You are on page 1of 9

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KUALITAS SEDIAAN DAN PEWARNAAN DAHAK


PADA PEMERIKSAAN MIKROSKOPIS BTA
DI PUSKESMAS KOTA YOGYAKARTA

Sistiyono1,Ni Putu Naris Berdianti2, Subrata Tri Widada3.


Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta. 2011

Abstract

Directly microscopic sputum examined is a gold standard to diagnosis Tuberculosis


disease. Cross check's estimation is done in 3 aspects which is, microscopic slide
quality, coloration quality, perusal quality. The result of slide's quality Estimation and
BTA'S Coloration at Puskesmas of Yogyakarta's City Year 2010 until Quarters III in
2011, 61,8% slide's quality is worst, whereas slide percentage with bad coloration
much greater which is 74,54%. This research is to knowing the factors that regard
sputum's slide quality and coloration in BTA's microscopic examined at Puskesmas
of Yogyakarta's City. The research that is utilized is explorative's observation with
qualitative’s approaching. Based on the observational result that is done to 18
respondents are known that slide's quality in PS regarded by education, knowledge,
training, working life, work load, and phlegm quality, meanwhile, factors that related
to slide's quality and coloration in PRM are training, working life, and work load.

Key words: Factors related, slide’s phlegm quality, slide’s coloration quality,

Abstrak

Diagnosis TB Paru menggunakan BTA dengan cara pemeriksaan dahak secara


mikroskopik langsung merupakan pemeriksaan baku emas (gold standard).
Penilaian cross check pemeriksaan mikroskopik BTA dilakukan dalam 3 aspek
yaitu, kualitas hapusan sediaan, kualitas pewarnaan, kualitas pembacaan. Hasil
Penilaian Kualitas Sediaan dan Pewarnaan BTA di Puskesmas Kota Yogyakarta
Tahun 2010 s.d 2011 Triwulan III, 61,8% kualitas sedian jelek sedangkan pada
pewarnaan, persentase sediaan dengan pewarnaan buruk jauh lebih besar yaitu
74,54%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi
kualitas sediaan dan pewarnaan dahak pada pemeriksaan mikroskopik BTA di
Puskesmas di Kota Yogyakarta. Jenis penelitian yang digunakan adalah observasi
eksploratif dengan pendekatan kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan terhadap 18 responden diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi
pembuatan sediaan di Puskesmas Satelit adalah pendidikan, pengetahuan,
pelatihan, masa kerja, beban kerja, dan kualitas dahak, sedangkan faktor-faktor
yang mempengaruhi pembuatan dan pewarnaan sediaan di Puskesmas Rujukan
Mikroskopik adalah pengetahuan, pelatihan, masa kerja, dan beban kerja.

Kata Kunci: Faktor-faktor yang mempengaruhi, Kualitas Sediaan, Kualitas


Pewarnaan, Pemeriksaan Mikroskopik BTA
1

PENDAHULUAN

Penyakit TB banyak menyerang sebagaian besar kelompok usia


produktif, kelompok ekonomi lemah, dan berpendidikan rendah. Pengobatan
yang tidak teratur dan kombinasi obat yang tidak lengkap dimasa lalu, diduga
telah menimbulkan kekebalan ganda kuman TBC terhadap Anti-Tuberkulosis
(OAT) atau Multi Drug Resistance (MDR). Keadaan TB di Indonesia tidak dapat
diterima, dengan 500.000 kasus baru setiap tahun dan rata-rata 300 warga
Indonesia meninggal karena penyakit tersebut setiap hari, sedangkan Case
finding rate Penderita TB BTA (+) di Kota Yogyakarta sudah melebihi target
diatas 70%, yakni mencapai angka 70%, 72%, dan 71% pada tahun 2009
sampai tahun 2011. Karena itu diagnosis TB Paru dengan menggunakan BTA
dengan cara pemeriksaan dahak secara mikroskopik langsung merupakan
pemeriksaan baku emas (gold standard) 1(Depkes, 2009).

