Professional Documents
Culture Documents
Berpikir Ilmiah IPA Siswa untuk Meningkatkan Literasi Sains. Literasi sains merupakan
salah satu dari beberapa jenis keaksaraan seperti kemampuan membaca dan menulis, literasi
numerik dan literasi digital (Adolphus, et al, 2012). Sedangkan menurut Punia, et al (2012),
literasi sains berarti pengetahuan dan pemahaman tentang konsep - konsep ilmiah dan proses
yang diperlukan untuk pengambilan keputusan pribadi, partisipasi, dan produktivitas ekonomi.
Pada era digital saat ini, literasi sains sangat penting dalam menyelesaikan permasalahan
yang berkaitan dengan pengetahuan dan teknologi. Dalam kehidupan masyarakat, literasi sains
berpartisipasi dalam perumusan kebijakan publik yang berdampak pada kehidupan mereka.
Literasi sains dapat dikembangkan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dalam
sains siswa dengan tujuan untuk meningkatkan: 1) pengetahuan dan penyelidikan IPA, 2) kosa
kata lisan dan tertulis yang diperlukan untuk memahami dan berkomunikasi ilmu pengetahuan
dan 3) hubungan antara sains, teknologi dan masyarakat (Martinez, et al, 2015).
kemapuan berpikir ilmiah siswa. Berpikir ilmiah merupakan sarana untuk membantu langkah -
langkah ilmiah untuk mendapatkan kebenaran secara ilmiah. Dengan berpikir ilmiah, siswa dapat
memilki kemampuan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur dan cermat. Oleh karena itu, agar
literasi sains siswa dapat meningkat dengan baik, maka siswa harus menguasai keterampilan
menghadapi atau merespons masalah - masalah yang ada di lingkungan. Berpikir Ilmiah siswa
dalam pembelajaran IPA dapat dilakukan dengan cara berpikir dan bertindak dalam menghadapi
masalah - masalah yang ada di lingkungan sekitar. Untuk peningkatan literasi sains, dapat
dilakukan dengan cara meningkatkan kemapuan berpikir ilmiah siswa. Dengan meningkatkan
berpikir ilmiah siswa, siswa dapat memilki kemampuan penelaahan ilmiah dengan baik, teratur
dan cermat
GUIDED INQUIRY
permasalahan yang diberikan. Model problem posing itu mengatur ketekunan untuk
memahami suatu permasalahan. Hal itu merupakan proses penting dalam matematika,
yang diberikan tersebut ternyata menjadi sumber yang menarik. Masalah itu harus
Sebagai siswa dan guru matematika, pasti mempunyai rasa penasaran tentang asal-
usul masalah matematika, terutama masalah yang kecil dengan solusi yang diperoleh tanpa
dalam. Tetapi dari kebanyakan siswa malas memecahkan masalah tersebut. Karena tidak
hanya membuat rencana atau solusi saja namun harus berfikir lebih lanjut.Dalam Buku The
Art of Problem Posing (Brown & Walter, 1990) ini memberikan wawasan tentang masalah
matematika dan memotivasi untuk meneliti lebih dekat hubungan antara masalah yang
terkait. Dalam bukunya, Brown dan Walter mengusulkan bahwa strategi sebagai masalah
umum, masalah tersebut diberikan guna membuat masalah baru yang berhubungan. Dari
kegiatan tersebut sebagai hasilnya sebuah diperoleh sebuah kerangka yaitu problem posing
matematika. Dengan menerapkan hal tersebut menghasilkan jenis masalah yaitu bukti
masalah, masalah yang ditanyakan, masalah khusus, masalah umum, dan masalah yang
diperpanjang. Dan setiap masalah yang dapat dikembangkan untuk memperoleh masalah
baru.
