Professional Documents
Culture Documents
TINJAUAN PUSTAKA
secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia terpajan pada antigen
yang sama maka tidak akan terjadi penyakit (Akib et.al. 2010). Imunisasi hanya
akan memberikan kekebalan atau resistensi pada penyakit itu saja, sehingga
2010). Imunisasi biasanya lebih fokus diberikan kepada anak-anak karena sistem
kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa, sehingga rentan
dalam tubuh. Kekebalan yang diperoleh dengan vaksinasi berlangsung lebih lama
dari kekebalan pasif karena adanya memori imunologis, walaupun tidak sebaik
imunisasi cacar variola (Ranuh et.al. 2011). Tujuan lainnya diberikan imunisasi
dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) yang termasuk
Nilai (value) vaksin dibagi dalam tiga kategori yaitu secara individu dan
sosial. Secara individu, apabila anak telah mendapat vaksinasi maka 80%-95%
akan terhindar dari penyakit infeksi. Makin banyak bayi yang mendapat vaksinasi
penularan penyakit dari anak ke anak lain atau kepada orang dewasa yang hidup
bersamanya, inilah yang disebut keuntungan sosial, karena dalam hal ini 5%-20%
anak yang tidak diimunisasi akan juga terlindung, disebut Herd Immunity (Ranuh
et.al. 2011).
perawatan di rumah sakit, mencegah kematian dan kecacatan yang akan menjadi
anak, berarti akan meningkatkan kualitas hidup anak dan meningkatkan daya
produktivitas karena 30% dari anak-anak masa kini adalah generasi yang akan
memegang kendali pemerintahan dimasa yang akan datang (Ranuh et.al. 2011).
Tubuh dapat kebal terhadap infeksi karena adanya sistem kekebalan tubuh
yang melindungi. Sistem imun adalah suatu sistem pertahanan tubuh yang
dalam tubuh. Sistem imun terdiri dari dua komponen utama yaitu sistem imun
nonspesifik dan sistem imun spesifik. Sistem imun nonspesifik merupakan sistem
kekebalan lini pertama sedangkan sistem imun spesifik merupakan lini pertahanan
faktor fisik (lapisan kulit luar, lapisan epitel internal kulit dari tubuh, silia pada
saluran pernafasan), faktor kimia (lisozim dan fosfolipase yang terdapat pada air
mata, saliva, sekret hidung, asam lemak pada keringat, pH rendah pada lambung,
dan cairan vagina yang bersifat asam) dan faktor biologis (flora normal pada kulit
dan saluran pencernaan), serta barier humoral dan berier seluler terhadap infeksi
(Radji, 2015).
dari ancaman organisme asing yang akan masuk ke dalam tubuh. Jika pertahanan
lini pertama tidak mampu maka sel-sel makrofag dan neutropil akan menelan dan
Lini kedua pertahanan tubuh (sistem imun spesifik) adalah suatu sistem
pertahanan yang dapat mengenali substansi asing (antigen) yang masuk ke dalam
tubuh dan dapat memacu perkembangan respon imun yang spesifik terhadap
substansi tersebut dimana sel-sel imun yang berperan penting adalah sel limfosit
masuk ke dalam tubuh. Produksi antibodi akan berikatan secara spesifik dengan
antigen yang masuk dan memicu pergerakan sel-sel spesifik lainnya yang dapat
Apabila di dalam tubuh sudah terdapat antibodi yang spesifik terhadap antigen
tertentu maka jika ada antigen yang spesifik masuk kembali ke dalam tubuh
responnya akan berlangsung lebih cepat daripada respon infeksi yang pertama.
Hal ini terjadi karena adanya proses aktivasi yang cepat pada memori sel limfosit
imunitas tubuh (acquired immunity) dapat diperoleh secara aktif maupun secara
pasif.
