You are on page 1of 25

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .................................................................................................................... 1

BAB I Ilustrasi Kasus ....................................................................................................... 2

BAB II Tinjauan Pustaka .................................................................................................. 12

BAB III ANALISA KASUS............................................................................................. 22

BAB IV DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….26


BAB I
ILUSTRASI KASUS

1.1. IDENTITAS PASIEN


No. RM : 00-66-01-31
Nama : Tn. H
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Sudah menikah
Pekerjaan : Buruh
Alamat : Kobak Bali
Pendidikan Terakhir : SMP
Tanggal Masuk : 02 jan 2017
1.2 ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada Selasa,3 januari 2017 pukul 06.30 WIB
Keluhan Utama : Tidak bisa BAK sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit (SMRS)
Keluhan Tambahan : Sakit saat BAK
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien mengatakan tidak bisa BAK sejak 1 SMRS. Sebelumnya ± 1 bulan
penderita mengeluh sudah sulit BAK. Pasien merasa nyeri saat BAK , Pada saat
BAK pasien harus mengedan sehingga bisa berkemih Mengedan. Pasien juga
mengatakan pancaran kencingnya lemah dan terputus-putus , merasa tidak puas
setelah BAK. Kencingnya seringkali menetes diakhir serta, sering
kencing pada malam hari ,frekuensi sebanyak > 5 kali. Pasien juga mengatakan
tidak bisa menahan BAK dalam waktu yang lama , nyeri pinggang (-
),BAK berdarah (-), demam(-), kencing berpasir(-). BAB lancar.

Riwayat Penyakit Dahulu :


Belum pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, asma dan alergi tidak
ada, tekanan darah tinggi tidak ada, riwayat kencing manis tidak ada, riwayat
operasi tidak ada

2
Riwayat Penyakit Keluarga :
asma dan alergi tidak ada, tekanan darah tinggi tidak ada, riwayat kencing manis
tidak ada

1.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Status Gizi : cukup
Tanda Vital
Tekanan Darah : 120/70 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Suhu : 36,4 °C
Pernapasan : 20 x/menit
Status Generalis
Kepala : Normocephali, rambut putih , distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Mulut : Oral hygiene baik, tidak tampak gigi goyang
dan gigi palsu, malampati grade I
Leher : KGB leher tidak membesar, lingkar
Thorax : Paru : SNV (+/+) Rhonki (-/-) Wheezing (-/-)
Jantung : BJ I&II Reg, Murmur (-) Gallop (-)
Abdomen : Buli tampak menonjol, nyeri tekan (+),
hepar dan lien tidak teraba
Ekstremitas : Akral hangat (+) Oedem (-) Sianosis (-)
1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Selasa, 02 januari 2017
Hematologi
No Pemeriksaan Hasil Satuan Remarks Nilai Rujukan
1. Hemoglobin 12,4 g/dl * 13,0-17,3
2. Eritrosit 4,1 x10^6/ul * 4,50-5,90
3. Leukosit 6,56 x10^3/ul 4,40-11,30
4. Trombosit 294 x10^3/ul 150-400
5. Hematokrit 37,8 % * 40,0-52,0
6. MCV 83 fl 80-100
7. MCH 28 pg 26-34

3
8. MCHC 33 g/dl 33-36
9. RDW-CV 13,8 % 12,3-15,3
10. Masa Perdarahan (BT) 2 menit 1-3
11. Masa Pembekuan (CT) 11 menit 5-11
Kimia
12. Gula Darah Sewaktu 139 mg/dl <140
13. Ureum 25,5 mg/dl 15,0-50,0
14. Kreatinin 0,71 mg/dl 0,60-1,10
imunologi
15. HBs Ag Rapid Nonreaktif Non reaktif
Elektrolit
16. Natrium 138 mol/L <140
17. Kalium 3,8 mol/L 3,5-5,6

18. Chlorida 105 mol/L 97-108

1.5 DIAGNOSIS
Pasien didiagnosis dengan Benigna prostat hyperplasia
1.6 KESIMPULAN
Status fisik pasien : ASA II (Geriatri)
Perencanaan anastesi : Pada pasien ini akan dilakukan tindakan Cystoscopy +
TURP. Anestesi yang dilakukan adalah anestesi
regional dengan teknik spinal.
1.7 PRE-OPERATIF
 Diagnosa pre operasi : Benigna prostat hyperplasia
 Tindakan operasi : Cystoscopy + TURP
 Cek Informed consent (+)
 Pasien dipuasakan selama 8 jam pre-operatif
 IV line terpasang pada tangan kanan pasien dengan infuse RL
 Persiapan obat dan alat anestesi regional
o Menyiapkan meja operasi
o Menyiapkan mesin dan alat anestesi
o Menyiapkan komponen STATICS:
 Scope  Stetoskop, Laringoskop
 Tubes  ETT cuffed no. 7,0
 Airway  Gudel
 Tape  Plester