Namun kenyataan dilapangan menunjukan bahwa kejadian error rate


pemeriksaan mikroskopik TB lebih dari 5% masih terjadi di beberapa Puskesmas
di Kota Yogyakarta. Penilaian cross check dilakukan dalam 3 aspek yaitu,
kualitas hapusan sediaan, kualitas pewa rnaan, kualitas pembacaan. Penilaian
hapusan sediaan dan kualitas pewarnaan dilakukan baik secara makroskopis
maupun mikroskopis. Hasil crosscheck yang lebih dari 5% harus diteliti lebih
lanjut kemungkinan penyebabnya seperti kualitas sediaan, kualitas reagens Ziehl
Neelsen, kualitas mikroskop yang digunakan, serta ketrampilan petugas
laboratorium (Depkes, 2009).

Dari jumlah keseluruhan PRM yang diperiksa, 61,8% kualitas sedian


jelek sedangkan hanya 38,18% kualitas sediaan baik. Pada pewarnaan,
persentase sediaan dengan pewarnaan buruk jauh lebih besar dari sediaan
dengan pewarnaan baik yaitu 74,54% pewarnaan buruk, Berdasarkan penelitian
oleh Purbosari (2007) di kudus diperoleh bahwa karakteristik petugas yang
berhubungan dengan kesalahan baca sediaan (error rate) adalah pelatihan,
pengetahuan tentang pemeriksaan mikroskopik langsung, status kepegawaian,
masa kerja dan beban kerja.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang


mempengaruhi kualitas sediaan dan pewarnaan dahak pada pemeriksaan
mikroskopik BTA di Puskesmas di Kota Yogyakarta.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasi eksploratif dengan pendekatan
kualitatif, subjek dalam penelitian ini adalah seluruh petugas laboratorium di
2

Puskesmas yang bertanggung jawab dalam pemeriksaan BTA. Penelitian ini


dilakukan di 14 laboratorium klinik PS (Puskesmas satelit) dan 4 PRM
(Puskesmas Rujukan Mikroskopis) di Kota Yogyakarta.
Metode yang digunakan berupa observasi dan wawancara mendalam
terhadap responden sehingga variabel-variabel penelitian akan disajikan dalam
bentuk narasi.

Analisis Data
Analisis data menggunakan reduksi data yakni Melakukan pengumpulan
data, membuat kategorisasi atau koding, yaitu memilih kata atau kalimat dari
responden dan mengumpulkan dokumen yang memiliki makna dengan fokus
penelitian, Data Display yang mana data akan disajikan berupa teks yang
bersifat narasi. Conclusion/verification (kesimpulan/verifikasi) yakni
Menyimpulkan data yang diperoleh untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas sediaan dan pewarnaan dahak pada pemeriksaan
mikroskopis BTA.

HASIL
Karakteristik Responden
Responden menurut jenis kelamin terdiri dari 7 orang laki-laki dan 11
orang perempuan, pendidikan terdiri dari 9 orang lulusan SMAK dan 9 orang
lulusan D3 Analis Kesehatan, masa kerja rata-rata 20-30 tahun, namun ada 3
responden yang baru memiliki masa kerja selama 3 tahun, selain itu belum
semua responden pernah mengikuti pelatihan tata laksana laboratorium TB.

Hasil Observasi
1. Kualitas dahak
4 orang responden di PRM menggunakan sampel dahak yang purulen,
sedangkan 14 responden yang berasal dari PS, 3 responden yang menggunakan
sampel dahak purulen, 11 lainnya menggunakan air liur dalam membuat
sediaan.

2. Kualitas sediaan
Pada 4 PRM, hanya 1 PRM yang memiliki kualitas sediaan baik, 3 PRM
lainnya kualitas sediaan kurang baik, dilihat dari kerataan, ketebalan dan
kebersihan, begitu pula pada 14 PS, sediaan yang dibuat masih belum
memenuhi syarat.

