You are on page 1of 36

SOSIOLOGI PERTANIAN:

1. Konflik Tanah di Jenggawah


2. Interaksi Sosial Umat Beragama Pada Tiga Desa Pertanian
Di Kecamatan Tanjung Morawa
1. Moch. Nurhasim,
2. Chuzaimah Batubara, dkk

Lab. Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

Konflik Tanah di Jenggawah


Tujuan Pembelajaran 5. Tipologi Kelompok - Kelompok yang MODUL
1. Pendahuluan Berkonflik
2. Kerangka Teoritik Konflik 6. Pola Penyelesaian Konflik
3. Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik 7. Kesimpulan
Tanah Jenggawah 8. Pertanyaan Diskusi

1
4. Pergolakan Petani Jenggawah 1969-
1995

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu :
1 Mampu menjelaskan latar belakang terjadinya konflik tanah di Jenggawah,
Jember.
2 Mampu menjelaskan tipologi konflik yang terjadi di Jenggawah.

SELF-PROPAGATING ENTREPRENEURIAL EDUCATION DEVELOPMENT


3 Mengidentifikasi dan menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di
Jenggawah.
4 Menjelaskan pola (mekanisme) penyelesaikan konflik tanah di Jenggawah
(pendekatan yang ditempuh dan proses yang berlangsung dalam penyelesaian
konflik)
5 Menjelaskan potensi konflik muncul kembali di kemudian hari dari hasil
penyelesaian konflik tersebut.

1. Pendahuluan
Fenomena yang menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah masalah
yang selalu berkaitan dengan tanah. Konflik yang terjadi di pedesaan pada umumnya
melibatkan “sumber utama” ini, sebagai satu-satunya tempat berpijak dan penentu
hidup-matinya masyarakat pedesaan. Studi ini ingin melihat sisi konflik tanah di
Jenggawah, Jember, Jawa Timur yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-
negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini juga menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang latar belakang, siapa yang terlibat, tipologi konflik, strategi yang
diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berkonflik, dan bagaimana peran negara
dalam upaya menyelesaikan konflik.
Tulisan ini disarikan dari draft hasil penelitian yang dibiayai oleh The Toyota Fondation (Yayasan
Ilmu-ilmu Sosial) berjudul Konflik Tanah Jenggawah, Studi tentang Proses dan Hambatan
Penyelesaian Konflik Tanah di Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur

1. Asumsi ini berdasarkan suatu kondisi struktur sosial di pedesaan yang masih belum terstratifikasi
secara rumit, masih didominasi oleh struktur sosial yang sebagian penduduknya hidup berani.
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk diamati, paling tidak dengan sandaran asumsi bahwa
dinamika kehidupan mereka tidak terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan ini juga dialami
oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya adalah bertani. Betapun semula sistem sosialnya
masih dianggap homogen1, tetapi akibat perubahan sosial2, stuktur petani di Indonesia mengalami pergeseran
situasi dan ekologis. 3
Perubahan itu juga ditandai oleh munculnya pergeseran pemilikan tanah yang terpolarisasi dalam strata
yang timpang, perubahan status sosial dan pekerjaan. Dalam konteks yang lebih nyata, perubahan itu pun
mendorong munculnya dilemma hubungan antara petani dan tanah yang berafinitas dengan munculnya protes
atau konflik pertanahan.
Mengapa tanah menjadi sumber nyata konflik petani? Secara teoritis hal ini tidak lepas dari pertanyaan
lain, siapa sebenarnya petani dan bagaimana hubungannya dengan tanah, sehingga tanah dibela mati-matian?
Para ahli, yang pernah melakukan penelitian tentang petani, sepakat menjawab makna khusus tanah
bagi petani. Menurut Barrington Moore, hal ini disebabkan pemilikan de facto atas tanah merupakan cirri pokok
yang membedakan seorang petani atau tidak. Artinya tanah telah menjadi bagian kehidupan petani yang tidak
dapat dipisahkan. 4
Dari gambaran ini, tanah menjadi soal hidup mati petani, sehingga untuk itu mereka bersedia
melakukan apa saja, seperti ungkapan Jawa, “sedumuk bathuk senyari bumi, ditohing pecahing dodo lan
wutahing ludiro.5 Dari pepatah ini, makna tanah ternyata berafinitas dengan protes petani.
Kondisi ini dijelaskan oleh Wolf, karena petani merupakan produsen pertanian dengan penugasan
efektif pada tanah, 6 mengganggu tanah berarti mengusik statusnya sebagai produsen pertanian, sebagai tulang
punggung hidupnya. Apalagi petani dengan tanah dianggap oleh Shanin,7 memiliki kaitan khusus dengan cirri-ciri:
“bahwa masyarakat petani (1) mempunyai hubungan khusus pdengan tanah dengan cirri spesifik produksi
pertanian berakar pada keadaan khusus petani; (2) usaha petani keluarga merupakan satuan dasar pemilikan
produksi dan konsumsi serta kehidupan sosial petani; (3) kepentingan pokok pekerjaan dalam menentikan
kedudukan sosial; peranan dan kepribadian petani dikenal secara baik oleh masyarakat yang bersangkutan; (4)

2. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan sebelumnya, perubahan sosial di pedesaan digerakkan oleh 4 faktor yaitu (1)
tekanan penduduk, (2) revolosi hijau, (3) komersialisasi pedesaan, (4) strategi pembangunan yang bertumpu pada
pertumbuhan ekonomi; lihat Ester Boserup, The Condition of Agriculture Growth (Chicago: Aedine, 1965); bandingkan
dengan beberapa tulisan lain, misalnya, J.H Booke, dari Empat Juta menjadi Empat Puluh Empat Juta (Jakarta:
Bathara,1974) dan I Tubagus Feridhanustyawan, “Perubahan Struktur Pertanian Indonesia,” dalam Artikel CSIS XIX.
No.2 Maret-April 1990
3. Pergeseran situasi ini oleh Booke ditandai dengan masih kuatnya dualism ekonomi. James C. Scott melihatnya sebagai
subsitensi ekonomi dan Geertz menggambarkannya sebagai berbagi kemiskinan dan involosi pertanian; lihat D H Burger,
Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (Jakarta; Bathara Jaya, 1993), hal 1-22; James C. Scott, Moral
Ekonomi Petani; Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terj. Hasan Bahari (Jakarta: LP3ES, 1981); Cliford
Geertz, Agricultural Involotion (Berkeley: University Of Calivornia Press,1971).

4. Henry A. Landsberger. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1984) Hal. 9-15.

5. Arti kalimat itu bersinggungan antara kepala dan tanah yang akan dibela hingga keluarnya tetesan darah

Page 2 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu; dan (5) masyarakat petani merupakan
sebuah kesatuan sosial pra-industri yang memindahkan unsur-unsur spesifik struktur sosial ekonomi dan
kebudayaan lama ke dalam masyarakat kontemporer.”
Dampak salah satu fenomena konflik yang tetap menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah
masalah yang berkaitan dengan tanah. Salah satu fenomena konflik yang terjadi di pedesaan adalah konflik tanah
di Jenggawah, yang menjadi masalah nasional dan menghiasi media massa yang menyertainya.
Dari gambaran itu, studi ini ingin melihat sisi-sisi konflik tanah di Jenggawah yang memfokuskan pada
konflik tanah di Jenggawah yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-negara, serta kelompok-kelompok
lain. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan–pertanyaan tentang latar belakang konflik, siapa yang terlibat dalam
konflik tanah Jenggawah, bagaimana tipologi konflik, strategi yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang
berkonflik, dan bagaimana peran negara dalam upaya menyelesaikan konflik, merugikan atau menguntungkan
siapa?

Kerangka Teoritik
Secara teoritis, Paige melihat berbagai kelompok yang memiliki peran cukup besar dalam pertumbuahn
konflik di pedesaan. Kelompok-kelompok ini secara konsepsi adalah cultivator dan non-cultivator yang secara
konvensional sebenarnya merupakan suatu kelas sosial seperti, buruh tanah, pemegang usaha kecil, pemilik
modal, dan kelas menengah desa.

Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda dari kelompok sosialnya, tetapi mereka
juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah pertanian. Keunikan ini tercermin dalam interaksi
antarkelas yang memiliki kepentingan relatif pada tanah dengan modal atau upah terbatas, dan memiliki insentif
dalam konflik kelas di pedesaan.
Berpijak dari kategori ini, bagaimana sesungguhnya tipologi kelas sosial8 di Jenggawah dalam kaitannya
dengan konflik yang muncul; apakah bangunan Paige cocok. Jika kelas diartikan secara sosiologis sebagai
tingkatan-tingkatan dalam masyarakat yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah, maka kajian ini tampak
akan lebih cocok.9
Dari prespektif ini, akhirnya peneliti memberi batasan bahwa kelompok-kelompok sosial di Jenggawah
terlihat sebagai berikut, yaitu Petani Cukupan (cultivator), Petani Kekurangan (non-cultivator) dan perkebunan.
Dari ketiga kelompok secara teoritis ini konflik sosial bisa diterjemahkan secara agak relevan.

6. Scott, op. cit


7. Lihat Nasikun, dkk, “Struktur Kelas dan Perubahan Sosial di Jawa,” dalam seri monografi FISIPOL UGM No. 3/1992
8. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik. Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa konsep
kelas yang secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami kelas dalam masyarakat yang sedang
berkembang di Indonesia semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan ini member catatan khusus
bahwa penggunaan konsep kelas harus diberi catatan-catatan tertentu.
9. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas dalam pandangan sosiologis yang membagi menjadi tiga
kelas, meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.

Page 3 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Konflik, menuurt versi Paige, akan muncul dari kelompok cultivataor dan non-cultivator. Munculnya
konflik berasal dari dua kategori variable yang menentukan timbulnya suatu konflik sosial yaitu tanah dan upah.
Interaksi ini menghasilkan 3 tipologi konflik yaitu: (a) apabila class non-cultivator/CNC (petani kekurangan)
pendapatanya tergantung dari tanah, dan ekonominya cenderung lemah, akan menghasilkan focus konflik pada
distribusi dan pemilikan lahan; (b) apabila CNC pendapatannya dari tanah dan tidak bebas atas pekerja, konflik
yang muncul cenderung dipolitisasi; (c) jika lelas yang ada produktivitas ats tanah dengan produksi yang tetap,
akan menghasilkan zero-sum-conflict (konflik menang-kalah) antara cultivator dan non-cultivator dan hasil
kompromi di bidang ekonomi akan sangat sukar. 10 Teori ini tidak akan menelusuri mengapa konflik itu muncul,
tetapi lebih menekankan interaksi antara kelompok-kelompok. Paige tidak menyadari bahwa ada eksploitasi
dalam interaksi itu.
Timbulnya konflik petani di pedesaan menurut kalangan strukturalis Scottian di gambarkan bahwa
kondisi sosial penduduk pedesaan, yang juga beerarti merupakan realitas sosial sebagian besar petani di Asia
Tenggara, dengan mengutip metafora Tawney,11 “ada daerah-daerah di mana posisi penduduk pedesaan ibarat
orang yang selamanya berdiri terendam dalam air sampai ke leher, sehingga ombak yang kecil sekalipun sudah
cukup untuk menenggelamkannya.”
Para petani subsisten ini, di sati pihak, hanya menguasai lahan yang sangat kecil dan cara bertani yang
amat tradisional; tetapi di pihak lain merka harus menghadapi tantangan berupa tingkah polah cuaca dan pajak
berupa uang tunai, tenaga kerja dan hasil tanaman yang dipungut oleh negara, belum lagi soal ijon, (yang) telah
mendatangkan hantu lapar dan kekurangan sehingga menjadi sangat rawan terhadap risiko subsistensi.
Namun, sebenarnya di bawah permukaan itu terdapat “bara api” yang sewaktu-waktu dapat membara
ketika permukaan air bergerak meninggi melampaui batas leher, dan disimpulkan oleh mereka akan mengancam
keselamatan dirinya. “Bara api” itu menurut Scott berelasi dengan menguatnya 3 bentuk kerawanan (lihat Skema
1)
SKEMA 112. Kerawanan Scottian dan Protes Petani

Kerawanan:
1. Struktural Protes Petani
2. Ekologis
3. Monokultuur

10. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik. Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa konsep kelas
yang secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami kelas dalam masyarakat yang sedang berkembang
di Indonesia semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan ini member catatan khusus bahwa
penggunaan konsep kelas harus diberi catatan-catatan tertentu.

11. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas dalam pandangan sosiologis yang membagi menjadi tiga
kelas, meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.

12. Lihat, Jeffrey M. Paige Agrarian revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped World
(New York: The Free Press, 1975) hal 4-6.
Page 4 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

Menurut Scott, ada 3 kerawanan yang menimbulkan munculnya protes petani. Tetapi jika dilihat lebih
jauh, ketiga kerawanan tersebut juga ditopang oleh etika agama dan protes sosial (Weber) serta pngaruh budaya,
etika dan spirit protes. Agama, terutama untuk wilayah Jawa Timur dan subbudaya Madura, memiliki nilai sendiri
yang member kontribusi bagi munculnya protes petani. Apalagi perpaduan antara nilai agama dan budaya,
menjadi etika baru yang berarti memiliki kesesuaian logis dengan kelas sosial petani subsisten dan memiliki
kesesuaian psikologis dengan subbudaya Madura dan Jawa Timur yang ekspresif dan ekstrovert, termasuk
kejadian di wilayah Jenggawah, Jember. Karena itu di Skema 2 menjabarkan pula soal ini.

SKEMA 213 Budaya, Etika dan Spirit Protes

Budaya Etika Spirit Protes

1. Islam
2. Jawa Timuran
3. Subbudaya Madura

Subbudaya sebagai konteks makna atau jaringan makna menciptakan etika sosial yang dominan dan
memadai bagi munculnya bara atau spirit protes. Pertama, ada etika sosial yang merupakan produk dialektika
budaya besar dan kecill. Kedua, ada kondisi memadai yang merupakan produk dialektis antara kerawanan sosial,
ekologis, dan monokultur yang terus menerus berakumulasi, bara api (proses petani) dalam konteks ini tinggal
menunggu waktu persinggungan antara elit kekuasaan yang memegang pasang-surut air para petani terendam.
Posisi konflik tanah Jenggawah, sebenarnya terjadi di tiga kecamatan dan lima desa yang terlibat secara
intens. Wilayah yang terlibat dalam konflik ini adalah Desa Kaliwining (Kecamatan Rambipuji), Desa Cangkring
Baru, Desa Jenggawah, Desa Sukomakmur (Kecamatan Jenggawah) dan Desa Lengkong (Kecamatan Mumbulsari).
Dalam peta Kabupaten Daerah Tingkat II Jember, kasus ini terletak di daerah Jember Selatan (lihat peta)
yang secara ekologis merupakan dataran rendah yang ditaburi bukit-bukit kecil sehingga tanahnya sangat subur,
sebagai tempat bercocok tanam dengan sistem tadah hujan. Secara kuantitas, jumlah mitra masyarakat petani
yang terlibat dalam konflik kurang lebih 1.800 Kepala Keluarga.
Kabupaten Jember, dengan ibukota Jember, terletak di Provinsi Jawa Timur berdiri pada 8 Agustus 1950
dengan landasan hokum UU No. 12/1950. Luas wilayah kabupaten ini sekitar 2.518,82 km2 (5,25 persen luas
Provinsi Jawa Timur). Kabupaten ini sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai daerah pusat perkebunan
tembakau.

