You are on page 1of 59

Manajemen Penghimpunan Dana Syariah

Makalah ini disusun untuk memenuhi Ujian Akhir Semester

Program Studi Magister Terapan Keuangan Perbankan Syariah

Jurusan Pasca Sarjana

Oleh:
Ratna Sundari Johar 175168026

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG


2018
UJIAN AKHIR SEMESTER

1. Ambilah salah satu tofik dari jurnal yang terkait dengan materi Manajemen Penghimpunan
Dana Syariah dari jurnal yang bereputasi (boleh bahasa Inggris maupun Indonesia).

Judul

Unique aspects of the Islamic microfinance financing process: Experience of Baitul


Maal Wa Tamwil in Indonesia
“Aspek unik dari proses pembiayaan keuangan mikro syariah: Pengalaman Baitul Maal
Wa Tamwil (BMT) di Indonesia”

2. Buatlah evaluasi atas jurnal tersebut yang terkait dengan hal-hal sebagai berikut
a. Berikan evaluasi tentang fenomena dari artikel tersebut apakah ada fenomenanya dan
bagaimana komentar saudara tentang fenomena tersebut.
Berikut fenomena dalam jurnal sbb:

87,18 % Penduduk
Indonesia
Beragama Islam

Fenomena/Gejala
49,53% Masyarakat
50,47 Masyarakat
beragama
Beragama Muslim
MuslinTidak Memiliki
Yang Memiliki Akses
Skses Layanan
Perbankan
Perbankan

1. Islam adalah agama yang dominan di Indonesia dengan populasi Muslim terbesar di
dunia. Berdasarkan statistik resmi, sebanyak 237.641.326 orang Indonesia (atau 87,18
persen dari total penduduk Indonesia) menganggap diri mereka Muslim (BPS, 2010)
2. Indonesia adalah negara berkembang dengan tingkat inklusi keuangan yang rendah.
Salah satu indikator untuk penyertaan keuangan, yaitu rekening tabungan per 1.000
penduduk dewasa hanya sebesar 504,7 atau 50,47 persen (sumber kutipan, tahun).
3. Sebesar 49,53 persen masyarakat yang tidak memiliki akses terhadap layanan
perbankan sebagian besar adalah Muslim.

Dilihat dari fenomena diatas sangat jelas bahwa masyarakat Indonesia butuh sentuhan
layanan keuangan diluar perbankan yang berlandaskan Syariah. Akibatnya, sistem
keuangan Islam yang menawarkan alternatif pembiayaan berbasis syariah memiliki potensi
besar untuk meningkatkan penyertaan keuangan, terutama di kalangan mayoritas Muslim
yang tidak tersentuh layanan perbankan di Indonesia.

Fenomena/ gejala Gejala adalah suatu fakta yang kita temui di lapangan. (Freddy Rangkuti
: 2011). Sangat mengejala di kalangan masyarakat terutama mayarakat muslim, dan
memperlihatkan permasalahan yang sesungguhnya dimasyarakat, rendahnya sentuhan
layanan keuangan yang lebih menyentuh masyarakat dengan pendapatan rendah
menggunakan jasa rentenir. Pada akhirnya layanan keuangan diluar perbankan yang
terkesan non-formal, lebih menyentuh ke bawah “down to earth” sangat di perlukan.

Tujuan BMT adalah untuk menyediakan layanan keuangan Syari'ah-compliant, khususnya


bagi kaum miskin Muslim. Dalam prakteknya, BMT menawarkan fungsi ganda sebagai
Baitul Maal, bertindak sebagai amil dengan mengelola zakat (pengumpulan dan distribusi)
dan sebagai Baitul Tamwil yang melakukan intermediasi keuangan dengan mengelola dana
dan tabungan. Ini juga menunjukkan fungsi bisnis atau komersial, serta peran sosial BMT.
Dengan peran unik BMT, beberapa celah sistem keuangan konvensional dapat diatasi.

b. Adakah rumusan masalahnya, dan bagaimana komentar saudara tentang rumusan tersebut,
jelas tajam dan spesifikasinya?
Makalah ini bertujuan untuk menyoroti aspek unik keuangan mikro Islam berdasarkan
pengalaman Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan sbb :

