Professional Documents
Culture Documents
discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/283614782
CITATIONS READS
0 1,724
1 author:
Rusdin Tahir
Universitas Padjadjaran
19 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Rusdin Tahir on 09 November 2015.
ABSTRAK
Terjadinya kredit macet dan rendahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri serta
rasa ketakutan pada pihak pemilik perusahaan akan datangnya produk asing ke pasar dalam
negeri merupakan suatu indikasi bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia tidak siap bersaing di
pasar global (Syakhroza, 2000). Untuk itu tampaknya diperlukan upaya yang terpadu untuk
mengupayakan peningkatan daya saing nasional dimana dalam hal ini upaya tersebut melibatkan
pemerintah dan pengusaha secara bersama. Upaya peningkatkan daya saing berdasarkan
perspektif good governance (GG), good corporate governance (GCG), Balanced Scorecard (BSC)
dan etika bisnis merupakan konsep yang dinilai relevan dalam dinamika pengukuran kinerja di
Indonesia seiring dengan upaya pemerintah untuk memacu kinerja perusahaan baik perusahaan
milik pemerintah (BUMN), perusahaan publik maupun perusahaan swasta nasional (BUMS).
Dalam GG,GCG, BSC dan Etika bisnis seluruh sumber daya yang dimiliki menjadi tolok ukur
penting dalam menilai kinerja organisasi dengan berlandaskan moral yang kuat yaitu diawali
dengan keinginan untuk mengindahkan nilai etis dalam berbisnis.
PENDAHULUAN
Perdagangan dan investasi bebas di Asia Pasific pada tahun 2020, era
globalisasi dan informasi di samping merupakan peluang bagi Indonesia untuk berperan
aktif dalam bisnis internasional, juga merupakan tantangan bagi perekonomian nasional.
Persepsi mengenai tantangan tersebut berangkat dari kondisi perekonomian nasional
yang menunjukkan kemajuan berarti, akan tetapi belum cukup kuat menghadapi
persaingan internasional (Firdausy, 1996).
Indikasi mengenai lemahnya daya saing komoditas Indonesia sampai dengan
tahun 1995 antara lain dapat dikaji dari perbandingan antara komoditas yang layak
bersaing dengan yang tidak layak bersaing. Sampai dengan tahun 1995 komoditas yang
layak bersaing di pasar Internasional hanya 18,73%.
Dari sisi sumber daya manusia Indonesia menempati peringkat ke 105 dalam
Human Development Index (HDI) sedangkan negara-negara ASEAN lain seperti Filiphina
Good Corporate… 64
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
urutan ke-77; Thailand ke-67; Malaysia ke-56; Brunai ke-25; Singapura ke- 22 (Tilaar,
2000). Kondisi tersebut menggambarkan bahwa di tingkat regional tingkat pembangunan
manusia Indonesia belum menggembirakan.
Di sektor industri, selama ini kecenderungan industri di Indonesia dalam
melakukan impor bahan baku (BB) dan bahan penolong (BP) memperlihatkan biaya
impor yang dikeluarkan oleh industri makanan dan minuman utama untuk pengadaan BB
dan BP antara 1991 -1997 berkisar $ US 598,90 - $ US 1.656,60 juta. Demikian pula
yang terjadi pada industri utama, nilai impor bahan baku antara 1991 - 1997 berkisar $
US 1,482 - US $ 2.400 juta (BPS, 1998).
Di samping BB dan BP, Barang Modal (BM) bagi industri di Indonesia juga
masih impor, baik itu barang modal non alat angkut maupun alat angkut untuk industri
dan mobil penumpang. Untuk alat angkut industri nilai impornya antara tahun 1991-1997
berkisar US $ 503-US $ 800 juta. Impor BM ini tentu saja memberikan pengaruh terhadap
harga jual, kemampuan distribusi dan lain sebagainya (BPS, 1998).