3. Pelaksanaan fiksasi
Pada pembuatan slide dahak, semua responden dari 18 Puskesmas
selalu melakukan fiksasi sebelum menyimpan dan melakukan pewarnaan.
3

4. Kualitas Pewarnaan
Pewarnaan hanya dilakukan di PRM, sehingga observasi hanya dilakukan
di 4 PRM Kota Yogyakarta dengan hasil kurang baik.
5. Penggunaan Reagen
Hasil observasi terhadap responden di 4 PRM didapatkan bahwa semua
responden menggunakan reagen yang memenuhi standar dan tidak kadaluarsa.
6. Penyediaan SOP (Standar Operational Procedure)
Hasil observasi terhadap 18 responden di 18 Puskesmas baik PRM
maupun PS, 6 responden tidak menyediakan SOP pemeriksaan mikroskopik
BTA di dalam laboratorium.

Hasil wawancara
a. Pengetahuan tentang pemeriksaan mikroskopis BTA
Dari hasil wawancara terhadap responden, secara keseluruhan
responden paham mengenai pemeriksaan mikroskopik BTA, walaupun ada
beberapa responden yang kurang mengetahui maksud dan tujuan pemeriksaan
mikroskopik BTA.

b. Pendidikan
Dari data primer yang didapatkan oleh peneliti, 9 orang responden
memiliki pendidikan terakhir SMAK (Sekolah Menengah Analis Kesehatan) dan
9 orang responden lainnya memiliki pendidikan terakhir D3 Analis Kesehatan,
dan ini telah telah sesuai dengan persyaratan pedoman pelaksana teknis
laboratorium menurut Depkes 2(Gerdunas, 2001).

c. Masa Kerja
15 responden sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun dan 3 responden
lain baru bekerja selama 3 tahun, pengalaman yang dimiliki oleh responden yang
memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun dapat menunjang terlaksananya
pemeriksaan laboratorium yang berkualitas, karena diharapkan semakin lama
masa kerja maka keterampilan yang dimiliki semakin baik.

d. Keikutsertaan dalam Pelatihan


Sebagian besar responden pernah mengikuti pelatihan mengenai
pemeriksaan dan penanggulangan TB dengan jangka waktu pelatihan terakhir 5-
10 tahun yang lalu, 7 responden mengikuti pelatihan 2 tahun terkahir dan 3
responden belum pernah mengikuti pelatihan. Jenis puskesmas yang bukan
PRM dan beban pekerjaan yang hanya membuat sediaan setengah jadi menjadi
salah satu alasan responden jarang diikutsertakan dalam pelatihan.

e. Motivasi dalam melaksanakan pemeriksaan mikroskopik BTA


Dari hasil wawancara beberapa responden menyatakan motivasinya
dalam melakukan pemeriksaan mikroskopik BTA ini adalah unutk membantu
pasien menegakkan diagnosis secepat mungkin sehingga dapat diberikan
4

penanganan segera. Namun sebagian besar responden menyatakan tidak


memiliki motivasi lain selain tugas pokoknya sebagai petugas laboratorium dalam
mengerjakan tugas laboratorium lainnya.

f. Rata-rata pemeriksaan dahak perhari


Pemeriksaan dahak setiap harinya tidak lebih dari 5 slide, ini masih
dibawah standar pemeriksaan slide petugas yang seharusnya memeriksa 10-20
slide tiap harinya. Jumlah pemeriksaan yang tidak melebihi 10 slide ini akan
meringankan tugas petugas dalam melakukan pemeriksan laboratorium lain.

g. Pemberian instruksi cara pengeluaran dahak


Pada program penanggulangan TB di Puskesmas, telah dibuat petugas
khusus yang menangani suspek dan infeksi TB yang bisa berasal dari perawat
maupun analis kesehatan. Berdasarkan wawancara mendalam peneliti terhadap
responden, semua responden menyatakan bahwa mereka hanya menerima
sampel dahak yang dibawa oleh pasien.

