You are on page 1of 15

Referat II / Tahun II

Pembimbing : dr. Thamrin Syamsudin, Sp.S(K),M.Kes


Presentan : dr. Silvester Christanto

Gejala Non Motorik Pada Parkinson


Pendahuluan

Penyakit parkinson adalah penyakit neurodegeneratif tersering kedua yang berhubungan dengan usia,
yang dikarakteristikan dengan kehilangan secara progresif pada neuron dopamin substantia nigra pars
compacta dan menurunnya neurotransmiter dopamin. Pasien menunjukkan gejala-gejala klinis, dengan
yang paling sering terpengaruh adalah fungsi motorik dan termasuk tremor istirahat, rigiditas,
akinesia,bradikinesia, dan instabilitas postur. Gejala nonmotorik sebagai bagian dari penyakitnya dan
beberapa diantaranya, seperti depresi,kecemasan dan hyposmia , dapat mendahului onset dari
parkinsonism. Gejala nonmotorik lainnya, seperti psikosis, demensia, impulse-control disorders (ICDs),
somnolen dan disfungsi otonom, hampir semuanya bervariasi muncul pada keadaan lanjut penyakit dan
dalam kombinasinya dapat muncul sebagai keluhan utama dan tantangan dalam terapi. Jika tidak
diobati, maka akan mengganggu kualitas hidup dan menjadi penyebab utama dari alasan pasien
dirawat.2

Gejala nonmotorik pada parkinson sebenarnya sering terjadi, tapi kurang disadari pada praktek klinis
karena kurangnya keluhan spontan dari pasien dan juga karen kurangnya anamnesa sistematik oleh
tenaga medis profesional. Gejala nonmotorik pada parkinson pertama kali dideskripsikan oleh
Chaudhuri et al pada tahun 2006, dan gejalanya berupa gangguan otonom,keluhan sensorik, gangguan
neuropsikiatri, gangguan tidur,lelah, gangguan gastrointestinal, perilaku gejala nonmotorik yang
terinduksi oleh obat dopaminergik, fluktuasi gejala nonmotorik, dan gejala lainnya. Kebanyakan dari
gejala nonmotor penyakit parkinson diduga berhubungan dengan keterlibatan dari sistem non-
dopaminergik, dengan hipotesis keterlibatan dari transmisi neurotransmiter lainnya seperti
serotoninergik, noradrenergik, dan kolinergik. Pada kasus depresi pada penyakit parkinson, dimana
terjadi kehilangan transmisi dopaminergik dan nondopaminergik pada sistem limbik. Oleh karena itu
terapi nondopaminergik berperan dalam kebanyakan penatalaksanaan gejala nonmotorik.3

Tabel. 1. Spektrum gejala non motorik utama/mayor pada penyakit parkinson3


Neuropsikiatri : Gejala gastrointestinal :
 Depresi  Hipersalivasi
 Kecemasan  Disfagia
 Apati  Ageusia
 Halusinasi, delusi,ilusi  Konstipasi
 Delirium (bisa karena induksi obat)  Mual, muntah
 Gangguan kognitif (demensia, MCI)
 Sindrom disregulasi dopaminergik
(biasanya berkaitan dengan levodopa)
 Impulse control disorders (berhubungan

1
dengan obat dopaminergik)
Gangguan tidur : Perilaku nonmotorik terkait obat dopaminergik :
 REM Sleep behaviour disorder  Halusinasi ,psikosis, delusional
(kemungkinan gejala premotor)  Sindroma disregulasi dopamin
 Excessive daytime somnolence, narcolepsy  Impulse control disorders
type “sleep Attack”
 Restless leg syndrome, oeriodic leg
movements
 Insomnia
 Sleep disorder breathing
 Parasomnia non-REM (confusional
wandering)
Fatigue : Gejala nonmotorik lainnya terkait obat
 Central fatigue (dapat berhubungan dopaminergik:
dengan disotonomia)  Bengkak pada pergelangan kaki
 Peripheral fatigue  Dispnea
 Reaksi pada kulit/alergi
 Nodul subkutan
 erythematous
Gejala sensoris : Fluktuasi nonmotorik :
 Nyeri  Disotonomia
 Gangguan penciuman/olfaktorius  Kognitif/psikiatrik
 Hyposmia  Sensoris/nyeri
 Anosmia fungsional  Pandangan kabur
 Gangguan penglihatan ( pandangan kabur,
pandangan ganda, gangguan sensitivitas
kontras/cahaya)
Disfungsi otonom : Gejala lainnya :
 Disfungsi kandung kemih  Penurunan berat badan
(urgensi,frekuensi, nokturia)  Peningkatan berat badan
 Disfungsi seksual ( mungkin dapat
diinduksi oleh obat)
 Abnormalitas berkeringat (hiperhidrosis)
 Hipotensi ortostatik
Dimasa yang akan datang, identifikasi pre-motor dari individu “resiko” untuk penyakit parkinson dapat
berdasarkan dari deteksi beberapa atau kombinasi dari gejala non-motorik parkinson. Telah
dipostulasikan bahwa ada 4 tanda kardinal gejala non-motorik yang dapat memprediksikan
perkembangan dari penyakit parkinson,yaitu : ganggugan penciuman,gangguan tidur REM,depresi , dan
konstipasi.3

1. Gangguan penciuman
Salah satu gejala non-motorik tersering dan yang paling awal terjadi pada penyakit parkinson
dan terjadi pada 90% pada pasien parkinson. Gangguan penciuman dilaporkan terjadi pada
relatif pasien pasien parkinson,dimana gejala asimptomatik dapat berubah menjadi
simptomatik. Patofisiologinya masih belum jelas, tetapi penelitian neuropatologi dan imaging

