You are on page 1of 47

CASE REPORT SESSION

STATUS EPILEPTIKUS
Instalasi Gawat Darurat

Disusun Oleh :
Muhammad Ibtissam, dr
Dokter penanggung jawab pasien :
H Awaluddin Noor, dr., Sp.S
Dokter Pendamping :
Eva Maya, dr.

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH 45 KUNINGAN


KABUPATEN KUNINGAN
2017
KETERANGAN UMUM
Nama : Sdri. D
Tanggal Masuk : 19 Mei 2017
Umur : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Kalapa gunung, Kramat mulya
Pekerjaan : Belum bekerja
Agama : Islam

I. ANAMNESIS ( Alloanamnesis)
Keluhan Utama : Kejang-kejang terus menerus
Seorang perempuan berusia 19 tahun dibawa ke IGD RSUD 45 dengan
keluhan kejang terus menerus. Kejang dirasakan ±10 kali dirumah. Setiap kali
kejang berlangsung kurang lebih 5 menit. Kejang seluruh tubuh kaki dan tangan
kelojotan, kedua mata mendelik arah atas. Setelah kejang, pasien tidak sadar.
Keluhan disertai dengan demam 8 hari lalu, demam timbul berangsur angsur dan
terus menerus, demam dirasakan terutama pada malam hari, keluhan demam
hanya turun jika diberi obat penurun panas namun tidak sampai suhu normal,
keluhan mual namun tidak muntah. Keluhan tidak didahului nyeri kepala hebat,
muntah proyektil, pusing berputar. Keluhan batuk sebelumnya tidak ada, BAB
dan BAK tidak ada kelainan,
Pasien memiliki riwayat kejang sebelumnya sejak 11 tahun yang lalu,
sebelumnya pasien terjatuh saat bermain dan kepala terbentur ke tanah. Pasien
sudah berobat dan kontrol ke dokter spesialis saraf dan diberikan tiga macam obat
yaitu feniltoin 3x100mg, depakort 3x1, Karbamarzepin 2x200mg, namun selama
7 hari ini pasien jarang meminum obat kejangnya. Pasien lahir cukup bulan secara
spontan ditolong oleh bidan. Pasien tidak mengalami gangguan tumbuh kembang
saat kecil. Riwayat kejang demam waktu kecil tidak ada. Riwayat infeksi otak dan
dioperasi di daerah kepala tidak ada. Riwayat epilepsi di keluarga berupa kejang,
sering bengong atau adanya gerakan yang berulang-ulang tanpa tujuan yang jelas
tidak ada

1
II.PEMERIKSAAN FISIK
A. KEADAAN UMUM Pukul 11.25
● Kesadaran : Kejang
● Tensi : 110/80 mmHg
● Nadi : 100 x/menit
● Pernafasan : 24 x/menit
● Suhu : 38°C
● Turgor : Kembali cepat
● Gizi : Cukup

B. STATUS GENERALIS :
● Kepala : Normocephal
● Konjungtiva : Anemis -/-
● Sklera : Ikterik -/-
● Telinga: Otorrhea (-/-)
● Mulut : Gigi berlubang (-)
● Tenggorokan : Faring hiperemis (-)
● Leher : KGB tidak teraba, JVP tidak meningkat, bruit (-)
● Thorax : Bentuk dan gerak simetris
● Jantung : BJ I-II murni reguler, murmur (-)
● Paru-paru : VBS kanan = kiri, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
● Abdomen : Datar, lembut, BU (+) Normal, Hepar dan Lien tidak
teraba
● Genital : Tidak dilakukan pemeriksaan
● Ekstremitas : Akral hangat, CRT<2 detik, edema (-)

C.PEMERIKSAAN NEUROLOGIK
1. Penampilan : Kepala : Normocephal
Columna vertebra : Tidak ada kelainan

2
2. Rangsangan Meningen/Iritasi radiks
● Kaku kuduk :-
● Tes Brudzinki I :-
● Tes Brudzinki II :-
● Tes Brudzinki III :-
● Tes Brudzinki IV :-
● Tes Kernig : >135˚
3. Saraf Otak
NI : Penciuman : Tidak dapat dinilai
N II : Ketajaman Penglihatan : Tidak dapat dinilai
Campus : Tidak dapat dinilai
Fundus Oculi : Tidak dilakukan pemeriksaan
N III/IV/VI : Ptosis : Tidak dapat dinilai
Pupil : Bulat, isokor
Refleks Cahaya (D/I) : Direk +/+ , Indirek +/+
Refleks Konvergensi : Tidak dapat dinilai
Posisi Mata : Simetris
Gerakan Bola Mata : Tidak ada kelainan
Nystagmus : Tidak ada
NV : Sensorik
Oftalmikus : Tidak dapat dinilai
Maksilaris : Tidak dapat dinilai
Mandibularis : Tidak dapat dinilai
Motorik
Mandibularis : Tidak dapat dinilai
N VII : Gerakan wajah
Angkat alis mata : Tidak dapat dinilai
Plica nasolabialis : Tidak dapat dinilai
Memejamkan mata : Tidak dapat dinilai
Rasa kecap 2/3 bagian depan lidah: Tidak dilakukan
N VIII : Pendengaran : Tidak dapat dinilai

3
Keseimbangan : Tidak dilakukan pemeriksaan
N IX/X : Suara/bicara : Tidak ada kelainan
Menelan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Gerakan palatum & uvula : Tidak ada kelainan
Refleks muntah : Tidak dilakukan
Rasa kecap 1/3 belakang lidah : Tidak dilakukan
N XI : Angkat Bahu : Tidak dilakukan
Menengok ke kanan-kiri : Tidak dilakukan
N XII : Gerakan Lidah : Tremor (-)
Atrofi : Tidak ada
Tremor/fasikulasi : Tidak ada

4. Motorik
Kekuatan Tonus Atrofi Fasikulasi
Anggota badan atas 5/5 N Tidak ada Tidak ada
Anggota badan bawah 5/5 N Tidak ada Tidak ada

Batang tubuh : Tidak ada kelainan


Gerakan Involunter : Tidak ada
Cara berjalan : Tidak dilakukan pemeriksaan
Lain-lain :-
5. Sensorik
Permukaan Dalam
Anggota badan atas N/N N
Batang tubuh N N
Anggota badan bawah N/N N

6. Koordinasi
Cara bicara : Tidak ada kelainan
Tremor : Tidak ada
Tes telunjuk hidung : Baik
Tes tumit lutut : Tidak dilakukan
Tes Romberg : Tidak dilakukan

4
7A.Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Anggota badan atas : Biceps : N N
Triceps : N N
Radius : N N
Dinding perut : Epigastrik : N N
Hipogastrik : N N
Mesogastrik : N N
Kremaster: Tidak dilakukan pemeriksaan
Anggota badan bawah : Patella : N N
Achilles : N N
7B.Klonus
Patella : - -
Achilles : - -
7C.Refleks Patologi
Hoffman Tromner : - -
Babinski : - -
Chaddock : - -
Oppenheim : - -
Gordon : - -
Rosalimo : - -
Schaeffer : - -
Mendel Betherew : - -
7D.Refleks Primitif
Glabella : -
Mencucu mulut : -
Palmomental : -

8. Fungsi Otonom
BAB dan BAK : Normal
Fungsi seksual : Normal

5
9. Pemeriksaan Fungsi Luhur
Hubungan Psikis
Afasia : Motorik :-
Sensorik :-
Ingatan : Jangka pendek : Tidak dapat dinilai
Jangka panjang : Tidak dapat dinilai
Kemampuan berhitung : Tidak dapat dinilai

RESUME
ANAMNESIS
Seorang perempuan berusia 19 tahun dibawa ke IGD RSUD 45 dengan
keluhan kejang terus menerus. Kejang dirasakan 10 kali dirumah. Setiap kali
kejang berlangsung kurang lebih 5 menit. Kejang seluruh tubuh tonik klonik,
kedua mata ke arah atas. Setelah kejang, pasien tidak sadar. Keluhan disertai
dengan demam 8 hari lalu, demam remiten, keluhan demam turun jika diberi obat
penurun panas. Keluhan tidak didahului nyeri kepala hebat, muntah, pusing
berputar. Keluhan batuk sebelumnya tidak ada, BAB dan BAK tidak ada kelainan,
Riwayat kejang sebelumnya sejak 11 tahun yang lalu, sebelumnya pasien
terjatuh saat bermain dan kepala terbentur ke tanah. Pasien sudah berobat dan
kontrol ke dokter spesialis saraf dan diberikan tiga macam obat yaitu feniltoin
3x100mg, depakort 3x1, Karbamarzepin 2x200mg, namun selama 7 hari ini
pasien jarang meminum obat.
Pasien lahir cukup bulan secara spontan ditolong oleh bidan.
Pasien tidak mengalami gangguan tumbuh kembang saat kecil.
Riwayat kejang demam tidak ada
Riwayat infeksi otak dan dioperasi di daerah kepala tidak ada.
Riwayat epilepsi di keluarga tidak ada

PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
● Kesadaran : Kejang

6
● Tekanan darah : 110/80 mmHg
● Nadi : 100 x/menit
● Pernafasan : 24 x/menit
● Suhu : 38°C
● Turgor : Baik, kembali cepat
● Gizi : Cukup

STATUS INTERNE : Tidak ada kelainan


STATUS NEUROLOGIK :
1. Penampilan : Kepala : Normocephal
Columna vertebra : Tidak ada kelainan
2. Saraf Otak : Tidak ada kelainan
3. Motorik :
Kekuatan Tonus Atrofi Fasikulasi
Anggota badan atas 5/5 Normal Tidak ada Tidak ada
Anggota badan bawah 5/5 Normal Tidak ada Tidak ada

4. Sensorik : Baik
5. Koordinasi : Tidak dilakukan
6. A.Refleks Fisiologis : Normal/Normal
B.Klonus :-
C.Refleks Patologis : -/-
D.Refleks Primitif :-
7. Fungsi Otonom : Baik
8. Pemeriksaan Fungsi Luhur : Baik
PEMERIKSAAN TAMBAHAN
1. Lab: pem darah lengkap Ureum kreatinin, elektrolit, SGOT SGPT, GDN,
+ widal
HASIL LABORATORIUM
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hemoglobin 15,1 g/dl 12-16
Jumlah leukosit 11,8 103 /µL 4.0-10.0
Hematokrit 44,5 % 35.0-47-0

7
Jumlah trombosit 314 ribu//µL 150-450
Jumlah eritrosit 5.05 juta/ µL 4.10-5.10
Indeks eritrosit
MCV 88.1 fL 80-96
MCH 29.9 pg/mL 28-33
MCHC 33.9 g/dL 33-36
KIMIA KLINIK
Glukosa darah sewaktu 205 mg/dL 70-120
SGOT 26 U/L 5-31
SGPT 26 U/L < 34
Ureum 16 mg/dL 10-50
Kreatinin 1.14 mg/dL 0,5-1,1
Pemeriksaan elektrolit
Natrium 141 mmol/L 135-145
Kalium 4.4 mol/L 3,5-5,1
Chlorida 107 mmol/L 95-110
WIDAL
S. Typhi O Negatif
S. Paratyphi AO Negatif
S. Paratyphi BO Negatif
S. Paratyphi CO Negatif
S. Typhi H (+) 1/40
S. Paratyphi AH Negatif
S. Paratyphi BH (+) 1/80
S. Paratyphi CH Negatif
DIAGNOSIS :
Diagnosis Klinis : Status Epileptikus Konvulsif
Dianosis Topik : Intrakranial
Diagnosis Etiologi : Simptomatik Post Trauma Kapitis
Diagnosis Sekunder : Observasi febris hari ke VIII e.c bacterial
infection
TERAPI
● TERAPI UMUM
 Rawat inap
 Obsevarsi KU
 Diet makanan lunak TKTP
 Edukasi kepada penderita dan keluarga mengenai penyakit yang diderita
bahwa epilepsi tidak menular, bisa kambuh dan juga bisa dikontrol

8
 Menganjurkan penderita untuk kontrol dan minum obat secara teratur.
 Menganjurkan penderita memilih pekerjaan atau beraktivitas yang tidak
membahayakan dirinya maupun keluarga
● TERAPI KHUSUS
● O2 2-4 lpm via nasal canule
 Pemasangan orofaring tube
 Feniltoin 2 amp loading dalam Nacl 100cc (10 menit)  ulang bila kejang
berulang
 Diazepam extra 1 amp  ulang bila kejang tiap 10-20 menit sejak kejang
sebelumnya
 Bila penurunan kesadaran  NGT
 IVFD RL 500 cc/ 8 jam
 PCT infus 3x1gram  konversi oral 3x500 jika pasien KU baik
 Cefotaxim 2x1 gr
 Feniltoin 3x200 mg PO hari ke 1 selanjutnya 3x100mg
 Depakort 3x1
 CPZ 3x250mg
PROGNOSIS : - Quo Ad Vitam : dubia
- Quo Ad Fungsionam : dubia

OBSERVASI IGD PUKUL 13.00


Keadaan umum
● Kesadaran : Compos mentis
● Tekanan darah : 110/80 mmHg
● Nadi : 94 x/menit
● Pernafasan : 21 x/menit
● Suhu : 37,8°C

Status interne : Tidak ada kelainan


Status neurologik :

9
1. Penampilan : Kepala : Normocephal
Columna vertebra : Tidak ada kelainan
2. Saraf Otak : Tidak ada kelainan
3. Motorik :
Kekuatan Tonus Atrofi Fasikulasi
Anggota badan atas 5/5 Normal Tidak ada Tidak ada
Anggota badan bawah 5/5 Normal Tidak ada Tidak ada

4. Sensorik : Baik
5. Koordinasi : Tidak dilakukan
6. A.Refleks Fisiologis : Normal/Normal
B.Klonus :-
C.Refleks Patologis : -/-
D.Refleks Primitif :-
7. Fungsi Otonom : Baik
8. Pemeriksaan Fungsi Luhur : Baik

Follow Up (20/5/2017)
S : Demam (-) kontak adekuat, kejang (-)
O : TD :110/80 mmHg Rr : 20x/mnt
N : 88x/menit Suhu: 36,2 0C
A :Status epilepsi remisi
P : Cefixim 100 mg 2x1
Feniltoin 3x100mg
Karbamarzepin 2x200mg
Depakort 3x250mg
Jika tidak ada kejang pasien rencana BLPL, kontrol ke poli saraf

10
EPILEPSI

1. Definisi
Epilepsi didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh bangkitan
(seizure) berulang sebagai akibat dari adanya gangguan fungsi otak secara
intermitten, yang disebabkan oleh lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di
neuron - neuron secara paroksismal, dan disebabkan oleh berbagai etiologi.
Sedangkan serangan atau bangkitan epilepsi yang dikenal dengan nama epileptic
seizure adalah manifestasi klinis yang serupa (stereotipik) dan berulang secara
paroksismal, dengan atau tanpa perubahan kesadaran yang disebabkan oleh
hiperaktivitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang spontan dan bukan
disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (“unprovoked”).

11
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) tahun 2005, secara
konseptual, epilepsi didefinisikan sebagai kelainan otak yang ditandai oleh adanya
kecenderungan untuk menimbulkan bangkitan epilepsi secara terus menerus
dengan konsekuensi neurobiologis, kognitif, psikologis, dan sosial sedangkan
Bangkitan epileptik adalah tanda dan gejala yang timbul sesaat akibat aktivitas
neuron di otak yang berlebihan dan abnormal.
2. Epidemiologi
Menurut laporan WHO tahun 2016, diperkirakan 50 juta orang di dunia
menderita epilepsi. Perkiraan proporsi populasi umum dengan epilepsi saat ini
antara 4 hingga 10 per 1000 penduduk. Beberapa penelitian di negara dengan
pendapatan rendah dan menengah diperkirakan bahwa proporsinya lebih tinggi
yaitu antara 7 hingga 14 per 1000 penduduk.
Epilepsi dapat terjadi pada siapa saja di seluruh dunia tanpa batasan ras dan
sosio-ekonomi. Angka kejadian epilepsi masih tinggi terutama di negara
berkembang. Dari banyak studi menunjukkan bahwa angka kejadian epilepsy
cukup tinggi, diperkirakan prevalensinya berkisar antara 0,5- 4%. Rata- rata
prevalensi epilepsy 8,2 per 1000 penduduk. Sedangkan angka insidensi epilepsi di
Negara berkembang mencapai 50-70 kasus per 100.000 penduduk. Bila jumlah
penduduk Indonesia berkisar 220 juta, maka diperkirakan jumlah pasien epilepsy
1,1-8,8 juta. Berkaitan dengan umur, grafik prevalensi epilepsi menunjukkan pola
bimodal. Prevalensi epilepsi pada bayi dan anak- anak cukup tinggi, menurun
pada dewasa muda dan pertengahan, kemudian meningkat lagi pada kelompok
usia lanjut.
Di Indonesia belum terdapat data pasti tentang insidensi epilepsi. Namun
Indonesia sebagai negara berkembang dengan jumlah penduduk 220 juta dan
proporsi penderita epilepsi yaitu 24 hingga 53 per 100.000 penduduk. Maka dapat
diperkirakan jumlah penderita epilepsy baru di Indonesia sekitar 250.000 juta
orang pertahun
3. Klasifikasi
International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan
klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):

12
1. Serangan parsial
a. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik)
- Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik
- Dengan gejala otonom
- Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu)
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan
c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik
- Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum :
a. Absans (Lena)
b. Mioklonik
c. Klonik
d. Tonik
e. Atonik (Astatik)
f. Tonik-klonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang
lengkap).
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi
karena hanya ada dua kategori utama, yaitu :
1. Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang
terlokalisir di otak.
2. Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang
lebih luas pada kedua belahan otak.
Klasifikasi menurut sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah :
1. Berkaitan dengan letak fokus
a. Idiopatik