Hib, hepatitis A, cacar air, dan influenza termasuk kategori imunisasi aktif buatan
(Radji, 2015).
yang dilaksanakan sejak tahun 1977. PPI merupakan program pemerintah dalam
Sistem kekebalan yang timbul pada tubuh bersifat seumur hidup terhadap
beberapa jenis mikroorganisme (virus cacar dan virus polio), sedangkan untuk
seorang ibu kebal terhadap difteri, rubella atau polio, maka bayi yang baru lahir
tersebut. Beberapa antibodi juga terdapat di air susu ibu terutama colostrum.
Antibodi bayi yang didapat dari ibu tidak bertahan lama, biasanya hanya dapat
bertahan selama beberapa bulan, oleh sebab itu harus segera dilakukan imunisasi
Antibodi pada imunitas pasif buatan diperoleh dari orang lain yang telah
yang terdiri dari imunoglobulin tersebut disuntikkan pada tubuh seseorang maka
orang tersebut akan segera kebal terhadap suatu penyakit. Imunitasnya tidak
penerima. Waktu paruh dari antibodi yang disuntikkan tersebut biasanya sekitar 3
penderita luka tusuk yang diduga mengalami tetanus. Rabies Immune Globulin,
diberikan segera setelah seseorang digigit hewan yang diduga sebagai pembawa
virus rabies, serta Hepatitis Immune Globulin, diberikan pada bayi yang
terjangkit penyakit menular, yaitu bayi, balita, anak-anak, Wanita Usia Subur
dokter, dan dokter spesialis, praktik bidan, dan fasilitas pelayanan kesehatan
lainnya. Imunisasi wajib terdiri atas imunisasi rutin, tambahan dan khusus.
1. Imunisasi Rutin
terus menerus sesuai jadwal. Imunisasi rutin terdiri atas imunisasi dasar dan
imunisasi lanjutan.
a. Imunisasi Dasar
Imunisasi ini diberikan pada bayi sebelum berusia satu tahun. Jenis
imunisasi dasar terdiri atas BCG, DPT-HB atau DPT-HB-Hib, Hepatitis B pada
b. Imunisasi Lanjutan
imunisasi dasar pada bayi yang diberikan kepada anak usia bawah tiga tahun
(Batita), anak usia sekolah, dan wanita usia subur (WUS) termasuk ibu hamil
Jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia bawah tiga tahun
Hib) pada usia 18 bulan dan campak pada usia 24 bulan. Imunisasi lanjutan pada
anak usia sekolah dasar diberikan pada Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS)
dengan jenis imunisasi lanjutan yang diberikan pada anak usia sekolah dasar
terdiri atas Difhteria Tetanus (DT), campak dan Tetanus Difhteria (Td). Jenis
imunisasi lanjutan yang diberikan pada wanita usia subur beruta Tetanus Toxoid.
2. Imunisasi Tambahan
berisiko terkena penyakit sesuai kajian epidemiologis pada periode waktu tertentu.
imunisasi rutin. Kegiatan imunisasi tambahan antara lain Backlog fighting, Crash
3. Imunisasi Khusus
tertentu yang dimaksud tersebut antara lain persiapan keberangkatan calon jemaah
kondisi kejadian luar biasa (KLB). Jenis imunisasi khusus antara lain terdiri atas
dibagi menjadi :
puskesmas pembantu, rumah sakit, klinik, bidan atau dokter praktik. Untuk
fasilitas Pemerintah maupun swasta, antara lain rumah sakit swasta, praktik
lain yang tidak termasuk dalam imunisasi wajib, namun penting diberikan pada
bayi, anak, dan dewasa di Indonesia mengingat beban penyakit dari masing-
2.7 Penyakit Menular yang Saat ini Masuk ke dalam Program Imunisasi
Dasar
2.7.1 Hepatitis B
Hepatitis B adalah suatu peradangan pada hati yang terjadi karena agen
penyebab infeksi, yaitu Hepatitis B virus (HBV) (Maryuni, 2010). HBV bersifat
infeksi kronis, terutama pada mereka yang terinfeksi sewaktu bayi dan merupakan
faktor utama dalam perkembangan ke arah sirosis hati dan kanker hati
(Radji,2015). Distribusi HBV adalah ada di seluruh dunia (Brooks et.al. 2005).
