You are on page 1of 32

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Imunisasi

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan seseorang

secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen

yang sama maka tidak akan terjadi penyakit (Akib et.al. 2010). Imunisasi hanya

akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga

untuk terhindar dari penyakit lain diperlukan imunisasi lainnya (Maryunani,

2010). Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem

kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan

terhadap serangan penyakit berbahaya (Wahab et.al. 2002).

Menurut Ranuh et.al (2011), vaksinasi adalah imunisasi aktif dengan

pemberian vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan antibodi di

dalam tubuh. Kekebalan yang diperoleh dengan vaksinasi berlangsung lebih lama

dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik

kekebalan aktif alamiah.

Tujuan imunisasi yaitu mencegah terjadinya penyakit tertentu pada

seseorang, dan menghilangkan penyakit tersebut pada sekelompok masyarakat

(populasi), dan bahkan menghilangkannya dari dunia seperti keberhasilan

imunisasi cacar variola (Ranuh et.al. 2011). Tujuan lainnya diberikan imunisasi

adalah diharapkan anak menjadi kebal terhadap penyakit sehingga dapat

menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat penyakit yang sebenarnya

dapat dicegah dengan imunisasi (Hidayat, 2005).

Universitas Sumatera Utara


8

2.2 Manfaat Imunisasi sebagai Upaya Pencegahan

Imunisasi sebagai upaya efektif dalam pencegahan penyakit infeksi karena

melalui vaksinasi ada berbagai keuntungan yang di dapatkan yaitu :

a. Timbulnya kekebalan pejamu terhadap penyakit tertentu tanpa harus

mengalami sakit terlebih dahulu. Kekebalan tubuh yang terbentuk oleh

beberapa vaksin akan dibawa seumur hidupnya (Ranuh et.al. 2011).

b. Imunisasi bersifat “cost-effective’’ dalam upaya penanggulangan penyakit

menular yang dapat dicegah dengan imunisasi (Ranuh et.al. 2011).

c. Menurunkan angka kesakitan (morbiditas) dan angka kematian (mortalitas)

dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang termasuk

dalam Program Pengembangan Imunisasi (PPI) yaitu difteri, tetanus, pertusis,

campak, polio, dan tuberkulosis (Notoatmodjo, 2011).

2.3 Dampak Imunisasi

Nilai (value) vaksin dibagi dalam tiga kategori yaitu secara individu dan

sosial. Secara individu, apabila anak telah mendapat vaksinasi maka 80%-95%

akan terhindar dari penyakit infeksi. Makin banyak bayi yang mendapat vaksinasi

(dinilai dari cakupan imunisasi), makin terlihat penurunan morbiditas dan

mortalitas. Kekebalan individu ini akan mengakibatkan pemutusan rantai

penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa yang hidup

bersamanya, inilah yang disebut keuntungan sosial, karena dalam hal ini 5%-20%

anak yang tidak diimunisasi akan juga terlindung, disebut Herd Immunity (Ranuh

et.al. 2011).

Universitas Sumatera Utara


9

Menurunnya angka morbiditas akan menurunkan biaya pengobatan dan

perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang akan menjadi

beban masyarakat seumur hidupnya. Upaya pencegahan penyakit infeksi pada

anak, berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya

produktivitas karena 30% dari anak-anak masa kini adalah generasi yang akan

memegang kendali pemerintahan dimasa yang akan datang (Ranuh et.al. 2011).

2.4 Sistem Imun Pada Tubuh

Tubuh dapat kebal terhadap infeksi karena adanya sistem kekebalan tubuh

yang melindungi. Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang

komplek yang memberikan perlindungan terhadap adanya invasi zat-zat asing ke

dalam tubuh. Sistem imun terdiri dari dua komponen utama yaitu sistem imun

nonspesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan sistem

kekebalan lini pertama sedangkan sistem imun spesifik merupakan lini pertahanan

kedua (Radji, 2015).

2.4.1 Sistem Imun Nonspesifik

Lini pertama pertahanan tubuh (sistem imun nonspesifik) terhadap

masuknya mikroorganisme yaitu anatomi tubuh sebagai barier terhadap infeksi

faktor fisik (lapisan kulit luar, lapisan epitel internal kulit dari tubuh, silia pada

saluran pernafasan), faktor kimia (lisozim dan fosfolipase yang terdapat pada air

mata, saliva, sekret hidung, asam lemak pada keringat, pH rendah pada lambung,

dan cairan vagina yang bersifat asam) dan faktor biologis (flora normal pada kulit

dan saluran pencernaan), serta barier humoral dan berier seluler terhadap infeksi

(Radji, 2015).

Universitas Sumatera Utara


10

Sistem imun ini bekerja sesegera mungkin untuk mempertahankan tubuh

dari ancaman organisme asing yang akan masuk ke dalam tubuh. Jika pertahanan

lini pertama tidak mampu maka sel-sel makrofag dan neutropil akan menelan dan

memusnahkan organisme asing yang masuk ke dalam tubuh tanpa adanya

antibodi. Respon imun nonspesifik terhadap mikroorganisme yang masuk ke

dalam tubuh antara lain peradangan (Radji, 2015).

2.4.2 Sistem Imun Spesifik

Lini kedua pertahanan tubuh (sistem imun spesifik) adalah suatu sistem

pertahanan yang dapat mengenali substansi asing (antigen) yang masuk ke dalam

tubuh dan dapat memacu perkembangan respon imun yang spesifik terhadap

substansi tersebut dimana sel-sel imun yang berperan penting adalah sel limfosit

B dan sel limfosit T (Radji, 2015).

Respon imun spesifik memerluhkan waktu beberapa hari setelah antigen

masuk ke dalam tubuh. Produksi antibodi akan berikatan secara spesifik dengan

antigen yang masuk dan memicu pergerakan sel-sel spesifik lainnya yang dapat

mengenali dan memusnahkan mikroorganisme patogen (Akib et.al, 2010).

Apabila di dalam tubuh sudah terdapat antibodi yang spesifik terhadap antigen

tertentu maka jika ada antigen yang spesifik masuk kembali ke dalam tubuh

responnya akan berlangsung lebih cepat daripada respon infeksi yang pertama.

Hal ini terjadi karena adanya proses aktivasi yang cepat pada memori sel limfosit

B dan sel limfosit T (Radji, 2015).

2.5 Jenis-jenis Imunisasi

Imunisasi dapat terjadi secara alamiah dan buatan dimana masing-masing

imunitas tubuh (acquired immunity) dapat diperoleh secara aktif maupun secara

pasif.

Universitas Sumatera Utara


11

2.5.1 Imunisasi Aktif


Menurut Radji (2015), imunisasi aktif adalah pemberian suspensi,

substansi, atau toksin mikroorganisme yang sudah dimatikan atau dilemahkan

untuk merangsang agar tubuh memproduksi antibodi sendiri. Jenis-jenis

imunisasi aktif buatan antara lain Imunisasi Hepatitis B, Bacillus Calmette

Guerin (BCG), Difteri-Pertusis-Tetanus (DPT), Polio, Campak, MMR, tifoid,

Hib, hepatitis A, cacar air, dan influenza termasuk kategori imunisasi aktif buatan

(Radji, 2015).

