You are on page 1of 12

REFERAT

Cutaneous Larva Migrans

Disusun oleh

Hana Fadhilah

1102013121

Pembimbing

dr. Yanto Widianto, Sp. KK

dr. Hilman Wildan Latief, Sp. DV

Disusun Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik


Bagian Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin RSUD dr. Slamet Garut
Fakultas Kedokteran Universitas YARSI
Februari 2018
BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi cacing adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas, terutama di negara
tropis dan berkembang seperti Amerika Serikat bagian tenggara, Afrika, Amerika Tengah,
Amerika Selatan, Asia Tenggara dan di Indonesia pun banyak dijumpai. Sebagian besar
infeksi cacing terjadi di negara berkembang beriklim tropis atau subtropis, yang merupakan
suatu kondisi lingkungan yang kondusif bagi siklus hidup cacing. Selain itu, kepadatan
penduduk yang tinggi, kemiskinan, dan sanitasi yang buruk banyak ditemukan di daerah-
daerah yang lebih memudahkan penularan penyakit ini.
Infeksi cacing secara garis besar dapat di bagi menjadi 3 golongan besar, yakni
nematodes (human nematodes, animal nematodes), trematodes, dan cestodes. Masing-
masing golongan ini memiliki siklus hidup yang berbeda-beda.
Cutaneous larva migrans (CLM) adalah dermatosis cacing yang paling umum
ditemukan. Cutaneous larva migrans atau disebut juga dengan creeping eruption merupakan
kelainan kulit yang merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh penetrasi dan migrasi
larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari kucing dan anjing. Terbanyak
disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma
ceylanicum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Cutaneous larva migrans (CLM) atau disebut juga dengan creeping eruption
merupakan kelainan kulit yang merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh
penetrasi dan migrasi larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari kucing dan
anjing, terbanyak disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan
Ancylostoma ceylanicum. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang
linear atau serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola
yang tidak teratur.

B. Epidemiologi
Insidens yang sebenarnya sulit diketahui, di Amerika Serikat tercatat 6,7% dari
13,300 wisatawan mengalami CLM setelah berkunjung ke daerah tropis. Hampir di
semua negara beriklim tropis dan subtropis, misalnya Amerika Tengah dan Amerika
Selatan, Karibia, Afrika, Australia, dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, banyak
ditemukan CLM. Pada invasi ini tidak terdapat perbedaan ras, usia, maupun jenis
kelamin.
Belum pernah dilaporkan kematian akibat CLM. Invasi CLM yang bertahan lama
dan tidak diobati dapat menyebabkan infeksi sekunder akibat garukan.

C. Etiologi

Penyebab utama CLM adalah larva yang berasal dari cacing tambang yang hidup di
usus kucing dan anjing (Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum). Di Asia Timur,
umumnya disebabkan oleg gnatostoma babi dan kucing. Pada beberapa kasus ditemukan
Strongyloides sterconalis, Deramatobia maxiales, dan Lucilia Caesar. Selain itu dapat
pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, misalnya Castrophilus (the horse
bot fly) dan cattle fly.

1
D. Patogenesis
Cacing tambang dewasa hidup di usus anjing dan kucing. Telur keluar bersama tinja
pada kondisi yang menguntungkan (lembab, hangat, dan tempat yang teduh). Setelah itu,
larva menetas dalam 1-2 hari. Larva rhabditiform tumbuh di tinja dan/atau tanah, dan
menjadi larva filariform (larva stadium tiga) yang infektif setelah 5 sampai 10 hari.
Larva infektif ini dapat bertahan selama 3 sampai 4 minggu di kondisi lingkungan yang
sesuai. Pada kontak dengan pejamu hewan (anjing dan kucing), larva menembus kulit
dan dibawa melalui pembuluh darah menuju jantung dan paru-paru. Larva kemudian
menembus alveoli, naik ke bronkiolus menuju ke faring dan tertelan. Larva mencapai
usus kecil, kemudian tinggal dan tumbuh menjadi dewasa. Cacing dewasa hidup dalam
lumen usus kecil dan menempel di dinding usus. Beberapa larva ditemukan di jaringan
dan menjadi sumber infeksi bagi anak anjing melalui transmammary atau transplasenta.
Manusia juga dapat terinfeksi dengan cara larva filariform menembus kulit.

