You are on page 1of 16

Referat

Tanggal

PREEMPTIVE ANALGESIA

Oleh
M. Helmi

Peserta PPDS 1 Anestesiologi dan Reanimasi


FK UGM / RS. Dr. Sardjito Yogyakarta

Pembimbing Moderator

dr. Calcarina FRW, Sp. An. KIC dr. Djayanti S Sp.An.

Bagian Anestesiologi dan Reanimasi


FK UGM / RS. Dr. Sardjito Yogyakarta
2007
PENDAHULUAN

Nyeri adalah suatu gejala subyektif yang tidak menyebangkan yang hampir pasti
pernah dialami oleh setiap orang, baik yang menyertai suatu penyakit atau berdiri
sendiri, misal nyeri pada operasi. Manipulasi pembedahan akan menyebabkan kerusakan
jaringan yang akan menimbulkan rangsang nyeri. Dalam trias anestesi terdapat hipnosis,
analgesik dan relaksasi. Ketiga hal tersebut harus tercapai pada saat melakukan anestesi.
Dalam hal ini analgesia merupakan suatu hal yang wajib terpenuhi. Nyeri dapat dicegah
dengan pemberian obat analgesik sebelum pembedahan dilakukan. Konsep tersebut
dikenal sebagai Preemptive Analgesia, yaitu pemberian regimen analgesia sebelum
terjadi noxious stimuli untuk mencegah sensitisasi sentral dan membatasi pengalaman
nyeri yang muncul. Referat ini akan membahas mekanisme nyeri, preemptive analgesia
serta manajemik nyeri postoperasi yang sering digunakan. 1,2.3

Kerusakan jaringan mengganggu proses di susunan saraf pusat dengan gangguan proses
stifulasi eferen. Penelitain eksperimen menunjukkan bahwa jejas perifer dapat
mengakibatkan penurunan ambang saraf kornu dorsal. Hal ini dapat memanjang,
tergantung pada stimulus dan jenis aferen yang teraktivasi. Akibatnya input nyeri dapat
mengakibatkan nyeri (allodinia) dengan peningkatan nyeri pada stimulasi supratreshold
(hyperalgesia) dan perkembangan nyeri spontan. 1,2

Pada manusia cedera kulit diikuti perubahan suhu dan mekanik. Hiperalgesia primer
menunjukkan perubahan dalam area cedera dan hiperalgesia sekunder menunjukkan
perubahan jaringan yang tidak rusak di sekitar jejas. Hiperalgesia primer diterangkan
dengan sensitisasi nosiseptor perifer. 3,4
TINJAUAN PUSTAKA
Definisi Nyeri
Menurut IASP (International Association Study of Pain) nyeri didefinisikan sebagai
sensorial dan pengalaman emosional yang tidak menyenangkan akibat adanya kerusakan
jaringan yang nyata atau berpotensi rusak atau tergambarkan seperti itu. 1,4

Patofisiologi Nyeri
Ciri khas nyeri akut adalah yang terjadi akibat adanya kerusakan jaringan yang nyata
(pain with injury). Antara kerusakan jaringan sebagai suatu sumber rangsang nyeri,
sampai dirasakannya sebagai suatu persepsi nyeri terdapat serangkaian peristiwa
elektrofisiologi yang secara kolektif disebut sebagai nosisepsi. 1,3,4

Reseptor khusus memberikan informasi ke SSP tentang kedaan lingkungan. Impuls dari
reseptor nyeri di kulit dihantarkan ke SSP oleh neuron A α dan C. Serabut A α
berdiameter bersar, konduksi cepat, bermielin ang menghantar first pain tajam. Serabut
C berdiameter kecil yang bertanggung jawab pada second pain tumpul dan viseral. 1,3,5

