You are on page 1of 16

Etika Profesi Kedokteran dan Penanganan Kasus Dugaan Kelalaian Dalam

Tindakan Medik

Kelompok E6:
Nico Theodorus 102013037
Martha Leonora Haryatmo Tandri 102013051
Adethya Evy Yuniar Simatupang 102013092
Brigita Dwi Cahyaningtyas 102013271
Ngakan Made Ari Mahardika 102013311
Nirmala Yeli 102013357
Hilda Anak Michael Pawing 102013486
Muhammad Sajid Bin Mohd Rafee 102013498

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana


Jl. Arjuna Utara No. 6, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11510
Email korespondensi : s7pble6@gmail.com

Pendahuluan

Profesi kedokteran atau kesehatan telah mengambil tempat kehormatan dalam


statusnya sebagai profesi yang dapat mengatur diri sendiri. Sebagai balasan terhadap hak
kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan yang diberikan oleh pasien mereka,
profesi kesehatan harus membangun standar perilaku yang tinggi untuk anggotanya dan
prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki tuduhan adanya tindakan yang tidak benar dan jika
perlu menghukum yang berbuat salah. Sistem pengaturan sendiri ini sering gagal dan saat ini
telah dilakukan langkah-langkah yang dapat membuat profesi lebih akuntabel seperti dengan
menunjuk anggota awam pemegang kekuasaan dalam pengaturan. Persyaratan utama untuk
mengatur sendiri adalah ikhlas sepenuh hati didukung oleh para dokter karena prinsip-
prinsipnya dan kemauannya untuk mengenali dan berhubungan dengan praktek-praktek yang
tidak aman dan tidak etik.
Dalam makalah ini akan membahas mengenai etika profesi kedokteran dalam dugaan
kasus kelalaian dokter dalam melakukan tindakan medik, hubungan antara dokter pasien dan
sejawatnya, aspek hukum terkait malpraktik atau kelalaian dan penyelesaian kasus.
Etika Kedokteran

Aspek etik kedokteran yang mencantumkan juga kewajiban memenuhi standar profesi
mengakibatkan penilaian perilaku etik seseorang dokter yang diadukan tidak dapat
dipisahkan dengan penilaian perilaku profesinya. Etik yang memiliki sanksi moral dipaksa
berbaur dengan keprofesian yang memiliki sanksi disiplin profesi yang bersifat administratif.
Keadaan menjadi semakin sulit sejak para ahli hukum menganggap bahwa standar prosedur
dan standar pelayanan medis dianggap sebagai domain hukum, padahal selama ini profesi
menganggap bahwa memenuhi standar profesi adalah bagian dari sikap etis dan sikap
profesional. Dengan demikian pelanggaran standar profesi dapat dinilai sebagai pelanggaran
etik dan juga sekaligus pelanggaran hukum.
Kemungkinan terjadinya peningkatan ketidakpuasan pasien terhadap layanan dokter
atau rumah sakit atau tenaga kesehatan lainnya dapat terjadi sebagai akibat dari (a) semakin
tinggi pendidikan rata-rata masyarakat sehingga membuat mereka lebih tahu tentang haknya
dan lebih asertif, (b) semakin tingginya harapan masyarakat kepada layanan kedokteran
sebagai hasil dari luasnya arus informasi, (c) komersialisasi dan tingginya biaya layanan
kedokteran dan kesehatan sehingga masyarakat semakin tidak toleran terhadap layanan yang
tidak sempurna, dan (d) provokasi oleh ahli hukum dan oleh tenaga kesehatan sendiri.1

