You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit demam berdarah atau Dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah


penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat
hampir diseluruh pelosok Indonesia.
Penyakit DHF ini disebabkan oleh virus dengue dengan tipe DENV 1,
DENV 2, DENV 3, DENV 4. Virus tersebut termasuk dalam group B Arthopod
borne viruses (arbovirus). Infeksi oleh salah satu jenis serotype ini akan
memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan kekebalan
terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah endemis
DBD dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya.
Penularan virus ini terjadi melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes
albopictus betina yang sebelumnya telah membawa virus dalam tubuhnya yang
berasal dari penderita demam berdarah lainnya. Demam berdarah ini sering terjadi
di daerah tropis, lingkungan yang lembab dan pada musim penghujan.
Penyakit DHF sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau
tipus, hal ini disebabkan karena virus dengue yang menyebabkan DHF bisa
bersifat asimtomatik atau tidak jelas gejalanya. Masalah bisa bertambah karena
virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain, oleh karena
itu diperlukan kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit infeksi virus
dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan
klinis yang baik dan lengkap, diagnosis DHF serta pemeriksaan penunjang
(laboratorium) dapat membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 DEFINISI
Demam dengue atau dengue fever (DF) dan demam berdarah dengue (DBD)
atau dengue haemorrhagic fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan
oleh virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi
klinis demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leucopenia, ruam,
limfadenopati, trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi
perembesan plasma yang ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit)
atau penumpukan cairan di rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock
syndrome) adalah demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan/syok 6.

II.2 ETIOLOGI
Demam dengue dan DHF disebabkan oleh virus dengue, yang termasuk
dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus dengan
diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul
4x106. Virus ini termasuk genus flavivirus dari family Flaviviridae. Ada 4 serotipe
yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan jenis yang
sering dihubungkan dengan kasus-kasus parah. Infeksi oleh salah satu jenis
serotipe ini akan memberikan kekebalan seumur hidup tetapi tidak menimbulkan
kekebalan terhadap serotipe yang lain. Sehingga seseorang yang hidup di daerah
endemis DHF dapat mengalami infeksi sebanyak 4 kali seumur hidupnya 6 .

II. 3 EPIDEMIOLOGI
Morbiditas dan mortalitas DBD yang dilaporkan berbagai negara bervariasi
disebabkan beberapa faktor, antara lain status umur penduduk, kepadatan vektor,
tingkat penyebaran virus dengue, prevalensi serotipe virus dengue dan kondisi
meteorologis. Secara keseluruhan tidak terdapat perbedaan antara jenis kelamin,
tetapi kematian ditemukan lebih banyak terjadi pada anak perempuan daripada
anak laki-laki. Pada awal terjadinya wabah di sebuah negara, pola distribusi umur
memperlihatkan proporsi kasus terbanyak berasal dari golongan anak berumur

2
<15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya, jumlah kasus golongan usia
dewasa muda meningkat. Di Indonesia pengaruh musim terhadap DBD tidak
begitu jelas, namun secara garis besar jumlah kasus meningkat antara September
sampai Februari dengan mencapai puncaknya pada bulan Januari 4 .

II.4 PATOFISIOLOGI
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi, hemodinamika, dan
biokimiawi demam berdarah dengue belum diketahui secara pasti karena
kesukaran mendapatkan model binatang percobaan yang dapat dipergunakan
untuk menimbulkan gejala klinis DBD seperti pada manusia. Hingga kini
sebagaian besar masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis
atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa DBD dapat
terjadi apabila seseorang telah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan
infeksi kedua dengan virus serotype lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5
tahun 4 .