Gambar 1. Siklus hidup larva

Manusia yang berjalan tanpa alas kaki terinfeksi secara tidak sengaja oleh larva
dimana larva menggunakan enzim protease untuk menembus melalui folikel, fisura atau
kulit intak. Setelah penetrasi stratum korneum, larva melepas kutikelnya. Biasanya
migrasi dimulai dalam waktu beberapa hari. Larva stadium tiga menembus kulit manusia
dan bermigrasi beberapa sentimeter perhari, biasanya antara stratum germinativum dan
stratum korneum. Larva ini tinggal di kulit berjalan-jalan tanpa tujuan sepanjang
dermoepidermal. Hal ini menginduksi reaksi inflamasi eosinofilik setempat. Setelah
beberapa jam atau hari akan timbul gejala di kulit. Larva bermigrasi pada epidermis tepat
di atas membran basalis dan jarang menembus ke dermis. Manusia merupakan hospes
aksidental dan larva tidak mempunyai enzim kolagenase yang cukup untuk penetrasi
membran basalis sampai ke dermis. Sehingga penyakit ini menetap di kulit saja. Enzim
proteolitik yang disekresi larva menyebabkan inflamasi sehingga terjadi rasa gatal dan
progresi lesi. Meskipun larva tidak bisa mencapai intestinum untuk melengkapi siklus
hidup, larva sering kali migrasi ke paru-paru sehingga terjadi infiltrate pada paru. Pada
pasien dengan keterlibatan paru-paru didapatkan larva dan eosinofil pada sputumnya.
Kebanyakan larva tidak mampu menembus lebih dalam dan mati setelah beberapa hari
sampai beberapa bulan.
Penularan terjadi karena individu berkontak dengan tanah lembab yang telah
terkontaminasi kotoran anjing atau kucing yang telah mengandung larva cacing tersebut.
Larva mengadakan penetrasi kekulit manusia dan memulai migrasinya pada epidermis
bagian bawah. Larva ini tidak dapat mengadakan penetrasi ke dermis manusia, maka
tidak dapat terjadi siklus hidup yang normal. Manusia merupakan hospes yang tidak
tepat bagi larva tersebut, sehingga larva akhirnya akan mati. Penetrasi cacing tambang
tergantung pada sekresi dari zat bioakif seperti enzim proteolitik, hyaluronidase, dan
sekresi-sekresi protein litik. Kulit manusia merupakan penghalang yang kuat terhadap
patogen invasif, termasuk cacing tambang. Larva cacing tambang mensekresi beberapa
protease yang dilepaskan ketika larva aktif, dianggap mencerna molekul-molekul besar
dan jaringan kulit. Diantaranya, Ancylostoma caninum astacin-like zinc-metalloprotease
(Ac-MTP-1) telah ditemukan sebagai produk sekret dari larva cacing tambang. Selain
protease lava cacing tambang juga memproduksi hyaluronidase yang mempunyai
kemampuan untuk menghancurkan komponen-komponen dari matriks ekstraseluler.
Kombinasi dari dua enzim pencernaan ini diduga berperan dalam penetrasi cacing
tambang pada kulit manusia. Larva cacing tambang memasuki kulit manusia melewati
folikel rambut dan kelenjar sebaseous. Larva tersebut memulai migrasi dalam kulit
setelah 4 hari penetrasi dan lebih aktif pada malam hari.

1
E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi :1-6 hari dari waktu terpapar sampai timbulnya gejala.

Gejala kulit berupa pruritus lokal dimulai dalam beberapa jam setelah penetrasi larva
dan timbul papul. Adanya lesi papul yang eritematosa menunjukkan bahwa larva
tersebut telah berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Lesi kulit CLM kemudian
menjadi lesi yang khas berupa lesi yang serpiginous, tipis, linier, meninggi, dan terdapat
lesi seperti terowongan (burrow) dengan lebar lesi 2-3 mm yang mengandung cairan
serosa. Muncul beberapa atau lesi yang lebih dari satu tergantung pada jumlah penetrasi
larva.