2
menduga terjadi perubahan struktural dan fungsional pada olfactory bulb. Pada percobaan test
penciuman, identifikasi dan deteksi bau-bauan terlihat tidak berkorelasi dengan derajat atau
durasi penyakit, sementara diskriminasi bau-bauan berkorelasi negatif dengan derajat
keparahan penyakit dan mungkin dapat reversible sebagian setelah Deep Brain Stimulation.
2. Gangguan Tidur REM
Adalah suatu parasomnia ,yang dikarakteristikan dengan hilangnya atonia otot skeletal normal
selama tidur REM,memungkinkan pasien menjadikan mimpi mereka diwujudkan secara fisik,
dan pada beberapa gerakan abnormal dan vokalisasi dilaporkan oleh pasangan tidur pasien.
Patogenesisnya masih belum jelas, tapi dikatakan akibat dari degenerasi nukleus batang otak
bagian bawah, termasuk nukleus pedunculopontine dan subcoeruleal, area terkait Braak derajat
2. Gangguan tidur ini dapat terjadi pada 40% pasien parkinson. Menurut Bonnet et al, pasien
yang mengalami gangguan tidur REM idiopatik mempunyai resiko 40% berkembang menjadi
sindroma parkinson dalam 10 tahun kemudian.
3. Depresi
Salah satu komplikasi psikiatri tersering pada penyakit parkinson dan dapat mempengaruhi 10 –
70% pasien parkinson. Depresi dapat terjadi sendiri atau bersamaan dengan kecemasan. Depresi
dapat terjadi akibat kerusakan pada serotonergik seperti pada noradrenergik limbik dan
neurotranmisi dopaminergik. Seperti yang ditunjukkan pada pasien dengan depresi pada PET
Scan, terjadi pengurangan cairan serebrospinal kadar 5-hydroxyindoacetic acid (5HT1A) dan
pengurangan reseptor kortikal 5HT1A.
4. Konstipasi
Salah satu gejala non-motorik tersering pada pasien parkinson dan dapat mendahului
perkembangan penyakit parkinson. Nukleus vagal kemungkinan dapat terlibat,sehingga diduga
ada hubungan dengan Braak derajat 2. Konstipasi pada penyakit parkinson tidak berespon baik
pada terapi dopaminergik,diduga bukan mekanisme non-dopaminergik dalam patogenesisnya.

3
Tinjauan Pustaka
4,5
Patofisiologi dari gejala non-motorik
Patofisiologi dari gejala non-motorik parkinson masih tetap spekulatif karena banyaknya substrat
neurokimiawi dan neuroanatomi yang belum diketahui. Pandangan konvensional bahwa proses
patologis parkinson dimulai dengan degenerasi neuron dopaminergik dalam substantia nigra telah
dibantah oleh Braak dkk ,yang memperkenalkan konsep 6 derajat proses patologis.

Braak derajat 1 menunjukkan tanda paling awal dari α-synuclein imunoreaktivitas yang terjadi
bersamaan pada dorsal nukleus motorik dari nervus vagal dan struktur anterior olfaktrius dengan
terjadinya degenerasi dari olfactory bulb dan anterior nukleus olfaktorius, dimana bermanifestasi klinis
sebagai disfungsi olfaktorius. Hal ini menunjukkan proses patologi tidak terjadi dibagian otak lainnnya
melainkan hanya terjadi dibagian bawah medula oblongata dan struktur anterior olfaktorius.

Braak derajat 2 dikarakteristikan dengan progresifitas dari proses patologis di batang otak bagian
bawah. Area yang terlibat adalah nukleus raphe (serotonin), lokus coeruleus (norepinefrin), dan nukleus
pedunculopontine. Area diduga berhubungan dengan asal terjadinya halusinasi visual ,gangguan tidur
REM pada penyakit Parkinson. Dopamin juga diusulkan memodulasi siklus tidur-bangun dan sirkuit
batang otak yang mengatur gerakan tungkai periodik dan atonia selam tidur REM. Nukleus medullaryi
juga mempunyai peranan pada kontrol otonomik sentral. Maka pada derajat 2 ini mempunya pengaruh
terhadap gejala non-motorik seperti penciuman,homeostatis tidur, dan otonom lainnya.

Braak derajat 3 proses patologisnya berlanjut ke bagian atas tegmentum pontin dan lesi terlihat
dibagian basal otak depan dan tengah. Proses patologis mulai terlihat pada substantia nigra pars
compacta,amygdala , subnukleus sentral seperti pada nukleus kolinergik tegmental pedunculopontine,
dan nukleus kolinergik magnocellular pada basal otak depan.

Braak derajat 4 proses patologisnya berlanjut dengan keterlibatan berat dari amigdala, bagian
anteromedial temporal mesokorteks

Trias motorik tipikal tremor,rigiditas, dan bradikinesia hanya muncul di Braak derajat 3 dan 4 dimana
proses neurodegeneratif telah mempengaruhi substansia nigra dan nukleus dalam lainnya pada otak
tengah dan otak depan.

Braak derajat 5 dan 6 proses neurodegenratif telah meluas lebih banyak. Substansia nigra hampir telah
tergantikan oleh melanueron.proses meluas dari mesocorteks hingga ke neokorteks,bahkan hingga ke
daerah motorik dan sensorik primer. Pasien biasanya secara klinis bermanifestasi penuh dari penyakit
parkinson pada derajat 5 dan 6. Pasien dapat terlihat gejala neuropsikiatri seperti depresi, gangguan
kognitif, dan halusinasi visual.