4
 Introducer
 Connector
 Suction
o Menyiapkan obat anestesi spinal yang diperlukan: Regivell®
(Bupivacain HCl in Dextrose injection) 20 mg
o Menyiapkan obat-obat resusitasi: adrenalin, atropine,
aminofilin, natrium bikarbonat, dan lain-lain.
o Menyiapkan obat-obat lainnya : tramadol, ketorolac,
ondansentron, ephedrine, dan lain-lain.
o Menyiapkan monitor, saturasi O2, tekanan darah, nadi dan
EKG
o Menyiapkan alat-alat anestesi regional: Spuit, Handscoon,
Antiseptic, Kassa, Jarum spinal (Spinocain).
 Keadaan umum
o Kesadaran : Compos mentis
o Kesan sakit : sakit sedang
 Tanda vital :
o Tekanan darah : 120/75
o Saturasi O2 : 100 %
o Nadi : 80x/menit
o RR : 14 x/menit
o Suhu : 36,9
1.8 INTRA OPERATIF
Tindakan anestesi
 Pasien masuk ruang operasi dengan hanya mengenakan baju operasi. Kemudian
di posisikan di atas meja operasi, dipakaikan topi opersi, dan dipasang alat
monitoring.
 Pasien diminta duduk tegak dengan kepala menunduk, lalu dilakukan tindakan
aseptic dan antiseptic dengan betadine dan kasa steril secara melingkar dari
sentral ke perifer.
 Tentukan lokasi penyuntikan yaitu pada L3-L4, tepat pada perpotongan garis
antar crista iliaca dextra dan sinistra.
 Kemudian dilakukan penyuntikan dengan menggunakan jarum spinal no 25 G
menuju ke ruang subarachnoid, tunggu sampai LCS mengalir keluar pada jarum

5
spinal, lalu pasang spuit yang berisi Bupivacaine. Lakukan aspirasi untuk
memastikan LCS mengalir, lalu injeksikan Bupivacaine 20 mg secara perlahan,
kemudian aspirasi kembali untuk memastikan LCS mengalir dan posisi jarum
tetap di subarachnoid.
 Setelah semua obat habis di injeksi, cabut jarum spinal perlahan, Selanjutnya
posisikan pasien berbaring pada meja operasi.
 Kemudian, dipasang juga kanul oksigen 2 L/menit
Keadaan Intra operasi
Jenis Anestesi : Anestesi regional ( Spinal )
Jenis Operasi : Cystoscopy + TURP
Lama Anestesi : 10.35 – 11.35 ( 1 jam)
Lama Operasi : 10.40 – 11.30 ( 45 menit )
Teknik anestesi : Spinal pada L3-L4
Respirasi : Spontan
O2 : 3 LPM
Posisi : Supine
Infus : Asering di tangan kiri dengan abocath no.20G
Medikasi : Regivell® (Bupivacain HCl in Dextrose injection) 15 mg
Ondansentron 4 mg
Tramadol 100 mg
Ketorolac 30 mg
Jumlah cairan : Asering 500 cc 2 kolf
Perdarahan : ± 180 cc

Keadaan Akhir Bedah :


o TD : 110/67 mmhg
o N : 82 x/menit
o Saturasi O2: 100%
o Kesadaran : Compos mentis

6
Kronologis Anestesi
Tek. Darah Nadi Saturasi
Jam Tindakan
(mmHg) (x/menit) O2 (%)
Pasien masuk ruang operasi, 120/75 75 100
10.35
ditidurkan telentang diatas meja
operasi, dipasangkan manset
tekanan darah di tangan kanan,
dan pulse oksimeter di tangan
kiri. Pasien sudah terpasang infus
Assering 500 cc pada tangan kiri.

Pasien diminta duduk tegak dan 120/75 83 100


10.40
dilakukan desinfeksi lokal lokasi
suntikan anestesi spinal
- Pada posisi pasien duduk tegak
dengan kepala menunduk,
dilakukan tindakan anestesi
spinal menggunakan jarum
spinal no 25G diantara L3-L4
dengan Bupivacaine 15 mg, LCS
(+), darah (-)
Dipasang kanul oksigen nasal 3
LPM
Operasi dimulai 129/87 87 99
10.45
115/73 81 100
10.55
-Infus Assering habis, diganti 107/68 78 100
11.10
dengan asering 500cc di tangan
kiri

7
Dimasukkan dengan drip 99/52 86 100
11.20
tramadol 100 mg serta bolus i.v
ketorolac 30 mg dan
ondancentron 4 mg

106/57 79 100
11.25
Operasi selesai, pasien dibawa ke 110/67 82 100
11.30
ruang pemulihan

1.8 POST OPERASI


Operasi berakhir pada pukul 11.30 WIB tanggal 3 januari 2017. Diagnosa post
operasi benigna prostat hyperplasia. Adapun instruksi post operasi sebagai
berikut :
- Bed rest 12 jam
- Diet DII
- IVFD Futrolit : RL = 2 : 1  8 jam/kolf
- Ceftriaxone 2 x 1 gram inj.
- Ranitidine 2 x 1 gram inj.
- Ketorolac 2 x 30 mg inj.
Selesai operasi pasien dalam kondisi sadar lalu dipindahkan ke ruang
pemulihan, melanjutkan pemberian cairan dan di observasi pernafasan, tekanan
darah serta nadi setiap 15 menit. Lalu pasien dimasukkan ke ruang perawatan.