Gambar : Hipotesis secondary heterologus infections

3
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia lewat gigitan nyamuk Aedes
Aegypti atau Aedes Albopictus. Organ sasaran dari virus adalah organ RES
meliputi sel kuffer hepar, endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum
tulang serta paru-paru. Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel
monosit dan makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer 5 .
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di dalam sel
tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya virus genomnya
masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel, genom virus membentuk
komponen-komponennya, baik komponen perantara maupun komponen struktural
virus. Setelah komponen struktural dirakit, virus dilepaskan dari dalam sel. Proses
perkembangan biakan virus DEN terjadi di sitoplasma sel 5 .
Antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari Ig G yang
berfungsi menghambat replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing – antibody
dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yang
dibedakan berdasarkan adanya virion determinant spesificity, yaitu 4 :
1. Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi
tetapi memacu replikasi virus
2. Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya
memacu replikasi virus.
Antibodi non neutralisasi yang terbentuk pada infeksi primer akan
menyebabkan terbentuknya kompleks imun pada infeksi sekunder dengan akibat
memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari pendapat bahwa infeksi
virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung menimbulkan
manifestasi berat. Dasar utama hipotesis adalah meningkatnya reaksi imunologis
(the immunological enhancement hypothesis) yang berlangsung sebagai berikut 4 :
a. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit, dan sel kupffer
merupakan tempat utama terjadinya infeksi virus pertama
b. Antibodi non neutralisasi baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang
melekat pada sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya

4
virus dengue pada permukaan sel fagosit mononuklear. Mekanisme
pertama ini disebut mekanisme aferen.
c. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear
yang telah terinfeksi
d. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar
ke usus, hati, lumpa, dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut
mekanisme eferen. Parameter perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa
syok adalah jumlah sel yang terkena infeksi
e. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan
sistem humoral dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya
mediator yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi
sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut mekanisme efektor.

Limfosit T juga memegang peranan penting dalam patogenesis DBD. Akibat


rangsang monosit yang terinfeksi virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan
interferon α dan γ. Pada infeksi sekunder oleh virus dengue, Limfosit T CD4
berproliferasi dan menghasilkan interferon α. Interferon α selanjutnya merangsang
sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi
mediator. Oleh limfosit T CD4 dan CD8 spesifik virus dengue, monosit akan
mengalami lisis dan mengeluarkan mediator yang akan menyebabkan kebocoran
plasma dan perdarahan 4 .
Semua flavivirus memiliki kelompok epitop pada selubung protein yang
menimbulkan “cross reaction” atau reaksi silang pada uji serologis, hal ini
menyebabkan diagnosis pasti dengan uji serologi sulit ditegakkan. Kesulitan ini
dapat terjadi diantara ke empat serotipe virus DEN. Infeksi oleh satu serotip virus
DEN menimbulkan imunitas protektif terhadap serotip virus tersebut, tetapi tidak
ada “cross protectif” terhadap serotip virus yang lain 5 .

5
II.5 GEJALA KLINIS
a. Demam
Demam mendadak disertai dengan gejala klinis yang tidak spesifik seperti
anoreksia, lemah, nyeri pada punggung, tulang sendi dan kepala. Pada umumnya
gejala klinik ini tidak mengkhawatirkan. Demam berlangsung antara 2-7 hari
kemudian turun secara lysis.
b. Perdarahan
Umumnya muncul pada hari kedua sampai ketiga demam bentuk perdarahan
dapat berupa uji rumple leed positif, petechiae, purpura, echimosis, epistasis,
perdarahan gusi dan yang paling parah adalah melena.
c. Hepatomegali
Hati pada umumnya dapat diraba pada pemulaan demam, kadangkadang juga
ditemukannya nyeri, tetapi biasanya disertai ikterus.
d. Shock
Shock biasanya terjadi pada saat demam menurun yaitu hari ketiga dan ketujuh
sakit. Shock yang terjadi dalam periode demam biasanya mempunyai prognosa
buruk. Penderita DHF memperlihatkan kegagalan peredaran darah dimulai dengan
kulit yang terasa lembab dan dingin pada ujung hidung, jari dan kaki, sianosis
sekitar mulut dan akhirnya shock.
e. Trombositopenia
Trombositopenia adalah berkurangnya jumlah trombosit, apabila dibawah
150.000/mm3
biasanya di temukan di antara hari ketiga sampai ketujuh sakit.
f. Kenaikan Nilai Hematokrit
Meningkatnya nilai hematokrit merupakan indikator yang peka terhadap
terjadinya shock sehingga perlu di lakukan pemeriksaan secara periodik.
g. Gejala Klinik Lain
Gejala Klinik Lain yang dapat menyertai penderita adalah epigastrium, muntah-
muntah, diare dan kejang-kejang 2 .