4
Gambar1. Braak Hypothesis. Diambil dari : Olfactory dysfunction in Parkinson disease.Richard L. Doty.Nature Reviews Neurology 8, 329-
339 (June 2012).doi:10.1038/nrneurol.2012.80

Gejala Neuropsikiatri

DEPRESI2

Depresi sebagai salah satu gejala non motorik tersering pada penyakit Parkinson dengan prevalensi 7-
76%. Meskipun sering, tapi depresi underdiagnosed dan tidak diterapi. Depresi sering kurang didiagnosa
karena gejalanya tertutup dengan gejala motorik Parkinson dan sering terjadi komorbid dengan kondisi
neuropsikiatri. Profil gejala depresi pada pasien Parkinson berbeda dengan pasien depresi tanpa
parkinson, mereka mempunyai lebih banyak gejala kecemasan,pesimis, irasionalitas, ide bunuh diri tanpa
perilaku bunuh diri dan kurangnya rasa bersalah dan pendekatan diri. Kombinasi dari disfungsi sistem
dopaminergik dan norefinergik telah di implikasikan dalam patogenesis dari depresi pada penyakit
Parkinson. Sebuah penelitian PET membuktikan bahwa pasien penyakit Parkinson dengan depresi
mempunyai pengikatan CRTI-32 yag lebih rendah, sebuah pelacak untuk kedua transporter dopamin dan
noradrenalin, didalam locus coeruleus dan dibeberapa regio sistem limbik, seperti amigdala, korteks
singula anterior, talamus dan striatum ventral. Kemudian, keterlibatan sistem serotoninergik dalam
patogenesis telah diusulkan, sebagai hilang raphe neuron serotoninergik diasosiasikan dengan kejadian
terjadinya depresi pada penelitian postmortem. Menurut Nuti dkk, depresi sering terjadi bersamaan
dengan aspek neuropsikiatri dari penyakit Parkinson dimana kecemasan dan panik terjadi 30% pada
pasien depresi dengan Parkinson. Sementara pada pasien dengan depresi mayor dikatakan dapat
menjadi faktor resiko untuk berkembang menjadi demensia

Diagnosis depresi pada penyakit Parkinson dilakukan secara klinis, dan alat bantu skala penilaian yang
sering dipakai adalah Beck Depression Inventory (BDI) dan Hamilton Depression Rating Scale (HAMD)
untuk menilai derajat keparahan dan progresifitasnya.

5
Pada penatalaksanaannya, efek anti depresan pada penyakit Parkinson harus dievaluasi sebelum
menambahkan terapi spesifik anti depresan. Penggunaan Levodopa, meskipun diasosiasikan dengan
perubahan mood pada pasien tapi dikatakan tidak menambah gejala depresi pada pasien Parkinson.
Agonis Dopamin dapat mengurangi depresi pada penyakit Parkinson, melalui mediasi reseptor D2 pada
jalur nigrostriatal, stimulasi reseptor D3 melalui jalur mesolimbic dapat menjelaskan efek antidepresif
pada agonis dopamin. Pada penelitian retrospektif Rektorová dkk, efek dari Pergolide (Agonis D1/D2)
dan Pramiprexole (Agonis D2/D3) pada pasien depresi non-demensia parkinson, menunjukkan
penurunan yang signifikan pada skala penilaian depresi Montgomery dan Asberg pada grup pasien yang
diterapi dengan Pramiprexole dibandingkan grup pasien Pregolide 6. Pramiprexole juga menunjukkan
mempunyai efikasi yang sama dengan selective reuptake serotonin inhibitors (SSRI) dengan pasien
depresi mayor dengan atau tanpa penyakit Parkinson. Ropinirole dalam sediaan extended release juga
didemonstrasikan mengurangi skala nilai BDI pada uji randomisasi kontrol plasebo 7. Monoamine
Oxidase(MAO) – B Inhibitor efek antidepresan yang rendah. Antidepresan trisiklik (TCA) ,seperti
Amitriptilin, Imipramin, Nortriptilin dan Trazodon, efesien di penyakit Parkinson, tetapi kurang baik
ditoleransi karena dapat meningkatkan gejala hipotensi ortostatik,memperburuk gangguan kognitif,
konstipasi dan mulut kering. Karena, kurangnya efek antikolinergik dan sedatif, SSRI lebih dipilih
dibanding TCA. Akan tetapi menurut Menza dkk, menunjukkan kurangnya efikasi Paroxetine dibanding
Nortriptilin pada depresi 7. Penggunaan SSRI sendiri pada penyakit Parkinson diasosiasikan dapat
memperburuk gejala motorik, karena dapat meningkatkan inhibisi mediasi serotonin dari raphe nucleus
dan berkurangnya pelepasan dopamin dari jalur nigrostriatal. Akan tetapi, beberapa penelitian
menunjukkan paroxetine,sertralin, fluvoxamin, dan citalopram memperbaiki depresi tanpa memperburuk
gejala motorik. Kombinasi antara SSRI dan MAO-B Inhibitor dapat menyebabkan potensial terjadinya
sindroma serotonin, menunjukkan pertimbangan lain dalam penggunaan SSRI pada Parkinson meskipun
sindroma ini jarang. Sindroma Serotonin adalah akibat stimulasi berlebih dari reseptor 5HT1A oleh SSRI,
TCA,MAO inhibitor yang dikarakteristikan dengan trias dari gangguan mental,otonom,dan neurologis
dengan onset mendadak kurang dari 24 jam setelah awal terapi serotonin atau dosis berlebih.
Penatalaksanaan lainnya adalah mirtazapine, sebuah antagonis α2 presinaps dimana juga mempunyai
peran dalam mengurangi tremor pada Parkinson. Pada kasus refrakter,pilihan lainnya dapat dilakukan
stimulasi otak noninvasif (transcranial magnetic stimulation, electroconvulsive treatment/ECT), tapi studi
pada terapi ini masih terbatas.

KECEMASAN2

Kecemasan dapat terjadi pada 40% pasien Parkinson. Seperti pada depresi, hal ini dapat terjadi pada
fenomena periode “OFF” dan dapat berespon pada medikasi Parkinson. Kelainan kecemasan yang
sering terjadi adalah serangan panik, kelainan kecemasan umum, fobia social. Faktor resiko yang
diasosiasikan dengan derajat keparahan penyakit adalah adanya gejala instabilitas postur atau freezing
of gait, diskinesia, fluktuasi “on/off”. Pengaturan dosis dari obat Parkinson dapat memperbaiki fluktuasi
motorik biasanya berhasil. Sampai saat ini masih belum ada bukti asesemen terapi ansiolitik pada
Parkinson. Benzodiazepine dapat meningkatkan efek samping seperti kebingungan/confuse, gangguan
otonom. Buspirone, suatu obat anxiolitik dapat menginduksi efek dopaminergik, dapat ditoleransi dengan
baik oleh pasien Parkinson pada dosis 10-40mg.