cara. Pertama, penularan vertikal yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari ibu
yang HbsAg positif kepada anak yang dilahirkan terjadi selama masa perinatal
dengan risiko terinfeksi pada bayi berkisar 50-60%. Kedua, penularan horizontal
yaitu penularan infeksi virus hepatitis B dari seorang pengidap virus hepatitis B
bersama peralatan (seperti sisir, pisau cukur, selimut, alat makan), air liur, jarum
atau pisau bedah yang tidak disterilisasi dengan baik, penggunaan tatto atau
tindik telinga (Brooks et.al. 2005). Baik akut dan karier keduanya sangat
infeksius (Rudolph et.al. 2006). HbsAg dapat terdeteksi dalam darah, saliva,
basuhan nasofaring, semen, darah menstruasi, dan sekresi vagina (Brooks et.al.
2005).
Gejala yang muncul tidak khas yaitu mual, anoreksia, demam dan fase
ikterik yaitu air seni berwarna seperti teh, kulit menguning (Widoyono, 2008).
Masa inkubasi hepatitis B adalah 50-180 hari, tetapi tampak bervariasi tergantung
pada jumlah HBV yang masuk dan jalur masuknya antigen. Pencegahan dan
HBV, dan SOP pada perawat dan petugas laboratorium. Imunisasi Hepatitis B
terbukti efektif dalam mencegah hepatitis B pada bayi yang dilahirkan oleh ibu
yang positif HBV dan dianjurkan oleh WHO dan Pusat Pengendalian dan
pada anak remaja dan dewasa diberikan di regio deltoid. Vaksin Hepatitis B, harus
diberikan segera setelah lahir untuk memutuskan rantai penularan HBV melalui
Vaksin ini aman dan ditoleransi dengan baik, dan imunogenik pada 90-
95% orang (Rudolph et.al. 2006). Reaksi antibodi dapat berupa flu dan rasa
2.7.2 Tuberkulosis
adalah ekskresi dari saluran respirasi manusia dan ditemukan basil tuberkel.
Infeksi pada usia muda lebih banyak terjadi di kota daripada di desa dan penyakit
ini terjadi hanya pada sebagian kecil individu yang terinfeksi (Brooks et.al. 2001).
sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TB dewasa dengan BTA positif
(Maryunani, 2010). Gejala utama pada tersangka TB adalah batuk berdahak lebih
dari tiga minggu, batuk berdarah, sesak napas, nyeri dada, serta gejala lainnya
adalah berkeringat pada malam hari, demam tidak tinggi, meriang, dan penurunan
berupa pengobatan yang tepat dan efektif terhadap penderita TB paru dan
imunisasi BCG (Brooks et.al. 2001). Vaksin BCG tidak dapat mencegah infeksi
BCG merupakan vaksin hidup yang dilemahkan dari strain M.bovis yang
dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang tidak virulen
Frekuensi pemberian vaksin BCG sebanyak satu kali, dianjurkan sebelum usia 3
bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin
dan BCG diberikan apabila uji tuberkulin negatif. Efek yang mungkin timbul 2-6
minggu setelah imunisasi BCG adalah timbul bisul kecil (papula) dan dapat
terjadi ulserasi dalam waktu 2-4 bulan, kemudian sembuh perlahan dengan
2.7.3 Poliomyelitis
menyerang susunan saraf pusat, kerusakan saraf motorik pada medulla spinalis
Inkubasi biasanya 7-14 hari, tetapi bisa berkisar dari 3 sampai dengan 35 hari
serotipe virus polio yaitu virus polio tipe I, tipe II, dan tipe III (Ranuh et.al. 2011;
dan Irianto, 2013). Penyakit polio hanya menyerang manusia dan dapat
menimbulkan KLB epidemi dan endemi (Ranuh et.al. 2011.; Brooks et.al. 2005.;
Radji, 2015.; dan Irianto, 2013). Manusia adalah satu-satunya reservoar dan
Virus polio tersebar diseluruh dunia. Di negara tropis, infeksi dapat terjadi
sepanjang tahun, sedangkan negara beriklim empat, infeksi virus terjadi pada
musim panas dan musim gugur, serta keadaan sanitasi yang buruk mempercepat
infeksi virus polio (Radji, 2015). Penularan terjadi melalui oral-fekal. Di daerah
dengan kesehatan lingkungan yang jelek, penularan terjadi melalui makanan dan
minuman yang tercemar tinja yang mengandung virus polio (Irianto, 2013).
