You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pada zaman sekarang, banyak penggunaan gel dan emulgel dalam aktivitas
sehari-hari. Gel merupakan sistem semi-padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik besar, terpenetrasi pada suatu
cairan (Dirjen POM. 1995:7). Emulgel merupakan emulsi tipe minyak dalam air
(o/w) atau air dalam minyak (w/o), yang dicampur dengan basis gel. Emulgel dapat
digunakan sebagai pembawa obat hidrofobik (Anwar,dkk.,2014).
Gel dan emulgel memiliki perbedaan. Pada sediaan gel hanya terdiri dari
basis gel saja, sedangkan pada emulgel terdiri dari 2 fase antara gel dan emulsi.
Biasanya sediaan gel dan emulgel ini banyak digunakan untuk penggunaan topikal,
misalnya obat untuk mengghilangkan rasa sakit, obat jerawat, obat penghilang
bekas luka, dan lain-lain. Pada sediaan gel maupun emulgel ini dibutuhkanlah
peningkat penetrasi. Peningkat penetrasi dibutuhkan supaya obat bisa dengan
mudah menembus kulit, sehingga obat bisa memiliki efek yang diinginkan. Pada
setiap bagian kulit, peningkat penetrasi yang dibutuhkan berbeda, sesuai dengan
ketebalan kulit tersebut. Seperti pada bagian pipi, peningkatpeningkat penetrasi
yang dibutuhkan lebih rendah dari pada yang dibutuhkan pada bagian siku.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa perbedaan Gel dan Emulgel ?
2. Bagaimana pengaruh dari peningkat penetrasi dari sediaan gel dan emulgel
yang dibuat ?
3. Sediaan Manakah yang lebih bagus digunakan sediaan topikal antara gel
dan emulgel ?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui perbedaan Gel dan Emulgel
2. Mengetahui Pengaruh dari penigkat penetrasi dari sediaan gel dan emulgel
yang dibuat

1
3. Mengetahui jenis sediaan yang lebih bagus digunakana untuk sediaan
topikal

BAB II
TEORI DASAR
2.1 Gel
2.1.1 Pengertian Gel
Gel merupakan sistem semipadat yang pergerakan medium
pendispersinya terbatas oleh sebuah jalinan jaringan tiga dimensi dari
partikel-partikel atau makromolekul yang terlarut pada fase pendispersi
(Allen, 2002). Gel umumnya merupakan suatu sediaan semipadat yang
jernih, tembus cahaya dan mengandung zat aktif, merupakan dispersi koloid
mempunyai kekuatan yang disebabkan oleh jaringan yang saling berikatan
pada fase terdispersi (Ansel, 1989). Karakteristik yang umum dari semua
gel adalah bahwa mereka mengandung struktur yang kontinu yang
melengkapi sifat seperti-bahan padat (Gibson, 2001). Gel harus memiliki
kejernihan dan harus dapat memelihara viskositas di atas rentang temperatur
yang luas. Beberapa sistem gel penampilannya sejernih air, sedangkan gel
yang lainnya keruh karena bahan-bahannya mungkin tidak terdispersi secara
molekuler atau mungkin karena terbentuk agregat yang mendispersi cahaya.
Konsentrasi basis gel pada umumnya kurang dari 10%, biasanya antara
0,5% sampai 2,0% dengan beberapa pengecualian (Allen, 2002).
2.1.2 Sifat Sifat Sediaan Gel
Sediaan gel memiliki sifat sebagai berikut (Lachman dkk., 2008) :
1. Zat pembentuk gel yang ideal untuk sediaan farmasi dan kosmetik ialah
inert, aman dan tidak bereaksi dengan komponen lain.
2. Pemilihan bahan pembentuk gel harus dapat memberikan bentuk padatan
yang baik selama penyimpanan tapi dapat rusak segera ketika sediaan
diberikan kekuatan atau daya yang disebabkan oleh pengocokan dalam
botol, pemerasan tube, atau selama penggunaan topikal.