Etika Profesi Kedokteran

Etika profesi kedokteran mulai dikenal sejak 1800 tahun sebelum Masehi dalam
bentuk Code of Hammurabi dan Code of Hittites, yang penegakannya dilaksanakan oleh
penguasa pada waktu itu. Selanjutnya etik kedokteran muncul dalam bentuk lain, yaitu dalam
bentuk sumpah dokter yang bunyinya bermacam-macam, tetapi yang paling banyak dikenal
adalah sumpah Hippocrates yang hidup sekitar 460-370 tahun SM. Sumpah tersebut berisikan
kewajiban-kewajiban dokter dalam berperilaku dan bersikap, atau semacam code of conduct
bagi dokter.
World Medical Association dalam Deklarasi Geneva pada tahun 1968 menelorkan
sumpah dokter (dunia) dan Kode Etik Kedokteran Internasional. Kode Etik Kedokteran
Internasional berisikan tentang kewajiban umum, kewajiban terhadap pasien, kewajiban
terhadap sesama dan kewajiban terhadap diri sendiri. Selanjutnya, Kode Etik Kedokteran
Indonesia dibuat dengan mengacu kepada Kode Etik Kedokteran Internasional.1
Selain Kode Etik Profesi di atas, praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-
prinsip moral kedokteran, prinsip-prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat
keputusan dan bertindak, arahan dalam menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu
keputusan atau tindakan medis dilihat dari segi moral. Pengetahuan etika ini dalam
perkembangannya kemudian disebut sebagai etika biomedis. Etika biomedis memberi
pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat keputusan klinis yang etis (clinical ethics)
dan pedoman dalam melakukan penelitian di bidang medis.
Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter, seperti
autonomy (menghormati hak pasien, terutama hak dalam memperoleh informasi dan hak
membuat keputusan tentang apa yang akan dilakukan terhadap dirinya), beneficence
(melakukan tindakan untuk kebaikan pasien), non maleficence (tidak melakukan perbuatan
yang memperburuk pasien) dan justice (bersikap adil dan jujur), serta sikap altruisme
(pengabdian profesi).
Pendidikan etik kedokteran, yang mengajarkan tentang etik profesi dan prinsip moral
kedokteran, dianjurkan dimulai dini sejak tahun pertama pendidikan kedokteran, dengan
memberikan lebih ke arah tools dalam membuat keputusan etik, memberikan banyak latihan,
dan lebih banyak dipaparkan dalam berbagai situasi-kondisi etik-klinik tertentu (clinical
ethics), sehingga cara berpikir etis tersebut diharapkan menjadi bagian pertimbangan dari
pembuatan keputusan medis sehari-hari. Tentu saja kita pahami bahwa pendidikan etik belum
tentu dapat mengubah perilaku etis seseorang, terutama apabila teladan yang diberikan para
seniornya bertolak belakang dengan situasi ideal dalam pendidikan.
IDI (Ikatan Dokter Indonesia) memiliki sistem pengawasan dan penilaian pelaksanaan
etik profesi, yaitu melalui lembaga kepengurusan pusat, wilayah dan cabang, serta lembaga
MKEK (Majelis Kehormatan Etik Kedokteran) di tingkat pusat, wilayah dan cabang. Selain
itu, di tingkat sarana kesehatan (rumah sakit) didirikan Komite Medis dengan Panitia Etik di
dalamnya, yang akan mengawasi pelaksanaan etik dan standar profesi di rumah sakit. Bahkan
di tingkat perhimpunan rumah sakit didirikan pula Majelis Kehormatan Etik Rumah Sakit
(Makersi).
Pada dasarnya, suatu norma etik adalah norma yang apabila dilanggar “hanya” akan
membawa akibat sanksi moral bagi pelanggarnya. Namun suatu pelanggaran etik profesi
dapat dikenai sanksi disiplin profesi, dalam bentuk peringatan hingga ke bentuk yang lebih
berat seperti kewajiban menjalani pendidikan / pelatihan tertentu (bila akibat kurang
kompeten) dan pencabutan haknya berpraktik profesi. Sanksi tersebut diberikan oleh MKEK
setelah dalam rapat/sidangnya dibuktikan bahwa dokter tersebut melanggar etik (profesi)
kedokteran. Dalam melakukan pemeriksaannya, Majelis berwenang memperoleh :
1. Keterangan, baik lisan maupun tertulis (affidavit), langsung dari pihak-pihak terkait
(pengadu, teradu, pihak lain yang terkait) dan peer-group / para ahli di bidangnya
yang dibutuhkan
2. Dokumen yang terkait, seperti bukti kompetensi dalam bentuk berbagai ijasah/ brevet
dan pengalaman, bukti keanggotaan profesi, bukti kewenangan berupa Surat Ijin
Praktek Tenaga Medis, Perijinan rumah sakit tempat kejadian, bukti hubungan dokter
dengan rumah sakit, hospital bylaws, SOP dan SPM setempat, rekam medis, dan
surat-surat lain yang berkaitan dengan kasusnya.