Namun hanya lima imunisasi (BCG, DPT, Polio, Hepatitis B, Campak)

yang menjadi Program Imunisasi Nasional yang dikenal sebagai Program

Pengembangan Imunisasi (PPI) atau extended program on immunization (EPI)

yang dilaksanakan sejak tahun 1977. PPI merupakan program pemerintah dalam

bidang imunisasi untuk mencapai komitmen internasional yaitu Universal Child

Immunization (Ranuh et.al. 2011).

Imunisasi aktif alamiah, diperoleh apabila terpapar dengan antigen.

Sistem kekebalan yang timbul pada tubuh bersifat seumur hidup terhadap

beberapa jenis mikroorganisme (virus cacar dan virus polio), sedangkan untuk

penyakit lainnya terutama yang berhubungan dengan penyakit saluran pencernaan

imunitasnya hanya berlangsung dalam beberapa tahun (Radji, 2015).

2.5.2 Imunisasi Pasif

Menurut Ranuh et.al. (2011), imunisasi pasif adalah memberikan

sejumlah antibodi sehingga kadar antibodi dalam tubuh meningkat. Imunisasi

pasif dapat terjadi secara alamiah dan secara buatan.

Universitas Sumatera Utara


12

Imunisasi pasif alamiah, bisa diperoleh melalui transfer antibodi dari

seorang ibu kepada janinnya melalui plasenta (transplancental transfer). Apabila

seorang ibu kebal terhadap difteri, rubella atau polio, maka bayi yang baru lahir

juga akan kebal terhadap penyakit yang ditimbulkan oleh mikroorganisme

tersebut. Beberapa antibodi juga terdapat di air susu ibu terutama colostrum.

Antibodi bayi yang didapat dari ibu tidak bertahan lama, biasanya hanya dapat

bertahan selama beberapa bulan, oleh sebab itu harus segera dilakukan imunisasi

aktif untuk dapat memproduksi sendiri antibodinya (Akib et.al. 2010).

Antibodi pada imunitas pasif buatan diperoleh dari orang lain yang telah

kebal terhadap penyakit tertentu dan diberikan dengan cara menyuntikkan

antibodi tersebut ke dalam tubuh seseorang yang memerlukan antibodi segera,

untuk mengatasi keadaan defisiensi antibodi di dalam tubuh. Apabila antibodi

yang terdiri dari imunoglobulin tersebut disuntikkan pada tubuh seseorang maka

orang tersebut akan segera kebal terhadap suatu penyakit. Imunitasnya tidak

berlangsung lama karena antibodi yang disuntikkan dapat didegradasi oleh

penerima. Waktu paruh dari antibodi yang disuntikkan tersebut biasanya sekitar 3

minggu (Akib et.al. 2010).

Antibodi yang disuntikkan yakni Immune serum globulin yang digunakan

pada keadaan tertentu seperti untuk penderita hepatitis A, hepatitis B, dan

imunodefisiensi. Tetanus Immune Globulin (TIG), merupakan antitoksin untuk

penderita luka tusuk yang diduga mengalami tetanus. Rabies Immune Globulin,

diberikan segera setelah seseorang digigit hewan yang diduga sebagai pembawa

virus rabies, serta Hepatitis Immune Globulin, diberikan pada bayi yang

dilahirkan oleh ibu terinfeksi virus Hepatitis B (Radji, 2015).

Universitas Sumatera Utara


13

2.6 Penyelenggaraan Imunisasi di Indonesia

Program Imunisasi diberikan kepada populasi yang dianggap rentan

terjangkit penyakit menular, yaitu bayi, balita, anak-anak, Wanita Usia Subur

(WUS) dan ibu hamil. Berdasarkan sifat penyelenggaraannya, imunisasi

dikelompokkan menjadi imunisasi wajib dan imunisasi pilihan.

2.6.1 Imunisasi Wajib

adalah imunisasi yang diwajibkan oleh pemerintah untuk seseorang

sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan

masyarakat sekitarnya dari penyakit menular tertentu. Pelaksanaan pelayanan

imunisasi wajib dapat dilaksanakan secara massal atau perseorangan. Pelayanan

imunisasi secara massal dilaksanakan di Puskesmas, Posyandu, Sekolah, atau pos

pelayanan imunisasi lainnya yang telah ditentukan sedangkan pelayanan imunisasi

secara perseorangan dilaksanakan di rumah sakit, puskesmas, klinik, praktik

dokter, dan dokter spesialis, praktik bidan, dan fasilitas pelayanan kesehatan

lainnya. Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, tambahan dan khusus.

1. Imunisasi Rutin

Imunisasi rutin merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan secara

terus menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan

imunisasi lanjutan.

a. Imunisasi Dasar

Imunisasi ini diberikan pada bayi sebelum berusia satu tahun. Jenis

imunisasi dasar terdiri atas BCG, DPT-HB atau DPT-HB-Hib, Hepatitis B pada

bayi baru lahir, Polio dan Campak (Kemenkes RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara


14

b. Imunisasi Lanjutan

Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi

imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun

(Batita), anak usia sekolah, dan wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil

sehingga dapat mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang

masa perlindungan. Imunisasi lanjutan pada WUS salah satunya dilaksanakan

pada waktu melakukan pelayanan antenatal.

Jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia bawah tiga tahun

(Batita) terdiri atas Difhteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B (DPT-HB) atau

Difhteria Pertusis Tetanus-Hepatitis B-Haemophilus Influenza type B (DPT-HB-

Hib) pada usia 18 bulan dan campak pada usia 24 bulan. Imunisasi lanjutan pada

anak usia sekolah dasar diberikan pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)

dengan jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar

terdiri atas Difhteria Tetanus (DT), campak dan Tetanus Difhteria (Td). Jenis

imunisasi lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur beruta Tetanus Toxoid.

2. Imunisasi Tambahan

Imunisasi tambahan diberikan pada kelompok umur tertentu yang paling

berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.

Pemberian imunisasi tambahan tidak menghapuskan kewajiban pemberian

imunisasi rutin. Kegiatan imunisasi tambahan antara lain Backlog fighting, Crash

Program, PIN (Pekan Imunisasi Nasional), Sub PIN, Catch up Campaign

campak, imunisasi dalam penanganan KLB (Kemenkes RI, 2013).

Universitas Sumatera Utara


15

3. Imunisasi Khusus

Imunisasi khusus merupakan kegiatan imunisasi yang dilaksanakan untuk

melindungi masyarakat terhadap penyakit tertentu pada situasi tertentu. Situasi

tertentu yang dimaksud tersebut antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah

haji/umroh, persiapan perjalanan menuju negara endemis penyakit tertentu dan

kondisi kejadian luar biasa (KLB). Jenis imunisasi khusus antara lain terdiri atas

imunisasi Meningitis Meningokokus, Imunisasi demam kuning, dan imunisasi

Anti Rabies (VAR) (Kemenkes RI, 2013).