13. Lihat, Otto Syamsudin Ishak, “Gerakan Protes Petani: sebuah Sketsa Teoritis Strukturalis Scottian dan Kulturalis
Weberian,” dalam Prisma, No. 7. 1996. Hal 87-96.

Page 5 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

Disebut sebagai konflik tanah Jenggawah, karena tempat ini merupakan pusat penyebaran konflik,
dengan beberapa tokohnya yang terlibat dan sebagai pengkonsolidasi massa, terutama pada konflik 1979. Pusat
penyebaran ini dapat dipetakan sebagai berikut, konflik pertama-tama muncul pada 1979, di sekitar Desa
Jenggawah, meskipun para petani yang melakukan tindak kekerasan bukan hanya berasal dari Desa Jenggawah,
tetapi juga berasal dari Desa Rambipuji, Desa Lengkong, Desa Ajung, Desa Membulsari, Desa Cangkring Baru, dan
Desa Kaliwining.

Struktur Sosial dan Asal Usul Konflik Tanah Jenggawah


Jenggawah, sebagaimana desa-desa lain, memiliki struktur sosial yang masih agraris. Dalam
perkembangan masyarakat seperti ini maka ciri menonjol adalah “tradisionalisme.”14 Dalam masyarakat desa
yang tradisional dan bersifat pertanian, maka pranata-pranata yang menghubungkan antar personal di dalam
masyarakat adalah (1) bersifat pribadi, (2) tak lengkap, (3) bersaluran sedikit, (4) ditandai oleh lebih banyak
komunikasi ke bawah ketimbang komunikasi ke atas, dan (5) jarang dimanfaatkan. Sementara pilihan-pilihan
“kekuasaan” yang digunakan dalam masyarakat pedesaan lebih menekankan aspek kewibawaan tradisional dan
kekerasan fisik.
Sebagai suatu wilayah yang masih tergolong tradisional, dalam pola-pola struktur sosial masyarakat
Jenggawah lebih menekankan pola hubungan pribadi atau patron client. Jika struktur dipahami sebagai tingkatan
status sosial yang berbeda dalam masyarakat secara sosiologis, maka struktur sosial Jenggawah ditempati oleh:
(1) golonan stuktur atas, adalah kelompok orang-orang kaya, kiai, aparat desa, dan kaum terdidik yang memiliki
“jabatan” terpandang; (2) golongan menengah adalah para petani yang mampu mengelola tanahnya dengan baik,
agak mandiri, atau kelompok petani agak cukupan; dan(3) golongan bawah, yaitupetani gurem, dan petani
kekurangan, yang cenderung menjadi client, abdi dari patron atas.
Hubungan yang lebih ke arah kewibawaan tradisional menyebabkan kiai memiliki peran cukup dominan
dalam struktur masyarakat Jenggawah memiliki dua perpaduan struktur ssial yaitu Madura dengan budaya
santrinya dan struktur soaial dari budaya Jawa dengan struktur “kepriyayian dan abangan.” Struktur ini dibangun
oleh dua asalanggotamasyarakat Jenggawah. Ketika masa-masa perubahan sosial pada abad XIX, Jenggawah
merupakan daerah jarang penduduk, tetapi keberadaan perkebunan kemudian mendatangkan banyak urbanisasi
dari daerah lain. Maduramendominasi urbanisasi karena kebutuhan tenaga kerja di perkebunan besar Hindia
Belanda. Sementara pendatang lain berasal dari Lumajang, Kendal (JawaTengah), dan Ponorogo.
Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini, yaitu budaya santri dan
budaya “kejawen, atau abangan.” Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah menampakkan proses

14. Ibid., hal 89-90

Page 6 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini, yaitu budaya santri dan
budaya “kejawen, atau abangan.” Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah menampakkan proses
akulturasi sosial. Tidak teralu mudah untuk menafsirkan secara hitam putih. Tetapi sejarah perkembangan
Jember termasuk di dalamnya Jenggawah, memberikan lustrasi perpaduan budaya ini. Dalam kenyataan, struktur
sosialnya didoaminasi oleh kultur santri (dari Madura). Dominannya kultur santri memiliki peran cukup mendasar
dalam berkembang dan dominannya kultur “kewibawaan tradisisonal.” Kiai diberi tempat cukup penting dalam
kultur sosial ini.
Tetapi, model-model pola kewibawaan ini pun tidak serta merta muncul dan terjadi. Model ini
berkembang cukup lama, menurut Kar D. Jackson, karena struktur pola hubungan patron client, dibangun
berdasarkan jangkan waktu cukup lama. Apalagi, secara sosial, perkebunan telah membawa dampak ekonomi
cukup dramatis. Perkebunan Hindia Belanda, memperkenalkan sistem ekonomi komersial. Sistem ekonomi ini
dianggap sebagai ancaman dari sistem ekonomisubsisten yang selama ini berkembang dalam pola hubungnan
patron-client. Patron menjadi pelindung dari client, sementara client melindungi pila kepentingan patron. Dengan
masuknya sistem perkebunan komersial, pola saling menguntungkan ini dianggap berada dalam ancaman.
Menyadari munculnya pola struktur sosial demikian, maka kebijakan perkebunan yang diterapkan
adalah pola kemitraan. Onderneeming memberi bibit dan uang untuk menggarap lahan agar petani tetap eksis,
dengan sistem geblangan, dan sebaliknya petani harus pula melindungi kepentingan Onderneeming untuk
produksi tembakau Na Oogst dan harus menjual ke Onderneeming. Perkembangan perkebunan masa Hindia
Belanda yang terjadi kemudian tetap mampu mempraktikkan dua pola sistem sekaligus, yaitu sistem ekonomi
komersial yang juga menghidupi pla sistem ekonomi subsisten.
Ketika perkebunan dinasionalisasi dan diambil alih oleh negara, muncul masalah mendasar, terutama
urusan dengan “tanah.” Pada masa Onderneeming, rakyat menggarap tanahnya sendiri, kemudiandiberlakukan
pula sewa menyewa tanah. Tetapi ketika perkebunan mulai diambil alih oleh PNP, timbul masalah, karena tanah
diklaim sebagai milik PTP XXVII, sedangkan rakyat hanya memiliki hak sebagai penggarap.
Jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara petani dan PTP XXVII yang kemudian
melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia belanda. Berdasarkan bahan sekunder dan
cerita para penduduk, hasil penelitian George Bernie di distrik Bondowoso (termasuk di dalamnya Jenggawah,
sebagai bagian wilayah distrik Bondowoso) pada 1859 menunjukkan bahwa wilayah tersebut sangat subur dan
cocok untuk jenis tembakau Na Oogst. Selanjutnya Bernie mengajukan permohonan izin membuka perkebunan
(Onderneeming)tembakau di Jember pada Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Agrarisch Besluit (AB).
Menurut versi petani, George Bernie pada 1870 mendapatkan hak erpacht untuk membuka perkebunan
tembakau meliputi Kecamatan Rambipuji, Mangli, Jenggawah dan Mumbulsari di Jember. Hak erpacht diberikan
untuk jangka waktu 75 tahun.15 Tetapi karena Jember waktu itu jarang penduduknya, Pemerintah Hindia Belanda

15. Ibid., hal 89-90

Page 7 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
mendatangkan tenaga kerja dari Madura dan Kendal untuk membuka lahan hutan. Pada perkembangan
berikutnya, rakyat diberi hak menanam palawija dan padi serta tidak ditarik pajak dengan konsekuensi harus
menanam tembakau jenis Na Oogst,16 dengan sistem geblangan (untuk memelihara kesuburan tanah) dan
bagi hasil. Tanah yang sudah dibabat, diperuntukkan perkebunan pemukiman penggarap, sarana sosial, gedung
oven, gudang penyimpanan, rumah karyawan perkebunan dan kantor pengelolaan perkebunan NV. LMOD
(Namloose Vennoetschaap Maatschappy Ould Djember).
Sebenarnya masa berlaku Onderneeming tersebut akan habis pada 1945, tetapi keadaan ini berubah
setelah Pemerintah Hindia Belanda kalah oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada 1943 terjadi kondisi vakum
– yang segera diambil alih oleh rakyat – sampai kemudian diambil denganpaksa oleh Jepang sebagai penguasa
baru, dan rakyat diwajibkan menanam kapas yang seluruh hasilnya diserahkan kepada Jepang. Ketika Jepang
menyerah kepada Sekutu, dan terjadi kevakuman lagi, tanah kembali dikelola oleh petani. Perkembangan
selanjutnya 1953, petani yang memngambil alih lahan bekas hak erpacht, dibebani pajak dan diberikan nomor
pipil/petok D. Ketentuan membayar pajak berlangsung hingga 1970. Pada saat mereka dibebani pajak ini,
sebenarnya tanah bekas hak erpacht sudah dikuasai oleh PPN Baru Jatim IX. Hal ini berkaitan dengan
diberlakukannya UU No. 86/1959 (UU tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di
RI), Jo. PP. No. 4/1959 tentang penentuan perusahaan pertanian/ perkebunan tembakau milik Belanda yang
dinasionalisasi, maka NV LMOD secara otomatis terkena nasionalisasi dan tanah hak erpacht menjadi milik
negara.17
Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan jatim (PPN Baru
Jatim IX); yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara) Tembakau V dan VI melaui
PP No.30/1966. Selanjutnya, melaui PP No. 14/1968 digabungkanlah Perusahan Negara Perkebunan (PNP) XXVII.
Hingga akhirnya lewatPP No. 7/1972 tentang pengalihan bentuk PNP XXVII menjadi Perusahaan Perseroan
(Persero) PT. Perkebunan XXVII, maka PNP XXVII dialihkan menjadi PTP XXVII.
Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 tertanggal 5
Desember 1969. Menurut wakil negara, SK ini dan SK No. 15/HGU/DA/1970 tertanggal 18 Juni 1970 yang
meberikan dua Hak Guna Usaha (HGU) kepada PNP XXVII atas tanah bekas hak erpacht NV. LMOD dianggap cacat
hukum. Karena sebenarnya peraturan yang ada adalah mengatur tentang HGB (hak guna bangunan) dan merujuk
pada konsideran point 5 SK tersebut, yakni, HGB berlaku bila tidak terdapat adanya tanah rakyat yang
digarap/atau diduduki rakyat. Sedangkan pada saat diberlakkukannya kedua SK tersebut, tanah bekas hak erpacht
masih digarap dan atau diduduki oleh rakyat. Dariperbedaan pemahaman tentang pemberian HGU/HGB inilah,
akhirnya konflik mulai terlihat intens dan trasparan.

15..Dokumen sekunder yang diperoleh dari petani Desa Kaliwining pada 1995

16..Na Oogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim penghujan, yang memerlukan waktu persiapan tanam sampai
dengan selesai petik daun antara Juli-Desember

17..Laporan kunjungan kerja tim tanah Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI, tahun 1993

Page 8 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Pergolakan Petani Jenggawah 1969-1995
Perjalanan konflik tanah di Jenggawahdimulai sebelum 1969. Peristiwa yang mendahului adah gagalnya
pelaksanaan landreform atau orang desa (petani) menyebutnya dengan pengkaplingan tanah, karena tanah yang
luas dikapling-kapling menjadi 0,300 ha untuk masing masing bagian.
Tetapi konflik yang bersumber dari gagalnya landreform mereda. Kemudian konflik muncul kembali pada
1969, ketika akan diberlakukan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969 kepada PPN XXVII—yang dianggap gagal.
Karena ketika itu (1968) tersebar berita akan dilakukan penggantian girik/petok D menjadi sertifikat. Sejak itu
semua girik/petok D harus diserahkan kepada aparat desa, kecamatan dan beberapa aparat keamana yang
mengunjungi setiap desa dan mensosialisasikan adanya pemberian sertifikat tanah. Tetapi sepuluh
tahunkemudian diketahui bahwa pemberian petok D ternyata dipergunakan sebagai lampiran permohonan HGU
kepada Menteri Dalam Negeri. Melihat manipulasi ini, maka pada Januari 1979 kerusuhan-kersuhan besar tidak
dapat dihindari lagi.
Kerusuhan itu memunck pada Juli 1979, sehingga terjadi pengrusakan terhadap tanaman, rumah dan
pembakaran gudang. Kerusuhan disertai oleh tindak kekerasan petani Jenggawah, memaksa pengerahan 6
peleton pasukan tempur. Massa yang rusuh ditenangkan dengan menggunakan helikopter.18 Buntutnya, sebelas
orang pemimpin petani dinyatakan bersalah di Pengadilan Negeri Jember dan Pengadilan Tinggi Surabaya.
Mereka dijatuhi hukuman sekitar 13 bulan, hanya satu orang yang lolos, dan segera mengajukan permohonan
kasasi ke MA yang ternyata dikabulkan. Akhirnya kesepuluh tokoh petani yang ditahan tersebut dibebaskan dari
segala tuntutan hukum dan dinyatakan tidak bersalah.
Setelah peristiwa 1979, petani tampaknya mengambil strategi cooling down menuju pada status wilayah
yang diperlihatkan aman. Strategi perjuangan dilakukan dengan melakukan konsolidasi interen, yaitu
memantapkan langkah dalam berkonflik. Pertama, adanya kesepakatan menunggu masa berakhirnya HGU pada
1995. Kedua, dalam menanti masa berakhirnya HGU itu, masing-masing desa yang terlibat dalam konflik memilih
dan menugaskan tuntutannya kepada 2 pemimpin masing-masing desa. Tercata nama-nama pemimpin mereka di
antaranya Moch. Imam Chudori, Drs. Ahmad Yusuf, Masduki P. Anang, H. Much. Imam Mashuri, H. Lutfillah,
Khotib, Sarman, M. Cholil, dan (Alm) Imam Rusdiono. Masing-masing pemimpin bertugas melakukan konsolidasi
di daerahnya yaitu Desa Cangkring Baru, Desa Lengkong, Desa Kaliwining, Desa Jenggawah dan Desa
Sukomakmur. Ketiga, membentuk jaringan dan bertemu dengan aktivis seperti LBH atau aktivis hukum lain guna
menyusun surat permohoan yang disesuaikan dengan jumlah petani, yang dianggap masih memiliki bukti hukum
untuk dipergunakan mengajukan tuntutan.
Dasar penentuan pemimpin sebagai wakil para petani dalam mengorganisasikan kepentingannya yaitu
(a) alasan penguasaan masalah, apakah seseorang mempunyai kemampuan dan dasar-dasar keahlian tentang
tanah yang mereka perjuangkan; (b) konsistensi perjuangan, keberanian, dan sikap ngemong sebagai suatu
wibawa untuk mengorganisasikan kepentingna mereka, baik ketika berhadapan dengan petani maupun dengan
aparat pemerintah.
18. Eman Rajdagukguk, “Pemahaman Rakyat tentak Hak atas Tanah”, dalam Prisma, No. 9 September 1979, hal. 14-16