Majelis etik ataupun disiplin umumnya tidak memiliki syarat-syarat bukti seketat pada
hukum pidana ataupun perdata. Bar’s Disciplinary Tribunal Regulation, misalnya,
membolehkan adanya bukti yang bersifat hearsay dan bukti tentang perilaku teradu di masa
lampau. Cara pemberian keterangan juga ada yang mengharuskan didahului dengan
pengangkatan sumpah, tetapi ada pula yang tidak mengharuskannya. Di Australia, saksi tidak
perlu disumpah pada informal hearing, tetapi harus disumpah pada formal hearing (jenis
persidangan yang lebih tinggi daripada yang informal). Sedangkan bukti berupa dokumen
umumnya di”sah”kan dengan tandatangan dan/atau stempel institusi terkait, dan pada bukti
keterangan diakhiri dengan pernyataan kebenaran keterangan dan tandatangan (affidavit).
Dalam persidangan majelis etik dan disiplin, putusan diambil berdasarkan bukti-bukti yang
dianggap cukup kuat. Memang bukti-bukti tersebut tidak harus memiliki standard of proof
seperti pada hukum acara pidana, yaitu setinggi beyond reasonable doubt, namun juga tidak
serendah pada hukum acara perdata, yaitu preponderance of evidence. Pada beyond
reasonable doubt tingkat kepastiannya dianggap melebihi 90%, sedangkan pada
preponderance of evidence dianggap cukup bila telah 51% ke atas. Banyak ahli menyatakan
bahwa tingkat kepastian pada perkara etik dan disiplin bergantung kepada sifat masalah yang
diajukan. Semakin serius dugaan pelanggaran yang dilakukan semakin tinggi tingkat
kepastian yang dibutuhkan.1
Perkara yang dapat diputuskan di majelis ini sangat bervariasi jenisnya. Di MKEK
IDI Wilayah DKI Jakarta diputus perkara-perkara pelanggaran etik dan pelanggaran disiplin
profesi, yang disusun dalam beberapa tingkat berdasarkan derajat pelanggarannya. Di
Australia digunakan berbagai istilah seperti unacceptable conduct, unsatisfactory professional
conduct, unprofessional conduct, professional misconduct dan infamous conduct in
professional respect. Namun demikian tidak ada penjelasan yang mantap tentang istilah-
istilah tersebut, meskipun umumnya memasukkan dua istilah terakhir sebagai pelanggaran
yang serius hingga dapat dikenai sanksi skorsing ataupun pencabutan ijin praktik.
Putusan MKEK tidak ditujukan untuk kepentingan peradilan, oleh karenanya tidak dapat
dipergunakan sebagai bukti di pengadilan, kecuali atas perintah pengadilan dalam bentuk
permintaan keterangan ahli. Salah seorang anggota MKEK dapat memberikan kesaksian ahli
di pemeriksaan penyidik, kejaksaan ataupun di persidangan, menjelaskan tentang jalannya
persidangan dan putusan MKEK. Sekali lagi, hakim pengadilan tidak terikat untuk sepaham
dengan putusan MKEK.
Eksekusi Putusan MKEK Wilayah dilaksanakan oleh Pengurus IDI Wilayah dan/atau
Pengurus Cabang Perhimpunan Profesi yang bersangkutan. Khusus untuk SIP, eksekusinya
diserahkan kepada Dinas Kesehatan setempat. Apabila eksekusi telah dijalankan maka dokter
teradu menerima keterangan telah menjalankan putusan.

Prinsip-Prinsip Moral
Praktek kedokteran juga berpegang kepada prinsip-prinsip moral kedokteran, prinsip-
prinsip moral yang dijadikan arahan dalam membuat keputusan dan bertindak, arahan dalam
menilai baik-buruknya atau benar-salahnya suatu keputusan atau tindakan medis dilihat dari
segi moral. Pengetahuan etika ini dalam perkembangannya kemudian disebut sebagai etika
biomedis. Etika biomedis memberi pedoman bagi para tenaga medis dalam membuat
keputusan klinis yang etis (clinical ethics) dan pedoman dalam melakukan penelitian di
bidang medis. Nilai-nilai materialisme yang dianut masyarakat harus dapat dibendung dengan
memberikan latihan dan teladan yang menunjukkan sikap etis dan profesional dokter,
seperti:2
 Prinsip otonomi: yaitu prinsip moral menghormati hak-hak pasien, terutama hak
otonomi pasien (the rights to self-determination). Prinsip moral inilah yang kemudian
melahirkan doktrin informed consent.
 Prinsip beneficence: iaitu prinsip moral yang mengutamakan tindakan yang ditujukan
ke kebaikan pasien. Dalam beneficence tidak hanya dikenal perbuatan untuk kebaikan
sahaja, melainkan juga perbuatan yang sisi baiknya (manfaat) lebih besar dari sisi
buruknya (mudharat).
 Prinsip non-maleficence: yaitu prinsip moral yang melarang tindakan yang
memperburuk keadaan pasien. Prinsip ini dikenal juga sebagai “primum non nocere”
atau “above all do no harm”.
 Prinsip justice: yaitu prinsip moral yang mementingkan fairness dan keadilan dalam
bersikap maupun dalam mendistribusikan sumber daya (distributive justice).1