Dalam beberapa kasus mungkin menghadapi situasi matematika yang tidak ada
hubungannya dengan masalah matematika. Dalam kasus ini, Tugas pertama adalah
situasi tersebut. Seperti bukti yang ditunjukkan oleh kerangka, tipe masalah penting untuk
menghasilkan bukti masalah (yaitu, meminta bukti masalah). Membuktikan merupakan
kegiatan penting dalam matematika. Kedua, bukti juga memungkinkan untuk memperoleh
wawasan mengapa memperoleh teorema matematika. Perumusan masalah sebagai bukti yang
melibatkan pengubahan struktur sintaksis dari masalah. Ini menunjukkan bahwa bukti ada
Rumusan dari masalah yang diketahui dapat digunakan untuk memperoleh masalah
yang ditanyakan. Masalah matematika merupakan jalan yang potensial untuk menemukan
Sementara masalah memungkinkan untuk menyelidiki sesuai kondisi dari objek matematika,
Dengan cara ini mendapatkan karakterisasi dari objek matematika lebih lengkap. Setiap
masalah memiliki potensi untuk menghasilkan satu atau lebih masalah. Dalam situasi ini
perlu menentukan syarat- syarat tambahan atau pembatasan-pembatasan untuk teorema. Kita
Cara lain yang potensial untuk menghasilkan masalah matematika adalah melalui
spesialisasi. Dengan menggantikan objek matematika dari masalah dasar dengan contoh
kasus tertentu. Dalam masalah khusus diberlakukan pembatasan tambahan. Sebuah alasan
kuat untuk menghasilkan masalah-masalah khusus adalah bahwa dalam berbagai situasi,
antara konsep-konsep matematika yang tidak jelas. Dalam kasus lain, mengkhususkan
masalah memungkinkan untuk menemukan hubungan kuat antara yang terlibat masalah.
lebih dalam. Ide yang berguna untuk menggaris bawahi objek matematika dari masalah dasar
yang dapat diubah dan memeriksa masalah yang memiliki kasus khusus.
C. Menyelesaikan Masalah Menggunakan Kerangka Problem Posing
Untuk menimbulkan masalah, pada saat pengganti objek matematika dari dasar
masalah dengan masalah lain yang serupa. Pada titik ini mungkin sudah merumuskan
hubungan umum serta sebuah khusus. Jika situasi tertentu terdapat kasus khusus dari kasus
umum, kita bisa menemukan hubungan yang lebih kuat dari hubungan umum. Dalam hal
apapun seorang matematikawan sebagai pencari pola matematis dan hubungan, ingin
menemukan, memeriksa, atau mencari ciri semua hubungan yang kemungkinan ada antara
sebelumnya.
Telah diterapkan masalah menggunakan dua format: siswa menjadi pusat pendekatan
dan pendekatan yang terpusat pada instruktur. menggunakan pendekatan yang berpusat pada
siswa setelah memiliki beberapa pengalaman tentang penggunaan problem posing. Dalam
pendekatan ini, sebagian besar masalah menggunakan kerangka problem posing sebagai
panduan. Menggunakan pendekatan yang berpusat instruktur, ketika siswa tidak memiliki
pengalaman dalam memecahkan masalah. Dalam hal ini bagaimana menimbulkan masalah
tidak sistematis. Selain itu, masalah cenderung sepele dan tidak produktif untuk mengejar
(Knuth, 2002).
Artikel adalah strategi prototipe yang dapat digunakan sistematis dalam berbagai
situasi untuk menimbulkan permasalahan yang penting dalam matematika. siswa jarang
menggunakan prototipikal strategi untuk menghasilkan masalah. Oleh karena itu, tampaknya
menjadi suatu kebutuhan untuk memberikan pengalaman pada siswa dalam menghasilkan
mencari pembuktian suatu masalah, soal masalah, masalah khusus, masalah umum, dan
masalah diperpanjang. Calon guru matematika ‘berpikir dan kesulitan dengan masing-masing
jenis masalah yang diuraikan. Pada kenyataannya, proposisi untuk bukti belum
dikembangkan. Meskipun bukti merupakan bagian penting dari matematika, siswa sering
enggan untuk mengajukan bukti masalah. Sebagai contoh, Contreras dan Martínez- Cruz
(1999) meminta 17 calon guru matematika untuk membuat persoalan. Para peneliti
menemukan bahwa hanya satu orang siswa dari 17 yang menemukan bukti masalah
dengan masalah bukti. Selain itu, banyak tidak menggunakan bukti ketika beradaptasi untuk
Penelitian menunjukkan bahwa siswa harus memiliki pengalaman yang luas memecahkan
masalah.