Pra
Pembiayaan
Pembiayaan

Pasca
Pembiayaan

Keunikan Produk Pembiayaan Keuangan Mikro Syariah BMT


Kepada Masyarakat Miskin

1. Bagaimana keunikan produk pembiayaan keuangan mikro syariah BMT kepada


masyarakat miskin yang mengkategorikan tiga fase:
a. Bagaimana tahap pra pembiayaan BMT di JABODETABEK, Yogyakarta,
Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.
b. Bagaimana Pembiayaan BMT di JABODEATABEK, Yogyakarta, Nusa
Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.
c. Bagaimana pasca pembiayaan berdasarkan pengalaman BMT sebagai lembaga
keuangan mikro syariah di Indonesia.

c. Apakah ada kerangka pemikiranya, dan bagaimana hipotesisnya berikan kimentarnya,


apakah hipotesis terkait dengan masalahnya
Terdapat kerangka pemikiran tetapi tidak terdapat hipetsisnya karean penelitian ini
merupakan penelitian bersifat deskriftif , hanya pemaparan dari hasil wawancara yang
diperoleh.

Salah satu kerangka pemikiran sbb :

Keuangan mikro adalah layanan keuangan berskala kecil yang diberikan kepada orang-
orang yang bertani atau berkelompok atau ternak; yang mengoperasikan usaha kecil atau
mikro dimana barang diproduksi, didaur ulang, diperbaiki, atau diperdagangkan; yang
menyediakan layanan; yang bekerja untuk upah atau komisi; yang mendapatkan
penghasilan dari menyewakan sejumlah kecil tanah, kendaraan, hewan rancangan, atau
mesin dan peralatan; dan kepada individu dan kelompok lain di tingkat lokal negara-negara
berkembang, baik pedesaan maupun perkotaan (Robinson, 2002).

d. Bagaimana pendapat saudara tentang teori yang digunanakan relevan tidak dengan bahasan
yang diperlukan. Dilihat dari teori yang yang menjelaskan teori dan konsep yang relevan
dengan judul yang diangkat sebagai dasar acuan. Teori dan konsep juga relevan digunakan
sebagai sebuah landasan teori.

e. Bagaimana pendapat saudara tentang metodologinya:


- Metodologi / Pendekatan
Metodologi penelitian Ini mengadopsi pendekatan analisis isi dan berfokus pada tiga
tahap pembiayaan, yaitu pembiayaan pra-pembiayaan, pembiayaan dan pasca-
pembiayaan dengan menggunakan bangunan pengkodean dan model. Data
dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan sampel perwakilan BMT yang
menawarkan produk berdasarkan prinsip Islam untuk masyarakat miskin yang berada
di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (JABODETABEK), Sulawesi
Selatan, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat (sampel dipilih berdasarkan area
keuangan mikro syariah paling konservatif yang menawarkan produk berdasarkan
prinsip-prinsip Islam). Pada akhirnya, model yang didasarkan pada fitur unik
keuangan mikro Islam akan dikembangkan berdasarkan temuan analisis isi.

- Data demografi
Daerah barat diwakili oleh JABODETABEK dan Yogyakarta, daerah tengah yang
diwakili oleh Sulawesi Selatan dan daerah timur diwakili oleh Lombok, Nusa Tenggara
Barat. Kota-kota dipilih karena mereka memiliki jumlah BMT dan konsentrasi
penduduk miskin paling tinggi, menurut data primer BMT dan Biro Statistik. Berikut
adalah output pasca kategorisasi proses pembiayaan BMT yang dihasilkan dari analisis
kualitatif.

- Cara pengumpulan data dokumentasi, studi kepustakaan dan wawancara

Cara pengumpulan data didapat dari serangkaian wawancara terstruktur Data


dikumpulkan di tingkat peserta melalui wawancara mendalam dengan sampel
perwakilan BMT yang menawarkan produk berdasarkan prinsip Islam untuk
masyarakat miskin yang berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi
(JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Nusa. Tenggara Barat (sampel
dipilih berdasarkan area keuangan mikro syariah paling terkonsentrasi yang
menawarkan produk berdasarkan prinsip Islam)