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)


Terdapat 4 kewajiban dalam KODEKI, yaitu: kewajiban umum, kewajiban terhadap
pasien, kewajiban terhadap teman sejawat dan kewajiban terhadap diri sendiri. Bunyi pasal-
pasalnya yaitu:2

Kewajiban Umum :
 Pasal 1 : Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah dokter.
 Pasal 2 : Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai
dengan standar profesi yang tertinggi.
 Pasal 3 : Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh
dipengaruhi oleh sesuatu yang mengakibatkan hilangnya kebebasan dan kemandirian
profesi.
 Pasal 4 : Setiap dokter harus menghindarkan diri dari perbuatan yang bersifat memuji
diri.
 Pasal 5 : Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan psikis
maupun fisik hanya diberikan untuk kepentingan dan kebaikan pasien, setelah
memperoleh persetujuan pasien.
 Pasal 6 : Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan
menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji
kebenarannya dan hal-hal yang dapat menimbulkan keresahan masyarakat.
 Pasal 7 : Seorang dokter hanya memberi surat keterangan dan pendapat yang telah
diperiksa sendiri kebenarannya.
 Pasal 7a : Seorang dokter harus, dalam setiap praktik medisnya, memberikan
pelayanan medis yang kompeten dengan kebebasan teknis dan moral sepenuhnya,
disertai rasa kasih sayang (compassion) dan penghormatan atas martabat manusia.
 Pasal 7b : Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau
penggelapan, dalam menangani pasien
 Pasal 7c : Seorang dokter harus menghormati hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya,
dan hak tenaga kesehatan lainnya, dan harus menjaga kepercayaan pasien
 Pasal 7d : Setiap dokten harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi
hidup makhluk insani.
 Pasal 8 : Dalam melakukan pekerjaannya seorang dokter harus memperhatikan
kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang
menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), baik fisik maupun psiko-
sosial, serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenar-
benarnya.
 Pasal 9 : Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan
dan bidang lainnya serta masyarakat, harus saling menghormati.3

Kewajiban Dokter terhadap Pasien


 Pasal 10 : Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu
dan ketrampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ini ia tidak mampu
melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien,ia wajib
menujuk pasien kepada dokten yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
 Pasal 11 : Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada pasien agar senantiasa
dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau
dalam masalah lainnya.
 Pasal 12 : Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang
seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia.
 Pasal 13 : Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas
perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu
memberikannya.

Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawat


 Pasal 14 : Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri
ingin diperlakukan.
 Pasal 15 : Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dan teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.
Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri
 Pasal 16 : Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan
baik.
 Pasal 17 : Setiap dokter harus senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi kedokteran/kesehatan.

Hubungan Dokter-Pasien

Hubungan hukum dokter - pasien adalah hubungan antar subjek hukum dengan subjek
hukum. Dokter sebagai subjek hukum dan pasien sebagai subjek hukum secara sukarela dan
tanpa paksaan saling mengikatkan diri dalam sebuah perjanjian atau kontrak yang disebut
kontrak terapeutik. Dalam hubungan hukum ini maka segala sesuatu yang dilaukan oleh
dokter terhadap pasiennya dalam upaya peyembuhan penyakit pasien adalah merupakan
perbuatan hukum yang kepadanya dapat dimintai petrtanggug jawaban hukum. Mungkin
masih banyak teman sejawat dokter yang melaksanakan tugas profesionalnya, memberikan
pelayanan medik kepada pasien tidak menyadari bahwa perbuatannya adalah sebuah
perbuatan hukum. Dalam benak para teman sejawat tiada lain hanyalah melakukan tindakan
profesional kedokteran sesuai dengan kode etik profesional dan sumpah jabatan dokter, yaitu
melakukan tindakan medis, pengobatatan penyakit dan perawatan kesehatan untuk
meningkatkan derajat kesehan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Hubungan hukum dokter-pasien akan menempatkan dokter dan pasien berada pada
kesejajaran, sehingga setiap apa yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien tersebut harus
melibatkan pasien dalam menentukan apakah sesuatu tersebut dapat atau tidak dapat
dilakukan atas dirinya. Salah satu bentuk kesejajaran dalam hubugan hukum dokter-pasien
adalah melalui informed consent atau persetujuan tindakan medik. Pasien berhak
memutuskan apakah menerima atau menolak sebagian atau seluruhnya rencana tindakan dan
pengobatan yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya.
Hubungan hukum dokter-pasien menempatkan keduanya sebagai subjek hukum yang
masng-masing pihak mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang harus di hormati.
Dokter sebagai subjek hukum mempunyai kewajiban untuk memenuhi segala sesuatu yang
menjadi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien mempunyai kewajiban yang sama untuk
memenuhi hak-hak dokter. Pengingkaran atas pelaksanaan kewajiban masing-masing pihak
akan menimbulkan disharmonisasi dalam hubungan hukum tersebut yang dapat berbuntut
pada gugatan atau tuntutan hukum oleh pihak-pihak yang merasa dirugikan hak-haknya atau
kepentigan-kepentingannya.
Dokter tidak boleh bertindak arogan dan semena-mena atas superioritas yang
dimilikinya atas pasien karena memiliki keahlan dan kecakapan di bidang IPTEK kedokteran
dan kesehatan. sehingga pasien merasa sangat tergantung pada dokter. . Perbuatan seperti itu
adalah sebuah perbuatan melanggar hukum karena tidak menghargai hak-hak pasien dalam
perjanjian terapeutik tersebut.
Hubungan hukum dokter pasien mengacu pada Pasal 1320 KUHPerdata yang
mengatur syarat-syarat sahnya sebuah perjajiajan atau perikatan hukum Syarat-syarat tersebut
yaitu antara lain :
1. Pelaku perjanjian harus dapat bertindak sebagai subjek hukum
2. Perjanjian antara subjek hukum tersebut harus atas dasar sukarela dan tanpa paksaan
3. Perjanjian tersebut memperjanjikan sesuatu di bidang pelayanan kesehatan. Perjanjian
tersebut harus atas sebab yang halal dan tidak bertentangan dengan hukum.

