Professional Documents
Culture Documents
Pengurangan sampah (waste minimization), yang terdiri dari pembatasan terjadinya sampah, guna-
ulang dan daur-ulang
Pemilahan: dalam bentuk pengelompokan dan pemisahan sampah sesuai dengan jenis, jumlah,
dan/atau sifat sampah
Pengumpulan: dalam bentuk pengambilan dan pemindahan sampah dari sumber sampah ke tempat
penampungan sementara atau tempat pengolahan sampah terpadu
Pengangkutan: dalam bentuk membawa sampah dari sumber dan/atau dari tempat penampungan
sampah sementara atau dari tempat pengolahan sampah terpadumenuju ke tempat pemrosesan
akhir
Pemrosesan akhir sampah: dalam bentuk pengembalian sampah dan/atau residu hasil pengolahan
seb elumnya ke media lingkungan secara aman.
Dalam bahasan berikut diuraikan beberapa hal penting yang terkait dalam kegiatan penanganan
sampah dalam sistem pengelolaan sampah kota di Indonesia, khususnya:
Tingkat pengelolaan
Daerah pelayanan
Jenis pelayanan.
Di samping sebagai bagian dari infrastruktur sebuah kota, pengelolaan sampah merupakan salah
satu dari sekian banyak upaya dalam pengelolaan lingkungan. Akan tetapi dalam kenyataan di
lapangan kadangkala terjadi penyimpangan pengelolaan, sehingga timbul ekses yang mengakibatkan
dampak negatif terhadap lingkungan itu sendiri. Kelemahan dalam manajemen dan keterbatasan
biaya operasional ditambah dengan langkanya tenaga profesional dalam penanganan persampahan
merupakan faktor penyebab utama permasalahan tersebut.
Permasalahan yang dihadapi dalam teknis operasional penanganan persampahan kota di antaranya:
Kapasitas peralatan yang belum memadai
Dalam pengelolaan persampahan skala kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders yang
terlibat baik langsung maupun tidak langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai dengan posisinya
masing-maqsing. Dalam skala kota, peran Pemerintah Kota dalam mengelola sampah sangatlah
penting, dan pengelolaan sampah merupakan salah satu tugas utamanya sebagai bentuk pelayanan
yang merupakan bagian dari infrastruktur kota tersebut.
Stakeholders utama yang biasa terdapat dalam pengelolaan sampah di Indonesia antara lain adalah:
Institusi swasta yang terkait secara langsung dengan persoalan sampah, seperti produsen yang
menggunakan pengemas bagi produknya.
Masyarakat atau institusi penghasil sampah yang menggantungkan penanganan sampahnya pada
sistem yang berlaku di sebuah kota
Institusi non-pemerintah yang bergerak dalam pengelolaan sampah, termasuk aktivitas daur – ulang,
seperti swasta, LSM, pengelola real estate, dsb yang aktivitasnya perlu berkoordinasi dengan
pengelola sampah kota
Masyarakat yang bertindak secara individu dalam penanganan sampah, baik secara langsung
maupun tidak langsung, misalnya kelompok pemulung yang memanfaatkan sampah sebagai sumber
penghasil
Pengelolaan oleh swadaya masyarakat: pengelolaan sampah mulai dari sumber sampai ke tempat
pengumpulan, atau ke tempat pemerosesan lainnya. Di kota-kota, pengelolaan ini biasanya
dilaksanakan oleh RT/RW, dengan kegiatan mengumpulkan sampah dari bak sampah di sumber
sampah, misalnya di rumah-rumah, diangkut dengan sarana yang disiapkan sendiri oleh masyarakat,
menuju ke tempat penampungan sementara.
