Professional Documents
Culture Documents
Abstract
Key words: Factors related, slide’s phlegm quality, slide’s coloration quality,
Abstrak
PENDAHULUAN
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian
Jenis penelitian ini adalah observasi eksploratif dengan pendekatan
kualitatif, subjek dalam penelitian ini adalah seluruh petugas laboratorium di
2
Analisis Data
Analisis data menggunakan reduksi data yakni Melakukan pengumpulan
data, membuat kategorisasi atau koding, yaitu memilih kata atau kalimat dari
responden dan mengumpulkan dokumen yang memiliki makna dengan fokus
penelitian, Data Display yang mana data akan disajikan berupa teks yang
bersifat narasi. Conclusion/verification (kesimpulan/verifikasi) yakni
Menyimpulkan data yang diperoleh untuk mengetahui faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap kualitas sediaan dan pewarnaan dahak pada pemeriksaan
mikroskopis BTA.
HASIL
Karakteristik Responden
Responden menurut jenis kelamin terdiri dari 7 orang laki-laki dan 11
orang perempuan, pendidikan terdiri dari 9 orang lulusan SMAK dan 9 orang
lulusan D3 Analis Kesehatan, masa kerja rata-rata 20-30 tahun, namun ada 3
responden yang baru memiliki masa kerja selama 3 tahun, selain itu belum
semua responden pernah mengikuti pelatihan tata laksana laboratorium TB.
Hasil Observasi
1. Kualitas dahak
4 orang responden di PRM menggunakan sampel dahak yang purulen,
sedangkan 14 responden yang berasal dari PS, 3 responden yang menggunakan
sampel dahak purulen, 11 lainnya menggunakan air liur dalam membuat
sediaan.
2. Kualitas sediaan
Pada 4 PRM, hanya 1 PRM yang memiliki kualitas sediaan baik, 3 PRM
lainnya kualitas sediaan kurang baik, dilihat dari kerataan, ketebalan dan
kebersihan, begitu pula pada 14 PS, sediaan yang dibuat masih belum
memenuhi syarat.
3. Pelaksanaan fiksasi
Pada pembuatan slide dahak, semua responden dari 18 Puskesmas
selalu melakukan fiksasi sebelum menyimpan dan melakukan pewarnaan.
3
4. Kualitas Pewarnaan
Pewarnaan hanya dilakukan di PRM, sehingga observasi hanya dilakukan
di 4 PRM Kota Yogyakarta dengan hasil kurang baik.
5. Penggunaan Reagen
Hasil observasi terhadap responden di 4 PRM didapatkan bahwa semua
responden menggunakan reagen yang memenuhi standar dan tidak kadaluarsa.
6. Penyediaan SOP (Standar Operational Procedure)
Hasil observasi terhadap 18 responden di 18 Puskesmas baik PRM
maupun PS, 6 responden tidak menyediakan SOP pemeriksaan mikroskopik
BTA di dalam laboratorium.
Hasil wawancara
a. Pengetahuan tentang pemeriksaan mikroskopis BTA
Dari hasil wawancara terhadap responden, secara keseluruhan
responden paham mengenai pemeriksaan mikroskopik BTA, walaupun ada
beberapa responden yang kurang mengetahui maksud dan tujuan pemeriksaan
mikroskopik BTA.
b. Pendidikan
Dari data primer yang didapatkan oleh peneliti, 9 orang responden
memiliki pendidikan terakhir SMAK (Sekolah Menengah Analis Kesehatan) dan
9 orang responden lainnya memiliki pendidikan terakhir D3 Analis Kesehatan,
dan ini telah telah sesuai dengan persyaratan pedoman pelaksana teknis
laboratorium menurut Depkes 2(Gerdunas, 2001).
c. Masa Kerja
15 responden sudah bekerja selama lebih dari 10 tahun dan 3 responden
lain baru bekerja selama 3 tahun, pengalaman yang dimiliki oleh responden yang
memiliki masa kerja lebih dari 10 tahun dapat menunjang terlaksananya
pemeriksaan laboratorium yang berkualitas, karena diharapkan semakin lama
masa kerja maka keterampilan yang dimiliki semakin baik.