Hubungan Dokter-Teman Sejawat

Pertumbuhan pengetahuan ilmiah yang berkembang pesat disertai aplikasi klinisnya


membuat pengobatan menjadi kompleks. Dokter secara individu tidak bisa menjadi ahli
untuk semua penyakit yang diderita oleh pasiennya, sedangkan perawatan tetap harus
diberikan sehingga membutuhkan bantuan dokter spesialis lain dan profesi kesehatan yang
memiliki keterampilan khusus seperti perawat, ahli farmasi, fisioterapis, teknisi laboratorium,
pekerja social dan lainnya.
Seorang dokter sebagai anggota profesi kesehatan, diharapkan memperlakukan
profesi kesehatan lain lebih sebagai anggota keluarga dibandingkan sebagai orang lain,
bahkan sebagai teman. Deklarasi Geneva dari WMA juga memuat janji: ”Kolega saya akan
menjadi saudara saya”. Interpretasi janji ini bervariasi dari satu negara dan negara lain
sepanjang waktu.
Dalam tradisi etika kedokteran Hippocrates, dokter memiliki hutang penghargaan
khusus terhadap guru mereka. Deklarasi Geneva menyatakan: ”Saya akan memberikan guru
saya penghormatan dan terima kasih yang merupakan hak mereka”.
Sebagai balasan atas kehormatan yang diberikan masyarakat dan kepercayaan yang
diberikan oleh pasien, maka profesi kesehatan harus membangun standar perilaku yang tinggi
untuk anggotanya dan prosedur pendisiplinan dalam menyelidiki tuduhan adanya tindakan
yang tidak benar dan jika perlu menghukum yang berbuat salah. Kewajiban untuk
melaporkan kolega yang melakukan tindakan yang tidak kompeten, mencelakakan, perbuatan
tidak senonoh ditekankan dalam Kode Etik Kedokteran Internasional yang dikeluarkan oleh
WMA menyatakan: ”Dokter harus berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter
dan kompetensi dokter ataupun yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan”. Penerapan
prinsip ini tidaklah mudah, di satu sisi seorang dokter mungkin menyerang reputasi
koleganya karena motif yang tidak benar seperti karena rasa iri atau terhina oleh koleganya.
Dokter juga merasa sungkan atau ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang tidak
benar karena simpati atau persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat berakibat
kurang baik bagi yang melapor, yang tertuduh atau bahkan dari kolega lain.3,4

