You are on page 1of 42

PEDOMAN PEMERIKSAAN FISIK DIAGNOSTIK

BAB 1

PENDAHULUAN

Tujuan umum pemeriksaan fisik adalah untuk memperoleh informasi mengenai status
kesehatanpasien. Tujuan definitif pemeriksaan fisik adalah, pertama, untuk
mengidentifikasi status “normal” dan kemudian mengetahui adanya variasi dari keadaan
normal tersebut dengan cara memvalidasi keluhan-keluhan dan gejala-gejala pasien,
penapisan/skrining keadaan pemantaua masalah kesehatan/penyakit pasien saat ini.1
Tidak ada yang absolut mengenai metode yang digunakan dan sistem yang harus dicakup
dalam suatu pemeriksaan fisik. Penentuan pilihan dipengaruhi oleh usia pasien, gejala, data
fisik dan laboratorium lainnya, serta tujuan pemeriksaan itu sendiri (misalnya,
penapisan/screening fisik umum, pemeriksaan fisik spesifik, atau analisis gejala-gejala).
Kunjungan berikutnya atau tindak lanjut merupakan kunjungan yang terjadwal untuk
mengkaji progresi atau kesembuhan dari suatu masalah atau abnormalitas tertentu).
Pemeriksaan klinis umum adalah pemeriksaan mengenai tanda-tanda patologis pada tubuh
dengan jalan melakukan inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Keempat cara
pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan semua indera dan dibantu oleh alat-alat
pemeriksaan yang lazim digunakan dibidang kedokteran.1 Diawal, kita melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan umum secara berurutan dan sistematis. Untuk pemeriksaan ini
perlu dilakukan agar didapat kesan secara umum disamping keluhan yang telah dinyatakan
oleh penderita sebelumnya.1, Pada pemeriksaan status presens kita lakukan pemeriksaan
untuk menetapkan tingkat kesadaran penderita, menetapkan keadaan umum, menetapkan
keadaan penyakit, menetapkan keadaan gizi menetapkan bentuk badan dan habitus, serta
menetapkan tanda vital.1,2
BAB II
TUJUAN

Umum :
Tersedianya dukungan sumberdaya kesehatan dan alat kesehatan untuk
pemeriksaan fisik diagnostik di puskesmas
Khusus :
Tersusunnya pedoman pemeriksaan fisik diagnostik
- Memberikan pedoman perencanaan tentang pemeriksaan fisik diagnostik,
pengadaan alat kesehatan, dan pengadaan alat pemeriksaan penunjang
diagnostik-
- Dasar pengkajian dalam rencana pengembangan pelayanan puskesmas

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1KESADARAN
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien yang
wajar terhadap stimulus visual, auditor maupun taktil. Seorang yang sadar dapat
tertidur, tapi segera terbangun bila dirangsang. Bila perlu, tingkat kesadaran dapat
diperiksa dengan memberikan rangsang nyeri.2,3
Skala Koma Glasgow Untuk mengikuti perkembangan tingkat kesadaran dapat
digunakan skala koma Glasgow yang memperhatikan tanggapan (respons) penderita
terhadap rangsang dan memberikan nilai pada respons tersebut. Tanggapan/respons
penderita yang perlu diperhatikan adalah: a. Membuka mata Nilai
Spontan 4 Terhadap bicara (suruh pasien membuka mata) 3 Dengan rangsang nyeri
(tekan pada saraf supraorbita atau kuku jari) 2 Tidak ada reaksi (dengan rangsang
nyeri pasien tidak membuka mata) 1 b. Respons verbal (bicara)
Baik dan tak ada disorientasi (dapat menjawab dengan kalimat yang baik dan tahu
dimana ia berada, tahu waktu, hari, bulan) 5 Kacau (“confused”) (dapat berbicara
dalam kalimat, namun ada disorientasi waktu dan tempat)
4 Tidak tepat (dapat mengucapkan kata-kata, namun tidak berupa kalimat dan tidak
tepat)
3 Mengerang (tidak mengucapkan kata, hanya suara mengerang) 2 Tidak ada
jawaban 1 c. Respons motorik (gerakan) Menurut perintah (misanya disuruh: “angkat
tangan!”) 6 Mengetahui lokasi nyeri 5 Reaksi menghindar 4 Reaksi fleksi
(dekortikasi) 3 Reaksi ekstensi (deserebrasi) 2 Tidak ada reaksi 1
Bila kita gunakan skala Glasgow sebagai patokan untuk koma, maka koma = tidak
didapatkan respons membuka mata, bicara, dan gerakan dengan jumlah nilai = 3.3
Tingkat Kesadaran Kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya
maupun terhadap lingkungannya. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa
dengan baik. Apatis, yaitu keadaan dimana pasien tampak segan dan acuh tak acuh
terhadap lingkungannya. Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan
motorik dan siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah,
kacau, disorientasi dan meronta-ronta. Somnolen (letargia, obtundasi, hipersomnia),
yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih penuh bila dirangsang, tetapi bila
rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali. Sopor (stupor), yaitu keadaaan
mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan dengan rangsang yang
kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun sempurna dan tidak
dapat memberikan jawaban verbal yang baik. Semi koma (koma ringan), yaitu
penurunan kesadaran yang tidak memberikan respon terhadap rangsang verbal, dan
tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik.
Respon terhadap rangsang nyeri tidak adekuat. Koma, yaitu penurunan kesadaran
yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.2,3 3.2 PEMERIKSAAN LEHER Pemeriksaan leher terdiri dari
inspeksi, palpasi, dan auskultasi. Inspeksi: melihat kelainan berupa asimetri, pulsasi-
pulsasi, tumor atau pembengkakan dan pembatasan pergerakan. Dengan
meregangkan dan pembengkokan leher ke lateral otot-otot sternokleidomastoid
menjadi tegang dan membuat batas yang jelas antara triangular anterior dan posterior.
Dengan begini pembesaran thyroid, pembesaran kelenjar limfe atau kelainan struktur
yang lain menjadi lebih jelas. Leher penderita Turner sindrom dan Klipel sindrom
mempunyai karakteristik lipatan-lipatan kulit seperti fan yang terentang ke lateral
dari leher ke bahu. Kelainan ini disebut “webbed neck”.1,4 Palpasi: palpasi struktur
submandibularis dilakukan dengan meletakkan satu jari didalam mulut. Dasar mulut
dan kelenjar ludah submandibular dan kelenjar limfe dapat diraba dengan mudah.
Pada palpasi thyroid yang normal didapatkan satu massa yang licin, keras dan
bergerak bila penderita menelan. Pemeriksaan dilakukan dengan cara pemeriksa
berdiri dibelakang penderita. Ujung-ujung jari kedua tangan diletakkan pada jaringan
thyroid sedangkan trakea memisahkan tangan pemeriksa. Kemudian penderita
disuruh menelan dan thyroid menggelincir diantara jarijari tangan pemeriksa
memberi kesan tentang besarnya, batasnya dan keras lunaknya thyroid.
Pembesaran thyroid dapat disebabkan oleh Graves disease, colloid goiter, cyste
thyroid, dll.1,4 Auskultasi: auskultasi thyroid pada Graves disease didapat sistolik
bruit. Bruit ini juga didapati pada penyakit jantung dengan cardiac murmur yang
dirambatkan melalui a.carotis. sistolik thrill yang synchronous dengan bruit dapat
diraba pada beberapa penderita. Thyroid bruit dan thrill hampir pathognomonis
Graves disease dan jarang didapati pada colloid goiter dan penyakit thyroid yang
lain. Arteri carotis dapat berpulsasi yang disebabkan oleh: Aorta insufficiency Anemi
Hyperthyroidism, Aneurisma a.carotis, Kelainan-kelainan jantung seperti: premature
contraction dan auricular fibrillation Pada auskultasi a.carotis bias didapati sistolik
bruit yang disebabkan oleh obstruksi karena arterie sclerosis. Tempat auskultasi ini
ialah di atas dan di bawah klavikula setentang a.innominate dan subclavicula,
kemudian di atas a.carotis dan bifurcation. Kalau didengar desah sistolik harus
dibedakan dengan desah aorta.1,2,4
3.3 PEMERIKSAAN THORAX: Sebaiknya pasien diperiksa dalam keadaan duduk.
Jika berbaring maka pemeriksaan tidak dapat sempurna dilakukan, sebab paru-paru
tidak dapat berkembang dengan sempurna dan bias terjadi asimetris. Selain dari pada
itu dengan berbaring maka suara perkusi yang sonor bias menjadi beda. Inspeksi.
Inspeksi adalah pemeriksaan pertama yang dapat dilakukan dengan hanya melihat
pasien. Kelainan-kelainan inspeksi toraks dapat berupa: 1 Kelainan dinding dada 2
Kelainan bentuk dada Kelainan dinding dada Kelainan-kelainan yang bias
didapatkan pada dinding dada yaitu parut bekas operasi, pelebaran vena-vena
superfisial akibat bendungan vena, spider naevi, ginekomasti tumor, luka operasi,
retraksi otot-otot interkostal, dll. Kelainan bentuk dada:
Bentuk toraks dapat normal dan dapat pula tidak normal, yaitu toraks paralitik dan
toraks
emfisema. Bentuk toraks normal dapat dinilai berupa toraks yang diameter lateral kiri
dan kanan
lebih besar dari pada diameter antero-posterior dan pergerakan pernafasan iga-iga
bagian bawah
bergerak ke atas dan lateral.
 Dada paralitikum dengan cirri-ciri:
- Dada kecil, diameter sagital pendek
- Sela iga sempit, iga lebih miring, Angulus costae <90o
- Terdapat pada pasien dengan malnutrisi
 Dada emfisema (Barrel-shape):
- Dada mengembung, diameter anteroposterior lebih besar dari diameter latero-lateral
- Tulang punggung melengkung (kifosis), Angulus costae>90o
- Terdapat pada pasien dengan bronkitis kronis, PPOK
 Kifosis: kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah anterior.