Ada 4 proses fisiologi yang jelas yang terjadi dalam suatu nosisepsi, yaitu: 1,5,6,7
1. Transduksi, merupakan proses dimana suatu rangsangan nyeri (noxious stimuli)
dirubah menjadi aktivitas listrik yang akan diterima oleh ujung-ujung saraf
sensoris (nerve ending). Rangsang ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan),
suhu (panas) atau kimia (sebstansi nyeri).
Nosiseptor, reseptor nyeri secara selektif berespon terhadap stimulasi nyeri dan
mengubah energi pada sisi stimulus ke impuls neural, reseptor nyeri, transduksi.
Nosiseptor aferen primer adalah cabang terminal A  dan C dengan badan sel
terletak di ganglia radiks dorsal.
2. Transmisi, dimaksudkan sebagai perambatan ransang nyeri melalui serabut saraf
sensorik menyusul proses transduksi.
Saat signal transduksi terjadi, impuls ditransmisikan melalui serabut A  dan C ke
medula spinalis yang kemudian bersinaps pada lapisan superfisial Rexed
Laminae. Substansi P, neurokinin, dilepaskan serabut HT. Calcitonin gene-related
(CGRP) bersama substansi P mengakibatkan peningkatan eksitabilitas. Substansi
P merangsang pelepasan Exitatory Amino Acids (EAAs) seperta aspartat,
glutamat, yang beraksi pada reseptor AMPA dan NMDA.
3. Modulasi, adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik
endogen dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior. Jadi merupakan
proses desenden yang dikontrol oleh otak seseorang. Analgesia endogen ini
meliputi opioid endogen, sertotonik dan noradrenergik yang memiliki
kemampuan menekan input nyeri di kornu posterior.
Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu gerbag yang dapat tertutup
atau terbuka dalam menyalurkan nyeri. Proses modulasi ini dipengaruhi oleh
kepribadian, motivasi, pendidikan, status emosional dan kultur dari seseorang.
Proses modulasi inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat
subyektif bagi tiap orang dan sangat ditentukan oleh makna atau arti suatu input
nyeri.
4. Persepsi adalah hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dan unik yang
dimulai dari proses transduksi, transmisi dan modulasi yang pada gilirannya
menghasilkan suatu perasaan yang subyektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
Serabut nosiseptif aferen tingkat ke dua dengan badan sel di medula spinalis
yang proyeksi aksonnya pada pusat SSP memproses informasi nosiseptif.
Sebagian besar serabut asenden menyilang sebelum naik ke krania di traktus
spinotalamus dengan mayoritas neuron WDR atau HT; lewat pons, medula dan
mid-brain untuk berakhir pada bagian spesifik di talamus. Dari talamus,
informasi aferen di bawa ke korteks somato sensori. Traktus spinotalamkus juga
mengirim cabang kolateral ke formasio retikularis. Aktivasi struktur supraspinal
dimediasi EAAs, tapi neurotransmitter yang terlibat dalam proses informasi
sentral nosiseptif ini masih belum diketahui.

Terapi analgesik secara tradisional bertarget pada persepsi nyeri. Area tertentu seperti
nuklus retikularis gigantocelularis terdepresi selama anestesi umum dan analgesi opioid.
Terapi analgesi opioid memiliki keberhasilan beragam karena besarnya spesifisitas
parenteral dan oral.7

Plastisitas Susunan Saraf (Plasticity of the Nervous System)


Dalam keadaan normal maka rangsang kuat nyeri (noxious stimuli) akan diarasakan
sebagai nyeri (pain), sebaliknya rangsang lemah (innoxious stimuli) dirasakan bukan
sebagai nyeru (no pain). Rangsang kuat dirambatkan oleh serabut rangsang kecil, yaitu
serabut A yang bermielin atau serabut C yang tidak bermielin. Dengan demikian dalam
keadaan normal terdapat 2 saraf yang berjalan paralel dimana saraf kecil hanya
menerima rangsang kuat yang bertanggung jawab terhadap nyeri dan saraf besar hanya
menerima rangsang lemah, yang bertanggung jawab terhadap rangsang bukan nyeri. 7,8