2
3. Karakteristik gel harus disesuaikan dengan tujuan penggunaan sediaan
yang diharapkan.
4. Penggunaan bahan pembentuk gel yang konsentrasinya sangat tinggi atau
BM besar dapat menghasilkan gel yang sulit untuk dikeluarkan atau
digunakan.
5. Gel dapat terbentuk melalui penurunan temperatur, tapi dapat juga
pembentukan gel terjadi setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Contoh
polimer seperti MC, HPMC dapat terlarut hanya pada air yang dingin yang
akan membentuk larutan yang kental dan pada peningkatan suhu larutan
tersebut akan membentuk gel.
6. Fenomena pembentukan gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh
pemanasan disebut thermogelation.
Sifat Khas dan karakteristik gel (Zats & Gregory, 1996), meliputi :
1. Swelling Gel dapat mengembang karena komponen pembentuk gel dapat
mengabsorbsi larutan sehingga terjadi pertambahan volume. Pelarut akan
berpenetrasi diantara matriks gel dan terjadi interaksi antara pelarut dengan
gel. Pengembangan gel kurang sempurna bila terjadi ikatan silang antar
polimer di dalam matriks gel yang dapat menyebabkan kelarutan komponen
gel berkurang.
2. Sineresis Suatu proses yang terjadi akibat adanya kontraksi di dalam
massa gel. Cairan yang terjerat akan keluar dan berada di atas permukaan
gel. Pada waktu pembentukan gel terjadi tekanan yang elastis, sehingga
terbentuk massa gel yang tegar. Mekanisme terjadinya kontraksi
berhubungan dengan fase relaksasi akibat adanya tekanan elastis pada saat
terbentuknya gel. Adanya perubahan pada ketegaran gel akan
mengakibatkan jarak antar matriks berubah, sehingga memungkinkan cairan
bergerak menuju permukaan. Sineresis dapat terjadi pada hidrogel maupun
organogel.
3. Efek suhu Efek suhu mempengaruhi struktur gel. Gel dapat terbentuk
melalui penurunan temperatur tapi dapat juga pembentukan gel terjadi
setelah pemanasan hingga suhu tertentu. Polimer separti MC, HPMC,

3
terlarut hanya pada air yang dingin membentuk larutan yang kental. Pada
peningkatan suhu larutan tersebut membentuk gel. Fenomena pembentukan
gel atau pemisahan fase yang disebabkan oleh pemanasan disebut
thermogelation.
4. Efek elektrolit Konsentrasi elektrolit yang sangat tinggi akan berpengaruh
pada gel hidrofilik dimana ion berkompetisi secara efektif dengan koloid
terhadap pelarut yang ada dan koloid digaramkan (melarut). Gel yang tidak
terlalu hidrofilik dengan konsentrasi elektrolit kecil akan meningkatkan
rigiditas gel dan mengurangi waktu untuk menyusun diri sesudah pemberian
tekanan geser. Gel Na-alginat akan segera mengeras dengan adanya
sejumlah konsentrasi ion kalsium yang disebabkan karena terjadinya
pengendapan parsial dari alginat sebagai kalsium alginat yang tidak larut.
5. Elastisitas dan rigiditas Sifat ini merupakan karakteristik dari gel gelatin
agar dan nitroselulosa, selama transformasi dari bentuk sol menjadi gel
terjadi peningkatan elastisitas dengan peningkatan konsentrasi pembentuk
gel. Bentuk struktur gel resisten terhadap perubahan atau deformasi dan
mempunyai aliran viskoelastik. Struktur gel dapat bermacam-macam
tergantung dari komponen pembentuk gel.
6. Rheologi Larutan pembentuk gel (gelling agent) dan dispersi padatan
yang terflokulasi memberikan sifat aliran pseudoplastis yang khas dan
menunjukkan jalan aliran non–Newton yang dikarakterisasi oleh penurunan
viskositas dan peningkatan laju aliran.
2.1.3 Penggolongan Gel
Dalam pembuatan gel, pemilihan basis dapat mempengaruhi
karakter gel yang terbentuk (Liebermen, 1996). Basis gel dibedakan
menjadi basis gel hidrofobik dan basis gel hidrofilik. Gel dengan basis
hidrofilik yang bersifat memperlambat pengeringan merupakan bahan yang
cocok untuk penggunaan topikal karena mampu bertahan lama pada
permukaan kulit (Bakker dkk., 1990). Sistem koloid pada gel hidrofilik juga
lebih mudah dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar dibanding
hidrofobik (Ansel, 1989). Dasar gel hidrofobik terdiri dari fase anorganik.