Prinsip-prinsip dan Standar untuk Matematika Sekolah (NCTM, 2000). Misalnya, guru
memanggil siswa secara teratur dan meminta siswa untuk menimbulkan masalah yang
menimbulkan masalah, apalagi menarik masalah. Sebagian besar masalah yang dipecahkan
dari buku teks dan sangat jarang masalah tersebut berasal dari guru. Guru pasti puas dengan
situasi ini karena masalah menyamar sebagai usaha kreatif. Meminta siswa untuk
mengajukan masalah (Misalnya, NCTM, 1989) menantang guru untuk menemukan cara-cara
mengajar siswa dalam memodifikasi masalah matematika. (Brown dan Walter 1990) Soal
Menyamar memotivasi guru untuk terlibat dalam menciptakan masalah dan sebagai hasilnya
spesialisasi, generalisasi, dan memperluas. Proses ini merupakan sarana penting untuk
menemukan pola matematis baru atau hubungan. Memodifikasi dan memecahkan masalah
matematika bermanfaat tetapi merupakan kegiatan menantang bagi calon guru. Hal lain yang
bermanfaat dalam kegiatan matematika, calon guru harus terlibat aktif dan reflektif dalam
proses memodifikasi masalah. Sehingga mereka dapat menghasilkan masalah yang tidak
sepele, produktif, matematika masalah. Pendidik, guru, dan siswa harus mengalami sukacita
proses ini, mengembangkan masalah lebih baik karena merupakan apresiasi dan pemahaman
SCIENTIFIC LITERACY
Istilah literasi sains mulai muncul pada akhir tahun 1950, namun pengertian-
pengertian yang dikemukakan mengenai istilah tersebut tidak selalu sama (Robert, 2005:561
; Rahayu: 2014:3). Secara harfiah, literasi berarti “melek”, sedangkan sains berarti
dengan alam dan perubahannya akibat aktivitas manusia (OECD, 1999: 60).
understanding of science and of the rapid developing scientific enterprise whether one was to
become a scientist or not”. Artinya, literasi sains diperuntukkan bagi seluruh siswa, tidak
memandang apakah nanti siswa tersebut akan menjadi saintis atau tidak. Sedangkan National
Science Education Standards (1996) menyatakan bahwa “scientific literacy is knowledge and
understanding of scientific concepts and processes required for personal decision making,
pengertian tersebut, penekanan literasi sains bukan hanya pengetahuan dan pemahaman
terhadap konsep dan proses sains, tetapi juga diarahkan bagaimana seseorang dapat membuat
ekonomi.
Melainkan dengan istilah perkembangan literasi sains dari “kurang berkembang” (less
literasi yang kurang berkembang mampu menyelesaikan masalah pada situasi sederhana dan
akrab, sedangkan siswa yang memiliki kemampuan literasi lebih berkembang mampu
menyelesaikan masalah pada situasi yang kompleks dan kurang akrab (Rahayu, 2014:5).
Melengkapi dua pernyataan sebelumnya, Norris dan Philips dalam Holbrook &
kemandirian dalam belajar IPA, kemampuan untuk berpikir ilmiah, keingintahuan, dan
kemampuan untuk berpikir kritis. Lebih jauh lagi, Graber dalam Holrook & Rannikmae
(2009: 278) menggambarkan model literasi sains berbasis kompetensi (Gambar 1) yang
merupakan hasil persinggungan antara “what do people know” (terdiri atas kompetensi sains
dan kompetensi epistemologis), “what do people value” (terdiri atas kompetensi etika/moral),
dan “what can people do” (terdiri dari kompetensi belajar, kompetensi sosial, kompetensi
prosedural, dan kompetensi berkomunikasi). Artinya, orang yang berliterasi sains tidak hanya
mumpuni dalam konten dan proses serta keterampilan sains, melainkan juga memiliki sikap
dan etika/moral.
Secara garis besar, trend dan isu kurikulum IPA terbagi menjadi 4 masa, yaitu (1) the
beginnings (18601920); (2) the utilitarian/textbook (1920-1957); (3) the first revolution in
science education (1957-1978), dan (4) the second revolution in science education
(1980sekarang). Pada awal tahun 1800-an IPA mulai dikenal dan sudah ada pembelajaran
karena pada masa tersebut siswa mempelajari konten IPA dari yang sederhana hingga
kompleks dengan cara“reading about science”. Harapannya, melalui metode tersebut konten
IPA yang banyak dapat dipelajari siswa dengan cepat. Namun, pembelajaran yang seperti ini
mulai ditinggalkan karena dinilai tidak realistik. Revolusi pendidikan IPA pertama diinisiasi
tidak bisa dihindarkan dan diperlukan karena kehidupan selalu tumbuh dan berkembang.
Perubahan kurikulum di Indonesia telah terjadi sebanyak 9 kali (tidak termasuk kurikulum
2004 yang baru diujicobakan secara terbatas di beberapa sekolah). Perubahan tersebut terjadi
karena konsekuensi logis perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, dan iptek dalam
masyarakat berbangsa dan bernegara. Oliva (1992:32) juga menyatakan bahwa kurikulum
merefleksikan dan merupakan produk pada suatu jaman. Hal ini bisa terlihat ketika mulai
terdengar istilah literasi sains untuk menghadapi permasalahan global, maka beberapa negara
kemudian menjadikan literasi sains sebagai tujuan kurikulum saat itu dan sampai saat ini.