Akan tetapi dalam keadaan dimana terdapat kerusakan jaringan yaitu proses inflamasi
keadaannya menjadi lain. Dalam keadaan ini maka rangsang lemah seperti rabaan pada
daerah perlukaan, yang dalam keadaan normal tidak menimbulkan nyeri sekarang
menjadi nyeri, pada klinis keadaan ini disebut sebagai allodinia. Selain itu rangsang kuat
pada daerah sekitar perlukaan yang nampak normal, dirasakan sebagai nyeri yang hebat
dan berlangsung lebih lama walaupun rangsang sudah dihentikan, dalam klinik disebut
sebagai hiperalgesia sekunder. 2,4,8

Kenyataan klinik ini membantah hipotesa di atas yang memberi tanggung jawab saraf
kecil sebagai penghambat nyeri dan saraf besar sebagai perambat tidak nyeri, 2 hal yang
tidak terpisah. Dengan kata lain bahwa dalam keadaan terdapat kerusakan jaringan maka
terjadi pula perubahan sifat saraf. Kemampuan saraf untuk berubah sifat, yang mirip
dengan plastik disebut sebagai plastisitas susunan saraf pusat (plasticity of the nervous
system). Jadi saraf tidak dapat digambarkan sebagai suatu hardware yang menetap
fungsinya tapi dapat berubah sesuai perubahan lingkungan yang kesemuanya itu
dimaksudkan sebagai alat proteksi bagi tubuh kita. 3,5

Mengapa plastisitas susunan saraf tersebut dapat terjadi? Hal ini dapat dijelaskan karena
setiap terjadi kerusakan jaringan atau proses inflamasi akan diikuti pula dengan
sensitisasi baik di perifer maupun sentral, dimana pada ujung-ujung saraf nyeri
(nosiseptor) mengalami sensitisasi yang disebut sebagai peripheral sensitization
demikian juga pada kornu posterior yang disebut sebagai central sensitization.9

PREEMPTIVE ANALGESIA
Nyeri sering tidak ditangani secara adekuat, lebih dari 23 juta prosedur operasi setiap
tahun dan masih meninggalkan keluhan nyeri walaupun jaringan sudah sembuh. Keluhan
yang tidak menyenangkan. Keluhan nyeri dapat membekas menyebabkan nyeri yang
oleh orang normal ringan dirasakan sebagai nyeri hebat (hiperalgesia), rangsangan tidak
nyeri yang dirasakan nyeri oleh orang normal dirasakan sebagai nyeri (allodinia). Kondisi
kronik sering terjadi, terus menerus nyeri dalam waktu yang lama setelah
pembedahan.1,5

Preemprive analgesia merupakan konsep klinik yang sedang berkembang yaitu


pemberian obat analgesia sebelum rangsang nyeri yang terjadi dengan tujuan mencegah
sensitisasi sistem saraf yang akan memunculkan nyeri lebih lanjut. Jika dosis obat secara
adekuat diberikan kepada pasien sebelum pembedahan misalnya dengan opioid intra
vena, infiltrasi anestesi lokal, blok saraf, blok sub arachnoid dan blok epidural akan
memberikan keu tungan yang dapat diobservasi selama satu tahun setelah pembedahan.
3,5

Suatu pembedahan merupakan peristiwa yang bersifat bifasik terhadap tubuh


manusia yang berimplikasi pada pengelolaan nyeri. Pertama, selama
pembedahan berlangsung, terjadi kerusakan jaringan tubuh yang menimbulkan
stimulus noxious. Kedua, pascabedah terjadi respon inflamasi pada jaringan
tersebut yang juga bertanggung jawab terhadap munculnya stimulus noxious.
Kedua proses yang terjadi selama dan pasca pembedahan akan mengakibatkan
sensitisasi susunan saraf sensorik. Pada tingkat perifer,terjadi penurunan nilai
ambang reseptor nyeri (nosiseptor), sedangkan pada tingkat sentral terjadi
peningkatan eksitabilitas neuron spinal yang terlibat dalam transmisi nyeri. 3,4,5

Sensitisasi yang terjadi pasca bedah selain akan merupakan sumber stress pasca
bedah yang berimplikasi terhadap teraktifasinya saraf otonom simpatis dengan
segala konsekuensinya, juga merupakan sumber penderitaan penderita pasca
bedah. Oleh karena itu pengelolaan nyeri pasca bedah sebaiknya ditujukan ke
arah pencegahan atau meminimalkan terjadinya kedua proses sensitisasi
tersebut.5,9