- Alat analisis data atau model yang digunakan untuk menyelesaikan masalah yaitu
menggunakan analisis kuaitatif dimana hasil dari wawancara terstruktur dianalisis
dengan menggunakan analisis kualitatif untuk sampai pada model kekhasan
pembiayaan bagi masyarakat miskin di Indonesia.
Analisis isi kualitatif dapat digunakan untuk menganalisis berbagai jenis data, namun
sebagian besar dalam data teks tertulis. Proses mendefinisikan analisis unit data
mengacu pada unit dasar teks yang akan diklasifikasikan selama analisis isi.
Data unitized memiliki dampak signifikan pada keputusan pengkodean, serta
perbandingan dengan studi serupa. Unit yang digunakan dalam analisis kualitatif bisa
berupa kata, kalimat atau paragraf, dan makalah ini memilih kalimat dan kata sebagai
satuan analisis. Kategori dan skema pengkodean dapat dikembangkan dari studi, teori,
atau data yang terkait sebelumnya. Ini juga bisa berfungsi sebagai pengembangan data
induktif atau deduktif. Glaser dan Strauss menyarankan bila metode induktif
digunakan selama pengembangan bahan baku, metode perbandingan konstan
dianjurkan. Metode komparatif konstan pada dasarnya adalah perbandingan sistematis
dari setiap teks yang diberikan ke kategori dengan masing-masing yang telah
ditetapkan ke kategori tersebut, untuk mengungkapkan sifat teoritis kategori; dan
kedua, mengintegrasikan kategori dan propertinya dengan mengembangkan memo
interpretatif. Setelah kategorisasi dan abstraksi, hasil akhir dari makalah ini adalah
untuk mengungkapkan pola, tema dan kategori yang penting bagi realitas sosial.

f. Bagaimana komentar saudara tentang :


- Hasil temuan ( kesimpulan )
1. Sebagai langkah pertama, penulis menguraikan garis besar permasalahan dan
kemudian memberi ringkasan tentang segala sesuatu yang telah diuraikan pada
landasan teori.
2. Kemudian Penulis menghubungkan setiap kelompok data dengan permasalahan
untuk sampai pada kesimpulan.
3. Langkah terakhir dalam kesimpulan adalah penulis menjelaskan mengenai arti dan
hasil pada kesimpulan-kesimpulan secara teoritik maupun praktis.
4. Pada kesimpulan peneliti membuat kesimpulan dari hal-hal yang telah dibahas
pada bab sebelumnya yang berhubungan dengan pertanyaan rumusan masalah.
Kesimpulan dapat menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dijukan
pada bab sebelumnya.
5. Kesimpulan bisa mejawab rumusan masalah yang dijelaskan secara detail dan
terperinci menjelaskan keunikan produk pembiayaan keuangan mikro syariah
kepada masyarakat miskin yang mengkategorikan tiga fase: tahap pra pembiayaan,
pembiayaan dan pasca pembiayaan berdasarkan pengalaman BMT sebagai
lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia. di Jakarta, Bogor, Depok,
Tanggerang, dan Bekasi (JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan
Nusa. Tenggara Barat
Kesimpulan
Menciptakan keuangan mikro syariah dengan mempertimbangkan karakteristik
masyarakat miskin merupakan isu terbesar karena BMT dihadapkan pada banyak
pesaing yang beroperasi. Penelitian ini mengamati BMT yang menawarkan
produk kepada orang miskin (berpenghasilan di bawah Rp.30.000 / hari atau tidak
dapat memenuhi kebutuhan mereka). Mengakses orang miskin sulit dilakukan
oleh lembaga keuangan formal dan BMT merupakan lembaga informal ingin
menyelesaikan masalah tersebut dengan melakukan upaya terobosan untuk
mengakses masyarakat miskin. Perhatian terhadap aspek pembiayaan penting
untuk menangkap lebih banyak pelanggan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan keunikan produk pembiayaan
keuangan mikro syariah kepada masyarakat miskin yang mengkategorikan tiga
fase: tahap pra pembiayaan, pembiayaan dan pasca pembiayaan berdasarkan
pengalaman BMT sebagai lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia.
Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang disebut content analysis
dengan metode coding dan building. Data dikumpulkan di tingkat peserta melalui
wawancara mendalam dengan sampel perwakilan BMT yang menawarkan produk
berdasarkan prinsip Islam untuk masyarakat miskin yang berada di Jakarta, Bogor,
Depok, Tanggerang, dan Bekasi (JABODETABEK), Sulawesi Selatan,
Yogyakarta dan Nusa. Tenggara Barat (sampel dipilih berdasarkan area keuangan
mikro syariah paling terkonsentrasi yang menawarkan produk berdasarkan prinsip
Islam). Yang terakhir, penelitian ini akan membangun model keunikan
microfinance di masing-masing wilayah berdasarkan analisis isi.
Temuan penelitian ini sampai pada model unik dengan ciri khas orang miskin yang
menghubungkan produk pembiayaan keuangan mikro untuk masyarakat miskin
dalam kegiatan pra-pembiayaan, pembiayaan dan pasca-pembiayaan yang akan
dijadikan acuan bagi pembuat kebijakan di pemerintahan. Di JABODETABEK,
pre-financing digunakan untuk analisis di tempat, analisis referensi pembiayaan,
pendanaan pinjaman kelompok dan penyisihan agunan kelompok. Karakteristik
pembiayaan di JABODETABEK menggunakan sistem pembiayaan dan mengikuti
bimbingan spiritual. Terakhir, proses pasca pembiayaan menggunakan opsi
perpanjangan pelunasan. Di NTB, pre-financing menggunakan karakter cek, latar
belakang, penyaluran bank sentral dan kunjungan lapangan, persyaratan agunan
untuk dana di atas Rp. 1m, pilihan seleksi dan penghematan emosional dan
keakraban untuk setiap proposal pembiayaan. Di Sulawesi Selatan, pra
pembiayaan menggunakan kebutuhan emas dan kebutuhan tabungan. Pembiayaan
menggunakan biaya administrasi minimum, sistem pembiayaan, margin minimum
dan pertemuan keagamaan mingguan. Pasca-pembiayaan menggunakan sistem
pelunasan yang dapat dinegosiasikan. Terakhir di Yogyakarta, pra-pembiayaan
menggunakan kunjungan lapangan, kebutuhan agunan 75 persen dan kebutuhan
spesifik 5Cs. Pembiayaan menggunakan dua lapisan untuk pembiayaan yang
buruk (miskin dan sangat miskin), rumah digital hingga perbankan rumah dan
pendidikan syariah. Pasca-pembiayaan menggunakan pengecekan pembiayaan
unik, sebaran nilai dan margin bagi hasil yang lebih rendah untuk pembiayaan
berikutnya. Makalah ini juga menemukan bahwa masing-masing daerah memiliki
keunikan produk yang berbeda satu sama lain tergantung pada karakteristik orang
miskin.

