You are on page 1of 26

SASARAN BELAJAR

LI 1 MM Asma

LO 1.1 Definisi

LO 1.2 Epidemiologi

LO 1.3 Klasifikasi

LO 1.4 Etiologi

LO 1.5 Patofisiologi

LO 1.6 Manifestasi Klinis

LO 1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

LO 1.8 Tatalaksana

LO 1.9 Pencegahan

LO 1.10 Prognosis

LO 1.11 Komplikasi

LI 2 MM Dasar – Dasar Terapi Inhalasi


LI 1 MM Asma

LO 1.1 Definisi

 Istilah asma berasal dari kata Yunani yang artinya “terengah-engah” dan berarti
serangan nafas pendek25). Nelson mendefinisikan asma sebagai kumpulan tanda dan
gejala wheezing (mengi) dan atau batuk dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik dan atau kronik, cenderung pada malam hari/dini hari (nocturnal),
musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktivitas fisik dan bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan penyumbatan, serta adanya riwayat asma atau
atopi lain pada pasien/keluarga, sedangkan sebab-sebab lain sudah disingkirkan
 Batasan asma yang lengkap yang dikeluarkan oleh Global Initiative for Asthma
(GINA) didefinisikan sebagai gangguan inflamasi kronik saluran nafas dengan
banyak sel yang berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang
yang rentan inflamasi ini menyebabkan mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari.
 Menurut WHO, asma adalah keadaan kronik yang ditandai oleh bronkospasme
rekuren akibat penyempitan lumen saluran nafas sebagai respons terhadap suatu
stimuli yang tidak menyebabkan penyempitan serupa pada kebanyakan orang.
 Menurut Pedoman Nasional Asma Anak 2004, asma adalah mengi berulang dan/atau
batuk persisten dengan kharakteristik sebagai berikut : timbul secara episodic,
cenderung pada malam/ dini hari (nocturnal), musiman, setelah aktivitas fisik, serta
terdapat riwyat asma atau atopi lain pada pasien dan/ atau keluarganya.

LO 1.2 Epidemiologi

Prevalensi total asma di dunia diperkirakan 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).
Prevalensi tersebut sangat bervariasi. Di Indonesia, prevalensi asma pada anak berusia 6- 7
tahun sebesar 3% dan untuk usia 13-14 tahun sebesar 5,2% (Kartasasmita, 2002)

Berdasarkan laporan National Center for Health Statistics atau NCHS (2003), prevalensi
serangan asma pada anak usia 0-17 tahun adalah 57 per 1000 anak (jumlah anak 4,2 juta),
dan pada dewasa > 18 tahun, 38 per 1000 (jumlah dewasa 7,8 juta). Jumlah wanita yang
mengalami serangan lebih banyak daripada lelaki.

WHO memperkirakan terdapat sekitar 250.000 kematian akibat asma.Sedangkan


berdasarkan laporan NCHS (2000) terdapat 4487 kematian akibat asma atau 1,6 per 100 ribu
populasi. Kematian anak akibat asma jarang.

