You are on page 1of 5

Realitas kegiatan pengelolaan hutan selama ini dinilai lebih berorientasi pada pertumbuhan

ekonomi sehingga telah menyebabkan termarginalisasinya masyarakat yang hidup di dalam


dan sekitar hutan. Konsep pertumbuhan untuk pemerataan ternyata tidak serta-merta mampu
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Akibatnya, timbul ketidakadilan ekonomi yang berdampak pada kesenjangan kesejahteraan


antar masyarakat, khususnya antara masyarakat yang memiliki akses terhadap manfaat hutan
(pengusaha hutan, dan elit lokal) dan keterbatasan akses terhadap manfaat hutan.

Oleh karena itu diperlukan terobosan yang signifikan agar masyarakat yang hidup di dalam
dan sekitar hutan tidak lagi dimarginalkan. Untuk menjawab hal itu, departemen kehutanan
(dephut) telah menetapkan beberapa kegiatan pokok masing-masing kebijakan prioritas
pembangunan kehutanan yang tertuang dalam rencana strategis.

Dalam permenhut No.P.04/Menhut-II/2005 dikatakan pemberdayaan ekonomi masyarakat di


dalam dan disekitar hutan diharapkan dapat mendorong pengembangan ekonomi,
peningkatan iklim usaha kecil dan menengah (UKM) serta akses masyarakat kepada hutan.

Selain itu, dapat juga memberikan jaminan akan ketersediaan bahan baku untuk UKM
kehutanan serta dapat melanjutkan upaya pengembangan permberdayaan ekonomi
masyarakat.

“Pengembangan Hutan Desa merupakan salah satu wujud komitmen pemerintah untuk
memberikan akses dalam mengelola hutan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa
di sekitar hutan,” kata Menhut MS Kaban, saat Pencanangan Hutan Desa, Senin (30/3) di
Desa Lubuk Beringin, Kecamatan Batin III Ulu, Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi.

Pada pencanangan ini, diserahkan penetapan areal kerja hutan desa oleh Menhut kepada
Gubernur Jambi, dan Hak Pengelolaan Hutan Desa oleh Gubernur Jambi kepada Lembaga
Desa Dusun Lubuk Beringin, Kecamatan Bathin III Ulu, Kabupaten Bungo, Propinsi Jambi.
Dikatakan, masyarakat dusun lubuk beringin, kecamatan Batin Ulu III, Kabupaten Bungo
telah berhasil mempertahankan kearifan local dalam pengelolaan sumber daya alam desa di
sekitarnya.

Beberapa kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Lubuk Beringin dalam
mengelola sumber daya alamnya antara lain melalui model agroforestry karet, pertanian
sawah organik, bertanam padi serentak, pembibitan karet keluarga, lubuk larangan serta
perlindungan kawasan hutan lindung dan taman nasional.

Disamping hasil langsung yang didapat masyarakat seperti sadapan karet, buah-buahan, rotan
, bambu, MPTS, serta tanaman pertanian, masyarakat juga memperoleh hasil tidak langsung
antara lain ketersediaan air, iklim mikro, dan juga sumber keanekaragaman hayati dan plasma
nutfah.

Hutan Desa adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk
kesejahteraan desa. Hutan desa dibentuk atas pertimbangan pemberdayaan masyarakat di
dalam dan sekitar kawasan hutan, serta untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan
lestari.

“Untuk mengatur pengelolaan hutan desa, Dephut telah menerbitkan Permenhut Nomor
P.49/Menhut-II/2008 tentang Hutan Desa,” kata Kepala Pusat Informasi Kehutanan Dephut,
Masyhud, dalam siaran Persnya yang diterima redaksi vetonews.com beberapa waktu yang
lalu.

Masyhud mengatakan, hingga akhir tahun 2015, Dephut menargetkan pengembangan Hutan
Desa hingga seluas 2 juta hektar.

Ia juga menjelaskan, hasil identifikasi desa yang berada di dalam dan di sekitar kawasan
hutan tahun 2007 yang dilakukan oleh Dephut dan Biro Pusat Statistik di 15 propinsi, yaitu
Sumut, Sumbar, Riau Sumsel, Bangka Belitung, Jateng, Bali, NTB, NTT, Kalbar, Kalteng,
Kaltim, Kalsel, Sultra, dan Maluku, terdapat 31.957 desa.

“Dengan rincian 1.305 desa terdapat di dalam kawasan, 7.943 berada di tepi kawasan hutan,
dan 22.709 berada di luar kawasan hutan,” ungkap Masyhud.

