You are on page 1of 4

NAMA : MUHAMMAD SHABIR

NIM : 10100108031
JURUSAN : PERADILAN AGAMA
JUDUL : PERGESERAN NILAI-NILAI PERNIKAHAN DARI FIQIH
KLASIK KE FIQIH MODEREN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makluk sosial (zoonpoliticoon), sehingga tidak bisa hidup

tanpa adanya manusia lainnya. Sejak lahir manusia telah dilengkapi dengan naluri

untuk hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama dengan orang

lain mengakibatkan hasrat yang kuat untuk hidup teratur1. Demikian pula diantara

wanita dan pria itu saling membutuhkan, saling mengisi, saling berkaitan, tidak bisa

dilepaskan antara satu dengan yang lainnya. Dan rasanya tidak sempurna hidupnya

seorang wanita tanpa didampingi seorang pria sekalipun dia beralaskan emas dan

permata, demikian sebaliknya tidak akan sempurna hidup seorang pria tanpa

kehadiran wanita sebagai pelengkapnya.

Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Ikatan lahir adalah hubungan formal yang dapat dilihat

karena dibentuk menurut undang-undang, yang mengikat kedua pihak dan pihak lain

1
Soejono Soekanto, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum (Jakarta: CV Rajawali, 1982), h. 9.

1
2

dalam masyarakat sedangkan Ikatan batin adalah hubungan tidak formal yang

dibentuk dengan kemauan bersama yang sungguh-sungguh mengikat kedua pihak.

Ikatan perkawinan merupakan ikatan suci yang berdasarkan nilai-nilai

ketuhanan untuk membentuk keluarga sakinah dan mawaddah. Ikatan perkawinan

bukan saja ikatan perdata tetapi ikatan lahir batin antara seorang suami dengan

seorang isteri. Perkawinan tidak lagi hanya sebagai hubungan jasmani tetapi juga

merupakan hubungan batin. Pergeseran ini mengesankan perkawinan selama ini

hanya sebatas ikatan jasmani ternyata juga mengandung aspek yang lebih subtantif

dan berdimensi jangka panjang. Ikatan yang didasarkan pada hubungan jasmani itu

berdampak pada masa yang pendek sedangkan ikatan lahir batin itu lebih jauh.

Dimensi masa dalam ini dieksplisitkan dengan tujuan sebuah perkawinan yakni untuk

membangun sebuah keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.2

Hukum perkawinan merupakan bagian integral dari syari’at Islam, yang tidak

terpisahkan dari dimensi akidah dan akhlak islami. Diatas dasar inilah hukum

perkawinan ingin mewujudkan perkawinan di kalangan orang muslim menjadi

perkawinan yang bertauhid dan berakhlak, sebab perkawinan semacam inilah yang

bisa diharapkan memiliki nilai transedental dan sakral untuk mencapai tujuan

perkawinan yang sejalan dengan tujuan syar’iat Islam.3

2
Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 46.

3
M. Anshary MK, Hukum Perkawinan di Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 10.
3

Ketentuan-ketentuan mengenai perkawinan menurut syari’at Islam mengikat

kepada setiap muslim, dan setiap muslim perlu menyadari bahwa didalam perkawinan

terkandung nilai-nilai ubudiyah. Karena itu, ikatan perkawinan diistilahkan dalam Al

quran dengan “mitsaaqan ghaliza”, suatu ikatan yang mengandung nilai ubudiyah,

maka memperhatikan keabsahannya menjadi hal yang menjadi sangat prinsipil.4

Hanya saja dengan seiring berjalannya waktu, nilai-nilai perkawinan makin

lama makin terkikis. Di tambah lagi zaman moderen dan serba canggi membuat nilai

atau kesakralan suatu perkawinan berada pada sisi yang terlupakan. Bukan hanya itu

saja benturan adat isiadat pun menjadi persoalan.

Suatu hal menarik yang muncul akhir-akhir ini ialah persoalan akad nikah

melalui telephon. Persoalan tersebut patud mendapat perhatian serius dan perlu

pengkajian lebih mendalam.

Parah mujtahid harus selalu siap, serius dan bekerja keras lagi dalam

penetapkan, mengali hukum. Sebab persolan yang baru akan selalu muncul dalam

bentuk lain.

4
Ibid, h. 11
4

B. Rumusan Masalah

Masalah yang dikaji secara konfrehensif dalam latar belakang ini dirumuskan

dalam sebuah masalah pokok yakni, pergeseran nilai-nilai pernikahan dari fikih klasik

ke fikih modern?

Dari masalah pokok tersebut penulis jabarkan kembali dalam beberapa sub

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana nilai-nilai pernikahan menurut fikih klasik?

2. Bagaimana nilai-nilai pernikahan menurut fikih kontemporer?

You might also like