13
- Epilepsi Rolandik benigna (childhood epilepsy with centro temporal
spike)
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital
b. Simptomatik
- Epilepsi parsial kontinua yang kronik pada anak- anak (Kojenikow’s
Sindrome)
- Sindrom dengan bangkitan yang dipresipitasi oleh suatu rangasanga
(kurang tidur, alkohol, obat-obatan, hiperventilasi, epilepsy reflex, stimulasi
fungsi kortikal tinggi, membaca)
- Lobus temporalis
- Lobus frontalis
- Lobus parietalis
- Lobus oksipitalis
2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna
- Kejang neonatus benigna
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
- Epilepsi Absans pada anak
- Epilepsi Absans pada remaja
- Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga
- Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Kriptogenik atau simtomatik berurutan sesuai dengan peningkatan usia
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut
- Epilepsi mioklonik astatic
- Epilepsi lena mioklonik
c. Simtomatik
- Etiologi non spesifik
i. ensefalopati mioklonik dini

14
ii. ensefalopati pada infantile dini dengan burst suppression
iii. epilepsi simtomatik umum lainnya yang tidak termasuk di atas
- Sindrom spesifik (Bangkitan epilepsi sebagai komplikasi penyakit lain)
3. Epilesi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum
- Bangkitan umum dan fokal
i. Bangkitan neonatal
ii. Epilepsi mioklonik berat pada bayi
iii. Epilepsi dengan gelombang paku (spike wave) kontinyu selama tidur
dalam
iv. Epilepsi afasia yang didapat (Sindrom Landau-Kleffner)
v. Epilepsi yang tidak terklasifikasikan selain yang diatas
- Tanpa gambaran tegas fokal atau umum
4. Sindrom khusus: bangkitan yang berkaitan dengan situasi tertentu
- Kejang demam
- Bangkitan kejang/ status epileptikus yang timbul hanya sekali
- Bangkitan yang terjadi bila terdapat kejadian metabolic akut, atau toksis,
alcohol, obat-obatan, eklamsia, hiperglikemi non ketotik.
- Eklampsia
- Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (refleks epilepsi)
3. Etiologi
a. Idiopatik epilepsi: biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum,
penyebanya tidak diketahui. Pasien dengan idioptik epilepsi mempunyai
intelegensi normal dan hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya
predisposisi genetik.
b. Kriptogenik epilepsi : dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui, kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi di otak tidak diketahu. Termasuk disini
adalah sindroma west, sindroma lennox gastaut dan epilepsi mioklonik.
Gambaran klinis berupa enselopati difus
c. Simptomatik epilepsi: pada simtomatik terdapat lesi struktural di otak yang
mendasari, contohnya oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi

15
sekunnder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan
kongenital, proses desak ruang otak, gangguan pembuluh darah otak, toksik
(alkohol, obat), gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif.
4. Faktor Risiko
Epilepsi dapat dianggap sebagai suatu gejala gangguan fungsi otak yang
penyebabnya bervariasi terdiri dari beberapa faktor. Epilepsi yang tidak diketahui
penyebabnya disebut idiopatik. Umumnya faktor genetik lebih berperan pada pada
epilepsi idiopatik. Sedangkan epilepsi yang dapat ditentukan faktor penyebabnya
disebut epilepsi simptomatik.
Pada epilepsi idiopatik diduga adanya kelainan genetik sebagai berikut:
terdapat suatu gen yang menentukan sintesis metabolisme asam glutamik yang
menghasilkan zat Gama Amuno Butiric Acid (GABA) . zat ini merupakan
penghambat (inhibitor) kegiatan neuron yang abnormal. Penderita secara kurang
cukup memproduksi GABA merupakan penderita yang mempunyai
kecenderungan untk mendapat serangan epilepsi.
Untuk menentukan faktor penyebab yang dapat diketahui dengan melihat
usia serangan pertama kali, misal: usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor
ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural,
penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala
dan lain lain. Diperkirakan epilepsi disebabkan oleh keadaan yang menganggu
stabilitas neuron-neuron otak yang dapat terjadi saat prenatal, perinatal, ataupun
postnatal.
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat epilepsi,
faktor yang berpengaruh yaitu:
A. Prenatal
1. Umur ibu saat hamil terlalu muda (<20 tahun) atau terlalu tua (>35 tahun)
2. Kehamilan dengan eklamsia dan hipertensi
3. Kehamilan primipara atau multipara
4. Pemakaian bahan toksik
B. Natal
1. Asfiksia

16
2. Bayi dengan berat badan lahir rendah (<2500 gram)
3. Kelahiran prematur atau postmatur
4. Partus lama
5. Persalinan dengan alat
C. Post Natal
1. Kejang demam
2. Trauma kepala
3. Infeksi SSP
4. Gangguan metabolic

Selain itu suatu epilepsi dapat diduga mengetahui penyebab jika dilihat
berdasarkan umur seseorang mengalami epilepsi pertama kali yaitu :
Umur Penyebab
Neonatus (<1 bulan ) - Perinatal hypoxia and ischemia
- Intracranial hemorrhage and trauma
- Infeksi SSP
- Metabolic disturbances (hypoglycemia, hypocalcemia,
hypomagnesemia, pyridoxine deficiency)
- Gangguan perkembangan
- Gangguan genetic
Infant dan anak berusia >1 - Kejang demam
bulan dan <12 tahun - Genetic disorders (metabolic, degenerative, primary
epilepsy syndromes)
- Infeksi SSP
- Gangguan perkembangan
- Gangguan genetik Trauma
- Idiopatik
Remaja (12–18 tahun) - Trauma
- Genetic disorders
- Infeksi
- Tumor otak
- Idiopatik
Dewasa muda (18–35 - Trauma
tahun) - Genetic disorders
- Infeksi
- Tumor otak
- Idiopatik
Dewasa tua (>35 tahun) - Cerebrovascular disease
- Brain tumor
- Alcohol withdrawal

17
- Metabolic disorders (uremia, hepatic failure,
electrolyte abnormalities, hypoglycemia)
- Alzheimer's disease and other degenerative CNS
diseases
- Idiopatik

5. Patofisiologi
Epilepsi dicetuskan karena eksitasi neuron spontan, serempak dan besar-
besaran, yang meyebabkann gangguan pada fungsi motorik, sensorik, otonomik,
kognitif dan emosi. Kejang pada epilepsi dapat terjadi secara parsial maupun
umum. Hal-hal yang dapat menyebabkan kejang antara lain, genetik, demam,
kurang tidur, hipoksia jaringan, defek genetik, tumor, perdarahan, alkkohol dan
edema otak.
Munculnya bangkitan ditandai dengan adanya Paroxysmal Depolarization
Shift. Pada mulanya, kejang disebabkan oleh Paroxysmal Depolarization Shift
(PDS) dan secara tiba-tiba mengubah potensial membran. Terdapat
ketidakseimbangan antara neuron eksitasi (glutamat) dan inhibisi (GABA), juga
menambah eksitasi antar sel. PDS disebabkan karena aktivasi kanal Ca 2+ sehingga
menyebabkan aktivasi kanal K+dan Cl-. Pada keadaan normal, seharusnya Mg 2+
mencegah influks, namun hal ini tidak berfungsi. Disamping itu, dendrit pada sel
piramidal terdepolarisasi karena peningkatan glutamat. Glutamat kemudian
mengikat pada kanal kation yang tidak permeabel terhadap Ca 2+ (kanal AMPA)
dan yang permeabel terhadap Ca2+ (kanal NMDA). Kanal NMDA biasanya diblok
oleh Mg2+, namun depolarisasi yg dipicu aktivasi kanal AMPA, menghambat kerja
Mg2+. Defisiensi Mg2+ dan depolarisasi yang terus menerus menyebabkan aktivasi
kanal NMDA sehingga eksitasi terus berlangsung. Gangguan pada kanal di
membran sel disebut channelopathy.
Keadaan epileptogenik ini menjadi sering dan jika eksitasi menyebar ke
daerah subcortical, thalamus dan batang otak akan terjadi fase tonik, lalu terjadi
kehilangan kesadaran. Eksitasi ini kemudian berlanjut ke medula spinalis melalui
corticospinal dan reticulospinal. Fase tonik disebut juga dengan fase kontraksi
otot dengan peningkatan tonus otot.