Kerjasama Dokter Dengan Sejawat Menurut KKI


1. Merujuk pasien
Pada pasien rawat jalan, karena alasan kompetensi dokter dan keterbatasan fasilitas
pelayanan, dokter yang merawat harus merujuk pasien pada sejawat lain untuk
mendapatkan saran, pemeriksaan atau tindakan lanjutan. Bagi dokter yang menerima
rujukan, sesuai dengan etika profesi, wajib menjawab/memberikan advis tindakan akan
terapi dan mengembalikannya kepada dokter yang merujuk. Dalam keadaan tertentu
dokter penerima rujukan dapat melakukan tindakan atau perawatan lanjutan dengan
persetujuan dokter yang merujuk dan pasien. Setelah selesai perawatan dokter rujukan
mengirim kembali kepada dokter yang merujuk.
Pada pasien rawat inap, sejak awal pengambilan kesimpulan sementara, dokter dapat
menyampaikan kepada pasien kemungkinan untuk dirujuk kepada sejawat lain karena
alasan kompetensi. Rujukan dimaksud dapat bersifat advis, rawat bersama atau alih
rawat. Pada saat meminta persetujuan pasien untuk dirujuk, dokter harus memberi
penjelasan tentang alasan, tujuan dan konsekuensi rujukan termasuk biaya, seluruh usaha
ditujukan untuk kepentingan pasien. Pasien berhak memilih dokter rujukan, dan dalam
rawat bersama harus ditetapkan dokter penanggung jawab utama.
Dokter yang merujuk dan dokter penerima rujukan, harus mengungkapkan segala
informasi tentang kondisi pasien yang relevan dan disampaikan secara tertulis serta
bersifat rahasia.
Jika dokter memberi pengobatan dan nasihat kepada seorang pasien yang diketahui
sedang dalam perawatan dokter lain, maka dokter yang memeriksa harus
menginformasikan kepada dokter pasien tersebut tentang hasil pemeriksaan, pengobatan,
dan tindakan penting lainnya demi kepentingan pasien.

2. Bekerja sama dengan sejawat


Dokter harus memperlakukan teman sejawat tanpa membedakan jenis kelamin, ras,
kecacatan, agama/kepercayaan, usia, status sosial atau perbedaan kompetensi yang dapat
merugikan hubungan profesional antar sejawat.
Seorang dokter tidak dibenarkan mengkritik teman sejawat melalui pasien yang
mengakibatkan turunnya kredibilitas sejawat tersebut. Selain itu tidak dibenarkan
seorang dokter memberi komentar tentang suatu kasus, bila tidak pernah memeriksa atau
merawat secara langsung.

3. Bekerjasama dalam tim


Asuhan kesehatan selalu ditingkatkan melalui kerjasama dalam tim multidisiplin.
Apabila bekerja dalam sebuah tim, dokter harus :
a. Menunjuk ketua tim selaku penanggung jawab
b. Tidak boleh mengubah akuntabilitas pribadi dalam perilaku keprofesian dan asuhan
yang diberikan
c. Menghargai kompetensi dan kontribusi anggota tim
d. Memelihara hubungan profesional dengan pasien
e. Berkomunikasi secara efektif dengan anggota tim di dalam dan di luar tim
f. Memastikan agar pasien dan anggota tim mengetahui dan memahami siapa yang
bertanggung jawab untuk setiap aspek pelayanan pasien
g. Berpartisipasi dalam review secara teratur, audit dari standar dan kinerja tim, serta
menentukan langkah-langkah yang diperlukan untuk memperbaiki kinerja dan
kekurangan tim
h. Menghadapi masalah kinerja dalam pelaksanaan kerja tim dilakukan secara terbuka
dan sportif.

4. Memimpin tim
Dalam memimpin sebuah tim, seorang dokter harus memastikan bahwa :
a. Anggota tim telah mengacu pada seluruh acuan yang berkaitan dengan pelaksanaan
dan pelayanan kedokteran
b. Anggota tim telah memenuhi kebutuhan pelayanan pasien
c. Anggota tim telah memahami tanggung jawab individu dan tanggung jawab tim
untuk keselamatan pasien. Selanjutnya, secara terbuka dan bijak mencatat serta
mendiskusikan permasalahan yang dihadapi
d. Acuan dari profesi lain dipertimbangkan untuk kepentingan pasien
e. Setiap asuhan pasien telah terkoordinasi secara benar, dan setiap pasien harus tahu
siapa yang harus dihubungi apabila ada pertanyaan atau kekhawatiran
f. Pengaturan dan pertanggungjawaban pembiayaan sudah tersedia
g. Pemantauan dan evaluasi serta tindak lanjut dari audit standar pelayanan kedokteran
dan audit pelaksanaan tim dijalankan secara berkala dan setiap kekurangan harus
diselesaikan segera
h. Sistem sudah disiapkan agar koordinasi untuk mengatasi setiap permasalahan dalam
kinerja, perilaku atau keselamatan anggota tim dapat tercapai
i. Selalu mempertahankan dan meningkatkan praktek kedokteran yang benar dan baik.