 Skoliosis: kurvatura vertebra melengkung secara berlebihan ke arah lateral.
Frekuensi pernapasan:
Frekuensi pernafasan normal 14-20x/menit. Pernafasan kurang dari 14x/menit
disebut bradipnea,
misalnya akibat pemakaian obat-obat narkotik, kelainan serebral. Pernafasan lebih
dari
20x/menit disebut takipnea, misalnya pada pneumonia, anksietas, asidosis.
Jenis pernafasan:
 Torakal, misalnya pada pasien sakit tumor abdomen, peritonitis umum.
 Abdominal, misalnya pasien PPOK lanjut.
 Kombinasi (paling banyak). Pada perempuan sehat umumnya pernapasan torakal
lebih
dominan dan disebut torako-abdominal. Sedangkan pada laki-laki sehat pernapasan
abdominal lebih dominan dan disebut abdomino-torakal. Keadaan ini disebabkan
bentuk
anatomi dada dan perut perempuan berbeda dari laki-laki. Perhatikan juga apakah
terdapat pemakaian otot-otot bantu pernapasan misalnya pada pasien tuberkulosis
paru
lanjut atau PPOK. Disamping itu adakah terlihat bagian dada yang tertinggal dalam
permapasan, dan bila ada keadaan ini menunjukkan adanya gangguan pada daerah
tersebut.
 Jenis pernapasan lain yaitu pursed lips breathing (pernapasan seperti menghembus
sesuatu melalui mulut, didapatkan pada pasien PPOK) dan pernapasan cuping
hidung,
misalnya pada pasien pneumonia.
Pola pernapasan:
 Pernapasan normal: irama pernapasan yang berlangsung secara teratur ditandai
dengan
adanya fase-fase inspirasi dan ekspirasi yang silih berganti.
 Takipnea: napas cepat dan dangkal.
 Hiperpnea/hiperventilasi: napas cepat dan dalam.
 Bradipnea: napas yang lambat.
 Pernapasan Cheyne Stokes: irama pernapasan yang ditandai dengan adanya periode
apnea
(berhantinya gerakan pernapasan) kemudian disusul periode hiperpnea (pernapasan
mulamula kecil amplitudonya kemudian cepat membesar dan kemudian mengecil
lagi). Siklus
ini terjadi berulang-ulang. Terdapat pada pasien dengan kerusakan otak, hipoksia
kronik.
Hal ini terjadi karena terlambatnya respon reseptor klinis medulla otak terhadap
pertukaran gas.
 Pernapasan Biot (Ataxic breathing): jenis pernapasan ini tidak teratur, baik dalam
hal
frekuensi maupun amplitudonya. Terdapat pada cedera otak. Bentuk kelainan irama
pernapasan tersebut, kadang-kadang dapat ditemukan pada orang normal tapi gemuk
(obesitas) atau pada waktu tidur.
 Sighing respiration: pola pernapasan normal yang diselingi oleh tarikan napas yang
dalam.4,5
Palpasi. Palpasi dinding dada dapat dilakukan pada keadaan statis dan dinamis.
1 Palpasi dalam keadaan statis.
 Pemeriksaan kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening yang membesar di
daerah
supraklavikula dapat memberikan petunjuk adanya proses di daerah paru seperti
kanker
paru.
 Pemeriksaan untuk menentukan posisi mediastinum. Posisi mediastinum dapat
ditentukan
dengan melakukan pemeriksaan trakea dan apeks jantung. Pergeseran mediastinum
bagian atas dapat menyebabkan deviasi trakea. Deviasi pulsasi apeks jantung
menunjukkan adanya pergeseran mediastinum bagian bawah. Perpindahan pulsasi
apeks
jantung tanpa disertai deviasi trakea biasanya disebabkan oleh pembesaran ventrikel
kiri.
2 Palpasi dalam keadaan dinamis.
 Pemeriksaan ekspansi paru. Dalam keadaan normal kedua sisi dada harus sama-
sama
mengembang selama inspirasi biasa maupun inspirasi maksimal. Pengembangan paru
bagian atas dilakukan dengan mengamati pergerakan kedua klavikula.
 Pemeriksaan vocal fremitus. Pemeriksaan ini dilakukan dengan cara meletakkan
kedua
telapak tangan pada permukaan dinding dada, kemudian pasien diminta menyebutkan
angka “77” atau “99”, sehingga getaran suara yang ditimbulkan akan lebih jelas.
Pada pemeriksaan kedua telapak tangan harus selalu disilang secara bergantian. Hasil
pemeriksaan fremitus ini dilaporkan sebagai normal, melemah, atau mengeras.
Fremitus yang
melemah didapatkan pada penyakit empiema, hidrotoraks, atelektasis. Fremitus yang
mengeras terjadi karena adanya infiltrate pada parenkim paru (misalnya pada
pneumonia,
tuberculosis paru aktif).4,5
Perkusi.
Berdasarkan patogenesisnya, bunyi ketukan yang terdengar dapat bermacam-macam,
yaitu:
a Sonor (resonant): terjadi bila udara dalam paru (alveoli) cukup banyak, terdapat
paru
yang normal;
b Hipersonor (Hiperresonant): terjadi bila udara didalam paru/dada menjadi jauh
lebih
banyak, misalnya pada emfisema paru, kavitas besar yang letaknya superficial,
pneumotoraks dan bula yang besar;
c Redup (dull): bila bagian yang padat lebih banyak dari pada udara, misalnya:
adanya
infiltrate/konsolidasi akibat pneumonia, efusi pleura yang sedang;
d Pekak (flat/stony dull): terdapat pada jaringan yang tidak mengandung udara
didalamnya,
misalnya pada tumor paru, efusi pleura massif;
e Bunyi timpani terdengar pada perkusi lambung akibat getaran udara di dalam
lambung.
Pada paru bagian depan dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan secara
bergantian kiri dan
kanan (zigzag). Dalam keadaan normal didapatkan hasil perkusi yang sonor pada
kedua paru.
Pemeriksaan lain yang dilakukan pada paru depan adalah perkusi untuk menentukan
batas paru
hati dan paru lambung.4,5
Batas Paru-Hati
Untuk menentukan batas paru hati dilakukan perkusi sepanjang garis midklavikula
kanan sampai
didapatkan adanya perubahan bunyi dari sonor menjadi redup. Perubahan ini
menunjukkan batas
antara paru dan hati. Tentukan batas tersebut dengan menghitung mulai dari sela iga
ke 2 kanan,
dan umumnya didapatkan setinggi sela iga ke 6. Setelah batas paru hati diketahui,
selanjutnya
dilakukan tes peranjakan antara inspirasi dan ekspirasi. Pertama-tama pasien
dijelaskan
mengenai apa yang akan dilakukan, kemudian letakkan 2 jari tangan kiri tepat di
bawah batas
tersebut. Pasien diminta untuk menarik napas dalam dan kemudian ditahan,
sementara itu
dilakukan perkusi pada 2 jari tersebut. Dalam keadaan normal akan terjadi perubahan
bunyi yaitu
dari yang tadinya redup kemudian sonor kembali. Dalam keadaan normal didapatkan
peranjakan
sebesar 2 jari.
Untuk menentukan batas paru lambung dilakukan perkusi sepanjang garis aksilaris
anterior kiri
sampai didapatkan perubahan bunyi dari sonor ke timpani. Biasanya didapatkan
setinggi sela iga
ke 8. Batas ini sangat dipengaruhi oleh isi lambung.5
Pada paru belakang dilakukan pemeriksaan perkusi perbandingan secara zigzag.
Selanjutnya
untuk menentukan batas paru belakang bawah kanan dan kiri dilakukan dengan
pemeriksaan
perkusi sepanjang garis skapularis kanan dan kiri. Dalam keadaan normal didapatkan
hasil
perkusi yang sonor pada kesua paru. Scapula sebaiknya dikesampingkan dengan cara
meminta
pasien menyilang kedua lengannya di dada. Biasanya batasnya adalah setinggi
vertebra torakalis
10 untuk paru kiri sedangkan paru kanan 1 jari lebih tinggi.5
Auskultasi.
Auskultasi merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menilai aliran udara
melalui
system trakeobronkial. Pemeriksaan auskultasi ini meliputi pemeriksaan suara napas
pokok,
pemeriksaan suara napas tambahan, dan jika didapatkan adanya kelainan dilakukan
pemeriksaan
untuk mendengarkan suara ucapan atau bisikan pasien yang dihantarkan melalui
dinding dada.
Pola suara napas diuraikan berdasarkan intensitas, frekuensi serta lamanya fase
inspirasi dan
ekspirasi.
Suara napas pokok yang normal terdiri dari:
 Vesikular: suara napas pokok yang lembut dengan frekuensi rendah dimana fase
inspirasi
langsung diikuti dengan fase ekspirasi tanpa diselingi jeda, dengan perbandingan 3:1.
Dapat
didengarkan pada hampir kedua lapangan paru.
 Bronkovesikular: suara napas pokok dengan intensitas dan frekuensi yang sedang,
dimana
fase ekspirasi menjadi lebih panjang sehingga hamper menyamai fase inspirasi dan
diantaranya kadang-kadang dapat diselingi jeda. Dalam keadaan normal bias
didapatkan pada
dinding anterior setinggi sela iga 1 dan 2 serta daerah interskapula.
 Bronkial: suara napas pokok yang keras dan berfrekuensi tinggi, dimana fase
ekspirasi
menjadi lebih panjang dari fase inspirasi dan diantaranya diselingi jeda. Terjadi
perubahan
kualitas suara sehingga terdengar seperti tiupan dalam tabung. Dalam keadaan
normal dapat
didengar pada daerah manubrium sterni.
 Trakeal: suara napas yang sangat keras dan kasar, dapat didengarkan pada daerah
trakea.
