. Rineka Cipta, 2003), hlm. l 71
a. Gugatan Permohonan atau Gugatan Voluntair

Permohonan atau gugatan voluntair adalah permasalahan perdata


yang diajukan dalam bentuk permohonan yang ditandatangani pemohon
atau kuasa hukumnya yang ditujukan kepada ketua Pengadilan Negeri.9
Ciri khas gugatan ini adalah:10

Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak semata (for


the benefit of one party only)11. Gugatan ini diajukan hanya untuk
kepenting pemohon semata, tidak bersentuhan dengan hak dan
kepentingan orang lain. Jadi, pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak
lain (without disputes or difference with another party). Tidak ada orang
lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan. Jadi bersifat ex-parte.
Cobtohnya dalah permohonan hak waris oleh seorang anak setelah orang
tuanya meninggal dunia. Permohonan ini untuk kepentingan sepihak (on
behalf of one party)

b. Gugatan Contentiosa

Kewenangan badan peradilan menyelesaikan perkara di antara para


pihak disebut yurisdiksi contentiosa. Gugatannya berbentuk gugatan
contentiosa atau disebut dengan yurisdiksi contentious. Dengan demikian
yurisdiksi dan gugatan contentiosa berbeda atau berlawanan dengan
yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak.

Sudikno Mertokusumo menggunakan istilah gugatan, yakni berupa


tuntutan perdata (burgelijk vor denj) sehubungan dengan hak yang
dipersengketakan dengan pihak lain. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung
sengketa para pihak, dengan posisi para pihak sebagai berikut:

9
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan, Buku II, Mahkamah Agung RI, Jakarta,
1994, hal. 10.
10
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan
Putusan Pengadilan), Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 29.
11
Henry Campbell Balck, Black Dictionary, West Publishing, St. Paul Minn, 1974, hal. 517.
 Yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak
sebagai penggugat.

 Sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyelesaian


disebut dan berkedudukan sebagai tergugat.

c. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action)

Class Actio secara umum adalah sinonim dari kata class suit atau
representative action yang berarti:

 Tuntutan melalui pengadilan yang diajukan satu atau beberapa orang


yang bertindak sebagai wakil kelompok (class representative).

 Penggugat bukan cuma atas namanya saja tetapi sekaligus atas nama
kelompok yang diwakili. Namun untuk itu penggugat tak
memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok.

 Dalam gugatan tidak perlu disebutkan satu persatu identitas anggota


kelompok yang diwakili.

 Yang penting asal kelompok yang diwakili dapat diidentifikasi


secara spesifik.

 Di antara seluruh anggota kelompok dan wakil kelompok terdapat


kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan:

I. Kesamaan kepentingan.

II. Kesamaan penderitaan.

III. Yang dituntut memiliki kemanfaatan bagi seluruh anggota


2) Pengadilan Tata Usaha Negara

Sengketa Tata Usaha Negara diselesaikan dengan dua cara, yakni: 1.


Melalui Upaya Administrasi.15 Cara ini merupakan prosedur yang dapat
ditempuh seseorang atau badan hukum perdata apabila tidak puas terhadap
suatu keputusan Tata Usaha Negara.

a) Bentuk upaya administrasi adalah:

I. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi


yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang
mengeluarkan putusan.

II. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang


dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara
yang mengeluarkan putusan itu.

b) Melalui Gugatan. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di


Pengadilan Tata Usaha Negara ada dua pihak, yaitu:

I. Penggugat, yaitu seseorang atau badan hukum perdata yang


merasa dirugikan dengan dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara oleh badan atau pejabat tata usaha negara baik di pusat
atau di daerah.

II. Tergugat, yaitu badan atau pejabat tata usaha negara yang
mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahk padanya

3) Kasasi Di Mahkamah Agung RI

Menurut Pasal 131 UU No. 5 Tahun 1986, terhadap putusan tingkat


akhir, yaitu putusan Pengadilan Tinggi dapat diajukan pemeriksaan kasasi ke
Mahkamah Agung RI. Acara pemeriksaan kasasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang No.
14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI jo. UU No. 5 Tahun 2004 tentang
Perubahan Atas UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI.17
Adapun landasan hukum kewenangan kasasi adalah sebagai berikut :

I. Pasal 24A ayat (1) UUD 1945, yang berbunyi : “Mahkamah Agung
berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-
undang, dan mempunyai kewenangan lainnya yang diberikan oleh
Undang-Undang.”