Pelaksanaan pelayanan imunisasi wajib berdasarkan tempat pelayanan

dibagi menjadi :

1. Pelayanan imunisasi di dalam gedung (komponen statis) seperti puskesmas,

puskesmas pembantu, rumah sakit, klinik, bidan atau dokter praktik. Untuk

meningkatkan jangkauan pelayanan, imunisasi dapat diberikan melalui

fasilitas Pemerintah maupun swasta, antara lain rumah sakit swasta, praktik

dokter, praktik bidan klinik swasta, balai imunisasi.

2. Pelayanan imunisasi di luar gedung (komponen dinamis) seperti posyandu, di

sekolah, atau melalui kunjungan rumah.

2.6.2 Imunisasi Pilihan

Imunisasi pilihan merupakan imunisasi yang dapat diberikan kepada

seseorang sesuai dengan kebutuhannya dalam rangka melindungi yang

bersangkutan dari penyakit menular tertentu. Imunisasi pilihan adalah imunisasi

lain yang tidak termasuk dalam imunisasi wajib, namun penting diberikan pada

bayi, anak, dan dewasa di Indonesia mengingat beban penyakit dari masing-

Universitas Sumatera Utara


16

masing penyakit. Jenis imunisasi pilihan dapat berupa imunisasi Haemophilus

Influenza tipe b (Hib), Pneumokokus, Rotavirus, Influenza, Varisela, Measles

Mump Rubella (MMR), Demam Tifoid, Hepatitis A, Human Papiloma Virus

(HPV), dan Japanese Encephalitis (Kemenkes RI, 2013).

2.7 Penyakit Menular yang Saat ini Masuk ke dalam Program Imunisasi
Dasar

2.7.1 Hepatitis B

Hepatitis B adalah suatu peradangan pada hati yang terjadi karena agen

penyebab infeksi, yaitu Hepatitis B virus (HBV) (Maryuni, 2010). HBV bersifat

infeksi kronis, terutama pada mereka yang terinfeksi sewaktu bayi dan merupakan

faktor utama dalam perkembangan ke arah sirosis hati dan kanker hati

(Radji,2015). Distribusi HBV adalah ada di seluruh dunia (Brooks et.al. 2005).

Secara epidemiologi, penularan infeksi virus hepatitis B dibagi dalam 2

cara. Pertama, penularan vertikal yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu

yang HbsAg positif kepada anak yang dilahirkan terjadi selama masa perinatal

dengan risiko terinfeksi pada bayi berkisar 50-60%. Kedua, penularan horizontal

yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap virus hepatitis B

kepada orang lain di sekitarnya (Radji,2015).

Penularan horizontal terjadi melalui hubungan seksual, penggunaan

bersama peralatan (seperti sisir, pisau cukur, selimut, alat makan), air liur, jarum

atau pisau bedah yang tidak disterilisasi dengan baik, penggunaan tatto atau

tindik telinga (Brooks et.al. 2005). Baik akut dan karier keduanya sangat

infeksius (Rudolph et.al. 2006). HbsAg dapat terdeteksi dalam darah, saliva,

basuhan nasofaring, semen, darah menstruasi, dan sekresi vagina (Brooks et.al.

2005).

Universitas Sumatera Utara


17

Gejala yang muncul tidak khas yaitu mual, anoreksia, demam dan fase

ikterik yaitu air seni berwarna seperti teh, kulit menguning (Widoyono, 2008).

Masa inkubasi hepatitis B adalah 50-180 hari, tetapi tampak bervariasi tergantung

pada jumlah HBV yang masuk dan jalur masuknya antigen. Pencegahan dan

pengendalian dilakukan melalui vaksin Hepatitis B (HB) yang protektif terhadap

HBV, dan SOP pada perawat dan petugas laboratorium. Imunisasi Hepatitis B

terbukti efektif dalam mencegah hepatitis B pada bayi yang dilahirkan oleh ibu

yang positif HBV dan dianjurkan oleh WHO dan Pusat Pengendalian dan

Pencegahan Penyakit (Brooks et.al. 2005).

Indonesia termasuk daerah endemis sedang-tinggi. Vaksin yang tersedia

di Indonesia adalah vaksin rekombinan. Vaksin Hepatitis B diberikan secara

intramuskular. Pada neonatus dan bayi diberikan di anterolateral paha, sedangkan

pada anak remaja dan dewasa diberikan di regio deltoid. Vaksin Hepatitis B, harus

diberikan segera setelah lahir untuk memutuskan rantai penularan HBV melalui

transmisi maternal dari ibu kepada bayinya (Ranuh et.al. 2011).

Vaksin ini aman dan ditoleransi dengan baik, dan imunogenik pada 90-

95% orang (Rudolph et.al. 2006). Reaksi antibodi dapat berupa flu dan rasa

sakit didaerah suntikan (Radji, 2015). Pemberian imunisasi Hepatitis B minimal

diberikan sebanyak 3 kali, dengan imunisasi pertama diberikan segera setelah

lahir (HB0) (Kemenkes, 2013).

2.7.2 Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah penyakit infeksi pada manusia yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberculosis (Rudolph, 2006). Sumber infeksi yang paling sering

adalah ekskresi dari saluran respirasi manusia dan ditemukan basil tuberkel.

Universitas Sumatera Utara


18

Infeksi pada usia muda lebih banyak terjadi di kota daripada di desa dan penyakit

ini terjadi hanya pada sebagian kecil individu yang terinfeksi (Brooks et.al. 2001).

Penularan terjadi melalui pernapasan yaitu lewat percikan ludah (saat

batuk, bersin, bercakap-cakap), dan melalui udara yang mengandung bakteri M.

Tuberculosis karena membuang ludah di sembarang tempat. Pada anak-anak

sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa dengan BTA positif

(Maryunani, 2010). Gejala utama pada tersangka TB adalah batuk berdahak lebih

dari tiga minggu, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada, serta gejala lainnya

adalah berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi, meriang, dan penurunan

berat badan (Widoyono, 2008).

Tindakan pencegahan dilakukan terhadap pasien tuberkulosis antara lain

berupa pengobatan yang tepat dan efektif terhadap penderita TB paru dan

imunisasi BCG (Brooks et.al. 2001). Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi

tuberkulosis, namun dapat mencegah komplikasinya dan efektivitas vaksin untuk

perlindungan penyakit hanya 40% (Ranuh et.al. 2011).

BCG merupakan vaksin hidup yang dilemahkan dari strain M.bovis yang

dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen

tetapi masih mempunyai imunogenisitas. Vaksin BCG diberikan secara

intradermal (intrakutan) didaerah lengan kanan atas sesuai anjuran WHO.

Frekuensi pemberian vaksin BCG sebanyak satu kali, dianjurkan sebelum usia 3

bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin

dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Efek yang mungkin timbul 2-6

minggu setelah imunisasi BCG adalah timbul bisul kecil (papula) dan dapat

terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian sembuh perlahan dengan

menimbulkan jaringan parut tanpa pengobatan khusus (Ranuh et.al. 2011).

