You are on page 1of 2

Menentukan Batas-batas Kekerasan

Seperti yang dikatakan dalam buku ciptaan Haryatmoko, kesulitan utama dari regulasi adalah
bagaimana menentukan batas kekerasan dalam media yang masih bisa ditoleransi. Regulasi yang
dibuat harus mempertimbangkan berbagai dimensi yaitu:
1. Dimensi Persepsi. Harus bisa menentukan sejauh mana batas tidak bisa dilihat,
dipresentasikan, maupun didengar.
2. Dimensi Afeksi. Harus bisa menentukan sejauh mana kekerasan dalam media bisa
menyebabkan traumatisme.
3. Dimensi Estetika. Bisakah menentukan ukuran mana yang indah dan jelek atau kumuh.
4. Dimensi Moral dan Keyakinan. Harus bisa menentukan mana yang bisa dipercaya dan tidak,
juga mana yang bisa diterima atau tidak.

Kelemahan dari dalam media yang membuat setiap usaha regulasi mendapatkan banyak kontra
adalah lemahnya argumentasi terhadap regulasi yang bersangkutan. Kelemahan tersebut ada karena
masih minimnya peneliti yang serius dalam membuat sebuah penelitian yang terkait dengan berbagai
dimensi yang sudah disebutkan sebelumnya. Dampaknya adalah banyak orang yang belum tahu efek
emosi dan afeksi riil apa yang dialami oleh pemirsa.
Orang perlu mengetahui bahwa media dikenal dengan tiga tipe dunia; dunia riil, dunia fiksi,
dunia virtual. Lalu Noel Nel merasa bentuk kekerasan juga perlu dikelompokkan layaknya dunia
yaitu; kekerasan-dokumen, kekerasan-fiksi, dan kekerasan-simulasi. Tiga jenis kekerasan ini sering
dikondisikan oleh kekerasan simbolik terjadi karena ketidaktahuan yang telah terdominasi. Kekerasan
simbolik sendiri tejadi karena sistem informasi dan media besar yang beroprasi mengikuti aturan
tertentu dalam bentuk keseragaman, sensasionalisme, dan lain sebagainya.

Kekerasan-Dokumen
Jenis kekerasan ini menampilkan gambar kekerasan yang dipahami pembaca dengan mata sebagai
dokumentasi. Dalam media sendiri biasa dipresentasikan melalui isinya (tindakan, situasi, dan emosi).
Namun jenis kekerasan ini masih memiliki sisi positif karena dapat menumbuhkan kepedulian
terhadap korban. Hubungan antara pembaca dan gambar ditata sangat baik oleh wartawan, karena
mereka sangat memperhitungkan efek penerimaannya.
Kekerasan ini tidak hanya berbentuk gambar, namun juga bisa dalam bentuk tulisan.
Wartawan sendiri sering kali mendahului kepolisian dalam mengintrogasi korban yang terkait, namun
hal itu sangat membantu para polisi dalam menyelesaikan suatu kasus.
Kekerasan-Fiksi dan Kekerasan-Simulasi
Kekerasan yang terdapat dalam cerita tidak nyata dapat memberikan dampak negatif dan perilaku
agresif terhadap. Didalam acara televisi yang sering kita tonton, terdapat banyak pengaturan yang
tidak kita ketahui sehingga kita menganggap hal tersebut adalah hal yang nyata. Padahal hal tersebut
jauh dari kenyataan yang ada dibalik layar, dan hal itu dapat berbahaya jika dilihat oleh orang-orang
yang bisa mensalahartikan kegiatan tersebut.
Kekerasan-fiksi juga dapat kita temukan di internet. Dimana sering kita dapati banyak situs
maupun forum yang mendiskusikan hal-hal yang berbau kekerasan, seperti seks, perdagangan
terlarang, dan wacana ekstrem. Di internet sendiri juga banyak orang yang menyuarakan pendapatnya
secara frontal, karena mereka merasa jauh dari jaringan hukum.
Untuk kekerasan-simulasi, biasanya berimage dengan permainan online. Perasaan yang
sangat berkuasa muncul karena kita diberi kuasa untuk menjadi penguasa dan pencipta suatu
lingkungan dalam permainan tersebut. Kekerasan lain yang terdapat dalam permainan ini adalah sifat
manipulatifnya karena pemain tidak diberi kesempatan untuk berpikir atau merefleksikan.
Untuk menghadapi masalah kekerasan dalam permainan video perlu melibatkan bentuk
mediasi tersebut; kelompok sebaya, lingkaran pemain, orangtua, iklan, dan majalah.

You might also like