II. Pasal 11 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 Pasal 11 Undang-Undang


No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatur sebagai
berikut:

a) Pasal 11 ayat (1) mengemukakan bahwa Mahkamah Agung


merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan
peradilan (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan
PTUN).

b) Pasal 11 ayat (2) huruf (a) menegaskan kewenangan yang dimiliki


Mahkamah Agung dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai
pengadilan negara tertinggi: “Mengadili pada tingka kasasi terhadap
putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di
semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung.”

III. Pasal 28 dan Pasal 30 Undang-Undang Mahkamah Agung Pada Pasal


28 ayat (1) huruf (a) dirumuskan tugas dan kewenangan Mahkamah
Agung yakni memeriksa dan memutus permohonan kasasi.

Menurut Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung tugas


dan kewenangan Mahkamah Agung adalah:
a) Memeriksan dan memutus permohonan kasasi.

b) Memeriksa dan memutus sengketa tentang kewenangan mengadili.

c) Memeriksa dan memutus permohona peninjauan kembali putusan


pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap

Selanjutnya Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah


Agung mengaitkan dan mempertautkan tugas dan kewenangan
Mahkamah Agung RI mengadili permohonan kasasi dengan aspek: a)
Alasan atau syarat permohonan kasasi yang dibenarkan
UndangUndang yang disebut secara limitatif pada Pasal 30 ayat (1). b)
Pembatalan putusan pengadilan yang dimohon kasasi apabila putusan
yang bersangkutan tidak memenuhi syarat-syarat yang telah
dideskripsikan pada Pasal 30 ayat (1) yang dimaksud.

B. Penyelesaian Sengketa Pertanahan Di Luar Jalur Peradilan

Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan adalah melalui


Altenatif Penyelesaian Sengketa (APS) atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
Ada juga yang menyebutnya sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Secara
Kooperatif (MPSSK).12 Menurut Philip D.

Bostwick13 yang dimaksud dengan Alternative Dispute Resolution (ADR)


adalah sebuah perangkat pengalaman dan teknik hukum yang bertujuan (A set of
practice and legal techniques that aim):

1) Menyelesaikan sengketa hukum di luar pengadilan demi keuntungan para pihak.

2) Mengurangi biaya litigasi konvensional dan pengunduran waktu yang biasa


terjadi.

3) Mencegah terjadinya sengketa hukum nyang biasanya diajukan ke pengadilan.

12
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hal. 11.
13
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa, Fikahati Aneska, Jakarta, 2002, hal. 15.
Proses penyelesaian sengketa pertanahan di luar pengadilan pada umumnya
dapat dilakukan melalui berbagai cara berikut:14

I. Negosiasi;

Bagi L. Suskind dan Denies Madigen, negosiasi adalah penyelesaian


sengketa melalui perundingan langsung antara para pihak yang bersengketa
guna mencari atau menemukan bentuk-bentuk penyelesaian yang dapat
diterima pihak-pihak yang bersangkutan.15 Mengenai arti penting dan manfaat
negosiasi terlihat dari paparan berikut:

The importance of negotiator in law practice is further highlighted by the


benefits of negotiated settlement of legal disputes from a client perspective:

 a negotiated settlement avoids the uncertainties and vagaries of


trial and appealsettling for what is certain over what is far from
certain;

 a negotiated settlement avoids the economic costs of trial-


including delays associated with trial, court costs, expert witness
fees, additional discovery time lost by the parties in preparing for
and attending trial, and further attorneys fees,

 a negotiated settlement avoids social and psychological costs of


trial-including anxiety and stress of trial, possible embarrassment
or adverse publicity, and further damage to the relationship
between the parties;

 a negotiated settlement avoids the Wnner-take-alr nature of most


legal remedies;

 a negotiated settlement avoids the limited scope of the remedies


available in courtproviding an opportunity to fashion a broader
package in the best interest of both parties;