h. Kualitas Sediaan dan Pewarnaan


Pengetahuan responden mengenai kualitas sediaan dan pewarnaan yang
baik masih kurang. Sedangkan dari hasil observasi yang dilakukan bahwa lebih
dari 50% kualitas sediaan dan pewarnaan masih belum memenuhi standar, salah
satu penyebabnya adalah pengggunaan sampel yang bukan dahak/sputum
namun air liur. Karena itu, perlu dilakukannya penyegaran kembali sehingga
pengetahuan para petugas laboratorium bisa lebih ditingkatkan guna menunjang
pelaksanan pemeriksaan laboratorium.

i. Beban pekerjaan lain selain pemeriksaan Laboratorium


Sebagian responden menyatakan bahwa mereka memiliki tupoksi lain
selain tugas pokok sebagai petugas laboratorium. Tugas- tugas lain tersebut
diantaranya adalah ikut serta dalam program posyandu, Jamkesmas, jampersal,
imunisasi, laporan administrasi, askes. Tugas lain diluar pemeriksaan
laboratorium tidak mempengaruhi kinerja petugas, namun banyaknya permintaan
pemeriksaan lain menyebabkan pelaksanaan pemeriksaan dahak mikroskopik
BTA menjadi kurang maksimal.

PEMBAHASAN
1. Pengetahuan tentang Pemeriksaan Mikroskopik BTA.
Pemeriksaan Mikroskopik BTA merupakan pemeriksaan untuk
mendeteksi bakteri tahan asam yang dilakukan dengan cara pewarnaan, untuk
menentukan potensi penularan, memantau hasil pengobatan pasien 3(Depkes,
2006).
Hasil wawancara dengan semua responden, didapatkan bahwa hampir
semua responden paham tentang pemeriksaan mikroskopik BTA, namun ada
juga beberapa responden yang kurang mengerti tentang pemeriksaan
5

mikroskopik BTA. Pengetahuan tentang pemeriksaan mikroskopis BTA ini sangat


diperlukan dalam tata laksana laboratorium sehari-hari, teori L.W Green 5(dalam
maryuni 2011) menyatakan bahwa pengetahuan merupakan faktor awal dari
suatu perilaku yang diharapkan pada umumnya berkorelasi positif dengan
perilaku. Namun dari observasi terhadap hasil pembuatan dan pewarnaan
sediaan, tingkat pengetahuan responden yang cukup baik mengenai
pemeriksaan mikroskopis BTA tidak menjamin terselenggaranya pelaksanan
pembuatan sediaan yang baik pula.
Lebih dari 50% sediaan dan pewarnaan yang belum sesuai standar
dibuat oleh responden yang memiliki tingkat pengetahuan yang cukup baik.
Dalam hal ini, perlu adanya usaha untuk meningkatkan pengetahuan petugas
laboratorium mengenai pemeriksaan mikroskopik BTA khususnya dan
pemeriksaan laboratorium lainnya pada umumnya dengan cara pelatihan atau
refreshing pemeriksaan laboratorium, selain itu penyediaan SOP (Standar
Operational Procedure) di beberapa puskesmas yang belum merata
menyebabkan tidak adanya pedoman yang menuntun pelaksanaan pemeriksaan
yang lebih baik 4(Notoatmodjo, 2003).