LO 1.3 Klasifikasi

Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, derajad berat ringannya dan gambaran dari
obstruksi saluran nafas. Yang terpenting adalah berdasarkan derajad berat ringannya
serangan, karena berhubungan secara langsung dengan pengobatan yang akan diberikan
A. Ditinjau dari segi Imunologi, asma dibedakan menjadi :
1. Asma Ekstrinsik, yang dibagi menjadi :
1.1. Asma Ekstrinsik Atopik 3
Penyebabnya adalah rangsangan alergen eksternal spesifik dan dapat
diperlihatkan dengan reaksi kulit tipe 1.Gejala klinis dan keluhan cenderung
timbul pada awal kehidupan, 85 % kasus terjadi sebelum usia 30 tahun . Sebagian
besar asma tipe ini mengalami perubahan dengan tiba-tiba pada waktu puber,
dengan serangan asma yang berbeda-beda pula. Prognosis tergantung pada
serangan pertama yaitu berat ringannya gejala yang timbul. Jika serangan pertama
pada usia muda disertai gejala yang berat, maka prognosisnya lebih jelek.
Didalam darah dijumpai meningkatnya kadar IgE spesifik, dan pada riwayat
keluarga didapatkan keluarga yang menderita asma.
1.2. Asma Ekstrinsik Non Atopik 3
Sifat dari asma ini adalah serangan asma timbul karena paparan dengan
bermacam alergen spesifik, seringkali terjadi pada saat melakukan pekerjaan atau
timbul setelah mengalami paparan dengan alergen yang berlebihan. Tes kulit
memberi reaksi tipe segera, tipe lambat ataupun keduanya. Dalam serum
didapatkan IgE dan IgG yang spesifik. Timbulnya gejala cenderung pada akhir
masa kehidupan, yang disebabkan karena sekali tersensitisasi, maka respon asma
dapat dicetuskan oleh berbagai macam rangsangan non imunilogik seperti emosi,
infeksi, kelelahan dan faktor sikardian dari siklus biologis.
2 Asma Kriptogenik, yang dibagi menjadi 3
2.1. Asma Intrinsik
2.2. Asma Idiopatik
Asma jenis ini, alergen pencetusnya sukar ditentukan, tidak ada alergen ekstrinsik
sebagai penyebab, dan tes kulit memberikan hasil negatif. Merupakan kelompok
yang heterogen, respon untuk terjadi asma dicetuskan oleh penyebab dan melalui
mekanisme yang berbeda-beda. Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai
pada umur diatas 30 tahun dan disebut late onset asthma. Serangan sesak pada
tipe ini dapat berlangsung lama dan seringkali menimbulkan kematian bila
pengobatan tanpa disertai kortikosteroid. Perubahan patologi yang terjadi sama
dengan asma ekstrinsik, namun tidak dapat dibuktikan keterlibatan IgE. Kadar
IgE serum dalam batas normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan asma ekstrinsik. Tes serologis dapat menunjukkan adanya
faktor reumatoid misalnya sel LE. Riwayat alergi keluarga jauh lebih sedikit
dibandingkan dengan asma ekstrinsik yaitu 12 sampai 48 %.
B. Ditinjau dari berat ringannya penyakit menurut Global Initiative For Asthma
Gejala Gejala Malam PEF
Tahap 4 - terus menerus sering < 60% prediksi
Persisten Berat - aktivitas fisik terbatas variabilitas > 30%
Tahap 3 - tiap hari
Persisten Sedang - penggunaan -agonis tiap >60%<80% pred
hari > 1 kali/mgg variabilitas 20-
- Saat serangan mengganggu 30%
aktivitas
Tahap 2 - > 1 kali/minggu, tetapi < 1 > 2 kali/bulan > 80% prediksi
Persisten Ringan kali perhari variabilitas 20-
30%
Tahap 1 - < 1 kali/minggu
Intermitten - diantara serangan tanpa  80% prediksi
< 2 kali/bulan
gejala variabilitas <20%
Dan PEF normal
C. Ditinjau Dari Gejala Klinis 8.11
1. Serangan asma ringan : dengan gejala batuk, mengi dan kadang-kadang sesak, Sa
O2  95% udara ruangan, PEFR lebih dari 200 liter per menit, FEV1 lebih dari 2
liter, sesak nafas dapat dikontrol dengan bronkodilator dan faktor pencetus dapat
dikurangi, dan penderita tidak terganggu melakukan aktivitas normal sehari-hari.
2. Serangan asma sedang : dengan gejala batuk, mengi dan sesak nafas walaupun
timbulnya periodik, retraksi interkostal dan suprasternal, SaO2 92-95% udara
ruangan, PEFR antara 80-200 liter per menit, FEV1 antara 1-2 liter, sesak nafas
kadang mengganggu aktivitas normal atau kehidupan sehari-hari.
3. Serangan asma berat : dengan gejala sesak nafas telah mengganggu aktivitas sehari-
hari secara serius, disertai kesulitan untuk berbicara dan atau kesulitan untuk makan,
bahkan dapat terjadi serangan asma yang mengancan jiwa yang dikenal dengan status
asmatikus. Asma berat bila SaO2  91%, PEFR 80 liter per menit, FEV1 0,75 liter
dan terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas berat seperti pernafasan cuping hidung,
retraksi interkostal dan suprasternal, pulsus paradoksus  20 mmHg, berkurang atau
hilangnya suara nafas dan mengi ekspirasi yang jelas.

D. Ditinjau berdasarkan derajat penyakit asma pada :

LO 1.4 Etiologi

Menurut Patino dan Martinez (2001) dalam Martinez (2003) faktorlingkungan dan faktor
genetik memainkan peran terhadap kejadian asma. Menurut Strachan danCook(1998)
dalamEder et al(2006) pada kajian meta analisis yangdijalankan menyimpulkan bahwa orang
tua yang merokok merupakan penyebabutama terjadinya mengi dan asma pada anak.
Menurut Corne et al (2002) paparanterhadap infeksi juga bisamenjadi pencetus kepada
asma.Infeksi virus terutamanyarhinovirus yang menyebabkan simptom infeksi salur
pernafasan bagian atas memicukepada eksaserbasi asma. Gejala ini merupakan petanda asma
bagi semua peringkatusia (Eder et al, 2006). Terdapat juga teori yang menyatakan bahwa
paparan lebihawal terhadap infeksi virus pada anak lebih memungkinkan untuk anak
tersebutdiserang asma (Cockrill et al, 2008).Selain faktor linkungan, faktor genetik juga turut
berpengaruh terhadapkejadian asma.Kecenderunganseseorang untuk menghasilkan IgE
diturunkan dalamkeluarga (Abbas et al, 2007). Pasien yang alergi terhadap alergen sering
mempunyairiwayat keluarga yang turut menderita asma dan ini membuktikan bahwa faktor

genetik sebagai faktor predisposisi asma (Cockrill et al, 2008).Menurut Tatum dan Shapiro
(2005) dalam Eder et al (2006) ada juga bukti yang menyatakan bahwa udara yang tercemar
berperan dalam mengurangkan fungsiparu, mencetuskan eksaserbasi asma seterusnya
meningkatkan populasi pasien yang dirawatdi rumah sakit.Mekanisme patogenik yang
menyebabkan bronkokonstriksi adalahdisebabkan alergen yang memicu kepada serangan
asma.Walaupun telah dikenal pasti alergenoutdoorsebagai penyebab namun alergen indoor
turut memainkan peransepertihouse dust mites, hewan peliharaan dan kecoa. Apabila pasien
asma terpapar dengan alergen, alergen tersebut akan menempel di sel mast. Sel mast yang
telah teraktivasi akan melepaskan mediator. Mediator-mediator ini yang akanmenyebabkan
bronkokonstriksi dan meningkatkan permeabilitas epitel jalan nafas sehingga membolehkan
antigen menempel ke IgE-spesifik yang mempunyai sel mast.Antara mediator yang paling
utama dalam implikasi terhadap patogenesis asma alergi adalah histamin dan leukotrien
(Cockrill et al, 2008).