14
Yudha Pandu, Klien Dan Advokat Dalam Praktek, Indonesia Legal Center Publishing, Jakarta, 2004, hal.133-
138.
15
Rusmadi Murad, Menyingkap Tabir Masalah Pertanahan, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2007, hlm. 2-3.
 a negotiated settlement avoids the risk of unfavorable
interpretations of the law; and

 a negotiated settlement avoids the possibility of harmful


admissions or findings of fact that could be used against clients in
related litigation (issue predusion).16

Dalam negosiasi para pihak yang bersengketa berunding secara


langsung (kadangkadang didampingi pengacaranya masing-masing) tanpa
perantaraan pihak ketiga dalam menentukan kata akhir penyelesaian sengketa.
Penyelesaian sepenuhnya dikontrol oleh para pihak sendiri atas dasar prinsip
"win-win". Negosiasi bersifat informal dan tidak terstruktur (tidak ada bentuk
baku) serta waktunya pun tidak terbatas. Efisiensi dan efektifitas kelangsungan
negosiasi tergantung sepenuhnya kepada para pihak.

II. Proses Mediasi;

Mediasi merupakan upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan


dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari penyelesaian
yang dapat disepakati para pihak. Peran mediator dalam mediasi adalah
memberikan bantuan substantif dan prosedural kepada para pihak yang
bersengketa. Namun, mediator tidak mempunyai kewenangan untuk memutus
atau menerapkan suatu bentuk penyelesaian. Kewenangan mediator
sebagaimana dikatakan G.A. Cormick dan L.K. Patton: "terbatas pada
pemberian saran”. Pihak yang bersengketa yang mempunyai otoritas untuk
membuat keputusan berdasarkan konsensus diantara pihak-pihak yang
bersengketa".68 Pada prinsipnya, mediasi adalah negosiasi yang melibatkan
pihak penengah (mediator) yang netral dan tidak memihak serta dapat
menolong para pihak untuk melakukan tawarmenawar secara seimbang. Tanpa
negosiasi tidak ada yang disebut mediasi, mediasi merupakan perluasan dari
negosiasi sebagai mekanisme ADR dengan bantuan seorang mediator.
Christopher W. Moore dalam tulisannya Introduction to Disputes Systems

16
Boedi Harsono, Menuju Penyempumaan Hukum Tanah Nasional, Penerbit Universitas Trisa M, Maria. 2002,
hlm.86-87
design telah mengklasifikasikan tipe-tipe mediatator.17 Menurut Christopher
W. Moore, terdapat dua belas faktor yang menyebabkan proses mediasi
menjadi efektif: “Pertama, para pihak yang bersengketa memiliki sejarah
pernah bekerjasama dan berhasil dalam menyelesaikan masalah mengenai
beberapa hal. Kedua, para pihak tidak memiliki sejarah panjang saling
menggugat di pengadilan sebelum melakukan proses mediasi. Ketiga, jumlah
pihak yang terlibat dalam sengketa tidak meluas sampai pada pihak-pihak
yang berada di luar masalah. Keempat, pihak-pihak yang terlibat dalam
sengketa telah sepakat untuk membatasi permasalahan yang akan dibahas.
Kelima, para pihak mempunyai keinginan besar untuk menyelesaikan masalah
mereka. Keenam, para pihak telah mempunyai atau akan mempunyai
hubungan lebih lanjut di masa yang akan datang. Ketujuh, tingkat kemarahan
dari para pihak masih dalam batas normal. Kedelapan, para pihak bersedia
menerima bantuan pihak ketiga. Kesembilan, terdapat alasan-alasan kuat
untuk menyelesaikan sengketa. Kesepuluh, para pihak tidak memiliki
persoalan psikologis yang benar-benar mengganggu hubungan mereka.
Kesebelas, terdapat sumberdaya untuk tercapainya sebuah kompromi.
Keduabelas, para pihak memiliki kemauan untuk saling menghargai.”