 Amforik: suara napas yang didapatkan bila terdapat kavitas besar yang letaknya
perifer dan
berhubungan dengan bronkus, terdengar seperti tiupan dalam botol kosong.4,5
Suara napas tambahan terdiri dari:
 Ronki basah (crackles atau rales): suara napas yang terputus-putus, bersifat
nonmusical, dan
biasanya terdengar pada saat inspirasi akibat udara yang melewati cairan dalam
saluran
napas. Ronki basah lebih lanjut dibagi menjadi ronki basah halus dan kasar
tergantung
besarnya bronkus yang terkena. Ronki basah halus terjadi karena adanya cairan pada
bronkiolus, sedangkan yang lebih halus lagi berasal dari alveoli yang sering disebut
krepitasi,
akibat terbukanya alveoli pada akhir inspirasi. Krepitasi terutama dapat didengar
fibrosis
paru. Sifat ronki basah ini dapat bersifat nyaring (bila ada infiltrat misalnya pada
pneumonia)
ataupun tidak nyaring (pada edema paru).
 Ronki kering: suara napas kontinyu, yang bersifat musical, dengan frekuensi yang
relatif
rendah, terjadi karena udara mengalir melalui saluran napas yang menyempit,
misalnya
akibat adanya secret yang kental. Wheezing adalah ronki kering yang frekuensinya
tinggi dan
panjang yang biasanya terdengar pada serangan asma.
 Bunyi gesekan pleura (Pleural friction rub): terjadi karena pleura parietal dan
visceral yang
meradang saling bergesekan satu dengan yang lainnya. Pleura yang meradang akan
menebal
atau menjadi kasar. Bunyi gesekan ini terdengar pada akhir inspirasi dan awal
ekspirasi.
 Hippocrates succussion: suara cairan pada rongga dada yang terdengar bila pasien
digoyanggoyangkan. Biasanya didapatkan pada pasien dengan hidropneumotoraks.
 Pneumotohorax click: bunyi yang bersifat ritmik dan sinkron dengan saat kontraksi
jantung,
terjadi bila didapatkan adanya udara diantara kedua lapisan pleura yang menyelimuti
jantung.5
Teknik Pemeriksaan Kemungkinan Temuan
Inspeksi toraks dan gerakan napas
Frekuensi, irama, kedalaman, dan upaya
bernapas
Takipnea, hiperpnea, pernapasan CheyneStokes
Retraksi inspirasi pada area supraklavikular Terjadi pada penyakit paru obstruktif
menahun
(PPOM), asma, obstruksi jalan napas atas
Kontraksi inspirasi sternomastoideus Menandakan kesulitan pernapasan yang berat
Dengarkan pernapasan pasien untuk mengetahui
Frekuensi dan irama pernapasan 14-16x/menit pada dewasa
Stridor Stridor pada obstruksi jalan napas atas akibat
benda asing atau epiglotis
Mengi Mengi ekspirasi pada asma dan PPOM
DADA POSTERIOR4
Teknik Pemeriksaan Kemungkinan Temuan
Inspeksi dada untuk mengetahui
Deformitas atau asimetris Kifoskoliosis
Retraksi inspirasi abnormal dan interkostal Retraksi pada obstruksi jalan napas
Gangguan atau kelambanan gerakan
pernapasan unilateral
Penyakit yang penyebab dasarnya di paru atau
pleura, paralisis nervus frenikus
Palpasi dada untuk mengtahui
Area nyeri tekan Fraktur iga
Abnormalitas yang terlihat Massa, saluran sinus
Ekspansi dada Gangguan, kedua sisi pada PPOM dan
penyakit paru restriktif
Fremitus taktil ketika pasien mengatakan “aa”
atau “uu”
Peningkatan atau penurunan local atau umum
Perkusi dada pada area yang digambarkan,
dengan membandingkan satu sisi dengan sisi
yang lain pada tinggi yang sama, dengan
menggunakan “pola berjenjang” sisi ke sisi
Bunyi pekak terjadi bila cairan atau jaringan
padat menggantikan bagian paru yang
normalnya terisi udara; bunyi hiperresonan
pada emfisema atau pneumotoraks
Identifikasi tingkat kepekaan diafragmatik
pada setiap sisi dan perkirakan penurunan
diafragmatik
Efusi pleura atau paralisis diafragma
meningkatkan tingkat kepekakan bunyi yang
ditimbulkan
Dengarkan dada menggunakan stetoskop dengan pola berjenjang dari sisi ke sisi
Evaluasi bunyi napas Bunyi napas vesikular, bronkovesikular, atau
bronchial; penurunan bunyi napas akibat
berkurangnya aliran udara
Perhatikan setiap bunyi tambahan (adventisius) Crackles (halus dan kasar) dan bunyi
yang
kontinu (mengi dan ronki)
Intensitas Relatif, Tinggi
Nada, dan Durasi
Contoh
Datar Halus/tinggi/pendek Efusi pleura yang luas
Pekak Sedang/sedang/sedang Pneumonia lobaris
Resonan Keras/rendah/panjang Paru normal, bronchitis kronis
yang sederhana
Hiperesonan Lebih keras/lebih rendah/
lebih panjang
Emfisema, pneumotoraks
Timpani Keras/tinggi Pneumotoraks yang luas
Temuan Fisik pada Gangguan Dada Tertentu4,5
Trakea Nada Perkusi Bunyi Napas Bunyi Suara
yang
Ditransmisikan
Bunyi Tambahan
Bronkitis
Kronis
Di garis
tengah
Resonansi Normal Normal Tidak ada, atau
mengi, ronki,
crackles
Gagal
Jantung Kiri
(dini)
Di garis
tengah
Resonansi Normal Normal Crackles pada
inspirasi akhir di
paru bagian
bawah,
kemungkinan
mengi
Konsolidasi Di garis
tengah
Pekak Bronkial Meningkat Crackles pada
akhir inspirasi
Atelektasis
(lobaris)
Mungkin
bergesar ke
depan
(tertarik)
Pekak Biasanya
tidak ada
Biasanya tidak
ada
Tidak ada
Efusi pleura
(luas)
Mungkin
bergeser
menjauh
Pekak Menurun
sampai tidak
terdengar
Menurun
sampai tidak
terdengar
Biasanya tidak
ada;
kemungkinan
gesekan pleura
Pneumotorak
s
Mungkin
bergeser
menjauh
Hiperesonansi
atau timpani
Menurun
sampai tidak
terdengar
Menurun
sampai tidak
terdengar
Kemungkinan
gesekan pleura
PPOM Di garis
tengah
Hiperesonansi Menurun
sampai tidak
terdengar
Menurun Tidak ada
kecuali juga ada
bronchitis
Asma Di garis
tengah
Resonansi
sampai
hiperesonansi
Mungkin
tersamar oleh
bunyi mengi
Menurun Mengi, mungkin
crackles
3.4 PEMERIKSAAN FISIK JANTUNG
Letak topografi jantung adalah 2/3 bagian jantung terletak di rongga dada kiri dan 1/3
sisanya
terletak disebelah kanan. Di bagian bawah berbatas langsung dengan diafragma.
Dalam melakukan pemeriksaan fisis jantung diperlukan patokan berupa garis-garis
dan titik-titik
tertentu.
Garis-garis Patokan adalah sebagai berikut:
 Garis mid sterna, yaitu garis tengah yang ditarik mulai dari manubrium sterni
sampai
processus xyphoideus.
 Garis sterna adalah garis yang melalui titik-titik batas antara sternum dengan tulang
rawan
iga, dari atas ke bawah dan didapatkan kiri dan kanan.
 Garis midclavicular didapatkan kiri dan kanan. Mula-mula diraba keseluruhan
tulang
klavikula. Kemudian ditentukan titik tengahnya. Dari titik tengah ini ditarik garis
lurus ke
caudal. Biasanya pada pria normal garis midclavicula ini melewati papilla mammae.
 Garis parasternal adalah garis paralel dengan garis midclavicula yang ditarik dari
titik tengah
jarak antara garis midclavicula dengan garis sternal.
 Garis aksila anterior adalah garis yang ditarik melalui tepi lipat ketiak anterior,
kearah
kaudal.
 Garis aksila posterior adalah garis yang ditarik melalui tepi ketiak posterior kearah
kaudal.
 Garis mid aksila adalah garis di tengah antara garis aksila anterior dan garis aksila
posterior.6
Titik-titik Patokan:
 Angulus Ludovici adalah perbatasan antara manubrium sterni dan korpus sterni,
yang bila
diraba terasa menonjol. Titik ini merupakan perlengketan antara tulang iga II dengan
sternum. Titik ini dipakai juga sebagai patokan dalam mengukur tekanan vena
jugularis
eksterna.
 Area apeks: terletak di sela iga V sekitar 2 jari medial dari garis midklavikula kiri.
Titik ini
merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup mitral, karena bunyi jantung dari katup
mitral
paling optimal terdengar di titik tersebut.
 Area trikuspidal: terletak di sela iga IV-V sterna kiri dan di sela iga IV-V sterna
kanan. Titik
ini merupakan titik lokasi untuk auskultasi katup trikuspidal.
 Area septal terletak di sela iga III sterna kiri merupakan titik auskultasi optimal
untuk
mendengarkan bising akibat aliran shunt di septum karena terdapat defek, yaitu pada
ASD
dan VSD.
 Area pulmonal terletak di sela iga II garis sterna kiri merupakan titik auskultasi
optimal
untuk bunyi jantung katup pulmonal.
 Area aorta terletak di sela iga II garis sterna kanan merupakan titik auskultasi
optimal untuk
bunyi jantung aorta.
 Titik carotis setinggi processus thyroideus kiri dan kanan untuk mendengarkan bila
ada
bising yang menjalar dari katup aorta.