Pengelolaan formal: biasanya dilaksanakan oleh Pemerintah Kota, atau institusi lain termasuk swasta
yang ditunjuk oleh Kota. Pembuangan sampah tahap pertama dilakukan oleh penghasil sampah. Di
daerah pemukiman biasanya kegiatan ini dilaksanakan oleh RT/RW, dimana sampah diangkut dari
bak sampah ke TPS. Tahap berikutnya, sampah dari TPS diangkut ke TPA oleh truk sampah milik
pengelola kota atau institusi yang ditunjuk. Biasanya anggaran suatu kota belum mampu menangani
seluruh sampah yang dihasilkan.
Pengelolaan Informal: terbentuk karena adanya dorongan kebutuhan untuk hidup dari sebagian
masyarakat ,yang secara tidak disadari telah ikut berperan serta dalam penanganann sampah kota.
Sistem informal ini memandang sampah sebagai sumber daya ekonomi melalui kegiatan
pemungutan, pemilahan, dan penjualan sampah untuk didaur-ulang. Rangkaian kegiatan ini
melibatkan pemulung, tukang loak, lapak, bandar, dan industri daur-ulang dalam rangkaian sistem
perdagangan.
Pengelolaan sampah dari sebuah kota adalah sebuah sistem yang kompleks, dan tidak dapat
disejajarkan atau disederhanakan begitu saja, misalnya dengan penanganan sampah daerah
pedesaan. Demikian pula keberhasilan upaya- u paya sektor informal saat ini tidak dapat begitu saja
diaplikasikan dalam menggantikan sistem formal yang selama ini ada. Dibutuhkan waktu yang lama
karena menyangkut juga perubahan perilaku masyarakat serta kemauan semua fihak untuk
menerapkannya.
Berdasarkan arus pergerakan sampah sejak dari sumber hingga menuju ke pemrosesan atau akhir,
penanganan sampah di suatu kota di Indonesia dapat dibagi dalam 3 kelompok utama tingkat
pengelolaan, yaitu:
Sangat tergantung pada karakter, kebiasaan dan cara pandang penghasil sampah
Dapat berbentuk individu atau kelompok individu atau dalam bentuk institusi misalnya kantor, hotel,
dsb
Dapat berkarakter homogen, seperti dari sebuah rumah tinggal, atau bersifat heterogen, seperti
pejalan kaki di keramaian, pedagang kaki lima di tempat-tempat umum
Keberhasilan upaya-upaya dalam penanganan sampah sangat tergatung pada tingkat kesadaran
masing-masing individu.
Pada level ini peran serta masyakat sebagai penghasil sampah sangatlah dominan, sehingga
pendekatan penanganan sampah yang berbasiskan masyarakat penghasil sampah merupakan dasar
dalam strategi pengelolaan sampah.
Penanganan sampah hendaknya tidak lagi hanya bertumpu pada aktivitas pengumpulan,
pengangkutan dan pembuangan sampah
Penanganan sampah di tingkat sumber diharapkan dapat menerapkan upaya minimisasi yaitu
dengan cara 3R
Minimasi sampah hendaknya dilakukan sejak sampah belum terbentuk yaitu dengan menghemat
penggunaan bahan, membatasi konsumsi sesuai kebutuhan, memilih bahan yang mengandung
sedikit sampah, dsb
Upaya memanfaatkan sampah dilakukan dengan menggunakan kembali sampah sesuai fungsinya
seperti halnya pada penggunaan botol minuman atau kemasan lainnya. Upaya mendaur ulang
sampah dapat dilakukan dengan memilah sampah menurut jenisnya
Pengomposan sampah, misalnya dengan composter, diharapkan dapat diterapkan di sumber (rumah
tangga, kantor, sekolah, dll) yang secara signifikan akan megurangi sampah pada tingkat berikutnya.