Proses perundingan melalui mediasi dikatakan ideal manakala memenuhi tiga


kepuasan: substantif, prosedural dan psikologis. Kepuasan substantif
(substantive satisfaction) berhubungan dengan kepuasan khusus dari para
pihak yang bersengketa, misalnya: terpenuhinya ganti kerugian berupa uang,
ataupun karena jalannya perundingan dapat diselesaikan dalam waktu yang
relatif tepat. Kepuasan prosedural (procedural satisfaction) terjadi apabila para
pihak mendapatkan kesempatan yang sama dalam menyampaikan gagasannya
selama berlangsungnya perundingan atau karena adanya kesepakatan yang
diwujudkan ke dalam perjanjian tertulis untuk dilaksanakan. Kepuasan
psikologis (psychological satisfaction) menyangkut tingkat emosi para pihak:
yang terkendali, saling menghargai, penuh keterbukaan serta dilakukan dengan
sikap positif dalam memelihara hubungan pada masa-masa mendatang.71

17
Mas Achmad Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, Pengaduan Masyarakat dan Penyelesaian Sengketa
Lingkungan, ICEL, Jakarta, 1997, h. 85.
III. Proses Arbitrase.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 30 Tahun 1999, arbitrase merupakan


cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang
didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak
yang bersengketa. Dengan penyelesaian arbitrasi, berarti para pihak yang
bersengketa menyerahkan sengketa kepada pihak ketiga netral yang
mempunyai wewenang untuk memutuskan (arbitrator) atau dengan kata lain
bahwa para pihak yang bersengketa memberikan kewenangan (penuh) kepada
arbitrator guna menyelesaikan sengketa. Untuk itulah, dalam penyelesaian
sengketa melalui arbitrase, maka arbitrator berwewenang mengambil
keputusan yang populer disebut award yang bersifat final dan mengikat secara
hukum bagi para pihak yang bersengketa (the decision rendered by the
arbitrator is legally binding) serta memiliki kekuatan eksekutorial.18

Dalam penyelesaian sengketa, arbitrase mempunyai keunggulan dan


kelemahan. Keunggulan arbitrase sebagaimana yang dijelaskan dalam
Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999. Dalam penjelasan
umum tersebut dinyatakan bahwa Pada umumnya lembaga arbitrase
mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan
tersebut antara lain:

a) dijamin kerahasiaan sengketa para pihak;

b) dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural


dan administratif;

c) para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya


mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang
cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil;

d) para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan


masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan

18
Nancy K. Kubasek dan Gary S. Silverman, Environmental Law, Prentice Hall, Upper saddle River, New
Jersey, 1997, hlm. 36-37.
e) putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan
dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung
dapat dilaksanakan.

Selain kelebihan seperti tersebut diatas, arbitrase juga memiliki


kelemahan. Kelemahan yang terdapat dari praktek yang terjadi adalah masih
sulitnya upaya eksekusi dari suatu putusan arbitrase. Hal ini dikarenakan
putusan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat seperti halnya
dengan putusan pengadilan meskipun pengaturan mengenai eksekusi putusan
arbitrase nasional maupun internasional telah diatur cukup jelas.

IV. Proses Konsiliasi

Usaha untuk mempertemukan pihak yang berselisih dengan tujuan


untuk mencapai persetujuan dan penyelesaian.

Dalam menyelesaikan masalah disini konsiliator memiliki hak dan kewajiban


untuk meyampaikan pendapat dan tidak boleh memihak kepada siapapun.

V. Proses Fasilitasi

Fasilisati dari kata fasilitas jadi pada proses ini fasilitasi bertujuan
untuk menjadi sarana dalam mempermudah pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan masalah.

VI. Proses Penilaian Independen

Penilaian independen adalah penilaian yang berdasar pada naluri


seseorang akan bagaimana kebenaran tersebut. Setelah terjadi penilaian maka
akan saling instropeksi akan kebenaran sehingga dapat mengesampingkan ego
dan terjadilah penyelesaian dalam masalah.

You might also like