18
Fase klonik dimulai saat neuron inhibisi (GABA) pada daerah korteks,
thalamus anterior dan basal ganglia menghambat eksitasi kortikal. Inhibisi ini
menyebabkan gangguan kejang sehingga manifestasi yang terjadi adalah kontraksi
otot. Kontraksi ini terus berlangsung hingga neuron epileptogenik kelelahan dan
membran sel mengalami hiperpolarisasi. Fase klonik ini disebut juga dengan
kontraksi dan relaksasi otot.
Komplikasi pada epilepsy yaitu bangkitan menyebabkan peningkatan
adenosine triphosphate (ATP) hingga 250%, oksigen di otak meningkat sampai
60% dan cerebral blood flow (CBF) meningkat 250%, saat bangkitan terjadi.
Walaupun begitu, glukosa dan oksigen yang tersedia minim. Apabila kejadian ini
terus berlangsung berat, maka akan terjadi defisiensi ATP, fosfokreatinin dan
glukosa sehingga laktat terakumulasi di otak, menyebabkan hipoksia dan asidosis.

19
Hipoksia jaringan

Kurang tdur

Demam

Genetk
Fase Tonik

Paroxysmal Depolarizaton Shif (DPS)

INHIBISI ≠ EKSITASI
Channelopat

Edema Otak

Alkohol

Perdarahan

Tumor
Fase Klonik

6. Manifestasi Klinis
Tipe Manifestasi Klinis
1. Parsial
a. Gangguan kesadaran (-)
Parsial Sederhana b. Dimulai pada satu bagian tubuh
(unilateral/fokal) lalu menyebar
pada satu hemisphere (Jacksonian
March)
c. Dapat menyerang daerah sensoris
dan memori  halusinasi, dejavu,
jamais vu, panik atau euphoria
- Parsial Kompleks a. Gangguan kesadaran (+)
b. Diawali dengan aura
c. Automatisme stereotip
(mengunyah, mengecap-kecap,
motorik tanpa tujuan

20
d. Setelah kejadian, pasien bingung
dan ngantuk
- Parsial Umum Sekunder a. Awalnya dari parsial
kompleks/sederhana dalam waktu
singkat
b. Bangkitan parsial dapat berupa aura
c. Bangkitan umum bersifat tonik
klonik
2. Bangkitan Umum
- Bangkitan Umum Lena a. Gangguan kesadaran mendadak
hanya beberapa detik
b. Kegiatan motorik pasien terhenti
dan pasien diam tanpa reaksi
c. pemulihan kesadaran segera dan
tanpa bingung
- Bangkitan Umum Klonik Kontraksi ritmis atau semiritmis ada wajah,
leher dan ekstremnitas atas
- Bangkitan Umum Tonik a. Gangguan kesadaran (+)
b. Kekakuan tiba-tiba pada otot
eksentor
c. Pasien jatuh ke lantai
- Bangkitan Umum Tonik Klonik a. Gejala prodromal: jeritan
b. Gangguan kesadaran (+), kaku
selama 10-30 detik, diikiuti
kelojotan pada anggota gerak
(klonik) selama 30-60 detik, lalu
mulut berbusa
c. Dapat disertai lidah tergigit dan
ngompol
- Bangkitan Umum Atonik a. Gangguan kesadaran (+)
b. Hilang tonus otot
- Bangkitan Umum Mioklonik Bangkitan umum serentak dan menyentak
pada sekelompok otot atau seluruh tubuh

7. Diagnosis
1. Pastikan epilepsi/bukan
2. Tentukan jenis bangkitan
3. Tentukan sindrom epilepsi dan etiologi
7.1 Anamnesis
Langkah awal adalah menentukan untuk membedakan apakah ini serangan
kejang atau bukan, dalam hal ini memastikannya biasanya dengan melakukan
anamnesis baik dengan pasien, orangtua atau orang yang merawat dan saksi mata
yang mengetahui serangan kejang itu terjadi. Beberapa pertanyaan yang perlu
diajukan adalah untuk menggambarkan kejadian sebelum , selama dan sesudah

21
serangan kejang itu berlangsung. Dengan mengetahui riwayat kejadian serangan
kejang tersebut biasanya dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik
mengingat pada kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang
yang dialami.
Anamnesis yang ditanyakan meliputi :
a. Pola /bentuk bangkitan
b. Lama bangkitan
c. Gejala sebelum, selama, dan paska bangkitan
d. Frekuensi bangkitan
e. Faktor pencetus
f. Ada/ tidak adanya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia pada saat terjadinya bangkitan pertama
h. Riwayat pada saat dalam kandungan, persalinan, dan perkembangan
i. Riwayat terapi epilepsi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
k. Faktor sosial/ lingkungan
7.2 Pemeriksaan Fisik dan Neurologi
Pemeriksaan fisik harus menapis sebab sebab terjadinya serangan kejang
dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien
yang berusia lebih tua sebaiknya dilakukan auskultasi didaerah leher untuk
mendeteksi adanya penyakit vaskular. pemeriksaan kardiovaskular sebaiknya
dilakukan pada pertama kali serangan kejang itu muncul oleh karena banyak
kejadian yang mirip dengan serangan kejang tetapi penyebabnya kardiovaskular
seperti sinkop kardiovaskular. Pemeriksaan kulit juga untuk mendeteksi apakah
ada sindrom neurokutaneus. Bekas gigitan dilidah yang bisa terjadi pada waktu
serangan kejang berlangsung atau apakah ada bekas luka lecet yang disebabkan
pasien jatuh akibat serangan kejang, kemudian apakah ada hiperplasi ginggiva
yang dapat terlihat oleh karena pemberian obat fenitoin dan apakah ada
“dupytrens contractures” yang dapat terlihat oleh karena pemberian fenobarbital
jangka lama. Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan
dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan

22
kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus, kecanduan alkohol atau obat
terlarang (NAFSA) dan kanker.
Pemeriksaan neurologi meliputi status mental, koordinasi, saraf kranialis,
fungsi motorik dan sensorik, serta refleks tendon. Adanya defisit neurologi seperti
hemiparese ,distonia, disfasia, gangguan lapangan pandang, papiledema mungkin
dapat menunjukkan adanya lateralisasi atau lesi struktur di area otak yang
terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh karena efek
toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin. Dilatasi
pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi.” Dysmorphism “ dan
gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif
seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.
7.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium.
Hiponatremia, hipoglikemia, hipomagnesia, uremia dan hepatik ensefalopati
dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit
bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, “ Blood Urea Nitrogen” , kreatinin
dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.
Pemeriksaan toksikologi serum dan urin juga sebaiknya dilakukan bila dicurigai
adanya “ drug abuse” .
b. Elektroensefalografi (EEG).
Pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan adalah pemeriksaan
elektroensefalografi (EEG). Pemeriksaan EEG rutin sebaiknya dilakukan
perekaman pada wktu sadar dalam keadaan istirahat, pada waktu tidur, dengan
stimulasi fotik dan hiperventilasi. Pemeriksaam EEG ini adalah pemeriksaan
laboratorium yang penting untuk membantu diagnosis epilepsi dengan beberapa
alasan sebagai berikut
1. Pemeriksaan ini merupakan alat diagnostik utama untuk mengevaluasi
pasien dengan serangan kejang yang jelas atau yang meragukan. Hasil

23
pemeriksaan EEG akan membantu dalam membuat diagnosis,
mengklarifikasikan jenis serangan kejang yang benar dan mengenali
sindrom epilepsi.
2. Dikombinasikan dengan hasil pemeriksaan fisik dan neurologi, pola
epileptiform pada EEG (spikes and sharp waves) sangat mendukung
diagnosis epilepsi. Adanya gambaran EEG yang spesifik seperti“3-Hz
spike-wave complexes“ adalah karakteristik kearah sindrom epilepsi yang
spesifik.
3. Lokalisasi dan lateralisasi fokus epileptogenik pada rekaman EEG dapat
menjelaskan manifestasi klinis daripada “aura“ maupun jenis serangan
kejang. Pada pasien yang akan dilakukan operasi, pemeriksaan EEG ini
selalu dilakukan dengan cermat.
Sebaliknya harus diketahui pula bahwa terdapat beberapa alasan keterbatasan
dalam menilai hasil pemeriksaan EEG ini yaitu :
1. Pada pemeriksaan EEG tunggal pada pertama kali pasien dengan
kemungkinan epilepsi didapat sekitar 29-50 % adanya gelombang
epileptiform, apabila dilakukan pemeriksaan ulang maka persentasinya
meningkat menjadi 59-92 %. Sejumlah kecil pasien epilepsi tetap
memperlihatkan hasil EEG yang normal, sehingga dalam hal ini hasil
wawancara dan pemeriksaan klinis adalah penting sekali.
2. Gambaran EEG yang abnormal interiktal bisa saja tidak menunjukkan
adanya epilepsi sebab hal demikian dapat terjadi pada sebagian kecil
orang-orang normal oleh karena itu hasil pemeriksaan EEG saja tidak
dapat digunakan untuk menetapkan atau meniadakan diagnosis epilepsi.
3. Suatu fokus epileptogenik yang terlokalisasi pada pemeriksaan EEG
mungkin saja dapat berubah menjadi multifokus atau menyebar secara
difus pada pasien epilepsi anak.
4. Pada EEG ada dua jenis kelainan utama yaitu aktivitas yang lambat dan
epileptiform, bila pada pemeriksaan EEG dijumpai baik gambaran
epileptiform difus maupun yang fokus kadang-kadang dapat