6
PSIKOSIS2,8

Halusinasi dan ilusi adalah gejala psikotik yang sering dikeluhkan pada penyakit Parkinson. Dengan
prevalensinya 15-40%. Halusinasi adalah suatu persepsi sensori tanpa stimulasi eksternal yang
berhubungan dengan organ sensoris. Modalitas halusinasi yang sering dikeluhkan adalah visual dengan
prevalensinya 30% pada pasien Parkinson, meskipun modalitas lainnya juga pernah dilaporkan, auditori
10%,taktil 8%. Halusinasi visual lebih sering terjadi pada malam hari,bersifat stereotipik dan repetitif,
hingga beberapa kali perhari, dengan durasi yang pendek,dengan keluhan seperti bayangan yang
bergerak pada lapang pandang perifer atau dengan perasaan keberadaan seorang dibelakang
pasien,dapat terjadi pada satu lapang pandang. Halusinasi pada Parkinson cenderung untuk menetap
dan walaupun jarang, dapat memburuk seiring waktu.

Patogenesis dari halusinasi dipertimbangkan sebagai multifaktorial, misalnya pada pasien kronis yang
telah diterapi karena semua obat anti Parkinson dapat menjadi faktor resiko dan perjalanan penyakitnya
sendiri, kemungkinan adanya sindroma parkinson (misalnya demensia dengan Lewy Bodies), kondisi
gangguan psikiatrik yang komorbid atau telah ada sebelumnya. Visual halusinasi dipertimbangkan
sebagai stimulasi berlebih dari reseptor dopamin D3 dan D4 mesolimbik karena terapi Dopamin.
Halusinasi dapat juga dipicu karena pemberian atau peningkatan dosis hampir semua obat anti
Parkinson dan dapat membaik dengan pengurangan dosis. Diantara obat-obatan dopaminergik,
dopamine lebih sering menimbulkan gejala ini dibandingkan dengan levodopa. Menurut Ecker dkk,
didapatkan korelasi positif antara jumlah obat yang digunakan per pasien dan resiko berkembangnya
gejala psikotik dan menemukan bahwa obat dopeminergik yang berbeda diasosiasikan dengan resiko
gejala psikotik yang berbeda pula. Secara khusus,pergolide diasosiasikan dengan resiko tertinggi
berkembangnya gejala psikosis, diikuti oleh ropinirole, pramiprexole,dan cabergoline. Pertimbangan
bahwa obat dopaminergik dapat menimbulkan psikosis pada Parkinson, intervensi dilakukan dengan
mengurangi atau menghentikan obat tersebut, jika diperlukan, anti psikotik atipikal dapat ditambahkan.
Terapi pada halusinasi ringan masih merupakan tantangan karena kemungkinan dapat memperburuk
gejala motorik yang dapat muncul dengan pengurangan terapi dopaminergik atau introduksi dari anti
psikotik. Goetz dkk, melaporkan bahwa terapi awal dari halusinasi dengan antipsikotik dapat
memperbaiki halusinasi, bukan hanya untuk jangka pendek tapi juga untuk progresifitas jangka panjang
dari halusinasi, dimana pengurangan dosis dopaminergik tidak mencegah progresifitas jangka panjang
dari halusinasi.

Clozapine adalah anti psikotik atipikal yang direkomendasikan untuk terapi psikosis pada Parkinson.
Clozapine dapat memperbaiki atau menghilangkan halusinasi di Parkinson tanpa mempengaruhi gejala
motorik. Dosis rekomendasi yang digunakan adalah dosis terendah yaitu 6,25mg/hari sampai 25 mg/hari
diberikan satu kali saat tidur saja. Pemberian lebih dari 25mg/ hari dapat memburuk gejala motorik
Parkinson. Pemberian Clozapine pada penelitian meta analisis dapat memperbaiki 85% keluhan,resolusi
dimulai bisa dari 1 hari sampai 2 minggu pemberian. Akan tetapi penggunaan clozapine sendiri
mempunyai efek samping agranulasitosis,dimana memerlukan pemeriksaan darah yang frekuen. Obat
lainnya yang sering digunakan, ditoleransi baik dan diindikasikan menjadi obat pilihan utama oleh AAN
2006 adalah Quetiapine,dimana pada beberapa penelitian dikatakan mempunyai efikasi yang sama
dengan Clozapine dan tidak menyebabkan agranulasitosis. Merupakan sebuah antagonis kuat reseptor
5-HT2 dan antagonis sedang reseptor D2. Dosis dianjurkan sampai saat ini hanya sampai dengan
dibawah 75mg/hari, karena masih belum ada data penelitian yang cukup untuk penggunan dosis dari
Quetiapine pada Parkinson. Obat lainnya olanzapine dan risperidone kurang efektif dan menunjukkan
perburukan motorik yang signifikan dibandingkan dengan clozapine. Obat antipsikotik novel lainnya,
ziprasidone dan aripiprazole, dimana pada beberapa seri kasus ziprasidone efektif dalam mengkontrol

7
psikosis,tidak menunjukkan perburukan dari gejala motorik, tetapi obat ini tidak dapat digunakan untuk
orangtua karena dapat diasosiasikan dengan QT interval yang memanjang, dan diasosiasikan dapat
menyebabkan efek samping extrapiramidal pada pasien non Parkinson. Aripirazole adalah obat terakhir
yang dipasarkan di USA. Merupakan hanya obat anti psikotik atipikal yang agonis parsial terhadap
reseptor D2 dan 5-HT1a dan antagonis reseptro 5-HT2a. Aripirazole dimulai dari dosis 5-10mg/ hari dan
dititrasi per 3-7 hari sampai muncul efek samping atau ada perbaikan dari psikosis. Efek samping yang
bisa terjadi adalah sindroma ekstrapiramidal (karena mempunyai rasio 5-HT2/D2 yang tinggi) walaupun
dengan resiko yang rendah.