4
Interaksi yang terjadi antara dasar gel hidrofobik dengan fase
pendispersinya hanya sedikit. Bahan hidrofobik tidak menyebar dengan
spontan (Ansel, 1989).
Penggolongan gel, dibagi berdasarkan :
A. Berdasarkan sifat fasa koloid (Lieberman, 1996), meliputi :
a. Gel anorganik, contoh : bentonit magma.
b. Gel organik, pembentuk gel berupa polimer.
B. Berdasarkan sifat pelarut (Lieberman,1996), meliputi :
a. Hidrogel (pelarut air)
Hidrogel pada umumnya terbentuk oleh molekul polimer hidrofilik yang
saling sambung silang melalui ikatan kimia atau gaya kohesi seperti
interaksi ionik, ikatan hidrogen atau interaksi hidrofobik. Hidrogel
mempunyai biokompatibilitas yang tinggi sebab hidrogel mempunyai
tegangan permukaan yang rendah dengan cairan biologi dan jaringan
sehingga meminimalkan kekuatan adsorbsi protein dan adhesi sel, hidrogel
menstimulasi sifat hidrodinamik dari gel biologikal, sel dan jaringan dengan
berbagai cara, hidrogel bersifat lunak, elastis sehingga meminimalkan iritasi
karena friksi pada jaringan sekitarnya. Kekurangan hidrogel yaitu memiliki
kekuatan mekanik dan kekerasan yang rendah setelah mengembang. Contoh
: bentonit magma, gelatin.
b. Organogel (pelarut bukan air/pelarut organik)
Contoh : plastibase (suatu polietilen dengan BM rendah yang terlarut dalam
minyak mineral dan didinginkan secara shock cooled) dan dispersi logam
stearat dalam minyak.
c. Xerogel
Gel yang telah padat dengan konsentrasi pelarut yang rendah diketahui
sebagai xerogel. Kondisi ini dapat dikembalikan pada keadaan semula
dengan penambahan agen yang mengimbibisi, dan mengembangkan matriks
gel. Contoh : gelatin kering, tragakan ribbons, acacia tears, selulosa kering
dan polystyrene.

5
2.1.4 Keuntungan Gel
Bentuk gel mempunyai beberapa keuntungan diantaranya tidak lengket. Gel
mempunyai aliran tiksotropik dan pseudoplastik yaitu gel berbentuk padat
apabila disimpan dan akan segera mencair bila dikocok. Konsentrasi bahan
pembentuk gel yang dibutuhkan hanya sedikit untuk membentuk massa gel yang
baik. Viskositas gel tidak mengalami perubahan yang berarti pada suhu
penyimpanan. Gel harus menunjukkan perubahan viskositas yang kecil di bawah
variasi suhu normal pada saat penggunaan dan penyimpanan. Gel topikal tidak
boleh berlendir (Lieberman dkk., 1996).
2.2 Emulgel
Sediaan emulgel adalah emulsi, baik itu tipe minyak dalam air (M/A)
maupun air dalam minyak (A/M) yang dibuat menjadi sediaan gel dengan
mencampurkan bahan pembentuk gel. Sediaan emulgel memiliki kelebihan
sebagai pembawa bahan yang hidrofobik yang tidak dapat menyatu secara
langsung dalam basis gel. Emulgel membantu menyatukan bahan aktif
hidrofobik dalam fase minyak kemudian globul minyak terdispersi dalam fase
air (emulsi M/A) yang selanjutnya emulsi ini dapat dicampurkan dalam basis
gel. Sediaan gel yang paling stabil secara fisik dan kimia adalah gel berbasis
karbomer ( Noviyani tri, et all2016)
2.3 Buah Cabai
Tanaman cabai berasal dari dari daerah tropik dan subtropik Benua
Amerika, khususnya Colombia, Amerika Selatan, dan terus menyebar ke
Amerika Latin. Penyebaran cabai ke seluruh dunia termasuk negara-negara di
Asia, seperti Indonesia dilakukan oleh pedagang Spanyol dan Portugis.
Diperkirakan terdapat 20 spesies cabai yang sebagian besar hidup dan
berkembang di Benua Amerika, tetapi masyarakat Indonesia umumnya hanya
mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit, dan.
Tiap jenis cabai mempunyai tingkat kepedasan yang berbeda. (Sukrasno dkk.,
1997). Menurut Cahyono (2003), kedudukan tanaman cabai rawit sebagai
berikut: Divisi : Spermathophyta (tumbuhan berbiji)
Subdivisi : Angiospermae (biji berada di dalam buah)