24
membingungkan untuk menentukan klasisfikasi serangan kejang kedalam
serangan kejang parsial atau serangan kejang umum.
c. Video-EEG
Pemeriksaan ini dilakukan bila ada keraguan untuk memastikan diagnosis
epilepsi atau serangan kejang yang bukan oleh karena epilepsi atau bila pada
pemeriksaan rutin EEG hasilnya negatif tetapi serangan kejang masih saja terjadi,
atau juga perlu dikerjakan bila pasien epilepsi dipertimbangkan akan dilakukan
terapi pembedahan. Biasanya pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan
apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama
perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70%
dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.
d. Radiologi
CT Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic
Resonance Imaging) kepala adalah untuk melihat apakah ada atau tidaknya
kelainan struktural diotak Indikasi CT Scan kepala adalahSemua kasus serangan
kejang yang pertama kali dengan dugaan ada kelainan struktural di otak.
 Perubahan serangan kejang.
 Ada defisit neurologis fokal.
 Serangan kejang parsial.
 Serangan kejang yang pertama diatas usia 25 tahun.
 Untuk persiapan operasi epilepsi.
CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi namun
demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak
pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding
dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun
epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan.
Pemeriksaan MRI kepala ini biasanya meliputi:T1 dan T2 weighted“ dengan
minimal dua irisan yaitu irisan axial, irisan coronal dan irisan sagital.
e. Pemeriksaan Neuropsikologi

25
Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan
pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya
memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga
dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang
bukan epilepsi.
8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding epilepsi adalah hiperventilasi, syncope, Transient Ischemic
Attack (TIA), psychogenic seizure, migraine, panic attack, transient global

amnesia.
9. Penatalaksanaan
Tujuan utama pengobatan epilepsi adalah membuat orang dengan epilepsi
(ODE) terbebas dari serangan epilepsinya, terutama terbebas dari serangan kejang
sedini mungkin.
Prinsip terapi farmakologi:
• Terapi diberikan bila diagnosis sudah dipastikan.
• Terdapat minimum 2 kali bangkitan dalam setahun.

26
• Terapi dimulai dengan monoterapi, pilih obat sesuai bangkitan.
• Terapi dimulai dengan dosis rendah dan dinaikkan betahap sampai dosis
efektif tercapai atau timbul efek samping.
• Bila dengan dosis maksimum bangkitan tidak dapat dikontrol,
ditambahkan obat antiepilepsi kedua.
• Bila obat kedua telah mencapai kadar terpai, maka obat antiepilepsi
pertama diturunkan bertahap perlahan.
• OAE ketiga diberikan bila ada bukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan
OAE pertama dan kedua.
Penatalaksanaan untuk semua jenis epilepsi dapat dibagi menjadi 4 bagian:
penggunaan obat antiepilepsi (OAE), pembedahan fokus epilepsi, penghilangan
faktor penyebab dan faktor pencetus, serta pengaturan aktivitas fisik dan mental.
Tetapi, secara umum penatalaksanaan epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Terapi medikamentosa
Terapi medikamentosa adalah terapi lini pertama yang dipilih dalam menangani
penderita epilepsi yang baru terdiagnosa. Penatalaksanaan epilepsi sering
membutuhkan pengobatan jangka panjang. Monoterapi lebih dipilih ketika
mengobati pasien epilepsi, memberikan keberhasilan yang sama dan tolerabilitas
yang unggul dibandingkan politerapi .
Pasien dengan bangkitan pertama direkomendasikan untuk dimulai pemberian
terapi bila diantaranya:
1. Dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, CT scan atau MRI otak.
2. Pada pemeriksaan neurologik dijumpai kelainan yang mengarah pada
adanya kerusakan otak.
3. Ada riwayat epilepsi pada orang tua dan saudara kandung.
4. Ada riwayat infeksi otak atau trauma kapitis terutama yang disertai
penurunan kesadaran.
5. Bangkitan pertama berupa status epileptikus.

Tabel 1. Daftar OAE yang umum digunakan dan indikasinya


Tipe kejang Lini pertama Lini kedua

27
Kejang parsial
Parsial sederhana, Carbamazepine Acetazolamide
Parsial kompleks, Lamotigrine Clonazepam
Umum sekunder Levetiracetam Gabapentin
Oxcarbazepine Phenobarbitone
Topiramate Phenytoin
Valproate
Kejang umum
Tonik-klonik, Carbamazepine Acetazolamide
Klonik Lamotrigine Levetiracetam
Topiramate Phenobarbitone
Valproate Phenytoin
Absens Ethosuximide Acetazolamide
Lamotrigine Clonazepam
Valproate
Absens atipikal, Valproate Acetazolamide
Atonik, Clonazepam
Tonik lamotrigine
Phenytoin
Topiramate
Mioklonik Valproate Acetazolamide
Clonazepam
Lamotrigine
Levetiracetam
Phenobarbitone
Piracetam
Sumber: (Consensus Guidelines on the Management of epilepsy, 2010)

Tabel 2. Pedoman dosis obat anti-epilepsi lini pertama pada orang dewasa
Dosis Waktu
Jumlah
Dosis harian Dosis paruh
Obat Indikasi dosis per
awal umum rumatan plasma
hari
(mg) (jam)
Carbamazepine Parsial & KUTK 400 600 600-1200 2-3* 16-36
Phenyltoin Parsial &KUTK 300 300 300-500 1 24-40
atau status
epilepticus
Valproic acid Parsial & KUTK 500- 1000 1000-3000 2 8-16
1000
Phenobarbital Parsial & KUTK, 60-90 120 90-120 1 72-120 †
kejang neonatal, 48 ‡
atau status
epilepticus
Primidone Parsial & KUTK 100- 500 250-1500 3
125
Ethosuximide Kejang absans 500 1000 1000-2000 2
umum
Clonazepam Epilepsi 1 4 2-8 1 or 2

28
mioklonik,
sindroma L-G,
spasme infantil,
atau status
epilepsticus
* KUTK (Kejang Umum Tonik Klonik) L-G (Lennox Gastaut) †:
dewasa ‡ : anak-anak

Dibawah ini merupakan pedoman dosis obat anti-epileptik yang baru yang
dijelaskan pada tabel 3.
Tabel 3.Pedoman dosis obat anti-epileptik baru

Waktu paruh
Obat Indikasi Dosis awal Dosis rumatan dalam plasma
(jam)
Levetiracetam † Parsial & 2 X 1000 mg/hari 1000-3000 not established
KUTKS 1000 mg/hari q 2 mg/hari
wk
Gabapentin Parsial & 300 mg/hari ; 900-3600 mg/hari 6
KUTKS  300mg/hari q1-
(dewasa) 3d
Lamotrigine † Parsial & 25-50mg/d; Sampai 700 25 (12-14 dengan
KUTKS  50mg q1-2 wk; mg/hari (100-150 obat-obat induksi
(dewasa) or 25mg q2d; with mg/hari dengan enzim ; 60 dengan
VPA VPA) VPA)

Felbamate Parsial & 2-3 X 400 mg/hari 1800-4800 mg/d 20-23


KUTKS ( concomitant
(dewasa) PHT, CBZ,VPA
tiap 20-33%)
dengan dosis  tiap
400-600 mg/d
q2wk sampai 45
Sindroma L-G mg/kg/d
3-4 x 15 mg/kg/d;
( concomitant
PHT, CBZ,VPA
tiap 20-33%),
dengan dosis  15
mg/kg/d q1-2 wk
Clobazam Parsial & 10mg qb atau 20-30mg/hari 30-46
KUTKS 2 X10 mg/hari sampai 60mg/d
Oxcarbazepine † Parsial & 2 X 300mg/d 1200- 8-24
KUTKS 2400mg/hari

29
Tiagabine** Parsial & Tidak Tersedia 32-56mg/hari 6-8
KUTKS
Topiramate† Parsial & 100 mg/hari ;  400-1000mg/hari 20-24
KUTKS 25 -50 mg/hari tiap
minggu
Vigabatrine** Parsial & 2 X 500 mg/hari Sampai 3 g/hari 4-8 (efek
KUTKS berlangsung
Dimungkinkan sampai 3 hari)
untuk spasme
infantile
Zonisamide* Parsial & 100-200 mg/hari 400-600 mg/hari 50-68 (27-38
KUTKS 100 mg/hari q1-2 dengan obat-obat
wk induksi enzim)
** - di Indonesia tidak tersedia dan dilaporkan banyak efek samping
KUTKS : Kejang Umum Tonik-Klonik Sekunder ; L-G = Lennox-Gastaut ; q =
every ; qb = at bedtime
Catatan : ada obat yang sudah diakui sebagai mono terapi yaitu oxcarbazepine,
lamotrigin, topiramat, levetriracetam untuk mioklonik.
Obat anti-epilepsi memiliki beberapa efek samping yang dapat dilihat pada tabel 4
dibawah ini.