Antara suatu stimulus noxious sampai dirasakan sebaga persepsi nyeri terhadap
paling sedikit empat rangkaian elektrofisiologi yang jelas. Seluruh rangkaian
tersebut disebut sebagai peristiwa nosisepsi. Suatu peristiwa nosisepsi dimulai
dengan transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi. Nyeri yang terjadi akibat
adanya peristiwa nosisepsi, dimana nyeri pasca bedah merupakan salah satu
nyeri nosisepsi.10

Ada 2 saraf yang peka terhadap suatu stimulius noxious yaitu saraf A yang
bermielin (konduksi cepat) dan serabut saraf C yang tidak bermielin (konduksi
lambat). Walaupun keduanya peka terhadap rangsang noxious namun keduanya
memiliki perbedaan baik reseptornya maupun neurotransmitter yang dilepaskan
pada pre sinaps di kornu posterior. Reseptor (nosiseptor) serabut A delta hanya
peka terhadap stimulus mekanik dan termal, sedangkan serabut saraf C peka
hanya terhadap stimulus noxious termasuk mekanis, termal dan kimiawi. Oleh
karena itu reseptor serabut C disebut juga sebagai polimodal reseptor. Demikian
pula neurotransmitter yang dilepaskan oleh serabut A delta dipresinaps adalah
asam glutamat, sedangkan serabut C akan melepaskan selain asam glutamat juga
substansi P (neurokinin) yang merupakan polipeptida. Hal ini menjadi penting
sehubungan dengan mekanisme nyeri pasca bedah. Selama pembedahan trauma
pembedahan merupakan stimulus noxious yang akan diterima dan dihantar oleh
kedua saraf tersebut, sedangkan pasca bedah (proses inflamasi) merupakan
rangsang noxious yang hanya diterima dan dihantar oleh serabut C. Dengan kata
lain nyeri pasca bedag akan didominasi oleh serabut C.9,10

Sensitisasi Perifer
Kerusakan jaringan akan mengundang dilepaskannya sejumlah substansi nyeri
berupa K+, H+, serotonin, bradikinin, histamin, prostaglandin dan lainnya.
Substansi ini pada gilirannya akan merangsang dilepaskannya substansi P pada
ujung-ujung saraf Adelta dan serabut C yang disebut sebagai nosiseptor. Antara
substansi nyeri dengan nosiseptor terjadi reaksi umpan balik positif artinya makin
banyak substansi nyeri yang dilepaskan maka makin banyak pula nosiseptor
dibangkitkan, diikuti dengan peningkatan sensitivitas dari nosiseptor itu sendiri.
Nampaknya terdapat banyak nosiseptor yang tidur (sleeping nociceptors) yang
dalam keadaan normal tidak berfungsi dan mudah dibangkitkan bila terjadi
kerusakan jaringan.10

Dengan kata lain terlepasnya substansi nyeri pada daerah kerusakan jaringan
selain akan meningkatkan kualitas nosiseptor tetapi juha kuantitas nosiseptor
turut meningkat, sehingga proses transduksi semakin meningkat pula.
Meningkatnya proses transduksi menyebabkan terjadinya hiperalgesia primer
pada daerah kerusakan jaringan. Selain itu terlepasnya substansi nyeri juga akan
mensensitisasi nosiseptor di sekitarnya yang pada gilirannya menghasilkan
hiperalgesia sekunder. Obat-obat analgesik anti inflamasi non steroid (OAINS)
dapat menekan proses transduksi yang berarti dapat menekan proses sensitisasi
perifer yang pada gilirannya mengurangi rasa nyeri.11,12

Kerusakan jaringan akibat suatu pembedahan selain akan menyebabkan


terlepasnya zat-zat dalam sel mast, makrofag dan limfosit juga akan terjadi impuls
balik dari saraf afferent yang melepaskan mediator kimia yang berakibat
terjadinya vasodilatasi serta peningkatan permeabilitas kapiler serta terjadi
ekstravasasi protein plasma.2,6,7