Obat lainnya yang pernah dicoba untuk psikosis pada Parkinson adalah Ondansetron yang merupakan
antagonis reseptor 5-HT3, dimana tidak memperburuk gejala motorik. Limitasi dari obat ini adalah hanya
pernah dilakukan pada kelompok studi dengan populasi kecil dan tidak pernah dipublikasikan secara
universal.

Jenis obat lainnya adalah penghambat asetilkolinesterase, karena dipikirkan adanya kehilangan neuron
kolinergik pada pasien Parkinson. Galantamine,dapat digunakan karena memperbaiki halusinasi , tapi
mempunyai efek samping yang kurang ditoleransi seperti muntah, perburukan dari tremor, muncul
halusinasi karena induksi obat ini pernah dilaporkan. Rivastigmine, dapat digunakan terutama bila
terdapat suatu gangguan psikosis terkait Parkinson dan demensia (demensia terkait Lewy Bodies),
dikatakan dapat memperbaiki gejala halusinasi. Penggunaannya efektif bila dimulai dari dosis rendah dan
dititrasi perlahan. Donepezil, penggunaannya pada halusinasi terkait Parkinson masih belum jelas
efektifitasnya, tetapi penggunaannya sangat efektif pada psikosis dengan demensia Lewy Bodies. Terapi
non farmakologi yang pernah dilakukan adalah dengan teknik yng dilakukan pada pasien berupa :
melihat ke objek lainnya atau mengacuhkan, berinteraksi dengan sesama, atau meyakinkan diri sendiri.

Jika gejala psikotik menetap meskipun penghentian obat psikotropik, obat anti Parkinson selanjutnya
dikurangi secara gradual atau jika memungkinkan dihentikan. Penghentian obat anti Parkinson,
dianjurkan secara berurutan : anti kolinergik, selegiline,amantadine, agonis dopamin, penghambat
catechol-O-methyltransferase (COMT), dan terakhir levodopa. Levodopa yang dipilih adalah yang bekerja
jangka pendek karena farmakokinetiknya lebih dapat diprediksi dan waktu paruh yang pendek berarti
kumulatif efek samping yang lebih sedikit. Jika psikosis membaik, anti Parkinson dipertahankan pada
dosis serendah mungkin,karena penghentian biasanya memperburuk gejala Parkinson. Pada keadaan ini
penggunaan anti psikotik atipikal direkomendasikan.

Demensia

Pasien dengan Parkinson mempunyai resiko tinggi untuk demensia. Insidensinya 10% pada pasien
Parkinson, 4 -6 x lebih besar dibandingkan dengan subjek tanpa penyakit Parkinson. Durasi rata-rata
terjadinya demensia pada Parkinson kira-kira 10 tahun dari onset , tetapi Hely dkk mengemukakan
bahwa 83% pasien terjadi demensia sekitar 20 tahun dari onset. Demensia ini dapat terjadi hampir pada
semua pasien Parkinson ,juga pada yang onset penyakitnya di umur yang lebih muda. Faktor resikonya
adalah lanjut usia, halusinasi visual, dan gangguan motorik yang berat khususnya rigiditas, instabilitas
postural dan gangguan keseimbangan tubuh. Dasar dari neuropatofisiologi demensia pada Parkinson
masih diperdebatkan sampai saat ini, diduga karena adanya patologis dari Lewy Body-synuclein. Pada
demensia di penyakit Parkinson juga didapatkan adanya defisit dari kolinergik, oleh karena itu
dirasionalkan untuk penggunaan terapi penghambat kolinesterase. Pemeriksaan neurofisiologi
menunjukkan bahwa gejala klinis dari penyakit Parkinson dengan demensia adalah onset yang

8
mendadak;gangguan kognitif dengan progresifitas lambat; adanya sindroma diseksekutif dengan
gangguan yang menonjol pada atensi, eksekutif, dan fungsi visuospasial. Umumnya memori dan fungsi
berbahasa jarang terganggu. Klinis perilaku yang didapatkan adalah halusinasi,delusi,apati, dan
perubahan mood. Untuk skrining bisa kita pakai MMSE dan MoCA/Montrela Cognitive Assessment.
Hubungan antara demensia dengan Lewy Bodies dan penyakit Parkinson dengan demensia masih belum
jelas dan sedang dalam penelitian lebih lanjut. Beberapa perbedaan yang signifikan antara keduanya
adalah disfungsi eksekutif yang lebih berat dan psikosis yang lebih sering, lebih banya ditemukan pada
demensia dengan Lewy Bodies. Dan berdasarkan onset waktunya, demensia dengan Lewy Bodies
terjadi setelah 1 tahun dari onset gejala motorik muncul, sementara penyakit Parkinson dengan demensia
terjadi bertahun-tahun setelah onset.

Penatalaksanaannya harus dihindari penggunaan antikolinergik,amantadine, dan benzodiazepine karena


dapat mengurangi kognitif. Penggunaan agonis dopamin harus hati-hati karena dapat menimbulkan
halusinasi visual dan berkurangnya performa kognitif. Penggunaan penghambat kolinesterase telah
dibuktikan dapat memperbaiki gangguan kognitif dan gejala perilaku lainnya seperti halusinasi dan apati,
tetapi limitasi dari terapi ini adalah efek samping kolinergik dan memperburuk gejala Parkinson.
Donepezil dan Rivastigmin telah demostrasikan memperbaiki kognitif dan hanya menimbulkan gejala
motorik yang ringan. Sementara Memantine, penghambat NMDA, juga menunjukkan memperbaiki fungsi
kognitif, tetapi limitasinya adalah dapat memicu terjadinya psikosis.