Gambar 2. Creeping eruption pada kaki

Migrasi larva dimulai 4 hari setelah inokulasi, dan membentuk saluran. Cacing bisa
tetap menetap selama beberapa hari atau bahkan beberapa bulan sebelum mulai
bermigrasi. Larva akan bermigrasi 2 mm per hari. Larva tidak dapat menembus
membran basalis sehingga hanya terbatas pada epidermis antara stratum germinativum
dan stratum corneum dan menyebabkan reaksi inflamasi eosinofil. Kebanyakan larva
tidak dapat bermigrasi lebih jauh atau menginvasi jaringan lebih dalam, dan mati setelah
beberapa hari atau bulan.
Lesi biasanya terdapat pada area terbuka dan sering terpapar seperti ekstremitas
distal bagian bawah, bokong, alat kelamin, tangan juga di bagian tubuh di mana saja
yang sering berkontak dengan tempat larva berada. Terkadang terdapat manifestasi
purulen akibat infeksi sekunder berupa erosi dan eksoriasi akibat garukan. Jika tidak
diobati, larva biasanya mati dalam 2-8 minggu, dan terjadi resolusi lesi.

F. Diagnosis
Diagnosis CLM biasanya ditegakkan secara klinis. Meskipun diagnosis biasanya
dibuat secara klinis, berdasarkan karakteristik lesi berupa adanya bintik merah menonjol
yang gatal kemudian menjadi memanjang dan berkelok membentuk alur di bawah kulit
dan adanya riwayat pajanan (misalnya berjalan tanpa alas kaki), biopsi kadang-kadang
dilakukan untuk mengidentifikasi larva dalam epidermis. Didalam dermis, terdapat
infiltrat inflamasi yang terdiri dari limfosit, histiosit dan eosinofil. Terkadang, eosinofil
terdapat dalam epidermis dan dalam folikel rambut.
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan pemeriksaan
laboratorium dan biopsi. Pada pemeriksaan hematologi didapatkan eosinofilia perifer.
Selain itu, pada pemeriksaan dermatopatologi akan terlihat bagian dari parasit yang
dapat dilihat pada spesimen biopsi dari lesi. Temuan histopatologi dapat berupa larva
yang terperangkap dalam saluran folikel, stratum corneum, atau dermis, bersama-sama
dengan infiltrat inflamasi.

G. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk lesi yang atipikal termasuk dermatitis kontak, impetigo,
tinea, skabies, dan infeksi nematoda lainnya (misalnya strongyloidiasis).

Dengan melihat adanya terowongan harus dibedakan dengan skabies, pada skabies
terowongan yang terbentuk tidak akan sepanjang seperti pada penyakit ini. Bila melihat
bentuk yang polisiklik sering dikacaukan dengan dermatofitosis. Pada permulaan lesi
berupa papul, karena itu sering diduga insects bite. Bila invasi larva yang multipel
timbul serentak, papul lesi dini sering menyerupai herpes zooster stadium permulaan.

1
1. Scabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau Sarcoptes scabiei
var. homini, famili Sarcoptidae, dan kelas Arachnida. Skabies dikarakteristikkan
dengan lesi papular pruritus, eksoriasi, dan terowongan (burrows). Tempat predileksi
termasuk sela-sela jari, pergelangan tangan, aksila, areola, umbilikus, perut bagian
bawah, genital dan bokong. Terowongan muncul sedikit lebih tinggi, keabu-abuan,
garis berliku-liku di kulit.

Gambar 3.
Scabies

Scabies memiliki gejala klinis seperti pruritus nocturnal, adanya terowongan


(kanalikuli) pada tempat-tempat predileksi yang berwarna putih atau keabu-abuan,
berbentuk garis lurus atau berkelok, rata-rata panjang 1 cm, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel. Menemukan tungau, merupakan hal yang paling
diagnostik. Dapat ditemukan satu atau lebih stadium hidup tungau ini. Penyakit ini
menyerang manusia secara berkelompok, misalnya dalam sebuah keluarga biasanya
seluruh anggota keluarga terkena infeksi. Dengan melihat adanya terowongan harus
dibedakan dengan scabies. Pada scabies terowongan yang terbentuk tidak akan
sepanjang seperti pada creeping eruption.
2. Insect bite
Insect bite merupakan kelainan kulit yang disebabkan oleh gigitan dari hewan.
Kelainan kulit disebabkan oleh masuknya zat farmakologis aktif dan sensitasi antigen
dari hewan tersebut. Dalam beberapa menit akan muncul papul persisten yang
seringkali disertai central hemmoragic punctum. Reaksi bulosa sering terjadi pada
kaki anak-anak. Pada permulaan timbulnya creeping eruption akan ditemukan papul
yang menyerupai insect bite.