munculnya gejala tidak spesifik seperti demam, malaise, sakit kepala, mual,
terus berlanjut dalam tubuh maka penyakit akan berkembang dan terjadi kelainan
neurologik dimana virus menyebar ke sel-sel saraf dan sel otak. Apabila sistem
saraf pusat terganggu dan mengalami kerusakan, gejala yang timbul antara lain
Virus polio yang menginfeksi sistem saraf pusat, sekitar 1-2% akan terjadi
polio nonparalitik dan 1% berkembang menjadi polio paralitik. Pada kasus polio
7 hari, gejala akan berlanjut menjadi meningitis aseptik yang ditandai oleh gejala
demam tinggi, sakit di daerah punggung dan kejang otot, sedangkan pada kasus
Imunisasi pasif diberikan dari ibu kepada bayi pada saat dalam kandungan
tetapi antibodi secara pasif hanya bertahan 3-5 minggu. Angka kematian kasus
polio bervariasi, lebih tinggi pada pasien yang lebih tua mencapai 5-10% (Brooks
et.al. 2005). Angka kematian penyakit polio yang berkisar antara 2-10%
peningkatan higiene (Ranuh et.al. 2011). Kedua yakni melalui vaksinasi. Vaksin
yang digunakan di Indonesia adalah vaksin polio sabin yang mengandung virus
polio tipe I, tipe II dan tipe III (vaksin trivalen) yang sudah dilemahkan, dan
Tahun 2014, secara nasional non polio AFP (Acute Flaccid Paralisis) rate
sebesar 2,38 per 100.000 populasi anak <15 tahun yang berarti telah mencapai
target non polio AFP rate > 2 per 100.000 penduduk kurang dari 15 tahun pada
tahun 2014. Berdasarkan Profil Kesehatan Sumut tahun 2014, ditemukan 1 kasus
polio di Kabupaten Karo Provinsi Sumatera Utara setelah capaian imunisasi tahun
Vaksin polio yang beredar di Indoneisa yaitu OPV (oral polio vaccine)
merupakan vaksin hidup yang dilemahkan, kemudian diberikan secara tetes oral
dan IPV (inactivated polio vaccine) yang diberikan secara suntikan. Frekuensi
2.7.4 Difteri
Difteri adalah salah satu penyakit infeksi akut yang sangat menular dan
genitalia dan telinga yang tidak muda lepas dan mudah berdarah, serta disertai
nyeri menelan, leher membengkak seperti leher sapi (bullneck) dan sesak nafas
disertai bunyi stridor (Rampengan, 2006; dan Sudoyo et.al. 2010). Masa inkubasi
berlangsung selama 2-4 hari, tetapi terkadang selama 1 minggu (Rudolph, 2006).
kontak langsung dengan lesi kulit (Irianto,2013). Difteri terjadi di seluruh dunia
dan pada setiap musim, meskipun paling sering dimusim dingin. Reservoar infeksi
utama adalah manusia. Kedekatan dan lama kontak dengan pasien difteri atau
bakteri yaitu gravis, intermedius, dan mitis yang semuanya dapat memproduksi
toksin, tetapi tipe gravis yang paling sering di dapatkan pada kasus yang berat
selaput/membran yang dapat menyumbat jalan nafas. Toksin yang terbentuk pada
membran kemudian diabsorbsi kedalam aliran darah dan dibawa ke seluruh tubuh.