Histamin merupakan mediator yang menyebabkan kontraksi otot polosbronkus, augmentasi


permeabilitas vaskuler dan pembentukan edema salurpernafasan serta menstimulasi reseptor
iritan yang bisa memicu bronkokonstriksisekunder (Cockrill et al, 2008).Menurut Drazen et
al (1999) dalam Kay A.B. (2001) sel mast turutmemproduksi sisteinil leukotriene yaitu
C4,D4dan E4.Leukotriene ini akanmenyebabkan kontraksi otot polos, vasodilatasi,
meningkatkan permeabilitas vaskulerdan hipersekresi mukus apabila berikatandengan
reseptor spesifik.

Faktor resiko :

a. Jenis Kelamin

Anak laki-laki sampai usia 10 tahun adalah 1,5 sampai 2 kali lipat anak perempuan. Pada
orang dewasa rasio ini berubah menjadi sebanding antara laki-laki dan perempuan pada usia
30 tahun.

b. Usia

Asma pertama kali timbul pada usia muda. 25% anak asma presisten mendapat mengi pada
usia<6bulan, dan 75% mendapat serangan mengi pertama sebelum usia 3 tahun.
c. Riwayat atopi

Sensitisasi alergi terhadap alergen inhalan, susu, telur, atau kacang pada tahun pertama
kehidupan merupakan predictor utama timbulnya asma.

d. Lingkunngan

Adanya alergen di lingkungan anak meningkatkan risiko penyakit asma. Alergen yang sering
mencetuskan penyakit asma antara lain adalah serpihan kulit binatang piaraan, tungau debu
rumah, jamur dan kecoa

e. Ras

Prevalens asma dan kejadian serangan asma pada ras kulit hitam lebih tinggi daripada kulit
putih.

f. Asap rokok

Prevalens asma pada anak yang terpajan asap rokok lebih tinggi daripada anak yang tidak
terpajan rokok. Risiko terhadap asap rokok sudah dimulai sejak janin dalam kandungan,
umumnya berlangsung terus setelah anak dilahirkan.

g. Outdoor air politon

Diduga adanya pajanan terhadap endotoksin sebagai komponen bakteri dalam jumlah banyak
dan waktu yang dini mengakibatkan system imun anak terangsang melalui jejak Th1. Saat ini
teori tersebut dikenal sebagai hygiene hypothesis.

h. Infeksi respiratorik

Infeksi virus berulang yang tidak menyebabkan infeksi respiratorik dapat memberikan anak
proteksi terhadap asma.

LO 1.5 Patofisiologi

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas.Berbagai sel inflamasi berperan,


terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel. Faktor lingkungan dan
berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflamasi saluran napas pada
penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat asma baik pada asma intermiten
maupun asma persisten.Inflamasi dapat ditemukan pada berbagai bentuk asma seperti asma
alergik, asma nonalergik, asma kerja dan asma yang dicetuskan aspirin.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus, iritan,
alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
a. Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–15
menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator
seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien, prostaglandin
dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos, sekresi mukus dan
vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara spontan maupun dengan
bronkodilator seperti simpatomimetik.Perubahan ini dapat dicegah dengan pemberian
kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya.Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh
pemberian kortikosteroid beberapa saat sebelumnya.Tetapi pemberian kortikosteroid
untuk beberapa hari sebelumnya dapat mencegah reaksi ini.
b. Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan pengerahan
serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag.Patogenesis reaksi yang
tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil 4–8 jam
setelah rangsangan.Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan reaktivasi sel
mast.Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga mempunyai peranan pada
reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang lama
dan edema submukosa.Reaksi lambat dapat dihambat oleh pemberian kromiglikat,
kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan
inflamasi di dalam dan disekitar bronkus.Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus.Pada
otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear.Sering ditemukan
sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental.Sumbatan bronkus oleh mukus ini
bahkan dapat terlihat sampai alveoli.Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear terjadi
akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4.Mediator PAF yang
dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi otot
polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang lebih
kuat.Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik.Diduga, ketotifen dapat juga
mencegah fase ketiga ini.
Airway Remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan
akibat inflamasi yang terus menerus.Konsekuensi klinis airway remodeling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah
distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman
airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan
pengobatan dari proses tersebut.

