You are on page 1of 17

PERCOBAAN IV

ANALGETIKA

I. TUJUAN
Mengenal mempraktekkan dan membandingkan daya analgetik asetosal dan
parasetamol menggunakan metode rangsang kimia.

II. DASAR TEORI


Analgetik adalah senyawa yang dalam dosis terapeutik meringankan atau menekan
rasa nyeri, tanpa memiliki kerja anestesi umum. (Mutschler, 1991:177)
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun nyeri
sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering memudahkan
diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan, kebanyakan
menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Pada beberapa penyakit,
misalnya pada tumor ganas dalam fase akhir, meringankan nyeri kadang-kadang
merupakan satu-satunya tindakan yang berharga. (Mutschler, 1991:177)
Definisi nyeri adalah perasaan sensoris dan emosional yang tak enak dan yang
berkaitan dengan (ancaman) kerusakan jaringan. Keadaan psikis sangat mempengaruhi
nyeri, misalnya emosi dapat menimbulkan sakit (kepala) atau memperhebatnya, tetapi
dapat pula menghindarkan sensasi rangsangan nyeri. Nyeri merupakan suatu perasaan
pribadi dan ambang toleransi nyeri berbeda-beda bagi setiap orang. Batas nyeri untuk
suhu badan adalah konstan, yakni pada 44-45° C.
Ambang nyeri didefinisikan sebagai tingkat (level) dimana nyeri dirasakan untuk
pertama kali. Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat seseorang merasakan nyeri.
Untuk setiap orang,ambang nyerinya konstan. (Tjay, 2002:295)
Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia atau listrik melampaui suatu
nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan
jaringan dengan pembebasan yang disebut senyawa nyeri.
Nyeri menurut tempat terjadinya dibagi atas nyeri somatik dan nyeri dalaman
(viseral). Dikatakan nyeri somatik, yang dibagi lagi atas 2 kualitas yaitu nyeri
permukaan dan nyeri dalam, apabila rasa nyeri berasal dari kulit, otot, persendian, tulan
atau dari jaringan ikat. Apabila rangsang bertempat dalam kulit maka rasa yang terjadi
disebut nyeri permukaan. Sebaliknya nyeri yang berasal dari otot, persendiaan, tulang
dan jaringan ikat disebut nyeri dalam.
Nyeri dalaman (viseral) atau nyeri perut mirip dengan nyeri dalam sifat
menekannya dan reaksi vegetatif yang menyertainya. Nyeri ini terjadi antara lain pada
tegangan organ perut, kejang otot polos, aliran darah kurang dan penyakit yang disertai
radang. ( Mutschler, 1991:178)
Reseptor nyeri (nosireseptor) rangsang nyeri diterima oleh reseptor nyeri khusus,
yang merupakan ujung saraf bebas. Karena ujung saraf bebas juga dapat menerima
rangsang tahap molekul, yang tidak dapat diketahui dengan pengamatan cahaya dan
elektronoptik. Secara fungsional dibedakan 2 jenis reseptor, yang dapat menyusun 2
sistem serabut berbeda:
 Mekanoreseptor, yang meneruskan nyeri permukaan melalui serabut A-delta
bermielin.
 Termoreseptor, yang meneruskan nyeri kedua melalui serabut-serabut C yang tidak
bermielin.
Yang termasuk zat nyeri yang potensinya kecil adalah ion hidrogen. Pada
penurunan nilai pH di bawah 6 selalu terjadi rasa nyeri yang meningkat pada kenaikan
konsentrasi ion H+ lebih lanjut. Demikian pula berbagai neurotransmiter dapat bekerja
sebagai zat nyeri pada kerusakan jaringan. Histamin pada konsentrasi relatif tinggi (10-
8
g/L) terbukti sebagai zat nyeri. Asetilkolin pada konsentrasi rendah mensensibilisasi
reseptor nyeri terhadap zat nyeri lain, sehingga senyawa ini bersama-sama dengan
senyawa yang dalam konsentrasi yang sesuai secara sendiri tidak berkhasiat, dapat
menimbulkan nyeri. Pada konsentrasi tinggi, asetilkolin bekerja sebagai zat nyeri yang
berdiri sendiri. Serotonin merupakan senyawa yang menimbulkan nyeri palin efektif
dari kelompok transmiter.
( Mutschler, 1991:178).
Berdasarkan potensi kerja, mekanisme kerja dan efek samping analgetika
dibedakan dalam dua kelompok:
 Analgetik yang berkhasiat kuat, bekerja pada pusat (hipnoanalgetika, ”kelompok
opiat”)
 Analgetika yang berkhasiat lemah (sampai sedang), bekerja terutama pada perifer
dengan sifat antipiretika dan kebanyakan juga mempunyai sifat antiinflamasi dan
antireumatik.