Gangguan Tidur

Mempunyai prevalensi kejadian 75-98% pada populasi penyakit Parkinson. Proses neurodegeneratif dari
parkinson sendiri memegang peranan pada gangguan tidur, dimana prosesnya mempengaruhi regio
kolinergik,serotoninergik, dan noradrenergik dari batang otak, seperti pedunkulopontine,lokus
coeruleus,dan RAS, dimana bertanggung jawab untuk gangguan perilaku tidur REM/ REM sleep
Behaviour Disorder (RBD) atau Excessive Daytime Sleepiness (EDS) pada parkinson. Berdasarkan dari
Braak hipotesis, keterlibatan awal dari struktur – struktur ini pada proses neurodegeneratif menyebabkan
EDS relatif terjadi pada awal perjalanan penyakit. Penatalaksanaan berupa konseling tidur yang
baik,memperbaiki kontrol gejala motorik, mengatasi kondisi komorbid seperti OSA, RLS, depresi,
psikosis, nokturia.

Excessive daytime sleepiness/EDS dapat mempengaruhi sampai dengan 50% pasien parkinson, dengan
insidensi meningkat seiring dengan progresifitas penyakitnya. Pada suatu studi jangka panjang
membandingkan agonis dopamin dan levodopa menunjukkan penggunaan agonis dopamin, ropinirole,
pramiprexole, dan pergolide mempunyai prevalesi yang lebih tinggi untuk terjadi somnolen pada pasien
dibandingkan dengan levodopa. Serang tidur/ Sleep Attack (SA) didefinisikan keadaan rasa mengantuk
luar biasa yang terjadi tanpa peringatan. SA ini terjadi akibat obat dopaminergik yang memprovokasi
EDS. Pasien dapat tidak waspada dari prodormal rasa kantuk akibat dari efek amnesik karena periode
subsekuen dari tidur, sehingga disebut “unintended sleep episodes”. Penatalaksanaannya dengan
menghindari sedatif, mengurangi atau mengganti jenis agonis dopamin,edukasi terutama untuk tidak
menyetir. Obat jenis stimulan yang digunakan adalah Modafinil yang secara umum ditoleransi dengan
baik dan tidak mempengaruhi gejala motorik, tapi obat ini masih kontroversial. Penggunaan stimulan EDS
sering didapatkan efek samping kesulitan untuk tidur, rasa ketidaknyamanan,konstipasi,dizziness, diare,
dan peningkatan tekanan darah. penggunaan melatonin gagal untuk memperbaiki kualitas tidur,
sementara obat hipnotik baru Ramelton yang digunakan untuk pasien insomnia,suatu ligan dari respetor

9
melatonin, mungkin dapat berguna pada pasien dengan Parkinson karena belum ada data yang
menelitinya.

RBD terdiri dari akitifitas otot yang tonik/fasik yang atonia selama tidur REM,dengan mimi buruk, dan
pasien biasanya memperlihatkan gerakan nonstereotipik yang kasar/violent sehingga dapat melukai diri
sendiri dan pasangan tidurnya. Prevalensinya antara 33-60% pada pasien Parkinson,lebih sering pada
laki-laki. Saat ini RBD diterapi dengan Clonazepam dalam dosis kecil (0.25-1 mg), apabila dengan adanya
EDS penggunaannya harus dipertimbangkan dan bila terdapat OSA makanya penggunaannya harus
dihindari. Penggunaan Melatonin dilaporkan efektif pada dosis 3-12 mg.

Gangguan Perilaku

Gangguan kontrol impuls/Impulse Control Disorders (ICD) dikarakteristikan dengan gagal untuk menahan
suatu impuls, dorongan, atau godaan untuk melakukan suatu aksi yang berbahaya pada diri sendiri atau
orang lain. Prevalensinya antara 6-25% pada pasien Parkinson. Gangguan perilaku lainnya adalah
Berjudi Patologis/Pathological Gambling (PG) dengan prevalensinya 2-10%, hiperseksualitas dengan
prevalensinya 7,2%.

Pasien yang akan berkembang menjadi ICD, khusus PG,biasanya laki-laki,mempunyai onset penyakit
Parkinson pada usia muda,durasi penyakit yang lebih panjang, mempunyai riwayat kebiasaan pribadi
atau riwayat keluarga gangguan penggunaan alkohol atau ada riwayat ICD sebelumnya. Peranan dosis
dopamin dalam meningkatkan resiko berkembang menjadi ICD masih kontroversial. Penjelasan yang
mungkin untuk asosiasi antara agonis dopamin dan ICD di perlihatkan dengan stimulasi selektif dari obat
dengan reseptor dopamin. Reseptor D2 dan D1 faktanya banyak terdapat di dorsal striatum dan mungkin
mediasi efek motorik dari agonis dopamin, dimana reseptor D3 lebih banyak terdapat di ventral striatum,
dimana diasosiasikan dengan gangguan perilaku adiksi dan penggunaan zat. Kebanyakan agonis
dopamin dan khususnya pramiprexole dan ropinirole mendemostrasikan selektif untuk reseptor D3 dan
mungkin bertanggungjawab terhadap kerentanan terjadinya ICD.

Penatalaksanaan ICD terdiri dari edukasi pasien dan pendamping,modifikasi dari terapi pengganti
dopamin dan obat psikoaktif. Semua pasien dengan ICD harus di asses untuk komorbid masalah
neuropsikiatrik. Untuk pasien dengan ICD yang dalam moifikasi terapi pengganti dopamin, perilakunya
biasanya menghilang atau membaik dengan pengurangan dosis agonis dopamin, diganti ke agonis
dopamin lainnya atau menghentikan sama sekali agonis dopamin. Jika ditoleransi, terapi pengganti
dopamin harus dimulai dengan dosis efektif terendah.