Page 9 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

Konsolidasi ini berlangsung sejak 1980-1994. Upaya memperjuangkan tanah bekas hak erpacht adalah (1)
melalui jalur permohonan legal; (2) konsultasi hukum; dan (3) dengan tindakan sosialisasi konsistensi perjuangan
tentang tanah yang mereka minta, terutama, kesiapan menanti masa berakhirnya HGU 1995. Kurun waktu masa
penantian kurang lebih 25 tahun itu, dengan berbagai endapan masalah yang terjadi, tiba-tiba menbakar emosi
mereka ketika pada Mei 1995, sebagai momentum yang dinantikan, ternyata HGU diperpanjang lagi.
Ledakan konflik dengan berbagai konsekuensinya ini bermula dari munculnya keputusan Menteri
Negara Agraria/badan Pertanahan Nasional No. 74/HGU/BPN/1994tentang pemberian perpanjangan hak guna
usaha PT Perkebunan XXVII atas tanah perkebunan Ajong Gayasan di Kabupaten Jember. Petani tidak bisa
menerima kenyataan ini, dan menganggap PTP XXVII adalah penyebabnya karena dinilai telah memanipulasi
keadaan sebenarnya. Dalam permohonan tanah tersebut dijelaskan bahwa tanah yang bersangkutan adalah
tanah kosong dan hanya ada kebun karet. Padahal kenyataanya dari tanah HGU yang diperpanjang tersebut
sebagian besar telah menjadi pekarangan yang terdiri dari berbagai bangunan
Akibatnya, kasus 1979 terulang kembali. Pada kamis, 4 Mei 1995 ratusan warga, yang menunggu
penyelesaian sengketa tanah HGU antara PTP XXVII dan petani, melakukan aksi kekerasan dengan modus hampir
sama dengan peristiwa Januari dan Juli 1979. Warga petani Jenggawah dan Kaliwining kembali memporak-
porandakan rumah dan gudang di wilayah Dusun Curahwelut , Desa Pancakarya, Kecamatan Jenggawah, serta
Dusun Curah Suko dan Dusun Curah Banteng, Desa kaliwining. Jalan menuju rumah mandor di gali dan ditanami
pohon pisang. Di halaman rumah itu pula, puluhan pohon pisang ditebang. Perusakan di rumah mandor Mulyadi
terjadi sekitar pukul 09.00. sebanyak 250 warga merobohkan atap teras rumah mandor dan menggali tanah di
halaman rumah.
Perusakan serupa terjadi dirumah mandor Tonali, Dusun Curahrejo, Desa Sukomakmur, Kecamatan
Jenggawah. Selain rumah mandor Tonali, rumah mandor Sodiq di Desa Manggara, kecamatan Jenggawah, dan
rumah mandor Sidik di Dusun Curahkendal desa setempat juga diserbu warga. Aksi ini berlanjut dengan
pembakaran gudang milik PTP XXVII, perusakan kantor BPN Jember, serta aksi pemukulan terhadap Ketua BPN
Jember. Massa benar-benar menumpahkan kekecewaannya dengan cara tindak kekerasan dan perusakan.19
Rasa ketidakpuasan ini, jika dilihat dari struktural Scottian dengan 3 bentuk kerawanan yang dialami
petani, ternyata konflik tanah Jenggawah memiliki tingkat kerawanan struktural yang mengakibatkan munculnya
protes petanidengan tindakan kekerasan (lihat Skema 1).
Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal maupun struktural.

19. Berita-berita kliping Jawa Pos, Mei-Agustus 1995

Page 10 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri Negara
Agraria/Badan Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal maupun struktural.
Sebab dengan perpanjangan HGU berarti para petani yang berharap HGU tidak dapat diperpanjang sebagai
konsekuensi konsideran pada point 5 SK tahun 1969 yang berbunyi bahwa HGU hanya berlaku apabila tidak
terdapat tanah rakyat yang digarap atau diduduki rakyat, namun tanah itu di duduki dan digarap oleh petani,
ternyata masih diberikan kepada PTP, maka keputusan ini dianggap sebagai ancaman.
Mengapa hal ini dianggap ancaman oleh petani Jenggawah? Pertama, karena dengan diberlakukannya
kembali HGU, maka praktis hidup petani dibawah bayang-bayang PTP, sebab tanah yang mereka garap bukan hak
milik secara hukum, hingga sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Kedua, aset tanah yang dicakup oleh
perpanjangan HGU tersebut meliputi seluruh luas tanah di 5 desa, sekitar 2 ribu hektar, yang berarti hidup para
petani di bawah wilayah kekuasaan PTP. Ketiga, potensi tanah yang menjadi sumber konflik merupakan penghasil
terbesar tembakau jenis Na Oogst di 1980 menunjukkan bahwa tembakau rakyat di Karesidenan Besuki,
termasuk Jenggawah, sebagai salah satu bagiannya, memiliki kontribusi cukup besar.
Dari penjelasan ini sebenarnya spirit protes petani Jenggawah muncul akibat kerawanan struktural yang
dianggap merugikan mereka. Sementara aspek kerawanan ekologis tidak mempengaruhi, karena wilayah
Jenggawah merupakan areal tanah yang sanagt subur. Demikian pula kerawanan monokultur masih belum
mampu mempengaruhi munculnya spirit protes petani, karena kultur pertanian masih bervariasi, artinya tidak
khusus untuk satu tanaman saja yang diharuskan kepada petani; mereka masih boleh menanam padi dan
palawija.
Tipologi Kelompok-Kelompok yang Berkonflik
Berkaitan dengan konflik tanah yang muncul, ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan untuk lebih
mendalami kompleksitas permasalahan petani Jenggawah. Bagaimana tipolaogi kelompok-kelompok yang
berkonflik? Jika tipologi dipahami sebgai upaya penyederhanaan atas ruwetnya kelompok yang terlibat dalam
interaksi yang mengakibatkan konflik, bagaimana perilaku-perilakunya? Kelompok mana yang kuat dan kelompok
mana yang lemah? Apakah tipologi terhadap mereka yang terlibat dalam konflik bersifat homogen, jika mengacu
pada tindakan mereka yang cenderung radikal?
Menurut Paige, tipologi konflik pertanian terjadi antara organisasi pertanian yang disokong oleh kebijkan
dan mereka yang berkedudukan sebagai pekerja; terjadi antara kelas atas baru dalam pertanian (pemilik modal)
dan petani lama ang menguasai tanah; juga antara masuknya tanah ke dalam commercial enterpreneur dan
petani penyewa yang dibatasi tenaga kerjanya baik yang sewaan maupun yang tetap.21
Sedangkan Stincombe menjelaskan tipologi konflik pertanian terjadi antara the family-sized-tenancy
atau keluarga penyewa dengan plantation atau perkebunan. Keluarga penyewa merupakan penghasil intensitas
konflik organisasi pertanian, bahkan merupakan sumber lahirnya revolutionary action.22 Pakar lain, yakni Wolf

20. Lihat Jamie , “Perkebunan dan Tanaman Perdagangan di Jawa Timur: Pola yang sedang berubah,” dalam Howard Diel
(ed). Pembangunan yang berimbang Jawa Timur dalam era orde baru (Jakarta: Gramedia, 1997), hal. 282-286
21. Paige, op.cit., hal. 4-6
22. Ibid
Page 11 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
23
berargumen bahwa middle peasant adalah penghasil basis massa revolusi. Dari kategorisasi tersebut, tipologi
Stincombe tampaknya agak relevan dengan kasus Jenggawah, yang sebenarnya merupakan konflik antara
penggarap dan pihak perkebunan.
Pihak penggarap (petani) dalam status tanah HGU merupakan basis sumber konflik atau bahkan juga
merupakan sumber lahirnya konflik 1969-1995, dengan kecenderungan tindakan radikal. Kelompok-kelompok
yang berkonflik di Jenggawah dijelaskan dalam Skema 3.
Dari Skema 3 tampak bahwa tipologi kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik tanah di
Jenggawah adalah (1) petani dan kelompok-kelompok penekan yang mendukung petani; (2) Negara dan
aparatnya; (3) Tim mediasi; (4) PTP XXVII dan buruh tani, mandor dan centeng; serta (5) petani fiktif.
Petani Inti Basis Konflik
Menurut istilah penduduk Jenggawah, petani inti disebut sebagai petani keturunan, yaitu petani dengan
bentuk penguasaan tanah yasan, berupa tanah yang diperoleh berkat usaha nenek moyang mereka dalam
membuka hutan liar untuk dijadikan sebagai tanah garapan. Dengan kata lain, dengan kata lain hakseseorang atas
tanah ini berasal dari fakta bawa dialah, atau nenek moyangnya yang semula membuka tanah tersebut. Istilah
tanah yang dibuka, menurut bahasa Jawa yoso, berarti membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan
membeli).24 Jumlah petani ini sangat besar, tersebar di 5 desa dan 3 kecamatan, yaitu Desa Kaliwining (450 KK),
Desa Cangkring (385 KK), Desa Lengkong (250 KK), Desa Jenggawah (375 KK) dan terakhir Desa Sukomakmur (340
KK) yang tersebar di tiga kecamatan Mumbulsari dan Kecamatan Jenggawah.
Petani ini dianggap sebagai cikal bakal penduduk yang menguasai tanah HGU hingga sekarang,
sebagaimana penuturan para pemimpin mereka.25

Petani keturunan adalah nenek moyangnya orang-orang yang membabat tanah di perkebunan NV LMOD di
Jember, saat pertama kali pembukaan lahan perkebunan tembakau oleh Belanda. Mereka didatangkan dari
Madura, Pasuruan, Ponorogo (Jawa Timur0 dan CurahKendal (Jawa Tengah). Paling besar jumlahnya adalah
mereka yang berasal dari Madura. Mereka dianggap sebagai generasi pertama, hingga kini masih banyak yang
hidup, meskipun sebagian telah bergeser (pindah) ke anak-anaknya sebagi generasi kedua.”

23. Ibid
24. Gunawan Wiradhi dan Mikali, “Penguasaan Tanah dan Kelembagaan, “ dalam Faisal Kasryno (ed), Prospek Pembangunan
Ekonomi Pedesaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1984) hal. 48

25. Hasil wawancara dengan para informan di Jenggawah, Lengkong, dan Kaliwining, Kabupaten Jember, Oktober 1995.

Page 12 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

SKEMA 3. Tipologi Kelompok-kelompok yang Terlibat Konflik Tanah Jenggawah dan


Interaksinya
TIM MEDIATOR

PETANI INTI BASIS PTP XXVII PETANI BURUH,


KELOMPOK-KELOMPOK MANDOR DAN CENTENG
PENEKAN YANG
MENDUKUNG PETANI
PETANI FIKTIF

NEGARA DAN
APARATNYA
Keterangan garis skema:
Garis interaksi konflik
Garis Interaksi resiprositas
Garis control politik

Kalau membandingkan asal-usul mereka dalam kaitannya dengan budaya yang mempengaruhi perilaku
mereka, ternyata ada dua akar yang kuat, meminjam terminologi Geertz (santri-abangan). Paling tidak, jika
dikaitkan dengan presepsi elit (para pemimpin petani)masing-masing desa, ada 2 orang dalam menggagas
strategi konflik apakah konservatif atau radikal. Secara sepintas, mereka yang berasal dari Madura (yang
jumlahnya cukup besar – hampir menjadi warga yang dominan di Jenggawah) mewakili varian santri dengan
perilaku konservatif dalam konflik, sementara yang berasal dari Curah Kendal dan Ponorogo, masih mewarisi
varian abangan dalam perilaku konflik.
Dari perbedaan ini, maka petani keturunan (petani inti basis konflik) terbagi menjadi dua secara realitas
konflik, yaitu (1) petani radikal dan (2) petani konservatif. Kedua tipologi petani inti basis ini terpusat pada dua
kekuatan pengaruh kepemimpinan yanitu petani konservatif yang cenderung dekat dengan tipe kepemimpinan
santri dari kelompok-kelompok petani yang moderat, sedangkan kelompok petani radikal diperkenankan oleh
kelompok yang lebih dekat dengan tipe kepemimpinan abangan yang dimainkan oleh kelompok-kelompok petani
yang radikal.
Dikotomi petani ini didasarkan pada persepsi pemimpin (elit) dalam memandang konflik yang terjadi
serta strategi konflik yang akan diterapkan. Persepsi ini tampak di antara kedua kelompok itu.
“... bahwa strategi kelompok-kelompok abangan terkesan sangat keras, baik di tingkat ide maupun
tindakan yang tidak terorganisir.ide yang keras ini muncul setelah mengadakan aksi (terjadinya aksi).
Strategi ini muncul, karena ada kecenderungan bahwa suara mereka baru didengar oleh pemerintah kalau
terjadi keributan dan kekerasan.26
Di sisi lain, salah sseorang informan yang berhasil diwawancarai mengatakan:

26. Hasil wawancara dengan informan di Kaliwining. Oktober 1995.

Page 13 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

“... bahwa kekerasan yang terjadi juga diakibatkan oleh ketidakpastian posisi kasus tanah yang sedang
terjadi, sehingga rakyat mempunyai perasaan susah untuk diajak kompromi. Saya tidak bisa mencegahnya,
apabila ada kekerasan-kekerasan yang muncul.”

Posisi yang berbeda terjadi pada kelompok yang cenderung dekat dengan tradisisantri yang
lebih moderat dan mengambil sikap, sebagaimana hasil wawancara yang pernah dilakukan.27

“... mereka telah mengadakan perjanjian dengan para petani, bahwa pihak I (petani) tidak bisa berbuat dan
bertindak yang berhubungan dengn masalah tanah tersebut, tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak
II (pemimpin petani). Peristiwa penantanngan carok oleh H. Mushlis, menunjukkan bahwa pemimpin
kelompok mempunyai tanggung jawab untuk mengendalikan massanya. Alasannya, saya ingin memberi
contoh pelaksanaan hukum dan ketaatan di hadapan hukum.”

Sementara itu salah seorang informan di Cangkring Baru memandang,

“... kekerasan adalah dosa menurut ajaran Islam dan itu dilarang oleh agam. Iniselalu saya jelaskan kepada
para petani baik melaui informasi pengajian maupun saat tahlilan.”

Implikasi dari presepsi yang berbeda ini, ternyata melahirkan model strategi yang berbeda pula dalam
tindakan-tindakan petani untuk memenangkan konflik. Perbedaan itu terlihat bahwa petani radikal memandang
(1) cara kekarsan efektif untuk memancing perhatian umum dan pemerintah pusat, agar konflik segera
diselesaikan. (2) Untuk itu, strategi konflik dianggap efektif, bila dilakukan dengan cara ekstra legal. Sementara
kelompok petani konservatif memandang bahwa strategi (1) harus dilakukan dengan cara prosedurral, sebab
bagaimana pun status tanah HGU perlu mendapat jaminan secara hukum; (2) untuk memudahkan ini, mereka
menolak cara-cara kekerasan, tetapi menggunakan cara damai dan konsolidasi memenagkan massa dengan
pendekatan keagamaan melaui tahlilan, agar massa dapat dikendalikan; (3) persepsi ini dilatarbelakangi oleh
pemahaman bahwa cara kekerasan justru dianggap merugikan.