8
1.9 FOLLOW UP
Pre-Operasi
Ruangan Telukjambe 03/01/2017
S : (-)
O:
o Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
o Tanda vital :
- Tekanan Darah : 120/80 mmHg
- Nadi : 72x/menit
- RR : 24x/menit
- Suhu : 36,7° C
o Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
- Paru : Suara napas vesikular, rhonki -/- , wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (–)
- Abdomen : BU (+)Buli tampak menonjol, nyeri tekan
(+),
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
o Laboratorium ; -

o A : Cystoscopy + TURP

P:
o IVFD Futrolit : RL = 2 : 1  8 jam/kolf
o Ceftriaxone 2 x 1 gram inj.
o Ranitidine 2 x 1 gram inj.
o Ketorolac 2 x 30 mg inj.

9
Post-Operasi
 Recovery Room 03/01/2017
Penilaian pemulihan pasca anestesi spinal dilakukan dengan scoring
menggunakan bromage skor untuk menentukan apakah pasien sudah dapat
dipindahkan ke ruang rawat atau masih perlu observasi lanjutan di recovery
room, berikut nilai serta cara penilaiannya:
Score Kriteria
1 Complete block (Tidak mampu menggerakan tungkai dan kaki)
2 Almost complete block (Hanya mampu menggerakan kaki saja)
3 Partial block (Hanya mampu menggerakan tungkai saja)
4 Fleksi penuh tungkai (ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha
dalam posisi supine)
5 Tidak ada tanda-tanda kelemahan pada pangkal paha dalam posisi
supine

6 Mampu melakukan menekuk lutut parsial

Pasien dapat dipindahkan ke bangsal jika skor bromage ≥ 2


Pada pasien ini Bromage skor menunjukkan nilai 2 sehingga bisa
dipindahkan ke ruang rawat inap telukjambe
Ruangan Telukjambe 04/01/2017
S : nyeri luka operasi (+), batuk (-), mual (-), muntah (-), BAB dan BAK
normal, flatus (+)
O:
o Keadaan Umum : compos mentis, tampak sakit sedang
o Tanda vital :
- Tekanan Darah : 130/70 mmHg
- Nadi : 82x/menit
- RR : 20x/menit
- Suhu : 36,6° C

10
o Status Generalis :
- Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-)
- Paru : Suara napas vesikular, rhonki -/- , wheezing -/-
- Jantung : BJ I dan II reguler , murmur (–), gallop (–)
- Abdomen : BU (+) N, Nyeri Tekan (–)
- Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik , oedem (-)
A : Post cystocopy + TURP
P:
o Ceftriaxone 1 gr
o Ketorolac 1 ampul (30 mg)

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Anestesi regional adalah hambatan impuls nyeri suatu bagian tubuh sementara
pada impuls saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari satu bagian tubuh diblokir
untuk sementara (reversibel). Fungsi motorik dapat terpengaruh sebagian atau
seluruhnya. Tetapi pasien tetap sadar.

2.2 Klasifikasi
Klasifikasi anestesia regional terbagi menjadi dua bagian yaitu blok sentral
dan blok perifer.1 Blok sentral (blok neuroaksial) yang meliputi :
a. Blok spinal atau anestesi spinal
Anestesi spinal adalah pemberian obat anestetik lokal ke dalam ruang
subarachnoid. Teknik ini sederhana, cukup efektif dan mudah dikerjakan.
b. Blok epidural atau anestesi epidural
Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat di ruang
epidural dan bekerja langsung pada akar saraf spinal yang terletak di bagian lateral.
Kerja anestesi epidural lebih lambat dibandingkan anestesi spinal, begitu pula kualitas
blokade sensori-motoriknya lebih lemah.
c. Blok kaudal atau anetesi kaudal
Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, hal ini karena kanalis
kaudalis merupakan perpanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di ruang
kaudal melalui hiatus sakralis.
Sedangkan blok perifer meliputi:
a. Anestesi topikal
Anestesi topikal atau analgesia permukaan ialah obat analgetik dioleskan atau
disemprot di atas selaput mukosa seperti hidung, mata, dan faring.
b. Infiltrasi lokal
Infiltrasi topikal adalah penyuntikan larutan analgetik lokal langsung diarahkan di
sekitar tempat lesi, luka, atau insisi.
c. Blok lapangan (field block)
Infiltrasi sekitar lapangan operasi (untuk exterpasi tumor kecil, dan sebagainya).
12
d. Analgesia regional intravena
Penyuntikan larutan analgetik lokal intra vena. Ekstremitas di eksinguasi dan
diisosiasi bagian proksimalnya dengan torniket pneumatic dari sirkulasi sistemik

Keuntungan dari anestesi Regional yaitu

1. Alat minim dan teknik relatif sederhana, sehingga biaya relatif lebih murah.
2. Relatif aman untuk pasien yang tidak puasa (operasi emergency, lambung
penuh) karena penderita sadar.
3. Tidak ada komplikasi jalan nafas dan respirasi.
4. Tidak ada polusi kamar operasi oleh gas anestesi.
5. Perawatan post operasi lebih ringan.

