You are on page 1of 6

Persiapan Akreditasi Rumah Sakit

01 SundayJAN 2017
POSTED BY ROFIDA LATHIFAH IN DOCTOR, HOSPITAL LIFE
≈ LEAVE A COMMENT
Tags
akreditasi, bimbingan, dokumen, KARS, paripurna, perdana, persiapan, pokja, rumah sakit, studi banding, survei simulasi, telusur

pict from : google

Akreditasi sekolah sudah biasa, akreditasi perguruan tinggi sudah lumrah. Adalagi akreditasi rumah sakit. Emang
perlu ya? Ternyata perlu saudara-saudara. Kalau ndak ada akreditasi, terus siapa yang mantau mutu rumah sakit di
Indonesia? Dunia kesehatan bukan lagi seperti jaman dahulu dimana dokter dianggap dewa dan pasien hanya manut.
Sekarang pasien sudah bisa memilih mana rumah sakit yang baik pelayanannya. Mau tidak mau semua rumah sakit
harus berbenah agar tidak tertinggal.

Saat ini rumah sakit di Indonesia menganut standar akreditasi versi 2012. Sebelumnya mengacu kepada standar versi
2007. Apa bedanya? Dulu yang diublek-ublek dokumen saja. Kalau sekarang dokumen hanya 20%, sisanya telusur
lapangan yang dinilai. Para surveior KARS (Komisi Akreditasi Rumah Sakit) akan ‘merasakan’ bagaimana
sesungguhnya ketika menjadi pasien di rumah sakit tersebut. Apa saja proses yang dijalani sejak masuk hingga
keluar rumah sakit.
suasana telusur dokumen saat survei simulasi

petugas kantin turut disurvei

Ketika melihat standar akreditasi dan elemen penilaiannya, pasti banyak yang mengeluh. Wajar saja karena
sebelumnya rumah sakit belum pernah diajarkan yang demikian. Mereka harus merombak sistem dan menyesuaikan
dengan standar terbaru. Banyak hal yang sebelumnya belum ada, harus diadakan. Dokumen rekam medis yang
awalnya cuma sehelai, jadi tebel sampe bisa dijadiin bantal. Terus rumah sakit kudu piye jal?
Nggak usah keburu panik. Tarik nafas panjang. Hal yang paling penting adalah BUKAN menjadikan akreditasi
sebagai beban. Sebaliknya, akreditasi adalah jalan menuju perbaikan rumah sakit. MEA udah di depan mata, masa
kita masih mau merem aja. Bentar lagi tenaga medis asing masuk, RS asing masuk, trus kita mau kemana? Ke laut
gitu? Toh nanti yang disurvei juga hal yang sehari-hari kita lakukan. Lha kalo udah terbiasa kan pasti nggak akan
lupa. Udah nggak deg-degan lagi kalo ditanya-tanya.

Standar akreditasi versi 2012 ini mengacu pada standar internasional versi JCI (Joint Comission International) yang
juga sudah digunakan di lebih dari 100 negara. Saat nanti sudah lulus akreditasi versi 2012 apa otomatis diakui
secara internasional? Belum. Tapi paling tidak secara pelayanan sudah mendekati rumah sakit di luar negeri. Kalau
pengen bisa beneran diakui internasional ya harus lulus standar JCI yang otomatis surveinya pake Bahasa Inggris.
XD

Akreditasi menjadi penting karena untuk mendapatkan/memperpanjang izin rumah sakit harus sudah terakreditasi.
Untuk bisa bekerja sama dengan BPJS Kesehatan pun demikian. Wajar lah ya, bagaimana mungkin izin rumah sakit
diberikan kalau pelayanannya nggak standar. Sayangnya banyak rumah sakit yang terhambat akreditasi karena
masalah dana. Bukan rahasia umum kalo akreditasi menghabiskan banyak biaya. Berbagai macam pelatihan yang
harus diikuti, berbagai standar yang harus diaplikasikan dan sayangnya semua itu tidak tercover dalam biaya pasien
JKN. Saat itulah manajemen rumah sakit harus berpikir keras agar rumah sakit tetap bisa beroperasi, pasien
tertangani dan karyawan tetap digaji.

Lalu apa aja yang harus dilakukan kalau mau menjalani akreditasi? Pertama, tetapkan dulu tujuannya. Mau langsung
paripurna (15 pokja) atau perdana (empat pokja)? Disini kita bisa melihat betapa KARS sebenarnya sudah
memberikan kelonggaran bagi rumah sakit untuk bisa menyesuaikan diri dengan standar yang ada. Nggak mampu
langsung 15 pokja ya empat pokja dulu saja. Enak tho? Ukuran mampu atau tidak adalah dari sumber daya manusia
yang ada. Kalau rumah sakit tipe D, rata-rata masih perdana dulu. Kalau tipe C sebaiknya memang langsung
paripurna agar lebih efisien secara waktu, biaya dan tenaga. Karena rumah sakit tempat saya bernaung adalah tipe D,
maka diputuskan akan menjalani tingkat perdana dulu.