PATOFISIOLOGI

Individu dengan asma mengalami respon imun yang buruk terhadap lingkungan
mereka.Antibodi yang dihasilkan (IgE) kemudian menyerang sel-sel mast dalam
paru.Pemajanan ulang terhadap antigen mengakibatkan ikatan antigen dengan antibodi,
menyebabkan pelepasan produk sel-sel mast (disebut mediator) seperti histamin, bradikinin
dan prostaglandin serta anafilaksis dari substansi yang bereaksi lambat (SRS-A).Pelepasan
mediator ini dalam jaringan paru mempengaruhi otot polos dan kelenjar jalan napas,
bronkospasme, pembengkakan membran mukosa dan pembentukan mukus yang sangat
banyak.
Sistem saraf otonom mempersarafi paru.Tonus otot bronkial diatur oleh impuls saraf
vagal melalui sistem parasimpatis.Pada asma idiopatik atau non alergi ketika ujung saraf pada
jalan nafas dirangsang oleh faktor seperti infeksi, latihan, dingin, merokok, emosi dan
polutan, jumlah asetilkolin yang dilepaskan meningkat.Pelepasan asetilkolin ini secara
langsung menyebabkan bronkokonstriksi juga merangsang pembentukan mediator kimiawi
yang dibahas diatas.Individu dengan asma dapat mempunyai toleransi rendah terhadap respon
parasimpatis.
Selain itu, reseptor α- dan β-adrenergik dari sistem saraf simpatis terletak dalam
bronki. Ketika reseptor α adrenergik dirangsang , terjadi bronkokonstriksi; bronkodilatasi
terjadi ketika reseptor β-adrenergik yang dirangsang. Keseimbangan antara reseptor α- dan β-
adrenergik dikendalikan terutama oleh siklik adenosin monofosfat (cAMP).Stimulasi reseptor
-alfa mengakibatkan penurunan c-AMP, yang mengarah pada peningkatan mediator kimiawi
yang dilepaskan oleh sel-sel mast bronkokonstriksi.Stimulasi respon beta- mengakibatkan
peningkatan tingkat cAMP, yang menghambat pelepasan mediator kimiawi dan
menyebabkan bronkodilatasi.Teori yang diajukan adalah bahwa penyekatan b-adrenergik
terjadi pada individu dengan asma.Akibatnya, asmatik rentan terhadap peningkatan pelepasan
mediator kimiawi dan konstriksi otot polos.
LO 1.6 Manifestasi Klinis

Gejala dan tanda klinis sangat dipengaruhi oleh berat ringannya asma yang diderita. Bisa saja
seorang penderita asma hampir-hampir tidak menunjukkan gejala yang spesifik sama sekali,
di lain pihak ada juga yang sangat jelas gejalanya. Gejala dan tanda tersebut antara lain:

1. Batuk
2. Nafas sesak (dispnea) terlebih pada saat mengeluarkan nafas (ekspirasi)
3. Wheezing (mengi)
4. Nafas dangkal dan cepat
5. Ronkhi
6. Retraksi dinding dada
7. Pernafasan cuping hidung (menunjukkan telah digunakannya semua otot-
otot bantu pernafasan dalam usaha mengatasi sesak yang terjadi)
8. Hiperinflasi toraks (dada seperti gentong)

Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada
saat serangan penderita tampak bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga
ke depan, serta tanpa otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras. Gejala klasik dari
asma ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ), batuk, dan pada sebagian penderita ada yang
merasa nyeri di dada. Gejala-gejala tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan. Pada serangan
asma yang lebih berat , gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest,
sianosis, gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, takikardi dan pernafasan cepat dangkal .
Serangan asma seringkali terjadi pada malam hari.

Pada serangan asma ringan:

 Anak tampak sesak saat berjalan.

 Pada bayi: menangis keras.


 Posisi anak: bisa berbaring.

 Dapat berbicara dengan kalimat.

 Kesadaran: mungkin irritable.

 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

 Mengi sedang, sering hanya pada akhir ekspirasi.

 Biasanya tidak menggunakan otot bantu pernafasan.

 Retraksi interkostal dan dangkal.

 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

 Frekuensi nadi: normal.

 Tidak ada pulsus paradoksus (< 10 mmHg)

 SaO2 % > 95%.

 PaO2 normal, biasanya tidak perlu diperiksa.

 PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma sedang:

 Anak tampak sesak saat berbicara.

 Pada bayi: menangis pendek dan lemah, sulit menyusu/makan.

 Posisi anak: lebih suka duduk.

 Dapat berbicara dengan kalimat yang terpenggal/terputus.

 Kesadaran: biasanya irritable.

 Tidak ada sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

 Mengi nyaring, sepanjang ekspirasi ± inspirasi.

 Biasanya menggunakan otot bantu pernafasan.

 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya sedang.

 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

 Ada pulsus paradoksus (10-20 mmHg)


 SaO2 % sebesar 91-95%.

 PaO2 > 60 mmHg.

 PaCO2 < 45 mmHg

Pada serangan asma berat tanpa disertai ancaman henti nafas:

 Anak tampak sesak saat beristirahat.

 Pada bayi: tidak mau minum/makan.

 Posisi anak: duduk bertopang lengan.

 Dapat berbicara dengan kata-kata.

 Kesadaran: biasanya irritable.

 Terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

 Mengi sangat nyaring, terdengar tanpa stetoskop sepanjang ekspirasi dan inspirasi.

 Menggunakan otot bantu pernafasan.

 Retraksi interkostal dan suprasternal, sifatnya dalam, ditambah nafas cuping hidung.