Tabel 4.Efek samping obat anti-epilepsi klasik


Side effect
Drug
Terkait dosis Idiosinkretik
Carbamazepin Diplopia, dizziness, nyeri Ruam morbiliform,
kepala, mual, mengantuk, agranulositosis, anemia
neutropenia, hiponatremia aplastik, efek hepatotoksik,
Sindroma Stevens-Johnson,
teratogenicity
Phenytoin Nistagmus, ataxia, mual, Jerawat, coarse facies,
muntah, hipertrofi gusi, hirsutism, cariasis, lupus-
depresi, mengantuk, like syndrome, ruam,
paradoxical increase in Sindroma Stevens-Johnson,
seizure, anemia Dupuytren’s contracture,
megaloblastik efek hepatotoksik,
teratogenicity
Valproic acid Tremor, berat badan Pankreatitis akut, efek
bertambah, dispepsia, mual, hepatotoksik,
muntah, kebotakan, trombositopenia,
tetratogenicity ensefalopati , udem perifer
Phenobarbital Kelelahan, listlesness, Ruam makulopapular,
depresi, insomnia (pada exfoliation, nekrosis
anak), distractability (pada epidermal toksik, efek
anak), hiperkinesia (pada hepatotoksik, arthritic

30
anak), irritability (pada changes, Dupuytren’s
anak) contracture, teratogenicity
Pirimidone Kelelahan, listlessness, Ruam, agranulositosis,
depresi, psikosis, libido trombositopenia, lupus-like
menurun, impoten syndrome, teratogenicity
Ethosuximide Mual, anoreksia, muntah Ruam, eritema multiformis,
agitasi, mengantuk, nyeri Sindroma Steven-Johnson,
kepala, lethargy lupus-like syndrome,
agranulositosis, anemia
aplastic
Clonazepam Kelelahan, sedasi, Ruam, trombositopenia
mengantuk, dizziness,
agresi (pada anak)
hiperkinesia (pada anak)

Tabel 5. Efek samping obat anti-epilepsi baru


Efek samping yang lebh serius
Obat Efek samping utama
namun jarang
Levetiracetam Somnolen, asthenia, sering muncul
ataksia. Juga dilaporkan penurunan
kecil kadar sel darah merah,
hemoglobin, dan hematokrit.
Gabapentin Somnolen, kelelahan, ataksia,
dizziness, gangguan saluran cerna
Lamotrigine Ruam, dizziness, tremor, ataksia, Sindroma Stevens- Johnson
diplopia, nyeri kepala, gangguan
saluran cerna
Clobazam Sedasi, dizziness, irritability,
depresi,disinhibition
Vigabatrin Perubahan perilaku, depresi, sedasi, Psikosis
kelelahan, berat badan bertambah,
gangguan saluran cerna
Oxcarbazepin Dizziness, diplopia, ataksia, nyeri
e kepala, kelemahan, ruam,
hiponatremia
Zonisamide Somnolen, nyeri kepala, dizziness,
ataksia, renal calculi
Tiagabine Confusion, dizziness, gangguan
saluran cerna, anoreksia, kelelahan
Topiramate Gangguan kognitif, tremor,
dizziness, ataksia, nyeri kepala,
kelelahan, gangguan saluran cerna,
renal calculi
Pemberhentian Obat Antiepilepsi:
Setelah bangkitan terkontrol dalam jangka waktu tertentu, OAE dapat dihentikan
dengan syarat berikut:

31
 Dilakukan secara bertahap setelah 2-5 tahun pasien bebas kejang,
tergantung dari bentuk bangkitan dan sindroma epilepsi yang diderita
pasien. Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien dan keluarga.
 Penghentian OAE dilakukan secara perlahan, umumnya 25% dari dosis
semula, setiap bulan dalam jangka 3-6 bulan.
 Bila bangkitan sulit dikontrol, dapat ditunggu sampai 5 tahun.
 Pada bentuk epilepsi simptomatik dengan lesi struktural yang jelas,
pengobatan perlu dilakukan tanpa batas waktu.
 Pada pasien post operasi epilepsi, umumnya dilakukan penghentian OAE
setelah 1,5-5 tahun pasien bebas kejang.
 Gambaran EEG normal.
 Bila digunakan lebih dari 1 OAE, maka penghentian dimulai dari 1 OAE
yang bukan utama.
Rujukan ke spesialis perlu dipertimbangkan apabila:
- Tidak responsif terhadap 2 OAE pertama
- Terdapat efek samping yang signifikan dengan terapi
- Berencana untuk hamil
Mekanisme kerja obat anti epilepsi dibagi menjadi dua cara, yakni
peningkatan inhibisi (GABAergik) dan penurunan ekasitasi yang kemudian
mempengaruhi aktivitas ion-ion seperti Na, K, Ca dan Cl atau aktivitas
neurotransmitter, meliputi:
1. Inhibisi kanal Na pada membrane sel akson. Obat yang bekerja pada tahap
ini antara lain: phenytoin, carbamazepine, phenobarbytal dan asam
valproat, lamotridine, topiramate, zonisamat.
2. Inhibisi kanal Ca tipe T pada neuron thalamus (yang berperan sebagai
pacemaker cetusan listrik di korteks serebri). Obat-obatnya meliputi:
etosuksimide, asam valproat, dan clonazepam.
3. Peningkatan inhibisi GABA
a. Secara langsung meningkatkan produksi GABA pada kompleks GABA
dan kompleks Cl. Contoh obat: benzodiazepine, barbiturate.

32
b. Menghambat degradasi GABA dengan cara mengambil kembali atau
reuptake dan juga memengaruhi metabolism GABA itu sendiri. Obat-
obatnya adalah: tiagabine, vigabatrine, asam valproate, Gabapentin.
4. Penurunan neurotransmitter eksitasi glutamate. Contoh: lamotrigine,
phenobarbytal, dan topiramat.
Terapi Non Farmakologi
a. Nutrisi
b. Bedah
 Tujuan:
1. Membuat penyandang epilepsi terbebas kejang
2. Meningkatkan kualitas hidup penyandang epilepsi
3. Menurunkan morbiditas
4. Menurunkan gangguan psikososial
5. Meminimalkan defisit neurologis
 Kriteria:
1. Sindrom epilepsi fokal dan simtomatik yang refrakter terhadap
OAE
2. IQ >70
3. Tidak ada kontraindikasi pembedahan
4. Tidak ada kelainan psikiatrik yang jelas
 Indikasi:
1. Epilepsi refrakter
2. Mengganggu kualitas hidup
3. Menfaat operasi lebih besar dibanding risiko
 Kontraindikasi aboslut:
1. Penyakit neurologik yang progresif (baik metabolik maupun
degeneratif)
2. Sindrom epilepsi yang benigna, yang diharapkan terjadi remisi di
kemudian hari
 Kontraindikasi relatif:
1. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan

33
2. Psikosis interiktal
3. Retardasi mental

c. Aspek Olahraga
Pasien epilepsi dapat diperbolehkan berolahraga
Pilihan olahraga yang diperbolehkan dengan pertimbangan :
1. Dilakukan dilapangan atau gedung olahraga
2. Olahraga dilakukan di jalan ummum, diketinggian, diair, dan perlu kontak
tubuh, sebaiknya dihindari
10. Komplikasi
Alasan kenapa kejang-kejang pada penderita epilepsi perlu ditangani dengan
tepat adalah untuk menghindari terjadinya komplikasi dan situasi yang dapat
membahayakan nyawa penderitanya. Contohnya adalah terjatuh, tenggelam, atau
mengalami kecelakaan saat berkendaraan akibat kejang.
Masalah kesehatan mental yang muncul akibat epilepsi juga tidak boleh
dianggap enteng. Penderita bisa saja melakukan bunuh diri akibat
merasa depresi dengan kondisinya tersebut.Dalam hal ini, peran keluarga dan
orang-orang yang dekat dengan penderita sangat dibutuhkan untuk selalu
memberikan dukungan dan semangat padanya.
Dalam kasus yang jarang terjadi, epilepsi dapat menimbulkan komplikasi
berupa status epileptikus. Status epileptikus terjadi ketika penderita mengalami
kejang selama lebih dari lima menit atau mengalami serangkaian kejang pendek
tanpa kembali sadar di antara kejang. Status epiliptikus dapat menyebabkan
kerusakan permanen pada otak, bahkan kematian.
11. Pencegahan
Pencegahan pada prinsipnya adalah menghindari faktor pencetus agar tidak
terjadi epilepsi yang berulang. Dapat dilakukan dengan cara
1. Pengobatan anti-kejang bisa sepenuhnya mencegah terjadinya keparahan
pada penderita epilepsi
2. pasien untuk tidak menkonsumsi alkohol.
3. Hindari trauma kapitis saat olahraga dengan memakai helm

34
4. Usahakan makan minum dan tidur yang cukup
5. Usahakan jangan terlalu lelah atau stress.
6. Buatlah tanda pengenal kepada penderita dan catatan obat yang biasa
diminum.
12. Prognosis
Pada sekitar 70% kasus epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat anti
epilepsi. Namun prognosis tergantung jenis serangan, usia, waktu serangan
pertama terjadi, saat dimulai pengobatan, ada tidaknya kelainan neurologik atau
mental dan faktor etiologik. Prognosis terbaik adalah untuk serangan umum
primer seperti kejang tonik klonik dan serangan petit mal, sedangkan serangan
parsial dengan simptomatologi kompleks kurang baik prognosisnya. Juga
serangan epilepsi yang mulai pada waktu bayi dan usia dibawah tiga tahun
prognosisnya relatif buruk.