Betapapun, dalam tingkat persepsi mudah untuk dibedakan dua kelompok elit petani radikal dan
konservatif; persoalannya adalah bahwa komitmen elit ini tidak tertransformasi pada massa yang bergejolak
dengan aneka pemupukan kekecewaan dan keputusasaan yang telah menghinggapi. Kerena itu sangat sukar
untuk memisahkan dikotomi tersebut, dalam tingkat presepsi mungkin dapat dipisahkan, tetapi dalam tindakan
kolektif menjadi sesuatu yang sangat sukar untuk dipilah, massa mana yang radikal dan massa mana yang
cenderung konservatif. Meski bergitu, formulasi presepsi ini, memberikan gambaran bahwa ada gejala dikotomi
itu, dan tentu saja akan berimplikasi pada gerakan politik dalam konflik tanah yang mereka lakukan.

27. Hasil wawancara dengan informan di Cangkring Baru, Oktober 1995.

Page 14 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Pada sisi lain, basis inti petani yang terlibat dalam konflik menurut umur, terlihat didominasi oleh interval
usia antara 54-57 tahun. Secara kasar, tingkat umur ini, memiliki signifikasi dengan mudahnya intensitas konflik
untuk meluas dan berkembang, apa lagi luas tanah yang dijadikan ajang konflik cukup luas. Intensitas ini juga
dipengaruhi oleh konsistensi perjuangan para pemimpinnya ketika mereka mengkonsolidasikan massa untuk
mendukung mempertahankan tanah HGU dan mengajukan melalui jalur hukum yang ada. Termasuk hal ini
adalah pengorbanan harta benda mereka yang tidak terhitung besarnya dalam mengajukan permohonan milik
baik melaui surat yang ditunjukan kepada instansi yang dianggap berwenang dengan konflik tanah yang terjadi.

Identitas para petani inti basis konflik ini, sekaligus menunjukkan para petani yang memohon agar tanah
HGU bekas hak erpacht itu dialihfungsikan menjadi hak milik kepada para petani. Basis sosial petani inti basis, jika
dilihat dari sisi umur, jumlah, latar belakang dan tanah yang dimohon dapat dilihat Tabel 1 dan Tabel 2.

PTP XXVII dan Kelompok-Kelompok Pendukung

Para pendukung PTP XXVII adalah buruh tani, mandor dan para centeng. Buruh tani adalh mereka yang
bekerja sebagai buruh di perkebunan. Petani ini sangat tergantung pada PTP, karena sebagian dari mereka adalah
tenaga kerja harian. PTP, dalam konflik yang terjadi, menggunakan alasan ini untuk menandingi aksi-aksi
kekerasan petani inti basis yang terlibat dalam konflik tanah, seperti munculnya bentrokan fisik antara petani inti
basis konflik dan para buruh perkebunan.

Tabel 1. Basis Massa Petani dilihat dari Tingkat Umur

Interval Umur/Tahun Jumlah Petani


22-25 tahun 15
26-29 tahun 18
30-33 tahun 31
34-37 tahun 29
38-41 tahun 30
42-45 tahun 21
46-49 tahun 30
50-53 tahun 55
54-57 tahun 9
58-61 tahun 23
62-65 tahun 17
66-69 tahun 4
>70 tahun 7
Jumlah 289
Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa Lengkong dan Desa Kaliwining

Page 15 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Tabel 2. Luas Tanah Sengketa dan Jumlah Petani

Luas Tanah (ha) Jumlah Petani Pemohon


0,100-0,250 125
0,251-0,401 91
0,402-0,552 52
0,553-0,703 14
0,704-0,850 -
0,851-1,003 -
>1,003 7
Jumlah 289
Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa Lengkong dan Desa Kaliwining

Kelompok pendukung PTP lainnya adalah para mandor dan para centeng. Mandor sebenarnya memiliki
peran cukup mendasar untuk menjembatani kepentingan petani dengan PTP. Tetapi tindakan-tindakan mereka
seringkali dianggap merugikan petani. Karena itu, saat konflik Mei 1995 meletus, sasaran pertama yang diserbu
adalah rumah mandor PTP. Ini terjadi,karena petani merasa penerapan kebijakan PTPyang dilaksanakan oleh
mandor, justeru diselewengkan; baik mulai saat merekrut tenaga kerja, penggarapan lahan di sawah atau saat
bagi hasil panen dengan PTP. Perselisihan sering terjadi berkaitan dengan kriteria kualitas tembakau yang
acapkali dimanipulasikan mandor apakah masuk kriteria A (baik), B (sedang) dan C (cukup).
Di samping itu, muncul perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh mandor dan centeng, disertai
tindakan teror. Tindakan ini tercermin dalam beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya, peristiwa
pembabatan sekitar 300 pohon jeruk milik H. Muchlis oleh orang-orang yang tidak dikenal. Peristiwa di Ajong
dengan pembabatan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan PTP pada waktu padii kurang 3 harilagi akan
dipanen, tetapi esoknya sudah rata dengan tanah.peristiwa lain adalah penantangan carok oleh tiga orang yang
mengaku suruhan PTP yang terjadi di Kaliwining, sehingga ketiga orang tersebut dikepung dan akan diadili oleh
massa sekitar 500 orang.
Di sisi lain PTP acapkali menerapkan kebijakan kerjasama dengan petani yang diserai oleh aparat
keamanan, tanpa pendekatan persuasif. Kebijakan yang diterapkan justru sebaliknya, meskipun telah ada
perjanjian dengan para petani, kadang-kadang mengalami penyimpangan dalam pola kemitraan yang diterapkan.
Apalagi PTP merupakan bagian dari aset negara, maka aparat pemerintah atau negara tampak melindungi
kepentingannya, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun pusat.
Perkembangan konflik menunjukkan penyimpangan, misalnya munculnya petani fiktif yang dianggap
mempuunyai hubungan khusus dengan aparat dan PTP, sebab dari temuan terakhir, ternyata mulai 1979-1987
petani fiktif ini dapat menyertifikatkan tanah HGU (seharusnya menurut hukum jika diterapkan secara konsisten,
tidak dapat dilakukan karena menyalahi aturan yang ada).28 Petani fiktif muncul sebagai akibat penyalahgunaan
wewenang atas tanah HGU, dengan terjadinya jual beli di bawah tangan antara petani fiktif dan orang-orang
tertentu yang punya akses dengan PTP.
28. Hasil wawancara dengan Tim Mediasi, Oktober 1995.

Page 16 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
.Implikasinya di kalangan petani muncul dugaan kuat adanya kolusi antara beberapa aktor PTP dan
aparat negara untuk meloloskan permohonan sertifikat, kepada beberpa orang, baik mantan pejabat PTP
maupun non-pribumi yang berstatus sebagai pengusaha. Data terakhir menunjukkan ada sekitar 27 sertifikat.
Kelompok-Kelompok Penekan Pendukung Petani Inti Basis Konflik
Kelompok ini merupakan kelompok penekan yang cenderung terlibat secara intens dalam konflik yang
terjadi di Jenggawah. Mereka terbagi dalam dua kelompok, yaitu (a) kelompok advokasi; dan (b) kelompok
jalanan. Kelompok advokasi diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum, atas permintaan petani, untuk menjadi
konsultan hukum dalam menuntut hak-hak mereka. Sedangkan kelompok jalanan, diwakili oleh komite-komite
solidaritas yang dibentuk oleh aktivis mahasiswa baik dari intra kampus maupun ekstra kampus. Di antara aktivis
jalanan yang terlibat adalah aktivis dari GMNI, HMI, dan mahasiswa Jember.
Upaya ini dilakukan lebih untuk mendukung moral para petani yang tertindas dan tidak berdaya. Upaya
dukungan kelompok jalanan ini dilakukan dengan cara unjuk rasa, demonstrasi dan aksi-aksi keprihatinan.
Pembentukan Tim Mediator
Dalam pandangan teoritis, mestinya mediator dibentuk oleh pihak yang berkonflik, yaitu petani dan
PTP. Tetapi, melihat perkembangan konflik yang semakin meluas, Pangdam V Brawijaya mencoba mengusulkan
pembentukan tim mediasi setelah sebelumnya posisi konflik dinyatakan dalam kodisi staus quo, atau berada
dalam pengawasan keamanan. Maka, sebagai terapi cooling down, salah satu strategi yang dipilih oleh Pangdam
V Brawijaya adalah pembentukan tim mediasi yang terdiri dari Kiai Yusuf Muhammad, Kiai Lutfi, dan Kiai H.
Khotib Umar.
Implikasinya, mau tidak mau, petani yang terlibat dalam konflik tanah harus bersedia menerima
kehadiran mereka. Ini yang disebut oleh Kerr sebagai suatu arbritasi/penindasan, sebab pihak-pihak yang
berkonflik tidak memiliki alternatif untuk menyelesaikan konflik. Kelompok petani radikal meolak kehadiran tim
mediasi karena dianggap justru akan merugikannya, dan akan lebih menguntungkan PTP. Sementara kelompok
petani konservatif melihat hal ini positif, untuk mengartikulasikan kepentingan yang akan diperjuangkan.
Perbedaan ini menyulut konflik interen antar kelompok petani, karena dianggap beberapa elit pemimpin akan
memanfaatkan momentum ini untuk kepentingan pribadi. Prasangka ini dinilai wajar, sebab kehadiran tim
mediasi masih dianggap teka-teki, menguntungkan atau merugikan.
Upaya-upaya tim mediasi diawali dengan cara mengakomodasi pihak-pihak yang berkepentingan dalam
konflik, juga pihak-pihak di luar konflik. Menurut tim mediasi ada dua pihak yang jelas-jelas berkepentingan
dengn konflik tanah yaitu petani dan PTP. Di samping kedua belah pihak itu, pihak lainyang berkepentinagn
adalah pemerintah atau aparat negara seperti ABRI dan BPN. Kepentingan ABRI adalah agar di daerah sekitar
perkebunan konflik tidak membawa akibat yang lebih besar. Sedangkan BPN berperan menentukan status tanah
HGU tersebut, karena lembaga ini berhak mengeluarkan izin sertifikat sebagai tanda hak milik. Dari konteks ini,
disadari atau tidak, tim mediasi telah melakukan tekanan-tekanan, atau versi Kerr disebut penindasan dengan
sosialisasi bahwa kepentingan harmonis harus segera diwujudkan dalam wilayah Jember, terutama Jenggawah
yang bergolak.

Page 17 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Upaya selanjutnya adalah melakukan pendekatan untuk mengetahui kemauan kelompok-kelompok lain
yang berkepentingan yaitu instansi-instansi yang berwenang. Upaya lain adalah melakukan musyawarah, dengan
kelompok yang berkonflik dan menghubungkannya dengn mengatakan bahwa untuk saat ini hak milik tidak
mungkin diberikan maka perlu diarahkan pada pola kemitraan dalam rangka mendekatkan berbagai kepentingan
berbeda yang muncul dalam konflik. 29
Mengapa justru Kiai yang dipakai sebagai tim mediasi kalau memang negara memiliki kepentingan
menyelesaikan konflik, mengapa bukan anggota-anggota DPR yang adalah wakil rakyat. Dari pertanyaan ini,
terlihat bahwa negara dan aparatnya sendiri tidak yakin bahwa kasus konflik yang telah munculnya memanas dan
meluas dengan intensitasnya yang tinggi, akan mampu diselesaikan. Peran pemimpin informal akhirnya jadi
alternatif karena dianggap menguntungkan dan memiliki fungsi pengayom untuk menyandarkan peran-peran
basis massa yang terlibat dalam konflik. Pola ini mirip dengan munculnya Kiai Alawi Muhammad ketika konflik
Nipah mencuat ke permukaan, yang tiba-tiba menjadikannya sebagai tokoh nasional. Mengapa aparat negara
takut mendekati rakyatnya sendiri?
Potret ini mengindikasikan munculnya disintegrasi elit massa dalam perjalanan politik lokal, termasuk
timbulnya gejala konflik tanah di Jenggawah. Karena birokrasi lokal sebgai aparat negara mengalami kesullitan
wenang untuk menyelesaikan konflik yang muncul, sebab rakyat sudah tidak percaya lagi, sehingga peran itu
kemudian diambil oleh pemimpin informal seperti ketiga Kiai tersebut, yang mampu merumuskan kepentingan-
kepentingan petani, kemudian meyakinkannya dengan berbagai tindakan di tengah-tengah mereka. Dari konteks
ini, maka ada kecenderungan tersumbatnya saluran penyelesaian konflik politik yang dialami oleh masyarakat.

Pola Penyelesaian Konflik


Istilah penyelesaian konflik mengacu pada pendekatan manajemen konflik politik dan teori strukturalis semi
otonom. Kedua paradigma ini melihat keterlibatan negara secara konkret sebagai penengah munculnya konflik
yang terjadi dalam masyarakat. Menurut pendekatan manajemen konflik, penyelesaian konflik, dianggap sebagai
upaya pengelolaan konflik oleh negara. Negara memainkan peran dalam mengelola konflik yang terjadi di
masyarakat sehingga dapat ditransformasikan menjadi konsesus.30

29. Hasil wawancara dengan Tim Mediasi di Jember, Oktober 1995


30. R. Eep Saifullah Fatah, “Manajemen Konflik Politik dan Demokrasi,” dalam Prisma, No. 8, Agustus 1994

Page 18 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai lembaga politik yang lebih
otonom. Negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai kelompok kepentingan,
sehingga pembangunan oleh negara dipandang sebagai upaya menggalang sumber daya untuk menengahi konflik
yang terjadi.31
Negara dalam kedua terminologi tersebut, dopersonifikasikan baik secara individual maupun lembaga.
Nordlinger melihat negara secara subjektif atau dalam perangkat analias individual yaitu individu yang
menduduki posisi yang memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan yang mengikat semua
pihak yang ada dalam wilayah tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah presiden, para menteri, dan para
kepala daerah. Sementara Kresner dan Scotpol melihat negara dalam arti lembaga dan individu, seperti
Mahkamah Agung, militer, kehakiman, BPN, ABRI, maupun Pengadilan, DPR, dan lain-lain. 32 Sementara individu
adalah seperti Bupati, Menteri, Presiden dan Wakil Presiden, dan Pangdam V Brawijaya.
Studi ini menemukan bahwa arah kontrol politik hanya diberikan dan diterapkan oleh negara dan
aparatnya terhadap petani dan kelompok-kelompok penekan yang mendukungnya, serta tim mediator.
Sementara kecenderungan kolusi yang menguntungkan PTP tampak sekali dalam berbagai tindakan aparat
negara.
Kontrol politik oleh negara Orde baru (NOB) dan aparatnya, dilihat dari dua kriteria yaitu (a) siapa yang
melakukan intervensi/ kontrol politi; dan (b) dalam bentuk apa intervensi/ kontrol politik dilakukan, baik kepada
petani dan kelompok penekan, maupun tim mediasi. Sedang arah efektivitasnya dilihat melalui tiga kriteria yaitu,
(1) apakah efektivitasnya tinggi, ditandai dengan stabilitas konsensus; (2) apakah efektivitasnya semu, ditandai
dengan melatenkan konflik yang terjadi; dan (3) apakah efektivitasnya rendah, ditandai dengan mematikan
konflik politik yang terjadi.
Dari Skema 4 terlihat kontrol polotik yang dilakukan oleh negara justru melahirkan efektivitas semu dan
rendah. Ini berbeda dengan harapan masyarakat agar efektivitas penyelesaian yang tinggi – yang ditandai adanya
konsensus di antara pihak-pihak yang berkonflik. Tetapi realitasnya muncul efektivitas semu dan rendah yang
cenderung mematikan dan melatenkan konflik. Sebab pola yang diterapkan cenderung represif dengan
mengedepankan security approach. Dampaknya, konflik tanah Jenggawah yang semestinya selesai pada 1969,
tiba-tiba mencuat kembali dengan modus yang hampir sama yakni tindakan kekerasan dan radikalisme.