Awal mula perkembangan literasi sains dan teknologi di Indonesia baru dimulai pada
tahun 1993, walupun istilah literasi sains sendiri telah muncul di dunia pada tahun 1950-an.
Pada saat itu, Indonesia diundang oleh Unesco untuk mengikuti International Forum on
Science and Technological Literacy for All di Paris, dan realisasinya diselenggarakan
Workshop on Scientific and Technological Literacy for All in Asia and Pasific di Tokyo.
Pada tahun 1995, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan memberikan mandat untuk
melakukan penelitian dan pengembangan literasi sains dan teknologi lingkup pendidikan
formal dalam kurikulum 1994 tanpa mengubahnya. Namun sampai sekarang gaung dari
berorientasi untuk pengembangan literasi sains dan masih menekankan pada penguasaan
materi.
standar kompetensi lulusan dalam KTSP diterjemahkan menjadi kompetensi inti. Kompetensi
inti (KI) yang dimaksud dibagi menjadi 3 aspek, yaitu KI 1 dan 2 merupakan aspek sikap, KI
3 menyangkut aspek pengetahuan, dan KI 4 menyangkut aspek keterampilan. Pendekatan
yang digunakan dalam kurikulum ini adalah pendekatan ilmiah atau “scientific approach”.
jejaring. Beberapa literatur menyebut pendekatan ilmiah sama dengan pendekatan inkuiri.
kompetensi inti dalam kurikulum 2013 telah mengarah pada tercapainya literasi sains.
Apabila kompetensi-kompetensi inti dalam kurikulum 2013 dipetakan dalam model literasi
sains Graber, maka KI 1 dan KI 2 masuk dalam komponen “what people value”, KI 3 masuk
dalam komponen “what people know”, dan KI 4 masuk dalam komponen “what people do”.
Artinya, semua kompetensi inti kurikulum 2013 masuk dalam kategori model literasi sains
Graber.
ENOUGH?
Organisasi materi dalam pembelajaran sains disusun sesuai dengan tingkat perkembangan
kognitif. Penyusunan materi pembelajaran dimulai dari hal yang dekat dengan siswa. Artinya
objek dan kajian pembelajaran dapat dilihat dan diamati langsung oleh siswa, sehingga dengan
sendirinya siswa melakukan analisis terhadap alasan terjadinya dan efek yang ditimbulkan.
Berdasarkan Permendikbud Nomor 64 Tahun 2013 tentang Standar Isi, bahwa ruang
lingkup materi dan tingkat kompetensi siswa yang harus dipenuhi atau dicapai pada suatu satuan
pendidikan dalam jenjang dan jenis pendidikan tertentu dirumuskan dalam Standar Isi untuk
setiap mata pelajaran. Tingkat kompetensi menunjukkan tahapan yang harus dilalui untuk
mencapai kompetensi lulusan yang telah ditetapkan dalam Standar Kompetensi Lulusan (SKL).
Tingkat Kompetensi dikembangkan berdasarkan kriteria; (1) Tingkat perkembangan siswa, (2)
Kualifikasi Kompetensi Nasional Indonesia, (3) Penguasaan kompetensi yang berjenjang. Selain
itu, tingkat Kompetensi juga memperhatikan; tingkat kerumitan atau kompleksitas kompetensi,
(scientific literacy) yang ditandai dengan kerja ilmiah, dan tiga dimensi besar literasi sains yaitu
proses, produk dan sikap. Literasi sains terbentuk dari 2 kata, yaitu literasi dan sains. Literasi
artinya melek huruf/gerakan pemberantasan buta huruf sedangkan sains artinya ilmu
serta membuat keputusan berkenaan dengan alam dan perubahan yang dilakukan terhadap alam
melalui aktivitas manusia. PISA (2000) menetapkan lima komponen proses sains dalam
penilaian literasi sains, yaitu: (1) mengenal pertanyaan ilmiah; (2) mengidentifikasi bukti yang
diperlukan dalam penyelidikan ilmiah; (3) menarik dan mengevaluasi kesimpulan; (4)
konsep-konsep sains. Tiga dimensi dalam sains atau IPA yaitu IPA sebagai proses, IPA sebagai
produk dan pengembangan sikap. adapun Organisasi materi dalam pembelajaran sains disusun