2. Pelatihan
Pelatihan merupakan bentuk proses pendidikan dengan memperoleh
pengalaman belajar yang akhirnya akan menimbulkan perubahan terhadap
perilaku pesertanya, dan pelatihan tersebut merupakan bentuk pendidikan orang
dewasa. Pelatihan merupakan suatu fungsi yang sifatnya terus menerus bukan
hanya diberikan sekali saja kepada petugas dalam rangka mengembangkan
sumber daya manusia 5(Moekijat, 1991).
Menurut hasil wawancara, 6 responden mengaku mengikuti pelatihan
selama kurang lebih 2 tahun terakhir, responden yang sering mengikuti pelatihan
berasal dari instansi PRM, alasannya adalah karena PRM melakukan tugas yang
lebih banyak dibandingkan dengan PS, karena itu petugas laboratorium dari
PRM lebih sering diikutsertakan dalam pelatihan. Harapannya, para petugas
laboratorium ini dapat memberikan pembinaan bagi petugas-petugas
laboratorium lain di Puskesmas Satelitnya masing-masing. Pelatihan lebih dari 5
tahun terakhir ternyata berpengaruh terhadap pembuatan dan pewarnaan
sediaan dahak oleh responden, yang berarti pentingnya keikutsertaan responden
dalam pelatihan rutin ataupun penyegaran materi kembali.

4. Motivasi
Motivasi adalah proses yang sangat penting untuk mengerti mengenai
mengapa dan bagaimana perilaku seseorang dalam bekerja atau dalam
melakukan suatu tugas tertentu. Oleh karena itu untuk dapat mengarahkan
perilaku prodiktif dan efisien, perlu mengetahui dan menghayati masalah motivasi
ini lebih dalam 6(Sumantri 2001).
6

Dari hasil observasi dan wawancara, kualitas sediaan dan pewarnaan


yang kurang baik ditemukan sama rata pada responden dengan tingkat motivasi
yang rendah maupun tinggi, sehingga motivasi petugas laboratorium tidak
berpengaruh terhadap hasil pembuatan sediaan dan pewarnaan.
Dari hasil wawancara hampir semua responden mengatakan motivasi
mereka adalah karena kemanusiaan , tanggung jawab moral dan lebih banyak
pada tanggung jawab pekerjaan sebagai petugas laboratorium.

5. Pendidikan
Dalam upaya penanggulangan penyakit Tuberkulosis, unit Pelaksana
Puskesmas dibagi menjadi PRM (Puskesmas rujukan Mikroskopis) dan PS
(Puskesmas Satelit).
Gambaran pendidikan responden yang peneliti dapatkan sudah
memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam Depkes bahwa tenaga
laboratorium harus memiliki pendidikan minimal SMAK (Sekolah Menengah
Analis Kesehatan) atau D3 Analis Kesehatan, dari hasil observasi peneliti
didapatkan bahwa lebih dari 50% kualitas sediaan yang kurang baik ditemukan
pada responden yang memiliki pendidikan terakhir SMAK. Ini berarti bahwa
tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap hasil pemeriksaan
laboratorium.
Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan baik melalui jalur pendidikan
formal maupun informal, karena setiap penggunaan teknologi hanya akan dapat
dikuasai dengan pengetahuan keterampilan dan kemampuan yang handal.
Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi tingkat
pemahaman, cara berpikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu
pekerjaan. 7(Tarwaka dalam purbosari, 2007).

6. Masa Kerja
Dari data primer yang didapat, lama masa kerja responden adalah antara
3 – 30 tahun, sedangkan dari hasil observasi dan wawancara mendalam, lebih
dari 60% sediaan kurang baik berasal dari responden yang memiliki masa kerja
lebih dari 10 tahun. Penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Purbosari (2007)
dimana dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa terjadi penurunan kinerja
pada masa kerja 6-10 tahun.
Lama masa bekerja petugas dapat merupakan faktor pendorong yaitu
dengan semakin meningkatnya keterampilan petugas seiring dengan frekuensi
pekerjaan yang berulang-ulang dan semakin banyak. Sebaliknya dapat pula
menjadi faktor penghambat apabila terjadi kejenuhan pada pekerjaan yang
monoton (Depkes, 2000).
7