Pada area-area apeks, tricuspidal, pulmonal, dan aorta dapat dilihat pulsasi yang
berlebihan,
getaran (thrill), gerakan-gerakan dinding jantung abnormal yang teraba.4,6
Inspeksi
Secara umum hal-hal yang berkaitan dengan akibat penyakit jantung harus diamati,
missal
tampak capai, kelelahan akibat cardiac output rendah, frekuensi napas meningkat,
sesak yang
menunjukkan adanya bendungan paru atau edema paru. Sianosis sentral dengan
clubbing finger
dan kaki berkaitan dengan adanya aliran shunt kanan ke kiri. Begitu juga dengan ada
tidaknya
edem.
Khusus inspeksi pada organ jantung adalah dengan melihat pulsasi di area apeks,
trikuspidal,
pulmonal, aorta.
Palpasi
Dengan mempergunakan ujung-ujung jari atau telapak tangan, tergnatung rasa
sensitivitasnya,
meraba area-area apeks, trikuspidal, septal, pulmonal, dan aorta. Yang diperiksa
adalah:
 Pulsasi.
 Thrill yaitu getaran yang terasa pada tangan pemeriksa. Hal ini dapat teraba karena
adanya
bising yang minimal derajat 3. Dibedakan thrill sistolik atau thrill diastolic
tergantung di fase
mana berada.
 Heaving yaitu rasa gelombang yang kita rasakan di tangan kita. Hal ini karena
overload
ventrikel kiri, misal pada insufisiensi mitral.
 Lift yaitu rasa dorongan terhadap tangan pemeriksa. Hal ini karena adanya
peningkatan
tekanan di ventrikel, misal pada stenosis mitral.
 Ictus cordis yaitu pulsasi di apeks. Diukur berapa cm diameter, dimana normalnya
adalah 2
cm dan ditentukan lokasinya yang biasanya terletak pada 2 jari medial dari garis
midclavicula kiri.6
Perkusi
Dengan perkusi dapat ditentukan batas-batas jantung, pinggang jantung dan contour
jantung.
Batas Jantung Kanan
Mula-mula ditentukan lebih dahulu titik tengah garis midclavicula kanan. Jari-jari
tangan kanan
diletakkan sejajar dengan iga. Kemudian dilakukan perkusi mulai dari titik tengah
tadi, dari
cranial kearah caudal. Suara normal yang didapat adalah bunyi sonor yang berasal
dari paru.
Perkusi diteruskan sampai timbul suara redup, biasanya pada sela iga VI kanan.
Bunyi redup ini
adalah berasal dari batas antara paru dan puncak hati. Puncak hati ini ditutupi oleh
diafragma dan
masih ada jaringan paru di atas jaringan puncak hati itu, sehingga terdapat gabungan
antara
massa padat dan sedikit udara dari paru. Setelah didapat titik batas sonor redup,
diukur 2 jari
kearah cranial. Pada titik yang baru ini diletakkan kembali telapak tangan dan jari-
jarinya
diposisikan dengan arah jari tegak lurus terhadap iga. Kemudian dilakukan perkusi
kearah
medial untuk mencari perubahan suara dari sonor ke redup yang merupakan batas
relative kanan
jantung dan normal adalah pada garis sterna kanan. Dari titik batas ini selanjutnya
dilakukan
perkusi sampai mendapat suara pekak, yang merupakan batas absolute jantung
kanan, biasanya
pada garis midsternal.6
Batas Jantung Kiri
Mula-mula ditentukan garis aksila anterior kiri. Bila terdapat pembesaran jantung ke
kiri, perkusi
dapat dimulai dari garis aksila medial. Kemudian jari tengah kiri diletakkan pada titik
teratas
garis aksila anterior dengan arah jari sejajar dengan iga. Perkusi dari kranial ke
kaudal untuk
mencari perubahan bunyi dari sonor ke tympani yang merupakan batas paru-
lambung, biasanya
pada sela iga VIII kiri. Dari titik ini diukur 2 jari ke arah cranial. Dari titik yang baru
ini,
dilakukan perkusi lagi ke arah medial dengan posisi jari kiri tegak lurus terhadap iga,
sampai
timbul perubahan suara dari sonor ke redup, yang merupakan batas relative jantung
kiri dan
biasanya terletak pada 2 jari medial garis mid klavikula kiri. Perkusi diteruskan ke
medial,
sampai terjadi perubahan suara dari redup ke pekak yang merupakan batas absolute
jantung kiri.
Pada keadaan emfisema paru, batas-batas jantung absolut akan mengecil.6
Batas Jantung Atas
Tentukan garis sterna kiri lebih dulu. Dari titik teratas dilakukan perkusi dengan arah
sejajar iga
kearah kaudal, sampai terjadi perubahan suara dari sonor ke redup. Normal adalah
sela iga II kiri.
Pinggang Jantung
Ditentukan lebih dulu garis parasternal kiri. Kemudian dilakukan perkusi kearah
kaudal mulai
dari titik teratas garis tersebut, dengan posisi jari tengah sejajar iga. Yang dicari
adalah
perubahan bunyi sonor-redup. Batas ini normal terletak pada sela iga III kiri.
Auskultasi:
Lokasi titik pemeriksaan auskultasi adalah:
 Apeks untuk mendengar bunyi jantung yang berasal dari katup mitral
 Sela iga IV-V sterna kiri dan sela iga IV-V kanan untuk mendengarkan bunyi
jantung yang
berasal dari katup trikuspidal
 Sela iga III kiri untuk mendengarkan bunyi patologis yang berasal dari septal bila
ada
kelainan yaitu ASD atau VSD.
 Sela iga II kiri untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup
pulmonal.
 Sela iga II kanan untuk mendengarkan bunyi jantung yang berasal dari katup aorta.
 Arteri karotis kanan dan kiri untuk mendengarkan bila ada penjalaran bising dari
katup aorta
ataupun kalau ada stenosis di arteri karotis sendiri.4,6
Bunyi jantung (BJ) normal terdiri atas bunyi jantung I dan II. Di area apeks dan
trikuspidal BJ I
lebih keras daripada BJ II. Sedangkan di area basal yaitu pulmonal dan aorta, BJ I
lebih lemah
daripada BJ II. BJ I merupakan suara yang dihasilkan dari penutupan katup-katup
mitral dan
trikuspidal, sedangkan BJ II adalah karena menutupnya katup-katup aorta dan
pulmonal. Untuk
menentukan yang mana BJ I adalah dengan meraba arteri radialis atau arteri karotis
atau iktus
kordis, dimana BJ I sinkron dengan denyut nadi arteri-arteri tersebut atau dengan
denyut iktus
kordis.
Fase antara BJ I dan BJ II disebut fase sistolik, sedangkan fase antara BJ II dan BJ I
disebut fase
diastolik. Fase sistolik lebih pendek daripada fase diastolik.
Bunyi Jantung Tambahan
 Bunyi jantung III yaitu jantung yang terdengar tidak lama sesudah BJ II, 0.14-0.16
sek dan
didengar pada area apeks. BJ III ini berintensitas rendah, merupakan bunyi yang
dihasilkan
karena aliran darah yang mendadak dengan jumlah banyak dari atrium kiri ke
ventrikel kiri,
pada permulaan fase diastolik. Biasanya terdapat pada kasus insufisiensi mitral.
 Bunyi jantung IV yaitu bunyi jantung yang terdengar sesaat sebelum BJ I, yang
juga dapat
didengar di apeks, merupakan bunyi akibat kontraksi atrium yang kuat dalam
memompakan
darah ke ventrikel. Hal ini terjadi karena terdapat bendungan di ventrikel sehingga
atrium
harus memompa lebih kuat untuk mengosongkan atrium. Biasanya didapat pada
kasus gagal
jantung.
 Split BJ II yaitu BJ II terpecah dengan intensitas yang sama dan jarak keduanya
dekat. Hal
ini terjadi karena penutupan katup-katup pulmonal dan aorta tidak jatuh bersamaan
sehingga
tidak sinkron. Perbedaan ini terjadi karena ventrikel kanan misal lebih besar sehingga
katup
pulmonal menutup lebih lambat. Misal terjadi pada kasus ASD.
 Opening snap yaitu terbukanya katup mitral yang kaku dengan mendadak, sehingga
terdengar bunyi dengan intensitas tinggi sesudah BJ II. Didapat pada kasus stenosis
mitral.
Makin dekat jarak opening snap dengan BJ II, makin berat derajat MS, berkisar
antara 0.04-
0.12 s.
 Aortic click adalah bunyi yang dihasilkan karena katup aorta yang membuka secara
cepat dan
didapat pada kelainan stenosis aorta.
 Pericardial rub didapat pada kasus perikarditis konstrktiva, terjadi gesekan antara
perikard
lapis visceral dan lapis parietal. Bunyi ini tidak dipengaruhi oleh pernapasan.
Bunyinya kasar
dan dapat didengar di area trikuspidal dan apikal dan bias terdengar pada fase sistolik
atau
diastolik atau keduanya.6
Irama Jantung
 Normal adalah regular, dengan denyut jantung berkisar antara 60-100 per menit.
 Irregular: terdengar ekstra sistol, yaitu irama dasarnya regular tetap diselingi oleh
denyut
jantung ekstra. Irama dasarnya memang sudah tidak teratur, yaitu pada kelainan
aritmia
fibrilasi atrial.
 Irama gallop (derap kuda). Irama jantungnya cepat dan bunyi-bunyi jantungnya
terdiri atas 3
atau 4 komponen, yaitu terdiri dari BJ I – BJ II dan BJ III atau terdiri atas BJ IV – BJ
I – BJ
II atau keduanya yaitu BJ IV – BJ I – BJ II – BJ III. Biasanya dapat didengar di
apeks dan
terdapat pada kasus gagal jantung.4,6
Bising Jantung
Pada tiap kali melakukan auskultasi pada titik-titik area harus diperhatikan apakah
ada bising
jantung. Bila ada bising, harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
 Terletak di fase manakah bising tersebut, yaitu dengan menentukan terlebih dahulu
yang
mana BJ I dan setelah itu ditentukan letak bising tersebut.
