You are on page 1of 7

Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif atau obat dari

bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Sediaan obat yang harus diuji
disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep
agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada
tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yangdiberikan secara oral dalam
bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut
dalam cairan pada suatu tempat dala msaluran lambung"usus. Dalam hal dimana
kelarutan suatu obat tergantungdari apakah medium asam atau medium basa, obat
tersebut akan dilarutkan. (Ansel, 1985)

Kecepatan disolusi obat erat hubungannya dengan bioavailabilitas dari obat.


Semakin cepat obat berdisolusi maka akan semakin tinggi bioavailabilitas yang
dimiliki obat tersebut, begitu juga sebaiknya, semakin lama obat berdisolusi maka
bioavailabilitas yang dimiliki obat tersebut akan semakin rendah. Kecepatan
disolusi obat menjadi salah satu parameter penting dalam memformulasi obat,
mengembangkan obat dan melihat efikasi yang diberikan oleh obat tersebut (RSC,
2018).

Kecepatan disolusi dari obat dapat diuji secara in vitro maupun secara in
vivo. Pengujian secara in vivo biasanya diambil dari plasma tubuh, darah, maupun
melalui urin. Namun pengujian ini tidak dapat dilakukan dengan rutin oleh karena
itu lebih baik dilakukan dengan uji secara in vitro. Pengujian secara in vitro
biasanya menggunakan suatu cairan yang dimiripkan dengan kondisi tubuh, baik
dari larutan tersevut, pH, hingga suhu (RSC, 2018).

Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi, seperti


formulasi dari obat tersebut, suhu, pH dalam tubuh, dan lainnya. Formulasi obat
merupakan faktor yang paling berperan penting, terutama di dalam
mengembangkan suatu obat. Banyak senyawa yang dapat meningkatkan disolusi
dari obat, dan banyak juga yang dapat menurunkan kecepatan disolusinya
(Fagerberg, et al., 2010). Oleh karena itulah dibutuhkan pengetahuan akan berbagai
macam eksipien sehingga dapat dihasilkan obat yang memberikan kecepatan
disolusi yang baik.
Faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi:

1). Polimorfi

Umumnya polimorfi metastabil mempunyai kecepatan pelarutan lebih tinggi


daripada bentuk stabilnya (Thuladhar, dkk., 1983).

2). Bentuk hidrat dan anhidrat

Bentuk hidrat dan anhidrat dapat mempengaruhi kecepatan disolusi obat tetapi
pengaruhnya tidak dapat dipastikan. Kalsium sulfat bentuk anhidrat mempunyai
kecepatan disolusi lebih tinggi daripada bentuk hidratnya, namun pada kondisi
tertentu bentuk hidrat mempunyai kecepatan disolusi yang lebih tinggi (Wurster &
Taylor, 1965).

3). Ukuran partikel

Faktor yang mempengaruhi luas kontak muka padatan cairan yaitu ukuran partikel.
Semakin kecil ukuran partikel suatu bahan obat maka luas permukaan obat yang
kontak langsung dengan medium semakin besar sehingga kecepatan disolusinya
semakin besar (Thuladhar, dkk., 1983).

4). Efek kelarutan obat.

Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi.
Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat. (Shargel dan Andrew,
1988)

5). Suhu

Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat
endotermik serta memperbesar harga koefisien difusi zat. (Martin, 1993).

6).Viskositas

Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai
dengan persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan
memperbesar kecepatan disolusi. (Martin, 1993).
7). pH pelarut

pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau
basa lemah.

Untuk asam lemah: Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan
meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi zat juga meningkat.

Untuk basa lemah: Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan
meningkat. Dengan demikian, kecepatan disolusi juga meningkat.

(Martin, 1993).