Kerugian dari Anestesi Regional yaitu

1. Tidak semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional.


2. Membutuhkan kerjasama pasien yang kooperatif.
3. Sulit diterapkan pada anak-anak.
4. Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi regional.
5. Terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

2.3 Anestesi spinal


2.3.1 Definisi
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan
penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi
spinal/subaraknoid disebut juga sebagai blok spinal intradural atau blok
intratekal. Anestesi spinal dihasilkan bila kita menyuntikkan obat analgesik lokal ke
dalam ruang subarachnoid di daerah antara vertebra L2-L3 atau L3-L4 atau L4-L5.1

2.3.2 Anatomi kolumna vertebralis


Segmen medula spinal terdiri dari 31 segmen: 8 segmen servikal, 12 torakal, 5
lumbal, 5 sakral dan 1 koksigeus yang dihubungkan dengan melekatnya kelompok-
kelompok saraf. Panjang setiap segmen berbeda-beda, seperti segmen tengah torakal
lebih kurang 2 kali panjang segmen servikal atau lumbal atas. Terdapat dua pelebaran

13
yang berhubungan dengan saraf servikal atas dan bawah. Pelebaran servikal
merupakan asal serabut-serabut saraf dalam pleksus brakhialis. Pelebaran lumbal
sesuai dengan asal serabut saraf dalam pleksus lumbosakralis. Hubungan antara
segmen-segmen medula spinalis dan korpus vertebralis serta tulang belakang penting
artinya dalam klinik untuk menentukan tinggi lesi pada medula spinalis dan juga
untuk mencapainya pada pembedahan.2,3
Kolumna vertebralis mempunyai lima fungsi utama, yaitu: (1) menyangga
berat kepala dan dan batang tubuh, (2) melindungi medula spinalis, (3)
memungkinkan keluarnya nervi spinalis dari kanalis spinalis, (4) tempat untuk
perlekatan otot-otot, (5) memungkinkan gerakan kepala dan batang tubuh

Lapisan yang harus ditembus untuk mencapai ruang sub arakhnoid dari luar
yaitu kulit, subkutis, ligamentum supraspinosum, ligamentum flavum dan duramater.
Arakhnoid terletak antara duramater dan piamater serta mengikuti otak sampai
medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara arakhnoid dan piamater terdapat
ruang yang disebut ruang sub arachnoid.3

Medula spinalis berada didalam kanalis spinalis dikelilingi oleh cairan serebrospinal,
dibungkus oleh meningens (duramater, lemak dan pleksus venosus). Pada dewasa
berakhir setinggi L1, pada anak L2 dan pada bayi L3. Oleh karena itu,
anestesi/analgesi spinal dilakukan ruang sub arachnoid di daerah antara vertebra L2-
L3 atau L3-L4 atau L4-L5

2.3.3 Mekanisme kerja


Anestesi spinal merupakan teknik anestesi yang sangat aman khususnya dalam
meminimalkan pengaruh respirasi (pernafasan), meskipun hipoksemia dapat juga
terjadi selama anestesi spinal. Banyak faktor yang mempengaruhi kejadian
hipoksemia ini antara lain: umur, berat badan, tingkat blok dan tipe pembedahan
14
dipercaya dalam patogenesis desaturasi oksigen, body massa index (BMI), tekanan
darah dan denyut jantung.4
Anestesi spinal memblok akar serabut saraf (nervus) pada daerah
subarakhnoid, dimana daerah medula spinalis dimulai dari foramen magnum sampai
lumbal 1 (L1) pada dewasa, lumbal 2 (L2) pada anak-anak dan lumbal 3 pada bayi,
sedangkan saccus duralis, ruang subarakhnoid dan ruang subdural berakhir di sakral 2
(S2) pada dewasa dan sakral 3 (S3) pada anak-anak.5

2.3.4 Indikasi dan kontraindikasi


Anestesi spinal dilakukan atas indikasi pembedahan,daerah tubuh yang
dipersyarafi cabang T4 kebawah (daerah papila mamae kebawah ). Anestesi spinal ini
digunakan pada hampir semua operasi abdomen bagian bawah seperti bedah
ekstremitas bawah, panggul, sekitar rectum perineum, obstetric-ginekologi, urologi,
dan abdomen bawah. Dengan durasi operasi yang tidak terlalu lama, maksimal 2-3
jam.6
Kontra indikasi pada teknik anestesi subaraknoid blok terbagi menjadi dua
yaitu kontra indikasi absolut dan relatif.
Kontra indikasi absolut :
 Infeksi pada tempat suntikan. : Infeksi pada sekitar tempat suntikan bisa
menyebabkan penyebaran kuman ke dalam rongga subdural.
 Hipovolemia berat karena dehidrasi, perdarahan, muntah ataupun diare. :
Karena pada anestesi spinal bisa memicu terjadinya hipovolemia.
 Koagulapatia atau mendapat terapi koagulan.
 Tekanan intrakranial meningkat. : dengan memasukkan obat kedalam
rongga subaraknoid, maka bisa makin menambah tinggi tekanan
intracranial, dan bisa menimbulkan komplikasi neurologis
 Fasilitas resusitasi dan obat-obatan yang minim : pada anestesi spinal bisa
terjadi komplikasi seperti blok total, reaksi alergi dan lain-lain, maka
harus dipersiapkan fasilitas dan obat emergensi lainnya
 Kurang pengalaman tanpa didampingi konsulen anestesi. : Hal ini dapat
menyebabkan kesalahan seperti misalnya cedera pada medulla spinalis,
keterampilan dokter anestesi sangat penting.
 Pasien menolak.1