Universitas Sumatera Utara


19

2.7.3 Poliomyelitis

Poliomyelitis adalah penyakit infeksi akut yang pada keadaan serius

menyerang susunan saraf pusat, kerusakan saraf motorik pada medulla spinalis

menyebabkan paralisis flaksid. Tetapi kebanyakan infeksi virus polio bersifat

subklinis hanya sekitar 1% infeksi yang mengalami penyakit klinis. Masa

Inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi bisa berkisar dari 3 sampai dengan 35 hari

(Brooks et.al. 2005).

Poliomyelitis disebabkan oleh virus polio, dimana terdapat tiga jenis

serotipe virus polio yaitu virus polio tipe I, tipe II, dan tipe III (Ranuh et.al. 2011;

dan Irianto, 2013). Penyakit polio hanya menyerang manusia dan dapat

menimbulkan KLB epidemi dan endemi (Ranuh et.al. 2011.; Brooks et.al. 2005.;

Radji, 2015.; dan Irianto, 2013). Manusia adalah satu-satunya reservoar dan

hospes alamiah dari infeksi virus polio (Widoyono, 2008).

Virus polio tersebar diseluruh dunia. Di negara tropis, infeksi dapat terjadi

sepanjang tahun, sedangkan negara beriklim empat, infeksi virus terjadi pada

musim panas dan musim gugur, serta keadaan sanitasi yang buruk mempercepat

infeksi virus polio (Radji, 2015). Penularan terjadi melalui oral-fekal. Di daerah

dengan kesehatan lingkungan yang jelek, penularan terjadi melalui makanan dan

minuman yang tercemar tinja yang mengandung virus polio (Irianto, 2013).

Umumnya menyerang anak berusia 0-3 tahun yang ditandai dengan

munculnya gejala tidak spesifik seperti demam, malaise, sakit kepala, mual,

gangguan pencernaan dan saluran pernafasan, tetapi apabila penyebaran virus

terus berlanjut dalam tubuh maka penyakit akan berkembang dan terjadi kelainan

Universitas Sumatera Utara


20

neurologik dimana virus menyebar ke sel-sel saraf dan sel otak. Apabila sistem

saraf pusat terganggu dan mengalami kerusakan, gejala yang timbul antara lain

kelumpuhan otot dan gangguan penglihatan (Rudolph, 2006).

Virus polio yang menginfeksi sistem saraf pusat, sekitar 1-2% akan terjadi

polio nonparalitik dan 1% berkembang menjadi polio paralitik. Pada kasus polio

nonparalitik, setelah penderita mengalami gejala nonspesifik yang berlangsung 3-

7 hari, gejala akan berlanjut menjadi meningitis aseptik yang ditandai oleh gejala

demam tinggi, sakit di daerah punggung dan kejang otot, sedangkan pada kasus

polio paralitik setelah gejala nonspesifik berlangsung dan berkembang menjadi

nonparalitik, beberapa penderita dapat mengalami infeksi polio yang bersifat

paralitik karena virus merusak sel-sel saraf motorik sehingga mengalami

kelumpuhan permanen yang akan diderita seumur hidupnya (Radji, 2015).

Imunisasi pasif diberikan dari ibu kepada bayi pada saat dalam kandungan

tetapi antibodi secara pasif hanya bertahan 3-5 minggu. Angka kematian kasus

polio bervariasi, lebih tinggi pada pasien yang lebih tua mencapai 5-10% (Brooks

et.al. 2005). Angka kematian penyakit polio yang berkisar antara 2-10%

disebabkan kelumpuhan pada otot pernapasan dan kelumpuhan pada sekat

rongga dada (Irianto, 2013).

Cara pencegahan penyakit polio yang harus dilakukan pertama yakni

peningkatan higiene (Ranuh et.al. 2011). Kedua yakni melalui vaksinasi. Vaksin

yang digunakan di Indonesia adalah vaksin polio sabin yang mengandung virus

polio tipe I, tipe II dan tipe III (vaksin trivalen) yang sudah dilemahkan, dan

vaksin ini diberikan secara oral (Irianto, 2013; dan Radji,2015).

Universitas Sumatera Utara


21

Tahun 2014, secara nasional non polio AFP (Acute Flaccid Paralisis) rate

sebesar 2,38 per 100.000 populasi anak <15 tahun yang berarti telah mencapai

standar minimal penemuan. Ada 24 provinsi di Indonesia (70,6%) telah mencapai

target non polio AFP rate > 2 per 100.000 penduduk kurang dari 15 tahun pada

tahun 2014. Berdasarkan Profil Kesehatan Sumut tahun 2014, ditemukan 1 kasus

polio di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara setelah capaian imunisasi tahun

2011 mengalami penurunan, namun pada tahun 2012-2014, cakupan imunisasi

Polio 4 mengalami peningkatan sehingga capaian program imunisasi dalam kurun

waktu 4 tahun (2011-2014) memperlihatkan trend perlambatan (Dinkes Provinsi

Sumatera Utara, 2015).

Vaksin polio yang beredar di Indoneisa yaitu OPV (oral polio vaccine)

merupakan vaksin hidup yang dilemahkan, kemudian diberikan secara tetes oral

dan IPV (inactivated polio vaccine) yang diberikan secara suntikan. Frekuensi

pemberian imunisasi polio sebanyak empat kali (Ranuh et.al. 2011).

2.7.4 Difteri

Difteri adalah salah satu penyakit infeksi akut yang sangat menular dan

disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae dengan gejala panas >38o C

disertai adanya pseudomembran (selaput tipis) putih keabu-abuan pada

tenggorokan (faring,laring dan tonsil) dan kadang-kadang pada kulit, konjungtiva,

genitalia dan telinga yang tidak muda lepas dan mudah berdarah, serta disertai

nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck) dan sesak nafas

disertai bunyi stridor (Rampengan, 2006; dan Sudoyo et.al. 2010). Masa inkubasi

berlangsung selama 2-4 hari, tetapi terkadang selama 1 minggu (Rudolph, 2006).

Universitas Sumatera Utara


22

Corynebacterium diphteriae ditransmisikan melalui pernapasan atau

kontak langsung dengan lesi kulit (Irianto,2013). Difteri terjadi di seluruh dunia

dan pada setiap musim, meskipun paling sering dimusim dingin. Reservoar infeksi

utama adalah manusia. Kedekatan dan lama kontak dengan pasien difteri atau

karier penyakit yang sehat merupakan penentu penting penyebaran infeksi.

Akibatnya, laju serangan penyakit di rumah tangga dan di pemukiman padat

sangat tinggi (Rudolph, 2006).

Produksi toksin (eksotoksin) terjadi hanya bila bakteri tersebut mengalami

lisogenisasi oleh bakteriofag yang mengandung informasi genetik toksin. Hanya

galur toksigenik yang dapat menyebabkan penyakit berat. Ditemukan 3 galur

bakteri yaitu gravis, intermedius, dan mitis yang semuanya dapat memproduksi

toksin, tetapi tipe gravis yang paling sering di dapatkan pada kasus yang berat

(Ranuh et.al. 2011).