Tujuan sudah dibuat, saatnya bagi tugas. Membentuk tim akreditasi sesuai 4 pokja yang dibutuhkan. Bagaimana
cara menyusun tim pokja yang efektif? Lihatlah elemen penilaian dari masing-masing pokja. Di sana akan terlihat
kebutuhan tim pokja tersebut. Ambil contoh pokja SKP. Dari 6 standar SKP, terlihat bahwa harus ada anggota tim
dari keperawatan, farmasi, laboratorium serta kamar operasi. Pemilihan anggota tim menjadi penting karena
merekalah nantinya yang akan banyak bekerja untuk menyiapkan dokumen serta sosialisasi tentang penerapannya
kepada para pelaksana pelayanan.

Selesai menentukan tim, waktunya membuat dokumen akreditasi. Dokumen mana dulu yang harus dibuat?
Sebaiknya dari kebijakan, lanjut ke pedoman & panduan baru SPO. Ada banyak sumber yang memberikan ceklis
dokumen yang dibutuhkan masing-masing pokja. Untuk contoh dokumen bisa di browsing, tapi jangan lupa
disesuaikan dengan kondisi rumah sakit. Karena tiap rumah sakit akan sangat berbeda satu dengan lainnya. Ketika
dokumen sebagian telah selesai, bisa langsung dimulai penerapan standar agar pelaksana menjadi terbiasa. Tidak
lagi terkaget-kaget saat diberikan segambreng hal baru secara bersamaan. Ini juga sebagai evaluasi apakah standar
sudah bisa diterapkan secara optimal atau masih perlu modifikasi.

Lalu kapan saat yang tepat untuk mengajukan bimbingan akreditasi dari KARS atau melakukan studi banding ke
rumah sakit yang sudah lulus akreditasi? Saat yang tepat adalah ketika tim akreditasi sudah bisa ‘menemukan
jalannya’ serta dokumen sudah mulai dibuat. Studi banding dulu atau bimbingan dulu? Saran saya sih studi banding
dulu saja supaya kita benar-benar mengerti real nya penerapan akreditasi itu seperti apa. Jadi kita akan memahami
penafsiran dari standar akreditasi dan elemen penilaian yang ada. Siapa yang harus ikut studi banding? Sebaiknya
seluruh tim akreditasi. Namun apabila harus dibatasi, maka saran saya adalah orang yang paling tahu tentang pokja
tersebut. Sehingga dia akan menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Bukan lagi datang tanpa ilmu jadi nggak tau apa
yang harus dicari.

studi banding ke RS Baptis Batu bersama tim akreditasi


Usai studi banding, bisa jadi akan banyak dokumen yang perlu direvisi atau dibuat kembali. Nggak perlu pusing, itu
adalah hal yang wajar. Dari sebelumnya nggak tahu menjadi tahu. Jadi pasti ada perbaikan. Gimana cara
menentukan rumah sakit yang tepat untuk menjadi tujuan akreditasi? Kriteria simpelnya adalah rumah sakit yang
dengan besar hati mau ngasi contoh dokumennya sekaligus mau berbagi pengalaman akreditasi disana. Saya nggak
tahu pasti kenapa KARS tidak membuat form dokumen standar yang bisa dimodifikasi oleh rumah sakit. Pada
akhirnya tiap rumah sakit harus meraba-raba untuk membuat dokumen sesuai standar. Disclaimer : dokumen dari
rumah sakit yang sudah lulus akreditasi belum tentu sudah betul bila nanti surveior yang datang di rumah sakit kita
berbeda.

Saat dokumen sudah jadi semua, penerapan sudah 70%, bolehlah mengajukan bimbingan dari KARS. Di bimbingan
ini kita juga akan diubek-ubek lagi masalah dokumen. Jangan khawatir, telusur lapangan pasti nggak akan kelewat
karena itu yang paling utama. XD

Dari hasil bimbingan KARS nantinya kita akan tahu seberapa siap rumah sakit untuk menghadapi survei akreditasi.
Apakah kira-kira bisa dilaksanakan dalam waktu dekat, perlu survey simulasi atau bahkan mungkin harus mundur
lagi. Dibawa santai saja. Ingat, akreditasi bukanlah tujuan akhir. Melainkan hanya alat untuk meningkatkan mutu
rumah sakit.

bimbingan akreditasi KARS bersama dr. Dian Suprodjo, Sp. THT

Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mempersiapkan akreditasi? KARS memberi syarat bahwa untuk maju
akreditasi harus ada bukti minimal 3 bulan bahwa rumah sakit tersebut sudah sesuai standar. Lha menyiapkan biar
sesuai standar ini lho yang lama. Ada yang 1 tahun, ada yang sampe 3 tahun. Rumah sakit saya sendiri butuh waktu
sekitar 1,5 tahun sejak persiapan hingga survey akreditasi tingkat perdana.

Hal penting lain yang perlu diingat, dalam pembuatan dokumen atau penerapan standar nggak perlu tanya dari
banyak rumah sakit. Ambil contoh dari satu atau dua saja sudah cukup. Kalau kebanyakan contoh nanti malah
bingung mau menerapkan yang mana. Ibarat pepatah kekinian, less is more. Toh nanti keputusan final tetap di
tangan surveior rumah sakit kita. Dan kalau nanti udah lulus, jangan pelit berbagi ke sesama. Saingan kita bukan lagi
rumah sakit gang sebelah, tapi rumah sakit negara tetangga yang bikin pasien kita kabur kesana. Buktikan dong kalo

Indonesia nggak kalah keren juga.


Advertisements

You might also like