15
Kontraindikasi relatif :
1. Infeksi sistemik : jika terjadi infeksi sistemik, perlu diperhatikan apakah
diperlukan pemberian antibiotic. Perlu dipikirkan kemungkinan
penyebaran infeksi.
2. Infeksi sekitar tempat suntikan : bila ada infeksi di sekitar tempat suntikan
bisa dipilih lokasi yang lebih kranial atau lebih kaudal.
3. Kelainan neurologis : perlu dinilai kelainan neurologis sebelumnya agar
tidak membingungkan antara efek anestesi dan deficit neurologis yang
sudah ada pada pasien sebelumnya.
4. Kelainan psikis
5. Bedah lama : Masa kerja obat anestesi local adalah kurang lebih 90-120
menit, bisa ditambah dengan memberi adjuvant dan durasi bisa bertahan
hingga 150 menit.
6. Penyakit jantung : perlu dipertimbangkan jika terjadi komplikasi kea rah
jantung akibat efek obat anestesi local.
7. Hipovolemia ringan : sesuai prinsip obat anestesi, memantau terjadinya
hipovolemia bisa diatasi dengan pemberian obat-obatan atau cairan
8. Nyeri punggung kronik : kemungkinan pasien akan sulit saat diposisikan.
Hal ini berakibat sulitnya proses penusukan dan apabila dilakukan
berulang-ulang, dapat membuat pasien tidak nyaman.1

2.3.5 Persiapan anestesi


Pada dasarnya persiapan untuk analgesia spinal seperti persiapan pada
anestesia umum. Perlengkapan tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan
persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian
anestesi umum, dan tindakan resusitasi. Selain itu perlu diperhatikan hal-hal di bawah
ini:
1. Informed consent
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan anestesi spinal (informed
concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk
menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis
atau kifosis
16
3. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit.
Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga
terdapat gangguan pembekuan darah.7
Peralatan untuk melakukan anestesi spinal seperti:
1. Peralatan monitor: tekanan darah, nadi, saturasi oksigen, dll.
2. Peralatan resusitasi
3. Jarum spinal
Jarum spinal dengan ujung tajam (ujung bambu runcing/quinckebacock) atau
jarum spinal dengan ujung pinsil (pencil point whitecare)

4. Obat
Obat-obatan yang digunakan untuk anestesi spinal harus disesuaikan dengan
berat jenis cairan serebrospinal agar dapat memberikan hasil yang maksimal. Berat
jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada 37º C adalah 1.003-1.008. Anastetik lokal
dengan berat jenis sama dengan CSS disebut isobarik. Anastetik lokal dengan berat
jenis lebih besar dari CSS disebut hiperbarik. Anastetik lokal dengan berat jenis lebih
kecil dari CSS disebut hipobarik. Anastetik lokal yang sering digunakan adalah jenis
hiperbarik diperoleh dengan mencampur anastetik lokal dengan dextrose. Untuk jenis
hipobarik biasanya digunakan tetrakain diperoleh dengan mencampur dengan air
injeksi.
Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS
(hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih
kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama
(isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan.
Anestetik lokal yang paling sering digunakan:
17
 Lidokaine (xylocain, lignokain) 2%: berat jenis 1.006, sifat isobarik, dosis
20-100mg (2-5ml)
 Lidokaine (xylocain,lignokain) 5% dalam dextrose 7.5%: berat jenis 1.033,
sifat hyperbarik, dosis 20-50 mg (1-2ml)
 Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm air: berat jenis 1.005, sifat isobarik,
dosis 5-20mg (1-4ml)
 Bupivakaine (markaine) 0.5% dlm dextrose 8.25%: berat jenis 1.027, sifat
hiperbarik, dosis 5-15mg (1-3ml)
5. Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk
steril juga harus disiapkan.

2.3.6 Teknik anestesi spinal


Untuk melakukan anestesi spinal dapat dilakukan dengan posisi duduk atau
posisi tidur lateral dekubitus dengan tusukan pada garis tengah ialah posisi yang
paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindah lagi
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan
dalam 30 menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat. Berikut langkah-
langkah dalam anestesi spinal :
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien misalkan dalam posisi lateral dekubitus. Beri
bantal kepala, selain enak untuk pasien juga supaya tulang belakang stabil. Buat
pasien membungkuk maximal agar processus spinosus mudah teraba. Posisi lain
adalah duduk.
2. Sebelum melakukan penyuntikan jarum spinal, langkah awal yang harus
dilakukan adalah identifikasi space atau celah antar ruas tulang vertebrae. Ada
beberapa panduan yang dapat digunakan, antara lain dengan berpatokan bahwa
garis khayalan setinggi krista iliaka dianggap setinggi L4 atau L4-L5.8

18
3. Setelah menemukan lokasi yang
tepat makan berikutnya yang dilakukan
adalah mensterilkan tempat tusukan
dengan betadine atau alcohol
4. Lalu lakukan penusukan dengan
jarum spinal sampai menembus daerah
subarachnoid dan cairan serebrospinal
keluar melalui jarum spinal. Jika pada saat
penusukan cairan serebrospinal tidak
keluar tetapi lokasi penusukan telah tepat maka lakukan putaran arah jarum
sebesar 90o maka cairan serebrospinal biasanya akan keluar.
5. Kemudian masukan obat anetesi lokal yang telah disediakan melalui jarum
spinal tersebut sambil dilakukan aspirasi sedikit hanya untuk memastikan posisi
jarum tetap benar dan tunggu reaksi obat tersebut bekerja.