ANALGETIK KUAT ( HIPNOANALGETIKA, ”OPIAT”)


Berdasakan kerja umum pada reseptor opiat maka profil kerja analgetika kuat
sangat mirip. Terdapat terutama juga diantara komponen-komponen kerja tunggal-
perbedaan kuantitatif.
Kerja pada pusat Hipnoanalgetika:
o Menurunkan rasa nyeri dengan cara stimulasi reseptor opiat (kerja analgetika)
o Tidak mempengaruhi indra lain pada dosis terapi
o Mengurangi aktivitas kejiwaan (kerja sedasi)
o Meniadakan rasa takut dan rasa bermasalah (kerja trankuilansia)
o Menghambat pusat pernapasan dan pusat batuk (kerja depresi pernapasan dan kerja
antitusiva)
o Seringkali mula-mula menyebabkan mual dan muntah akibat stimulasi pusat
muntah akibat stimulasi pusat muntah (kerja emetika) selanjutnya menyebabkan
inhibisi pusat muntah (kerja antiemetika)
o Menimbulkan miosis (kerja miotika)
o Meningkatkan pembebasan ADH (kerja antidiuretika)
o Menyebabkan toleransi dan ketergantungan
Kerja perifer Opiat :
o Mengurangi motilitas dan meningkatkan tonus saluran cerna (obstipasi spastik)
o Mengkontraksi sfinkter dalam saluran empedu
o Meningkatkan tonus otot kandung kemih dan juga otot sfinkter kandung kemih
o Mengurangi tonus pembuluh darah
o Menimbulkan pemerahan kulit, urtikaria, rangsang gatal,serta pada penderita asma
suatu bronkhospasmus, akibat pembebasan histamin
Analgetik kuat diindikasi pada kondisi nyeri yang sangat kuat yang jika tidak, tak
cukup untuk dipengaruhi.

 KODEIN
Alkaloida candu ini memiliki khasiat yang sama dengan induknya, tetapi lebih
lemah, misalnya efek analgetisnya 6-7 x kurang kuat. Efek samping dan resiko
adiksinya lebih ringan, sehingga sering di gunakan sebagai obat batuk dan obat
antinyeri, yang diperkuat melalui kombinasi dengan parasetamol/asetosal. Obstipasi
dan mual dapat tejadi terutama pada dosis lebih tinggi(di atas 3 dd 20 mg). Resorpsi
oral dan rektal baik; didalam hati, zat ini di ubah menjadi norkodein dan morfin (10%).
Exskresinya lewat kemih sebagai glokuronida dan 10% secara utuh. Plasma-t1/2-nya 3-
4 jam.

ANALGETIKA LEMAH (SAMPAI SEDANG)


Analgetika jenis ini, yang juga di sebut analgetika yang bekerja perifer atau ’kecil’,
memiliki spektrum kerja farmakologi yang mirip walaupun stuktur kimianya berbeda.
Disamping kerja analgetika, senyawa ini menunjukkan kerja antipiretika dan juga
komponen kerja antiflogistika dengan kekecualian turunan asetilanilida (lihat di
bawah). Sebaliknya senyawa-senyawa ini tdak mempuyai sifat sifat psikotropik dan
sifat sedasi dan hipnoanalgetika. Akibat spektrum kerja ini, pemakaiannya luas dan
karena itu termasuk pada bahan bahan obat yang paling banyak digunakan.

