You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Bullying merupakan bentuk penyalahgunaan kekuatan yang disengaja dan
berulang-ulang oleh seorang individu kepada individu yang lain dengan maksud
untuk menyakiti atau menimbulkan perasaan tertekan atau stress. Bullying tidak
hanya mengakibatkan kerugian dan tekanan, tetapi juga mengakibatkan gangguan
emosi dan gangguan perkembangan yang dapat terjadi hingga remaja dan dewasa
pada anak yang menjadi korban. Pelaku bullying juga cenderung menjadi agresif
dan melakukan tindakan kriminal ketika dewasa.1
Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia. Prevalensi
bullying diperkirakan 8 hingga 50% di beberapa negara Asia, Amerika dan Eropa.
Tindakan bullying menempati peringkat pertama dalam daftar hal-hal yang
menimbulkan ketakutan di sekolah.2 Menurut Komisi Perlindungan Anak
Indonesia (KPAI), kasus bullying dari tahun 2011 sampai september 2017,
KPAI menerima 26 ribu pengaduan terkait masalah tersebut.3 Pada pertengahan
tahun 2017 di Provinsi Riau, ada seorang siswi SMA bunuh diri dengan terjun ke
sungai Kampar. Siswi tersebut diduga merupakan korban dari tindakan bullying.
Sebelum korban melakukan aksi nekatnya, beberapa hari terakhir korban sudah
tidak mau sekolah lagi. Korban mendesak pihak keluarga segera
memindahkannya ke sekolah lain.
Bullying memiliki berbagai macam bentuk baik secara fisik maupun non
fisik. Ada 4 tipe bullying yaitu fisik, emotional bullying, verbal bullying dan
cyber bullying. Keempat tipe bullying ini memiliki dampak yang sama kuatnya
yang mengakibatkan rasa takut, stres, kerugian atau membahayakan bagi korban.4
Apabila melihat dari perspektif hukum, sudah sangatlah jelas bahwa
bullying melanggar hukum dan terhadap tindakan bullying dapat dikenakan
sanksi pidana. Pemerintah Indonesia telah menetapkan sanksi yang dapat
dikaitkan dengan pelaku bullying. Sanksi tersebut tercantum pada Kitab Undang-
undang Hukum Pidana pasal 170, 289, 300, 333, 335, 336, 351, 368 dan 369.
Pelaku bullying terhadap anak dapat dipidana berdasarkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah
oleh Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.5
Pencegahan tindakan Bullying ini memerlukan kerjasama seluruh pihak,
tidak hanya dari peran pemerintah dalam membentuk aturan yang tegas tentang
kasus bullying. Orangtua memiliki peran yang penting dalam membina
komunikasi dengan anak. Selain itu, peran sekolah juga penting karena tindakan
bullying paling banyak terjadi di sekolah. Peran sekolah harus menyediakan
teman yang aman dan bebas dari intimidasi sehingga setiap anak dapat tumbuh
dan belajar dengan damai.6

1.2 Rumusan masalah


Referat ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, klasifikasi, faktor
penyebab, dampak dan pencegahan bullying.

1.3 Tujuan penelitian


a. Memahami tentang definisi, epidemiologi, klasifikasi, faktor penyebab,
dampak dan pencegahan bullying.
b. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di bidang kedokteran
khusunya di bagian ilmu kedokteran jiwa.

1.4 Metode penulisan


Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang mengacu
pada beberapa literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Bullying