2.3.7 Komplikasi
Komplikasi analgesia spinal dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi
lambat. Komplikasi berupa gangguan pada sirkulasi, respirasi dan gastrointestinal.7
Komplikasi sirkulasi:
1. Hipotensi
Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal sering terjadi. Biasanya
terjadinya pada 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 10 menit pertama setelah suntikan, sehingga tekanan darah perlu
diukur setiap 2 menit selama periode ini. Jika tekanan darah sistolik turun
dibawah 75 mmHg (10 kPa), atau terdapat gejala-gejala penurunan tekanan
darah, maka kita harus bertindak cepat untuk menghindari cedera pada ginjal,
jantung dan otak. Hipotensi terjadi karena vasodilatasi, akibat blok simpatis,
makin tinggi blok makin berat hipotensi.
Pencegahan hipotensi dilakukan dengan memberikan infuse cairan
kristaloid (NaCl, Ringer laktat) secara cepat segera setelah penyuntikan anestesi
spinal dan juga berikan oksigen. Bila dengan cairan infus cepat tersebut masih
terjadi hipotensi harus diobati dengan vasopressor seperti efedrin 15-25 mg
intramuskular. Jarang terjadi, blok spinal total dengan anestesi dan paralisis
19
seluruh tubuh. Pada kasus demikian, kita harus melakukan intubasi dan
melakukan ventilasi paru, serta berikan penanganan seperti pada hipotensi berat.
Dengan cara ini, biasanya blok spinal total dapat diatasi dalam 2 jam.
2. Bradikardia
Bradikardia dapat terjadi karena aliran darah balik berkurang atau karena
blok simpatis, Jika denyut jantung di bawah 65 kali per menit, berikan atropin 0,5
mg intravena.
3. Sakit Kepala
Sakit kepala pasca operasi merupakan salah satu komplikasi anestesi
spinal yang sering terjadi. Sakit kepala akibat anestesi spinal biasanya akan
memburuk bila pasien duduk atau berdiri dan hilang bila pasien berbaring. Sakit
kepala biasanya pada daerah frontal atau oksipital dan tidak ada hubungannya
dengan kekakuan leher. Hal ini disebabkan oleh hilangnya cairan serebrospinal
dari otak melalui pungsi dura, makin besar lubang, makin besar kemungkinan
terjadinya sakit kepala. Ini dapat dicegah dengan membiarkan pasien berbaring
secara datar (boleh menggunakan satu bantal) selama 24 jam.
Komplikasi Respirasi
1. Analisa gas darah cukup memuaskan pada blok spinal tinggi, bila fungsi paru-
paru normal.
2. Penderita PPOM atau COPD merupakan kontra indikasi untuk blok spinal tinggi.
3. Apnoe dapat disebabkan karena blok spinal yang terlalu tinggi atau karena
hipotensi berat dan iskemia medulla.
4. Kesulitan bicara,batuk kering yang persisten,sesak nafas, merupakan tanda-tanda
tidak adekuatnya pernafasan yang perlu segera ditangani dengan pernafasan
buatan.
Komplikasi gastrointestinal
Nausea dan muntah karena hipotensi, hipoksia, tonus parasimpatis berlebihan,
pemakaian obat narkotik, reflek karena traksi pada traktus gastrointestinal serta
komplikasi delayed, pusing kepala pasca pungsi lumbal merupakan nyeri kepala
dengan ciri khas terasa lebih berat pada perubahan posisi dari tidur ke posisi
tegak. Mulai terasa pada 24-48jam pasca pungsi lumbal, dengan kekerapan yang
bervariasi. Pada orang tua lebih jarang dan pada kehamilan meningkat.

20
BAB III
ANALISA KASUS

Seorang laki laki berumur 65 tahun mengatakan tidak bisa BAK sejak 1 SMRS.
Sebelumnya ± 1 bulan penderita mengeluh sudah sulit BAK. Pasien merasa nyeri
saat BAK , Pada saat BAK pasien harus mengedan sehingga bisa berkemih
Mengedan. Pasien juga mengatakan pancaran kencingnya lemah dan terputus-
putus , merasa tidak puas setelah BAK. Kencingnya seringkali menetes diakhir
serta, sering kencing pada malam hari ,frekuensi sebanyak > 5 kali. Pasien juga
mengatakan tidak bisa menahan BAK dalam waktu yang lama , nyeri pinggang (-
),BAK berdarah (-), demam(-), kencing berpasir(-). BAB lancar. Pasien belum pernah
mengalami keluhan seperti ini sebelumnya, serta tidak memiliki riwayat asma, alergi ,
tekanan darah tinggi, kencing manis ataupun riwayat operasi. Pada keluarga pasien
juga tidak memiliki riwayat asma, alergi, tekanan darah tinggi maupun riwayat
kencing manis.