6
II.6 DIAGNOSIS
Berdasarkan kriteria WHO 2011 untuk diagnosis Demam Berdarah Dengue:

a. Kriteria Klinis
1. Demam
Demam mendadak terus menerus 2-7 hari tanpa sebab yang jelas. Tipe
demam bifasik (saddleback).

Gambar : Demam Bifasik pada Demam Berdarah Dengue

2. Manifestasi perdarahan, salah satu tergantung:


a. Uji torniket (+)
b. Petechie, ekhimosis ataupun purpura
c. perdarahan mukosa traktus gastrointestinal, epistaksis,
perdarahan gusi
d. hematemesis dan melena
3. Hepatomegali
4. Kegagalan sirkulasi (tanda-tanda syok): ekstremitas dingin, nadi cepat
dan lemah, sistolik kurang 90 mmHg, dan tekanan darah menurun
sampai tidak terukur, kulit lembab, penyempitan tekanan nadi (< 20
mmHg), capillary refill time memanjang (>2 detik) dan pasien tampak
gelisah.
b. Kriteria Laboratoris
1. Trombositopenia (trombosit < 100.000 /ul)
2. Hemokonsentrasi ( Peningkatan Ht 20% atau penurunan Ht 20%
setelah mendapat terapi cairan).

7
Penegakan diagnosis Demam Berdarah Dengue berdasarkan atas 2 kriteria
klinis ditambah trombositopenia dan hemokonsentrasi atau peningkatan
hematokrit.

Pembagian derajat Demam Berdarah Dengue menurut WHO ialah :

a. Derajat I
Demam diikuti gejala tidak spesifik. Satu-satunya manifestasi
perdarahan adalah tes torniquet yang positif atau mudah memar.

b. Derajat II
Gejala yang ada pada tingkat I ditambah dengan perdarahan
spontan. Perdarahan bisa terjadi di kulit atau di tempat lain.
c. Derajat III
Kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat dan
lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg) atau hipotensi, suhu tubuh
rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
d. Derajat IV
Syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah
tidak dapat diperiksa.

8
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Trombositopeni dan hemokonsentrasi merupakan kelainan yang selalu
ditemukan pada DBD. Penurunan jumlah trombosit < 100.000/pl biasa
ditemukan pada hari ke-3 sampai ke-8 sakit, sering terjadi sebelum atau
bersamaan dengan perubahan nilai hematokrit. Hemokonsentrasi yang
disebabkan oleh kebocoran plasma dinilai dari peningkatan nilai hematokrit.

Penurunan nilai trombosit yang disertai atau segera disusul dengan


peningkatan nilai hematokrit sangat unik untuk DBD, kedua hal tersebut
biasanya terjadi pada saat suhu turun atau sebelum syok terjadi. Perlu diketahui
bahwa nilai hematokrit dapat dipengaruhi oleh pemberian cairan atau oleh
perdarahan. Jumlah leukosit bisa menurun (leukopenia) atau leukositosis,
limfositosis relatif dengan limfosit atipik sering ditemukan pada saat sebelum
suhu turun atau syok. Hipoproteinemi akibat kebocoran plasma biasa
ditemukan. Adanya fibrinolisis dan ganggungan koagulasi tampak pada