Tingginya nilai BB dan BP akibat impor akan menyebabkan perusahaan tidak
dapat bersaing secara optimal, karena perusahaan sulit untuk menentukan harga jual
yang rendah dan kompetitif. Jika dibandingkan dengan kemampuan ekspor industri dan
impor BB serta BP antara tahun 1991-2000 terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Perbandingan Nilai Ekspor dan Impor Bahan Baku, Bahan Penolong serta Barang Modal ( US $ 1.000.000)
Nilai
Tahun Ekspor Impor
Bahan Baku & Barang Modal Jumlah
Penolong
1991 15.067,50 17.233,80 7.676,60 24.910,4
1992 19.613,10 18.700,00 7.366,80 26.066,8
1993 22.994,10 20.034,80 7.146,90 27.181,7
1994 25.702,10 23.133,60 7.419,70 30.553,3
1995 29.328,20 29.586,60 8.691,70 38.278,3
1996 32.124,80 30.469,70 9.652,90 40.122,6
1997 34.985,20 30.229,50 9.652,90 39.882,4
1998 48.847,60 19.611,80 5.807,40 25.419.20
1999 48.665,40 18.475,00 3.060,00 21.535.00
2000 62.124,00 26.018,70 4.777,40 30.796.10
Jumlah 339452,00 304.745.80
Sumber: BPS, Mei 2001 (diolah kembali)
*)
Dosen Tetap STIE INABA
Good Corporate… 65
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Dari Tabel 1 tersebut dapat diketahui jika secara akumulatif nilai impor untuk
BB, BP dan BM rata-rata 11% lebih besar dari nilai ekspor. Hal tersebut menggambarkan
bahwa produksi dalam negeri masih tergantung pada BB dan BP yang harus diimpor.
Aktivitas impor tersebut tentu memerlukan biaya yang besar, sehingga ini membebani
harga dasar produk. Akibatnya harga produk tidak mampu bersaing, dengan kata lain
daya saing produk menjadi rendah.
Sejauh ini pemerintah “telah melakukan berbagai upaya” untuk meningkatkan
kemampuan perusahaan. Usaha tersebut antara lain mendorong perusahaan terjun ke
pasar modal dan menciptakan akuntabilitas serta transparansi pengelolaan perusahaan,
agar dapat meningkatkan kinerjanya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa meskipun
perusahaan telah terjun ke pasar modal kinerjanya masih jauh dari harapan. Terjadinya
kredit macet dan rendahnya daya saing produk Indonesia di luar negeri serta rasa
ketakutan pada pihak pemilik perusahaan akan datangnya produk asing ke pasar dalam
negeri merupakan suatu indikasi bahwa perusahaan-perusahaan Indonesia tidak siap
bersaing di pasar global (Syakhroza, 2000). Untuk itu tampaknya diperlukan upaya yang
terpadu untuk mengupayakan peningkatan daya saing nasional dimana dalam hal ini
upaya tersebut melibatkan pemerintah dan pengusaha secara bersama.
Melalui makalah ini akan disajikan bagaimana meningkatkan daya saing
berdasarkan perspektif good corporate governance (GCG) dan etika bisnis. Konsep
tersebut dinilai penting dalam dinamika pengukuran kinerja di Indonesia seiring dengan
upaya pemerintah untuk memacu kinerja perusahaan baik perusahaan milik pemerintah
(BUMN), perusahaan publik maupun perusahaan swasta nasional (BUMS).
Good Corporate… 66
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
tergantung pada kewenangan pemerintah semata, berubah menjadi peduli dan memiliki
sense of belonging, sense of responsibility serta sense of participation (Medi Botutihe,
2001).
Konsep Good Governance pada hakekatnya menghendaki seluruh stakeholder
harus baik yaitu: (1) Eksekutif harus baik, (3) Legislatif harus baik, (4) Yudikatif harus
baik, dan (5) Masyarkat/publik harus baik.
Seluruh stakeholder tersebut di atas merupakan satu kesatuan dimana apabila
salah satu dari sub-sistemnya tidak baik/tidak berfungsi maka akan mengakibatkan
keseluruhan sistem akan mengalami kegagalan dalam pencpaian tujuan.
GG merupakan sebuah tata nilai baru, dimana proses perubahannya
membutuhkan sosialisasi yang memerlukan waktu, karena menyangkut perubahan sikap
dan perilaku dari semua pelaku pembangunan. Dengan demikian penerapan GG perlu
peranan dan dukungan dari semua pihak. Penerapan GG bukan hanya menjadi tanggung
jawab pemerintah saja akan tetapi menjadi tanggung jawab seluruh stakeholder baik
Eksekutif, Legislatif, Yudikatif maupun masyarakat/publik secara luas.
Adapun prinsip-prinsip Good Governance adalah sebagai berikut:
Partisipatif, yang bertujuan agar masyarakat mempergunakan haknya
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan (dari perumusan
sampai dengan proses evaluasi) langsung atau tidak langsung.