Kemudian dilakukan pemeriksaan tanda vital berupa tekanan darah, nadi, suhu
dan pernapasan. Pada pasien didapatkan tekanan darah dan nadi dalam batas normal
yaitu 120/70 mmHg dengan nadi 80x/menit. Sementara didapatkan peningkatan pada
frekuensi pernapasan dan suhu tubuh. Frekuensi napas pasien didapatkan sebanyak
20x/menit (takipnea) dimana batas normal frekuensi napas pada laki-laki adalah 14-
18 x/menit. Pada pengukuran suhu tubuh didapatkan suhu sebesar 36°C. Selanjutnya
pada pasien dilakukan pemeriksaan status generalis dari kepala sampai dengan
ekstremitas yang menunjukkan hasil pada abdomen kuadran bawah Buli tampak
menonjol, nyeri tekan (+), yang lainnya dalam batas normal. Sementara pada
pemeriksaan penunjang didapatkan sedikit penurunan pada hemoglobin yaitu 11,9
g/dl penurunan hematokrit yaitu 37,8%. Pemeriksaan lainnya dalam batas normal.

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, pasien


didiagnosa menderita Benigna Prostat Hiperplasia , dimana terdapat pembesaran
prostat yang belum diketahui penyebab pastinya, tetapi ada beberapa teori yang
mendukung terjadinya BPH ini yaitu Teori dihidrotestosteron, ketidakseimbangan
antara estrogen-testosteron, interaksi stroma-epitel, berkurangnya kematian sel prostat
dan teori sel stem. Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat
benigna. keadaan ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan 80% pria yang
21
berusia 80 tahun. Tidak bisa BAK yang dirasakan pasien menandakan bahwa sudah
terdapat tanda obstruksi dari leher buli dan uretra.. Oleh karena itu pasien dianjurkan
untuk menjalani operasi Transurethral Resection of Prostat (TURP) dan
Cistoscopy pada tanggal 3 Januari 2016. Herniorapi adalah operasi reseksi kelenjar
prostat yang dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas)
agar daerah yang direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah . Tindakan ini
telah disetujui oleh dokter spesialis penyakit dalam, dokter spesialis anestesi, serta
keluarga pasien.

Pada pasien ini dapat disimpulkan bahwa pasien termasuk dalam ASA (American
Society of Anesthesiologists) II yaitu pasien –pasien dengan penyakit sistemik ringan
sampai sedang yang tidak mengganggu aktivitas, oleh Karena pasien adalah geriatri
yang dimana umurnya adalah 65 tahun.

Pembiusan pada pasien ini dilakukan dengan menggunakan anestesi regional


dengan teknik spinal, oleh karena operasi yang akan dilakukan pada pasien hanyalah
bagian tubuh inferior, sehingga cukup dengan memblok bagian tubuh tersebut.
Walaupun tidak terdapat indikasi absolut untuk dilakukannya anestesi spinal namun
pertimbangan pemilihan teknik ini bergantung pada situasi klinis saat itu seperti
kesesuaian pasien, kondisi fisiologis, atau prosedur pembedahan itu sendiri. Teknik
ini mampu menurunkan kehilangan darah intraoperative, menurunkan kejadian
tromboemboli pascabedah serta dapat menurunkan mortalitas dan morbiditas pada
pasien berisiko tinggi.
Posisi pasien saat akan dilakukan pembiusan diminta untuk duduk tegak dengan
kepala menunduk, kemudian dilakukan desinfeksi lokal lokasi suntikan anestesi
spinal untuk mencegah terjadinya infeksi pada lokasi penyuntikkan tersebut.
Pengaturan posisi ini juga cukup penting untuk menjamin keberhasilan tindakan
anestesi. Pada posisi duduk, anatomi tulang belakang menjadi lebih mudah dipalpasi
dibandingkan dengan posisi lainnya seperti posisi lateral decubitus. Penyuntikkan
obat anestesi local ini menggunakan jarum spinal nomor 25G diantara L3-L4, hal
ini bertujuan untuk menghindari trauma medulla spinalis akibat jarum spinal, karena
medulla spinalis pada orang dewasa normalnya berakhir setinggi L1.

22
Obat anestesi yang digunakan pada pasien ini adalah Bupivacaine 15 mg.
Bupivacain adalah obat anestesi local jenis amida yang memiliki onset yang cepat dan
durasi kerja yang panjang yaitu 90-120 menit. Bupivakain akan menyebabkan
blockade yang bersifat reversibel pada perambatan impuls sepanjang serabut saraf,
dengan cara mencegah pergerakan ion- ion Natrium masuk ke dalam sel yang melalui
membran sel. Bupivacaine dimetabolisme di hati dan diekskresikan di urin. Pasien ini
aman menggunakan Bupivacaine karena tidak ada gangguan pada fungsi hati dan
ginjalnya.