Interaksi ini akan menyebabkan terlepasnya suatu group yang mengandung


mediator inflamasi seperti kalium, hidrogen, serotonin, bradikinin, substansi P,
histamin dan produk-produk siklooksigenase dan lipooksigenase dari
metabolisme asam arakhidonat yang menghasilkan prostaglandin. Mediator
kimia ini menyebabkan sensitisasi dari kedua nosiseptor tersebut di atas. 3,7

Akibat dari sensitisasi ini, rangsang normal yang lemah tidak menyebabkan nyeri
sekarang menjadi terasa nyeri. Perstiwa ini disebut sebagai sensitisasi perifer
yang ditandai dengan meningkatnya respon terhadap stimulasi termal / suhu
pada jaringan yang rusak. Dengan kata lain, sensitisasi perifer diinduksi oleh
adanya perubahan neurohormonal pada daerah jaringan yang rusak maupun
sekitarnya. Jika kita ingin menekan fenomena sensitisasi perifer ini maka
dibutuhkan upaya menekan efek mediator kimia tersebut. Upaya demikian
merupakan dasar penggunaan obat-obat anti inflamasi non steroid (AINS) yang
merupakan anti enzim siklooksigenase.9.11,12

Sensitisasi Sentral
Sensitisasi sentral terjadi di kornu posterior sebagai akibat masuknya input nyeri
dari perifer ke kornu posterior. Suatu input nyeri yang berkepanjangan akan
menyebabkan terjadinya summasi potensial pada kornu posterior sehingga
terjadi depolarisasi yang berkepanjangan (hiperdepolarisasi) yang pada gilirannya
menyebabkan hipersensitivitas dari kornu posterior yang disebut sebagai
sensitisasi sentral. Sensitisasi sentral inilah yang menyebabkan suatu rangsang
lemah (yang dihantarkan oleh serabut saraf A beta), yang normal tidak
menyebabkan nyeri sekarang dapat menimbulkan nyeri yang dalam klinik dikenal
sebagai allodinia.9,12

Secara sederhana dapat diterangkan bahwa hiperdepolarisasi atau kumulatif


depolarisasi terjadi akibat aktivasi dari reseptor NMDA (N methyl-D-Aspartic-
Acid) oleh traqnsfer glutamat. Akibat akitvasi NMDA tersebut maka ion Na dan Ca
mengalami influks sebagai awal dari depolarisasi. Opioid adalah antagonis dari
reseptor NMDA. Oleh karena itu pemberian opioid dapat mencegah terjadinya
hiperdepolarisasi atau hipersensitisasi kornu posterior. Inilah yang merupakan
dasar mengapa opioid diperlukan untuk mengobati nyeri yang hebat. Dengan
kata lain pemberian opioid eksogen dapat mencegah suatu rangsang lemah yang
dihantarkan oleh saraf A beta untuk menghasilkan nyeri, atau paling tidak
pemberian opioid eksogen dapat mengembalikan fungsi kornu posterior menjadi
normal sehingga hanya rangsang kuat yang dapat menimbulkan rangsang
nyeri.1,12

Suatu noxious yang berkepanjangan sebagai akibat pembedahan akan merubah


respon saraf kornu dorsalis medula spinalis. Aktivitas sel kornu dorsalis akan
meningkat seirama dengan lamanya stimulus tersebut menyebabkan
menurunnya respon treshold serta meningkatnya resiptive field, sehinggat terjadi
peningkatan signal transmisi ke otak menyebabkan meningkatnya persepsi nyeri.
Perubahan-perubahan ini diyakini sebagai akibat terjadinya perubahan pada
kornu dorsalis menyusul suatu kerusakan jaringan. Perubahan ini disebut sebagai
sensitisasi sentral atau wind up. Mennunjukkan bahwa susunan saraf usat tidak
bisa diibaratkan sebagai hard ware yang kaku tetapi seperti plastik, artinya dapat
berubah sifatnya akibat adanya kerusakan jaringan atau inflamasi. 4,13