13. STATUS EPILEPTIKUS


13.1 Definisi
SE didefinisikan sebagai kejang yang berkepanjangan dimana kejang
berlangsung lebih dari 30 menit atau terjadi gangguan fungsi vital, atau kejang
berulang dimana diantara kejang penderita tidak sadar.
13.2 Epidemiologi
Frekuensi SE diperkirakan mencapai 10 – 60 per 100.000 penduduk setiap
tahun dan bervariasi dipengaruhi oleh faktor etnik, genetik, sosio-ekonomi, usia,
retardasi mental dan adanya kelainan struktural terutama dilobus frontal.
Pada penderita epilepsi, status dapat dicetuskan oleh penghentian obat,
adanya penyakit lain atau gangguan metabolik, progresivitas dari penyebab
epilepsi dan lebih sering terjadi pada epilepsi simtomatik.
Sekitar 5% penderita epilepsi dewasa mengalami status sepanjang
hidupnya sedangkan pada anak-anak lebih tinggi mencapai 10-25%. Sebagian
besar SE terjadi pada bukan penderita epilepsi tetapi pada keadaan gangguan
serebral akut. Pada anak-anak penyebab utama adalah infeksi yang disertai febris

35
sedangkan pada dewasa penyebab tersering adalah gangguan serebrovaskuler,
hipoksia, gangguan metabolic dan penggunaan alkohol.

13.3 Etiologi
SE dapat terjadi pada penderita epilepsi maupun pada penderita yang tidak
mempunyai latar belakang epilepsi sebelumnya. Pada SE epileptik, SE timbul
pada penderita epilepsi dengan faktor presipitasi antara lain: ketidakpatuhan
dalam pengobatan, perubahan pengobatan, penghentian obat antiepilepsi. Pada
penderita tanpa riwayat epilepsi, SE dapat timbul akibat adanya: penyakit
serebrovaskuler (stroke), infeksi SSP (meningitis/ensefalitis), cedera kepala akut,
tumor otak, infeksi sistemik atau gangguan metabolic, intoksikasi,
penyalahgunaan obat atau alkohol.
Kita juga perlu mengetahui beberapa obat yang dapat menurunkan ambang
kejang atau berinteraksi dengan obat antiepileptic sehingga penggunaannya dapat
menurunkan kadar obat antiepilepsi.
Beberapa obat yang dapat menurunkan ambang kejang atau berinteraksi sehingga
berpotens untuk menurunkan kadar obat antiepilepsi.
Antibiotika :
Penicillins
Imipenem
Cephalosporins
Isoniazid
Metronidazole
Erythromycin
Ciprofloxacin, ofloxacin
Antihistamin
Diphenhydramine
Antipsikotik
Clozapine, chlorp omazine
Antidepresan
Maprotiline

36
Bupropion
Tricyclics, especially clomipramine
Obat lainnya
Fentanyl
Flumazenil
Ketamine
Lidocaine
Lithium
Meperidine
Propoxyphene
Theophylline
Baclofen (acute withdrawal)
13.4 Klasifikasi
SE dapat diklasifikasikan berdasarkan usia, bentuk kejang, etiologi, dan
patofisiologi yang mendasari. SE dapat diklasifikasikan ke dalam 2 bagian besar:
1. SE konvulsif (umum tonik klonik)
Terdiri dari SE umum tonik-klonik, SE tonik, SE klonik dan SE
mioklonik. Kasus yang paling sering terjadi dan disertai morbiditas-
mortalitas tinggi adalah SE umum tonik-klonik.
2. SE non-konvulsif
SE non-konvulsif didefinisikan sebagai aktivitas bangkitan elektrik/klinik
berkepanjangan (berlangsung minimal 30 menit) yang tidak disertai
konvulsi (kejang). Dapat berupa status epileptikus absence, status
epileptikus parsial kompleks atau status epileptikus non-konvulsivus pada
pasien koma.

Klasifikasi SE:
SE pada awal masa anak-anak:
 SE neonatal.
 SE pada spesifik neonatal epilepsi sindrom.
 Spasme infatil.

37
a) SE pada masa anak-anak:
 Febrile status epilepticus.
 Status pada childhood partial epilepsy syndrome.
 SE pada myoclonic astatic epilepsy.
 SE elektrikal selama slow wave sleep.
 Sindroma Landau-Cleffner.
b) SE pada anak-anak dan dewasa:
 SE tonik-klonik.
 SE absence.
 Epilepsi parsialis kontinua.
 SE pada koma.
 Bentuk spesifik SE pada retardasi mental.
 SE sindroma mioklonik.
 SE nonkonvulsif parsial sederhana.
 SE parsial kompleks.
c) SE pada dewasa:
 Status absence onset dewasa.
Untuk memudahkan dalam penatalaksanaannya, secara sederhana SE dapat
diklasifikasikan menjadi:
 Tonik-klonik.
 Absence.
 Mioklonik.
 Kompleks parsial.
 Fokal motor (epilepsy parsialis kontinua).
Berdasarkan etiologinya, SE dapat dibagi menjadi dua:
 Etiologi epileptik.
SE timbul pada penderita yang mempunyai latar belakang epilepsi
sebelumnya. Hal ini biasanya dipresipitasi oleh kondisi-kondisi tertentu,
antara lain:
- Ketaatan yang buruk terhadap pengobatan.

38
- Perubahan terapi.
- Penghentian obat golongan barbiturate atau benzodiazepin.
- Penyalahgunaan obat atau alkohol.
- Pseudo SE.
 Etiologi non-epileptik.
Status epilepsi terjadi pada penderita yang tidak mempunyai latar belakang
epilepsi sebelumnya. Hal ini disebabkan oleh latar belakang penyakit
lainnya, seperti:
- Stroke.
- Meningoensefalitis.
- Trauma kepala akut.
- Tumor otak.
- Penyakit demielinisasi.
- Gangguan metabolik.
- Overdosis obat.
- Inflamasi arteritis.
- Intoksikasi.
13.5 Fase
Dalam perkembangannya menjadi SE, biasanya melalui beberapa fase.
 Fase premonitori:
Pada fase ini didapatkan peningkatan aktivitas epilepsi baik frekuensi
maupun tingkat keparahan. Hal ini merupakan pertanda impending status
epilepticus.
 Perubahan fisiologis pada SE:
Fase 1: Fase kompensasi (0 – 30 menit).
- Peningkatan metabolisme otak.
- Peningkatan aliran darah otak serta penghantaran glukosa dan oksigen
terhadap jaringan aktif yang bertujuan melindungi jaringan otak dari
hipoksia atau kerusakan metabolik.
- Perubahan endokrin sehingga menyebabkan hiperglikemi.
- Peningkatan tekanan darah.

39
- Aktivitas otonom yag massif.
- Pelepasan epinefrin dan norepinefrin.
- Perubahan kardiovaskuler.
Perubahan serebral Perubahan sistemik dan Perubahan otonom
metabolik dan kardiovaskuler
- Peningkatan aliran - Hiperglikemia - Hipertensi
darah - Asidosis laktat - Peningkatan curah
- Peningkatan jantung
metabolism - Peningkatan
- Peningkatan tekanan vena
utilisasi O2 dan sentral
glukosa - Pelepasan masif
- Peningkatan katekolamin
konsentrasi laktat - Takikardi
- Peningkatan - Disaritmia jantung
konsentrasi - Salivasi
glukosa - Hiperpireksia
- Muntah
- Inkontinensia

Fase 2: Fase dekompensasi.


Mekanisme kompensasi fisiologis mulai gagal akibat kejang yang terus-
menerus.
- Kebutuhan metabolik otak sangat tinggi sehingga tidak tercukupi.
- Hipoksia, gangguan fungsi otak dan pola metabolik sistemik yang
akhirnya menyebabkan edema serebri dan penurunan aliran darah otak.
- Perubahan otonom masih berkelanjutan.
- Kegagalan fungsi kardiorespirasi untuk mempertahankan homeostasis.
Sebagai hasil akhirnya adalah
i. Iskemia serebri
ii. Asidosis
iii. Hipoksia
iv. Kerusakan dan kematian neuronal.