Konsep bullying pertama kali diperkenalkan oleh Olweus pada tahun 1973,
yang diartikan sebagai suatu bentuk dari perilaku agresif yang dilakukan secara
sengaja untuk menjahati atau membuat individu merasa kesusahan, terjadi
berulang kali dari waktu ke waktu dan berlangsung dalam suatu hubungan yang
tidak terdapat keseimbangan kekuasaan maupun kekuatan.7 Menurut American
Psychiatric Association (APA), bullying adalah perilaku agresif yang
dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif yang bertujuan
untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka
waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari
pihak-pihak yang terlibat.1
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying
adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang, dilakukan
dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik
maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak dan
terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang
terlibat.
2.2 Epidemiologi Bullying
Bullying merupakan fenomena yang tersebar di seluruh dunia, tidak hanya
di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Menurut The American
Association of School Psychologist terdapat sekitar 160.000 anak menghindari
sekolah akibat takut menjadi korban bullying.8 Di Indonesia, penelitian Amy pada
tahun 2006, diperkirakan 10%-16% pelajar Sekolah Dasar (SD) kelas IV-VI di
Indonesia mengalami bullying sebanyak satu kali per minggu. Bullying pada anak
paling sering terjadi di sekolah tetapi belum banyak guru di Indonesia yang
menganggap bullying sebagai masalah serius. Survei di berbagai belahan dunia
menyatakan bahwa bullying paling banyak terjadi pada usia 7 tahun (kelas II SD),
dan selanjutnya menurun hingga usia 15 tahun. Studi lain menyatakan prevalensi
bullying tertinggi pada usia 7 tahun dan 10-12 tahun. Anak laki-laki lebih sering
terlibat dalam bullying disbanding anak perempuan.1 Menurut penelitian yang
dilakukan di Iran, dari total jumlah partisipan 834 siswa kelas 8 dan kelas 9
sekolah menengah pertama, berdasarkan pola pembullyan, didapatkan hasil 24,7%
pembullyan dilakukan secara verbal, dan 10,3% pembullyan dilakukan secara
physical.9
2.3 Klasifikasi Bullying
Tindakan Bullying tidak hanya dihubungkan pada aktifitas fisik saja, ada 4
klasifikasi bullying:1
a. Physical bullying
Bullying yang bersifat fisik dimana terjadi kontak fisik antara
pelaku bullying dengan korban. Jenis ini merupakan bullying yang
paling mudah diidentifikasi karena dapat dilihat oleh mata. Contoh-
contoh bullying fisik antara lain memukul, menarik baju, menjewer,
menjambak, menendang, menyenggol dengan bahu, menghukum
dengan membersihkan WC, menampar, menimpuk, menginjak kaki,
menjegal, meludahi, memalak, melempar dengan barang, menghukum
dengan berlari lapangan, menghukum dengan cara push up.
b. Emotional bullying
Jenis bullying yang paling berbahaya karena tidak tertangkap oleh
mata atau telinga kita apabila tidak cukup awas mendeteksinya. Praktik
bullying ini terjadi diam - diam dan diluar jangkauan pemantauan kita.
Contoh-contohnya antara lain mencibir, mengucilkan, memandang sinis,
memelototi, memandang penuh ancaman, mempermalukan di depan
umum, mendiamkan, meneror lewat pesan pendek, telepon genggem
atau email, memandang yang merendahkan.
c. Verbal bullying
Verbal bullying memiliki kesamaan dengan emotional bullying,
dimana akan menimbulkan gangguan secara emosional terhadap korban.
Jenis bullying yang juga bisa terdeteksi karena bisa terungkap indra
pendengaran kita. Contoh-contoh bullying verbal antara lain
membentak, meledek, mencela, memaki-maki, menghina, menjuluki,
meneriaki, mempermalukan didepan umum, menyoraki, menebar gosip,
memfitnah.
d. Cyber bullying
Bullying jenis ini merupakan tindakan yang paling banyak terjadi
diera modernisasi. Cyber bullying melibatkan internet sebagai bullying.
Bullying ini dapat melalui pesan singkat via email, website maupun
media sosial.
2.4 Penyebab terjadinya Bullying
Perilaku bullying ini sebuah perilaku negatif yang dapat disebabkan oleh
beberapa faktor antara lain:10
a. Keluarga
Pelaku bullying seringkali berasal dari keluarga yang