Wind Up ini dapat menyebabkan neuron-neuron tersebut menjadi lebih sensitif


terhadap stimulus lain dan menjadi bagian dari sensitisasi sentral. Penemuan ini
telah memberikan banyak perubahan pada konsep nyeri. Dewasa ini telah
diketahui bawa suatu stimulus noxious yang berkepanjangan pada serabut C dari
serabut afferent primer akan menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia
pada kornu dorsalis yang sulit untuk dipulihkan. Hal ini menjadi dasar terjadinya
nyeri kronik yang sulit disembuhkan. 14

Perubahan-perubahan lain yang terjadi pada kornu dorsalis sehubungand engan


sensitisasi sentral adalah: pertama, terjadi perluasan ukuran reseptor sehingga
neuron spinalis akan berespon terhadap stimulus yang normalnya tidak
merupakan stimulus nosiseptif. Kedua, terjadi peningkatan besaran dan durasi
respon terhadap stimulus yang lebih dari potensial ambang. Dan yang terjadi
pengurangan ambang batas sehingga stimulus yang secara normal tidak bersifat
nosiseptif akan mentransmisi informasi nosiseptif. Perubahan-perubahan ini
penting pada keadaan nyeri kronik. Perubahan ini bermanifestasi sebagai
hiperalgesia, allodinia dan meluasnya daerah nyeri di sekitar perlukaan. 2,12

Telah dikenal sejumlah besar tipe reseptor yang terlibat dalam transmisi nyeri.
Reseptor-reseptor ini berada di pre dan post sinaps dari terminal serabut afferent
primer. Beberapa dari reseptor ini telah menjadi target penelitian untuk mencari
alternatif pengobatan baru. Reseptor N-Methyl-D-Aspartant (NMDA) banyak
mendapat perhatian khusus. Diketahui bahwa reseptor non NMDA dapat
memediasi proses fisiologis dari sensoris, namun bukti yang kuat menunjukkan
peranan rseptor NMDA pada perubahan patofisiologis seperti pada mekanisme
wind up dan perubahan-perubahan lain termasuk proses fasiltias, sensitisasi
sentral dan perubahan daerah reseptor perifer. Sehingga antagonis NMDA
tentunya dapat menekan respon ini. Ketamin, penyakit reseptor NMDA, dengan
jelas dapat mengurangi kebutuhan opioid bila diberikan sebelum operasi.
Dekstrometropan, obat penekan batuk, dapat menjadi alternatif lain karena
penelitian menunjukkan antagonisme pada toleransi opioid dan opioid
withdrawal sebagaimana potensiasi analgesia morfin.2,8

Dewasa ini perhatian selanjutnya tertuju pada NO dan peranannya dalam proses
biologik dan sejumlah bukti telah menunjukkan peranan NO pada porses
nosiseptif. Produksi NO terjadi secara sekunder dari aktivasi reseptor NMDA dan
influks Ca++. Perubahan yang digambarkan di atas, yang terjadi seiring aktivasi
reseptor NMDA, dapat menjadi bagian dari produksi NO. Sehingga dimungkinkan
bahwa obat-obat yang dapat menghambat prodksi dan aksi dari NO mempunyai
peranan yang penting dalam pencegahan dan penanganan nyeri.5,8

Fenomena Wind Up merupakan dasar dari preemptive analgesia, yang diartikan


sebagai memberikan analgesik sebelum terjadinya nyeri. Dengan menekan
respon nyeri akut sedini mungkin, analgesia preemptive dapat mencegah atau
setidaknya mengurangi kemungkinan terjadinya Wind Up. Idealnya, pemberian
analgesik telah dimulai sebelum pembedahan. 6,8