- Bahasan atas temuan


Konsep pendanaan adalah konsep yang paling penting yang harus diketahui setiap
organisasi bisnis terutama di bidang keuangan mikro syariah. BMT adalah lembaga
keuangan mikro yang unik karena banyak pelanggan beragama Islam di dasar piramida
yang mencari keuntungan layanan keuangan Islam. Tantangan terbesar yang dihadapi
BMT adalah bagaimana melibatkan karakteristik orang miskin terhadap skema
pembiayaan mereka untuk mendapatkan lebih banyak konsumen. Program
pembiayaan khusus diperlukan untuk memuaskan nasabah miskin. Untuk memahami
pelanggan Muslim terutama pelanggan miskin di Indonesia, perlu menerapkan skema
pembiayaan khusus. Selain itu, mengembangkan situasi yang memahami kebutuhan
konsumen Muslim penting untuk keberlanjutan BMT. Sulit menjaga kelestarian BMT
di Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa manajerial BMT memerlukan kerja
ekstra untuk mengidentifikasi skema pembiayaan yang dapat menghasilkan dampak
positif bagi peningkatan pelanggan dan melakukan beberapa perawatan terhadap
pendanaan mereka dengan menyesuaikan permintaan pelanggan. Temuan penelitian
ini penting untuk menganalisis skema pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik
masyarakat miskin. Penelitian ini akan sangat penting untuk mendeteksi kesenjangan
dalam skema pembiayaan BMT.
g. Berikan komentar saudara tentang kesimpulan dari artikel tersebut, apakah relevan
dengan rumusan masalah relevan.
1. Pada kesimpulan peneliti membuat kesimpulan dari hal-hal yang telah dibahas pada
bab sebelumnya yang berhubungan dengan pertanyaan rumusan masalah. Kesimpulan
dapat menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian yang dijukan pada bab
sebelumnya.
2. Kesimpulan sangat levan karena bisa mejawab rumusan masalah yang dijelaskan
secara detail dan terperinci menjelaskan keunikan produk pembiayaan keuangan mikro
syariah kepada masyarakat miskin yang mengkategorikan tiga fase: tahap pra
pembiayaan, pembiayaan dan pasca pembiayaan berdasarkan pengalaman BMT
sebagai lembaga keuangan mikro syariah di Indonesia. di Jakarta, Bogor, Depok,
Tanggerang, dan Bekasi (JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Nusa.
Tenggara Barat