Akses pendidikan

Dalam banyak kasus, rendahnya kapasitas sumber daya manusia (pendidikan, sosial ekonomi,
dan informasi) mengakibatkan semakin terbatasnya akses masyarakat di dalam dan di sekitar
hutan terhadap manfaat ekonomi hutan.

Oleh karena itu, kapasitas masyarakat harus ditingkatkan agar akses terhadap sumber daya
hutan meningkat. Sedangkan untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia,
masyarakat terlebih dahulu harus dientaskan dari kemiskinan agar memperoleh akses
terhadap pendidikan dan informasi.

Hal ini merupakan lingkaran setan (vicious circle) yang harus dipecahkan dan diuraikan
simpulnya. Mengurai simpul kemiskinan bukanlah merupakan hal yang mudah karena
beragamnya karakter sosial budaya dan sumber daya di setiap daerah.
Namun demikian, secara garis besar untuk mengurai simpul dari lingkaran setan ini dapat
dilakukan melalui dua pendekatan yaitu: pertama, mengentaskan kemiskinan (poverty) dan
kedua, meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.

“Peduli Pendidikan dengan bantuan Sejuta Buku ini merupakan salah satu dari program CSR
pada masalah pendidikan. Ini sudah menjadi komitmen kami,” tegas Yan Patra Wijaya salah
seorang direksi Sinar Mas group, usai menyerahkan bantuan sejuta buku yang dicanangkan
oleh PT Indah Kiat dan PT Arara Abadi di halaman SD Yayasan Pendidikan Perdana Indah
(YPPI) Perawang, Kecamatan Tualang,Kabupaten Siak, Rabu (28/1).

Dia menegaskan bahwa bantuan ini diberikan sudah menjadi komitmen perusahaan untuk
terus peduli pada masalah pendidikan bagi masyarakat yang tinggal disekitar wilayah konsesi
PT Sinar Mas Group.

Dari laporan yang ada, kata dia, bantuan sejuta buku tersebut senilai lebih dari Rp. 1,2 miliar
dan akan diberikan kepada 100.000 pelajar di 8 kabupaten/kota di Riau yang menjadi lokasi
operasi Sinar Mas Group. Setiap pelajar akan mendapatkan 10 buah buku.

Ternyata program yang digulirkan oleh PT Sinar Mas Group ini mendapat pujian Gubernur
Riau, Rusli Zainal. Ia memuji sikap peduli Indah Kiat pada kemajuan pendidikan di Riau.
“Peran pihak swasta seperti inilah yang sangat diharapkan agar terjalin harmonisasi
kehidupan antara masyarakat dengan pelaku usaha di Riau,” ujar Rusli Zainal.

Menurut gubernur,sikap peduli dunia usaha seperti yang dilakukan Indah Kiat, menjadi
sinergi penting bagi Pemprov Riau untuk mewujudkan program K2i yang salah satu tujuan
utamanya adalah mengatasi masalah kebodohan dengan meningkatkan kualitas pendidikan di
Riau.

“Apa yang dilakukan Indah Kiat hari ini, berupa pembagian sejuta buku merupakan langkah
yang sangat tepat dan saya berharap perusahaan dan dunia usaha lainnya di Riau meniru
langkah tersebut,” kata gubernur.

Hal senada juga dilontarkan Wakil Bupati Siak, OK Fauzi. Ia juga memberikan apresiasi
yang tidak terhingga kepada perusahaan bubur kertas ini. “Keberadaan Indah Kiat tak sekedar
memberikan manfaat nyata bagi kegiatan ekonomi masyarakat Siak, tetapi lebih jauh juga
memberikan dampak positif pada masalah pendidikan dan lainnya,” kata dia.

Menurut dia, Indah Kiat adalah bagian penting bagi masyarakat Siak. Aset berharga yang
sudah selayaknya dipelihara semua pihak. “Sumbangsih dan manfaaat yang diberikan
perusahaan ini sudah sangat banyak dan nyata,” ujar dia.

Dua tipe kemiskinan

Kemiskinan adalah kondisi keterbatasan dalam berbagai hal: pangan, papan, akses kesehatan,
pendidikan, informasi, pekerjaan, dan kebebasan (eksistensi diri).

Dengan kata lain, kemiskinan memiliki banyak wajah, yang dapat berubah dari waktu ke
waktu dan dapat dipaparkan dengan berbagai cara. Namun yang sudah pasti adalah
kemiskinan adalah sebuah situasi dimana orang menginginkan untuk terbebaskan darinya
(poverty is a situation people want to escape).
Singkatnya pengentasan kemiskinan adalah aksi untuk mengubah keadaan sehingga lebih
banyak orang dapat makan, memiliki rumah layak, punya akses ke pendidikan dan kesehatan.