31. Piere James, ‘ State Theories and New Order Indonesia,” dalam Arief Budiman (ed), State and Civil Society in
Indonesia (Monas Papers on Shoutheast Asia, No. 22, 1990

32. Ramlan Surbakti, dalam Jurnal Ilmu Politik 14

Page 19 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Dari kriteria tersebut, arah kontrol politik dan efektivitasnya dijabarkan dalam Skema 4.

Negara Orde Baru (NOB)

Petani inti basis


kelompok-kelompok
Tim Mediator
penekan yang
mendukung petani

Kriteria 1. Siapa yang menintervensi


Aparat Keamanan: Polisi & militer Kepentingan ABRI sebagai alat pengaman
Aparat desa dan supra desa negara
(kecamatan, kabupaten,
Provinsi dan pusat)
Kriteria 2. Dalam bentuk apa intervensi dilakukan
Ancaman dan paksaan Tekanan pola kemitraan, melalui musyawarah
Pengrebekan data Perubahan hasil akhir konflik, bukan hak milik,
Diskriminasi hukum pola kemitraan
Pembentukan tim mediasi
Putupan lokasi konflik

Kriteria 3. Arah efektifitasnya


EFEKTIFITAS SEMU DAN RENDAH
Melatinkan konflik dan mematikan konflik

Apa dampak bagi proses penyelesaian konflik yang diharapkan oleh masyarakat? Ternyata pola
penyelesaian otokratis, di mana kontrol politik diarahkan untuk menindas partisipan konflik, secara paradigmatik
hal ini merupakan negasi dari peran NOB dan aparatnya dalam upaya mengelola konflik yang muncul, selalu
dikalkulasik merugikan penguasa untuk mempertahankan status quo kekuasaan, atau tidak. Jadi, gejala
penggunaan kekerasan, represif-non institusional, acapkali menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari pola
penyelesaian konflik yang didominasi kekuasaan kalkulatif.
Gejala ini lebih parah lagi, tatkala upaya transformasi konflik tanah di Jenggawah ke arah
konsesus,hanya dipandang dari sisi legalitas hukum yang berlaku dalamproses pengambilan keputusan. NOB dan
aparatnya dalam mengadaptasi konflik yang muncul mestinya juga memandang dari sisi sosiologis dan psikologis,
untuk menelusuri (1) bagaimana formulasi sikap dan konflik; (2) sumber-sumber yang menyebabkan konflik; (3)
mengidentifikasi pola yang cocok untuk penyelesaian kasus. Negara tidak perlu mengeneralisasikan semua konflik
yang terjadi dengan pola-pola penyelesaian yang sama yaitu represif-non-institisional dengan ciri intimidasi,
teror, ancaman dan penangkapan.
Fungsi penelususran secara sosiologis dan psikologis dimaksudkan adalah untuk menghindari
munculnya polarisasi baru, baik dalam persepsi maupun tindakan kelompok-kelompok yang terlibat dalam
konflik. Sebab apabila kekuasaan kalkulatif masih mendominasi, peran NOB dan aparatnya tetap dianggap

Page 20 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
merugikan rakyat dan melemahkan kekuatannya. Dampaknya, sikap resistensi petani tetap akan muncul baik
pada aras persepsi maupun tindalkannya, sebagai dampak ketidakpercayaan terhadap mekanisme kontrol politik
Negara Orde Baru.
Resistensi ini juga dipengaruhi oleh semakin lemahnya kondisi ekonomi mereka, karena saluran-saluran
ekonomi di luar pertanian tertutup. Tidak hanya itu, dari segi akses politik, mereka juga menjadi kelompok
marginal di tengah kekuatan dahsyat yang setiap saat menghimpitnya. Lemahnya akses politik kelompok petani
ini menimbulkan kristalisasi kekecewaan yang lebih mendalam. Potret ini dialami oleh petani Jenggawah. Di
samping lemah secara ekonomi, mereka juga lemah dalam akses politik, ketika akan menyampaikan
ketidakmampuannya. Sementara di sisi lain PTP secara ekonomi kuat, juga akses politiknya, sehingga makin
menjadi tanda Tanya besa. Karena dalam perkembangan konflik yang muncul, peran NOB dan aparatnya
dianggap mengamankan kepentingan PTP dengan cara kolusi, terutama dalam memperpanjang tanah HGU, yang
menjadi sumber konflik, dan penyelesaian konflik yang terjadi.
Padahal, upaya petani untuk mempengaruhi proses politik sudah dilakukan sejak 1990 dengan
mengajukan permohonan hak milik yang disampaikan lewat Bupati KDH TK II Jember. Pada 1993 tercatat 15 kali
pengajuan permohonan kepada Pemda TK II Jember, DPRD TK II Jember, DPRD TK I Jatim, Bakostanda Jatim, DPR
RI, Dirjen Perkebunan dan menteri Agraria. Sementara sepanjang 1997 diajukan 7 kali permohonan hak mlik,
sedangkan pada 1995 tercatat 2 kali dengan hasil yang tidak menentu.
Pola penyelesaian konflik tanah di jenggawah dilakukan dengan cara represif dan hasil konsesnsus yang
dibangun sangat rapuh, mematikan konflik dan melatenkan konflik politik. Hal demikian tidak lain karena kuatnya
pengaruh aparat dan NOB hingga tingkat desa. Negara masuk desa, demikian meminjam istilah weber. Artinya,
ideology Negara dengan birokrasi sentralistis dan komando dari pusat, benar-benar menguasai seluk beluk
kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pertanian. Jaringan birokrasi yang demikian, kenyataannya menjadi
benang kusut yang sangat sulit untuk dicari ujungnya, praksis di tingkat desa pun, dengan pola keamanan
(security approach), diterapkan dengan adanya Babinsa, Koramil, Camat dan Kepolisian sebagai pilar-pilar
pelaksana birokrasi di tingkat lokal.
Setidaknya ada tiga kecenderungan menarik tentang implikasi kuatnya jaringan tersebut bagi
masyarakat Jenggawah. Pertama munculnya interaksi antara kuatnya jaringan birokrasi di tingkat lokal dan petani
Jenggawah. Kecenderungan ini menyadarkan mereka atas munculnya kekuatan besar yang akan dihadapi. Kedua,
terbentuknya jaringan kepentingan lokal (antar desa) untuk mengimbangi kekuatan birokrasi dalam
perkembangan konflik tanah I jenggawah. Kepentingan petani yang berbeda, yang sebelumnya tidak terorganisasi
secara utuh. Ini merupakan bukti atas pemahaman mereka terhadap dinamika konflik, akibat akumulasi
perlakuan yang dialami selama konflik berlangsung, sehingga menyatukan konsistensi perjuangan melalui
jaringan organisasi antar desa dan elit pemimpin. Ketiga, konflik cenderung meluas, berintensitas tinggi, dan
dibarengi oleh sikap radikalisme massa, wujudnya yang khas dalam setiap demonstrasi dan unjuk rasa.
Kekentalan ini memberikan arti penting atas timbulnya gagasan menggugat hegemoni Negara melalui tindakan
resistensi menolak peran NOB dan aparatnya dalam penyelesaian konflik yang tidak berimbang. Jika dikaji secara

Page 21 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
state of nature, ada beberapa faktor yang mempengaruhi, terutama faktor internal. Pergulatan massa dengan
konflik yang hampir 25 tahun dialami, mempengaruhi cara pandang mereka tentang politik, keadilan, konsistensi
hukum, dan moral aparat Negara. Kondisi subjektif ini menjadi kuat pengaruhnya ketika hadir faktor eksternal.
Faktor ini dipengaruhi oleh persinggungan para petani dengan aktivis advokasi dan parlemen jalanan dalam
mendiskusikan problematika yang mereka alami. Pertanyaannya sampai kapan kondisi subjektif dan objektif ini
akan bertahan dan menjadi kekuatan baru dalam sosio kultur masyarakat petani?
Paling tidak pertanyaan ini menyangkut persoalan, apakah konflik yang belum terselesaikan mungkin
33
akan meledak kembali. Menurut Smleser, kecenderungan ini akan terjadi, jika sumber-sumber konflik tidak
diakomodasi secara seimbang dan tidak sejauhmana nilai-nilai konflik tetap diinternalisasikan oleh kelompok-
kelompok petani yang tidak puas. Jika ini terpenuhi, mungkin sekali menurrut Smelser konflik akan muncul pada
generasi berikutnya dan akar serta persoalannya tetap akan sama seperti konflik sebelumnya.

Kesimpulan : Rakyat dan Kekuasaan


Hubungan keserasian antara rakyat dan negara dalam terminologi paradigm kultural Jawa dicerminkan
oleh konsep manunggaling kawulo gusti. Raja sebagai gusti dan rakyat sebagai kawula wong cilik lan abdi,
merupakan elemen sistem sosial yang mereka kendalikan secara harmonis. Apa kunci keharmonisan itu? Dalam
sejarah, dongeng rakyat melindungi raja atau sebaliknya seringkali menjadi cerita anak-anak negeri. Secara
filosofis Jawa, keharmonisan itu terjadi, karena terjaganya lingkungan mikro dan makro, lingkungan mikro sebagai
indikasi kawula, sedangkan lingkungan makro sebagai gambaran raja. Tatanan yang dibangun kerapkali disebut
dengan istilah hubungan kawulo gusti atau dalam terminology teori modern disebut hubungan patron client
suatu pola hubungan manunggal dan saling melindungi.
Kawulo memang manunggal dengan gusti, karena dalam tatanan filososfis Jawa raja memegang
peranan legitimasi ilahiyah, yang menjadi panutan. Legitimasi itu akan musnah ketika moralitas sang raja tidak
terjaga dan tertata dengan apik, atau raja merusak tatanan kosmos yang menjadi pilar kekuasaannya. Buntutnya,
tanah pun juga dianggap milik raja, rakyat hanya de facto sebagai penggarap yang kemudian menyetor upeti yang
telah ditata dalam hubungan itu.

33. Lihat Smelser dalam Mark N. Hagopian, Regime Movements, and ideologies; A. Comparative Introduction to political
science (New York and London, Logman, 1978), hal. 262-265

Page 22 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Masalahnya mengapa hanya konsep kekuasan saja yang diadopsi oleh orde baru dari filosofi Jawa?
Mengapa pola keserasian itu kemudian hancur lebur oleh kepentingan pembangunan yang berorientasi
pertumbuhan ekonomi. Kenapa ketika timbul goro-goro atas munculnya pergeseran hubungan rakyat dan
negara, polanya menjadi represif dan cenderung menindas? Kaidah pergeseran ini, justru mengimplementasikan
negara berperilaku Machiavellian kuat, rakus, dan menindas.
Pergeseran ini secara tidak langsung menjadi pemicu atas munculnya berbagai resistensi tindakan
petani menyangkut persoalan tanah mereka. Hal ini terjadi karena 1) Negara yang harus menjadi pelindung dan
pengelola konflik justru mereduksi dan mengalienisasi kekuatan-kekuatan rakyat dalam pembangunan, 2)
tindakan dalam pengelolaan konflik yang lebih cenderung represif non institusional, mengindikasikan perubahan
dan pergeseran hubungan itu. Perspektif ini menarik, untuk mencari akar filosofis kekuasaan yang dipahami oleh
petani Jenggawah, yang seharusnya dimanifestasikan dalam wujud melindungi dan mengatur konflik. Harapan ini
selalu muncul, bahwa keadilan, konsistensi hukum, peran membina masyarakat, menjadi harapan konkret untuk
diterapkan sebagai formulasi upaya negara menyelesaikan konflik.

Pertanyaan Diskusi

A Konflik Tanah di Jenggawah


1 Coba dijelaskan latar belakang terjadinya konflik di Jenggawah?
2 Termasuk tipologi yang mana konflik yang terjadi di Jenggawah?
3 Sebutkan dan jelaskan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam konflik tersebut?
4 Bagaimana mekanisme penyelesaian konflik tanah di jenggawah, dan apa peran pemerintah dalam
menyelesaikan konflik tersebut?
5 Menurut anda, bagaimana peluang (potensi) terjadinya konflik kembali dari hasil penyelesaian
sekarang?

Page 23 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

INTERAKSI SOSIAL UMAT BERAGAMA PADA TIGA DESA PERTANIAN DI KECAMATAN TANJUNG MORAWA:
Upaya Menemukan Strategi Penguatan Kerukunan Umat Beragama Berbasis Sosial dan Ekonomi
Chuzaimah Batubara, dkk

Tujuan Pembelajaran 6. Pembahasan : Kegiatan Pertanian Sebagai Basis


1. Pendahuluan Kerukunan Umat Beragama
2. Kerangka Analisis 7. Kesimpulan
3. Latar Belakang Sosio-kultural 8. Pertanyaan Diskusi
4. Jaringan Sosioekonomi Umat Beragama
5. Pusat-pusat Interaksi Antarumat Beragama

Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu :
1
1 Mampu menjelaskan latar belakang interaksi sosial umat beragama pada tiga desa pertanian di
kecamatan tanjung morawa
2 Mampu menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial umat beragama di desa pertanian
Kecamatan Tanjung Morawa
3 Menjelaskan Latar Belakang Sosio-kultura, Jaringan Sosioekonomi Umat Beragama, Pusat-pusat
Interaksi Antarumat Beragama
4 Mengetahui dan menjelaskan pola-pola interaksi sosial antarkelompok-kelompok keagamaan dari
waktu ke waktu sesuai perkembangan sejarah sosial umat beragama di Kecamatan Tanjung Morawa
5 Mengetahui dan menjelaskan cara-cara masyarakat dan peran institusi-institusi sosial dalam
mengelola interaksi sosial antarkelompok keagamaan, baik dalam mengelola konflik yang terjadi
sewaktu-waktu, maupun dalam meningkatkan kualitas kerukunan antarkelompok.

