You are on page 1of 4

akarta - Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengatakan janji-janji transfer teknologi negara-negara

maju terhadap negara berkembang termasuk Indonesia dalam mendukung industri adalah omong
kosong. Yang terjadi selama ini adalah transfer proses teknologinya saja.

"Alih teknologi itu non sense-lah. Omong kosong, kalau yang dikasih itu karena tidak dipakai lagi
teknologinya," kata Fahmi Idris di sela-sela acara workshop perencanaan pengembangan teknologi
dalam mencapai visi Indonesia sebagai negara Industri baru tahun 2020, di Depperin, Kamis
(6\/8\/2009).

Ia menuturkan di negara manapun termasuk negara maju, teknologi menjadi komoditi bagi negara
yang memiliki, sehingga kata dia tidak mungkin dialihkan. Meskipun jika suatu negara yang sudah
cukup maju sumber daya manusianya bisa saja meniru atau menjiplak bahkan mencurinya tetapi itu
pun perlu kemampuan dan dibatasi hak-hak cipta.

"Makanya ada hak paten menjadi penentu, dalam menjaga persaingan yang sehat. Hak paten
menjadi kesepakatan dunia," ujarnya.

Fahmi mengatakan masalah transfer teknologi dalam bidang industri, sangat erat dengan basis
kemajuan lembaga pendidikan dan sumber daya manusia yang berkualitas suatu negara. Dimana
dua unsur itu merupakan basis utama pengembangan teknologi dalam mendukung industri.

Ia mencontohkan dalam kasus Indonesia, selama ini terperangkap oleh iming-iming transfer
tekonologi, padahal kata dia negara-nagar yang memberikan teknologi itu umumnya adalah
teknologi yang sudah tidak terpakai di negaranya dan kadang-kadang Indonesia lupa teknologi sudah
menjadi komoditi bagi negara asalnya.

Selain itu, jika ada transfer tekonologi, umumnya bukan teknologinya yang diberikan namun hanya
proses teknologinya misalnya dalam hal pembuatan perakitan kendaraan mobil dan motor dalam
industri otomotif.

Sehingga kata dia yang harus dilakukan oleh Indonesia adalah harus mengembangkan teknologi
yang sudah ada atau bahkan menciptakan teknologi baru untuk mendukung pertumbuhan industri.
Mungkin benar bagi mereka yang selalu memandang segala sesuatunya dengan positif.
Namun jika kita renungkan lagi jelas pandangan tersebut lumayan keliru. Facebook
sesungguhnya hanyalah media sosial layaknya twitter atau line. Facebook bukanlah
perusahaan sejenis Nokia, Samsung, Yamaha, Philips, Mclaren atau Honda yang selalu
mengeluarkan inovsi teknologi terbaru melalui produk-produk mereka. Facebook hanya
sebatas memperbaiki jelemahan atas pelayanan produk komunikasi mereka untuk
memuaskan pelanggan. Hal yang riskan bagi facebook mengungkap rahasia dapur mereka.
Jangan-jangan setelah diajarin muncul faceook tandingan dengan kualitas luar biasa sehingga
pasaran facebook jeblok nantinya.

Apa yang ada dikepala punggawa facebook sebenarnya sama saja dengan industri-industri
lain seperti yang disebut tadi. Kita ambil contoh soal mobil. Walau sudah diberi berbagai
keringanan oleh negara, banyak pabrik automotif yang enggan mengajarkan
bagaimana memproduksi suku cadang produk mereka. Contohnya mobil “Timor”(
Teknologi Industri Mobil Rakyat) yang sempat diagung-agungkan dulu pada masa orde baru.

Mobil Timor merupakan versi dari mobil Kia Sephia dari korea selatan. Komponen lokal
yang digunakan selama 3 tahun berturut-turut adalah 20%, 40% dan tertinggi 60%. Sisanya
masih impor dari pemilik hak paten. Nasib mobil Timor berakhir dengan jatuhnya orde
baru dan ketidakmampuan bangsa kita menyediakan suku cadang atau pengganti
komponen impor. Hal yang sama juga terjadi pada pesawat tempur bikinan AS atau Rusia.
Mereka hanya menjual dengan harga mahal, soal suku cadang dan lain-lain tetap mereka
yang menyediakan. Kalau rusak mereka yang urus. Kita tinggal kirim uang ke rekening.
Mereka tak akan melakukan transfer teknologi. Selain rugi secara bisnis, mereka juga tak
mau penguasaan teknologi dar negara lain akan memperkecil hegemoni mereka.

Karena itu kalau kita bicara soal kemauan negara maju untuk melakukan tranfer
teknologi, maka semua itu hanya omong kosong. Kita harus mencontoh bangsa Iran
yang maju pesat teknologi mereka bermodalkan kepercayaan diri yang tinggi. Dunia
pendidikan benar-benar dikelola dengan baik. Beasiswa digelontorkan tanpa henti.
Mereka yang pandai digaji dengan tinggi, kesejahteraan hidup terjamin.