 IBUPROFEN
Obat pertama dari kelompok propionat (1969) ini adalah NSAID yang paling
banyak digunakan,berkat efeksampingnya yang relatif ringan dan status OTC-nya di
kebanyakan nagara. Zat ini merupakan campuran resemis, dengan bentuk dextro yang
aktif. Daya analgetis dan anti radangnya cukup baik dan sudah banyak mendesak
salisilat pada penanganan bentuk rema yang tidak begitu hebat dan gangguan dari alat
gerak. Ibuprofen 400 mg oral sama efeknya dengan 500mg rektal.
Resorsinya dari usus cepat dan baik (ca 80%) resorbsi rektal lebih lambat. PP-nya
90-99%, plasma – t1/2-nya ca 2 jam. Eksresi berlangsung terutama sebagai metabolit-
metabolit dan konyugat-konyugatnya. (Tjay, 2002: 312)

 PARASETAMOL (ASETAMINOFEN)
Merupakan metabolit aktif fenasetin, yang disebut analgesik coa ltar.
Asetaminofen mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang tidak berbeda secara
signifikan dengan aspirin. Asetaminofen dosis terapeutik tunggal atau berulang tidak
berefek terhadap sistem kardiovaskular dan sistem pernafasan. Perubahan asam-basa
tidak terjadi, dan juga tidak menyebabkan iritasi, erosi, atau pendarahan lambung yang
mungkin terjadi setelah pemberian salisilat. Asetaminofen tidak mempunyai efek
terhadap platelet, waktu perdarahan, atau ekskresi asam urat.
(Goodman& Gilman,2008:682)

 ASETOSAL
Asetosal adalah obat antinyeri tertua yang sampai kini paling sering digunakan. Zat
ini juga berkhasiat antidemam kuat dan pada dosis rendah sekali (40mg) berdaya
menghambat agregasi trombosit. Selain sebagai analgetikum, asetosal dewasa ini juga
digunakan sebagai alternatif dari antikoagulansia sebagai obat pencegah infark kedua
setelah terjadi serangan.
Resorpsinya cepat dan praktis lengkap, terutama di bagian pertama duodenum.
Namun, karena bersifat asam, sebagian zat diserap pula di lambung. BA-nya lebih
rendah akibat FPE dan hidrolisa selama resorpsi. Mulai efek analgetis dan
antipiretisnya cepat, yakni setelah 30 menit dan bertahan 3-6 jam, kerja antiradangnya
baru tampak setelah 1-4 hari. (Tjay, 2002: 298)
III. ALAT DAN BAHAN
A. Alat
Spuit injeksi (0,1-1ml)
Jarum oral (ujung tumpul)
Beker glass
Stopwatch
Alu
Cawan porselen
Labu Takar 10ml

B. Bahan
Larutan CMC Na. 0,5%
Suspensi Asetosal 1% dalam CMC Na. 0,5%
Suspensi Parasetamol 1% dalam CMC Na. 0,5%
Suspensi Ibuprofen 0,5% dalam CMC Na. 0,5%
Suspensi kodein 0,05% dalm CMC Na. 0,5%
Larutan steril asam asetat glasial 1%
IV. CARA KERJA