Dopamine Dysregulation Syndrome / DDS adalah sindroma gangguan perilaku neuropsikiatrik


diasosiasikan dengan penyalahgunaan zat dan gangguan perilaku yang menyerupai keadaan hipomanik
atau gangguan dalam sistem kontrol impulse,mengakibatkan dorongan tidak terkontrol untuk melakukan
sesuatu. Khasnya adalah penggunaan dosis obat dopaminergik yang berlebihan daripada yang
diperlukan untuk mengatasi gejala motorik. Prevalensi dari DDS 3,4 – 14 %. Pasien Parkinson dengan
DDS biasanya pasien Parkinson dengan onset awal, laki-laki, riwayat penggunaan narkoba dan
konsumpsi alkohol yang berat, mereka juga mempnyai riwayat gangguan mood. Obat dopaminergik
manapun diasosiasikan dengan DDS, dengan prevalensi tertinggi pada levodopa dan apomorfin.
Penanganan DDS tidaklah mudah. Penanganan terbaik untuk keadaan hipomanik dan episode psikotik
adalah dengan reduksi dari terapi pengganti dopamin,anti psikotik atipikal dosis rendah dapat
mengkontrol keadaan psikosis akut. Antidepresan dapat digunakan untuk gangguan mood.

10
Disfungsi Otonom2,9

Prevalensinya antara 14-80%, gejala seperti konstipasi, nokturia, dan hipotensi ortostatik mengganggu
kualitas hidup pasien secara signifikan. Gangguan otonom dapat mengenai sistem simpatik,parasimpatik,
saraf enterik, yang berhubungan dengan penyakit parkinson dan termasuk didalamnya adalah disfungsi
kardiovaskular, gastrointestinal, urogenital,dan termoregulator.

Patofisiologi dari disfungsi otonom yaitu dengan ditemukan suatu degenerasi dari substantia nigra,α
synuclein pada lewy bodies, dan hilangnya sel yang terdeteksi pada :9,10

1. Area pengatur otonomik : hipotalamus,nukleus parabrachial, zona retikular intermediat di


medulla,lokus koeruleus dan nukleus raphe.
2. Area preganglionik simpatis : intermediolateral cell column dan ganglia otonom paravertebral.
3. Area preganglionik parasimpatis : nukelus Edinger Westphal dan dorsal vagal motor nuclei.
4. Sistem saraf enterik : pleksus myenterik (Auerbach) dan submukosa (Meissner) yang terletak di
dinding usus.

Disfungsi kardiovaskular
Pasien kebanyakan menderita hipotensi ortostatik. Prevalensinya 30-58% pada penyakit parkinson. Pada
pasien dengan hipotensi ortostatik ternyata juga didapatkan hipertensi supine dimana lebih sering terjadi
saat keadaan “off stage” daripada “on stage”. Pertimbangan bahwa gejala ini mungkin karena
konsekuensi dari terapi dopaminergik, pengurangan dosis dari agonis dopamin sering diperlukan.
Domperidone, suatu agen penghambat dopamin perifer dapat berguna pada pengobatan hipotensi
ortostatik berhubungan dengan penyakit Parkinson. Secara non farmakologi, dapat dengan elevasi
kepala 300, meningkatkan intake cairan dan garam,penggunaan stoking kompresi setinggi pinggul. Terapi
farmako lainnya termasuk penggunaan anti hipertensi.

Gejala Gastrointestinal2,9
Konstipasi adalah yang umum dikeluhkan oleh pasien Parkinson, dengan prevalensi 58%. Konstipasi
dipikirkan sebagai hasil kombinasi dari proses neurodegeneratif yang mempengaruhi motilitas
pencernaan dengan efek dari pengobatan dopaminergik. Konstipasi juga sebagai gejala premotorik pada
pasien Parkinson dan dikorelasikan dengan adanya Lewy Bodies di usus pada populasi pasien
Parkinson. Penatalaksanaan konstipasi berupa olahraga,modifikasi diet, peningkatan cairan masuk, dan
penggunaan laksatif. Akan tetapi koeksistensi abdominopelvic dyssinergia dapat diperburuk oleh
penggunaan laksatif. Psyllium, polyethylene glycol,bisacodyl,magnesium sulphate, lubiprostone, dan
macrogol dapat memperbaiki konstipasi pada Parkinson. Alternatif lainnya dapat digunakan neostigmin,
simbiotik yogurt, subkutan methylnatrexone, injeksi toksin botulinum, dan stimulasi saraf sakral. Keluhan
gastrointestinal lainnya berupa mulut kering, dismotilitas esofagus, pengosongan lambung yang
terhambat,disfagia, nausea,liur berlebihan, dan konstipasi.
Keluhan liur berlebih pada pasien sebenarnya bukan suatu gejala otonom tetapi lebih karena disfagia
orofaringeal, hal ini bisa mengakibatkan aspirasi “silent”. Hiposialorea, berkurangnya sekresi salivasi
sehingga mengakibatkan keluhan mulut kering. Dismotilitas esofagus bermanifestasi sebagai transit
osefagus yang terlambat, aperistalsis, berkurangnya tekanan sphinkter esofagus bawah, akalisia.
Pengosongan lambung yang terlambat bermanifestasi sebagai mual, rasa kenyang lebih awal, begah,
distensi abdomen, dan hal ini dapat mempengaruhi absorpsi levodopa sehingga memperburuk fluktuasi
motorik.

11
Disfungsi seksual dan miksi2,9
Disfungsi kandung kencing dapat berupa hiperaktif atau hipoaktif otot destrusor. Keluhan hiperaktif
berupa urgensi,frekuensi,dan nocturia; sedangkan keluhan hipoaktif berupa pengosongan kandung
kencing yang lama, kesulitan memulai miksi,dan infeksi saluran kencing berulang. Evaluasi urologi dan
tes urodinamik diperlukan untuk menentukan diagnosis yang akurat. Oksibutynin dan Tolterodine dapat
digunakan, tapi belum pernah digunakan pada populasi pasien Parkinson, dan kemungkinan efek
samping yang terjadi adalah gangguan memori dan konstipasi. Injeksi dari toksin botulinum pada dinding
kandung kencing dapat meningkatkan kontrol dan kapasitas urin.
Disfungsi seksual seperti disfungsi ereksi pada laki-laki dilaporkan lebih dari 60 % pasien Parkinson.
Faktor yang berkontribusi adalah depresi,disabilitas, dan gangguan otonom dapat meningkatan
prevalensi disfungsi ereksi pada pasien Parkinson. Sildenafil Citrate aman dan efektif untuk digunakan
untuk pengobatan disfungsi erektil pada pasien Parkinson.