Dengan Indikator keberhasilan:
Terbentuknya lembaga infokom/meningkatnya akurasi, isi, ketersediaan,
ketepatan wktu informasi dan komunikasi.
Meningkatnya jumlah masyarakat yang hadir dalam public hearing.
Terbentuknya berbagai forum di tingkat Kota dan aktifitasnya.
Meningkatnya kualitas dan kuantitas masukan (saran dan kritik ) untuk
pembangunan kota.
Terbentuknya berbagai kelompok masyarakat
Good Corporate… 67
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Good Corporate… 68
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Good Corporate… 69
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Good Corporate… 70
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Good Corporate… 71
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Dengan kata lain konsep pengukuran GCG lazim dipergunakan oleh Dewan
Komisaris yang berupaya menjaga kepentingan semua pihak.
Pengukuran kinerja berdasarkan konsep GCG didasarkan pada lima prinsip,
yaitu: (1) perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham, (2) persamaan perlakuan
terhadap seluruh pemegang saham, (3) peranan stakeholders yang terkait dengan
perusahaan, (4) keterbukaan dan transparansi dan (5) akuntabilitas dewan komisaris
Good Corporate… 72
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
(Herwidayatmo, 2000; Rusdin, 2000). Implikasi prinsip tersebut diwujudkan dalam ukuran
kinerja seperti pada Tabel 2.
Dengan demikian pengukuran kinerja yang berorientasi pada good corporate
governance dapat dianggap sebagai pengembangan dari pengukuran kinerja
berdasarkan BSC, karena ada beberapa aspek yang belum dikembangkan dalam BSC
dikembangkan melalui konsep GCG.
ETIKA BISNIS
Kegiatan bisnis sering diidentikkan dengan mencari untung yang sebesar-
besarnya. Di Indonesia, para pelaku bisnis memegang prinsip ini, Akibatnya dalam dunia
bisnis segala cara seolah dihalalkan asal mendapat untung. Para pelaku bisnis kadang
kala tidak peduli apakah ada pihak lain yang dirugikan atau menderita karena praktek
bisnis yang dilakukannya. Kecenderungan-kecenderungan tersebut tampak pula di dunia
usaha kita dewasa ini.
Etika dalam banyak hal tampak dikesampingkan, termasuk etika untuk
mematuhi hukum dari aktivitas bisnis yang berhubungan dengan antara lain upah buruh,
pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, ganti rugi tanah, hubungan kreditur
debitur, keterbukaan dalam pasar modal, persaingan dagang yang adil, perlindungan
terhadap pemegang saham minoritas dan sebagainya.
Kebangkitan kesadaran akan perlunya mengindahkan dan berpedoman pada
nilai-nilai etika dalam menjalankan usaha muncul setelah berbagai perusahaan besar
dilanda berbagai skandal dan korupsi. Berawal dari pengalaman tersebut berkembang
berbagai diskusi dan seminar tentang permasalahan etika dalam berbisnis di banyak
negara Eropa dan Amerika Serikat pada akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an
(Sudimin, 1998). Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa berbagai kajian itu
mendorong tumbuhnya aneka lembaga studi yang secara khusus mengembangkan dan
menerbitkan jurnal bidang etika bisnis. Kajian etika bisnis memantapkan
Good Corporate… 73
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
perkembangannya menjadi satu bidang akademis sebagai mata kuliah yang ditawarkan
kepada mahasiswa pada sekolah manajemen dan bisnis.
Pengejawantahan dan penegakan etika bisnis ternyata harus berhadapan
dengan suatu sikap pesimistis, karena realitas masyarakat kita mendorong munculnya
sikap demikian. Kinerja bisnis nasional kita sangat jauh dari kaidah-kaidah moral.
Penerapan bidang tersebut dalam bisnis nasional kita secara umum menimbulkan kesan
tidak diperhatikannya nilai-nilai moral yang hidup dalam masyarakat.
Banyak kendala untuk mewujudkan kinerja bisnis yang etis (bermoral).