Makalah ini menambah nilai pada literatur tentang keuangan mikro Islam dengan
memungkinkan para periset dan praktisi memahami model pembiayaan tiga langkah
(pra-pembiayaan, pembiayaan dan pasca pembiayaan) dalam keuangan mikro Islam di
Indonesia. Meskipun bukan isu baru, makalah ini memberikan praktik proses pra-
pembiayaan, pembiayaan dan pasca pembiayaan yang mungkin berbeda dari praktik
keuangan mikro syariah di lingkungan lain karena pengaruh budaya yang berbeda yang
unik di setiap wilayah

h. Bagaimana komentar Saudara tentang kelemahan dan usulan penelitian berikut yang
mungkin dilakukan oleh penliti berikutnya sebagai impikasi dari penelitian teresbut.
Kelamahannya :
1. Kelemahannya Penelitian ini hanya dilakukan di empat wilayah dengan perwakilan
BMT, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (sering disingkat
JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Nusa Tenggara Barat) di
Indonesia. Meskipun cakupannya terbatas, temuan ini memiliki aplikasi yang luas
untuk pembiayaan mikro syariah pada umumnya.
2. Tidak ada tanggapan atau masukan dari nasabah sebagai pengguna jasa BMT.
Usulan
1. Untuk penelitian lebih lanjut bisa mengukut tingkat literasi BMT pada masyarakat
secara umum. Sehingga BMT bisa lebih banyak membantu masyarakat muslim
dengan pendapatan rendah yang tidak tersentuh layanan keuangan secara formal.
2. Harus ada penelitian terhadap pasa nasabah BMT untuk masukan dana apa yang
diharakan dari para nasabah terhadap BMT, produk apa yang dirasa kurang pada
BMT dan persyaratan apa yang dirasa memberatkan nasabah.
Issues and challenges in financing the poor: case of Baitul Maal Wa Tamwil in Indonesia

Article Options and Tools


View:

 Abstract
 PDF

 References (46)

 Add to Marked List


 Download Citation
 Track Citations

Author(s):
Permata Wulandari (Department of Management, Universitas Indonesia, Depok,
Indonesia)

Salina Kassim (Institute of Islamic Banking and Finance, IIUM, Kuala Lampur, Malaysia)

Citation:
Permata Wulandari, Salina Kassim, (2016) "Issues and challenges in financing the poor:
case of Baitul Maal Wa Tamwil in Indonesia", International Journal of Bank Marketing,
Vol. 34 Issue: 2, pp.216-234, https://doi.org/10.1108/IJBM-01-2015-0007

Downloads:
The fulltext of this document has been downloaded 1799 times since 2016

Abstract:
Purpose
– The purpose of this paper is to highlight the issues and challenges in providing financing
to the poor people based on the experience of Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) in Indonesia.

Design/methodology/approach
– A series of structured interviews were conducted with the chairman and staff of the
Central BMT (Induk Koperasi Syariah) in Jakarta which is the head-quarter of
382 BMTs throughout Indonesia, with additional chairman and shari’ah supervisory in
Central BMT (Pusat Koperasi Syariah) in Makasar. Subsequently, the results from the
structured interviews were analyzed using qualitative analysis to arrive at the model of the
peculiarities of financing the poor in Indonesia.

Findings
– The findings show that the Central BMT has built specific products and empowerment
mechanisms for the poor and has an ideal product to be applied in 382 BMT in Indonesia.
There are two schemes of financing source in BMT, namely, social ministry (Kelompok
Usaha Bersama) and private financing (national and international donor). Specifically, the
peculiarities of financing given in BMT are not only in the term of capital but also in the
term of providing infrastructure and training for the poor. Moreover, collateral must be
provided as a screening process for the poor people to secure any form of financing. If
there is no collateral, potential borrowers must opt for joint-liability financing.
Furthermore, if the poor could not repay the financing, endowment coming from charity
and compulsory Islamic tax (zakat, infaq and sadaqah) would play a vital role to cover for
the financing default. Lastly, religious capacity building is also provided as a part of risk
management aspect.