 Bagaimana kualitas bising tersebut, yaitu apakah: Kasar seperti ada gesekan yang
sering
disebut rumble dan biasanya didapat pada kasus stenosis mitral sebagai bisisng
diastolik.
Sekaligus ditentukan posisi bising diastolik tersebut, apakah: early-, mid diastolik
atau pra
sistolik. Dicari juga bunyi jantung tambahan opening snap dan biasanya BJ I
mengeras.
Kelainan ini didapat pada stenosis mitral. Halus seperti angin bertiup dan biasanya
mengisi
fase sistolik. Tentukan posisi letak bising, yaitu early-, late sistolik ataupun pan
(holo)
sistolik. Pan sistolik bising sering didapat pada kelainan insufisiensi mitral, disini
juga BJ I
melemah dan cari juga apakah ada BJ III. Type ejection yaitu bising dengan nada
keras,
karena dipompakan melalui celah yang sempit. Didapat pada kasus stenosis aorta.
Continous
murmur yaitu bising yang terdengar terus menerus di fase sistolik dan fase diastolik,
didapatkan pada kasus PDA (Patent Ductus Arterious).
 Punctum maksimum bising jantung harus ditentukan, missal pada apeks,
trikuspidal, ataupun
lainya. Bila pada apeks kurang keras, missal karena obesitas, pasien dapat
dimiringkan ke
kiri, sehingga bising jantung dapat terdengar lebih jelas. Untuk trikuspidal, supaya
lebih
jelas, pasien disuruh bernapas dalam (inspirasi) kemudian tahan. Bising jantung akan
terdengar lebih keras pada inspirasi dan pada ekspirasi bising akan melemah. Untuk
mendengar bising di katup aorta dan pulmonal, pasien disuruh duduk dengan
stetoskop tetap
di lokasi.
 Penjalaran harus diperhatikan. Misal pada kasus insufisiensi mitral akan terjadi
penjalaran ke
lateral dan aksila. Sedangkan pada kasus Mitral valve prolapse (MVP) tidak terjadi
penjalaran bising. Pada kasus dengan kelainan katup aorta akan menjalar ke arteri
carotis,
sehingga perlu dilakukan auskultasi pada karotis.
 Derajat intensitas bising terdapat 6 tingkat, yaitu:
 Derajat 1 terdengar samar-samar.
 Derajat 2 terdengar halus.
 Derajat 3 terdengar jelas dan agak keras.
 Derajat 4 terdengar keras. Dapat juga dengan cara telapak tangan pemeriksa
diletakkan
missal di apeks kemudian dapat didengar dengan stetoskop yang diletakkan pada
punggung telapak tangan tersebut.
 Derajat 5 terdengar sangat keras. Dpat dilakukan dengan cara telapak tangan
pemeriksa
diletakkan di apeks, kemudian stetoskop diletakkan di lengan bagian bawah dan
bising
jantung masih terdengar.
 Derajat 6 sudah terdengar meskipun stetoskop tidak diletakkan di dinding dada.4,6
Khusus untuk bising sistolik perlu diperhatikan bahwa tidak semuanya akibat dari
kelainan
organik katup jantung. Ada kemungkinan karena over volume misal pada anemia
berat,
perempuan hamil. Biasanya bising sistolik ini halus dan terdengar pada semua ostia.
Pembesaran
ventrikel, biasanya pada ventrikel kanan terjadi dilatasi sekunder karena stenosis
mitral, terjadi
pelebaran annulus trikuspidal sehingga akan terdengar arus regurgitasi pada katup
trikuspidal.
Pada tumor miksoma yang menutupi katup mitral akan menyebabkan bising
diastolik.6
Teknik-teknik Pemeriksaan4
Vena Jugularis
Identifikasi pulsasi vena jugularis dan titik
tertingginya di leher. Kepala tempat tidur harus
mulai ditinggikan dengan sudut 300, sesuaikan
sudut tempat tidur dengan kebutuhan.
Pelajari gelombang denyut vena. Perhatikan
adanya gelombang a pada kontraksi atrium dan
gelombang v pada pengisian vena.
Tidak adanya gelombang a pada fibrilasi
atrium; gelombang v menonjol pada regurgitasi
trikuspidal.
Ukur tekanan vena jugularis jarak vertical
antara titik tertinggi dan sudut sternal,
normalnya kurang dari 3-4 cm.
Peninggian JVP pada gagal jantung kanan,
penurunan JVP pada hipovolemia karena
dehidrasi atau perdarahan gastrointestinal.
Inspeksi dan Palpasi dada interior untuk adanya susah mengembangkan dada, henti
gerakan,
atau thrill.4
Identifikasi impuls apical. Miringkan pasien ke kiri. Catat:
Letak impuls Bergeser ke kiri pada wanita hamil.
Diameter Peningkatan diameter, amplitude, dan durasi
pada dilatasi ventrikel kiri karena gagal
jantung kongestif atau kardiomiopati iskemik.
Amplitudo biasanya seperti ketukan. Terus-menerus pada hipertrofi ventrikel kiri;
menyebar pada gagal jantung kongestif.
Durasi
Raba impuls ventrikel kanan pada parasternum
kiri dan area epigastrik.
Kuatnya impuls diduga pembesaran ventrikel
kanan.
Palpasi interkostal kanan dan kiri dekat dengan
sternum. Catat adanya thrill pada area ini.
Pulsasi pembuluh darah besar, S2 yang
menonjol; thrill pada stenosis aorta atau
pulmonal.
Auskultasi
Bunyi Jantung4
Temuan Kemungkinan Penyebab
Peningkatan bunyi S1 Takikardia, keadaaan curah jantung yang tinggi;
stenosis mitral
Penurunan bunyi S1 Blok jantung derajat satu, penurunan kontraktilitas
ventrikel kiri; katup mitral imobil, seperti pada
regurgitasi mitral
Klik sistolik Prolaps katup mitral
Peningkatan bunyi S2 pada antar iga ke-
2 kanan
Hipertensi sistemik, dilatasi radiks aortic
Bunyi S2 menurun atau tidak terdengar
pada antar iga ke-2 kanan
Katup mitral imobil, seperti pada stenosis aortic
kalsifik
Peningkatan P1 Hipertensi pulmonal, arteri pulmonal dilatasi, defek
septum atrium
Peningkatan P2 menurun atau tidak
terdengar
Proses penuaan, stenosis pulmonal
Opening snap Stenosis mitral
Bunyi S3 Fisiologis (biasanya pada anak-anak dan dewasa
muda); gagal miokardial patologis, beban volume
ventrikel, seperti pada regurgitasi mitral
Bunyi S4 Pengondisian fisik yang sangat baik (atlet yang
terlatih); tahanan terhadap pengisian ventrikel karena
menurunnya komplian paru, seperti pada penyakit
jantung hipertensif atau hipertrofi ventrikel kiri
Gradasi Bunyi Murmur4,6
Derajat Deskripsi
Derajat 1 Sangat redup, terdengar hanya bila pendengar “mendengarkan dengan
cermat”; mungkin tidak terdengar pada semua posisi
Derajat 2 Tidak terdengar, tetapi segera terdengar setelah meletakka stetoskop di
dada
Derajat 3 Keras sedang
Derajat 4 Keras, dengan thrill teraba
Derajat 5 Sangat keras, disertai thrill. Mungkin terdengar ketika stetoskop
sebagian menempel di dada
Derajat 6 Sangat keras, disertai thrill. Mungkin terdengar dengan stetoskop tidak
menempel di dada
Pulsus Alternans4
Raba nadi untuk adanya perubahan amplitude.
Turunkan manset tekanan darah perlahan
sampai ke tingkat sistolik sambil
mendengarkan dengan stetoskop si atas arteri
brakialis.
Perubahan amplitude nadi atau bunyi
Korotkoff ganda yang tiba-tiba menandakan
pulsus alternans yakni suatu tanda gagal
ventrikel kiri.
Denyut Paradoksikal4
Kurangi tekanan manset tekanan darah secara
perlahan dan perhatikan dua tingkat tekanan:
(1) di mana bunyi Korotkoff tedengar pertama
kali, dan (2) kapan bunyi tersebut terdengar
menetap pertama kali sepanjang siklus
pernapasan. Perbedaan tingkat ini normalnya
tidak lebih dari 3-4 mmHg.
Nilai yang menurun tajam, yang lebih besar 10
mmHg selama inspirasi, merupakan tanda
denytu paradoksikal. Pertimbangkan adanya
penyakit paru obstruktif, tamponade
pericardial, atau perikarditis konstriktif.
3.5 PEMERIKSAAN ABDOMEN
Pemeriksaan ini dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kepala rata atau dengan
satu bantal,
dengan kedua tangan di sisi kanan-kirinya. Sebaiknya kandung kencing dikosongkan
dulu
sebelum pemeriksaan dilakukan. Pemeriksaan abdomen ini terdiri dari 4 tahap yaitu
inspeksi,
palpasi, perkusi, dan ausklutasi.1,7
Pemeriksaan Inspeksi
Pemeriksaan ini yaitu melihat perut baik bagian depan ataupun belakang (pinggang).
Pada
pemeriksaan tahap awal ini diperhatikan secara inspeksi kelainan-kelainan yang
terlihat pada
perut seperti jaringan parut karena pembedahan, asimetri perut yang menunjukkan
adanya masa
tumor, striae, vena yang berdilatasi. Cari kaput medusa (aliran berjalan keluar dari
umbilikus)
atau obstruksi vena kava inferior, peristalsis usus, distensi dan hernia.
Pada keadaan normal terlentang, dinding perut terlihat simetris. Bial ada tumor atau
abses atau
pelebaran setempat lumen usus membuat perut terlihat tidak simteris. Bila terlihat
gerakan
peristaltik usus maka dapat dipastikan adanya hiperperistaltik dan dilatasi sebagai
akibat
obstruksi lumen usus. Obstruksi lumen usus ini dapat disebabkan macam-macam
kelainan antara
lain tumor, perlengketan, strangulasi dan skibala.