Kematian pada penyakit difteri karena C. Diphteriae yang menginfeksi

nasofaring kemudian akan memproduksi toksin yang menghambat sintesis protein

selular dan menyebabkan destruksi jaringan setempat dan terjadilah suatu

selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada

membran kemudian diabsorbsi kedalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh.

Penyebaran toksin ini mengakibatkan komplikasi berupa miokarditis dan neuritis,

serta trombositopeni dan proteinuria (Ranuh et.al. 2011).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014 (2015), penyakit difteri

pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. Jumlah kasus difteri pada

tahun 2014 sebanyak 396 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16

Universitas Sumatera Utara


23

kasus sehingga CFR difteri sebesar 4,04%. Dari seluruh kasus tersebut, sebesar

37% tidak mendapatkan vaksin difteri. Gambaran kasus menurut kelompok

umur pada tahun 2014 menunjukkan jumlah distribusi kasus tertinggi terjadi pada

kelompok 5-9 tahun 33,1%.

Pemberian antitoksin dimaksudkan untuk mengikat toksin yang beredar

dalam darah, namun tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada

jaringan. Pasien dengan dugaan difteri harus segera mendapatkan pengobatan

antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan teknik

isolasi ketat. Terapi penunjang untuk membantu pernafasan atau pembebasan

jalan nafas (tracheostomy) perlu diberikan segera bila diperlukan. Pemberian

antitoksin untuk pengobatan difteri dapat mencegah terjadinya toksisitas terhadap

kardiovaskular (Ranuh et.al. 2011).

Menurut Irianto (2013) dan IDAI (2014) tindakan pencegahan penyakit

difteri dilakukan melalui imunisasi dengan pemberian vaksin toksoid difteria

(alum-precipitated toxoid) sebagai imunisasi primer yang kemudian digabung

dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Pemberian

Imunisasi dasar DPT diberikan sebanyak tiga kali.

Pemberian imunisasi DPT dilakukan secara intramuskular pada paha untuk

bayi dan lengan kanan atas untuk batita. Pemberian sebanyak tiga kali dengan

maksud pada pemberian pertama zat anti yang terbentuk masih sangat sedikit

(tahap pengenalan terhadap vaksin) dan mengaktifkan organ-organ tubuh

membuat zat anti, pemberian kedua dan ketiga baru terbentuk zat anti yang cukup.

Reaksi timbulnya antibodi berupa demam. Efek ringan dapat berupa

Universitas Sumatera Utara


24

pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, sedangkan efek beratnya bisa

berupa menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun,

terjadi kejang, ensefalopati, dan shock (Hidayat, 2008).

2.7.5 Pertusis

Pertusis atau batuk rejan/ batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut

yang disebabkan oleh Bordetella Pertusis. Pertusis juga merupakan penyakit yang

bersifat toxin-mediated, toksin yang dihasilkan (melekat pada bulu getar saluran

nafas atas) akan melumpuhkan bulu getar tersebut sehingga menyebabkan

gangguan aliran sekret saluran pernapasan, berpotensi menyebabkan sumbatan

jalan napas, dan pneumonia (Ranuh et.al. 2011).

Penularan terjadi melalui penyebaran sekret pernapasan lewat udara. Satu-

satunya reservoir yang diketahui adalah manusia. Masa inkubasi pertusis adalah 7-

14 hari. Ada tiga stadium yang diketahui yaitu periode kataralis, paroksimal, dan

penyembuhan. Periode kataralis berlangsung beberapa hari hingga seminggu

dengan gejala bersin, batuk ringan dan kadang-kadang infeksi konjungtiva ringan

kemudian batuk berangsur-angsur menjadi berat. Periode kataralis merupakan

periode yang paling menular. Periode paroksimal ditandai dengan gejala batuk

yang keras karena anak mencoba mengeluarkan sekret kental, banyak dan lengket

dari saluran pernapasan. Periode ini umumnya berlangsung 1-4 minggu. Periode

penyembuhan, gejala yang terlihat adalah batuk berat dan frekuensi batuk

berangsur-angsur berkurang. Namun, batuk paroksimal berlanjut dari berminggu-

minggu sampai berbulan-bulan setelah itu pasien mulai membaik (Rudolph et.al.

2006).

Universitas Sumatera Utara


25

Komplikasi infeksius pertusis antara lain pneumonia atau otitis media,

komplikasi neurologik (kejang, hemiplegia, paraplegia, ataksia, afasia, buta, tuli

dan kerusakan otak permanen) serta komplikasi lain yang berkaitan dengan

tekanan yaitu epistaksis, melena, hernia, dan prolaps rektum (Rudolph et.al. 2006)

Batuk rejan endemik pada sebagian besar belahan dunia. Tingkat penularan

tertinggi terjadi pada fase kataral berkisar 30%- 90%. Kekebalan terhadap pertusis

terbentuk jika sembuh dari pertusis atau melalui vaksinasi (Brooks et.al. 2001).

Keefektifan yang dicapai setelah mendapat imunisasi dasar tiga kali,

yaitu antara 60-90%, dan kekebalan akan menghilang setelah 4-7 tahun. Menurut

Rudolph et.al (2006) reaksi terhadap vaksinasi pertusis biasanya terjadi pada satu

atau dua hari pertama setelah imunisasi yaitu berupa kemerahan setempat,

pembengkakan, demam dan rewel sedangkan Irianto (2013), menambahkan

kadang-kadang terjadi reaksi samping yang lebih berat seperti menangis hebat,

penurunan kesadaran dan kejang-kejang, bahkan kerusakan otak (sangat jarang

terjadi 1/1 juta anak yang diimunisasi).

2.7.6 Tetanus

Tetanus adalah penyakit akut yang disebabkan oleh eksotoksin yang

dihasilkan oleh Clostridium tetani, organisme ini tersebar di tanah di seluruh

dunia tetapi normalnya terdapat dalam usus kuda, sapi dan herbivora lain serta

kadang-kadang ditemukan pada manusia (Rudolph et.al. 2006). Spora C. tetani

yang terdapat dalam kotoran masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan

dalam suasana anaerob, berubah menjadi bentuk vegetatif yang kemudian

menghasilkan eksotoksin (tetanopasmin) dan disebarkan melalui darah, limfe, dan

menjalar intra axonal dalam saraf (Ranuh et.al. 2011).

Universitas Sumatera Utara


26

C. Tetani bukan merupakan organisme yang invasif. Infeksi terlokalisasi

pada daerah jaringan yang rusak (luka, luka bakar, cedera, jahitan bedah) tempat

spora masuk. Toksin yang dilepaskan dari sel-sel vegetatif dapat mencapai

susunan saraf pusat melalui transpor akson secara retrograd atau melalui aliran

darah. Pada susunan saraf pusat, toksin mudah terikat pada gangglion di medula

spinalis dan batang otak sehingga menimbulkan kejang otot (Brooks et.al. 2001).