Research limitations/implications
– This study was only conducted in Indonesia which focussed on the peculiarities of
financing for the poor people in Indonesia BMT. Despite this limitation, the findings of
this study enable the construction of a model that highlights the issues and challenges that
might arise in financing the poor in general.

Originality/value
– The paper adds to the literature on Islamic microfinance by enabling researchers and
practitioners to understand the model of Islamic microfinance in Indonesia. It also
contributes toward enriching the knowledge in the Islamic microfinance area.

Keywords:
Financing, Qualitative analysis, BMT, Issues and challenges, Peculiarities

Publisher:
Emerald Group Publishing Limited

Acknowledgments:
This research is funded by University of Indonesia and Lembaga Pengelola Dana
Pendidikan. The data only covered the Jakarta and Makassar areas and maybe will result
different perspective if it is applied in other areas.

Copyright:
© Emerald Group Publishing Limited 2016
Published by Emerald Group Publishing Limited

Article
1. Introduction

Section:
For a Muslim-majority country such as Indonesia, Islamic microfinance is potentially the best
model for fund mobilization among the poor people because it provides a combination of social
intermediation and social capital with added Islamic finance value ( Abdul Rahman and Dean,
2013). Social intermediation is a process of financial intermediation mixed with capacity building
component. The goal of Islamic microfinance is to provide financial services not only to the poor
but also to the poorest in the informal sector of the economy, which is usually being funded using
the third economic sector such as charity (infaq and sadaqah) and compulsory Islamic tax (zakah).
Islamic microfinance is essentially interest-free microfinance as it provides funding without the
charge of interest so as to comply with the Islamic financing principles. Islamic microfinance also
maximizes social services using zakah, infaq and sadaqah (forms of charity giving to the poor
people in order to gain God’s blessing and purify one’s wealth) to satisfy the poor’s fin ancing
needs (Hassan, 2014).

The practice of Islamic finance in Indonesia started in 1993 with the establishment of Bank
Muamalat Indonesia(Saefullah, 2010). When Islamic finance started to be recognized, Islamic
microfinance also expanded in the 1990’s through the formal institutions such as the Islamic banks
and Islamic rural banking (Bank Perkreditan Rakyat Syariah), and non-banking institutions such
as Islamic cooperatives, namely, Koperasi Pesantren and Baitul Maal Wa Tamwil(BMT) (Effendi,
2013).

BMT has many unique features compared to other microfinance providers in Indonesia. It uses
family-based approach which is suitable to be implemented among the poor and being licensed
and supervised by the ministry of cooperative and small medium enterprises (Masyita and Ahmed,
2013). Several BMTs are integrated with groups of micro-entrepreneurs (such as Kelompok Usaha
Muamalat or Poskusma). The PINBUK or the small business incubation center play an important
role in the functioning of the BMTs with more than 4,000 BMTs registered with the PINBUK.
Other BMTs receive funding from Indonesia’s social ministry (BMT Kelompok Usaha
Bersama (KUBE)) which consists of 87 branches in 19 provinces. Indonesia also has primary
cooperative called Induk Koperasi Syariah(INKOPSYAH) with 372 BMTs mostly in Java area and
South Sulawesi joining INKOPSYAH to get financing and other facilities such as financial literacy
training and infrastructure building.

Furthermore, BMT offers dual functions as Baitul Maal (house of wealth), where it plays the role
of collecting and distributing funds from zakah, infaq and sadaqah, and as Baitul Tamwil (house
of financing) which essentially offering financial intermediation by managing funding and saving.
These functions imply that the BMT is a social entity and simultaneously being a business entity.
The social function of BMT is conducted by providing interest-free financing (qardhul hasan) to
the deserving poor (Juwaini and Mintarti, 2010). As Baitul Tamwil, BMT plays the role as a
cooperative using profit-loss sharing mechanism with additional Islamic values and group
activities as its risk mitigating technique. The financing also comes with regular group or social
activities including counseling and meetings. Additionally, a retail business is also set up to
support the microfinance schemes. In fact, micro-enterprises search funding from BMT because it
offers faster loan approval compared to other financial institutions (Obaidullah, 2008).