Pada keadaan patologis, perut membuncit disebabkan oleh ileus paralitik, ileus
obstruktif,
meteorismus, asites, kistoma ovarii, dan kehamilan.
Pada kulit perut perlu diperhatikan adanya sikatriks akibat ulserasi pada kulit atau
akibat operasi
atau luka tusuk. Adanya garis-garis putih sering disebut striae alba yang dapat terjadi
setelah
kehamilan atau pada pasien yang mulanya gemuk atau bekas asites. Striae kemerahan
dapat
terlihat padan sindrom Cushing. Pulsasi arteri pada dinding perut terlihat pada pasien
aneurisma
aorta atau kadang-kadang pada pasien yang kurus, dan dapat terlihat pulsasi pada
epigastrium
pada pasien insufisiensi katup trikuspidalis.
Kulit perut menjadi kuning pada berbagai macam ikterus. Adakala ditemukan garis-
garis bekas
garukan yang menandakan pruritus karena ikterus atau diabetes mellitus.
Pelebaran vena terjadi pada hipertensi portal. Pelebaran di sekitar umbilicus disebut
kaput
medusa yang terdapat pada sindrom Banti. Pelebaran vena akibat obstruksi vena kava
inferior
terlihat sebagai pelebaran vena dari daerah inguinal ke umbilicus, sedang akibat
obstruksi vena
kava superior aliran vena ke distal.7
Pemeriksaan Palpasi
Palpasi dilakukan secara sistematis, perhatikan ekspresi wajah pasien selama
pemeriksaan
palpasi. Cari apakah ada pembesaran masa tumor, apakah hati, limpa dan kandung
empedu
membesar atau teraba. Periksa apakah ginjal, ballottement positif atau negatif.
Palpasi dilakukan dalam 2 tahap, yaitu palpasi permukaan (superficial) dan palpasi
dalam (deep
palpation). Palpasi dapat dilakukan dengan satu tangan ataupun dua tangan
(bimanual), terutama
pada pasien gemuk.
Palpasi superficial: posisi tangan menempel pada dinding perut. Umumnya
penekanan dilakukan
oleh ruas terakhir dan ruas tengah jari-jari, bukan dengan ujung jari. Palpasi dalam:
palpasi
dalam dipakai untuk identifikasi kelainan/rasa nyeri yang tidak didapatkan pada
palpasi
superficial dan untuk lebih menegaskan kelainan yang didapat pada palpasi
superficial, dan yang
terpenting yaitu untuk palpasi organ spesifik misalnya palpasi hati, limpa, ginjal.
Perinci nyeri tekan abdomen antara lain berat ringannya, lokasi nyeri yang maksimal,
apakah ada
tahanan (peritonitis), apakah ada nyeri rebound bila tak ada tahanan. Perinci masa
tumor yang
ditemukan antara lain lokasi, ukuran (dalam cm), bentuk, permukaan (rata atau
ireguler),
konsistensi (lunak atau keras), pinggir (halus atau ireguler), nyeri tekan , melekat
pada kulit atau
tidak, melekat pada jaringan dasar atau tidak, berpulsasi/exponsile (missal aneurisma
aorta), lesilesi satelit yang berhubungan (missal metastase), transiluminasi (missal
kista), dan adanya bruit.
Pada palpasi hati, mulai dari fosa iliaka kanan dan bergerak ke atas pada tiap
respirasi, jari-jari
harus mengarah pada dada pasien. Pada palpasi kandung empedu, yang teraba
biasanya selalu
abnormal, pada keadaan ikterus kandung empedu yang teraba berarti bahwa
penyebabnya bukan
hanya batu kandung empedu tapi juga harus dipikirkan karsinoma pancreas. Pada
palpasi limpa,
mulai dekat umbilicus, raba limpa pada tiap inspirasi, bergerak secara bertahap ke
atas dan ke
kiri setelah tiap inspirasi dan jika teraba, baringkan pasien pada posisi left lateral,
dengan
pinggul kiri dan lutut kiri ditekuk.
Usahakan dapat membedakan limpa dengan ginjal. Bila limpa, tak dapat mencapai
bagian
atasnya, bergerak dengan respirasi, redup-pekak pada perkusi, ada notch atau insisura
limpa,
negatif pada ballottement. Bila ginjal, dapat mencapai bagian atasnya, tidak dapat
digerakkan
(atau bergerak lambat), beresonansi pada perkusi, tidak ada notch atau insisura dan
positif pada
ballottement.7
Pemeriksaan Perkusi
Pemeriksaan ini digunakan untuk:
 Mendeteksi kandung empedu atau vesika urinaria, dimana suaranya redup/pekak
 Menentukan ukuran hati dan limpa secara kasar
 Menentukan penyebab distensi abdomen: penuh gas (timpani), masa tumor (redup-
pekak)
dan asites 1). Pekak pada pinggir dan timpani resonan pada bagian tengah/sentral, 2).
Shifting dullness menentukan letak pekak pada perkusi, miringkan pasien pada sisi
kanan/kiri, asites didemonstrasikan dengan adanya timpani pada perkusi setelah
dimiringkan
kembali, 3). Demonstrasikan thrill cairan atau pemeriksaan gelombang.
Dalam keadaan normal suara perkusi abdomen yaitu timpani, kecuali di daerah hati
suara
perkusinya adalah pekak. Hilangnya sama sekali daerah pekak hati dan
bertambahnya bunyi
timpani di seluruh abdomen harus dipikirkan akan kemungkinan adanya udara bebas
di dalam
rongga perut, missal perforasi usus.
Suatu keadaan yang disebut fenomenan papan catur (cheesboard phenomen) dimana
pada
perkusi dinding perut ditemukan bunyi timpani dan redup yang berpindah-pindah,
sering
ditemukan pada peritonitis tuberkulosa.7
Beberapa cara pemeriksaan asites:
Cara pemeriksaan gelombang cairan. Cara ini dilakukan pada pasein dengan asites
yang
cukup banyak dan perut yang agak tegang. Pasien dalam keadaan berbaring
terlentang dan
tangan pemeriksa diletakkan pada satu sisi sedangkan tangan lainnya mengetuk-
ngetuk dinding
perut pada sisi lainnya. Sementara itu mencegah gerakan yang diteruskan melalui
dinding
abdomen sendiri, maka tangan pemeriksa lainnya diletakkan di tengah-tengah perut
dengan
sedikit tekanan.
Pemeriksaan menentukan adanya redup yang berpindah (shifting dullness):
Untuk cairan yang lebih sedikit dan meragukan dapat dilakukan pemeriksaan dengan
posisi
pasien tengkurap dan menungging (knee-chest position). Setelah beberapa saat, pada
perkusi
daerah perut yang terendah jika terdapat cairan akan didengar bunyi redup.
Pemeriksaan Puddle sign. Seperti pada posisi knee-chest dan dengan menggunakan
stetoskop
yang diletakkan pada bagian perut terbawah didengar perbedaan suara yang
ditimbulkan karena
ketukan jari-jari pada sisi perut sedangkan stetoskop digeserkan melalui perut
tersebut ke sisi
lainnya.
Pasien pada posisi tegak maka suara perkusi redup didengar di bagian bawah.7
Pemeriksaan Auskultasi
Pemeriksaan ini untuk memeriksa:
 Suara/bunyi usus: frekuensi dan pitch meningkat pada obstruksi, menghilang pada
ileus
paralitik
 Succession splash – untuk mendeteksi obstruksi pada tingkat lambung
 Bruit arterial
 Venous hum pada kaput medusa
Dalam keadaan normal, suara peristaltik usus kadang-kadang dapat didengar
walaupun tanpa
menggunakan stetoskop, biasanya setelah makan atau dalam keadaan lapar. Dalam
keadaan
normal bising usus terdengar lebih kurang 3 kali permenit. Jika terdapat obstruksi
usus, suara
peristaltik usus ini akan meningkat. Peningkatan suara usus ini disebut borborigmi.
Pada ileus
onstruksi kadang terdengar suara peristaltik dengan nada yang tinggi dan suara logam
(metallic
sound).
Suara murmur sistolik dan diastolik mungkin dapat didengar pada auskultasi
abdomen. Bruit
sistolik dapat didengar pada aneurisma aorta atau pada pembesaran hati karena
hepatoma. Bising
vena (venous hum) yang kadang-kadang disertai dengan terabanya getaran (thrill),
dapat
didengar diantara umbilikus dan epigastrium. Pada keadaan fistula arteriovenosa
intraabdominal
kadang-kadang dapat didengar suara murmur.7
Pemeriksaan Organ Abdomen
Pemeriksaan Hati
Pada inspeksi harus diperhatikan apakah terdapat penonjolan pada region
hipokondrium kanan.
Pada keadaan pembesaran hati yang ekstrim (misal pada tumor hati) akan terlihat
permukaan
abdomen yang asimetris antara daerah hikondrium kanan dan kiri. Untuk
memudahkan perabaan
hati diperlukan: a). Dinding usus yang lemas dengan cara kaki ditekuk sehingga
membentuk
sudut 45-600, b). Pasien diminta untuk menarik napas panjang, c). Pada saat
ekspirasi maksimal
jari ditekan ke bawah, kemudian pada awal inspirasi jari bergerak ke kranial dalam
arah
parabolik, d). Diharapkan, bila hati membesar akan terjadi sentuhan antara jari
pemeriksa dengan
hati pada saat inspirasi maksimal.7
Posisi pasien berbaring terlentang dengan kedua tungkai kanan dilipat agar dinding
abdomen
lebih lentur. Palpasi dikerjakan dengan menggunakan sisi palmar radial jari tangan
kanan (bukan
ujung jari) dengan posisi ibu jari terlipat di bawah palmar manus. Lebih tegas lagi
bila arah jari
membentuk sudut 450 dengan garis median. Ujung jari terletak pada bagian lateral
muskulus
rektus abdominalis dan kemudian pada garis median untuk memeriksa hati lobus kiri.