Mencit 25 dibagi menjadi 5 kelompok

Mencit kelompok I diberi larutan CMC 0,5% secara


P.O, volume sama dengan larutan pembuatan obat

Mencit kelompok II diberi suspensi Parasetamol 1%


dalam CMC Na 0,5%, dosis 30ml/kg BB secara P.O

Mencit kolompok III diberi suspensi Asetosal 1%


dalam CMC Na 0,5%, dosis 30ml/kg BB secara P.O

Mencit kelompok IV diberi suspensi Ibuprofen 0,5%


dalam CMC Na 0,5% dosis 30ml/kg BB secara P.O

Mencit kelompok V diberi suspensi Codein 0,5%


dalam CMC Na 0,5% dosis 30ml/kg BB secara P.O

V. PENIMBANGAN MENCIT

Berat tara : 66 g
Mencit I : 88 g – 66 g = 22 g
Mencit II : 89 g – 66 g = 23 g
Mencit III : 88 g – 66 g = 22 g
Mencit IV : 88 g – 66 g = 22 g
Mencit V : 85 g – 66 g = 19 g
VI. PERHITUNGAN DOSIS (CODEIN)
Dosis Codein 15 mg/kg BB
Berat mencit terbesar : 23 g
23
Dosis : g x 15 mg/kg BB = 0,35 mg/kg BB
1000
0,35
Stock : mg/ml = 0,7 mg/ml
0,5
Dibuat 10 ml larutan : 0,7 mg/ml x 10 ml = 7 mg
7
Penimbangan Codein : mg x 0,1067 g = 0,0747 g = 74,7 mg
10
22
Mencit I : g x 15 mg/kg BB = 0,33 mg
1000
VP : 0,33 mg = 0,47 ml x 40 unit = 18,8 unit ~ 19 unit
0,7 mg/ml
23
Mencit II : g x 15 mg/kg BB = 0,345 mg
1000
VP : 0,345 mg = 0,49 ml x 40 unit = 19,6 unit ~ 20 unit
0,7 mg/ml
22
Mencit III : g x 15 mg/kg BB = 0,33 mg
1000
VP : 0,33 mg = 0,47 ml x 40 unit = 18,8 unit ~ 19 unit
0,7 mg/ml
22
Mencit IV : g x 15 mg/kg BB = 0,33 mg
1000
VP : 0,33 mg = 0,47 ml x 40 unit = 18,8 unit ~ 19 unit
0,7 mg/ml
19
Mencit V : g x 15 mg/kg BB = 0,285 mg
1000
VP : 0,285 mg = 0,41 ml x 40 unit = 16,4 unit ~ 16,5 unit
0,7 mg/ml
Asam Asetat glasial 2% sebanyak 25 ml
BJ Asam Asetat steril : 1,05 g/ml
2
V: x 25 ml = 0,5 g
100
0,5
Konsentrasi sebenarnya : ml x 1,05 g/ml = 0,021 g/ml
25
= 21 mg/ml
Volume stok : 21 mg/ml
Larutan steril Asam Asetat glasial 2%
22
Mencit I : g x 300 mg/kg BB = 6,6 mg
1000
Vp : 6,6 mg = 0,314 ml x 40 unit = 12,56 unit ~ 12,5 unit
21 mg/ml
23
Mencit II : g x 300 mg/kg BB = 6,9 mg
1000
Vp : 6,6 mg = 0,329 ml x 40 unit = 13,16 unit ~ 13 unit
21 mg/ml
22
Mencit III : g x 300 mg/kg BB = 6,6 mg
1000
Vp : 6,6 mg = 0,314 ml x 40 unit = 12,56 unit ~ 12,5 unit
21 mg/ml
22
Mencit IV : g x 300 mg/kg BB = 6,6 mg
1000
Vp : 6,6 mg = 0,314 ml x 40 unit = 12,56 unit ~ 12,5 unit
21 mg/ml
19
Mencit V : g x 300 mg/kg BB = 5,7 mg
1000
Vp : 5,7 mg = 0,271 ml x 40 unit = 10,84 unit ~ 11 unit
21 mg/ml
VII. DATA PENGAMATAN

Jumlah geliat

Kumulatif geliat
Kel

No.

x
10’

15’

20’

25’

30’

35’

40’

45’

50’

55’

60’
5’