PEMBAHASAN
1. Pengetahuan tentang Pemeriksaan Mikroskopik BTA.
Pemeriksaan Mikroskopik BTA merupakan pemeriksaan untuk
mendeteksi bakteri tahan asam yang dilakukan dengan cara pewarnaan, untuk
menentukan potensi penularan, memantau hasil pengobatan pasien 3(Depkes,
2006).
Hasil wawancara dengan semua responden, didapatkan bahwa hampir
semua responden paham tentang pemeriksaan mikroskopik BTA, namun ada
juga beberapa responden yang kurang mengerti tentang pemeriksaan
5
2. Pelatihan
Pelatihan merupakan bentuk proses pendidikan dengan memperoleh
pengalaman belajar yang akhirnya akan menimbulkan perubahan terhadap
perilaku pesertanya, dan pelatihan tersebut merupakan bentuk pendidikan orang
dewasa. Pelatihan merupakan suatu fungsi yang sifatnya terus menerus bukan
hanya diberikan sekali saja kepada petugas dalam rangka mengembangkan
sumber daya manusia 5(Moekijat, 1991).
Menurut hasil wawancara, 6 responden mengaku mengikuti pelatihan
selama kurang lebih 2 tahun terakhir, responden yang sering mengikuti pelatihan
berasal dari instansi PRM, alasannya adalah karena PRM melakukan tugas yang
lebih banyak dibandingkan dengan PS, karena itu petugas laboratorium dari
PRM lebih sering diikutsertakan dalam pelatihan. Harapannya, para petugas
laboratorium ini dapat memberikan pembinaan bagi petugas-petugas
laboratorium lain di Puskesmas Satelitnya masing-masing. Pelatihan lebih dari 5
tahun terakhir ternyata berpengaruh terhadap pembuatan dan pewarnaan
sediaan dahak oleh responden, yang berarti pentingnya keikutsertaan responden
dalam pelatihan rutin ataupun penyegaran materi kembali.
4. Motivasi
Motivasi adalah proses yang sangat penting untuk mengerti mengenai
mengapa dan bagaimana perilaku seseorang dalam bekerja atau dalam
melakukan suatu tugas tertentu. Oleh karena itu untuk dapat mengarahkan
perilaku prodiktif dan efisien, perlu mengetahui dan menghayati masalah motivasi
ini lebih dalam 6(Sumantri 2001).
6
5. Pendidikan
Dalam upaya penanggulangan penyakit Tuberkulosis, unit Pelaksana
Puskesmas dibagi menjadi PRM (Puskesmas rujukan Mikroskopis) dan PS
(Puskesmas Satelit).
Gambaran pendidikan responden yang peneliti dapatkan sudah
memenuhi persyaratan yang dicantumkan dalam Depkes bahwa tenaga
laboratorium harus memiliki pendidikan minimal SMAK (Sekolah Menengah
Analis Kesehatan) atau D3 Analis Kesehatan, dari hasil observasi peneliti
didapatkan bahwa lebih dari 50% kualitas sediaan yang kurang baik ditemukan
pada responden yang memiliki pendidikan terakhir SMAK. Ini berarti bahwa
tingkat pendidikan memberikan pengaruh terhadap hasil pemeriksaan
laboratorium.
Tingkat pendidikan harus selalu dikembangkan baik melalui jalur pendidikan
formal maupun informal, karena setiap penggunaan teknologi hanya akan dapat
dikuasai dengan pengetahuan keterampilan dan kemampuan yang handal.
Secara umum pendidikan yang diperoleh akan mempengaruhi tingkat
pemahaman, cara berpikir serta cara mengambil keputusan dalam suatu
pekerjaan. 7(Tarwaka dalam purbosari, 2007).