Penanganan sampah tingkat kawasan merupakan kegiatan penanganan secara komunal untuk
melayani sebagian atau keseluruhan sampah yang ada dalam area dimana pengelola kawasan
berada. Beberapa ciri penanganan sampah tingkat kawasan:
Ciri sampah di tingkat ini adalah bersifat heterogen, sampah berasal dari sumber-sumber yang
berbeda
Dalam level ini akan bertemu dan saling berinteraksi stakeholders yang berasal dari tingkat sumber
dengan tingkat kota
Keberhasilan upaya dalam penanganan sampah skala ini sangat tergatung pada level kesadaran
kelompok pembentuk tingkat kawasan, misalnya RT, RW, Kelurahan, atau lainnya. Oleh karena
kelompok ini terdiri dari individu-individu yang mungkin mempunyai pemahaman berbeda tentang
persampahan, maka peran organisasi pengelola serta dukungan inisiator dan atau stakeholders
penentu lainnya, seperti Ketua RT, Ketua RW, Lurah, atau LSM yang mengorganisir pengelolaan
sampah pada tingkat ini sangat penting
Peran serta masyarakat seperti yang diharapkan terjadi pada tingkat sumber, pada tingkat kawasan
akan relatif lebih sulit dibangun
Peran aktif pengelola kota sangat menentukan, agar sistem pengelolaan tingkat kawasan ini tetap
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam sistem pengelolaan sampah kota secara
menyeluruh.
Pengelolaan sampah tingkat kawasan harus mendorong peningkatan upaya minimisasi sampah
untuk mengurangi beban pada pengelolaan tingkat kota, khususnya yang akan diangkut ke TPA
Pengelolaan sampah kawasan harus mampu melayani masyarakat yang berada dalam daerah
pelayanan yang telah ditentukan
Lokasi pengumpulan sementara (TPS) dapat difungsikan sebagai pusat pengolahan sampah tingkat
kawasan, atau sebaliknya, yang berfungsi untuk pemindahan, daur ulang, atau penanganan sampah
lainnya dari daerah yang bersangkutan
Sampah basah, yang akan digunakan misalnya sebagai bahan baku kompos
oSampah berbahaya rumah tangga, yang selanjutnya akan dikelola sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Insinerator skala kecil tidak direkomendasi karena biasanya belum sesuai dengan kondisi sampah
yang memiliki kandungan organik tinggi (> 60 %), kadar air tinggi (>60 %) dan nilai kalor rendah (<
1200 kkal/kg), karena akan menyebabkan tinginya konsumsi bahan bakartambahan serta
menimbulkan pencemaran udara akibat tidak tersedianya fasilitas penanggulangan pencemaran
yang memadai.
Bila dikelola langsung oleh Pemerinta Daerah, maka bentuk pengelolaan dapat berupa Perusahaan
Daerah, Dinas, Unit Pelayanan Teknis (UPTD) atau sebagai Seksi dari sebuah Dinas.
Terdapat kemungkinan bahwa pengelolaan tersebut dilaksanakan oleh fihak luar atau swasta, baik
keseluruhan pelayanan, maupun sebagian dari pelayanan, dengan kontrol kualitas pelayanan tetap
dibawah kendali Pemerinta Daerah
Ciri khas dari level ini adalah bagaimana memperlihatkan agar kota itu terlihat bersih, sehingga area
yang merupakan wajah sebuah kota akan lebih diprioritaskan pelayanannya.