bermasalah antara lain orang tua yang sering menghukum anaknya
secara berlebihan, atau situasi rumah yang penuh stress, agresi, dan
permusuhan.10 Anak akan mempelajari perilaku bullying ketika
mengamati konflik-konflik yang terjadi pada orang tua mereka,seperti
terjadinya perceraian orang tua, orang tua perasaan yang tidak stabil dan
pikirannya, orang tua yang saling mencaci maki, menghina, bertengkar
dihadapan anak-anaknya, bermusuhan dan tidak pernah akur, memicu
terjadinya depresi dan stress bagi anak. Seorang remaja yang tumbuh
dalam keluarga yang menerapkan pola komunikasi negatif seperti
sarcasm (sindirian tajam) akan cenderung meniru kebiasaan tersebut
dalam kesehariannya dan kemudian menirunya terhadap teman-
temannya.11 Jika tidak ada konsekuensi yang tegas dari
lingkungan terhadap perilaku coba-cobanya itu, ia akan belajar bahwa
“mereka yang memiliki kekuatan diperbolehkan untuk berperilaku
agresif, dan perilaku agresif itu dapat meningkatkan status dan
kekuasaan seseorang”. Dari sini anak mengembangkan perilaku
bullying.10
b. Sekolah
Kecenderungan pihak sekolah yang sering mengabaikan
keberadaan bullying menjadikan siswa yang menjadi pelaku bullying
semakin mendapatkan penguatan terhadap perilaku tersebut. Selain itu,
bullying dapat terjadi di sekolah jika pengawasan dan bimbingan etika
dari para guru rendah, sekolah dengan kedisiplinan yang sangat kaku,
bimbingan yang tidak layak dan peraturan yang tidak konsisten,
hukuman yang tidak bermanfaat sehingga tidak mengembangkan rasa
menghargai dan menghormati antar sesama anggota sekolah. Dalam
penelitian oleh Adair, 79% kasus bullying di sekolah tidak dilaporkan ke
guru atau orang tua.10,11
c. Faktor Kelompok Sebaya
Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan dengan
teman di sekitar rumah, kadang kala terdorong untuk melakukan
bullying. Beberapa anak melakukan bullying dalam usaha untuk
membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu,
meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku
tersebut.10
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying yaitu:10
1. Bullies (Pelaku bullying)
Pelaku bullying adalah orang yang melakukan tindakan bullying.
Biasanya pelaku bullying memiliki kekuatan secara fisik dengan
penghargaan diri yang baik dan berkembang. Karakteristik anak atau
remaja pelaku bullying adalah hiperaktif, agresif, destruktif, menikmati
dominasi atas anak atau remaja lainnya, mudah tersinggung, dan
memiliki toleransi yang rendah terhadap frustasi. Mereka juga
cenderung sulit memproses informasi sosial, sehingga sering
menginterpretasikan secara keliru perilaku anak atau remaja lain
sebagai perilaku bermusuhan, juga saat sikap permusuhan itu ditujukan
pada anak atau remaja lain.12
2. Victim (Korban bullying)
Korban bullying adalah seorang yang sering menjadi target dari
perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya
memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya.10
Karakteristik korban bullying adala mereka yang penampilan perilaku
sehari-hari berbeda, ukuran tubuh secara fisik lebih kecil, lebih tinggi,
atau lebih berat badannya dibandingkan kebanyakan anak atau remaja
seusianya, berasal dari latar belakang etnik, keyakinan atau budaya
yang berbeda dari kebanyakan anak atau remaja di lingkungannya,
memiliki kemampuan atau bakat istimewa, keterbatasan kemampuan
tertentu, misalnya attention deficit hyperactivity disorder (ADHD),
gangguan belajar, retardasi mental, dan lainnya. Umumnya anak atau
remaja yang pencemas, mudah gugup, selalu merasa tidak aman,
pemalu pendiam, memiliki cacat fisik atau mental, masalah tingkah laku
atau gangguan perkembangan neurologis.12
3. Bully-victim
Pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi
korban perilaku agresif.
Bullying termasuk tindakan yang disengaja oleh pelaku pada korbannya,
yang dimaksudkan untuk menggangu seorang yang lebih lemah. Faktor
individu dimana kurangnya pengetahuan menjadi salah satu penyebab timbulnya
perilaku bullying, Semakin baik tingkat pengetahuan remaja tentang bullying
maka akan dapat meminimalkan atau menghilangkan perilaku bullying.