Palpasi dimulai dari region iliaka kanan menuju ke tepi lengkung iga kanan. Dinding
abdomen
ditekan ke bawah dengan arah dorsal dan kranial sehingga akan dapat menyentuh
tepi anterior
hati. Gerakan ini dilakukan berulang dan posisinya digeser 1-2 jari ke arah lengkung
iga.
Penekanan dilakukan pada saat pasien sedang inspirasi. Bila pada palpasi kita dapat
meraba
adanya pembesaran hati, maka harus dilakukan deskripsi sebagai berikut:
 Berapa lebar jari tangan di bawah lengkung iga kanan?
 Bagaimana keadaan tepi hati. Misalnya tajam pada hepatitis akut atau tumpul pada
tumor
hati?
 Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (konsistensi normal) atau keras (pada
tumor
hati)?
 Bagaimana permukaannya? Pada tumor hati permukaannya teraba berbenjol.
 Apakah terdapat nyeri tekan. Hal ini dapat terjadi pada kelainan antara lain abses
hati, tumor
hati. Selain itu pada abses hati dapat dirasakan adanya fluktuasi.
Pada keadaan normal hati tidak akan teraba pada palpasi kecuali pada beberapa kasus
dengan
tubuh yang kurus (sekitar 1 jari). Terabanya hati 1-2 jari di bawah lengkung iga harus
dikonfirmasi apakah hal tersebut memang suatu pembesaran hati atau karena adanya
perubahan
bentuk diafragma (misal emfisema paru). Untuk menilai adanya pembesaran lobus
kiri hati dapat
dilakukan palpasi pada daerah garis tengah abdomen ke arah epigastrium. Batas atas
hati sesuai
dengan pemeriksaan perkusi batas paru hati (normal pada sela iga 6). Pada beberapa
keadaan
patologis misal emfisema paru, batas ini akan lebih rendah sehingga besar hati yang
normal
dapat teraba tepinya pada waktu palpasi. Perkusi batas atas dan bawah hati
(perubahan suara dari
redup ke timpani) berguna untuk menilai adanya pengecilan hati (misal sirosis hati).
Pekak hati
menghilang bila terjadi udara bebas di bawah diafragma karena perforasi. Suara bruit
dapat
terdengar pada pembesaran hati akibat tumor hati yang besar.7
Pemeriksaan Limpa
Limpa membesar mulai dari bawah lengkung iga kiri, melewati umbilikus sampai
region iliaka
kanan. Palpasi dimulai dari region iliaka kanan, melewati umbilikus di garis tengah
abdomen,
menuju ke lengkung iga kiri. Pembesaran limpa diukur dengan menggunakan garis
Schuffner,
yaitu garis yang dimulai dari titik di lengkung iga kiri menuju ke umbilikus dan
diteruskan
sampai di spina iliaka anterior superior (SIAS) kanan. Garis tersebut dibagi menjadi
8 bagian
yang sama.
Palpasi limpa juga dapat dipermudah dengan memiringkan pasien 45 derajat ke arah
kanan (ke
arah pemeriksa). Setelah tepi bawah limpa teraba, maka dilakukan deskripsi sbb:
 Berapa jauh dari lengkung iga kiri pada garis Schuffner (S-I sampai dengan S-
VIII)?
 Bagaimana konsistensinya? Apakah kenyal (splenomegali karena hipertensi portal)
atau
keras seperti pada malaria?
Untuk meyakinkan bahwa yang teraba itu adalah limpa, harus diusahakan meraba
insisuranya.7
Pemeriksaan Ginjal
Ginjal terletak pada daerah retroperitoneal sehingga pemeriksaan harus dengan cara
bimanual.
Tangan kiri diletakkan pada pinggang bagian belakang dan tangan kanan pada
dinding abdomen
di ventralnya. Pembesaran ginjal (akibat tumor atau hidronefrosis) akan teraba di
antara kedua
tangan tersebut, dan bila salah satu tangan digerakkan akan teraba benturannya di
tangan lain.
Fenomena ini dinamakan ballottement positif. Pada keadaan normal ballottement
negatif.7
3.6 PEMERIKSAAN SISTEM SARAF
Refleks Tendon (Refleks Fisiologis)
1 Reflex Biseps (n,muskulokutaneua, C5-6)
Dalam keadaan duduk: lengan bawah dalam pronasi rileks di atas paha.
Dalam keadaan berbaring: lengan ditaruh di atas bantal, lengan bawah dan tangan di
atas
abdomen.
Taruh ibu jari pemeriksa di atas tendon biseps, tekan bila perlu untuk meyakinkan
regang otot
optimal, sebelum mengetok.
Respon normal berupa fleksi dari siku dan tampak kontraksi otot biseps.
2 Reflex Brakioradialis (n.radialis, C5-6)
Posisi sama dengan reflex biseps, kecuali lengan bawah haris berada antara pronasi
dan
supinasi. Ketok dengan perlahan bagian distal radius kira-kira 5 cm di atas
pergelangan
tangan sambil mengamati dan merasakan adanya kontraksi.
Respon normal berupa fleksi dari siku dan tampak ekstensi lemah jari tangan.
3 Reflex Triseps (n.radialis, C6-8)
Posisi hamper sama dengan reflex biseps. Oleh karena tendon pendek kadang-kadang
sukar
mengetok sejumlah tersebut sekaligus. Sebaiknya pemeriksa melakukan dari arah
samping
belakang pasien untuk mengamati kontraksi. Ketokan dilakukan kira-kira 5 cm di
atas siku.
Respon normal berupa ekstensi dari siku dan tampak kontraksi otot triseps.
4 Reflex Lutut/kuadriseps feromis (n.femoralis, L2-4)
Dalam posisi duduk: kaki tergantung rileks di tepi tempat tidur.
Dalam posisi berbaring: tangan atau lengan bawah pemeriksa ditaruh di bawah lutut
pasien
fleksi sendi lutut tersebut kira-kira 20 derajat, sedangkan tumit pasien harus tetap
berada di
atas tempat tidur. Bila perlu tangan pemeriksa dapat diganti bantal supaya kontraksi
otot di
samping terlihat dapat diraba pula. Palu refleks diketokkan di atas tendon lutut
berganti-ganti
kanan dan kiri.
Respon normal berupa gerakan dari tungkai disertai kontraksi otot kuadriseps.
5 Reflex Tumit/gastroknemius dan soleus (n.tibialis, L5, S1-2)
Dalam posisi duduk: sama dengan posisi refleks biseps, kaki dorsofleksi optimal
untuk
mendapatkan regangan otot cukup.
Dalam posisi berbaring: dilakukan fleksi panggul dan lutut sambil sedikit rotasi paha
keluar.
Ketok tendon tumit dengan palu refleks.
Respon normal berupa fleksi plantar dari kaki dan kontraksi otot gastroknemius.
Refleks Patologis
1 Refleks Babinski
Dengan sebuah benda yang berujung agak tajam seperti kunci, telapak kaki digores
dari arah
tumit menyusur bagian lateral menuju pangkal ibu jari.
Respon refleks: dikatakan positif bila terjadi dorsofleksi dari ibu jari dan biasanya
disertai
dengan pemekaran jari-jari lainnya. Tanda babinski ini dapat ditimbulkan juga
dengan refleks
lain.
2 Refleks Chaddock
Tanda babinski akan timbul dengan menggores bagian bawah dari maleolus lateral
kaki ke
arah depan.
3 Refleks Oppenhelm
Dengan mengurut tulang tibia dengan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah. Positif
bila akan
timbul tanda babinski.
4 Refleks Gordon
Otot gastroknemius dicubit. Positif akan timbul tanda babinski.
5 Refleks Schaefer
Tanda babinski dapat ditimbulkan dengan memijit tendon Achilles.
6 Refleks Rossolimo
Refleks patologik ini ditimbulkan dengan mengetok bagian basis telapak jari-jari
kaki.
Sebagai respons positif akan tampak fleksi dari jari-jari kaki.
7 Refleks Mendel Rechterew
Dengan mengetok bagian dorsal basis jari-jari kaki akan disaksikan gerakan fleksi
jari-jari
kaki.
8 Refleks Hoffman-Tromner
Refleks patologik ini positif bila timbul gerakan mencengkram pada petikan kuku jari
telunjuk atau jari tengah jari tangan.
9 Refleks Leri
Bila pada pergelangan tangan dilakukan hiperfleksi maksimal, maka pada keadaan
normal
akan terjadi fleksi dari sendi siku lengan.
Keadaan patologik bila fleksi siku lengan ini tidak terjadi (refleks negatif).
10 Refleks Mayor
Respon pada refleks Leri akan terjadi pada hiperfleksi basis jari tengah tangan.
Penilaian
sama seperti refleks Leri.
11 Klonus
Bila refleks hiperaktif, refleks ini dapat terjadi berulang terus-menerus bila pemeriksa
mempertahankan suatu tegangan tertentu pada otot termaksud.
Dalam keadaan utngkai rileks, pemeriksa mendadak melakukan dorsofleksi kaki dan
tetap
mempertahankan posisi dorsofleksi ini untuk sementara waktu. Klonus merupakan
manifestasi refleks regang otot yang hiperaktif.2,3
Tanda-tanda Perangsangan Selaput Otak
1 Tanda Kaku Kuduk
Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif
berupa fleksi,
ekstensi, dan rotasi kepala.
Penilaian: tanda ini positif bila didapatkan kekakuan dan tahanan pada pergerakan
fleksi
kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot, dagu tidak dapat disentuhkan ke dada dan
juga
didapatkan tahanan pada hiperekstensi dan rotasi kepala. Bila kekakuan otot
ekstensor sangat
hebat terjadi retraksi leher dan kadang-kadang tulang vertebra, sehingga timbul posisi
yang
disebut sebagai opistotonus.