Sekurang-kurangnya terdapat tiga kendala: (1) Mentalitas para pelaku bisnis, terutama
top manajer yang secara moral rendah, sehingga berdampak pada seluruh kinerja
bisnis, (2) faktor budaya masyarakat yang cenderung memandang pekerjaan bisnis
sebagai profesi yang penuh dengan tipu muslihat dan keserakahan serta bekerja
mencari untung merupakan pekerjaan yang kotor. Pandangan tersebut memperlihatkan
bahwa masyarakat kita memiliki persepsi yang teliti tentang profesi bisnis sebagaimana
yang terjadi di negara-negara barat sebelum terjadinya revolusi. (3) adalah faktor sistem
politik dan kekuasaan yang diterapkan oleh penguasa dimana menciptakan sistem
ekonomi yang begitu jauh dengan nilai-nilai moral dalam bentuk korupsi, kolusi dan
nepotisme (KKN).
Kehancuran perekonomian nasional kita juga antara lain disebabkan oleh
tindakan-tindakan pengelolaan yang menjauhi prinsip-prinsip moral. Karena
bagaimanapun pelanggaran etika dalam bisnis adalah penghianatan terhadap hati
nurani.
Untuk menunjang bisnis yang etis diperlukan pemahaman tentang kode etik
bisnis. Terdapat dua hal yang perlu diperhatikan sebelum merumuskan kode etik.
Pertama, kode etik harus dirumuskan sendiri oleh para pelaku bisnis, karena merekalah
yang paling berkepentingan untuk mengatur pelaksanaan profesinya. Kedua, adalah
perlunya merumuskan kode etik untuk melaksanakan macam-macam lingkup bisnis.
Maksudnya adalah perlu dirumuskan kode etik untuk kepentingan yang lebih luas,
Good Corporate… 74
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
seperti nasional atau rumpun usaha, dan kode etik untuk masing-masing atau kelompok
perusahaan. Hal ini dimaksudkan agar semua nilai baik yang berlaku umum maupun
yang berlaku khusus yang berkaitan dengan visi dan misi masing-masing perusahaan
dapat terakomodasikan ke dalam kode etik.
Asumsi dasar mengapa bisnis memerlukan kode etik adalah bahwa pekerjaan
bisnis dapat dikategorikan ke dalam kelompok profesi dan bahkan sebagai profesi luhur
(Keraf, 1991). Hal itu dapat didasarkan pada argumentasi bahwa berbisnis adalah
bekerja untuk melayani masyarakat. Matsushita (1990) dengan sangat baik mengatakan
bahwa melayani masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya adalah segala-galanya.
Keuntunangan akan datang dengan sendirinya kalau bisnis melayani masyarakat dengan
baik.
Pada lampiran disajikan satu contoh prinsip-prinsip etika bisnis yang sudah
dirumuskan ke dalam kode etik sederhana. Rumusan ini dikeluarkan oleh sekumpulan
top manajer perusahaan dari Eropa, Amerika Serikat dan Jepang yang disebut dengan
The Caux Round Table (CRT). Kelompok itu bertemu setiap tahun yang dimulai pada
tahun 1986 di kota Caux Swiss untuk membicarakan persoalan-persoalan bisnis global.
Selama 2 tahun memperoses, akhirnya Juli 1994 mereka mendeklarasikan sebuah
Principles for Business. Prinsip-prinsip ini didasarkan pada dua konsep yang berasal
dari timur dan barat, yaitu Kyosei (Jepang) dan Human Dignity (Amerika dan Eropa).
“Kyosei” berarti hidup dan kerjasama untuk kebaikan bersama, sedangkan “Human
Dignity” berarti martabat manusia. Di samping itu, principles for business juga didasarkan
pada the Minnesota Principles dengan sedikit penambahan.
Karena alasan-alasan di atas, dan karena bisnis dapat menjadi kekuatan
perubahan sosial secara positif (a poweful agent of positive social change), etika bisnis
dapat menjadi landasan moral yang menawarkan prinsip-prinsip sebagai suatu dasar
untuk dialog dan bertindak oleh para pemimpin bisnis dalam mewujudkan tanggung
jawab bisnisnya. Pada dasarnya nilai-nilai moral dalam pembuatan keputusan bisnis
Good Corporate… 75
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
tanpa nilai-nilai itu, adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk menciptakan hubungan
bisnis yang stabil dan msyarakat dunia yang berkelanjutan.