9
pengurangan fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor XII, dan antitrombin
III. PTT dan PT memanjang pada sepertiga sampai setengah kasus DBD.

b. Pencitraan
Pada pemeriksaan radiologi dan USG kasus DBD, terdapat beberapa
kelainan yang dapat dideteksi yaitu, dilatasi pembuluh darah paru, efusi pleura,
kardiomegali dan efusi perikard, hepatomegali, cairan dalam rongga
peritoneum, penebalan dinding vesica felea.

c. Pemeriksaan Rumple leed test


Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan kepada vena-vena, sehingga darah menekan
kepada dinding kapiler. Dinding kapiler yang oleh suatu sebab kurang kuat
akan rusak oleh pembendungan itu, darah dari dalam kapiler itu keluar dari
kapiler dan merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak sebagai
bercak merah kecil pada permukaan kulit (petechiae). Pemeriksaan ini
didefinisikan oleh WHO (2011) sebagai salah satu syarat yang diperlukan
untuk diagnosis demam berdarah. Suatu manset tekanan darah diterapkan dan
meningkat ke titik antara sistolik dan diastolik tekanan darah selama lima
menit. Tes positif jika ada 10 atau lebih ptekia per inci persegi. Pada penderita
demam berdarah tes dengue biasanya memberikan hasil positif yang pasti
dengan 20 ptekia atau lebih. Dewasa ini rumple leed test dianggap tes yang
sudah usang atau tidak dapat diandakan. Akan tetapi tes ini tetap menjadi
bagian penting dari penilaian seoang pasien yang mungkin memiliki demam
berdarah dengue.

d. Pemeriksaan lainnya :
Ada beberapa pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk mengetahi
infeksi virus dengue yaitu :

- Isolasi Virus
Karakteristik serotypic/genotypic

- Deteksi Asam Nukleat Virus


Dengan RT-PCR (Reverse Transcripterase Polymerase Chain Reaction)

10
- Deteksi Antigen Virus
Deteksi antigen NS1.

- Pemeriksaan serologis yang meliputi : Haemagglutination-inhibition


(HI), Complement Fixation (CF), Neutralization Test (NT), Ig M
capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA),
danpemeriksaan Ig G ELISA indirect

Viremia pada pasien dengan infeksi dengue sangatlah pendek, yaitu muncul
pada 2 – 3 hari sebelum onset demam dan bertahan hingga 4 – 7 hari saat sakit.
Selama periode ini, asam nukleat virus dan antigen virus dapat terdeteksi.

Respon antibodi dapat dilihat dari 2 jenis imunoglobulin. Antibodi Ig M


dapat terdeteksi pada 3 – 5 hari setelah onset, meningkat cepat selama 2 minggu,
dan menurun hingga tidak terdeteksi pada 2 – 3 bulan. Antibodi Ig G terdeteksi
rendah pada akhir minggu pertama, meningkat kemudian, dan menetap hingga
bertahun – tahun. Pada infeksi sekunder virus dengue, titer antibodi meningkat
cepat. Antibodi Ig G terdeteksi pada level tinggi, pada saat fase inisial, dan
menetap hingga beberapa bulan. Antibodi Ig M biasanya lebih rendah pada infeksi
dengue sekunder. Oleh karena itu, perbandingan Ig M/ Ig G digunakan untuk
membedakan antara infeksi primer dan infeksi sekunder virus dengue. Disebut
infeksi primer jika perbandingan Ig M / Ig G lebih dari 1,2, dan disebut infeksi
sekunder jika perbandingan Ig M / Ig G kurang dari 1,2 7 .