Sumber sampah dari kegiatan kota yang dianggap khusus, seperti jalan protokol, taman kota,
instansi penting, pusat perdagangan, dan sejenisnya dapat dilayani dengan sistem langsung (door -
to-door), dimana sampah langsung dikumpulkan dan diangkut oleh truk sampah ke tempat
pemrosesan akhir
Prinsip pengolahan dan daur -ulang sampah adalah mengedepankan pemanfaatan sampah sebagai
sumber daya sehingga sampah yang harus dibuang ke TPA menjadi lebih sedikit
Keberhasilan upaya pengolahan dan daur- ulang sangat tergantung pada adanya pemilahan sampah
mulai dari sumber, pada wadah komunal, pada sarana pengumpul dan pengangkut, sehingga
sampah yang akan diangkut ke lokasi pengolahan telah terpilah sesuai jenis atau komposisinya
Walaupun terdapat kemungkinan mendapatkan nilai tambah dari hasil penjualan produk
pengolahan atau daur-ulang, namun dasar pemikiran pengolahan dan daur -ulang sampah
hendaknya didasarkan atas pendekatan non-profit – center . Upaya tersebut bertujuan untuk
mengurangi sampah yang akan diurug di landfill
Sarana di tingkat kawasan atau TPS dapat berfungsi untuk pengumpulan sampah berkatagori B3 dari
kegiatan rumah tangga, untuk ditangani lebih lanjut
Sampah yang telah terpisah di sarana tersebut siap untuk diangkut ke TPA oleh institusi yang
diserahi wewenang untuk pengangkutan sampah
Konsep penanganan sampah di TPA hendaknya bertumpu pada beberapa prinsip, yaitu:
Pada lokasi ini dapat dioperasikan beberapa jenis pengolahan sampah, seperti pengomposan,
biogasifikasi, ataupun insinerasi bila memenuhi syarat
Sarana ini berfungsi pula sebagai tempat penyimpanan sementara bahan berbahaya yang terkumpul
dari kegiatan kota, untuk diangkut ke lokasi pemerosesan yang sesuai
Sarana ini dioperasikan secara bertanggung jawab, sehingga tidak mendatangkan pencemaran
lingkungan, dan tidak mendatangkan permasalahan terhadap kesehatan dan estetika bagi
masyarakat sekitarnya
Tingkat pelayanan:
Tingkat pelayanan merupakan tinjauan kemampuan terhadap pengelola kota untuk menyediakan
pelayanan kebersihan kepada masyarakat, baik secara kuantitas maupun kualitas. Guna menentukan
tingkat pelayanan pengelolaan sampah di kota tersebut, digunakan 2 (dua) indikator utama, yaitu:
Persentase jumlah penduduk kota dan sarana lain yang memperoleh pelayanan dari sistem
Persentase timbulan sampah yang dapat dikelola oleh Pengelola sampah tingkat kota
Dalam merancang sistem pengelolaan sampah, maka persentase pelayanan setiap sumber sampah
perlu ditentukan, yang didasarkan atas kondisi serta kemampuan sistem itu sendiri, misalnya:
Pelayanan bagi lingkungan permukiman saat ini baru mencapai 40%. Maka dalam 5 tahun ke depan
diproyeksikan menjadi 50%, sedang 10 tahun ke depan diproyeksikan menjadi 75%
Pelayanan di daerah jalan protokol, pasar, rumah sakit, hotel, taman kota, perkantoran, dan fasilitas
umum mendapat prioiritas utama, dan misalnya ditargetkan menjadi 100%.
Pengertian penduduk kota yang dilayani biasanya tidak terbatas pada pelayanan dimana penduduk
tersebut bertempat tinggal, tetapi mencakup pula dimana penduduk itu beraktivitas. Pelayanan
tidak terbatas dalam arti hanya menyingkirkan sampah dari lingkungan sumber sampah, dan keluar
dari kota tersebut, tetapi juga mengandung pengertian bahwa pengelolaan sampah mencakup
pelayanan agar sampah yang ditangani tidak mengganggu kesehatan dan lingkungan, khususnya bagi
masyarakat dan lingkungan yang bukan penghasil sampah yang ditangani tersebut.
Kualitas pelayanan:
Kualitas pelayanan meliputi frekuensi pengumpulan dan pengangkutan, dukungan dan kondisi
prasarana/sarana, serta estetika hasil pelayanan. Frekuensi pengumpulan dan pengangkutan akan
terkait dengan sistem pelayanan yang ada serta jenis sampah yang akan dikelola. Sampah basah
sangat dianjurkan untuk diangkut minimum 2 hari sekali, sedangkan sampah kering dapat dilakukan
2 kali seminggu.