Tanda kaku kuduk ialah khas untuk gejala meningitis, tetanus, dll.
2 Tanda Kernig
Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul
kemudian ekstensi pada sendi lutut sejauh mungkin tanpa rasa nyeri.
Penilaian: tanda ini positif bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut 1350
disertai spasme
otot paha, biasanya diikuti rasa nyeri.
3 Tanda Laseque
Cara pemeriksaan: pasien dalam rileks berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pada
sensi
panggul sewaktu tungkai dalam ekstensi. Selama fleksi sendi panggul dilakukan
perlahanlahan ditanyakan pada pasien apakah ia merasa nyeri dan dimana rasa nyeri
tersebut terjadi.
Penilaian: tanda ini ada bila sudah timbul rasa nyeri di lekuk iskiadikus atau adanya
tahapan
pada waktu dilakukan fleksi kurang dari 600.
4 Tanda Brudzinski-leher (Brudzinski I)
Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan
kirinya di
bawah kepala dan tangan kanan di atas dada pasien. Kemudian dilakukan fleksi
kepala
dengan cepat ke arah dada sejauh mungkin.
Penilaian: tanda ini positif bila terjadi fleksi involunter pada kedua tungkai. Bila ada
hemiplegia maka fleksi hanya tampak pada tungkai yang tidak plegi.
5 Tanda Brudzinski-kontralateral-tungkai (Brudzinski II)
Cara pemeriksaan: pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif pada sendi
panggul
(seperti pada percobaan Kernig).
Penilaian: tanda ini positif bila pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi
panggul
dan lutut kontralateral (lebih jelas terlihat bila sendi lutut sesisi dalam posisi
ekstensi).3,4
Pemeriksaan Saraf Kranialis3,4
Teknik Pemeriksaan Kemungkinan Temuan
N I (Olfaktorius)
Uji indra penciuman pada masing-masing sisi. Hilang pada lesi lobus frontal
N II (Optikus)
Kaji ketajaman penglihatan. Kebutaan
Periksa lapang pandang. Hemianopsia
Inspeksi diskus optikus. Papiledema, atrofi optik
N II,III (Optikus dan Okulomotorius)
Uji reaksi pupil terhadap cahaya. Jika hasilnya
abnormal, uji reaksi sampai gerakan terdekat.
Kebutaan, paralisis N III, pupil tonik; sindrom
Horner dapat mempengaruhi reaksi cahaya
N III,IV,VI (Okulomotorius, Troklearis, dan
Abdusen)
Kaji gerakan ekstraokular. Strabismus karena paralisis N III, IV, atau VI;
nistagmus
N V (Trigeminalis)
Uji nyeri dan sensasi sentuhan ringan pada
wajah di zona oftalmik, maksilaris, dan
mandibular.
Raba kontraksi otot temporalis dan maseter.
Periksa reflex kornea.
Gangguan motorik atau sensori karena lesi
pada N V atau jaras motorik yang lebih tinggi
N VII (Fasialis)
Minta pasien mengangkat kedua alis matanya,
cemberut, menutup mata dengan rapat,
memperlihatkan gigi, tersenyum,
menggembungkan pipinya.
Kelemahan karena lesi saraf perifer, seperti
pada paralisis Bell, atau SSP, seperti pada
stroke
N VIII (Akustikus)
Kaji pendengaran. Jika kemampuan
pendengaran menurun:
- Uji terhadap lateralisasi (Uji Weber).
- bandingkan konduksi udara dan tulang (Uji
Rinne)
Tuli sensorineural menyebabkan lateralisasi
menjadi kurang terarah ke telinga yang rusak
dan konduksi udara (KU) > konduksi tulang
(KT). Tuli konduksi menyebabkan lateralisasi
kea rah telinga yang rusak dan KT > KU
N IX, X (Glosofaring dan Vagus)
Amati setiap kesulitan menelan.
Dengarkan suara pasien.
Perhatikan naiknya palatum durum dengan
ucapan “ah”.
Uji reflex muntah masing-masing sisi.
Kelemahan palatum atau faring mengganggu
kemampuan menelan
Serak atau suara hidung
Paralisis palatum pada cedera serebrovaskular
Tidak ada refleks
N XI (Aksesorius spinal)
Muskulus Trapezius. Kaji otot terhadap massa,
gerakan involunter dan kekuatan mengangkat
Atrofi, fasikulasi, kelemahan
bahu.
Muskulus Sternomastoideus. Kaji kekuatan
ketika memalingkan kepala melawan tangan
anda. Kelemahan otot sternomastoideus ketika
kepala berpaling ke sisi yang berlawanan
N XII (Hipoglosal)
Dengarkan artikulasi pasien.
Inspeksi seluruh lidah.
Inspkesi lidah yang dijulurkan.
Disartria karena kerusakan N X atau XII
Atrofi, fasikulasi
Deviasi ke sisi yang lemah
Sistem Motorik
 Peringkat Kekuatan Otot3,4
Tingkat Deskripsi
0 Tidak terdapat kontraksi muscular yang terlihat
1 Sedikit jejak kontraksi dapat terdeteksi
2 Gerakan aktif dengan penghilangan gravitasi
3 Gerakan aktif terhadap gravitasi
4 Gerakan aktif terhadap gravitasi dan beberapa tahanan
5 Gerakan aktif terhadap tahanan penuh
3.7 PEMERIKSAAN MUSKULOSKELETAL
Pada pemeriksaan muskuloskeletal yang penting adalah :
1. Look (inspeksi)
2. Feel (palpasi)
3. Move (pergerakan terutama lingkup gerak)1,8
Disamping gerak perlu dilakukan pengukuran bagian yang penting untuk membuat
kesimpulan
kelainan, merupakan pembengkakan atau atrofi serta melihat adanya discrepancy
(selisih
panjang).
1. Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat:
- Sikatriks (jaringan parut alamiah atau post operasi)
- Cafe au lait spot (tanda lahir)
- Fistula
- Warna kemerahan/kebiruan atau hiperpigmentasi
- Benjol/pembengkakan/cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa
- Posisi serta bentuk dari ekstremitas (deformitas)
- Jalannya (gait waktu pasien masuk kamar periksa)8
2. Feel (palpasi)
Pada saat akan meraba posisi pasien perlu diperbaiki dulu agar dimulai dari posisi
netral/anatomis. Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan dua arah karenanya perlu
diperhatikan
wajah (mimik kesakitan) atau menanyakan rasa sakit.
Yang perlu dicatat adalah :
- Perubahan suhu terhadap sekitarnya serta kelembaban kulit
- Bila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau hanya edema terutama
daerah
persendian
- Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainannya (1/3 proksimal/tengah/
distal)
Otot: Tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi; benjolan yang terdapat di
permukaan tulang
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan,
maka sifat benjolan perlu di diskripsi (tentukan) permukaannya, konsistensinya dan
pergerakan
terhadap permukaan atau dasar, nyeri atau tidak dan ukurannya.8
3. Move (gerak)
Setelah memeriksa feel pemeriksaan diteruskan dengan menggerakkan anggota gerak
dan dicatat
apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pada anak periksalah bagian yang
tidak sakit
dulu, selain untuk mendapatkan kooperatif anak pada waktu pemeriksaan, juga untuk
mengetahui gerakan normal si penderita. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar kita
dapat
berkomunikasi dengan sejawat lain dan evaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Apabila terdapat fraktur tentunya akan terdapat gerakan yang abnormal di daerah
fraktur (kecuali
pada incomplete fracture).
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat gerakan dari tiap arah pergerakan mulai
dari titik 0
(posisi netral) atau dengan ukuran metrik. Pencatatan ini penting untuk mengetahui
apakah ada
gangguan gerak.
Kekakuan sendi disebut ankylosis dan hal ini dapat disebabkan oleh factor intra
articuler atau
extra articuler
- Intra artikuler: Kelainan/kerusakan dari tulang rawan yang menyebabkan kerusakan
tulang
subchondral; juga didapat oleh karena kelainan ligament atau kapsul (simpai) sendi
- Ekstra artikuler: Oleh karena otot atau kulit
Pergerakan yang perlu dilihat adalah gerakan aktif (apabila penderita sendiri disuruh
menggerakkan) dan pasif (dilakukan pemeriksa). Selain pencatatan pemeriksaan
penting untuk
mengetahui gangguan gerak, hal ini juga penting untuk melihat
kemajuan/kemunduran
pengobatan.
Dibedakan istilah contraction & contructure '
- Contraction : apabila perubahan fisiologis
- Contructure : apabila sudah ada perubahan anatomis
Selain diperiksa pada duduk, berbaring juga perlu dilihat waktu berdiri & jalan.
Jalan perlu dinilai untuk mengetahui apakah pincang disebabkan karena:
- instability
- nyeri
- discrepancy
- fixed deformity8
DAFTAR PUSTAKA
Raylene,M.R.; terj. D.Lyrawati. 2009. Prinsip dan Metode Pemeriksaan Fisik Dasar.
Available from: ebookbrowse.com/prinsip-dan-metode-pemeriksaan-fisikdasar-pdf-...
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 10
Pemeriksaan
Fisis Umum. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia
Lumbantobing,S.M. 2005. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Bickley,L.S. 2008. Pemeriksaan Fisik dan Riwayat Kesehatan Bates Edisi 5. Jakarta:
EGC
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 11
Pemeriksaan
Fisis Dada dan Paru. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I: Bab 12
Pemeriksaan
Fisis Jantung. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran
Universitas Indonesia
Sudoyo,A.W.,dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi IV Jilid I Bab 13
Pemeriksaan
Abdomen, Urogenital, dan Anorektal. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit
Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Nurdin. 2010. Pemeriksaan Orthopaedi dan Muskuloskeletal. Available from:
http://nurdin.student.umm.ac.id/files/2010/02/PEMERIKSAAN-ORTHOPAEDI-
DANMUSKULOSKELETAL.pdf

You might also like