2.5 Dampak Bullying


Terdapat berbagai dampak yang ditimbulkan akibat bullying. Dampak yang
dialami korban bullying tersebut bukan hanya dampak fisik tapi juga dampak
psikis. Bullying tidak hanya berdampak terhadap korban, tapi juga terhadap
pelaku.8
a. Dampak bagi korban
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention
Resource Center Sanders (2009) menunjukkan bahwa bullying dapat
membuat remaja merasa cemas dan ketakutan, mempengaruhi
konsentrasi belajar di sekolah dan menuntun mereka untuk menghindari
sekolah.Bila bullying berlanjut dalam jangka waktu yang lama, dapat
mempengaruhi self-esteem siswa, meningkatkan isolasi sosial,
memunculkan perilaku menarik diri, menjadikan remaja rentan terhadap
stress dan depreasi, serta rasa tidak aman.Dalam kasus yang lebih
ekstrim, bullying dapat mengakibatkan remaja berbuat nekat, bahkan
bisa membunuh atau melakukan bunuh diri (commited suicide).
b. Dampak bagi pelaku
Hasil studi yang dilakukan National Youth Violence Prevention
Resource Center Sanders (2009) menunjukan bahwa pada umumnya,
para pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri
yang tinggi pula, cenderung bersifat agresif dengan perilaku yang pro
terhadap kekerasan, tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan
impulsif. Para pelaku bullying ini memiliki kebutuhan kuat untuk
mendominasi orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya.
Dengan melakukan bullying, pelaku akan beranggapan bahwa mereka
memiliki kekuasaan terhadap keadaan. Jika dibiarkan terus-menerus
tanpa intervensi, perilaku bullying ini dapat menyebabkan terbentuknya
perilaku lain berupa kekerasan terhadap anak dan perilaku kriminal
lainnya.
Secara umum bullying mengakibatkan dampak-dampak negatif sebagai
berikut:8
1. Gangguan psikologis, misalnya rasa cemas berlebihan, kesepian.
2. Konsep diri sosial korban bullying menjadi lebih negatif karena
korban merasa tidak diterima oleh teman-temannya, selain itu dirinya
juga mempunyai pengalaman gagal yang terus-menerus dalam
membina pertemanan, yaitu di bully oleh teman dekatnya sendiri.
3. Membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah
4. Keinginan untuk bunuh diri
5. Cenderung kurang empatik dan mengarah ke psikotis
6. Pelaku bullying yang kronis akan membawa perilaku itu sampai
dewasa, akan berpengaruh negatif pada kemampuan mereka untuk
membangun dan memelihara hubungan baik dengan orang lain.
7. Korban akan merasa rendah diri, tidak berharga.
8. Gangguan pada kesehatan fisik: sakit kepala, sakit tenggorokan, flu,
batuk- batuk, gatal-gatal, sakit dada, bibir pecah-pecah.