Pendahuluan
Pada masyarakat primordial, suku dan agama dianggap sebagai dasar utama dalam pengelompokan
sosial. Karena itu, tidak dapat dihindari bahwa pembentukan komunitas-komunitas di dalam masyarakat selalu
saja mengacu pada kesamaan atau perbedaan suku dan agama. Lebih jauh, sikap dan perilaku sosial juga banyak
ditentukan oleh kesamaan dan perbedaan suku dan agama tersebut. Orang akan selalu saja mengelompokkan
teman sesuku atau seagama sebagai “our” (kita, minna, in-group) sedangkan orang yang berbeda suku atau
agamanya sebagai “they” (mereka, minhum, out group). Ini sudah menjadi fakta sosial yang dianggap sebagai
fenomena alamiah dan diterima sebagai sesuatu yang seharusnya demikian. Berdasarkan alasan inilah, harus
diakui bahwa aspek kesukuan dan keyakinan agama menjadi sekat psikologis yang dapat menciptakan jarak sosial
antara satu sama lain di dalam masyarakat.
Berdasarkan penelitian dan pengamatan di daerah-daerah multietnik dan agama, diketahui bahwa
perbedaan suku dan agama selalu saja menjadi faktor penting dalam menciptakan pembedaan antara satu
komunitas dengan komnitas lainnya. Walaupun demikian halnya, ternyata pola hubungan antara kelompok-
kelompok berbeda agama tidak selalu persis sama di setiap daerah. Ada daerah yang rawan konflik, sehingga
sedikit saja persoalan muncul maka dengan mudah bermuara kepada disintegrasi, tetapi ada pula daerah
tertentu yang mampu mengelola perbedaan menjadi basis bagi terbentuknya kerukunan yang harmonis. Jadi
pada dasarnya, relasi sosial antarumat beragama sangat tergantung pada faktor kondisional dan upaya-upaya
yang dilakukan untuk membangun hubungan antara komunitas-komunitas yang berbeda.
Penelitian ini bermaksud untuk memahami lebih dalam pola-pola interaksi sosial kelompok-kelompok
keagamaan di desa pertanian yang multietnik dan agama. Secara spesifik, penelitian akan menelusuri lebih jauh
fungsi institusi-institusi pertanian dalam menciptakan jaringan sosial yang kuat sehingga mampu mewujudkan
pola-pola relasi sosial yang rukun dan harmonis. Dengan demikian, maksud penelitian tidak hanya untuk
Page 24 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
menemukan bagaimana keadaan interaksi sosial umat beragama, melainkan juga untuk mencermati strategi-
strategi sosial dalam membentuk pola-pola interaksi tersebut.
Lokasi penelitian dipilih pada tiga desa pertanian sawah di Kecamatan Tanjung Morawa. Dasar pemilihan
tiga desa ini bertolak dari pengamatan, bahwa di daerah tersebut telah tercipta kerukunan yang tumbuh secara
“alamiah”. Kerukunan yang ada di tiga desa tersebut jelas bukan timbul dengan sendirinya, dan sangat beralasan
jika dikatakan bahwa apa yang terlihat sekarang ini adalah hasil dari proses interaksi dan aksi serta peran yang
telah dan sedang dimainkan oleh aktor yang ada termasuk sesuatu yang tersembunyi (invisible hand). Lebih jauh,
dapat dikatakan bahwa penduduk tiga desa ini adalah para pendatang dari berbagai daerah, khususnya Tapanuli,
Karo, dan Pulau Jawa, yang berintegrasi dalam suatu model kehidupan pertanian. Karena itu sejarah pertemuan
antara berbagai etnik dan penganut agama masih mungkin ditelusuri ke belakang.
Pokok masalah penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam satu bentuk pertanyaan sebagai berikut:
“Bagaimana strategi-strategi pengelolaan interaksi sosial antarkelompok keagamaan untuk memperkuat
kerukunan di desa-desa pertanian”.
Lebih spesifik, pokok pembahasan meliputi tiga hal penting tentang kerukunan umat beragama. Pertama,
deskripsi pola-pola hubungan antarkelompok keagamaan dalam perkembangan sejarah, serta cara-cara yang
ditempuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi; kedua, deskripsi tentang strategi-strategi
pengembangan kerukunan hidup umat beragama dengan berbasis pada kegiatan sosio-ekonomi; dan ketiga,
rumusan tentang strategi pembinaan kerukunan hidup antarumat beragama yang dapat dikembangkan ke depan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi kerukunan hidup umat beragama yang terjadi
pada tiga desa pertanian di Kecamatan Tanjung Morawa. Kemudian secara lebih rinci tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pola-pola interaksi sosial antarkelompok-kelompok keagamaan dari waktu ke waktu
sesuai perkembangan sejarah sosial umat beragama di Kecamatan Tanjung Morawa.
b. Untuk mengetahui cara-cara masyarakat dan peran institusi-institusi sosial dalam mengelola interaksi sosial
antarkelompok keagamaan, baik dalam mengelola konflik yang terjadi sewaktu-waktu, maupun dalam
meningkatkan kualitas kerukunan antarkelompok.
c. Untuk menemukan strategi pengembangan kerukunan yang feasible dan applicable bagi masyarakat
majemuk di pedesaan yang berbasis pada sosio-ekonomi pertanian.

Kerangka Analisis
Ada tiga landasan teoritik yang dijadikan dasar untuk membangun kerangka analisis dalam penelitian ini.
Ketiga dasar teoritik itu adalah teori Caser tentang konflik sebagai dasar penguatan kerukunan, teori Blake
tentang pola-pola interaksi yang mungkin timbul ketika terjadi konflik, dan teori Hassan Hanafi tentang tiga aspek
yang perlu dikritisi dalam mencari strategi penguatan hubungan antarumat beragama. Dua teori pertama akan
dijadikan sebagai landasan untuk mengamati proses-proses yang terjadi di wilayah penelitian, sedangkan teori
terakhir digunakan sebagai dasar pemikiran dan pendekatan dalam memahami content yang mungkin
dikembangkan ke depan sebagai dasar perumusan strategi pengembangan kerukunan berbasis sosio-ekonomi.

1. Konflik sebagai dasar penguatan kerukunan; Dalam sejarah interaksi sosial antarkelompok, konflik adalah
suatu realitas sosial yang tidak dapat dihindari. Konflik itu merupakan suatu yang inheren di dalam
masyarakat. Namun demikian, dari perspektif sosiologis, konflik antara dua kelompok --yang terjadi sewaktu-
waktu—dinilai cukup penting dalam memperkuat kerukunan. Sebagaimana dinyatakan oleh Caser (1956),
konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat membawa ke arah integrasi dalam berbagai bentuk termasuk
berkembangnya batas-batas sosial, terciptanya ketenteraman masyarakat, dan berkembangnya struktur
masyarakat yang lebih kompleks. Merujuk pada teori Caser ini, pengelolaan konflik menjadi kata kunci yang
penting dalam membangun kerukunan. Cara-cara tertentu yang dilakukan elit-elit sosial akan memberikan
kotribusi yang besar dalam proses interaksi menuju terciptanya kerukunan atau konflik berkepanjangan. Jadi,
jika kelompok-kelompok yang berkonflik mampu mengelola konflik itu sebagai dasar untuk membangun

Page 25 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
kerukunan, maka dengan sendirinya akan muncul pola baru hubungan antarkelompok. Demikian seterusnya,
setiap muncul konflik baru akan memunculkan pola kerukunan yang baru.
2. Sikap sosial terhadap konflik; Secara teoritik, seperti dikemukan Blake, Shepard, dan Mouton (1964) terdapat
tiga kategori kemungkinan dalam pengelolaan konflik oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya: (1) konflik
tidak dapat dihindarkan, tetapi persetujuan tidak dimungkinkan; (2) konflik dapat dihindarkan, tetapi
persetujuan tidak dimungkinkan; dan (3) meskipun ada konflik, persetujuan dimungkinkan. Berkaitan dengan
tiga perangkat sikap itu, dapat diperkirakan karakteristik tindakan yang akan terjadi bergantung pada
taruhan-taruhan yang muncul saat tertentu. Apabila orang-orang merasa bahwa konflik tidak dapat
dihindarkan dan persetujuan juga tidak dimungkinkan, perilaku mereka boleh jadi akan pasif atau sangat
aktif. Tindakan mereka akan cenderung pasif dan membiarkan nasib yang memutuskan konflik tersebut jika
taruhannya rendah. Tetapi bilamana taruhannya cukup besar, mereka akan memperkenankan campur tangan
pihak ketiga untuk memutuskan konflik tersebut. Akhirnya, bilamana taruhan itu tinggi, mereka akan
melibatkan diri secara aktif dalam konfrontasi menang-kalah atau dalam perjuangan memperebutkan
kekuasaan.
3. Analisis intelektual terhadap konflik: Hassan Hanafi dalam karya kontrovesialnya berjudul Religious Dialoge
and Revolution, menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan sebagai usaha kinerja intelektual: Pertama,
melakukan kritik historis, yaitu kritik yang dilakukan terhadap sejarah hingga ditemukan motivasi orisinil yang
mengonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, kritik eidetik, yaitu krititk yang dilakukan terhadap kitab suci
untuk mendapatkan orisinalitas pesan-pesan Tuhan dan bukan pesan-pesan yang dimanipulasi manusia. Dan
ketiga, kritik praxys, yaitu kritik yang dilakukan terhadap bentuk aksi keberagamaan yang selama ini
berlangsung hingga ditemukan formula aksi yang orisinil pula. Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-
integralistik, tidak bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis. Ketiganya
merupakan piranti paradigma yang "mumpuni" dalam melakukan kinerja intelektual yang mengkaji
kemandulan cara pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme.
Berdasarkan tiga teori tersebut, disusun kerangka analisis yang akan diterapakan dalam penelitian ini.
Kerangka analisis dimaksud adalah:

1. Bahwa pertemuan yang cukup panjang antar kelompok-kelompok keagamaan di kecamatan Tanjung Morawa
telah melampaui banyak peristiwa yang dipandang berkaitan dengan proses interaksi sosial di antara mereka.
Dalam proses interaksi dimaksud terdapat fase-fase genting dan kritis yang dapat melemahkan serat-serat
kerukunan, dan terdapat pula peristiwa-peristiwa atau kegiatan-kegiatan yang dipandang memperkuat
kerukunan.
2. Bahwa tokoh-tokoh lokal telah melakukan banyak tindakan dalam mengatasi persoalan-persoalan hubungan
sosial di antara kelompok-kelompok keagamaan. Tindakan-tindakan itu diasumsikan amat beragam, baik yang
berkaitan dengan upaya penyelesaian konflik maupun yang berkaiatan dengan penguatan kerukunan. Semua
tindakan tersebut bernilai untuk diinventarisis, diseleksi dan kemudian dirumuskan kembali untuk
memperoleh strategi pengembangan kerukunan hidup umat beragama yang visible dan applicable ke depan.
3. Dalam penelitian ini, strategi pengembangan kerukunan dipahami sebagai cara-cara pengorganisasian
masyarakat agar terwujud sistem sosial yang padu, kuat dan produktif. Di sini, sasaran pengelolaan tidak
hanya pada penanganan persoalan konflik, tetapi juga pada aktivitas yang berorientasi pada konstruksi
solidaritas yang kuat. Dengan demikian, strategi-strategi pengembangan kerukunan yang ingin digali dan
dirumuskan disesuaikan dengan kondisi sosial yang sedang dihadapi. Berikut dikemukakan gambaran umum,
strategi-strategi yang mungkin ditemukan dan dirumuskan kembali dihubungkan dengan kondisi hubungan-
hubungan sosial yang terjadi.

Page 26 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

No Kondisi hubungan sosial Strategi Pengembangan Kerukunan

1 Konflik terbuka antarkelompok Strategi dan cara-cara yang ditempuh untuk


keagamaan memperbaiki hubungan antar kelompok, sehingga
tidak tampak lagi gejala permusuhan.

2 Konflik laten antarkelompok, seperti Strategi dan cara-cara menghilangkan sikap-sikap


saling curiga dan tampak tidak akrab. negatif terhadap kelompok lain dan menumbuhkan
sikap saling mempercayai.

3 Hubungan antarkelompok keagamaan Strategi dan cara-cara menciptakan sistem sosial


berlangsung normal, tetapi tidak yang terorganisir dengan baik, saling membantu, dan
menghasilkan kerja-kerja produktif. selalu bekerja-sama untuk menolong orang lain
tanpa diskriminasi.

4 Hubungan antarkelompok sudah Strategi dan cara-cara untuk membuat hubungan


sampai pada taraf kerjasama yang baik kerjasama lebih produktif serta dapat mempercepat
proses akulturasi dan asimilasi yang intens
antarkelompok.

4. Bahwa untuk menemukan strategi pengembangan kerukunan berbasis ssosio-ekonomi diperlukan pengkajian
secara intelektual terhadap hal-hal yang berkembang di tengah masyarakat. Untuk maksud ini diperlukan
suatu pendekatan inteleketual untuk; (a) mengkaji secara kritis pola-pola pemahaman umat beragama
terhadap perkembangan historis hubungan antarumat beragama pada masa lalu, (b) mengkaji secara kritis
pola-pola pemahaman keagamaan yang hidup pada masing-masing penganut agama, dan (c) mengkaji secara
kritik sikap-sikap sosial dan tindakan-tindakan umat beragama, baik dalam kelompok terbatas maupun
bersama-sama, yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan penguatan dan pelemalahan jaringan
kerukunan hidup umat beragama.

Interaksi Sosial Umat Beragama Pada Tiga Desa Pertanian

Latar Belakang Sosio-kultural


Wilayah sekitar kota Lubuk Pakam, yang meliputi sebagian kecamatan Tanjung Morawa, kecamatan
Lubuk Pakam, dan kecamatan Perbaungan merupakan area persawahan yang menjadi lumbung padi bagi
Kabupaten Deli Serdang. Pada zaman penjajahan, tanah yang membentang luas di sekitar Lubuk Pakam menjadi
lahan perkebunan tembakau yang dikelola oleh pemerintah kolonial Belanda. Banyak penduduk dari Pulau Jawa
yang bekerja di perkebunan ini, sebagai kuli kontrak. Tetapi kemudian, setelah kolonial Belanda keluar dari
Indonesia, yang kemudian diganti oleh penjajah Jepang, kebun tembakau di daerah ini banyak yang tidak terurus.
Akibatnya, sejumlah areal perkebunan menjadi terlantar dan menjadi hutan dan rawa-rawa yang ditumbuhi
rumbia.
Diperkirakan, pada masa menjelang masa akhir penjajahan Belanda di Indonesia, orang-orang Melayu
sudah memasuki daerah ini dan menetap di sana dalam sebuah kampung kecil, bernama Batang Kunyit --sekitar 5
Km dari Jalan Lintas Sumatera ke arah Batang Kuis. Populasi Melayu yang tinggal di sini tidak banyak, sekitar 15
sampai 20 keluarga. Namun tentu, sebagai penduduk asli setempat, mereka merasa bahwa tanah yang luas

Page 27 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
membentang dari Lubuk Pakam sampai ke Batang Kuis adalah milik mereka, yang kemudian oleh pemerintah
kolonial Belanda dijadikan sebagai kebun tembakau. Selain orang-orang Melayu, penghuni daerah ini adalah dari
etnis Jawa yang didatangkan oleh pemerintah Belanda sebagai kuli kontrak untuk mengerjakan kebun tembakau
yang cukup luas. Berdasarkan penuturan Mbah Sari (80 tahun), ia sendiri adalah orang yang bermigrasi (bersama
orangtua) dari Jawa Tengah ke daerah ini pada tahun 1939. Mereka dipekerjakan mengelola kebun tembakau dan
ditempatkan di Desa Penara Kebun, sekitar 4 Km ke arah utara dari jalan lintas Sumatera. Berat dugaan, pada
tahun 1939 itu adalah masa terakhir rombongan transmigran Jawa memasuki daerah Lubuk Pakam. Dengan
demikian, dapat dipastikan bahwa sebelum masa kemerdekaan telah terdapat dua kelompok etnis yang
bermukim di daerah ini, yaitu etnis Melayu sebagai penduduk asli dan etnis Jawa sebagai kuli kontrak yang
didatangkan dari Pulau Jawa.

