Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1
Suatu studi laboratorium dermatologi di Bangladesh menemukan bahwa dari
601 orang yang menderita infeksi jamur superfisial, ditemukan bahwa tinea korporis
adalah infeksi terbanyak pada yang berusia 15-64 tahun sekitar 91 orang (25,49%)
dan sebagian kecil diantaranya adalah anak - anak sebanyak 24 orang (13,33%).2
Di Kroasia dilaporkan prevalensi dermatofitosis 26% pada tahun 1986 dan
meningkat menjadi 73% pada tahun 2001. Tinea pedis dan tinea korporis merupakan
dermatofitosis yang terbanyak ditemukan.3
Di Malaysia didapatkan prevalensi tinea korporis sebesar 30,63% dari 180
pasien yang datang ke Klinik Kulit RS Queen Elizabeth pada tahun 2007-2009. Di
Filipina dengan menggunakan rekam medik suatu institusi kesehatan penyakit tropis,
insidensi tinea korporis menduduki urutan kedua sebanyak 22,63% setelah Pityriasis
versicolor 25,34% sepanjang tahun 2000-2003. 4
Di Kimitsu Chuo Hospital, Tokyo, Jepang, kasus tinea korporis adalah sebesar
11,9%. insidensi ini menduduki urutan ketiga setelah tinea pedis (64,2%), diikuti
tinea unguium (14,6%).2
Kondisi geografis Indonesia merupakan daerah tropis dengan suhu dan
kelembaban yang tinggi akan memudahkan tumbuhnya jamur sehingga infeksi oleh
karena jamur di Indonesia banyak ditemukan.3
Di Indonesia angka yang akurat mengenai insidensi mikosis superfisialis
belum ada. Insidensi di berbagai rumah sakit pendidikan di Indonesia tahun 1998
bervariasi dari yang terendah 2,93% (Semarang) hingga yang tertinggi 27,6%
(Padang) (Adiguna,2001). Di Indonesia dermatofitosis menempati urutan kedua
setelah Pityriasis versicolor.3
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 27 Februari 2017,
pukul 11.00 WIB bertempat di poliklinik kulit dan kelamin RSUD Dr. Adhyatma
MPH Tugurejo Semarang.
a. Keluhan Utama
Gatal di dada
3
c. Riwayat Penyakit Dahulu :
Penderita tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi, asma dan diabetes mellitus
disangkal penderita.
d. Riwayat Keluarga :
Menurut pengakuan pasien di keluarga tidak ada yang mengalami hal serupa.
e. Riwayat Alergi :
Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan maupun obat.
1. Tanda Vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Suhu : 36,8 0 C
2. Kepala
Kepala : Mesosefal, turgor dahi cukup, jejas (-)
4
Hidung : discharge (-/-)
3. Thorax
Thorax : bentuk dada normal, jejas (-)
5
5. Ekstremitas
Superior Inferior
6
7
2.4 Resume
Pasien Ny. K datang ke poliklinik RSUD Tugurejo dengan keluhan gatal di
dada kanan dan kiri sejak 1 bulan yang lalu, gatal dirasakan muncul tiba-tiba,
gatalnya bertambah berat saat pasien berkeringat, kadang gatal juga disertai rasa
panas, Karena tidak tahan pasien sering menggaruknya. Pada awalnya di sekitar
payudara kanan dan kiri muncul bercak-bercak merah kecil. Kemudian semakin
lama bercak tersebut semakin meluas, terutama bercak yang terletak di lipatan
payudara, terdapat juga bintil-bintil kecil di sekeliling area bercak-bercak
tersebut. Status dermatologis ditemukan lesi pada regio thoraks anterior terdapat
makula hiperpigmentasi, tidak teratur, batas tegas, bagian tepi tampak multiple
papul, dan tampak central clearing.
2.9 Penatalaksanaan
1) Non medikamentosa
Menjelaskan kepada pasien mengenai penyakit tersebut
Konseling
Meningkatkan kebersihan badan dan mengganti baju setelah berkeringat.
8
Mengurangi kelembaban dari tubuh pasien dengan menghindari pakaian yang
panas dan tidak menyerap keringat
Tidak bertukar handuk dengan anggota keluarga lainnya
2) Medika mentosa
a. Sistemik (oral) :
1) Itrakonazol tablet 100 mg diminum 2 kali sehari 1 tablet selama 7 hari.