Gejala muncul mulai 5-12 hari setelah infeksi (Rudolph, 2006). Masa

inkubasi dapat berkisar antara 4-5 hari sampai berminggu-minggu. Kejang otot

sering terjadi, mula-mula pada daerah luka dan infeksi, kemudian ke otot-otot

rahang (trismus, rahang terkunci, lock jaw) yang berkontraksi sedemikian rupa,

sehingga mulut tidak dapat dibuka. Kematian biasanya terjadi akibat gangguan

mekanisme pernafasan (Brooks et.al. 2001).

Tetanus neonatorum merupakan bentuk infeksi tetanus akibat masuknya

C. tetani ke dalam tali pusat bayi karena pemotongan tali pusat dengan alat yang

tidak steril. Penyakit ini biasanya terjadi antara usia hari ke-3 sampai ke-10

dengan manifestasi berupa tangisan yang berlebihan serta ketidakinginan dan

ketidakmampuan menyusu kemudian gejala diikuti segera oleh trismus, kontraksi

yang terus-menerus, spasme dan kejang (Rudolph, 2006).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014, kasus tetanus

neonatorum banyak ditemukan di negara berkembang khususnya negara dengan

cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang rendah. Pada tahun 2014,

dilaporkan terdapat 84 kasus dari 15 provinsi dengan jumlah meninggal 54 kasus,

dengan demikian CFR tetanus neonatorum pada tahun 2014 sebesar 64,3%,

meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 53,8%. Gambaran kasus

menurut faktor risiko status imunisasi menunjukkan bahwa sebanyak 54 kasus

Universitas Sumatera Utara


27

(74%) terjadi pada kelompok yang tidak diimunisasi dan 50 kasus (68,5%)

ditolong oleh penolong persalinan tradisional (dukun). Di Sumatera Utara tahun

2014 ditemukan 1 kasus tetanus neonatorum dan 1 kasus tersebut tercatat telah

meninggal.

Pemberian antitoksin pada penderita tetanus diberikan secara intravena

untuk menetralkan toksin yang belum terikat oleh jaringan saraf sehingga dapat

menyelamatkan nyawa bayi. Pencegahan lain agar tidak terkena tetanus yakni

imunisasi dengan toksoid tetani dan perawatan yang baik pada luka yang

terkontaminasi oleh tanah, dan pemberian penisilin pada luka, karena penisilin

sangat kuat menghambat pertumbuhan C. tetani dan menghentikan pembentukan

toksin lebih lanjut (Brooks et.al. 2001). Tetanus dapat dicegah sepenuhnya

melalui imunisasi massal (Rudolph, 2006).

2.7.7 Campak

Penyakit campak (rubeola atau measles) adalah penyakit infeksi yang

sangat mudah menular, yaitu kurang dari 4 hari pertama sejak munculnya ruam.

Penyebab pasti dari penyakit campak adalah virus campak (Radji, 2015). Masa

inkubasi terjadi antara 9-14 hari, dengan gejala-gejala prodormal seperti demam,

malaise, nyeri otot, bersin, batuk, hidung tersumbat, mata merah, konjungtivitis

dan fotofobia. Satu atau dua hari sebelum terjadi ruam kulit (rash), pada pipi

bagian dalam rongga mulut terdapat lesi yang khas (koplik’s spots) yaitu makula

kecil berwarna merah atau ulkus dengan pusat yang berwarna putih kebiruan

(Widoyono, 2008).

Ruam kulit pertama terjadi di belakang telinga atau wajah, mata, dan

kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Setelah ruam kulit mencapai maksimum,

Universitas Sumatera Utara


28

demam, dan malaise akan menghilang. Penularan terjadi melalui percikan dari

hidung, mulut dan tenggorokan penderita campak. Virus masuk ke dalam tubuh

manusia melalui saluran pernapasan (Radji, 2015).

Virus campak sangat menular dan infeksi memberikan imunitas seumur

hidup, walaupun pada umumnya campak adalah penyakit jinak dan dapat

sembuh, tetapi kadang-kadang dapat terjadi komplikasi berat akibat infeksi

sekunder yang disebabkan oleh bakteri misalnya bronkitis, otitis media,

pneumonia (Radji, 2015).Virus campak yang menyebabkan bronkitis,

ensefalomielitis dan pneumonia menyebabkan kematian pada 10% penderita.

Prevalensi campak berhubungan dengan kepadatan penduduk, faktor ekonomi,

dan program imunisasi. Campak endemik di seluruh dunia (Rudolph, 2006).

Menurut Profil Kesehatan Indonesia tahun 2014, di Indonesia

dilaporkan terdapat 12.943 kasus campak, lebih tinggi dibandingkan tahun 2013

yang sebesar 11.521 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 8 kasus, yang

dilaporkan dari 5 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau,

dan Kalimantan Timur. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2014 sebesar 5,13

per 100.000 penduduk, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 4,64 per

100.000 penduduk.

Imunisasi virus campak hidup yang dilemahkan adalah usaha pencegaham

yang paling efektif. Vaksinasi amat dianjurkan pada anak berumur 9 bulan yang

belum pernah terinfeksi oleh virus campak dengan frekuensi sebanyak satu kali.

Vaksin ini diberikan secara subkutan pada lengan kiri atas (Kemenkes, 2013),

walaupun demikian dapat juga diberikan secara intramuskular (IDAI,2014).

Universitas Sumatera Utara


29

Biasanya tidak terdapat reaksi akibat imunisasi namun adakalanya terjadi

demam ringan atau sedikit bercak merah pada pipi atau pembengkakan pada

tempat suntikan (Radji, 2015).

2.8 Jadwal Pemberian Imunisasi

Jadwal pemberian imunisasi menurut Permenkes RI tahun 2013, yaitu :

Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar pada Bayi Usia (0-11 bulan)

Waktu pemberian (Usia) Jenis Imunisasi yang Diberikan


0 bulan Hepatitis B0
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan DPT-HB-Hib 2, Polio 3
4 bulan DPT-HB-Hib 3, Polio 4
9 bulan Campak
Catatan : Bayi lahir di Institusi Rumah sakit, klinik dan Bidan Praktik Swasta, imunisasi BCG dan
Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.

Vaksin Hepatitis B, paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah

lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1. Jika Bayi lahir dari ibu

HbsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg)

pada ekstremitas yang berbeda. Jadwal imunisasi ini dianjurkan karena respons

antibodi paling optimal pada usia tersebut. Interval antara dosis pertama dan

dosis kedua minimal 1 bulan, memperpanjang interval antara dosis pertama dan

kedua tidak akan mempengaruhi imunogenisitas atau titer antibodi sesudah

imunisasi selesai. Dosis ketiga dan keempat merupakan penentu respon antibodi

karena merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua

dengan ketiga (4-12 bulan), semakin tinggi titer antibodinya. Bila sesudah dosis

pertama, imunisasi terputus, segera berikan imunisasi kedua, sedangkan imunisasi

ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila dosis

ketiga terlambat, diberikan segera setelah memungkinkan (IDAI, 2014).

Universitas Sumatera Utara


30

Vaksin BCG diberikan satu kali, imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.