Daerah pelayanan:
Daerah pelayanan merupakan daerah yang berada dalam tanggung jawab pengelola sebuah kota,
yang dilayani pengelolaan sampahnya, paling tidak sampah didaerah tersebut diangkut menuju
pengolahan atau pemerosesan akhir. Daerah yang tidak dilayani diharapkan menangani sampahnya
secara tuntas baik secara individu, maupun secara komunal.
Daerah dengan kepadatan rendah dianggap masih memiliki daya dukung lingkungan yang tinggi
sehingga dapat menerapkan pola penanganan sampah setempat yang mandiri
Daerah dengan tingkat kepadatan di atas 50 jiwa/ha perlu mendapatkan pelayanan persampahan
karena penerapan pola penanganan sampah setempat akan berpotensi menimbulkan gangguan
lingkungan.
Prioritas daerah pelayanan dimulai dari daerah pusat kota, daerah komersial, permukiman dengan
kepadatan tinggi, daerah permukiman baru, kawasan strategis atau kawasan andalan
Pengembangan daerah pelayanan diarahkan dengan menerapkan model “rumah tumbuh” yaitu
pengembangan ke wilayah yang berdekatan atau berbatasan langsung dengan wilayah yang telah
mendapat pelayanan.
Jenis pelayanan:
Berdasarkan penentuan skala kepentingan daerah pelayanan, frekuensi pelayanan dapat dibagi
dalam beberapa kondisi sebagai berikut:
Kondisi-1: wilayah dengan pelayanan intensif, adalah daerah di jalan protokol, pusat kota, kawasan
pemukiman tidak teratur, dan daerah komersial
Kondisi-4: wilayah tanpa pelayanan, misalnya karena lokasinya terlalu jauh, dan belum terjangkau
oleh truk pengangkut sampah.
Lebih lanjut, penentuan jenis pelayanan berdasarkan skala kepentingan daerah pelayanan dapat
dilihat pada Tabel 1, yang dilakukan berdasarkan pengembangan tata ruang kota.
Hasil perencanaan daerah pelayanan berupa identifikasi masalah dan potensi yang tergambar dalam
peta-peta sebagai berikut:
Peta problem: minimal menggambarkan kerawanan sampah, tingkat kesulitan pelayanan, kerapatan
timbulan sampah, tata guna lahan, jumlah penduduk, kepadatan rumah/bangunan.
Peta pemecahan masalah : menggambarkan pola yang digunakan, kapasitas perencanaan, meliputi
alat dan personel, jenis sarana dan prasarana, potensi pendapatan jasa pelayanan serta rute dan
penugasan
Jenis pelayanan pengelola sampah dapat dibagi seperti terlihat dalam Tabel 1, yaitu:
Penyapuan jalan
Pengumpulan sampah
Pengangkutan sampah
Penanganan sampah
Keterangan : angka total tertinggi dari skor (bobot nilai) merupakan pelayanan tingkat pertama,
angka-angka berikut di bawahnya merupakan pelayanan selanjutnya.
Pengumpulan sampah
Pemindahan sampah
Pengangkutan sampah
Kegiatan pemilahan dan daur ulang semaksimal mungkin dilakukan sejak dari pewadahan sampah
sampai dengan pembuangan akhir sampah. Teknik operasional pengelolaan sampah perkotaan yang
terdiri atas kegiatan pewadahan sampai dengan pembuangan akhir sampah harus bersifat terpadu
dengan melakukan pemilahan sejak dari sumbernya. Skema teknik operasional pengelolaan
persampahan dapat dilihat pada Gambar 1 berikut.
Gambar 1. Skema teknik operasional pengelolaan sampah [Modifikasi dari Tchobanoglous, 1993]
Pola individual: pada pola ini dilakukan pengumpulan sampah dari rumah ke rumah dengan alat
angkut jarak pendek seperti gerobak atau yang lainnya untuk diangkut ke penampungan sementara.
Pola ini dapat dilakukan juga dengan cara door-to-door menggunakan truk sampah untuk langsung
diangkut ke pengolahan/pembuangan sampah.