 Frekuensi nafas: cepat (takipnea).

 Frekuensi nadi: cepat (takikardi).

 Ada pulsus paradoksus (> 20 mmHg)

 SaO2 % sebesar < 90 %.

 PaO2 < 60 mmHg.

 PaCO2 > 45 mmHg

Pada serangan asma berat disertai ancaman henti nafas:

 Kesadaran: kebingungan.

 Nyata terdapat sianosis (kebiruan pada kulit atau membran mukosa).

 Mengi sulit atau tidak terdengar.

 Penggunaan otot bantu pernafasan: terdapat gerakan paradoks torakoabdominal.

 Retraksi dangkal/hilang.
 Frekuensi nafas: lambat (bradipnea).

 Frekuensi nadi: lambat (bradikardi).

 Tidak ada pulsus paradoksus; tanda kelelahan otot nafas.

Pedoman nilai baku frekuensi nafas pada anak sadar:

 Usia Frekuensi nafas normal


 < 2 bulan < 60 x / menit
 2 – 12 bulan < 50 x / menit
 1 – 5 tahun < 40 x / menit
 6 – 8 tahun < 30 x / menit

Pedoman nilai baku frekuensi nadi pada anak:

 Usia Frekuensi nadi normal


 2 – 12 bulan < 160 x / menit
 1 – 2 tahun < 120 x / menit
 3 – 8 tahun < 110 x / menit

LO 1.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesa

Keluhan sesak nafas, mengi, dada terasa berat atau tertekan, batuk berdahak yang tak kunjung
sembuh, atau batuk malam hari.Semua keluhan biasanya bersifat episodic dan reversible.
Mungkin ada riwayat keluarga dengan penyakit yang sama atau penyakit alergi yang lain.

PemeriksaanFisik

Keadaan umum : Penderita tampak sesak nafas dan gelisah, penderita lebih nyaman
dalam posisi duduk

Jantung : Pekak jantung mengecil, takikardi

Paru

Inspeksi : Dinding torak tampak mengembang, diafragma terdorong kebawah

Auskultasi : Terdengar wheezing (mengi), ekspirasi memanjang

Perkusi : Hipersonor
Palpasi : Fremitus vokal kanan sama dengan kiri

Berdasarkan konsep B6, pemeriksaan fisik untuk asma secara spesifik mencakup(Muttaqin,
2008):

B1 (Breathing)

o Inspeksi

Pada klien terlihat adanya peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta
penggunaan otot bantu pernapasan. Inspeksi dada terutama melihat postur bentuk dan
kesimetrisan, adanya peningkatan diameter antero posterior, retraksi otot-otot
intercostalis, sifat dan irama pernapasan dan frekuensi napas.

o Palpasi

Pada palpasi biasanya amati kesimetrisan, ekspansi dan taktil fremitus normal

o Perkusi

Pada perkusi didapatkan suara normal sama hipersonor sedangkan diafragma menjadi
datar dan rendah.

o Auskultasi

Terdapat suara vesikuler yang meningkat disertai dengan ekspirasi lebih dari 4 detik
atau 3 kali ekspirasi, dengan bunyi tambahan napas tambahan utama wheezing pada
akhir ekspirasi.

B2 (Blood)

Monitor dampak asma pada status kardiovaskular meliputi keadaan hemodinamik seperti
nadi, tekanan darah dan CRT.

B3 (Brain)

Diperlukan pemeriksaan GCS untuk penentuan status kesadaran

B4 (Bladder)

Pengukuran volume output urine berkaitan intake cairan. Ada tidaknya oliguria sebagai tanda
awal gejala syok.

B5 (Bowel)

Perlu dikaji bentuk, turgor, nyeri dan tanda-tnada infeksi yang dapat merangsang serangan
asma.Pengkajian status nutrisi meliputi jumlah, frekuensi dan kesulitan pemenuhan
kebutuhan nutrisi karena pada pasien sesak napas terjadi kekurangan.Hal ini terjadi karena
dispnea saat makan dan kecemasan klien.
B6 (Bone)

Adanya edema ekstremitas, tremor dan tanda-tanda infeksi pada ekstremitas karena
merangsang serangan asma. Pada integumen perlu dikaji permukaan kasar,kering, kelainan
pigmentasi, turgor kulit, kelembaban, besisik, pruritis, eksim dan adanya bekas dermatitis.
Pada rambut kaji kelembaban dan kusam.Adanya wheezing, sesak danortopnea saat
istirahat.Pola aktivitas olahraga, pekerjaan dan aktivitas lainnya.

Pemeriksaan Laboratorium

 Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum dilakukan untuk melihat adanya:

 Kristal-kristal charcot leyden yang merupakan degranulasi dari kristal eosinofil

 Spiral curshmann, yakni yang merupakan cast cell (sel cetakan) dari cabang
bronkhus

 Creole yang merupakan fragmen dari epitel bronkhus

 Netrofil dan eosinopil yang terdapat pada sputum, umumnya bersifat mukoid
dengan viskositas yang tinggi dan kadang terdapat mucus plug

 Pemeriksaan Darah

 Analisa gas darah pada umumnya normal akan tetapi dapat pula terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis

 Kadang pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH

 Hiponatremia dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana


menandakan terdapatnya suatu infeksi

 Pada pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari IgE pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan

Pemeriksaan Penunjang Lain

1. Pemeriksaan Radiologi

Gambaran radiologi pada asma pada umumnya normal.Pada waktu serangan menunjukan
gambaran hiperinflasi pada paru-paru yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga
intercostalis, serta diafragma yang menurun.

Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan yang didapat adalah sebagai berikut:

 Bila disertai dengan bronkitis, maka bercak-bercak di hilus akan bertambah


 Bila terdapat komplikasi emfisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin
bertambah

 Bila terdapat komplikasi, maka terdapat gambaran infiltrat pada paru

 Dapat pula menimbulkan gambaran atelektasis lokal

 Bila terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka


dapat dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru

2. Pemeriksaan Tes Kulit

Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan berbagai alergen yang dapat menimbulkan
reaksi yang positif pada asma.

3. Elektrokardiografi

Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada emfisema paru, yaitu:

 Perubahan aksis jantung, yakni pada umumnya terjadi right axis deviasi dan clock
wise rotation

 Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot jantung, yakni terdapatnya RBB (Right


bundle branch block)

 Tanda-tanda hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES


atau terjadinya depresi segmen ST negative

4. Scanning Paru

Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat dipelajari bahwa redistribusi udara selama
serangan asma tidak menyeluruh pada paru-paru.

5. Spirometri

Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas reversible, cara yang paling cepat dan
sederhana diagnosis asma adalah melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan sesudah pamberian bronkodilator aerosol
(inhaler atau nebulizer) golongan adrenergik.Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih
dari 20% menunjukkan diagnosis asma.Tidak adanya respon aerosol bronkodilator lebih dari
20%.Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk menegakkan diagnosis tetapi juga
penting untuk menilai berat obstruksi dan efek pengobatan.Benyak penderita tanpa keluhan
tetapi pemeriksaan spirometrinya menunjukkan obstruksi.

Status Asmatikus adalah keadaan darurat medik paru berupa serangan asma yang berat atau
bertambah berat yang bersifat refrakter sementara terhadap pengobatan yang lazim diberikan.
Refrakter adalah tidak adanya perbaikan atau perbaikan yang sifatnya hanya singkat, dengan
waktu pengamatan antara satu sampai dua jam.
Gambaran Klinis Status Asmatikus

 Penderita tampak sakit berat dan sianosis

 Sesak nafas, bicara terputus-putus

 Banyak berkeringat, bila kulit kering menunjukkan kegawatan sebab penderita


sudah jatuh dalam dehidrasi berat

 Pada keadaan awal kesadaran penderita mungkin masih cukup baik, tetapi
lambat laun dapat memburuk yang diawali dengan rasa cemas, gelisah
kemudian jatuh ke dalam koma

DIAGNOSIS BANDING

 Bronkitis Kronis

Ditandai dengan batuk kronik menegluarkan sputum 3 bulan dalam setahun paling sedikti
terjadi dua tahun. Gejala utama batuk disertai sputum biasanya terjadi pada penderita > 35
tahun dan perokok berat. Gejalanya berupa batuk di pagi hari, lama-lama disertai mengi,
menurunya kemampuan kegiatan jasmani pada stadium lanjut ditemukan sianosis dan tanda-
tanda kor pumonal.

 Emfisema Paru

Sesak merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang menyertainya.
Penderita biasanya kurus. Berbeda dengan asma, emfisema biasanya tida ada fase remisi,
penderita selalu merasa sesak pada saat melakukan aktivitas. Pada pemeriksaan fisik di dapat
dada seperti tong, gerakan nafas terbatas, hipersonor, pekak hati menurun, suara vesikuler
sangat lemah. Pada foto dada di dapat adanya hiperinflasi.

 Gagal Jantung Kiri

Gejala gagal jantung yang sering terjadi pada malam hari dikenal sebagai paroksisimal
dispneu. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam hari karena sesak, tetapi sesak berkurang
jika penderita duduk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya kardiomegali dan udem paru.

 Emboli Paru

Hal-hal yang dapat menimbulkan emboli paru adalah gagal jantung dan tromboflebitis
dengan gejala sesak nafas, pasien terbatuk-batuk disertai darah, nyeri pleura, keringat dingin,
kejang, dan pingsang. Pada pemeriksaan fisik didapat ortopnea, takikardi, gagal jantung
kanan, pleural friction, gallop, sianosis, dan hipertensi.
Diagnosis banding lainnya :

 Rinosinusitis

 Refluks gastroesofageal

 Infeksi respiratorik bawah viral berulang

 Displasia bronkopulmoner

 Tuberkulosis

 Malformasi kongenital yang menyebabkan penyempitan saluran respiratorik


intratorakal

 Aspirasi benda asing

 Sindrom diskinesia silier primer

 Defisiensi imun

 Penyakit jantung bawaan

LO 1.8 Tatalaksana

Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas


hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah
gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan
hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan
asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat,
aman dan terjangkau.

Tujuan penatalaksanaan asma :

1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma

2. mencegah eksaserbasi akut

3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin

4. Mengupayakan aktivitas normal termasuk latihan fisik

5. Menghindari efek samping obat.

6. Mencegah terjadinya keterbatasan alran udara irreversible

7. Mencegah kematian karena asma


Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol bila :

1. Gejala minimal (sebaiknya ridak ada), termasuk gejala malam.

2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik

3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak


diperlukan).