Tanah kosong yang membentang luas di daerah Lubuk Pakam ini memiliki daya tarik tersendiri bagi etnis
lain, terutama dari daerah Tapanuli. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di lapangan, sekitar tahun 1948
orang-orang dari Tapanuli mulai memasuki daerah ini sebagai penggarap. Pada ketika itu, perantau dari Toba,
Tapanuli Selatan dan Karo –yang dikenal cukup ulet, melakukan penggarapan terhadap tanah-tanah kosong dan
mengolahnya menjadi lahan persawahan tadah hujan. Masing-masing mengambil lahan antara 1 sampai 2
hektare. Melihat perkembangan baru itu, orang-orang Jawa yang tinggal di desa Penara Kebun terpanggil untuk
ikut menggarap tanah kosong. Mereka, yang pada awalnya hanya memanfaatkan tanah kosong yang ada sekitar
pemukiman sebagai lahan sayuran untuk memenuhi keperluan sehari-hari, kemudian memperluas garapan dan
menjadikannya sebagai sawah. Menurut penuturan Misran (63 tahun) salah seorang informan di Desa
Perdamean, orang-orang Jawa memilih tanah garapan di sekitar pemukiman mereka, sedang orang-orang yang
datang dari Toba menggarap di tengah dan orang-orang dari Tapanuli Selatan menggarap sekitar jalan raya.
Sebagian dari mereka itu ada yang tinggal di Lubuk Pakam, dan sebagian lain ada yang membuat rumah-rumah
sederhana di tanah garapannya. Ditambahkannya pula, bahwa kedatangan perantau dari Tapanuli itu tidak
berlangsung sekaligus, melainkan datang secara bergelombang sampai tahun 1952.

Tidak diperoleh data yang pasti berapa banyak jumlah penggarap pertama dari orang-orang Tapanuli dan
Karo. Namun, sebagian besar yang menetap sekarang adalah pendatang belakangan, sebagai penggarap generasi
kedua setelah tahun 1950. Hal ini berkaitan dengan jabatan Gubernur Sumatera Utara yang ketika itu dijabat oleh
Abdul Hakim Harahap. Sebab, berdasarkan asal-usul para perantau dari Tapanuli Selatan yang datang ke daerah
ini adalah berasal dari sekitar kampung asal gubernur, yaitu dari daerah Pasar Matanggor, Kecamatan Sosopan
sekarang. Orang-orang yang datang belakangan itu tentu tidak lagi menggarap tanah kosong, tetapi menjadi
penggarap generasi kedua setelah membelinya dari penggarap pertama.

Keterangan di atas menginformasikan bahwa daerah subur di sekitar Lubuk Pakam telah dihuni oleh
berbagai macam suku sejak tahun 1948. Mereka itu adalah dari suku Jawa, Batak Toba, Batak Angkola, dan Karo.
Sampai sekarang keempat suku atau subetnis ini menjadi penduduk utama di daerah tersebut. Pendatang baru
yang masuk ke daerah ini juga umumnya adalah orang-orang dekat dari penggarap awal, sehingga penduduk di
daerah ini menjadi terpola sedemikian rupa. Sejak awal para penggarap lahan persawahan membentuk
komunitas-komunitas yang menjurus pada pengelompokan sosial berdasarkan primordialisme kesukuan dan
keagamaan. Konsekwensinya, struktur pemukiman penduduk menjadi terpola sesuai dengan area tanah garapan
mereka, di mana orang-orang Jawa terkonsentrasi di sekitar Desa Penara Kebun, orang-orang Batak Toba dan
Karo di bagian tengah, dan orang-orang Batak Angkola di pinggiran jalan besar. Hal ini terbukti dari pola
pemukiman pada tiga desa yang cenderung segregatif antara satu kelompok umat beragama atau etnis tertentu.
Sekarang, setelah jumlah penduduk semakin besar, dan sistem administrasi membagi wilayah pada 4 desa, maka
orang-orang Jawa banyak yang masuk ke wilayah Desa Wonosari dan desa Perdamean, orang-orang Batak Toba
terbagi pada dua desa Perdamean dan Wonosari, serta orang-orang Angkola/Mandailig lebih terkonsentrasi ke
arah bagian selatan jalan raya, yang belakangan menjadi kampung tersendiri, yaitu Desa Tanjung Mulia.

Page 28 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

No Subetnis dan Agama Nama Desa Konsentrasi Pemukiman


1 Jawa – Islam Tanjung Mulia Dusun 1
Perdamean Dusun 2, 3, 4, 5, 10, 11.
Wonosari Dusun 2, 3, 4, 5, 6, 7.
2 Batak Angkola/ Mandailing – Tanjung Mulia Dusun 2, 3, 4.
Islam Perdamean Dusun 5
Wonosari -
3 Batak Toba dan Karo – Kristen Tanjung Mulia -
Perdamean Dusun 1, 6, 7, 8, 9.
Wonosari Dusun 1, 8, 9, 10, 11, 12.

Boleh dikatakan bahwa hampir semua penduduk usia produktif (angkatan kerja) yang ada di tiga desa
terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan pekerjaan pertanian sawah. Sekalipun terdapat sejumlah
penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri, TNI/POLRI, pedagang, buruh pabrik dan bangunan, namun secara
umum mereka terlibat dalam pekerjaan pertanian sawah. Dengan demikian, hampir semua penduduk di desa ini
terikat dengan kehidupan pertanian.

Jaringan Sosioekonomi Umat Beragama


Sekalipun pemukiman penduduk bersifat segregatif berdasarkan suku dan agama, namun warga tiga
desa memiliki jaringan interaksi yang cukup kompleks. Dalam jaringan tersebut tercipta relasi-relasi sosial dan
komunikasi silang-saling, baik antarindividu maupun antarkomunitas, seolah membentuk jaring laba-laba, di
mana satu sama lain saling berhubungan. Hal yang cukup menarik adalah ternyata perbedaan suku dan agama
tidak menjadi kendala bagi masyarakat untuk beritegrasi satu sama lain.
Pada dasarnya sistem jaringan yang tercipta di tengah masyarakat petani berakar pada kondisi kehidupan
sosial-ekonomi yang saling-membutuhkan antara satu sama lain. Kondisi itu malah dapat dikategorikan sebagai
saling-ketergantungan. Karena banyaknya kebutuhan pada orang lain dalam mengelola sawah, dengan
sendirinya interaksi antarindividu dan antarkomunitas berlangsung secara alamiah. Tidak ada satu kelompok pun
yang mampu menjalankan usaha pertanian tanpa bantuan dari pihak lain. Jadi, ketergantungan pada yang lain
menjadi faktor penting dalam membentuk jaringan sosial yang kompleks di dalam masyarakat.
Pergaulan sosial di tengah masyarakat pertanian sawah dapat dikatakan sebagai pola pergaulan yang
berlangsung secara alamiah. Pola pergaulan itu terbentuk karena kondisi kehidupan yang saling membutuhkan.
Ketika kegiatan pengelolaan pertanian tersebut masih dilakukan secara manual, para petani mengembangkan
strategi pengelolaan dengan suatu sistem tersendiri yang bersifat kolektif. Sistem kerja secara kolektif ini pada
esensinya adalah suatu sistem pengelolaan sawah dengan cara bergotong-royong, yang dalam tradisi masyarakat
Sumatera Utara disebut dengan istilah yang berbeda, seperti “marsiadapari” atau “marsiurupan” (Batak Toba),
“marsialapari” (Angkola), “aron” (Karo), dan sambatan (Melayu). Sistem kerja semacam ini, pada masa lalu, tidak
saja berguna dalam menyelesaikan pekerjaan besar –di mana satu sama lain saling membutuhkan bantuan orang
lain, tetapi juga bermakna penting dalam memperkuat integrasi antaranggota masyarakat.

Pada era teknologi pertanian yang semakin maju seperti saat saat sekarang ini, ketika tenaga manusia
banyak digantikan oleh alat-alat pertanian, kebutuhan pada bantuan pihak lain malah semakin meningkat. Hanya
bentuknya yang berbeda, di mana pada masa lalu dilakukan secara gotong royong (imbal jasa) sekarang
dilaksanakan dalam bentuk bayaran material. Sebab seorang petani yang sedang menghadapi pekerjaan besar
yang perlu diselesaikan dalam waktu singkat tetap meminta bantuan pemilik alat pertanian dan tenaga kerja
bayaran. Dengan demikian, pada prinsipnya semangat “saling ketergantungan” antara satu sama lain tetap
Page 29 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
terpelihara. Itulah ciri kehidupan masyarakat petani, di mana pergaulan sesama mereka berjalan di atas kondisi
saling ketergantungan itu. Pola pergaulan semacam ini selalu mempresentasikan integrasi yang kuat antara satu
sama lainnya.

Jaringan sosial dan ekonomi yang terbangun berdasarkan kondisi saling-membutuhkan tersebut dapat
digambarkan sebagaimana figur berikut:

Figur: Jaringan Petani Sawah Berdasarkan Kebutuhannya

Figur ini tidak dimaksudkan untuk membagi penduduk ke dalam berbagai jenis pekerjaan, sebab semua
mereka itu adalah petani sawah juga. Fungsi, jabatan atau pekerjaan, baik sebagai penyewa sawah, pemilik
traktor/grendel, buruh tani, pekerja lelesan, pengusaha warung kopi, penjual pupuk, penarik ojek mupun
pengusaha kilang padi, adalah atribut tambahan. Dengan demikian, mereka yang memiliki atribut tambahan ini
tetap memiliki kebutuhan pada yang lain sebagaimana seorang petani.
Untuk menjelaskan bagaimana kebutuhan seorang petani terhadap yang lain dalam mengelola sawah
dapat diringkas ke dalam bentuk tabel berikut:
No Jenis Kegiatan Pemberi Jasa Bentuk jasa yang diberikan
1 Pembajakan sawah Pemilik Traktor Membajak sawah sampai dapat ditanami

2 Penanaman padi Buruh tani Menanam padi di sawah


Pengusaha warung kopi dan Menyediakan makanan dan minuman
nasi bagi buruh tani
3 Perawatan padi Penjual Pupuk Menyediakan pupuk dan racun hama
Koperasi/rentenir Dana pinjaman
Buruh tani Menebar pupuk dan racun hama
4 Panen Pemilik grendel Menuai dan merontokkan padi dari
Buruh tani rantingnya
Pengusaha Warung Kopi Menyediakan makanan dan minuman
dan Nasi bagi buruh tani
5 Penyediaan air P3A Membersihkan dan memperbaiki tali air
6 Penjualan hasil Agen padi Membeli gabah
7 Penggilingan padi Pengusaha Kilang Menggiling padi
8 Pengaturan kegiatan Kelompok Tani Mengatur pola tanam dan tertib tanam
pertanian

Page 30 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Satu hal yang menarik adalah keterlibatan semua komunitas etnis dan penganut agama ke dalam satu
sistem jaringan yang padu. Dalam sistem jaringan tersebut terjadi sinergi antara komunitas yang berbeda etnis
dan agama, sehingga setiap komunitas adalah bagian dari sistem tersebut. Lebih dari sekedar kesatuan dalam
sistem, ternyata di sana, khususnya di desa Perdamean dan Wonosari, terjadi semacam konvensi pembagian
fungsi dan peranan. Pembagian dimaksud terlihat dari kepemilikan terhadap alat-alat pertanian dan
kecenderungan dalam memilih pekerjaan. Beberapa kecenderungan itu adalah; (1) pemilik traktor dan grendel
(perontok padi) adalah orang-orang dari etnis Jawa, sedangkan pemilik kilang padi adalah orang-orang dari etnis
Batak Toba; (2) Umumnya buruh tani adalah dari etnis Jawa, sedangkan penjual pupuk dan obat-obatan dari etnis
Batak Toba; (3) Buruh tani perempuan biasanya hanya terlibat dalam pekerjaan menanam padi, sedangkan buruh
tani laki-laki terlibat dalam pekerjaan memanen; dan (4) Pekerja lelesan adalah kaum perempuan (ibu-ibu), tidak
melibatkan kaum laki-laki.
Bertolak dari sistem jaringan tersebut sudah dapat dipastikan bahwa interaksi antarumat beragama
selalu terjadi pada proses pengelolaan pertanian. Ketika seorang petani Kristen, misalnya, sedang menanam atau
memanen padi, sudah pasti ia membutuhkan jasa buruh tani yang notabene adalah orang-orang Jawa yang
beragama Islam, serta ia harus pula membutuhkan jasa pengusaha warung (yang juga Muslim) untuk
menyediakan makanan/ minuman mereka. Sebaliknya, ketika seorang petani Muslim membutuhkan pupuk dan
menggiling padi hasil panenya sudah pasti ia membutuhkan jasa orang-orang Kristen. Demikian seterusnya,
sistem jaringan itu benar-benar membentuk suatu interaksi yang cukup intensif antarkomunitas umat beragama.
Sisi lain yang mendasari pembentukan jaringan sosial di tiga desa penelitian adalah asal-usul umat
beragama dilihat dari ragam suku atau etnisnya. Polarisasi agama yang dianut oleh orang-orang Batak Toba dan
Karo ke dalam Kristen dan Islam ternyata berfungsi sebagai modal potensial bagi penguatan jaringan sosial
antarumat beragama. Di sini orang-orang Muslim Karo dan Muslim Toba dinilai menempati posisi tengah yang
dapat menjembatani hubungan antara dua kelompok penganut agama yang berbeda. Dari perspektif budaya,
para Muslim Karo dan Toba ini cukup dekat dengan orang-orang Karo dan Toba yang Kristiani, tetapi juga dari
perpspektif agama orang-orang Muslim Karo atau Toba ini cukup dekat orang-orang Angkola/Mandailing dan
Jawa. Sementara pada sisi lain hubungan antaretnis Toba/Karo yang Muslim dengan etnis Jawa dan
Angkola/Mandailing diperkuat pula dengan asimiliasi melalui perkawinan silang. Jadi dengan adanya polarisasi
agama dari kalangan etnis Karo dan Toba dan perkawinan antaretnis semakin memperkuat sistem jaringan sosial
di tengah masyarakat.