7. Beban Kerja
Beban kerja didefinisikan sebagai volume yang dibebankan kepada
seseorang pekerja dan hal ini merupakan tanggungjawab dari pekerjaan
tersebut. Beban kerja harus seimbang dengan kemampuan individu agar tidak
terjadi hambatan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas. Dari hasil
wawancara , semua responden tidak merasakan suatu beban berat ataupun
kendala dalam pelaksanaan pemeriksaan laboratorium khususnya pemeriksaan
mikroskopik BTA, namun jika sampel berupa air liur pengambilan sampel perlu
diulang dan pemeriksaan perlu dilakukan dua kali, ini menyebabkan
bertambahnya beban pekerjaan di dalam laboratorium dan memperlambat
keluarnya hasil pemeriksaan.
Petugas Laboratorium TB Puskesmas dianjurkan paling banyak
memeriksa 2 slide setiap harinya. Semakin berat beban kerja akan menurunkan
daya konsentrasi petugas dalam menjalankan pekerjaanya. Agar petugas
laboratorium dapat mempertahankan keterampilannya (mempertahankan mutu
pemeriksaan), maka dia harus mempunyai kesempatan untuk memeriksa 10-20
sediaan setiap hari (gerdunas TB, 2001).

8. Kualitas Sediaan dan pewarnaan


Sebagian besar responden kurang begitu paham tentang kualitas sedian
apus yang baik, pengetahuan tentang kualitas sedian ini lebih banyak didapat
dari pelatihan, namun jangka waktu pelatihan yang sudah cukup lama
menyebabkan responden tidak dapat mengingat dengan baik materi yang telah
disampaikan, ini diakibatkan pengikutsertaan pelatihan di Puskesmas Kota yang
kurang merata.
Pada pelaksanaan pembuatan sediaan, responden telah melakukan
dengan baik, namun dilihat dari sediaan sebelumnya masih banyak sediaan yang
kurang baik dari segi ketebalan, bentuk, kerataan dan pewarnaannya
Tersedianya SOP juga sangat berperan dalam pelaksanaan pemeriksaan
laboratorium, karena pada dasarnya segala kegiatan dalam laboratorium harus
memiliki pedoman baku yang mendukung terlaksananya kegiatan laboratorium.
Hasil observasi dan wawancara terhadap 18 responden menunjukan bahwa ada
6 responden yang tidak memiliki SOP pemeriksaan pemeriksaan BTA, sehingga
pelaksanaannya pun kurang maksimal.

KESIMPULAN
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sediaan dan pewarnaan dahak
pada pemeriksaan mikroskopik BTA di PRM (Puskesmas Rujukan
Mikroskopik) Kota Yogyakarta adalah pengetahuan, pelatihan, masa kerja,
dan beban kerja.
8

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sediaan dahak pada pemeriksaan


mikroskopik BTA di PS (Puskesmas Satelit) Kota Yogyakarta adalah adalah
Pendidikan, pengetahuan, pelatihan, masa kerja, beban kerja, dan kualitas
dahak.

SARAN
1. Perlu dilakukan pengelolaan program pemantapan mutu untuk evaluasi
tentang kualitas sediaan dan pewarnaan dahak pada pemeriksaan
mikroskopik BTA di Puskesmas di Kota Yogyakarta, selain itu diadakan
pelatihan secara berkala guna meningkatkan kinerja petugas laboratorium.
2. Puskesmas diharapkan melakukan pengadaan dan pelaksanaan SOP di
laboratorium

DAFTAR PUSTAKA
1. DepKes. 2009. Pedoman nasional penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta. Depkes RI
2. Gerdunas TB. 2001. Pemeriksaan Mikroskopik Dahak Dan Cross Check
Sediaan BTA. Jakarta.
3. Depkes. 2006. Panduan Bagi Petugas Laboratorium Pemeriksaan
Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
4. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta
5. Moekijat. 1991. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Cet 4.
Jakarta.
6. Sumantri, S. 2001. Perilaku Organisasi. Bandung: Sulita
7. Purbosari, R. 2007. Skripsi. Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium Tb
Paru Puskesmas Dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka
Tb Paru Di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Fakultas Ilmu Keolahragaan
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat: Universitas Negeri Semarang.

You might also like