2) Cetirizine 1 x10 mg tablet per hari selama 7 hari jika gatal
b. Topikal
Pemberian Ketokonazol 200 mg dan Asam salisilat 5% salep oles
2x sehari untuk dada
2.10 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad fungtionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
Quo ad kosmetikum : Dubia ad bonam
9
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Definisi
Tinea korporis adalah dermatofitosis pada kulit yang tidak berambut
(glabrous skin) kecuali telapak tangan, telapak kaki, dan lipat paha.5
Dermatofitosis adalah infeksi jamur yang disebabkan oleh jamur
dermatofita yaitu Epidermophyton, Mycrosporum dan Trycophyton. Terdapat
lebih dari 40 spesies dermatofita yang berbeda, yang menginfeksi kulit dan salah
satu penyakit yang disebabkan jamur golongan dermatofita adalah tinea
korporis.6
Dermatofitosis (Tinea) adalah infeksi jamur dermatofit (species
microsporum, trichophyton, dan epidermophyton) yang menyerang epidermis
bagian superfisial (stratum korneum), kuku dan rambut. Microsporum
menyerang rambut dan kulit. Trichophyton menyerang rambut, kulit dan kuku.
Epidermophyton menyerang kulit dan jarang kuku.7
3.2 Etiologi
Dermatofitosis disebabkan oleh jamur golongan dermatofita yang teridiri
dari tiga genus, yaitu genus Microsporum, Trichophyton, dan Epidermofiton.
Dari 41 spesies dermatofita yang sudah dikenal hanya 23 spesies yang dapat
menyebabkan penyakit pada manusia dan binatang, yang terdiri dari 15 spesies
Trichophyton, 7 spesies Microsporum dan satu spesies Epidermofiton. Selain
sifat keratinofilik, setiap spesies dermatofita mempunyai afinitas terhadap hospes
tertentu. Dermatofita yang zoofilik terutama menyerang binatang, dan kadang-
kadang menyerang manusia, misalnya Microsporum canis dan Trichophyton
verrucosum. Dermatofita yang geofilik adalah jamur yang hidup di tanah dan
dapat menimbulkan radang yang moderat pada manusia, misalnya Microsporum
gypseum.8
10
Golongan jamur ini dapat menyebabkan perjalanan penyakit menjadi
menahun dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat ringan. Contoh
jamur yang antropofilik ialah Microsporum audouinii dan Trichophyton rubrum.8
11
Tabel 2 Karakteristik Dermatofit terbanyak16
12
3.3 Epidemiologi
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20 - 25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi
kulit tersering.10,11
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang dapat menyerang semua ras dan
kelompok umur sehingga infeksi jamur superfisial ini relatif sering terkena pada
negara tropis (iklim panas dan kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi
eksaserbasi.3,12
13
Penyebab tinea korporis berbeda - beda di setiap negara, seperti di Amerika
Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum, Trycophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika
penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton
rubrum, sementara di Asia penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum,
Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton violaceum13.
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta adalah
T. rubrum 57,6%, E. floccosum 17,5%, M. canis 9,2%, T.mentagrophytes var.
granulare 9,0%, M. gypseum 3,2%, T. concentricum 0,5%12
Di RSU Adam malik/Dokter Pirngadi Medan spesies jamur penyebab
adalah dermatofita yaitu: T.rubrum 43%, E.floccosum 12,1%, T.mentagrophytes
4,4%, dan M.canis 2%, serta nondermatofita 18,5%, ragi 19,1% (C. albicans
17,3%, Candida lain 1,8%).14
3.5 Patogenesis
Elemen kecil dari jamur disebut hifa, berupa benang - benang filament
terdiri dari sel - sel yang mempunyai dinding. Dinding sel jamur merupakan
karakteristik utama yang membedakan jamur, karena banyak mengandung
14
substrat nitrogen disebut dengan chitin. Struktur bagian dalam (organela) terdiri
dari nukleus, mitokondria, ribosom, retikulum endoplasma, lisosom, apparatus
golgi dan sentriol dengan fungsi dan peranannya masing - masing. Benang-
benang hifa bila bercabang dan membentuk anyaman disebut miselium.16
Dermatofita berkembang biak dengan cara fragmentasi atau membentuk
spora, baik seksual maupun aseksual. Spora adalah suatu alat reproduksi yang
dibentuk hifa, besarnya antara 1-3μ, biasanya bentuknya bulat, segi empat,
kerucut atau lonjong. Spora dalam pertumbuhannya makin lama makin besar dan
memanjang membentuk hifa. terdapat 2 macam spora yaitu spora seksual
(gabungan dari dua hifa) dan spora aseksual (dibentuk oleh hifa tanpa
penggabungan).17
Infeksi Dermatofita diawali dengan perlekatan jamur atau elemen jamur
yang dapat tumbuh dan berkembang pada stratum korneum. Pada saat perlekatan,
jamur dermatofita harus tahan terhadap rintangan seperti sinar ultraviolet, variasi
temperatur dan kelembaban, kompetensi dengan flora normal, spingosin dan
asam lemak. Kerusakan stratum korneum, tempat yang tertutup dan maserasi
memudahkan masuknya jamur ke epidermis.18,19
15
Masuknya dermatofita ke epidermis menyebabkan respon imun pejamu
baik respon imun nonspesifik maupun respon imun spesifik. Respon imun
nonspesifik merupakan pertahanan lini pertama melawan infeksi jamur.