11
II.7 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding Demam Dengue terdiri atas :

a. Infeksi virus golongan Arbovirus : Chikungunya


b. Penyakit virus lainnya Misalnya : Measles, Rubella, dan berbagai virus
lainnya, seperti : Epstein barr virus, Enterovirus, Influenza, Hepatitis A,
Hantavirus
c. Penyakit bakterial
Meningocuccaemia, Leptospirosis, Thypoid, Meliodosis, Rackettsial
disease, Scarlet Fever
d. Penyakit parasit : Malaria
Pada fase awal demam dari demam berdarah dengue, diagnosis banding
meliputi infeksi spektrum luas oleh virus, bakteri, dan protozoa, sama halnya
dengan diagnosis banding dari demam dengue. Adanya trombositopenia disertai
dengan hemokonsentrasi membedakan demam berdarah dengue dengan penyakit
yang lainnya. Hasil yang normal dari ESR (Erythrocyte Sedimentation Rate) dapat
membedakan dengue dengan infeksi bakteri dan syok septik 7 .

II.8 PENATALAKSANAAN

Protokol 1. Penanganan Tersangka DBD Dewasa tanpa syok

Protokol 1 digunakan sebagai petunjuk dalam memberikan pertolongan


pertama pada penderita DBD atau yang diduga DBD di Instalasi Gawat Darurat
yang juga dipakai sebagai petunjuk dalam memutuskan indikasi rawat.

12
Protokol 2. Pemberian Cairan pada Tersangka DBD Dewasa di Ruang Rawat

Pasien yang tersangka DBD tanpa perdarahan spontan dan massif tanpa
syok maka di ruang rawat diberikan cairan infuse kristaloid dengan jumlah seperti
rumus berikut : volume cairan kristaloid per hari yang diperlukan

1500+ (20 x (BB dalam kg – 20 )

Protokol 3. Penatalaksanaan DBD dengan Peningkatan Ht >20%

13
Protokol 4. Penatalaksanaan Perdarahan Spontan pada DBD Dewasa

14
Protokol 5. Tatalaksana Sindrom Syok pada Dewasa

Bila kita berhadapan dengan DSS maka hal pertama yang harus diingat
adalah bahwa renjatan harus segera diatasi dan oleh karena itu penggantian cairan
intravascular yang hilang harus segera dilakukan. Angka kematian DSS 10 kali
lipat dibandingkan dengan penderita DBD tanpa renjatan dan renjatan dapat
terjadi karena keterlambatan penderita mendapatkan pertolongan, penatalaksanaan
yang tidak tepat temasuk kurangnya kewaspadaan terhadap tanda-tanda renjatan
dini dan penatalaksanaan renjatan yang tidak adekuat.

15
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi cairan khususnya
pada penatalaksanaan demam berdarah dengue:

1. Jenis cairan
2. jumlah serta kecepatan cairan yang akan diberikan
Karena tujuan terapi cairan adalah untuk mengganti kehilangan cairan di
ruang intravaskular, pada dasarnya baik kristaloid (ringer laktat, ringer asetat,
cairan salin) maupun koloid dapat diberikan. WHO menganjurkan terapi kristaloid
sebagai cairan standar pada terapi DBD karena dibandingkan dengan koloid,
kristaloid lebih mudah didapat dan lebih murah. Jenis cairan yang ideal yang
sebenarnya dibutuhkan dalam penatalaksanaan antara lain memiliki sifat bertahan
lama di intravaskular, aman dan relatif mudah diekskresi, tidak mengganggu
sistem koagulasi tubuh, dan memiliki efek alergi yang minimal 3 .

II.9 KOMPLIKASI

 Ensefalopati dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok yang
berkepanjangan dengan perdarahan, tetapi dapat juga terjadi pada DBD
yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti hipoksemia,
hiponatremia, atau perdarahan dapat menjadi penyebab terjadinya
ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat sementara maka
kemungkinan dapat juga disebabkan oleh thrombosis pembuuh darah otak
sementara sebagai akibat dari koagulasi intravascular diseminata (KID).
 Gagal ginjal akut
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal, sebagai akibat
dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Untuk mencegah gagal ginjal
maka setelah syok diobati dengan menggantikan volume intravaskular,
penting diperhatikan apakah syok telah teratasi dengan baik. Dieresis
merupakan parameter yang penting dan mudah dikerjakan, untuk
mengetahui apakah syok telah teratasi.