1 13 21 17 22 20 17 13 9 7 5 5 2 151

2 18 24 21 15 20 18 11 3 8 9 0 1 138
Kontrol

3 28 13 9 11 5 2 1 2 1 0 1 2 75
124,2
4 1 19 17 23 17 9 6 5 1 2 0 0 100

5 19 22 17 20 14 11 12 12 10 9 8 3 157

1 0 0 0 0 0 0 0 0 2 - - - 2 0,17

2 0 2 10 15 21 11 20 20 12 11 10 7 139 11,58
PCT

3 9 9 12 7 6 7 3 6 7 6 6 6 84 7

4 9 8 10 4 0 0 0 0 0 0 1 1 51 4,25

5 2 11 30 24 18 15 10 11 10 6 5 8 150 12,5

1 0 1 13 20 29 35 25 15 14 13 15 12 192 16

2 - - - - - - - - - - - - - 0
Asetosal

3 0 0 2 2 0 3 4 6 3 1 0 2 23 1,92

4 0 0 1 7 7 9 4 7 6 2 2 1 39 3,25

5 1 0 0 2 0 1 0 4 6 4 6 4 28 2,33

1 0 0 6 11 37 35 20 18 17 13 9 8 174 14,5

2 0 0 0 0 0 10 8 7 5 5 5 4 44 3,67
Ibuprofen

3 1 5 0 0 0 0 0 0 0 0 2 1 9 0,75

4 0 0 6 15 7 10 15 6 8 10 4 9 90 7,5

5 0 0 0 0 0 0 0 1 1 5 5 4 16 1,33

1 0 4 8 19 8 11 9 11 10 6 6 3 95 7,92

2 0 7 12 23 7 9 7 9 6 9 4 2 95 7,92
Codein

3 0 2 2 19 8 11 11 7 6 8 5 3 82 6,83

4 0 0 0 6 1 0 0 0 2 0 7 0 15 1,25

5 0 0 0 8 6 5 10 6 1 1 1 1 39 3,25
Persen Daya Analgetik
a. Codein
1. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (7,92/124,2 x 100)
= 93,63%

2. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)


= 100 - (7,92/124,2 x 100)
= 93,63%
3. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (6,83/124,2 x 100)
= 94,51%

4. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)


= 100 - (1,25/124,2 x 100)
= 98,99%
5. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (3,25/124,2 x 100)
= 97,38%

b. Parasetamol
1. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (0,17/124,2 x 100)
= 99,86%
2. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (11,58/124,2 x 100)
= 90,46%
3. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (7/124,2 x 100)
= 94,36%

4. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)


= 100 - (4,25/124,2 x 100)
= 96,58%
5. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (12,5/124,2 x 100)
= 89,94%

c. Asetosal
1. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (16/124,2 x 100)
= 87,12%
2. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (0/124,2 x 100)
= 100%
3. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (1,92/124,2 x 100)
= 98,45%
4. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (3,25/124,2 x 100)
= 97,38%
5. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (2,33/124,2 x 100)
= 98,12%

d. Ibuprofen
1. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (14,5/124,2 x 100)
= 88,33%
2. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (3,67/124,2 x 100)
= 97,05%
3. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (0/124,2 x 100)
= 100%

4. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)


= 100 - (7,5/124,2 x 100)
= 93,96%
5. % daya analgetik = 100 - (P/K x 100)
= 100 - (1,33/124,2 x 100)
= 98,93%

Uji Anova
Codein Parasetamol Asetosal Ibuprofen
93,63 99,86 87,12 88,33
93,63 90,46 100 97,05
94,51 94,36 98,45 100
98,99 96,58 97,38 93,96
97,38 89,94 98,12 98,93
n =5 n=5 n=5 n=5
X = 95,628 X = 94,24 X = 96,214 X = 95,654
Σx = 478,14 Σx = 471,2 Σx = 481,07 Σx = 478,27
Σx² = 45747,1784 Σx² = 44475,7408 Σx² = 46392,6957 Σx² = 45836,5179

N = 20
ΣxT = Σx1 + Σx2 + Σx3 + Σx4
= 478,14 + 471,2 + 481,07 + 478,27
= 1908,68
Σx²T = Σx12 + Σx22 + Σx32 + Σx42
= 45747,1784 + 44475,7408 + 46392,6957 + 45836,5179
= 182452,13
Σx²t = Σx²T – (ΣxT)²
N
= 182452,13 – (1908,68)²
20
= 299,16