Hiperhidrosis2,9
Sebagai salah satu manifestasi disotonom pada Parkinson. Penyebabnya diduga berhubungan dengan
disfungsi hipotalamus. Predominan terjadi saat periode “off” dan saat periode “on” dengan diskinesia.
Untuk terapinya masih terbatas, pasien dengan fluktuasi motorik dapat diperbaiki dengan perubahan
dosis obat Parkinson. Propanolol dapat berguna pada beberapa kasus.
Tabel1. Manifestasi Otonom pada Parkinson.9

12
Disfungsi Sensorik

Hiposmia

Terjadi pada 70-100% pasien Parkinson sebagai gejala premotorik, dikorelasikan dengan hipotesis
Braak,dimana terjadi deposisi α-sinuklein pada sturktur anterior olfaktorius pada awal patologi
perkembangan penyakit Parkinson.

Gangguan Visual

Diduga akibat dari disfungsi dopaminergik retinal pada daerah sekitar fovea dan keterlibatan korteks
visual pada Parkinson. Pada suatu penelitian menunjukkan adanya pengurang konsentrasi dopamin
pada retinal di pasien Parkinson. Gejala visual berkembang seiring progresifitas penyakit dan
berkontribusi terhadap disabilitas dan keselamatan pasien.

Nyeri

Gejala nyeri sering tidak diperhatikan dan dan jarang diobati sehingga dapat menjadi sumber stres dan
diabilitas pada pasien. Suatu penelitian di Norway mengatakan gejala nyeri ini terdapat pada 80% pasien
Parkinson. 4 jenis tipe nyeri telah dikategorikan pada penyakit Parkinson, yaitu : muskuloskeletal (karena
rigiditas, penyakit reumatologis atau deformitas skeletal),distoni,neuropati radikular (karena lesi radiks,
neuropati fokal atau perifer), dan nyeri sentral. Diantara semuanya, paling banyak dikeluhkan oleh pasien
adalah muskuloskeletal dan distonik, dengan prevalensi 70% dan 40%. Nyeri distonik adalah salah satu
yang sering diasosiasikan dengan fluktuasi motorik dan efek dari obat dopaminergik. Neurotransmiter
selain dopamin, seperti serotonin dan noradrenaline, mungkin terlibat pada patogenesis nyeri sentral
pada penyakit Parkinson. Neuron – neuron serotonin dan noradrenalin terlibat dalam mekanisme mediasi
penghambat nyeri endogen melalui jalur penghambat desenden di otak. Pada tingkat awal penyakit
,nukleus serotonin (nukleus raphe) dan nukleus noradrenalin ( locus coeruleus) terlibat dalam proses
neurodegeneratif dan degenrasinya mereka mungkin berhubungan dengan patologi modulasi nyeri pada
penyakit Parkinson. Djaldetti dkk, meneliti efek duloxetine, sebuah penghambat serotonin dan
norepinefrin, dalam memodulasi nyeri primer dalam 23 pasien Parkinson, dan menemukan bukti
signifikan efek yang menguntungkan pada nyeri di pasien.

13
KESIMPULAN

Telah dibahas suatu referat tentang gejala non motorik pada penyakit Parkinson beserta spektrum gejalanya yang
secara prevalensi sering dikeluhkan serta penangangannya. Diharapkan dari referat ini dapat membantu kita agar
dapat memahami dan menangani pasien-pasien Parkinson secara menyeluruh dan lebih baik.

14
Daftar Pustaka
1. Chaudhuri K.R, Schapira A.HV. Non motor symptoms of parkinson’s disease
pathophysiology and treatment. Lancet Neurol 2009;8:464-74. National Parkinson
Foundation Centre of Excellence, King’s College Hospital and University Hospital Lewisham.
London.
2. Ceravolo R.,Rossi C., et al. Nonmotor Symptoms In Parkinson’s Disease : The Dark Side of
The Moon. Future Neurology; 2010: 5(6):851-871.
3. Bonnet A.M., Jutras M.F., et al. Nonmotor Symptoms in Parkinson’s Disease in 2012:
Releveant Clinical Aspects. Parkinson Disease, Volume 2012,article ID 198316.
Dot:10.1155/2012/198316. Hindawi Publishing Corporation.
4. Chaudhuri K.R, Schapira A.HV. Non motor symptoms of parkinson’s disease diagnosis and
management. Lancet Neurol 2006;5:235-45. National Parkinson Foundation Centre of
Excellence, King’s College Hospital and University Hospital Lewisham. London.
5. Braak H.,Muller C.M., et al. Pathology associated with sporadic Parkinson’s disease-where
does it end?.J Neural Transm 2006;70:89-97.
6. Rektorová I, Rektor I, Bares M et al.: Pramipexole and pergolide in the treatment of
depression in Parkinson's disease: a national multicentre prospective randomized
study. Eur. J. Neurol. 10(4), 399–406 (2003).
7. Menza M, Dobkin RD, Marin H et al.: A controller trial of antidepressants in patients with
Parkinson disease and depression. Neurology 72, 886–892 (2009).
8. Dylan P.W., et al. Psychosis in Parkinson’s Disease. J Geriatr Psychiatry Neurol 2004;
17:127.
9. Maria G, Eduardo E. Autonomic involvement in Parkinson’s disease :
Pathology,Pathophysiology,clinical features , and possible peripheral biomarkers. J Neurol
Sci 2011, doi:10.1016/j.jns.2011.09.030.
10. Asahina M.,Vichayanrat E.,et al. Autonomic dysfunction in parkinsonian disorders :
assesment and pathophysiology. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2013;84:674-680.
doi:10.1136/jnpp-21013-303135.

15

You might also like