16
 Edema paru
Edema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai akibat
berlebihan pemberian cairan. Pemberian cairan pada hari ketiga sampai
kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya tidak akan menyebabkan
edema paru oleh karena perembesan plasma masiih terjadi. Akan tetapi
apabila pada saat terjadi reabsorpsi plasma dari ruang ekstra, apabila
cairan masih diberikan (kesalahan terjadi bila hanya melihat penurunan
kadar hemoglobin dan hematokrit tanpa memperhatikan hari sakit) pasien
akan mengalami distres pernapasan, disertai sembab pada kelopak mata,
dan tampak adanya gambaran edema paru pada foto dada 3 .

II.10 PROGNOSIS

Bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya prognosis akan


menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan, kemungkinan
sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk. Permasalahan terjadi ketika terjadi
kelalaian dalam mengontrol terjadinya syok yang dapat segera menyebabkan
kematian. Penyebab kematian Demam Berdarah Dengue cukup tinggi 41,5 % 5 .

17
BAB III

KESIMPULAN

Demam berdarah dengue merupakan salah satu varian klinis infeksi virus
dengue, yang ditandai oleh panas 2-7 hari dan pada saat panas turun disertai
dengan gangguan hemostatik dan kebocoran plasma (plasma leakage). Demam
berdarah dengue merupakan (DBD) merupakan penyakit yang banyak ditemukan
di sebagian besar wilayah tropis dan subtropics termasuk Indonesia. Penyakit
Demam Berdarah Dengue juga merupakan salah satu penyakit menular yang
berbahaya dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat dan sering
menimbulkan wabah.
Penyebab DBD sendiri yaitu Virus dengue yang tergolong dalam grup
Flaviviridae dengan 4 serotipe, DEN – 3, merupakan serotie yang paling banyak.
Vektor utama dengue di Indonesia adalah Aedes Aegypti. Kriteria diagnosis terdiri
dari kriteria klinis dan kriteria laboratoris. Dua kriteria klinis ditambah
trombosipenia dan peningkatan hmatokrit cukup untuk menegakkan diagnosis
demam berdarah dengue.
Setelah diagnosis DBD sudah ditentukan, maka tetapkan terlebih dahulu
derajatnya. Perlu ditegaskan bahwa untuk penatalaksanaan DBD yang terpenting
adalah pemberian cairan intravena sebatas cukup mempertahankan sirkulasi yang
efektif selama periode plasma leakage disertai pengamatan yang teliti dan cermat
secara periodik.
Komplikasi yang terjadi yaitu Ensefalopati dengue, Gagal ginjal akut dan
Edema paru. Prognosisnya bila tidak disertai renjatan dalam 24 – 36 jam, biasanya
prognosis akan menjadi baik. Kalau lebih dari 36 jam belum ada tanda perbaikan,
kemungkinan sembuh kecil dan prognosisnya menjadi buruk.

18
DAFTAR PUSTAKA

1. Dengue/Demam Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi


Dokter Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana
kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.2004.
2. Depkes RI, 2006. Pencegahan dan Pemberantasan Demam Berdarah Dengue di
Indonesia. Jakarta.
3. Hadinegoro SRH, et al. (editor). 2004. Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia. Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta : Balai Penerbit FKUI.
4. Soedarmo, Sumarmo S. Poorwo, dkk. 2012. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis Edisi Kedua. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
5. Soegijanto, Soegeng. 2006. Demam Berdarah Dengue edisi 2. Surabaya :
Airlangga University Press.
6. Suhendro, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam: Demam Berdarah
Dengue. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
7. WHO. 2011. Conprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue
and Dengue Haemorraghic Fever. India : WHO

19

You might also like