6
Kelas : Dicotyledoneae (biji berkeping dua)
Bangsa : Corolliforea
Suku : Solanaceae
Marga : Capsicum
Jenis : Capsicum frutescens
Capsicum frutescens L. yang mempunyai sinonim Capsicum
fastigiatum BI. dan Capsicum minimum Roxb merupakan tanaman budidaya
yang digunakan sebagai tanaman sayuran. Tanaman cabai rawit tergolong
tanaman semusim atau tanaman berumur pendek yang tumbuh sebagai perdu
atau semak (Cahyono, 2003).
Produk metabolit sekunder yang terdapat pada buah cabai salah satunya
adalah capsaicin. Capsaicin merupakan kelompok senyawa yang bertanggung
jawab terhadap rasa pedas dari cabai). Capsaicin merupakan senyawa nonpolar
yang memiliki beberapa gugus polar terhadap hidrogen yang berikatan dengan
air. Hal ini menyebabkan capsaicin tidak larut dalam air (Sukrasno dkk., 1997).
Menurut Reyes-Escogido et al. (2011), capsaicin (trans-8-metil-N- vanilil-
6-noneamida) merupakan alkaloid berbentuk kristal, lipofilik, tak berwarna, tak
berbau dengan rumus molekul C18H27NO3. Berat molekul capsaicin 305,4
g/mol. Capsaicin larut dalam lemak dan alkohol. Pertama dikristalkan pada
tahun 1876 oleh Tresh. Struktur molekul ditemukan oleh Nelson dan Dawson
pada tahun 1919.

2.4 Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi

7
pembengkakan, nyeri dan seringkali akhirnya menyebabkan kerusakan
bagian dalam sendi (Gordon, 2002).
Gejala umum rheumatoid arthritis datang dan pergi, tergantung pada
tingkat peradangan jaringan. Ketika jaringan tubuh meradang, penyakit ini
aktif. Ketika jaringan berhenti meradang, penyakit ini tidak aktif. Remisi
dapat terjadi secara spontan atau dengan pengobatan dan pada minggu-
minggu terakhir bisa bulan atau tahun. Selama remisi, gejala penyakit hilang
dan orang-orang pada umumnya merasa sehat ketika penyakit ini aktif lagi
(kambuh) ataupun gejala kembali (Reeves, Roux & Lockhart, 2001)
Pada rheumatoid arthritis, reaksi autoimun (yang dijelaskan
sebelumnya) terutama terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis
menghasilkan enzimenzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan
memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial dan
akhirnya pembentukan pannus. Pannus akan menghancurkan tulang rawan
dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya
permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut
terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan degeneratif
Universitas Sumatera Utara dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot (Smeltzer & Bare, 2002)