2.6 Cara mencegah Bullying


1. Peran orangtua
Pencegahan agar anak tidak menjadi pelaku bullying, para orangtua
diharapkan mampu untuk mengembangkan kecerdasan emosional anak
sejak dini. Ajarkan anak untuk memiliki rasa empati, menghargai orang
lain dan menyadarkan sang anak bahwa dirinya adalah makhluk sosial
yang membutuhkan orang lain dalam kehidupannya.
Peran orangtua di rumah harus mampu menciptakan komunikasi
yang baik dengan anak-anak dan membekali anak dengan pemahaman
agama yang cukup dan menanamkan akhlakul karimah yang selalu
dilaksanakan di lingkungan rumah, karena anak akan selalu meniru
perilaku orangtua. Pemberian teladan kepada anak akan lebih baik dari
memberi nasihat.10
2. Peran guru
Dengan dilaksanakannya bimbingan dan konseling di sekolah
diharapkan para guru mampu mencapai:10
1) Pengembangan keharmonisan di dalam melaksanakan proses belajar
mengajar.
2) Keselarasan kerjasama dengan para siswa, terutama dengan mereka
yang memiliki masalah pribadi.
3) Kerjasama yang lebih intensif dengan orangtua siswa dan
masyarakat luas pada umumnya.
3. Putus mata rantai pelaku dan budaya bullying
Biasanya budaya bullying diwariskan dengan sistem kaderisasi
yang kuat, motivasi senioritas adalah faktor yang terkuatnya. Untuk
menghindari gejala tersebut sebaiknya bimbinglah para remaja dengan
cara mengadakan kegiatan bersama antara generasi tersebut maupun
alumninya dan buatlah suatu ikatan supaya terbentuk jalinan.
Persaudaraan yang akan melahirkan kesadaran bahwa senior harus
membimbing dan para junior harus menghormati seniornya.10
BAB III
KESIMPULAN

Bullying adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-


ulang, dilakukan dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti
orang lain secara fisik maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau
kelompok anak dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari
pihak-pihak yang terlibat. Bullying memiliki berbagai macam bentuk baik secara
fisik maupun non fisik. Ada 4 tipe bullying yaitu fisik, emotional bullying, verbal
bullying dan cyber bullying.
Berbagai macam faktor penyebab terjadinya bullying. Salah satu faktor
penyebab adalah dari faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor kelompok sebaya.
Keluarga merupakan peranan yang sangat penting dalam pendidikan dan tumbuh
kembang anak. Faktor sekolah dan faktor teman sebaya juga ikut berperan,
sebagai tempat anak untuk belajar bersosialisasi dengan lingkungan. Pencegahan
bullying dilakukan oleh semua pihak dan dilakukan secara continue. Memutus
mata rantai merupakan salah satu faktor penting dalam pencegahan bullying yang
bisa dilakukan mulai dari diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
1. Yusuf, S. dan Nurihsan, J. (2008). Teori Kepribadian. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya
2. Widayanti, C.G.S. (2009). Fenomena Bullying di sekolah Negeri
Semarang: Sebuah study kualitatif. Jurnal Psikologi Undip. Vol
5.Nomor 2. Desember 2009.
3. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (2017), KPAI : KPAI Terima Aduan
26 Ribu Kasus Bully Selama 2011-2017, diakses pada tanggal 27 Januari
2017 dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-terima-aduan-26-ribu-kasus-
bully-selama-2011-2017/
4. Sejiwa. (2008). Bullying: Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan
Lingkungan Sekitar Anak. Jakarta: Grasindo.
5. Republik Indonesia. 1992. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang
Perlindungan Anak. Lembaran Negara RI Tahun 1992, No. 115.
Sekretariat Negara. Jakarta.
6. Gorea RK. Bullying in schools: epidemiology and prevention.Int J Eth
Trauma Victimology 2016; 2(2):6-9
7. Dan Olweus, “In the handbook of bullying in Schools: An international
perspective”, Pp. 9-33. Edited by Jimerson, S. R., Swearer, S. M., and
Espelage, D. L. New York: Routledge, (2010), hal. 11.
8. Coloroso, B. (2007). Stop Bullying. Jakarta: Penerbit Serambi Ilmu
Semesta
9. Soori H, M Rezapour, S Khodakarim. Epidemiological pattern of bullying
among school children in mazandaran province iran. J Child Adolesc
Behav. 2014; 2(3):1-5
10. Astuti, P.R. (2008). Meredam Bullying: 3 Cara Efektif Mengatasi
Kekerasan Pada Anak. Jakarta: Grasindo.
11. Lestari WS. Analisis faktor-faktor penyebab bullying di kalangan peserta
didik. Science Education Journal. 2016; 3(2): 147-157
12. Surilena. Perilaku bullying (perundungan) pada anak dan remaja. CDK.
2016;43(1):35-8

You might also like