Perubahan serebral Perubahan sistemik dan Perubahan otonom dan


metabolik kardiovaskuler
- Kegagalan - Hipoglikemia - Hipokasia sistemik
otoregulasi serebral - Hiponatremia - Penurunan tekanan

40
- Hipoksia - Hipokalemi/hiperkalemi darah
- Hipoglikemia - Asidosis metabolik dan - Penurunan curah
- Konsentrasi laktat respiratorik jantung
berkurang - Disfungsi renal dan hepar - Gangguan respirasi
- Penurunan status - Koagulasi konsumtif, dan jantung (edema
energy DIC, kegagalan organ paru, kolaps
- Peningkatan tekanan multiple respirasi, gagal
intracranial dan - Rhabdomiolisis, jantung, disaritmia)
edema serebri mioglobinuria - Hiperpireksia
- Lekositosis

13.6 Penatalaksanaan SE
SE merupakan suatu kondisi yang emergensi, sehingga membutuhkan
penatalaksanaan yang cepat dan tepat.
1. Penatalaksanaan umum.
 Perbaiki fungsi vital.
- Amankan jalan nafas dan lakukan resusitasi jika diperlukan; pastikan
respirasi adekuat, periksa tekanan darah dan irama jantung, lakukan
pemasangan jalur intravena, pipa nasogastric, dan kateter dower.
- Pemeriksaan segera:
 Tes darah untuk evaluasi metabolik, level obat antiepilepsi, dan zat
toksik.
 EKG.
- Monitoring tanda-tanda vital.
 Terapi medikamantosa.
Terapi ini diberikan dengan tujuan untuk menghentikan kejang dan
mengkoreksi komplikasi.
- Tahap premonitoring.
Berikan diazepam 10 mg intravena (i.v.)/per rektal (p.r.).
Protokol penanganan SE konvulsivus:
Stadium I (0 – 10 menit) i. Memperbaiki fungsi kardio-respirasi
ii. Memprbaiki jalan napas, pemberian oksigen,
resusitasi bila perlu
iii. Penghentian bangkitan dengan segera:
Diazepam 10 – 20 mg iv (diberikan 2 – 5 menit)
atau rektal, dapat diulangi 15 menit kemudian
bila bangkitan masih berlanjut

41
Stadium II (10 – 60 i. Pengukuran tanda vital (tekanan darah, nadi,
menit pertama) respirasi, dan suhu)
ii. Pemeriksaan fisik umum dan status neurologis
iii. Monitor status metabolik, AGD, status
hematologi
iv. Pemeriksaan EKG
v. Memasang infus pada pembuluh darah besar
(NaCl 0,9%)
vi. Mengambil sampel darah untuk pemeriksaan
laboratorium (AGD, glukosa, fungsi ginjal dan
hati, kalsium, magnesium, pemeriksaan
hematologi lengkap, waktu pembekuan dan
kadar obat anti epilepsi)
vii. Obat: diazepam 0,2 mg/kgBB i.v (kecepatan 2 –
5 mg/menit) atau rektal. Dapat diulang bila
kejang berlangsung selama 5 menit)
viii. Memasukkan 50 cc glukosa 50% pada keadaan
hipoglikemia
ix. Pemberian Thiamin 250 mg i.v pada alkoholik
x. Menangani asidosis
Stadium III (0 – 60 i. Menentukan etiologi
menit/90 menit) ii. Bila bangkitan berlangsung terus selama 30
menit setelah pemberian diazepam pertama, beri
fentoin i.v 15 – 20 mg/kg dengan kecepatan ≤ 50
mg/menit. Bila kejang berlanjut dapat diberi
phenytoin tambahan 5 – 10 mg/kgBB. Bila
kejang masih berlanjut beri Phenobarbital i.v 20
mg/kgBB dengan kecepatan 50 – 75 mg/menit
(monitor respirasi saat pemberian). Dapat
diulang 5 – 10 mg/kgBB
iii. Memulai terapi dengan vasopressor bila
diperlukan
iv. Mengatasi komplikasi
Stadium IV (30 – 90 i. Bila bangkitan tetap tidak teratasi selama 30 – 60
menit) menit, transfer pasien ke ICU, beri Propofol (2
mg/kb bolus i.v, diulang bila perlu) atau
Midazolam (0,1 mg/kgBB kecepatan 4
mg/menit) atau Tiopentone (100 – 250 mg bolus
i.v pemberian dalam 20 menit, diikuti bolus 50
mg setiap 2 – 3 menit)
ii. Memantau bangkitan dan EEG, tekanan
intracranial, memulai pemberian OAE dosis
rumatan

42
Gambar Alur Tatalaksana Status Epileptikus

Sebagai dokter yang bertugas di lini pertama adalah mengatasi stadium


premonitory, stadium I dan II, serta mencegah pasien jatuh ke dalam stadium
lanjut. Rujuk pasien ke dokter spesialis segera setelah melakukan penatalaksanaan
pertama. Bila keadaan status epileptikus masih berlanjut setelah 30 menit, maka
pasien harus segera dipindahkan ke unit perawatan intensif.
13.7 Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada SE antara lain:
 Hipotermi.
 Asidosis.
 Hipotensi.
 Rabdomiolisis.
 Gagal ginjal.
 Infeksi.
 Edema otak.
13.8 Prognosis
Penatalaksanaan SE sering kurang optimal. Penyebab utamanya adalah
misdiagnosis, kesalahan rute pemberian obat (pemberian i.m pada obat yang

43
seharusnya diberikan secara i.v), dosis obat yang tidak adekuat, penundaan terapi
suportif untuk memperbaiki fungsi kardiorespiratori, kegagalan mendeteksi
komplikasi sistemik yang terjadi atau keterlambatan merujuk pasien.
Prognosis status epilepsi berhubungan dengan etiologinya. Mortilitas 20%,
biasanya disebabkan oleh penyakit yang mendasarinya bukan oleh status
epilepsinya, kejadiannya lebih tinggi pada usia lanjut daripada anak-anak.
Gangguan neurologis dan retardasi mental sebagai gejala sisa lebih sering terjadi
pada anak-anak dan sangat dipengaruhi oleh durasi dari SE-nya. Serangan
bangkitan merupakan predictor utama terhadap angka kematian akibat SE.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Browne T.R, Holmes G.L, Status Epilepticus in Hand Book of Epilepsy.


Lippincott Williams & Wilkins. 2nd edition. 2000. 197-214.
2. Shorvon E.D, Perucca E, Fish D.R, Dodson W.E. Emergency Treatment
of Seizure and Status Epilepticus in The Treatment of Epilepsy. Blackwell
Science Ltd, 2nd edition. 2004. 227-243
3. Smith DF., Applenton R.E, Mc Kenzie L.M, Chadwick D.W. An Atlas of
Epilepsy. The Panthenon Pub Group Ltd 1998. 47-48
4. Markam S, Gunawan S, Lazuardi S. Diagnostik Epilepsi. Dalam: Markam
Soemarmo, penyunting. Penuntun Neurologi. Edisi 1. Tangerang:
Binarupa Akasara; 2009.h.103-113.
5. Aicardi J dan Taylor D.C., 2008. History and Physical Examination.
Epilepsy A comprehensive texbook 2nd edition. Lipincott William &
Wilkins. Pp: 785- 789
6. Calisir N., Bora I., Irgil E., Boz M., 2006.Prevalence of Epilepsy in Bursa
City Center, an Urban Area of Turkey. Epilepsia 47:1691-1699
7. Amalia L, Gamayani U, dan Aminah S., 2009. Peran penting perekaman
EEG dalam diagnosis penderita epilepsi pada anak. Bandung: Bagian Ilmu
Penyakit Saraf RSUP Dr. Hasan Sadikin
8. Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, 7-127, Pustaka
Cendekia Press, Yogyakarta
9. Rates of disease epilepsy. WHO. 2016 avaliabel online at
http://www.who.int/entity/mediacentre /factsheets/fs999/en/index.html
10. Epidemiologi epilepsi. Universitas Diponogoro avaliabel online at
http://eprints.undip.ac.id/31219/2/Bab_1.pdf
11. Basuki A, Dian S. Kegawatdaruratan Neurologi. Edisi kedua. Bandung:
Bagian Neurologi FK UNPAD; 2009. hal. 163
12. Diagnosis Epilepsi. Jurnal Ilmiah Kedokteran Wijaya Kusuma. (Available
on-line with updates at www.perdossi.or.id [diunduh 15 Maret 2016].

45
13. Marpaung, Vera. Depresi pada Penderita Epilepsi Umum dengan Kejang
Tonik Klonik dan Epilepsi Parsial Sederhana. Library.usu.ac.id. 2003
14. Epilepsi. Perpustakaanuns.ac.id. digilib.uns.ac.id. http://eprints.uns.ac.id.
[Diunduh 15 Maret 2016].
15. Penyakit Epilepsi. USU Institutional Repository.
http://repository.usu.ac.id. [Diunduh 15 Maret 2016].

46

You might also like