Mekanisme ini dapat dipengaruhi faktor umum, seperti gizi, keadaan hormonal,
usia, dan faktor khusus seperti penghalang mekanik dari kulit dan mukosa,
sekresi permukaan dan respons radang. Respons radang merupakan mekanisme
pertahanan nonspesifik terpenting yang dirangsang oleh penetrasi elemen jamur.
Terdapat 2 unsur reaksi radang, yaitu pertama produksi sejumlah komponen
kimia yang larut dan bersifat toksik terhadap invasi organisme. Komponen kimia
ini antara lain ialah lisozim,sitokin,interferon,komplemen, dan protein fase akut.
Unsur kedua merupakan elemen seluler,seperti netrofil, dan makrofag, dengan
fungsi utama fagositosis, mencerna, dan merusak partikel asing. Makrofag juga
terlibat dalam respons imun yang spesifik. Sel-sel lain yang termasuk respons
radang nonspesifik ialah basophil, sel mast, eosinophil, trombosit dan sel NK
(natural killer). Neutrofil mempunyai peranan utama dalam pertahanan melawan
infeksi jamur.20
Imunitas spesifik membentuk lini kedua pertahanan melawan jamur
setelah jamur mengalahkan pertahanan nonspesifik. Limfosit T dan limfosit B
merupakan sel yang berperan penting pada pertahanan tubuh spesifik. Sel-sel ini
mempunyai mekanisme termasuk pengenalan dan mengingat organism asing,
sehingga terjadi amplifikasi dari kerja dan kemampuannya untuk merspons
secara cepat terhadap adanya presentasi dengan memproduksi antibodi,
sedangkan limfosit T berperan dalam respons seluler terhadap infeksi. Imunitas
seluler sangat penting pada infeksi jamur. Kedua mekanisme ini dicetuskan oleh
adanya kontak antara limfosit dengan antigen 20
16
pinggir ditemukan lesi yang aktif yang ditandai dengan eritema, adanya papul
atau vesikel, sedangkan pada bagian tengah lesi relatif lebih tenang. Tinea
korporis yang menahun, tanda - tanda aktif menjadi hilang dan selanjutnya hanya
meninggalkan daerah hiperpigmentasi saja.21
Gejala subyektif yaitu gatal, dan terutama jika berkeringat dan kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.21
Tinea korporis biasanya terjadi setelah kontak dengan individu atau
dengan binatang piaraan yang terinfeksi, tetapi kadang terjadi karena kontak
dengan mamalia liar atau tanah yang terkontaminasi. Penyebaran juga mungkin
terjadi melalui benda misalnya pakaian, perabot dan sebagainya.20
17
Pemeriksaan mikroskopis dilakukan dengan membuat preparat langsung
dari kerokan kulit, kemudian sediaan dituangi larutan KOH 10%. Sesudah 15
menit atau sesudah dipanaskan dengan api kecil, dilihat di bawah mikroskop.
Pemeriksaan ini memberikan hasil positif hifa ditemukan hifa (benang-benang)
yang bersepta atau bercabang, selain itu tampak juga spora berupa bola kecil
sebesar 1-3μ.19
Kultur dilakukan dalam media agar sabaroud pada suhu kamar (25-30⁰C),
kemudian satu minggu dilihat dan dinilai apakah ada pertumbuhan jamur.
Spesies jamur dapat ditentukan melalui bentuk koloni, bentuk hifa dan bentuk
spora.20
Pemeriksaan lampu wood adalah pemeriksaan yang menggunakan sinar
ultraviolet dengan panjang gelombang 365 nm. Sinar ini tidak dapat dilihat. Bila
sinar ini diarahkan ke kulit yang mengalami infeksi oleh jamur dermatofita
tertentu, sinar ini akan berubah menjadi dapat dilihat dengan memberi warna
(fluoresensi). Beberapa jamur yang memberikan fluoresensi yaitu M.canis,
M.audouini, M.ferrugineum dan T.schoenleini.18
3.9 Diagnosa
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan
laboratorium yaitu mikroskopis langsung dan kultur.1
3.10 Pengobatan
Pengobatan infeksi jamur dibedakan menjadi pengobatan non
medikamentosa dan pengobatan medikamentosa. 20
18
3.10.1 Non Medikamentosa
Menurut Badan POM RI (2011), dikatakan bahwa penatalaksanaan
non medikamentosa adalah sebagai berikut: 21
a. Gunakan handuk tersendiri untuk mengeringkan bagian yang terkena
infeksi atau bagian yang terinfeksi dikeringkan terakhir untuk
mencegah penyebaran infeksi ke bagian tubuh lainnya.