Berbagai upaya telah dicoba untuk memanfaatkan informasi yang diperoleh dari
hasil penelitian farmakologik dan fisiologi dalam penerapan strategi penanganan
nyeri. Percobaan difokuskan pada dua pendekatan. Pertama, penelitian tentang
bahan-bahan yang pada tingkat spinal berefek terhadap opioid, adrenoreseptor
alfa dan reseptor NMDA. Kedua, perhatian ditujukan pada usaha mencoba
mengurangi fenomena sensitisasi sentral. Konsep analgesia preemptive telah
mendunia sebagai hasil dari penemuan ini dan menjadi sebuah usaha dalam
mencegah atau mengurangi perubahan-perubahan yang terjadi pada proses
nyeri.7.9

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik nyeri paska
bedah adalah terjadinya sensitisasi perifer dan sensitisasi sentral. Oleh karena itu
prinsip dasar dari pengelolaan nyeri paska bedah adalah mencegah atau
meminimalisasi terjadinya sensitisasi perifer dengan pemberian obat-obat NSAID
(COX1 atau COX2), sedangkan untuk mencegah atau menekan terjadinya
sensitisasi sentral dapat dilakukan dengan pemberian ketamin atau opioid.3,11

Manajemen Nyeri
Respon terhadap noxious stimuli dapat diperkuat oleh pengulangan stimuli yang
terjadi. Sebagai contoh, nosiseptor perifer menjadi lebih responsif dengan
adanya pengulangan noxious stimuli. Sensitivitasnya akan lebih meningkat
dengan banyaknya jaringan yang rusak dengan mediator yang dikeluarkan. Proses
yang mana neuron pada kornu dorsalis medulla spinalis tersensitisasi oleh
noxiuous stimuli dikenal sebagai wind up atau sensitisasi sentral.3,12

Opioid
Seperti yang sudah diketahui, opioid adalah obat analgesik yang bekerja di
sentral. Istilah opioid digunakan untuk mendeskripsikan semua obat yang
memiliki analgesik melalui reseptor opioid dimana meliputi natural maupun
sintetik. Reseptor opioid ada beberapa yang dikenal dengan alfabet Yunani, , ,
. Opioid diklasifikasikan menjadi opioid agonis, agonis-antagonis dan opioid
antagonis.6

Non Steroidal Anti Infalmatory Drugs (NSAIDs)


NSAIDs yang juga digunakan sebagai antipiretika, merupakan obat yang bekerja di
perifer dengan cara menghambat metabolisme arachidonic acid menjadi
prostagandin. Arachidonic Acid dalam membran sel akan keluar karena
peradangan atau trauma. Metabolisme asam tersebut melalui jalus
cyclooxygenase (COX pathway) menghasilkan prostaglandin dan tromboxan. Jalur
lipooksigenase menghasilkan leukotriens. Mediator-mediator inflamasi tersebut
merupakan mediator kuat, hyperalgesik agent, dan menyebabkan gejala-gejala
inflamasi yang khas seperti eritema, edema dan nyeri. 6,8

Ada 2 isoenzim pada COX pathway, yaitu COX1 dan COX2. NSAIDs bekerja dengan
menghambat kerja dua enzim tersebut sehingga mempunyai efek analgesikdan
sekaligus juga mengakibatkan efek samping. Prostanoids yang dihasilkan COX1
berfungsi melindungi mukosa lambung, memperbaiki renal blood flow, dan
mendorong agregasi trombosit. Dengan kata lain, menghambat COX 1 berarti
menghilangkan fungsi prostanoid tersebut. Oleh karena itu NSAIDs jangan
digunakan pada pembedahan dengan kemungkinan perdarahan paska bedah,
misal adenotonsilectomy atau pada penderita dengan gangguan fungsi platelet.
NSAIDs sebagaiknya juga tidak digunakan pada penderita asma. 10,11

Alfa-2 Adrenergik Agonis


Kelompok yang sangat penting dari analgesik non opioid adalah alfa-2 agonis
meliputi klonidin, metildopa dan deksmdetonidine. Klonidin secara rutin telah
digunakan untuk menghasilkan sedasi dan relaksasi dapat juga mengurangi agent
anestesi dan kebutuhan analgesi sampai dengan 30% intraoperatif. 6