Σx²b = (Σx1)² + (Σx2)² + (Σx3)² + (Σx4)² - (ΣxT)²


n1 n2 n3 n4 N

= (478,14)² + (471,2)² + (481,07)² + (478,27)² - (1908,68)²


5 5 5 5 20
= 10,60

Σx²w = Σx²t - Σx²b


= 299,16 – 10,60
= 288,56

RJK antar kelompok =Σx²b


K-1
= 10,60/(4-1)
= 3,53

RJK dlm kelompok = Σx²w


N-K
= 288,56/(20-4)
= 18,04

F hitung = RJKb
RJKw
= 3,53/18,04
= 0,20
F Tabel
3,25
5,29

F hitung < F Tabel tidak ada perbedaan antar kelompok

VIII. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini yaitu analgetik bertujuan untuk mengenal, mempraktekkan
dan membandingan daya analgetik Asetosal, Parasetamol menggunakan metode
rangsang kimia.
Bahan yang digunakan sebagai perangsang kimia adalah larutan steril Asam Asetat
glasial yang diberikan secara intra peritonial. Pada praktikum pemberian larutan steril
Asam Asetat glasial diberikan 5 menit setelah pemberian obat hal ini diharapkan agar
obat yang diberikan belum bekerja sehingga Asam Asetat langsung berefek dan juga
untuk mempermudah pengamatan onset dari obat itu.
Pada praktikum kali ini obat-obat analgetik yang diperbandingkan adalah obat-obat
analgetik golongan narkotik yaitu Codein dan analgetik golongan non narkotik/ perifer
yaitu Ibuprofen, Asetosal dan Parasetamol.
Dari hasil pengamatan obat yang memiliki daya analgetik paling kuat adalah
Codein karena Codein merupakan obat analgetik golongan narkotik yang mempunyai
mekanisme kerja menduduki reseptor-reseptor nyeri di SSP (Susunan Syaraf Pusat)
sehingga perasaan nyeri dapat diblokir tetapi bila analgetika tersebut digunakan terus-
menerus pembentukan reseptor-reseptor baru distimulasi dan produksi endomorfin di
ujung saraf otak dirintangi. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
ketergantungan/adiksi.
Untuk obat yang memiliki daya analgetik kedua adalah Asetosal kemudian
Ibuprofen baru kemudian Parasetamol yang merupakan obat golongan analgetik non
narkotik/perifer. Dimana obat-obat ini mempunyai mekanisme kerja menghambat
berbagai reaksi in-vitro.
Pada praktikum kali ini untuk menghitung data digunakan dengan cara statistik
yaitu dengan perhitungan analisis variabel / anava. Dari hasil perhitungan didapatkan
hasil bahwa F hitung < F tabel yaitu 0,20 < 3,25 sehingga tidak ada perbedaan antar
kelompok dan harus diuji anava. Pada uji anava tidak didapat hasil perbedaan yang
signifikan antara kodein dengan asetosal.

IX. KESIMPULAN
 Dari hasil pengamatan didapat data :
Codein memiliki daya analgetika terbesar yaitu : 95,628 %
Asetosal memiliki daya analgetika kedua adalah : 96,214 %
Ibuprofen memiliki daya analgetika ketiga yaitu : 95,654 %
Parasetamol memiliki daya analgetika keempat adalah : 94,24 %
 Uji anava % daya analgetik yaitu F hitung < F tabel, 0,20 < 3,25 maka tidak
terdapat perbedaan yang signifikan dari antar kelompok, sehingga tidak
diperlukan uji anava..

X. DAFTAR PUSTAKA
 Tjay, Tan Hoan,DRS,Apt. & DRS. Kirana Rahardja,Apt. 2002. Obat-obat
Penting edisi kelima cetakan kedua. Jakarta. PT. Elex Media Komputindo.
 Ernerst, Mutschler. 1991. Dinamika Obat edisi kelima. Bandung. ITB
 Goodman& Gilman. 2003. Dasar Farmakologi Terapi vol 1.Jakarta. EGC
LAPORAN RESMI FARMKOLOGI
PERCOBAAN IV
ANALGETIKA

Disusun Oleh:

o Ahdiya Naili Rahma (1030911003)


o Diana Jayanti (1030911016)
o Elsa Yuliana M. (10309110 )
o Dwi Ahmad S. (10309110 )
o Septian Andras

PROGAM STUDI D3 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI
”YAYASAN PHARMASI” SEMARANG
2011

You might also like