Walaupun cukup sulit untuk memperoleh angka kemiskinan secara pasti, namun setidaknya
mengacu pada data statistik tercatat bahwa dari seluruh penduduk Indonesia yang berjumlah
219,9 juta jiwa, sekitar 48,8 juta jiwa atau 12% tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan.

Dari 48,8 juta jiwa penduduk yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tersebut 10,2 juta jiwa
atau 25% diantaranya tergolong dalam kategori miskin (Dephut, 2006). Aksi pengentasan
kemiskinan harus dapat menjangkau dan mengatasi dua tipe kemiskinan yakni kemiskinan
struktural dan kemiskinan natural.

Maksud dari kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh struktur yang
membelenggu masyarakat secara keseluruhan untuk melakukan kemajuan, sedangkan
kemiskinan natural adalah kemiskinan yang diakibatkan oleh pemiskinan sumberdaya alam
yang dapat digunakan untuk menghidupi masyarakat.

Meskipun secara umum kapasitas sumber daya manusia masyarakat di dalam dan sekitar
hutan (dipandang) relatif rendah, akan tetapi bisa saja mereka memiliki pengetahuan
tradisional yang amat spesifik dari aspek teknologi budidaya hutan/lahan dan aspek sosial
budaya setempat.

Masyarakat di dalam dan sekitar hutan mungkin masih memiliki potensi budaya yang masih
dapat dibangkitkan dalam rangka penguatan modal sosial (capital sosial), diantaranya adanya
saling kepercayaan, pranata sosial yang masih diakui, kemauan untuk belajar, dan tingkat
kebersamaan yang tinggi.

Peningkatan sumber daya manusia dan penguatan kapital sosial ini dapat dilakukan melalui
proses pendidikan, pelatihan, penyuluhan, penguatan kelembagaan lokal dan pendampingan.

Proses yang memerlukan waktu dan biaya ini akan dapat memberikan wawasan dan cara
berpikir masyarakat sehingga dapat membuka akses terhadap informasi dan membebaskan
masyarakat dari keterbelakangan dan kemiskinan.

Selain itu, mengingat beragamnya tipe dan spektrum kemiskinan, aksi pengentasan
kemiskinan masyarakat di dalam dan sekitar hutan tidak dapat dilakukan hanya dengan
memberikan subsidi langsung kepada kelompok masyarakat miskin, tetapi harus dilakukan
secara terintegrasi dalam sebuah program pemberdayaan masyarakat secara partisipatif,
komprehensif, dan terencana secara baik yang mendorong proses memberdayakan,
memberikan peluang dan memberikan perlindungan.

Bukan hal yang baru

Sesungguhnya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan merupakan suatu
hal yang baru. Departemen Kehutanan dan berbagai lembaga serta elemen masyarakat
lainnya telah banyak melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat
di dalam dan sekitar hutan.
Meskipun kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan selama ini tidak semuanya
menuai sukses, namun juga tidak sedikit manfaat yang telah dapat dirasakan oleh masyarakat
di dalam dan sekitar hutan.

Disadari bahwa kelemahan kegiatan pemberdayaan masyarakat selama ini adalah sangat
kurangnya koordinasi antar instansi dan pelaku pemberdayaan masyarakat sehingga tidak ada
sinergitas, kurang terarah, dan bahkan sering terjadi tumpang tindih kegiatan.

Oleh karena itu, agar kegiatan pemberdayaan dapat lebih terarah diperlukan suatu rencana
makro yang dapat dipakai sebagai acuan umum bagi seluruh kegiatan pemberdayaan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Rencana Makro ini menjabarkan dan mengatur pola
umum, strategi, kegiatan pokok, dan kebijakan strategis pemberdayaan masyarakat di dalam
dan sekitar hutan.

Pengaturan yang baik atas alokasi, akses dan pengawasan dapat menjadi factor pendorong
(incentive) yang cukup efektif untuk pengelolaan hutan yang lestari, namun sebaliknya
kesalahan dalam mengelola ketiga faktor tersebut dapat mengakibatkan hancurnya sistem
hutan.

Oleh karena itu agar program pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan dapat
berjalan dengan baik, maka pola alokasi, akses, dan pengawasan harus mendapatkan
perhatian yang seimbang dan menyeluruh yang diatur di dalam suatu rencana makro

You might also like