Vaksin BCG diberikan secara intradermal pada umur 0-3 bulan. Bila imunisasi

ini berhasil akan meninggalkan bekas luka parut atau benjolan kecil ditempat

suntikan, oleh sebab itu untuk bayi perempuan disuntikkan pada paha bagian

kanan atas (Radji, 2015).

Vaksin Polio diberikan sebanyak empat kali dengan vaksin oral Polio-0

yang diberikan pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan serta harus

diberikan vaksin polio oral polio-1, polio-2, dan polio-3. Selanjutnya, untuk polio

booster (18-24 bulan) dan 5 tahun dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun

sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. Hal ini diperlukan

karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik

polio (India, Pakistan, Afganistan dan Nigeria). Pemberian vaksin Polio dapat

bersamaan dengan pemberian imunisasi BCG, Hepatitis B, dan DPT (Ranuh et.al.

2011).

Vaksin DPT diberikan sebanyak tiga kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak

boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Ulangan

(booster) DPT selanjutnya (DPT-4) diberikan satu tahun setelah DPT-3 yaitu pada

umur 18-24 bulan dan DPT-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun (IDAI,

2014).

Vaksin Campak rutin dianjurkan diberikan dengan dosis 0,5 ml melalui

suntikan secara sub-kutan, pada umur 9 bulan. Selanjutnya imunisasi campak

dosis kedua diberikan secara rutin pada anak sekolah dasar kelas 1 dalam program

BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) karena dalam kajian badan penelitian dan

pengembangan kementerian kesehatan ternyata kurang memberikan perlindungan

Universitas Sumatera Utara


31

jangka panjang. Oleh karena itu, diberikan suntikan penguat pada saat masuk

sekolah dasar melalui program BIAS.

2.9 Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Reaksi simpang yang dikenal Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek

vaksin ataupun efek samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis,

atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal

yang tidak dapat ditentukan, juga perlu dipertimbangkan adanya efek tidak

langsung dari vaksin yang disebabkan oleh kesalahan tehnik pembuatan,

pengadaan, dan distribusi vaksin, kesalahan prosedur, kesalahan tehnik imunisasi,

atau secara kebetulan tak sengaja. KIPI dapat ringan sampai berat, terutama pada

imunisasi massal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis (Ranuh et.al.

2011).

Klasifikasi lapangan menurut WHO Western Pasific (1999) dalam Ranuh

et.al. (2011), Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHO Western Pasific untuk

memilah KIPI dalam lima kelompok penyebab, yaitu :

1. Kesalahan program/tehnik pelaksanaan (programmatic errors). Sebagian

besar kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan tehnik

pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program penyimpanan,

pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin. Kesalahan tersebut dapat

terjadi misalnya dosis antigen, lokasi dan cara penyuntikan, sterilisasi semprit

dan jarum suntik, jarum bekas pakai, kontaminasi vaksin, penyimpanan

vaksin, pemakaian sisa vaksin.

Universitas Sumatera Utara


32

2. Reaksi suntikan. Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma jarum suntik

baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI.

Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak dan kemerahan pada

tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung misalnya rasa

takut, pusing, mual.

3. Induksi vaksin (reaksi vaksin). Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin

umumnya sudah dapat diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi

simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat

saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko

kematian. Reaksi yang mungkin timbul setelah imunisasi dapat berupa reaksi

lokal, reaksi sistemik, dan reaksi vaksin berat.

Reaksi lokal antara lain rasa nyeri di tempat suntikan, bengkak-

kemerahan di tempat suntikan sekitar 10%, bengkak pada suntikan DPT dan

tetanus sekitar 50%, tempat suntikan BCG terjadi perubahan warna kulit yang

akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus terjadi minimal

2 minggu dan akhirnya sembuh dalam waktu 8-12 minggu. Reaksi sistemik

antara lain demam sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain

seperti malaise. Reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin MMR dan

campak, terjadi demam dan ruam serta konjungtivitis pada 5-15% dan lebih

ringan dibandingkan infeksi campak alami tetapi berat pada kasus

imunodefisiensi. Pada vaksin mumps terjadi reaksi pembengkakan kelenjer

parotis, rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. OPV

kurang dari 1% mengalami diare, pusing dan nyeri otot. Reaksi vaksin berat

Universitas Sumatera Utara


33

antara lain kejang, trombositopeni, Hypotonic hyporesponsive episode

(HHE), anafilaksis, ensefalopati akibat imunisasi campak dan DPT.

4. Faktor kebetulan (koinsiden) adalah kejadian yang timbul secara kebetulan

saja setelah imunisasi. Indikator faktor kebetulan ditandai dengan

ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada kelompok populasi

setempat dengan karakteristik serupa tetapi tidak mendapat imunisasi.

5. Penyebab tidak diketahui. Bila kejadian yang dilaporkan belum dapat

dikelompokkan ke dalam salah satu penyebab maka untuk sementara masuk

dalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih lanjut.

Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat

dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat. Pada umumnya

makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya (Ranuh et.al. 2011).

2.10 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan masalah kesehatan

Dalam usaha pencegahan dan pengendalian terhadap masalah kesehatan,

perlu diperhatikan interaksi antara host, agent dan environment. Manusia (host)

memiliki hubungan timbal balik dengan lingkungan (environment) yang

berkaitan dengan interaksi dengan bagian-bagiannya (Chandra, 2012).

Perbedaan sifat karakteristik individu (Host) secara tidak langsung dapat

memberikan perbedaan pada sifat/keadaan keterpaparan maupun derajat risiko

dan reaksi individu terhadap keadaan keterpaparan atau dapat dipengaruhi oleh

berbagai sifat karakteristik tertentu. Pertama, faktor genetis yang lebih bersifat

tetap (jenis kelamin, ras, data kelahiran). Kedua, faktor biologis yang

berhubungan erat dengan kehidupan biologis (umur, status gizi, kehamilan).

Universitas Sumatera Utara


34

Ketiga, faktor perilaku yang berpengaruh seperti mobilitas, status perkawinan,

status pekerjaan, tingkat pendidikan, agama, daerah tempat tinggal. Selain itu,

faktor tempat erat hubungannya dengan fasilitas kesehatan yang tersedia, serta

berbagai hal yang berhubungan dengan faktor lingkungan, baik lingkungan fisik,

lingkungan biologis maupun lingkungan sosial (Noor, 2008).

Menurut Notoatmodjo (2012) berdasarkan teori Lawrence Green,

seseorang yang tidak mau mengimunisasikan anaknya di Posyandu dapat

disebabkan karena orang tersebut tidak mengetahui manfaat imunisasi bagi

anaknya (predisposing factors) atau karena rumahnya jauh dari posyandu/

puskesmas tempat mengimunisasikan anaknya (enabling factors). Penyebab

lainnya mungkin karena para petugas kesehatan atau tokoh masyarakat

disekitarnya tidak pernah mengimunisasikan anaknya (reinforcing factors).