5. Mengatur dokter pengganti


Ketika seorang dokter berhalangan, dokter tersebut harus menentukan dokter pengganti
serta mengatur proses pengalihan yang efektif dan komunikatif dengan dokter pengganti.
Dokter pengganti harus diinformasikan kepada pasien.
Dokter harus memastikan bahwa dokter pengganti mempunyai kemampuan, pengalaman,
pengetahuan, dan keahlian untuk mengerjakan tugasnya sebagai dokter pengganti.
Dokter pengganti harus tetap bertanggung jawab kepada dokter yang digantikan atau
ketua tim dalam asuhan medis.

6. Mematuhi tugas
Seorang dokter yang bekerja pada institusi pelayanan/ pendidikan kedokteran harus
mematuhi tugas yang digariskan pimpinan institusi, termasuk sebagai dokter pengganti.
Dokter penanggung jawab tim harus memastikan bahwa pasien atau keluarga pasien
mengetahui informasi tentang diri pasien akan disampaikan kepada seluruh anggota tim
yang akan memberi perawatan. Jika pasien menolak penyampaian informasi tersebut,
dokter penanggung jawab tim harus menjelaskan kepada pasien keuntungan bertukar
informasi dalam pelayanan kedokteran.
7. Pendelegasian wewenang
Pendelegasian wewenang kepada perawat, mahasiswa kedokteran, peserta program
pendidikan dokter spesialis, atau dokter pengganti dalam hal pengobatan atau perawatan
atas nama dokter yang merawat, harus disesuaikan dengan kompetensi dalam
melaksanakan prosedur dan pemberian terapi sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dokter yang mendelegasikan tetap menjadi penanggung jawab atas penanganan pasien
secara keseluruhan.

Dampak Hukum

Jalan Keluar Kasus Dugaan Pelanggaran Etika Profesi Kedokteran

Kewajiban untuk melaporkan teman sejawat yang melakukan tindakan yang tidak
kompeten, mencelakakan, perbuatan tidak senonoh, ditekankan dalam Kode Etik Kedokteran
Internasional yang dikeluarkan oleh World Medical Association (WMA) yang menyatakan:
“Dokter harus berusaha keras untuk menyatakan kekurangan karakter dan kompetensi dokter
atau yang terlibat dalam penipuan atau kecurangan.”. Penerapan prinsip ini tidaklah mudah.
Di satu sisi seorang dokter mungkin menyerang reputasi teman sejawatnya karena motif yang
tidak benar seperti karena cemburu dan perasaan terhina oleh teman sejawatnya. Dokter juga
merasa tidak enak dan ragu untuk melaporkan tindakan koleganya yang tidak benar karena
simpati atau persahabatan. Konsekuensi pelaporan tersebut dapat berakibat kurang baik bagi
yang melapor, termasuk keramahan dari yang tertuduh atau bahkan juga dari teman sejawat
yang lain. Terlepas dari hal tersebut, pelaporan terhadap tindakan salah yang dilakukan teman
sejawat merupakan suatu tugas profesional. Dokter tidak hanya mempunyai kewajiban
menjaga reputasi yang baik dari profesinya tetapi juga karena mereka sendirilah yang kadang
bisa mengetahui ketidak kompetenan, kelalaian atau kesalahan prosedur. Namun melaporkan
teman sejawat kepada komisi dislipin sebaiknya merupakan langkah terakhir setelah semua
alternatif telah dicoba dan tidak memberikan hasil.6
Berdasarkan hasil pembahasan berkenaan etika kedokteran, Dokter A harus bertindak
berdasarkan kaidah-kaidah dasar moral yaitu otonomi, beneficence, non-maleficence dan
justice. Sebaiknya, Dokter A menjelaskan kepada orang tua anak tersebut bahwa pada kasus
ini tidak bisa langsung disimpulkan bahwa benjolan pada pundak kanan anak tersebut adalah
akibat kelalaian tindakan medis dari Dokter B atau Dokter C. Kasus ini harus diselidik
dengan teliti sebelum orang tua anak tersebut mengambil keputusan untuk melakukan
tindakan hukum atau sengketa terhadap dokter-dokter tersebut karena dampak dari hukum
dapat membebankan keluarga pasien secara keuangan dan membutuhkan waktu yang lama
untuk mendapatkan penyelesaian. Maka, Dokter A harus menasehati orang tua anak tersebut
untuk terlebih dahulu mendapatkan penjelasan yang benar dan lengkap dari Dokter B dan
Dokter C berkenaan tindakan medis atau pengobatan yang dilakukan terhadap anak tersebut.
Jika diduga salah satu atau kedua Dokter B dan Dokter C telah melakukan kelalaian
atau malpraktek medis, maka langkah pertama yang dilakukan oleh Dokter A mungkin
mendekati dokter-dokter tersebut dan mengatakan bahwa menurut pendapatnya tindakan
mereka tidak aman dan tidak etis. Jika masalahnya dapat diselesaikan pada tahap tersebut,
mungkin tidak diperlukan langkah lebih jauh. Jika tidak, langkah selanjutnya mungkin
membicarakannya dengan atasan dokter-dokter tersebut dan menyerahkan keputusannya
kepada orang tersebut. Jika langkah ini tidak praktis atau tidak memberikan hasil, mungkin
langkah terakhir perlu memberitahukan komisi disiplin.
Orang tua pasien dapat melakukan pengaduan ke Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) secara bertulis atau lisan. Pihak MKDKI memeriksa dan
memberikan keputusan terhadap pengaduan tersebut. Berdasarkan ketentuan hukum yang
berlaku, penanganan pelanggaran profesi kedokteran dapat dilakukan dengan tiga jalur yaitu
jalur etika, jalur disiplin dan jalur hukum. Apabila ditemukan pelanggaran etik, MKDKI
meneruskan pengaduan kepada MKEK IDI. Jika terdapat pelanggaran disiplin oleh dokter,
MKDKI dapat memberi sanksi disiplin berupa teguran bertulis, rekomendasi pencabutan
Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Izin Praktek (SIP) atau wajib mengikuti pendidikan
atau pelatihan kembali di Institusi Pendidikan Kedokteran. Jika terdapat bukti-bukti awal
adanya dugaan tindak pidana, MKDKI meneruskan pengaduan tersebut kepada pihak yang
berwenang dan/atau pengadu mengugat kerugian perdata ke pengadilan.7
Jalur hukum yang sudah lazim adalah melalui Pengadilan Umum tetapi dengan
adanya Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa telah dimunculkan solusi penyelesaian sengketa diluar jalur pengadilan yaitu
mediasi. Mediasi adalah suatu proses pemecahan masalah, dimana pihak ketiga yang tidak
memihak (impartial) dan netral bekerja sama dengan pihak yang bersengketa untuk mencari
kesepakatan bersama. Mediator tidak berwenang untuk memutus sengketa tetapi hanya
membantu para pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dikuasakan kepadanya.
Dalam penyelesaiannya tidak selalu menggunakan aspek hukum tetapi bisa aspek sosial,
ekonomi dan moral para pihak ikut berperan. Khusus untuk bidang kesehatan dengan
diundangkannya Undang-undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 29 yang
menyatakan: “Dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi”. Dengan
demikian jelaslah bahwa proses mediasi diprioritaskan untuk penyelesaian sengketa medis.8