pada umumnya menyerang anak-anak usia 1-10 tahun. Jumlah kasus difteri pada
tahun 2014 sebanyak 396 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 16
kasus sehingga CFR difteri sebesar 4,04%. Dari seluruh kasus tersebut, sebesar
umur pada tahun 2014 menunjukkan jumlah distribusi kasus tertinggi terjadi pada
dalam darah, namun tidak dapat menetralisasi toksin yang sudah terikat pada
antitoksin dan antibiotik dengan dosis yang tepat dan dirawat dengan teknik
dengan toksoid tetanus dan vaksin pertusis dalam bentuk vaksin DPT. Pemberian
bayi dan lengan kanan atas untuk batita. Pemberian sebanyak tiga kali dengan
maksud pada pemberian pertama zat anti yang terbentuk masih sangat sedikit
membuat zat anti, pemberian kedua dan ketiga baru terbentuk zat anti yang cukup.
berupa menangis hebat, kesakitan kurang lebih empat jam, kesadaran menurun,
2.7.5 Pertusis
Pertusis atau batuk rejan/ batuk seratus hari adalah suatu penyakit akut
yang disebabkan oleh Bordetella Pertusis. Pertusis juga merupakan penyakit yang
bersifat toxin-mediated, toksin yang dihasilkan (melekat pada bulu getar saluran
satunya reservoir yang diketahui adalah manusia. Masa inkubasi pertusis adalah 7-
14 hari. Ada tiga stadium yang diketahui yaitu periode kataralis, paroksimal, dan
dengan gejala bersin, batuk ringan dan kadang-kadang infeksi konjungtiva ringan
periode yang paling menular. Periode paroksimal ditandai dengan gejala batuk
yang keras karena anak mencoba mengeluarkan sekret kental, banyak dan lengket
dari saluran pernapasan. Periode ini umumnya berlangsung 1-4 minggu. Periode
penyembuhan, gejala yang terlihat adalah batuk berat dan frekuensi batuk
minggu sampai berbulan-bulan setelah itu pasien mulai membaik (Rudolph et.al.
2006).
dan kerusakan otak permanen) serta komplikasi lain yang berkaitan dengan
tekanan yaitu epistaksis, melena, hernia, dan prolaps rektum (Rudolph et.al. 2006)
Batuk rejan endemik pada sebagian besar belahan dunia. Tingkat penularan
tertinggi terjadi pada fase kataral berkisar 30%- 90%. Kekebalan terhadap pertusis
terbentuk jika sembuh dari pertusis atau melalui vaksinasi (Brooks et.al. 2001).
yaitu antara 60-90%, dan kekebalan akan menghilang setelah 4-7 tahun. Menurut
Rudolph et.al (2006) reaksi terhadap vaksinasi pertusis biasanya terjadi pada satu
atau dua hari pertama setelah imunisasi yaitu berupa kemerahan setempat,
kadang-kadang terjadi reaksi samping yang lebih berat seperti menangis hebat,
2.7.6 Tetanus
dunia tetapi normalnya terdapat dalam usus kuda, sapi dan herbivora lain serta
yang terdapat dalam kotoran masuk ke dalam tubuh manusia melalui luka dan
pada daerah jaringan yang rusak (luka, luka bakar, cedera, jahitan bedah) tempat
spora masuk. Toksin yang dilepaskan dari sel-sel vegetatif dapat mencapai
susunan saraf pusat melalui transpor akson secara retrograd atau melalui aliran
darah. Pada susunan saraf pusat, toksin mudah terikat pada gangglion di medula
spinalis dan batang otak sehingga menimbulkan kejang otot (Brooks et.al. 2001).