Pola komunal: pada pola ini pengumpulan sampah dari beberapa rumah dilakukan pada satu titik
pengumpulan, yang dilakukan langsung oleh penghasil sampah untuk kemudian diangkut ke TPA.
karakteristik masing-masing sampah agar tidak menimbulkan permasalahan, baik dari sudut biaya
operasi maupun keselamatan kerja dan lingkungan.
Subsistem pemindahan menerima sampah yang berasal dari sumber, untuk kemudian diangkut ke
TPA. Dikenal dua pola yaitu sistem yang permanen dan yang dapat diangkut (dipindahkan).
Subsistem pemindahan mempunyai sasaran-sasaran sebagai berikut:
Sebagai peredam tingkat ketergantungan fase pengumpulan dengan fase pengangkutan
Aspek pengangkutan sampah kadang dilupakan dan akan menjadi permasalahan besar apabila
sampah harus diangkut ke luar dari sumber asalnya guna diproses lebih jauh. Hal ini terutama
menyangkut pengamanan selama perjalanannya.
Secara historis, pengelolaan limbah berangkat dari fungsi kerekayasaan. Hal ini terkait dengan
evolusi masyarakat teknologi, yang memanfaatkan kemampuan berproduksi secara massal. Aliran
bahan baku, enersi dan fluida dalam masyarakat modern dan produk ikutannya yang berupa limbah
ditunjukkan dalam Gambar 2 berikut ini.
Pengelolaan sampah pada masyarakat modern bertambah lama bertambah kompleks sejalan
dengan kekomplekan masyarakat itu sendiri. Pengelolaan sampah pada masyarakat modern
membutuhkan keterlibatan beragam teknologi dan beragam disiplin ilmu. Termasuk di dalamnya
teknologi-teknologi yang terkait dengan bagaimana mengontrol timbulan (generation),
pengumpulan (collection), pemindahan (transfer), pengangkutan (transportation), pemerosesan
(processing), pembuangan akhir (final disposal) sampah yang dihasilkan pada masyarakat tersebut.
Pendekatannya tidak lagi sesederhana menghadapi masyarakat non-industri, seperti di perdesaan.
Seluruh proses tersebut hendaknya diselesaikan dalam rangka bagaimana melindungi kesehatan
masyarakat, pelesta rian lingkungan hidup, namun secara estetika dan juga secara ekonomi dapat
diterima.
Beragam pertimbangan perlu dimasukkan, seperti aspek adminsitratif, finansial, legal, arsitektural,
planning, kerekayasaan. Semua disiplin ini diharapkan saling berkomunikasi dan berinteraksi satu
dengan yang lain dalam hubungan interdipliner yang positif agar sebuah pengelolaan persampahan
yang terintegrasi dapat tercapai secara baik.
Pengelolaan sampah terpadu dapat didefinisikan sebagai pemilihan dan penerapan teknik-teknik,
teknologi, dan program-program manajemen yang sesuai, untuk mencapai sasaran dan tujuan yang
spesifik dari pengelolaan sampah. USEPA di Amerika Serikat mengidentifikasi 4 (empat) dasar pilihan
manajemen strategi, yaitu:
Landfilling
Negara Bagian Kalifornia mengartikan konsep integrasi tersebut dengan menerapkan secara
hierarkhi pilihan teknologi tersebut, yaitu :
Transformasi limbah
Landfilling
yang artinya transformasi sampah baru dipertimbangkan bila telah dilakukan upaya-upaya recycling
atau pengomposan sebelumnya, guna mengurangi secara kuantitatif sampah. Gambar 3 merupakan
konsep pengelolaan sampah permukiman secara terintegrasi.
Telah dibahas sebelumnya, bahwa penanganan sampah yang terintegrasi bertujuan untuk
meminimalkan atau mengurangi sampah yang terangkut menuju pemerosesan akhir. Pengelolaan
sampah yang hanya mengandalkan proses kumpul -angkut -buang menyisakan banyak permasalahan
dan kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk pembuangan akhirnya. Daur ulang sampah sudah
menjadi dasar yang diamanatkan oleh UU-18/2008.