6. Masa Kerja
Dari data primer yang didapat, lama masa kerja responden adalah antara
3 – 30 tahun, sedangkan dari hasil observasi dan wawancara mendalam, lebih
dari 60% sediaan kurang baik berasal dari responden yang memiliki masa kerja
lebih dari 10 tahun. Penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Purbosari (2007)
dimana dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa terjadi penurunan kinerja
pada masa kerja 6-10 tahun.
Lama masa bekerja petugas dapat merupakan faktor pendorong yaitu
dengan semakin meningkatnya keterampilan petugas seiring dengan frekuensi
pekerjaan yang berulang-ulang dan semakin banyak. Sebaliknya dapat pula
menjadi faktor penghambat apabila terjadi kejenuhan pada pekerjaan yang
monoton (Depkes, 2000).
7
7. Beban Kerja
Beban kerja didefinisikan sebagai volume yang dibebankan kepada
seseorang pekerja dan hal ini merupakan tanggungjawab dari pekerjaan
tersebut. Beban kerja harus seimbang dengan kemampuan individu agar tidak
terjadi hambatan atau kegagalan dalam pelaksanaan tugas. Dari hasil
wawancara , semua responden tidak merasakan suatu beban berat ataupun
kendala dalam pelaksanaan pemeriksaan laboratorium khususnya pemeriksaan
mikroskopik BTA, namun jika sampel berupa air liur pengambilan sampel perlu
diulang dan pemeriksaan perlu dilakukan dua kali, ini menyebabkan
bertambahnya beban pekerjaan di dalam laboratorium dan memperlambat
keluarnya hasil pemeriksaan.
Petugas Laboratorium TB Puskesmas dianjurkan paling banyak
memeriksa 2 slide setiap harinya. Semakin berat beban kerja akan menurunkan
daya konsentrasi petugas dalam menjalankan pekerjaanya. Agar petugas
laboratorium dapat mempertahankan keterampilannya (mempertahankan mutu
pemeriksaan), maka dia harus mempunyai kesempatan untuk memeriksa 10-20
sediaan setiap hari (gerdunas TB, 2001).
KESIMPULAN
1. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas sediaan dan pewarnaan dahak
pada pemeriksaan mikroskopik BTA di PRM (Puskesmas Rujukan
Mikroskopik) Kota Yogyakarta adalah pengetahuan, pelatihan, masa kerja,
dan beban kerja.
8
SARAN
1. Perlu dilakukan pengelolaan program pemantapan mutu untuk evaluasi
tentang kualitas sediaan dan pewarnaan dahak pada pemeriksaan
mikroskopik BTA di Puskesmas di Kota Yogyakarta, selain itu diadakan
pelatihan secara berkala guna meningkatkan kinerja petugas laboratorium.
2. Puskesmas diharapkan melakukan pengadaan dan pelaksanaan SOP di
laboratorium
DAFTAR PUSTAKA
1. DepKes. 2009. Pedoman nasional penanggulangan Tuberkulosis. Edisi 2.
Jakarta. Depkes RI
2. Gerdunas TB. 2001. Pemeriksaan Mikroskopik Dahak Dan Cross Check
Sediaan BTA. Jakarta.
3. Depkes. 2006. Panduan Bagi Petugas Laboratorium Pemeriksaan
Mikroskopis Tuberkulosis. Jakarta. Dirjen Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
4. Notoatmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: PT
Rineka Cipta
5. Moekijat. 1991. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Cet 4.
Jakarta.
6. Sumantri, S. 2001. Perilaku Organisasi. Bandung: Sulita
7. Purbosari, R. 2007. Skripsi. Hubungan Karakteristik Petugas Laboratorium Tb
Paru Puskesmas Dengan Error Rate Hasil Pemeriksaan Dahak Tersangka
Tb Paru Di Kabupaten Kudus Tahun 2006. Fakultas Ilmu Keolahragaan
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat: Universitas Negeri Semarang.