Gejala muncul mulai 5-12 hari setelah infeksi (Rudolph, 2006). Masa
inkubasi dapat berkisar antara 4-5 hari sampai berminggu-minggu. Kejang otot
sering terjadi, mula-mula pada daerah luka dan infeksi, kemudian ke otot-otot
rahang (trismus, rahang terkunci, lock jaw) yang berkontraksi sedemikian rupa,
sehingga mulut tidak dapat dibuka. Kematian biasanya terjadi akibat gangguan
C. tetani ke dalam tali pusat bayi karena pemotongan tali pusat dengan alat yang
tidak steril. Penyakit ini biasanya terjadi antara usia hari ke-3 sampai ke-10
cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan yang rendah. Pada tahun 2014,
dengan demikian CFR tetanus neonatorum pada tahun 2014 sebesar 64,3%,
(74%) terjadi pada kelompok yang tidak diimunisasi dan 50 kasus (68,5%)
2014 ditemukan 1 kasus tetanus neonatorum dan 1 kasus tersebut tercatat telah
meninggal.
untuk menetralkan toksin yang belum terikat oleh jaringan saraf sehingga dapat
menyelamatkan nyawa bayi. Pencegahan lain agar tidak terkena tetanus yakni
imunisasi dengan toksoid tetani dan perawatan yang baik pada luka yang
terkontaminasi oleh tanah, dan pemberian penisilin pada luka, karena penisilin
toksin lebih lanjut (Brooks et.al. 2001). Tetanus dapat dicegah sepenuhnya
2.7.7 Campak
sangat mudah menular, yaitu kurang dari 4 hari pertama sejak munculnya ruam.
Penyebab pasti dari penyakit campak adalah virus campak (Radji, 2015). Masa
inkubasi terjadi antara 9-14 hari, dengan gejala-gejala prodormal seperti demam,
malaise, nyeri otot, bersin, batuk, hidung tersumbat, mata merah, konjungtivitis
dan fotofobia. Satu atau dua hari sebelum terjadi ruam kulit (rash), pada pipi
bagian dalam rongga mulut terdapat lesi yang khas (koplik’s spots) yaitu makula
kecil berwarna merah atau ulkus dengan pusat yang berwarna putih kebiruan
(Widoyono, 2008).
Ruam kulit pertama terjadi di belakang telinga atau wajah, mata, dan
demam, dan malaise akan menghilang. Penularan terjadi melalui percikan dari
hidung, mulut dan tenggorokan penderita campak. Virus masuk ke dalam tubuh
hidup, walaupun pada umumnya campak adalah penyakit jinak dan dapat
dilaporkan terdapat 12.943 kasus campak, lebih tinggi dibandingkan tahun 2013
yang sebesar 11.521 kasus. Jumlah kasus meninggal sebanyak 8 kasus, yang
dilaporkan dari 5 provinsi yaitu Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau,
dan Kalimantan Timur. Incidence rate (IR) campak pada tahun 2014 sebesar 5,13
per 100.000 penduduk, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 4,64 per
100.000 penduduk.
yang paling efektif. Vaksinasi amat dianjurkan pada anak berumur 9 bulan yang
belum pernah terinfeksi oleh virus campak dengan frekuensi sebanyak satu kali.
Vaksin ini diberikan secara subkutan pada lengan kiri atas (Kemenkes, 2013),
demam ringan atau sedikit bercak merah pada pipi atau pembengkakan pada
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar pada Bayi Usia (0-11 bulan)
lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1. Jika Bayi lahir dari ibu
pada ekstremitas yang berbeda. Jadwal imunisasi ini dianjurkan karena respons
antibodi paling optimal pada usia tersebut. Interval antara dosis pertama dan
dosis kedua minimal 1 bulan, memperpanjang interval antara dosis pertama dan
imunisasi selesai. Dosis ketiga dan keempat merupakan penentu respon antibodi
karena merupakan dosis booster. Semakin panjang jarak antara imunisasi kedua
dengan ketiga (4-12 bulan), semakin tinggi titer antibodinya. Bila sesudah dosis
ketiga diberikan dengan jarak terpendek 2 bulan dari imunisasi kedua. Bila dosis
Vaksin BCG diberikan satu kali, imunisasi BCG ulangan tidak dianjurkan.