8
BAB III
METODOLOGI

3.1 Persiapan ekstrak buah cabai


Ekstrak dibuat dengan metode reflux dengan larutan diklorometana sebagai
pelarut. Filtrat dikumpulkan dan diuapkan untuk menghilangkan pelarut
dengan rotary vakum evaporator sampai diperoleh ekstrak. Ekstak digunakan
sebagai bahan aktif dalam formula gel dan emulgel. Metode pemisahan ektraks
dengan TLC Densitometri (Camag, Switzerland) dengan menggunakan n-
heksan : diklorometan : asam asetat (7:2,5:0,5). Identifikasi komponen
capsaicin dilakukan dengan membandingkannya dengan standar.
3.2 Persiapan emulgel ekstrak buah cabai
Emulgel dibuat dalam dua tahap, yang pertama dibuat dari emulsi minyak
dalam air dan basis gel. Yang kedua basis gel dan emulsinya dicampur.
Formulanya ditunjukkan pada tabel 1.
Table 1: Formulasi dari gel dan emulgel yang mengandung ekstrak buah cabai
Bahan Konsentrasi (%) (b/b)
Gel Emulgel
Ekstrak cabai Setara dengan 0.6% Capsaicinoid
Carbomer 2.00 2.00
NaOH 0.60 0.60
Olive oil 5.00 -
Tween 60 3.60 -
Span 20 1.40 -
Propilen glikol 5.00 5.00
Etanol 96% 3.00 3.00
Menthol 1.00 1.00
BHT 0.03 0.03
Aquadest Ad hingga 100 Ad hingga 100

9
Emulsi fasa minyak dibuat dengan melarutkan span 20, ekstrak buah cabai dan
BHT dalam minyak zaitun, sedangkan fasa air dibuat dengan mencampurkan
tween 60 dalam air suling. Setiap fase dipanaskan dengan suhu 70-750C, dan
mentol dilarutkan dalam etanol 96% kemudian dicampur kedalam
propilenglikol. Setelah setiap fase mencapai suhu 70-750C, fase minyal
ditambahkan ke fase air, yang diikuti dengan penambahan dari mentol-etanol-
propilenglikol. Kemudian dicampurkan dengan menggunakan homogenizer
dengan kecepatan 2500 rpm sampai suhu kamar. Kemudian emulsi dicampur
ke dalam basis gel yang mengandung 2% Carbomer dengan strirer dengan
kecepatan 3000 rpm selama 30 menit, atau hingga terbentuk masa emulgel
yang homogen, perbandingan antara emulsi dan basis gel adalah 6: 4.
3.3 Pembuatan gel dengan ekstrak cabai sebagai bahan aktif
Gel dibuat dengan dispersi karbomer dalam air suling saat diaduk sampai
benar-benar terdispersi sempurna. NaOH dilarutkan dalam air suling kemudian
ditambahkan ke basa gel karbomer dengan 1500 rpm sampai basis gel tebal
terbentuk. Mentol dilarutkan dalam etanol 96% kemudian dicampur kedalam
propilen glikol. Campuran ditambahkan ke basis gel, lalu diaduk dengan
kecepatan 500 rpm sampai homogen. Setelah massa gel terbentuk, ekstrak buah
cabai ditambahkan kedalam gel dengan menggunakan homogenizer dengan
kecepatan 3000 rpm selam 30 menit.

10
BAB IV
PEMBAHASAN

Gel merupakan sistem semi-padat terdiri dari suspensi yang dibuat dari
partikel anorganik yang kecil atau molekul organik besar, terpenetrasi pada suatu
cairan (Dirjen POM. 1995:7). Emulgel merupakan emulsi tipe minyak dalam air
(o/w) atau air dalam minyak (w/o), yang dicampur dengan basis gel. Emulgel dapat
digunakan sebagai pembawa obat hidrofobik (Anwar,dkk.,2014).
Pada jurnal yang berjudul “Formulasi Dan Evaluasi Dari Gel Dan Emulgel
Dari Ekstrak Cabai (Capsicum Frutescens L.) Sebagai Formula Dosis Topikal” ini
melakukan perbandingan gel dan emulgel dengan menggunakn zat aktif capsicin
yang berasal dari buah cabai. Zat aktif ini memiliki efek farmakologis yang dapat
digunakan analgesik topikal untuk mengatasi nyeri pada penderita reumatik arthritis
dan inflamasi. Metodologi yang digunakan ada 3 yaitu, persiapan ekstrak buah
cabai, Persiapan emulgel ekstrak buah cabai, dan Pembuatan gel dengan ekstrak
cabai sebagai bahan aktif.