8). Pengadukan

Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika


pengadukan berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.
(Martin, 1993)

9). Polimorfisme

Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal
zat yang berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal
meta stabil umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga
kecepatan disolusinya besar. (Martin, 1993)

10). Sifat Permukaan zat

Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob.
Dengan adanya surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat
dengan pelarut akan menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan
disolusinya bertambah. (Martin, 1993)
Contoh Obat yang dipengaruhi Oleh Kecepatan Disolusi : Metformin
Hidroklorida Generik Berlogo dan Bermerek

Sumber :

Metformin hidroklorida memiliki sifat kelarutan yang tinggi dalam air, tetapi
mempunyai permeabilitas yang rendah (BCS kelas III), di mana hanya sekitar 50%
- 60% pemberian metformin hidroklorida secara oral diabsorpsi dari saluran
pencernaan, sehingga perlu dilakukan uji ekuivalensi in vitro (uji disolusi
terbanding) dan in vivo. Perbedaan bahan tambahan dan proses produksi masing-
masing pabrik dapat menyebabkan perbedaan kualitas tablet metformin
hidroklorida yang dihasilkan, salah satunya perbedaan profil disolusi.
Pada penelitian tersebut dilakukan komparasi untuk mengetahui profil
disolusi antara 5 produk obat metformin hidroklorida yang berbeda, dimulai dengan
pengujian keseragaman tablet, kekerasan dan waktu hancur, lalu uji disolusi.

Hasil Uji Kekerasan dan Waktu Hancur :

Produk A, D, dan E memiliki kekerasan yang relatif hampir sama. Namun,


produk B dan C kekerasannya sangat tinggi. Secara teoritis, kekerasan yang
semakin tinggi akan menyebabkan waktu hancur semakin lama dan disolusi akan
semakin lambat, disebabkan karena semakin sulitnya penetrasi air ke dalam tablet
akibat dari tablet yang terlalu keras sehingga pori akan semakin kecil.

Hasil Uji Disolusi :


Produk E memiliki jumlah obat yang terdisolusi yang paling besar
dibandingkan dengan produk yang lain. Hal ini disebabkan karena produk E
memiliki kekerasan yang lebih rendah dibandingkan produk A, B, dan C, sehingga
memungkinkan terjadinya penetrasi air yang lebih cepat ke dalam tablet untuk
selanjutnya terjadi disolusi. Perbedaan profil disolusi antar produk disebabkan
karena adanya perbedaan bahan tambahan yang digunakan, sumber bahan aktif
yang berbeda, dan proses produksi yang juga berbeda dari masing-masing pabrik.
Daftar pustaka

Ansel. 1985. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press: Jakarta

Fagerberg, J. H., et al. 2010. Dissolution Rate and Apparent Solubillity of Poorly
Soluble Drugs in Biorelevant Dissolution Media. Molecular Pharmaceutics.
Vol 7 (5), 1419-1430.

Martin, A., J. Swarbrick, dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik: Dasar-dasar


Farmasi Fisik dalam Ilmu Farmasetik. Edisi Ketiga.Penerjemah: Yoshita.
Jakarta: UI-Press.

RSC. 2018. Dissolution and Solubility. Tersedia online di


https://www.stem.org.uk/system/files/elibrary-
resources/legacy_files_migrated/33409-RSCDissolutionandsolubility.pdf.
[Diakses 10 Maret 2018]

Sari, D. P., Saifullah Sulaiman, dan Okti R. M. 2013. Uji disolusi terbanding tablet
metformin hidroklorida generik berlogo dan bermerek. Majalah Farmaseutik,
Vol. 9 No. 1 Tahun 2018

Thuladhar, M. D., Carless, J. E., & Summers, M. P.. 1983. The Effect of
Polymorphism, Partical Size and Compression Pressure on the
Dissolution Rate of Phenylbutazones Tablets, J. Pharm. Sci., 35, 269-
274.

Wurster , D. E., & Taylor, P. W.. 1965. Dissolution Rates, J. Pharm. Sci., 54 (2),
169- 175. Yuwono, T., 1987,

You might also like