Dampaknya para tenaga pendidik Iran dapat bekerja dengan nyaman. Kaum
intelektual bangkit dan terus berimprovisasi dengan berbagai penemuan yang
membanggakan. Setidaknya walau bukan penemu pertama, inovasi mereka terhadap
berbagai produk yang lagi ngetrend dan vital di dunia dapat mereka buat seperti bikin Nuklir,
bahkan sampai membuat pesawat siluman yang membuat gentar musuh-musuh mereka.
Semangat bangsa Iran untuk maju harusnya menginspirasi pemerintah kita untuk mengambil
pola yang sama.
Memang bicara soal transfer teknologi itu mudah. Masalahnya sejak merdeka, sudah berapa
banyak teknologi yang disumbangkan negara maju pada kita dan produk yang kita hasilkan
kemudian mendunia? Jika jawabannya tak ada, maka mulai sekarang pemerintah harus
percaya diri untuk membangun perindustrian nasional disegala bidang dengan
memberdayakan putra-putri terbaik bangsa. Revolusi dunia pendidikan kita. Panggil
intelektual kita yang bertebaran di luar negeri untuk pulang. Beri kesejahteraan dan
tunjangan masa depan yang memadai. Di jamin kehadiran mereka akan menjadikan
kita bangsa yang maju, mandiri dan berdaulat kelak, tanpa harus mengemis teknologi
dari negara maju. Buat apa mengemis kalau ujungnya harus siap diekploitasi?
Bukankah begitu Mang Cek?

ransfer teknologi dan inovasi hasil pertanian ke petani ternyata masih menjadi
persoalan negara-negara berkembang. Padahal di sisi lain persoalan pangan di dunia
makin krusial dengan terus bertambahnya jumlah penduduk.

Hal itu terungkap dalam Dialog Kebijakan bertema “The Role of Technology Transfer in
Agriculture for Sustainable Development Outcomes” di Bogor, beberapa waktu lalu. Dialog
tersebut diselenggarakan CAPSA (Centre for Alleviation of Poverty through Sustainable
Agriculture).

“Dengan pertemuan ini, diharapkan ada akselerasi dalam mentransfer teknologi yang
dihasilkan lembaga penelitian. Kita akan berbagi pengalaman dari anggota-anggota,” kata
Sekjen Kementerian Pertanian, Hari Priyono.

Diakui, transfer teknologi kepada petani menjadi sangat penting bagi semua negara, tertutama
negara yang menjadi anggota CAPSA. Apalagi banyak faktor yang berpengaruh terhadap
keamanan pangan dunia, terutama makin meningkatnya populasi penduduk.

Di sisi lain peningkatan produksi pangan juga menghadapi tantangan yang kian berat.
Misalnya, perubahan iklim, degradasi dan konversi lahan pertanian dan makin terbatas
sumberdaya alam. “Karena itu teknologi makin penting untuk meningkatkan produktivitas
pangan, tidak hanya kuantitas, tapi juga kualitasnya,” ujarnya.

Bangun Kelembagaan

Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Agung Hardiadi juga mengakui,
hambatan peningkatan produksi pangan makin banyak. Karena itu dalam pertemuan ini akan
ada saling tukar informasi mengatasi hal tersebut, khususnya dalam mentransfer teknologi
hasil penelitian.

Di negara berkembang menurut Agung, transfer teknologi masih menjadi persoalan.


Masalahnya adalah tingkat pendidikan dan kemampuan daya beli petani. Kondisi ini sangat
berbeda dengan petani di negara Eropa, Amerika Serikat dan Australia yang justru selalu
menunggu teknologi terbaru.

“Yang kita kembangkan sekarang ini adalah membangun kelembagaan penelitian hingga
tingkat daerah agar petani mudah mengadopsi hasil penelitian,” tuturnya. Kelembagaan
tersebut lanjutnya, adalah BPTP (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian). Di lembaga itu kini
ada sekitar 300 penyuluh peneliti yang akan mendelevery hasil penelitian dengan menjadi
jembatan kepada petani.

Agung mengatakan, dengan membangun kelembagaan seperti BPTP terbukti cukup efektif.
Terbukti banyak hasil penelitian yang sudah dipakai masyarakat. Contohnya, varietas padi
Ciherang yang kini hampir 70% ditanam petani.

Konsep kedua untuk mentransfer teknologi ungkap Agung adalah membuat laboratorium
lapangan dengan membangun kawasan. Saat ini ada sekitar 12 laboratorium lapangan di
seluruh Indonesia. “Di laboratorium tersebut diterapkan hasil penelitian bekerjasama dengan
penyuluh pertanian, masyarakat dan pemerintah daerah,” katanya.

Pada tahun 2015 ini, Badan Litbang Pertanian dipercaya membangun Agro Techno Park di
15 provinsi. Pembangunan nantinya secara bertahap. Lokasinya bisa satu kecamatan atau
beberapa kecamatan, satu Agro Techno Park.

Menurut Agung, dalam transfer teknologi bukan sekadar menyampaikan hasil penelitian.
Tapi juga membangun tiga aspek. Pertama, software yakni hasil penelitian itu sendiri. Kedua,
organoware yakni lembaga yang menyampaikan hasil penelitian. Sebab, untuk negara
berkembang sulit mengharapkan petani untuk datang sendiri mencari teknologi baru.

Ketiga, humanware yakni pelaku atau orang yang menjelaskan hasil penelitian itu. Dalam hal
ini adalah penyuluh pertanian. Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan. “Salah satu negara yang sudah cukup berhasil adalah Thailand dengan metode
REL (research extension linkage),” ujar Agung. Yul

You might also like