Vaksin BCG diberikan secara intradermal pada umur 0-3 bulan. Bila imunisasi
ini berhasil akan meninggalkan bekas luka parut atau benjolan kecil ditempat
suntikan, oleh sebab itu untuk bayi perempuan disuntikkan pada paha bagian
Vaksin Polio diberikan sebanyak empat kali dengan vaksin oral Polio-0
yang diberikan pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan serta harus
diberikan vaksin polio oral polio-1, polio-2, dan polio-3. Selanjutnya, untuk polio
booster (18-24 bulan) dan 5 tahun dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun
sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. Hal ini diperlukan
karena Indonesia rentan terhadap transmisi virus polio liar dari daerah endemik
polio (India, Pakistan, Afganistan dan Nigeria). Pemberian vaksin Polio dapat
bersamaan dengan pemberian imunisasi BCG, Hepatitis B, dan DPT (Ranuh et.al.
2011).
Vaksin DPT diberikan sebanyak tiga kali sejak umur 2 bulan (DPT tidak
boleh diberikan sebelum umur 6 minggu) dengan interval 4-8 minggu. Ulangan
(booster) DPT selanjutnya (DPT-4) diberikan satu tahun setelah DPT-3 yaitu pada
umur 18-24 bulan dan DPT-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun (IDAI,
2014).
dosis kedua diberikan secara rutin pada anak sekolah dasar kelas 1 dalam program
BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah) karena dalam kajian badan penelitian dan
jangka panjang. Oleh karena itu, diberikan suntikan penguat pada saat masuk
adalah kejadian medik yang berhubungan dengan imunisasi baik berupa efek
atau akibat kesalahan program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal
yang tidak dapat ditentukan, juga perlu dipertimbangkan adanya efek tidak
atau secara kebetulan tak sengaja. KIPI dapat ringan sampai berat, terutama pada
imunisasi massal atau setelah penggunaan lebih dari 10.000 dosis (Ranuh et.al.
2011).
et.al. (2011), Komnas PP-KIPI memakai kriteria WHO Western Pasific untuk
terjadi misalnya dosis antigen, lokasi dan cara penyuntikan, sterilisasi semprit
2. Reaksi suntikan. Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma jarum suntik
baik langsung maupun tidak langsung dan harus dicatat sebagai reaksi KIPI.
Reaksi suntikan langsung misalnya nyeri sakit, bengkak dan kemerahan pada
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin). Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin
simpang vaksin dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat
saja terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaktik sistemik dengan risiko
kematian. Reaksi yang mungkin timbul setelah imunisasi dapat berupa reaksi
kemerahan di tempat suntikan sekitar 10%, bengkak pada suntikan DPT dan
tetanus sekitar 50%, tempat suntikan BCG terjadi perubahan warna kulit yang
akan berubah menjadi pustula kemudian pecah menjadi ulkus terjadi minimal
2 minggu dan akhirnya sembuh dalam waktu 8-12 minggu. Reaksi sistemik
antara lain demam sekitar 10%, kecuali DPT hampir 50%, juga reaksi lain
seperti malaise. Reaksi sistemik disebabkan infeksi virus vaksin MMR dan
campak, terjadi demam dan ruam serta konjungtivitis pada 5-15% dan lebih
parotis, rubela terjadi rasa nyeri sendi 15% dan pembengkakan limfe. OPV
kurang dari 1% mengalami diare, pusing dan nyeri otot. Reaksi vaksin berat
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan saraf pusat. Pada umumnya
makin cepat terjadi KIPI makin berat gejalanya (Ranuh et.al. 2011).