Persiapan ekstrak buah cabai dilakukan dengan buah cabai yang diektraksi
dengan menggunakan pelarut diklorometan. Pelarut ini bersifat non polar.
Sehingga senyawa ini bisa menarik senyawa capsaicin yang terdapat di buah
cabai. Karena sifat senywa capsaicin itu non polar (hidrofobik). Kemudian ekstrak
tersebut diuapkan dengan rotary vacum evaporator. Persiapan emulgel ekstrak
buah cabai, emulgel dibuat dalam dua tahap, yang pertama dibuat dari emulsi
minyak dalam air dan basis gel. Yang kedua basis gel dan emulsinya dicampur.
TRANSLATE DARI ODANG

11
BAB V
KESIMPULAN

1. Pada sediaan gel hanya terdiri dari basis gel saja, sedangkan pada emulgel
terdiri dari 2 fase antara gel dan emulsi.
2. Pengaruh dari peningkat penetrasi dari sediaan gel dan emulgel yaitu dapat
meningkatkan hidrasi kulit dan bisa menembus stratum korneum sehingga
obat bisa mencapai efek yang diinginkan.
3. Sediaan yang lebih bagus digunakan yaitu emulgel daripada gel,
dikarenakan berdasarkan evaluasi stabilitas fisik dan pengujian penetrasi
menurut jurnal ini menunjukkan bahwa emulgel sebagai bentuk dosis
topikal secara umum lebih baik daripada gel.

12
LAMPIRAN

13
DAFTAR PUSTAKA
Allen, L. V., 2002, The Art, Science, and Technology of Pharmaceutical
Compounding, Second Edition, American Pharmaceutical
Association: Washington, D. C.
Ansel, H. C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi, Edisi 4, UI-Press:
Jakarta.
Anwar E, Ramadon, D., Harmita. 2014. Formulation and Evaluation of
Gel and Emulgel Of Chili Extract (Capsicum Frutescens L. ) as
Topical Dosge Forms Academic Sciences, 25 Des, Vol 6, No 3.
Cahyono, B. 2003. Cabai Rawit Teknik Budidaya Dan Analisis Usaha
Tani. Kanisius: Yogjakarta.
Dirjen POM. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta : Depkes RI
Gibson, M., 2001, Pharmaceutical Preformulation and Formulation, CRC
Press : United States of America.
Gordon, N. F. 2002. Radang Sendi. Jakarta: PT Raja Grafindo.
Lachman, L., dkk, 2008, Teori dan Praktik Farmasi Industri 3, UI-Press :
Jakarta.
Lieberman, H.A., Rieger, M. M., dan Banker, G. S., 1996, Pharmaceutical
Dosage Forms: Dispers System, Vol. 2, Second Edition, Mariel
Dekker, Inc : New York.
Noviyani, tri , Effionora Anwar ,Fadlina Chany Saputri. 2016. Formulasi
Emulgel yang Mengandung Ekstrak Etanol Daun Binahong
(Anredera cordifolia (Ten.) Steenis) dan Uji Aktivitasnya terhadap
Propionibacterium acnes secara In Vitro. Jurnal Kefarmasian
Indonesia Vol.6 No.2-Agustus. 2016:89-97
Reeves CJ, Roux G and Lockhart R, 2001, Keperawatan Medikal Bedah,
Buku I, (Penerjemah Joko Setyono), Jakarta : Salemba Medika
Reyes-Escogido, M. L., Gonzalez-Mondragon, E. G. And Vazquez-
Tzompantzi, E.2011. Chemical and Pharmacological Aspect of
Capsaicin. Molecules.16:1235-1270
Smeltzer, Suzane C. 2001, Keperawatan Medikal Bedah, Brunner and

14
Suddarth., Editor Monica Ester, (Edisi 8), (Alih Bahasa Agung
Waluyo) Jakarta: EGC.
Sukrasno, Kusmardiyani, S., Tarini, S., Sugiarso, N. C. 1997. Kandungan
Kapsaisin dan Dihidrokapsaisin pada Berbagai Buah
Capsicum.JMS. 2:28 – 34.
Zats, J.L & Gregory, P.K., 1996, Gel, in Liebermen, H.A., Rieger, M.M.,
Banker, G.S., Pharmaceutical Dosage Forms: Disperse Systems 2,
Marcel Dekker Inc : New York.

15

You might also like