4. Variasi harian APE < 20%

5. Nilai APE normal atau mendekati normal

6. Efek samping obat minimal (tidak ada)

7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat.

Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan


asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :

1. Edukasi

2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala

3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus

4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang

5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut

6. Kontrol secara teratur

7. Pola hidup sehat

Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah dan
dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :

1. Mengenal seluk beluk asma

2. Menentukan klasifikasi

3. Mengenali dan meghindari pencetus

4. Merencanakan pengobatan jangka panjang

5. Mengatasi serangan asma dengan tepat

6. Memeriksakan diri secara teratur

7. Menjaga kebugaran dan berolahraga


Pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan.
Serangan asma dapat ringan, sedang dan berat. Bahkan dapat jatuh dalam keadaan status
asmatikus, yakni serangan asma yang berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obat biasa
yang dapat mengatasi serangan tersebut. Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan
mencegah gejala obstruksi jalan napas, terdiri dari pengontrol dan pelega.

1. Pengontrol (controller)

Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas setiap
hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten.
Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :

 Kortikosteroid inhalasi

 Kortikosteroid sistemik

 Sodium kromoglikat

 Nedokromil sodium

 Metilsantin

 Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi

 Agonis beta-2 kerja lama, oral

 Leukotrien modifier

 Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1) kasi asma jangka panjang untuk


mengontrol asma, diberikas setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan ke

2. Pelega (reliever)

pasien asma dapat berada dalam keadaan tenang, tetapi dapat juga dalam keadaan serangan.
Serangan asma dapat ringan, sedang, berPrinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas
melalui relaksasi otot polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang
berkaitan dengan gejala akut, seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki
inflamasi jalan napas. Termasuk pelega adalah :

 Agonis beta-2 kerja singkat

 Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila


penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).

 Antikolinergik

 Aminofilin

 Adrenalin
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan
napas adalah :

1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas

2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan

3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat
bila diberikan secara inhalasi daripada oral.

Serangan asma dan penanggulangannya

o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator
oral atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak
memerlukan pengobatan.

o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang
kerjanya cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan
seperti adrenalin.

o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan
ringan kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan
kortikosteroid dan bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu
diberikan 1–2 liter/menit.

o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau
subkutan dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi
keseimbangan cairan, asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut
gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti
anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status asmatikus.

Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai untuk


mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma.
Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan
penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering
dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya
bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang,
misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan
simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan
obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma.

Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya


dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison
1–2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid
jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan
perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid
lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu
ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin
diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan
secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan
oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid
mungkin sangat berguna.

Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah degranulasi sel
mast merupakan obat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan secara teratur
(Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah asma yang
diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya sama dengan
teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984).

Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1–2 kali/hari.
Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga mencegah
keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang dapat
diberikan 2 kali/hari.

Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi
tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan
bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan
hasil.

Terapi Serangan Asma Akut

Derajat
Terapi Lokasi
Serangan

Drug of choice: Agonis beta 2 inhalasi diulang Rumah


Ringan setiap 1 jam

Alternatif: Agonis beta 2 oral 3x2 mg

Drug of choice:Oksigen 2-4 liter/menit dan Puskesmas


agonis beta 2 inhalasi
Klinik rawat jalan
Alternatif: Agonis beta 2 IM atau adrenalin
subkutan dengan Aminofilin 5-6 mg/kgbb IGD
Sedang
Praktek dokter umum

Rawat inap jika tidakada


respons dalam 4 jam

Drug of choice: IGD


Berat
Oksigen 2-4 liter/menit Rawat inap apabila dalam 3
Agonis beta 2 nebulasi diulang s.d 3 kali jam belum ada perbaikan
dalam 1 jam pertama
Pertimbangkan masuk ICU
Aminofilin IV dan infus jika keadaan memburuk
progresif
Steroid IV diulang tiap 8 jam

Drug of choice: ICU


Menganca
Lanjutkan terapi sebelumnya
m Jiwa
Pertimbangkan intubasi dan ventilasi mekanik

LO 1.9 Pencegahan

Upaya pencegahan asma dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:

1. Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko
asma (orangtua asma), dengan cara :

a. Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak

b. Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin

c. Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan

d. Diet hipoalergenik ibu menyusui

2. Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam
ruangan terutama tungau debu rumah.

3. Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang
telah menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang
dikenal dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan
bahwa pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi
dan IgE spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah
menurunkan kejadian asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian
setirizin pada penelitian ini bukan sebagai pengendali asma (controller).

LO 1.10 Prognosis

Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10
juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas
kesehatan terbatas.

Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik


ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis
pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderita ringan dan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita asma
penyakit yang berat relatif berat (6 –19%). Secara keseluruhan dapat dikatakan 70–80% asma
anak bila diikuti sampai dengan umur 21 tahun asmanya sudah menghilang.

LO 1.11 Komplikasi

Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi emfisema
dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan dan
memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung
menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. entuk dada brung dapat dinilai dari
perbaikan pertumbuhannya.rang tua. Asma sendiri mePada asma kronik dan berat dapat
terjadi bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.

Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat terjadi
atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat berubah
menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma yang
terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
disebut status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal
pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian.

LI 2 MM Dasar – Dasar Terapi Inhalasi

Definisi

Terapi inhalasi adalah penggunaan agen inhalasi untuk mengobati penyakit dan kondisi
pernapasan. Tujuan terapi inhalasi adalah meningkatkan fungsi pernapasan dan paru-paru
untuk mengurangi gejala masalah pernapasan kronis, seperti asma, bronkitis, penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK), dan emfisema. Terapi juga dapat digunakan untuk mengobati
komplikasi pernapasan yang mungkin timbul dari serangan jantung dan stroke.

Nebulisasi merupakan bagian dari terapi inhalasi, terapi ini memberikan obat secara
langsung pada saluran nafas melalui hirupan uap

Jenis-jenis

Saat ini dikenal 3 alat inhalasi dalam praktek klinis sehari-hari;

1. Nebulizer

2. Dry power inhaler (DPI)


3. Metered dose inhaler (MDI)

Nebulizer

Dari aspek teknis ada dua jenis nebulizer, jet dan ultrasonik.

1. Nebulizer jet: menghasilkan aerosol dengan aliran gas kuat yang dihasilkan oleh
kompresor listrik atau gas (udara atau oksigen) yang dimampatkan.

2. Nebulizer ultrasonik: menggunakan tenaga listrik untuk menggetarkan lempengan


yang kemudian menggetarkan cairan di atasnya, lalu mengubahnya menjadi aerosol.

Karena berbagai faktor, nebulizer jet merupakan nebulizer yang paling banyak digunakan,
karena jet nebulizer dapat diandalkan dan dapat menebulisasi semua jenis obat. Alat ini dapat
digunakan pada semua kasus respiratorik. Pemakaiannya hanya memerlukan sedikit upaya
dan koordinasi. Selanjutnya yang dimaksudkan nebulizer adalah nebulizaer jet, kecuali jika
disebutkan lain.

Volume isi adalah jumlah total cairan obat yang diisikan ke dalam labu nebulizer pada tiap
kali nebulisasi. Volume residuadalah sisa cairan dalam labu nebulizer saat nebulisasi telah
dihentikan. Sebagai patokan, jika volume residul sekitar 1ml, maka diperlukan volume isi
sekitar 5 ml. Waktu nebulisasi adalah waktu sejak nebulizer dinyalakan dan aerosolnya
dihirup sampai nebulizer dihentikan. Untuk bronkodilator, waktu nebulisasi tidak lebih dari
10 menit.

Nebulizer akan berjalan dengan baik bila :

1. pasien duduk tegak di kursi

2. bernapas dengan wajar (biasa)

3. hindari berbicara selama nebulisasi

4. jaga labu nebulizer tetap dalam posisi tegak

5. jika cairan obat dalam labu tinggal sedikit, dianjurkan agar menepuk-nepuk labu
untuk meningkatkan volume output aerosol

Dry Powder Inhaler (DPI)

Inhaler jenis bersifat effort dependent karena sumber tenaga penggerak alat ini sepenuhnya
adalah upaya inspirasi maksimal dari pasien sehingga juga disebut breath-actuated inhaler.
Pada anak kecil (balita) hal ini sulit dilakukan mengingat kemampuannya melakukan
inspirasi kuat belum optimal. Pada anak yang lebih besar (di atas 5 tahun), penggunaan alat
ini relatif mudah karena tidak memerlukan manuver yang kompleks seperti pada MDI. DPI
tidak memerlukan alat tambahan seperti spacer sehingga lebih praktis dan mudah untuk
dibawa.
Metered Dose Inhaler (MDI)

Seperti halnya DPI, alat ini bersifat effort dependent, karena memerlukan manuver tertentu
yang cukup sulit agar sejumlah dosis obat mencapai sasarannya. Pemakaiannya secara
langsung tanpa spacer bahkan lebih sulit daripada DPI. Sumber tenaga penggeraknya adalah
propelan (zat pembawa) yang dibuat bertekanan tinggi dalam suatu tabung alumunium yang
disebut kanster.

Cara Kerja

Cara kerja terapi inhalasi sederhana

1. Setelah bayi/anak diinhalasi, lendir yang ada di paru-parunya akan mencair


2. Lendirnya terkadang tak bisa keluar dengan sendirinya karena lemahnya
reflek/kemampuan batuk anak / bayi
3. Sehingga biasanya diperlukan tahapan fisioterapi selanjutnya. Perkusi, vibrasi
atau dadanya dihangatkan dengan sinar infra merah bila dianggap perlu
4. Setelah melanjutkan proses ini biasanya anak akan muntah. Jangan panik karena
muntah merupakan efek yang wajar dari terapi inhalasi. Setelah muntah biasanya
anak akan merasa lega. Sebaliknya kalau tidak muntah orang tua tidak perlu risau,
yang penting lendir yang mengganggu napasnya sudah keluar dan paru-paru.
5. Dan pemeriksaan dengan stetoskop akan diketahui masih ada tidaknya lendir di
paru-paru.
6. Bila sudah tidak ada berarti inhalasi berjalan efektif

You might also like