Selain diberikan obat anestesi spinal, digunakan pula obat- obatan analgesik dan
obat pelengkap anestesi lainnya seperti obat antagonis reseptor 5-HT3
(Hidroksitriptamin). Obat analgesik yang diberikan pada pasien ini adalah obat-
obatan analgesic golongan non opioid seperti tramadol dan ketorolac. Tramadol
bekerja secara sentral pada penghambatan pengambilan kembali noradenergik dan
serotonin neurotransmission. Pada awal penggunaannya, tramadol akan memberikan
efek berupa pusing, mual, sedasi, mulut kering serta berketingat, namun hal ini dapat
dikurangi dengan pengurangan dosis serta pemberian yang dilakukan secara perlahan.
Dosis tramadol yang dianjurkan untuk pasien dewasa adalah 50-100 mg. Sehingga
pada pasien ini diberikan tramadol 100 mg. Obat ini dimetabolisasi oleh liver dan
diekskresi melalui ginjal. Sehingga elimination half life dapat meningkat 2 kali lipat
pada pasien yang mengalami gangguan fungsi hepatic atau ginjal.

Obat analgesic non opioid lainnya yang digunakan adalah ketorolac. Obat ini
bekerja pada jalur siklooxygenase serta menghambat biosisntesis prostaglandin di
perifer. Seperti halnya tramadol, ketorolac juga dimetabolisme dalam liver dan
dibuang melalui ginjal, Dosis intravena awal adalah 15-30 mg, dimana pada pasien ini
diberikan 30 mg ketorolac.

Selain obat analgesic, juga diperlukan obat antagonin reseptor 5-HT3


(serotonin). Reseptor ini terdapat pada platelet, saluran cerna dan sistem saraf pusat
dan berkaitan dengan muntah. Obat ini digunakan untuk mengurangi efek mual dan
muntah akibat efek obat anestesi lainnya, selain itu obat ini juga tidak menghasilkan
efek samping yang serius walaupun diberikan beberapa kali lipat dari dosis yang
direkomendasikan, dimana dosis intravena yang direkomendasikan untuk
23
ondansentron sebagai pencegahan mual dan muntah perioperative adalah 4 mg yang
dapat diberikan sebelum induksi anestesi atau pada akhir operasi. Sesuai dengan dosis
yang telah direkomendasikan, pada pasien ini diberikan ondansentron 4 mg.

Perawatan pasien post operasi dilakukan di RR (Recovery Room). Pemulihan


pasien pasca anestesi spinal ini dapat dinilai dengan penilaian Bromage score, apabila
skor mencapai ≤ 2 point maka pasien diperbolehkan kembali menuju ruangan
perawatan dengan bed rest minimal 12 jam dan tetap dilakukan pemantauan.

PEMBERIAN CAIRAN
Kebutuhan Cairan Basal (M) : 4 x 10 kg = 40 cc
2 x 10 kg = 20 cc
1 x 45 kg = 45 cc
Total : 105 cc
Kebutuhan Cairan Operasi (O) : Operasi sedang x Berat badan
6 x 65 kg = 390 cc
Kebutuhan Cairan Puasa (P) : Lama jam puasa x Kebutuhan Cairan Basal
8 jam x 105 cc = 840 cc
Pemberian Cairan Jam Pertama: Kebutuhan Basal + Kebutuhan Operasi + 50%
puasa
= 105 + 390 + 420 = 915 cc
 Cairan yang masuk selama operasi = Ringer Laktat 300 ml + Asering 700 = 1000
ml
 Jumlah darah keluar = darah di tabung suction(100ml) + (darah di
kassa sedang 3 buah x 20) = 160 ml
 Allowed Blood Loss (ABL) = 20 % x Estimated Blood Volume (EBV)
= 20% x (70 x BB)
= 20 % x (70 x 65 kg)
= 20 % x 4550 = 910 cc
 Blood loss (%) = (160ml:ml) x 100 = 3,51 %

Perdarahan yang terjadi <10% EBV maka tidak perlu dilakukan transfusi darah.
Hanya perlu diberi cairan kristaloid saja.

24
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Latief SA, Surjadi K, Dachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi 1. FKUI.
Jakarta. 2001. Hal 124-127.
2. Bridenbaugh PO, Greene NM, Brull SJ. Spinal (Subarachnoid) Neural Blockade.
In : Cousins MJ, Bridenbaugh PO eds. Neural Blockade in Clinical Anesthesia and
Management of Pain. Third Edition. Philadelphia : Lippincott-Raven. 1998. Pages
203-209
3. Snell R, Liliana S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2006.
4. Aziz, AA. Perbandingan antara Klonidin 2ug/kgbb dan 4ug/kgbb Per Oral terhadap
Level Sedasi, Pemanjangan Blokade Sensorik dan Motorik pada Anestesi Spinal
dengan Bupivakain 5 % Isobarik untuk Operasi Abdomen Bawah. Tesis.
Universitas Sebelas Maret. Surakarta. 2010.
5. Morgan GE, Mikhail MS. Regional Anesthesia and Pain Management. In Clinical
Anasthesiology. Forth Edition. New York. Pretince Hall International Inc. 2006.
Pages 266-267.
6. Dobson, M. B. Anestesi Spinal dalam Buku Penuntun Praktis Anestesi. EGC.
Jakarta. 1994. Hal 101-104.
7. Mansjoer, Arif, dkk. Anestesi Spinal dalam Buku Kapita Selekta Kedokteran. Edisi
3. Aesculapius. Jakarta. 2000. Hal 261-264.
8. Soenarto RF, Chandra S. Buku ajar anestesiologi departemen anestesiologi dan
intensive care FKUI. Jakarta: FKUI.2012.

25

You might also like