Selain dapat mengurangi timbulan sampah yang berasal dari sumbernya sendiri, kegiatan
pemanfaatan kembali khususnya sampah organik ini banyak sekali manfaatnya bagi warga, seperti
diperolehnya usaha sampingan, pembukaan lapangan pekerjaan baru, memperkuat kepedulian
terhadap lingkungan, juga memperkuat peranserta masyarakat. Manfaat lain yang mungkin
dirasakan oleh pemerintah adalah mengurangi subsidi untuk penanganan sampah. Sampai saat ini
timbulan sampah yang dapat ditangani oleh pemerintah daerah belum mencapai 100%. Hal ini
berarti masih terdapat sampah yang tertinggal atau tidak tertangani oleh pemerintah daerah
disebabkan oleh keterbatasan sarana dan prasarana yang ada. Upaya pemanfaatan kembali,
pengolahan dan kampa nye pengurangan sampah terutama sampah non-organik merupakan
alternatif yang sangat positif sebagai kerangka untuk menjawab permasalahan persampahan
tersebut. Sektor informal yang berkecimpung dalam masalah pendaurulangan barang-barang bekas
atau sampah memiliki potensi dalam pengurangan sampah khususnya sampah non-organik yang ada
di perkotaan.
Sektor informal yang selama ini telah aktif dalam upaya daur-ulang sampah kota yaitu pemulung,
bos lapak dan bandar perlu diintegrasikan dalam sistem pengelolaan sampah kota yang berpusat
pada sarana pengelolaan sampah tersebut. Program daur-ulang pada dasarnya tidak hanya
dilakukan di sumber-sumber timbulan sampah, akan tetapi juga diterapkan di tempat transit sampah
(TPS) yang dapat disebut sebagai pengolahan skala kawasan, atau dalam lokasi
pengolahan/pembuangan akhir. Penerapan program daur-ulang dan proses pengolahannya di
tempat pengolahan/pembuangan akhir, dikenal dengan konsep Pengolahan Sampah Terpadu.
Konsep ini prinsipnya menyatukan secara terpadu kegiatan pembuangan akhir dengan kegiatan
proses pemilahan, daur ulang, dan komposting, dan upaya lainnya agar sampah yang akan diurug
menjadi lebih sedikit. PPT dan PPLH ITB pada tahun 1980-an telah memperkenalkan dan menguji-
coba konsep ini sebagai Kawasan Industri Sampah (KIS).
Salah satu skenario kegiatan dan proses dari pengolahan sampah terpadu ini dapat dilihat pada
Gambar 4 berikut. Dengan pengembangan sistem pengolahan sampah terpadu ini, fungsi dari
tempat pembuangan akhir sampah pada beberapa tahun mendatang dapat menjadi tidak dominan
karena kapasitas sampah yang akan diurug lebih kecil daripada sampah yang dapat diolah atau
dimanfaatkan lagi, hal ini seiring dengan tahap pengembangan pengelolaan persampahan yang
semakin meningkat.
Dengan terbatasnya lahan untuk pemerosesan, serta makin banyaknya permasalahan yang dihadapi
oleh sebuah kota, maka idea pengelolaan sampah bersama dari daerah yang saling berdekatan atau
beskala regional, makin banyak mendapat perhatian di Indonesia. Konsep pertama yang muncul
adalah berasal dari Denpasar dan sekitarnya, dengan konsep pengelolaan sampah bersama antara
Kota DenpaSAR, Kabupaten BAdung, Kabupaten GIanyar dan Kabupaten TAbanan atau SARBAGITA.