Sebagai tambahan, alfa-2 adrenergik agonis dapat mengurangi penggunaan


analgesik dalam beberapa jam pertama post operatif sampai dengan 10-15%.
Ahli anestesi telah mengetahui potensi keuntungan adrenalin konsentrasi rendah
dicampur dengan obat anestesi lokal untuk spinal dan epidural analgesia.
Penggunaan alfa-2 adrenergik agonis memberikan blok bahkan lebih kuat ketika
diberikan bersamaab obat anestesi lokal.7,8

Ketika dibandingkan dengan epidural morfim, klonidin memberikan analgesi yang


efektif tetapi mempunyai durasi aksi yang klebih pendek walaupun wkstradural
klonidin menyebabkan perubahan hemodinak.6
Daya Guna Preemptive Analgesia
Meskipun telah teruji efeknya pada hewan pecobaan, masih banyak kontroversi
penggunaan preemptive analgesia, hal ini karena tidak semua penelitian yang
membahas daya guna preemptive analgesia. Saat mengevaluasi penelitian
tentang preemptive analgesia waktu intervensi sangat penting, juga penting
halnya untuk memilih prosedur intervensi untuk mencegah sensitisasi perifer.
Upaya efektif terapi harus diberikan sampai trigger perifer hilang yaitu saat luka
operasi sembuh yang dapat mempotensiasi sensitisasi sentral. 8

Kesimpulan
Pencegahan perubahan fungsional di SSP dengan preemptive analgesia dapat
mengurangi nyeri post operatif dan juga morbiditas. Perlu dilakukan lebih jauh
terutama tentang obat-obat baru untuk kesempuranaan metode ini.
Daftar Pustaka

1. Beilin, et. Al, Effects of Preemptive Analgesia on Pain and Cytokine


Production in the Postoperative Period, Anesthesiology 98:151-5, 2003
2. Aida, et. Al., Preemptive Analgesia by Intravenous Low dose Ketamine and
Epidural Morphine in Gastrectomy: A randomized Double blind study,
Snesthesiology 100:1624-30, 2004
3. Morgan GE, et al, Preemptive Analgesia , In: Clinical Anesthesiology 4th edition.
Appleton & Lange BT. Churchill Livingstone, Philadelphia, 2006, pg: 263-275.

4. Sweitzer BJ, 1993, Clinical Anesthesia Procedure of the Massachusets General


Hospital, 4ed, Department of Anesthesia, Massachussetts General Hospital, pg
197-205.

5. Tan HT, et al., Obat-obat Penting, Penerbit eElex Media Komputindo, Jakarta.

6. Kelly, Preemptive Analgesia II: recent advances and current trends,


Canadian Journal of Anesthsia 2001/48/1091-1101
7. Vandam LD., History of Anesthetic Practice, in: Miller RD (ed.), Anesthesi, Volume
1A, 5th ed., Chuchill Livingstone, 2000, pg: 1-14.

8. Kleinmann W, Regional Anesthesia and Pain Management, In: Clinical


Anesthesiology 4th edition . Ed: Morgan GE, et al., Appleton & Lange, Stamford,
2006, pg: 289-412.

9. Dahl JB, et.al, The value of Preemptive Analgesia in the Threatment of


Postoperative Pain, British Journal Aneshtesia 2001, 70:434-9
10. Kalz, et.al, Preemptive Analgesia, British Journal of Anesthesia 2003,
70:434-9
11. Sumishida Aida, INVOLVEMENT OF PRESURGICAL PAIN IN PREEMPTIVE
ANALGESIA FOR ORTHOPEDIC LIMB SURGERY, Dept. Anesthesiology
Niigata Japan, 2004

12. Rambam, H, et. Al, Preemptive Analgesia for Abdominal Hysterectomy


13. Cliff KS, et. Al., The Efficacy of Preemptive Analgesia for Acute
Postoperative Pain Management: A Meta-Analysis, Canadian Journal of
Anesthesia, 48:1000-1010, 2001
14. Dermott, et.al., Preemptive analgesia I: physiological pathways and
pharmacological modalities, Canadian Journal of Aneshtesia 48:1091-
1101

You might also like