PENUTUP
Dalam GCG seluruh sumber daya yang dimiliki menjadi tolok ukur penting dalam
menilai kinerja organisasi. Di sisi lain organisasi yang ingin memiliki keunggulan bersaing
akan selalu memperbaiki proses bisnisnya secara berkelanjutan. Perbaikan proses bisnis
(business process improvement) yang efektif membutuhkan lanasan moral yang kuat
yaitu diawali dengan keinginan untuk mengindahkan nilai etis dalam berbisnis. Sebagai
gambaran adalah yang diuraikan pada model untuk inovasi produk dan proses yang
mengemukakan tentang tiga tahap inovasi proses dan produk: Tahap pertama; inovasi
dirangsang oleh kebutuhan pasar dan kebutuhan untuk meningkatkan kapasitas produksi
sehingga fokusnya adalah pada kinerja produk. Dengan demikian GGG harus menjadi
bingkai yang memiliki semangat GG sehingga dapat berimbas pada organisasi baik
organisasi profit oriented maupun organisasi yang non profit oriented. Masyarakat
berharap bahwa GGG dan GCG pada gilirannya akan berada pada suatu koridor etika
bisnis yang relevan dan menyentuh kebutuhan akan sebuah bangsa yang mampu
berbicara banyak di kancah internasional.
Perlu dicatat bahwa peran perguruan tinggi juga sangat penting dalam
mengembangkan GG, baik di lingkungan perguruan tinggi maupun dalam pengembangan
konsep akademik serta diseminasinya. Perguruan tinggi dalam hal ini bertanggung jawab
untuk mendidik mahasiswa dan generasi baru tentang pentingnya GG. Lebih jauh
perguruan tinggi diharapkan sanggup menjadi fasilitator dalam “public hearing” yang
memberikan kesempatan kepada seluruh stakeholder untuk menyampaikan pendapat.
Good Corporate… 76
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
RUJUKAN
A Sonny Keraf, (1998). Etika Bisnis: Tuntutan dan Relevansinya Yogyakarta: Kanisius.
____, (1996). Pasar bebas, Keadilan dan Peran Pemerintah. Telaah atas Etika
Ekonomi Politik Adam Smith. Yogyakarta: Kanisius.
Badan Pusat Statistik. Indikator Ekonomi. Buletin Statistik Bulanan Juli 2002. Jakarta:
BPS.
Davis, Mark A, Nancy Brown Johnson, and Douglas G. Ohmer, Issue-Contingenr Effect
on Ethical Decision Making: A Cross-Cultural Comparison. Journal of Business
Ethics. Netherland: Kluwer Academic Publisher. 1998: 17, 373-389.
Firdausyi, Carunia Mulya, Perdagangan bebas dalam APEC 2020: Masalah dan
hambatan bagi Indonesia. Kelola: Gajah Mada University Business Review
No.11/VI/1996. pp.93-109
Hamel, Garry & C.K. Prahalad. (1994). Competing for the future. Boston: Harvard
Business School Press.
Hill, Terry (2000). The essence of operations management (terjemahan: Chandrawati
dan Dwi Prabantini) First Edition. Yogyakarta: Andi and Simon and Schuster
(Asia) Ltd.
Horngren, Charles T., George Foster, Srikant M. Datar. (2000). Cost accounting: a
managerial emphasis, 10th edition, englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall
International Inc.
Joseph W. Weiss, (1994). Business Ethics: A Managerial, Staeholders Approach.
Belmont: Wadsworth Pub.Com.
Kaplan, Robert S. & David P. Norton, (1996). Translating strategy into action the
balanced scorecard. Boston: Harvard Business School.
_____., The Startegy Focused Organization: How Balanced Scorecard Companies
thrive in the new Business Environment. Boston, Masschusetts: Harvard
Business School Press.
Matsushita, Konosuke (1991). Etos Bisnis, Etika Manajemen. Jakarta: Mitra Utama.
Manuel G. Velasquez, (1995). Business Ethics: Concepts and Cases
Singapore:Prentice Hall.
Mintzberg, Hendry., Bruce Ahlstrand, and Joseph Lampel, (1998). Strategy safari: A
Guided Tour Trough the Wilds of Strateic Management. New York: The Free
Press.
Paul M. Minus (ed.) (1993). The Ethics of Business in A Global Economy Bston:
Kluwer.
Porter, Michael.E. (1992). Keunggulan bersaing: Menciptakan Keunggulan Bersaing.
(terjemahan: Agus Dharma, Agus Maulana, E. Jasfi, dan Ujian Wahyu
Suprapto). Jakarta:Erlangga.
Ward, Keith, (1996). Strategic management accounting. British-Oxford: Butterworth-
Heinemann.
Good Corporate… 77
Rusdin JIM Vol.2 No.1 Maret 2003
Good Corporate… 78