Berdasarkan Peraturan Bersama antara Pemerintah Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten
Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, nomor 660.2/2868/Sekret; nomor 840.B tahun 2000; nomor
658.1/3367/Ek; nomor 390.B tahun 2000 tanggal 24 Juli 2000, tentang Pokok-Pokok Kerjasama
Pemerintahan, Pembangunan, dan Kemasyarakatan dalam Pengelolaan Sampah antara Pemerintah
Kota Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Tabanan, ditetapkan 4
(empat) program pokok atau disebut program strategis yang mencakup:
Pembentukkan wadah kerjasama dalam suatu badan pengelola kebersihan Bali Bagian Selatan
Pembentukan Peraturan Pemerintah (Perda) yang mendukung pengelolaan sampah, seperti tarif,
organisasi, pengawasan, perencanaan, dan lain-lain.
Untuk meningkatkan kondisi lingkungan hidup daerah dan perkotaan di Propinsi Bali, khususnya di
Bali Selatan yang mengalami pertumbuhan urbanisasi yang sangat pesat, Pemerintah Pusat
mendapat bantuan dari Bank Dunia (IBRD) melalui Program Bali Urban Infrastructure Project (BUIP)-
P3 KT , yang di dalam pelaksanaannya khusus menyangkut persampahan ditangani oleh Proyek
Pengelolaan Sampah di Bali (Solid Waste Menagement in Bali) mulai Tahun Anggaran 1997/1998
sampai dengan 2001/2002. Restrukturisasi pembentukan institusi pengelolaan persampahan di Bali
Selatan, yang kemudian disebut Sarbagita, telah disepakati melalui Surat Keputusan Bersama (SKB)
tanggal 16 April 2001 di antara keempat Pemerintah Daerah/Kota Sarbagita. Institusi atau badan
yang telah disepakati untuk dibentuk adalah : Badan Pengatur dan Pengendalian Kebersihan
Sarbagita (BPPKS), Badan Pengelola Kebersihan Sarbagita (BPKS), dan Badan Pengawas Pengelolaan
Kebersihan Sarbagita (BP2KS). Institusi atau badan tersebut mempunyai fungsi dan tugas pokok
masing-masing yang sudah ditetapkan melalui Keputusan Bersama Pemerintah Daerah/Kota.
Konsep yang sama dicoba dikembangkan di Jakarta dan sekitarnya, yaitu pengelolaan sampah
bersama, khususnya dalam pengadaan TPA, bagi kotaJAkarta, BOgor, DEpok, TAngerang dan BEKas,
atau JABODETABEK. Namun upaya yang mendapat dukungan dari Pemerintah pusat tersebut,
sampai saat ini belum terlihat realisasinya. Terdapat perbedaan persepsi dan kepentingan diantara
kota dan kabupaten yang terlibat di dalamnya. Konsep sejenis berjalan cukup baik di Yoyakarta, yaitu
antara Daerah Istimewa YogyaKARTA, Kabupaten SleMAN dan dan Kabuoaten BanTUL, atau
KARTAMANTUL. Hal yang sama dirintis di tempat lain, seperti di metropolitan Makassar, Gorontalo
dsb. Sedang Bandung Raya menampilkan idea pengelolaan sampah bersama antara Garut, Kota
Bandung, Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota Cimahi yang telah dirintis sejak tahun 2004.
Sumber:
Enri Damanhuri – Tri Padmi: Program Studi Teknik Lingkungan FTSL ITB
Advertisements
Report this ad
Report this ad
Share this:
Facebook3TwitterGoogle
In "Limbah"
In "Limbah"
Pengelolaan sampah di Indonesia
In "Limbah"
PREVIOUS ARTICLE
NEXT ARTICLE
DWI HERY
lam kenal dari saya, kebetulan kami sedang ingin study tentang 4R di jakarta dan tempat lain,
mungkin bapak punya referensi daerah percontohannya..?
dwi Hery
pekerja tambang
Reply
IPEH
Reply
RIRI
Reply
Leave a Reply
PENGUNJUNG
3,791,308 hits
Advertisements
Report this ad