Pusat-pusat Interaksi Antarumat Beragama


Pada umumnya interaksi sosial antarindividu di pedesaan cukup intens. Karena intensifnya interaksi itu,
pengenalan mereka antara satu sama lain tidak hanya sebatas nama dan alamat, melainkan sangat mendalam.
Setiap waktu mereka berkomunikasi secara langsung (tatap muka), saling-menyapa, mengobrol panjang-lebar,
dan bercerita dalam banyak hal tentang kehidupan. Sebagian besar dari waktu senggang masyarakat desa adalah
digunakan untuk berinteraksi dengan kerabat, tetangga dan atau teman sekampung.
Seperti lazimnya daerah pedesaan, tiga desa pertanian yang menjadi subyek penelitian ini juga memiliki
kebiasaan untuk berinteraksi antara satu sama lain. Di sana terdapat sejumlah institusi pertanian dan non-
pertanian yang berfungsi sebagai pusat interaksi. Sebagaimana lazimnnya masyarakat desa, satu hal yang tidak
pernah ditinggalkan ketika bertemu antara satu sama lain pada pusat-pusat interaksi tersebut adalah mengobrol.
Institusi yang menjadi pusat-pusat interaksi pada tiga desa ini serta kegiatan yang dilaksanakan di sana adalah
seperti yang terangkum dalam tabel berikut.

Page 31 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
No Institusi / Pusat Interaksi Kegiatan

1 Sawah  Gotong Royong perbaikan tali air

2 Kedai Kopi  Minum kopi

 Main Catur, Main Trup Gembir

3 Pangkalan ojek (RBT)  Menunggu penumpang

4 Kilang Padi  Menggiling padi

 Jual-beli padi/beras

5 Kantor / Balai Desa  Urusan administrasi

 Rapat-rapat

6 Pesta Perkawinan/ Sunatan  Menghadiri pesta

 Mengirim punjungan

 Memberi kado

7 Tempat Orang Meninggal / sakit  Melayat/mengurus jenazah

 Memberi bantuan

 Memberi kata sambutan

 Mengantar ke kuburan

8 Group Buruh Tani  Mengerjakan sawah bersama-sama

9 Hari Raya Agama  Mengirim Kue Lebaran

 Kunjungan Silaturrahmi

10 Pangkalan Minyak/ kedai  Transaksi kebutuhan sehari-hari


sampah/kios

11 P3A /Kelompok Tani  Penyuluhan

 Penyebaran informasi (selebaran)

12 PKK  Arisan Ibu-ibu

 Penyuluhan

Dari sejumlah institusi dan pusat interaksi tersebut, warung kopi merupakan titik sentral yang paling
penting dalam interaksi sosial di tiga desa penelitian. Di sana, warung kopi dapat dikatakan sebagai pusat
interaksi yang sangat penting di masyarakat, karena cukup banyak dikunjungi oleh kaum laki-laki dan perempuan
dari semua usia dan lapisan masyarakat. Pada warung kopi milik etnis Jawa biasanya dikunjungi oleh orang-orang
Page 32 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
dari berbagai agama. Karenanya, kelebihan warung kopi sebagai pusat interaksi terletak pada fungsinya semacam
ruang publik yang dapat dikunjungi secara bebas oleh siapa saja serta dapat dimanfaatkan untuk tempat
beristirahat dalam jangka waktu yang relatif lama. Warung kopi, selain berfungsi menyediakan minuman dan
makanan ringan, juga menjadi tempat bertukar pendapat, dan bahkan tempat untuk bermain. Tidak jarang
keputusan-keputusan dan kesepakatan-kesepakatan antarwarga diputuskan di warung kopi. Karena itu,
keberadaan warung kopi dapat mempertemukan orang-orang desa dari berbagai etnis dan agama, tidak saja
secara fisik, melainkan juga pemikiran, ide dan perasaan.

Melihat intensnya pertemuan-pertemuan warga masyarakat di warung kopi, maka suasana keakraban
dan semangat solidaritas juga sering terbangun di sana. Hal ini sangat memungkinkan karena orang-orang yang
datang ke sana umumnya adalah untuk rileks, setelah lelah dari pekerjaannya. Sisi lain yang lebih membuat warga
menjadi akrab, selain kegiatan mengobrol di warung kopi, adalah kebiasaan untuk membayar minuman orang
lain. Suasana keakaraban itu lebih terasa lagi pada lapo tuak (bentuk lain warung kopi yang menjadi ciri khas
orang Batak Toba), di mana ketika ada orang yang membawa tambul (makanan khusus untuk mereka yang
minum tuak). Orang-orang yang terbiasa di lapo tuak ini menganggap tambul adalah simbol keakraban bagi
mereka yang rela menyediakannya. Jadi, fungsi warung kopi ini untuk membangun keakraban tampaknya sulit
digantikan oleh pusat-pusat interaksi lainnya.

Setelah warung kopi, pusat interaksi yang cukup penting di masyarakat pertanian adalah sawah, kedai
sampah, kantor desa, pangkalan ojek (RBT), kios pupuk, pangkalan minyak, dan jalan raya. Tampaknya pemilikan
dan pengusahaan lahan sawah yang (belakangan) tidak bersifat segregatif dapat menjembatani relasi sosial
antarumat beragama yang sempat diinterupsi oleh pola pemukiman penduduk yang bersifat segregatif. Demikian
juga halnya keberadaan kedai sampah, kantor desa, pangkalan ojek, dan kios pupuk dapat meleburkan
(sementara waktu) perbedaan-perbedaan etnis dan agama di dalam interaksi antara satu sama lain. Namun
demikian, fungsi pusat-pusat interaksi ini tidak lagi sekuat warung kopi, karena intensitas interaksi di tempat-
tempat ini sangat terbatas dan lebih banyak tercipta karena kepentingan rasional untuk menyelesaikan suatu
urusan atau pekerjaan tertentu dalam waktu yang relatif terbatas. Jadi, pusat-pusat interaksi ini lebih berfungsi
sebagai media pelengkap dalam memperkuat relasi sosial sesama warga desa.

Pusat interaksi yang lebih terbatas dan lebih longgar adalah rapat-rapat di balai desa atau sekolah,
kegiatan ibu-ibu PKK, kontak tani, penyuluhan pertanian, kunjungan silaturahmi, melayat orang meninggal atau
sakit, dan undangan pesta. Kontak sosial pada tempat-tempat ini tetap penting sebagai indikasi adanya relasi
sosial yang baik sekaligus menjadi media untuk mengukuhkan hubungan antara satu sama lain.

Berikut adalah skema pusat-pusat interaksi masyarakat dilihat dari fungsinya sebagai media pemersatu di
dalam masyarakat petani sawah pada tiga desa penelitian.

Figur: Warung Kopi sebagai pusat interaksi umat beragama pada tiga desa pertanian.
Page 33 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
Pembahasan

Kegiatan Pertanian Sebagai Basis Kerukunan Umat Beragama

Kegiatan pertanian sawah memiliki fungsi yang cukup penting dalam mempertemukan antara umat
beragama. Pada masyarakat petani sawah, ditemukan sejumlah institusi tradisional yang mendorong mereka
untuk melakukan interaksi antarindividu dan komunitas dengan frekuensi pertemuan yang tinggi. Intensitas
interaksi yang cukup tinggi di antara kelompok-kelompok etnis dan keagamaan ternyata mampu melebur sikap
primordial ke arah pola pergaulan yang lebih elegan dan toleran. Karena itulah masyarakat petani sawah pada
tiga desa di Kecamatan Tanjug Morawa mampu membangun kerukunan umat beragama.

Penegasan di atas mengindikasikan bahwa secara esensial, kerukunan umat beragama akan dapat
tercipta secara alamiah jika dibangun di atas fondasi yang konkrit. Fondasi dimaksud tidak saja berupa konsep
atau gagasan tetapi fakta sosial yang tumbuh di dalam masyarakat. Masyarakat desa pertanian, seperti yang
ditemukan pada tiga desa di Kecamatan Tanjung Morawa, tampaknya kebutuhan-kebutuhan dan saling-
ketergantungan antara petani merupakan fakta yang sangat konkrit yang dapat mempersatukan masyarakat. Hal
yang sama juga terjadi di daerah Sipirok, dimana hubungan darah, saling-ketergantungan dalam kegiatan budaya
dan ekonomi pertanian menjadi faktor perekat paling kuat di masyarakat.

Dibandingkan dengan teori dan pemikiran lainnya, pola penguatan kerukunan umat beragama yang
berbasis pada sosial-ekonomi memiliki kelebihan tersendri. Harus diakui, bahwa teori-teori dan pemikiran-
pemikiran mengenai kerukunan, seperti teori konflik dari kaum sosialisme, pemikiran pluralismedari ahli agama
dan gagasan etika global dari teolog Polisentris, proyek interkultural dari pemerintah Orde Baru, serta yang
terakhir pemikiran musltikulturalisme dinilai cukup penting dikembangkan untuk memperkuat kerukunan.
Sekalipun teori dan pemikiran tersebut cukup penting, namun upaya penguatan kerukunan umat beragama yang
berbasis pada fakta sosio-ekonomi tidak kurang pentingnya dari yang lain. Perbandingan penguatan kerukunan
antara pendekatan sosio-ekonomi dengan pemikiran teoritik lainnya dapat dipertegas ke dalam beberapa poin
berikut. Pertama, Pendekatan sosio-ekonomis bertolak dari kondisi obyektif yang hidup dan telah menjadi tradisi
yang mapan di masyarakat, sementara pendekatan teoritik lainnya dirumuskan secara elitis oleh para ahli,
sehingga dianggap asing oleh masyarakat awam. Kedua, pendekatan sosio-ekonomis merupakan fakta ril yang
dapat dipraktekkan secara langsung, sedangkan pendekatan teoritik lainnya lebih menekankan pada konsep-
konsep abstrak yang --banyak di antaranya-- sulit dipahami msyarakat. Ketiga, pendekatan sosio-ekonomis
dikembangkan berdasarkan kenyataan-kenyataan empiris dan selalu mempertimbangkan kebutuhan masyarakat,
sedangkan pendekatan teoritik lainnya dikembangkan melalui pengkajian-pengkajian filosofis dengan paradigma
yang dibangun sendiri oleh para ahli. Keempat, pendekatan sosio-ekonomis –bila dikemas dengan baik, dapat
memberdayakan masyarakat, baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun politik, sedangkan pendekatan teoritik
lainnya lebih mengedepankan pencerahan wawasan dan perubahan sikap sosial.

Sekalipun pendekatan sosio-ekonomis memiliki kelebihan dalam memperkuat kerukunan umat


beragama, namun pendekatan ini masih memiliki sejumlah kelemahan. Seperti yang ditemukan dalam penelitian
ini, kelemahan-kelemahan pendekatan sosio-ekonomis, antara lain adalah:

1. Kerukunan umat beragama tersebut bergerak dari kalangan awam yang tingkat kesalehan dan pemahaman
agama mereka masih kurang, sementara tokoh-tokoh agama hampir tidak berperan dalam proses interaksi
dan tidak memiliki hubungan yang erat antara satu sama lain (lihat figur di bawah). Di sinilah letak unsur
alamiah interaksi umat beragama di pedesaan yang berpenduduk majemuk, di mana proses interaksi sosial
tidak didasarkan pada perencanaan atau konsep-konsep yang disiapkan dari awal.

Page 34 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011

Keterangan:

a. Ketebalan warna melambangkan tingkat pemahaman dan kesalehan dalam beragama.


b. Kedekatan garis melambangkan kedekatan hubungan antar individu. Semakin dekat garis
penghubung semakin akrab dalam pergaulan, dan semakin jauh jarak antargaris semakin jauh
hubungan sosial.

2. Kerukunan umat beragama hampir tidak menyentuh persoalan agama, sehingga sangat rentan terjadi
deviasi-deviasi dari aturan normatif dan nilai-nilai agama.
3. Pengingkaran individu atau kelompok tertentu terhadap konvensi-konvensi sosial yang sudah mapan dapat
merusak tatanan kerukunan yang sudah terbangun. Hal ini sangat memungkinkan jika penguasaan suatu aset
dimonopoli oleh perorangan atau kelompok.
Strategi yang dapat dikembangkan ke depan untuk memperkuat kerukunan umat beragama yang
berbasis pada sosio-ekonomi adalah;

1. Pelibatan lebih intensif tokoh-tokoh agama dalam institusi-institusi atau organisasi-organisasi sosial-ekonomi.
Sedapat mungkin keterlibatan mereka dalam institusi/organisasi tersebut lebih diarahkan pada upaya
pemberdayaan masyarakat di bidang sosial, ekonomi, dan politik.
2. Perluasan ruang publik di mana semua lapisan masyarakat menjadi lebih bebas untuk berinteraksi, baik antar
generasi maupun antar penganut agama.

Kesimpulan

Perbedaan etnis dan agama bagi masyarakat petani sawah tidak merupakan penghalang dalam
berinteraksi. Di sini, institusi pertanian memiliki fungsi yang cukup penting melebihi institusi lainnya. Ketika
kebutuhan atas bantuan orang lain sangat kuat, dengan sendirinya sekat etnis dan agama menjadi tereliminasi.
Jadi, sekalipun faktor-faktor perbedaan agama tidak dapat dipupus dari pikiran masyarakat, namun kebutuhan
untuk menyelesaikan tugas-tugas pertanian tetap berada di atasnya. Betapa tidak, seperti yang ditemukan dalam
penelitian ini, seorang petani Kristiani, misalnya, suka atau tidak harus meminta bantuan buruh tani yang
notabene adalah orang Jawa Muslim. Sebaliknya, seorang petani Jawa yang muslim, suka atau tidak harus
memanfaatkan kilang padi milik Kristen untuk menggiling padinya. Hubungan simbiosis mutualistis merupakan
faktor penting dalam membangun integrasi sosial yang solid di tengah masyarakat plural.

Pendekatan sosio-ekonomi merupakan alternatif lain yang dikembangkan untuk memperkuat kerukunan
umat beragama. Pendekatan ini cukup penting karena dibangun berdasarkan kebutuhan faktual masyarakat. Inti
dari kekuatan pendekatan ini adalah pada sifat alamiah interaksi sosial. Ke depan, perlu pengkajian lebih lanjut

Page 35 of 36
Mata Kuliah / MateriKuliah Brawijaya University 2011
konsep-konsep penguatan kerukunan umat beragama yang berbasis pada sosio-ekonomis. Pengkajian dimaksud
dapat dikembangkan pada berbagai jenis hubungan sosial ekonomis, seperti di bidang perdagangan, industri,
perkebunan, dan sebagainya. Pengkajian lain yang perlu dikembangkan adalah pengembangan strategi
penguatan kerukunan berbasis sosio-ekonomis yang mungkin diterapkan ke depan.

B Interaksi Sosial Umat Beragama Pada Tiga Desa Pertanian


1 Jelaskan latar belakang terjadinya interaksi sosial umat beragama pada tiga desa pertanian di
kecamatan Tanjung Morawa?
2 Sebutkan dan jelaskan pihak-pihak mana saja yang terlibat dalam interaksi sosial umat beragama
pada tiga desa pertanian di kecamatan Tanjung Morawa?
3 Bandingkan konflik tanah Jenggawah dan interaksi sosial umat beragama pada tiga desa pertanian di
kecamatan Tanjung Morawa. Apa penyebab konflik tanah Jenggawah dan mengapa konflik seperti
itu tidak terjadi dalam interaksi sosial di Tanjung Morawa?

Page 36 of 36

You might also like