2.11 Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kelengkapan Imunisasi


Dasar

2.11.1 Umur Ibu

Umur ibu merupakan faktor yang berhubungan dengan status imunisasi

anaknya. Hasil penelitian Isfan (2006) menemukan bahwa ketidaklengkapan

imunisasi dasar pada anak lebih berisiko 3,10 kali pada ibu yang berumur >30

tahun dibandingkan ibu yang lebih muda atau <30 tahun. Berdasakan hasil

penelitian Pratiwi (2012), menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan yang

bermakna antara rata-rata umur ibu dengan status imunisasi dasar lengkap pada

balita dengan nilai p value = 0,233.

Universitas Sumatera Utara


35

2.11.2 Tingkat Pendidikan Ibu

Pendidikan formal yang ditempuh seseorang pada dasarnya merupakan

suatu proses pematangan intelektual, untuk itu pendidikan tidak dapat terlepas

dari proses belajar. Semakin tinggi pendidikan formal seseorang maka akan

semakin baik pengetahuan dan keterampilan tentang kesehatan yang dibutuhkan

manusia dalam hidup bermasyarakat, berwawasan, cara berpikir seseorang,

pengambilan keputusan hingga pembuatan kebijakan (Notoatmodjo, 2003).

Pengetahuan yang dipengaruhi oleh tingkat pendidikan merupakan salah

satu faktor pencetus (predisposing) yang berperan dalam mempengaruhi

keputusan seseorang untuk berperilaku sehat (Dinkes Provinsi Sumatera Utara,

2015). Berdasarkan penelitian Pratiwi (2012) dengan desain cross sectional,

terdapat hubungan yang bermakna pada balita denga ibu yang tamat perguruan

tinggi (p value = 0,011), terhadap status imunisasi dasar lengkap. Nilai OR (odd

rasio) sebesar 3,814, artinya balita dengan ibu yang tidak sekolah berpeluang

3,814 kali untuk status imunisasi dasar tidak lengkap daripada balita dengan

ibu yang tamat perguruan tinggi.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Makamban et.al. (2014) dengan

desain cross sectional, menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara

pendidikan ibu dengan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi (p value

=0,004 < 0,05). Besarnya kekuatan hubungan antara pendidikan ibu dengan

cakupan imunisasi dasar lengkap dilihat dari nilai 𝜑=0,295 yang berarti bahwa

kekuatan hubungannya tergolong sedang dimana kontribusi variabel pendidikan

ibu terhadap cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi adalah sebesar 29,5%.

Universitas Sumatera Utara


36

2.11.3 Pekerjaan Ibu

Bertambah luasnya lapangan kerja, semakin mendorong banyaknya kaum

wanita yang bekerja, terutama disektor swasta yang di satu sisi berdampak positif

bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap

pembinaan dan pemeliharaan anak (Anoraga, 2005). Berdasarkan penelitian

Istriyati (2011) dengan desain case control, menyebutkan bahwa ada hubungan

antara status pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi di Desa

Kumpulrejo Kecamatan Argomulyo Kota Salatiga (p value = 0,0001) dan OR

sebesar 7,667, artinya responden dengan status bekerja memiliki risiko 7,667 kali

tidak memberikan imunisasi dasar lengkap kepada anaknya dibandingkan

responden dengan status tidak bekerja.

2.11.4 Jumlah Anak yang Hidup (Paritas)

Berdasarkan penelitian Suparmanto (1990) dalam Handayani (2008),

jumlah anak sebagai salah satu aspek demografi yang akan berpengaruh pada

partisipasi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena jika seorang ibu mempunyai

anak lebih dari satu biasanya ibu semakin berpengalaman dan sering memperoleh

informasi tentang imunisasi, sehingga anaknya akan di imunisasi.

Menurut penelitian Makamban et.al. (2014), menyebutkan bahwa ada

hubungan antara paritas ibu dengan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi

(p value = 0,020). Besarnya kekuatan hubungan antara cakupan imunisasi dasar

lengkap dengan paritas ibu dilihat dari nilai 𝜑=0,239 yang berarti bahwa kekuatan

hubungannya tergolong lemah. Kesimpulannya, paritas banyak memberikan efek

negatif terhadap responden untuk mengimunisasi anaknya secara lengkap,

Universitas Sumatera Utara


37

sebaliknya paritas cukup memberikan efek yang positif terhadap responden untuk

mengimunisasi anaknya secara lengkap.

2.11.5 Tempat Bersalin

Berdasarkan tempat persalinan menurut penelitian Zhan. et.al (1999)

dalam Wati (2009), pada saat persalinan dilakukan dirumah ternyata sebagian

besar anaknya berstatus imunisasi tidak lengkap, sementara pada ibu yang

bersalin di tempat pelayanan kesehatan sebagian besar anaknya berstatus

imunisasi lengkap. Hal ini karena ibu yang melahirkan di tempat persalinan

mempunyai kemungkinan lebih besar anaknya mendapat pelayanan imunisasi.

Penelitian Wati (2009) dengan desain cross sectional, menyebutkan bahwa

terdapat hubungan bermakna antara bayi yang dilahirkan di tempat fasilitas

kesehatan dengan bayi yang dilahirkan di tempat bukan fasilitas kesehatan

terhadap kelengkapan imunisasi dasar lengkap dengan nilai p value 0,000 dan OR

= 2,94, artinya ibu yang melakukan persalinan di fasilitas kesehatan memiliki

kemungkinan 2,94 kali anaknya diimunisasi lengkap dibandingkan ibu yang

melakukan persalinan bukan di fasilitas kesehatan.

2.11.6 Jarak Tempat Tinggal dengan Tempat Pelayanan Kesehatan

Menurut Sukmana dalam Ladifre (2009) dengan desain cross sectional

faktor pemungkin lainnya adalah persepsi ibu terhadap jarak. Semakin jauh jarak

suatu pelayanan kesehatan dasar, maka semakin malas seseorang untuk datang.

Ada batasan jarak tertentu sehingga orang masih mau untuk mencari pelayanan

kesehatan. Batasan jarak secara nyata dipengaruhi pula oleh jenis jalan, jenis

kendaraan, biaya transportasi.

Universitas Sumatera Utara


38

Menurut penelitian Prayogo et.al. (2009) dengan desain cross sectional,

tidak terdapat hubungan antara jarak tempat pelayanan imunisasi dengan

kelengkapan imunisasi dasar, tetapi terdapat kecenderungan orang tua yang

mempunyai rumah dengan jarak tempat pelayanan imunisasi lebih dekat memiliki

anak dengan imunisasi yang lengkap.

2.12 Kerangka Konsep

Adapun kerangka konsep pada penelitian tentang faktor-faktor yang

berhubungan dengan kelengkapan imunisasi pada Batita di Desa Hutaimbaru

Kecamatan Halongonan Kabupaten Padang Lawas Utara tahun 2016.

Variabel Independen Variabel Dependen

Umur ibu
Tingkat pendidikan ibu
Pekerjaan ibu
Paritas Kelengkapan
Tempat bersalin Imunisasi Dasar
pada Batita
Jarak tempat tinggal ke tempat
pelayanan imunisasi

Gambar 2.1 Kerangka Konsep Penelitian

Universitas Sumatera Utara

You might also like