perlu diperhatikan interaksi antara host, agent dan environment. Manusia (host)
dan reaksi individu terhadap keadaan keterpaparan atau dapat dipengaruhi oleh
berbagai sifat karakteristik tertentu. Pertama, faktor genetis yang lebih bersifat
tetap (jenis kelamin, ras, data kelahiran). Kedua, faktor biologis yang
status pekerjaan, tingkat pendidikan, agama, daerah tempat tinggal. Selain itu,
faktor tempat erat hubungannya dengan fasilitas kesehatan yang tersedia, serta
berbagai hal yang berhubungan dengan faktor lingkungan, baik lingkungan fisik,
imunisasi dasar pada anak lebih berisiko 3,10 kali pada ibu yang berumur >30
tahun dibandingkan ibu yang lebih muda atau <30 tahun. Berdasakan hasil
bermakna antara rata-rata umur ibu dengan status imunisasi dasar lengkap pada
suatu proses pematangan intelektual, untuk itu pendidikan tidak dapat terlepas
dari proses belajar. Semakin tinggi pendidikan formal seseorang maka akan
terdapat hubungan yang bermakna pada balita denga ibu yang tamat perguruan
tinggi (p value = 0,011), terhadap status imunisasi dasar lengkap. Nilai OR (odd
rasio) sebesar 3,814, artinya balita dengan ibu yang tidak sekolah berpeluang
3,814 kali untuk status imunisasi dasar tidak lengkap daripada balita dengan
Hal ini juga sejalan dengan penelitian Makamban et.al. (2014) dengan
pendidikan ibu dengan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi (p value
=0,004 < 0,05). Besarnya kekuatan hubungan antara pendidikan ibu dengan
cakupan imunisasi dasar lengkap dilihat dari nilai 𝜑=0,295 yang berarti bahwa
ibu terhadap cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi adalah sebesar 29,5%.
wanita yang bekerja, terutama disektor swasta yang di satu sisi berdampak positif
Istriyati (2011) dengan desain case control, menyebutkan bahwa ada hubungan
antara status pekerjaan ibu dengan kelengkapan imunisasi dasar pada bayi di Desa
sebesar 7,667, artinya responden dengan status bekerja memiliki risiko 7,667 kali
jumlah anak sebagai salah satu aspek demografi yang akan berpengaruh pada
partisipasi masyarakat. Hal ini dapat terjadi karena jika seorang ibu mempunyai
anak lebih dari satu biasanya ibu semakin berpengalaman dan sering memperoleh
hubungan antara paritas ibu dengan cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi
lengkap dengan paritas ibu dilihat dari nilai 𝜑=0,239 yang berarti bahwa kekuatan
sebaliknya paritas cukup memberikan efek yang positif terhadap responden untuk
dalam Wati (2009), pada saat persalinan dilakukan dirumah ternyata sebagian
besar anaknya berstatus imunisasi tidak lengkap, sementara pada ibu yang
imunisasi lengkap. Hal ini karena ibu yang melahirkan di tempat persalinan
terhadap kelengkapan imunisasi dasar lengkap dengan nilai p value 0,000 dan OR
faktor pemungkin lainnya adalah persepsi ibu terhadap jarak. Semakin jauh jarak
suatu pelayanan kesehatan dasar, maka semakin malas seseorang untuk datang.
Ada batasan jarak tertentu sehingga orang masih mau untuk mencari pelayanan
kesehatan. Batasan jarak secara nyata dipengaruhi pula oleh jenis jalan, jenis
mempunyai rumah dengan jarak tempat pelayanan imunisasi lebih dekat memiliki
Umur ibu
Tingkat pendidikan ibu
Pekerjaan ibu
Paritas Kelengkapan
Tempat bersalin Imunisasi Dasar
pada Batita
Jarak tempat tinggal ke tempat
pelayanan imunisasi