b. Jangan mengunakan handuk, baju, atau benda lainnya secara
bergantian dengan orang yang terinfeksi.
c. Cuci handuk dan baju yang terkontaminasi jamur dengan air panas
untuk mencegah penyebaran jamur tersebut.
d. Bersihkan kulit setiap hari menggunakan sabun dan air untuk
menghilangkan sisa-sisa kotoran agar jamur tidak mudah tumbuh.
e. Jika memungkinkan hindari penggunaan baju dan sepatu yang dapat
menyebabkan kulit selalu basah seperti bahan wool dan bahan sintetis
yang dapat menghambat sirkulasi udara.
f. Sebelum menggunakan sepatu, sebaiknya dilap terlebih dahulu dan
bersihkan debu-debu yang menempel pada sepatu.
g. Hindari kontak langsung dengan orang yang mengalami infeksi jamur.
h. Gunakan sandal yang terbuat dari bahan kayu dan karet
3.10.2 Medikamentosa
Pengobatan tinea korporis terdiri dari pengobatan lokal dan
pengobatan sistemik. Pada tinea korporis dengan lesi terbatas, cukup
diberikan obat topikal. Lama pengobatan bervariasi antara 1-4 minggu
bergantung jenis obat. Obat oral atau kombinasi obat oral dan topikal
diperlukan pada lesi yang luas atau kronik rekurens. Anti jamur topikal
yang dapat diberikan yaitu derivate imidazole, toksiklat, haloprogin dan
tolnaftat. Pengobatan lokal infeksi jamur pada lesi yang meradang
disertai vesikel dan eksudat terlebih dahulu dilakukan dengan kompres
basah secara terbuka. 21
19
Pada keadaan inflamasi menonjol dan rasa gatal berat, kombinasi
antijamur dengan kortikosteroid jangka pendek akan mempercepat
perbaikan klinis dan mengurangi keluhan pasien.21
1. Pengobatan Topikal
Pengobatan topikal merupakan pilihan utama. Efektivitas obat
topikal dipengaruhi oleh mekanisme kerja,viskositas, hidrofobisitas
dan asiditas formulasi obat tersebut. Selain obat - obat klasik, obat-
obat derivate imidazole dan alilamin dapat digunakan untuk mengatasi
masalah tinea korporis ini. Efektivitas obat yang termasuk golongan
imidaol kurang lebih sama. Pemberian obat dianjurkan selama 3-4
minggu atau sampai hasil kultur negative. SelanjUtnya dianjurkan
jugauuntuk meneruskan pengobatan selama 7-10 hari setelah
penyembuhan klinis dan mikologis dengan maksud mengurangi
kekambuhan.21
2. Pengobatan Sistemik
Menurut Verma dan Heffernan (2008), pengobatan sistemik
yang dapat diberikan pada tinea korporis adalah: 21
Griseofulvin
Griseofulvin merupakan obat sistemik pilihan pertama. Dosis untuk
anak- anak 15-20 mg/kgBB/hari, sedangkan dewasa 500 -1000
mg/hari
Ketokonazol
Ketokonazol digunakan untuk mengobati tinea korporis yang
resisten terhadap griseofulvin atau terapi topikal. Dosisnya adalah
200 mg/hari selama 3 minggu.
Obat-obat yang relative baru seperti itrakonazol serta terbinafin
dikatakan cukuo memuaskan untuk pengobatan tinea korporis.
20
DAFTAR PUSTAKA
21
14. Tosti A, Baran R, Dawber RP, Haneke E. Onychomycosis and its treatment. In:
Baran R, Dowber RP, Haneke E, Tosti A, Bristow I, editors. A Text Atlas of Nail
Disorders. 3rd ed. London: Taylor &Francis Group; 2003.
15. Kurniati, CR. Etiopatogenesis dermatofitosis. Jurnal Berkala Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin. 2008.
16. Husein M, Hassab-El-Naby M, Shaheen IMI, Abdo HM, El-Shafey HAM.
Comparative study for the reliability of potassium hydroxide mount versus nail
clipping biopsy in diagnosis of onychomycosis. The Gulf Journal of
Dermatology and Venerology. 2011.
17. Rosita CS, Kurniati. Etiopatogenesis Dermatofitosis. Dept./SMF Ilmu Kesehatan
Kulit dan Kelamin FK UNAIR/RSU Dr. Soetomo Surabaya. 2008
18. Kaur R, Kashyap B, Bhalla P. Onychomicosis-epidemiology, diagnosis, and
management. Indian J Med Microbi. 2008.
19. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapin RP. Dermatology. 2nd ed: Mosby Elsevier. 2012.
20. Harahap, M. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta; Hipokrates. 2000
21. Madani A, Fattah. Ilmu Penyakit Kulit. Jakarta : Penerbit Hipokrates. 2000.
lapa
22