Gambar 5. Insect bite

1
H. Penatalaksanaan
Meskipun penyakit ini sembuh dengan sendirinya, manusia adalah host “dead-end".
Kebanyakan larva mati dan lesi sembuh dalam 2-8 minggu dan jarang hingga 2 tahun.
Dalam sebuah penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi
menghilang dalam 4 minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-bulan.

Terapi Umum
Pencegahan dilakukan dengan menghindari kontak kulit langsung dengan tanah
yang tercemar tinja, memproteksi diri seperti memakai alas kaki dan memperhatikan
kebersihan dan menghindari kontak yang terlalu banyak dengan hewan-hewan yang
merupakan karier cacing tambang. Pasien diusahakan tidak menggaruk lesi, cukup
digosok lembut karena akan membuat lesi baru dan berisiko mengalami infeksi
sekunder.

Terapi Khusus
 Topikal
- Krim thiabendazole
- Krim albendazole 10%

 Sistemik
- Albendazole 400mg/harihari selama 3 hari
- Ivermectin 200g/kgBB/hari selama 1-2 hari

I. Prognosis
Prognosis penyakit ini biasanya baik dan merupakan penyakit self-limited, dimana larva
akan mati dan lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu jarang hingga 2 tahun. Dalam
sebuah penelitian, 25-33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi
menghilang dalam 4 minggu. Beberapa bertahan selama berbulan-bulan. Dengan
pengobatan progresi lesi dan rasa gatal akan hilang dalam waktu 48 jam.
BAB III
KESIMPULAN

Cutaneous larva migrans (CLM) atau disebut juga dengan creeping eruption merupakan
kelainan kulit yang merupakan peradangan kulit yang disebabkan oleh penetrasi dan migrasi
larva cacing tambang ke epidermis yang berasal dari kucing dan anjing, terbanyak
disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum, dan Ancylostoma
ceylanicum. Creeping eruption secara klinis diartikan sebagai lesi yang linear atau
serpiginius, sedikit menimbul, dan kemerahan yang bermigrasi dalam pola yang tidak teratur.
Diagnosis CLM dapat dilakukan hanya dengan melihat gejala klinisnya berupa karakteristik
lesi yaitu adanya bintik merah menonjol yang gatal kemudian menjadi memanjang dan
berkelok membentuk alur di bawah kulit dan adanya riwayat pajanan (misalnya berjalan
tanpa alas kaki). Pengobatan topikal yang bisa diberikan adalah Thiabendazol topikal dengan
suspensi 10% atau krim 15% yang digunakan empat kali sehari. Pengobatan sistemik dapat

1
diberikan albendazole atau ivermectin. Albendazole 400 mg dosis oral tunggal diberikan
selama 4 hari. Ivermectine, diberikan 200g dosis oral tunggal pada dewasa. Prognosis
penyakit ini biasanya baik dan merupakan penyakit self-limited, dimana larva akan mati dan
lesi membaik dalam waktu 4-8 minggu jarang hingga 2 tahun. Dalam sebuah penelitian, 25-
33% larva mati setiap 4 minggu, sedangkan 81% dari lesi menghilang dalam 4 minggu.
Beberapa bertahan selama berbulan-bulan. Dengan pengobatan progresi lesi dan rasa gatal
akan hilang dalam waktu 48 jam.

DAFTAR PUSTAKA

1. Aisah, Siti. 2015. “Creeping Eruption” dalam Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Ed.
7. Jakarta: FKUI

2. Kaur, Sarabjit, Nidhi Jindal, et al. 2015. Creeping Eruption on the Move: A Case
Series from Northern India. Indian J Dermatol. 2015 Jul-Aug; 60(4): 422.

3. Siddalingappa, Karjigi, Kallappa Herakal, Sambasiviah Chidambara Murthy, et al.


2015. Cuteneous Larva Migrans in Early Infancy. Indian J Dermatol. 2015 Sep-Oct;
60(5): 522.

4. Wolff, Klaus, Richard Allen Johnson, Lowell A. Goldsmith, et al. 2012. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine 8th Edition. United States: The McGraw-Hill
Companies.

You might also like