Gambar 1: Alur Penanganan Kasus Pelanggaran Profesi Kedokteran 7,8

Kesimpulan

Pengetahuan dan ketrampilan yang baik saja tidak cukup dalam upaya penyembuhan
pasien; upaya tersebut harus diiringi sikap professional yang baik. Pendekatan hendaknya
holistik, dengan memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai aspek, ekonomi-sosial-
budaya dan psikis pasien. Perbanyak komunikasi dan pemberian informasi kepada pasien
dan/atau keluarganya karena ternyata banyak kasus dugaan malpraktek hanya karena salah
paham dan dapat diselesaikan di luar pengadilan.
Daftar Pustaka

1. Amir A. Ilmu kedokteran forensik. Medan : Bagian Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal Fakultas Kedokteran USU; 2007.
2. Pinzon R. Strategi 4s untuk pelayanan medik berbasis bukti. Cermin dunia kedokteran
2009;163:36.
3. Taufik S. Pengantar ilmu kedokteran forensik dan medikolegal: Buku penuntun
kepaniteraan klinik kedokteran forensik dan medikolegal. Banda Aceh: FK
Unsyiah/RSUDZA; 2009.
4. Mulyo RCA. Peranan dokter dalam proses penegakan hukum kesehatan. Universitas
Negeri Semarang; 2006.
5.
6. Williams JR. Medical ethics manual. 3rd Edition. Ferney-Voltaire Cedex: Ethics Unit of
World Medical Association; 2015.
7. Hanafiah MJ, Amir A. Etika kedokteran dan hukum kesehatan. Edisi ke-4. Jakarta: EGC;
2008.
8. Soetrisno S. Malpraktek medik dan mediasi: Sebagai alternatif penyelesaian sengketa.
Edisi Pertama. Jakarta: PT Telaga Ilmu Indonesia; 2010.

You might also like