Under the APEX BMT project, it is targeted that one BMT will be built in every village in
Indonesia, resulting in an expected encouraging expansion of the BMT. Despite this, the BMT is
facing several issues and challenges particularly due to the stiff competitions from other
microfinance providers in Indonesia. While many researchers have studied the advantages and
disadvantages as well as identifying the problems faced and providing possible solutions to BMT,
studies on the comprehensive aspects of issues and challenges facing BMT in Indonesia with
additional policy implications have been lacking (see, e.g. Alaeddin and Anwar, 2012; Cokro and
Ismail, 2009; Dariah, 2012; Effendi, 2013; Hasanah and Yusuf, 2013; Hosen and Syukriyah,
2012; Nasution, 2013). There seems to be a literature gap on the issues and challenges
confronting BMT in financing the poor, with specific practical applications of Islamic
microfinance. Thus, this study aims to highlight the issues and challenges in providing financing
to the poor people based on the experience of BMT in Indonesia.

This study employs a qualitative analysis by conducting a series of structured interviews with the
chairman and staff of the BMT. The results from the structured interviews are analyzed in order to
arrive at the model of the peculiarities in financing the poor in Indonesia. Results of the qualitative
analysis are discussed in order to get a perspective from the microfinance provider on the issues
and challenges in financing the poor in Indonesia.

2. Literature review

Section:
2.1. Microfinance and its role in poverty alleviation
Microfinance has been shown to be an effective tool to reduce poverty. Its main purpose is to
break the cycle of indebtedness among the poor by providing cheaper financing than the formal
and informal financial institutions. Microfinance is also created as an important tool to reach the
Millennium Development Goals. According to Shirazi and Khan, microfinance could be the best
strategy to reduce extreme poverty effectively and provide positive welfare impact. Another
objective of microfinance is to provide improvement in long-term income. Several researches have
shown that micro-enterprise credit has not been providing effective solutions to poverty, but it can
work well for clients who are close to the poverty line.

Through microfinance, poverty can be reduced by extending credit to poor or by permitting them
an access to credit. It is important to highlight that microfinance is a mechanism to build good
relationship between the microfinance institutions (MFIs) and the customers based on trust and
commitment. MFIs should be built using a community-based framework concept where it could
help to reduce poverty to a reasonable degree. Knowing the credibility of the borrowers would
also help to reduce the incidence of non-performing loans. Furthermore, the MFIs should capture
the poor people’s awareness in order to reach to them.

Several studies focussed on assessing the relationship between microfinance and poverty
reduction, with most of them found a positive relationship between the two. Imai et al. analyze
the impact of microfinance on household poverty and found positive effect of microfinance
accessibility to multi-dimensional welfare indicator, suggesting that microfinance plays a
significant role in poverty reduction. However, the results varied between rural and urban areas.
Studies comparing government organization (GO) and non-GOs (NGOs) MFIs in Bangladesh find
different impact of microfinance on poverty with the GO MFI is found to be more effective in
increasing the wealth of the poor compared to those affiliated to the NGOs. In particular, the GO
agencies are concerned about the outcome of the program, while the NGOs are concerned with
loan delivery, rate of interest and repayment schedule.

Other studies in Bangladesh and Pakistan also show positive impact of microfinance on poverty
through combined efforts among government, MFIs, and donor agency. Imai et al. conducted a
study using cross-country data from MFI Information Exchange and the World Bank and finds
that a country with a higher microfinance loan portfolio per capita has lower levels of poverty
indices. In practice, microfinance not only reduces poverty incidence but also reduces its depth
and severity. This finding provides the reasons for the governments, particularly in the developing
countries to channel funds to the MFIs as a way to distribute subsidized credit for the poor.
Subsequently, microfinance enables improvements in family income and children’s education.
The accessibility to microfinance also increases family health and nutrition in view of the better
family incomes.

Miyashita reviewed the practice of MFIs in Indonesia and showed that microfinance is effective
in helping the Indonesian people to combat poverty. The massive unfulfilled demand for financial
services among poorer communities is being resolved by the MFIs existence like the Bank Rakyat
Indonesia-UD Program (Bimbingan Massal; Kredit Umum Pedesaan; Tabungan
Nasional; Simpanan Pedesaan (SIMPEDES); Urban version of SIMPEDES SIMASKOT); locally
based MFI programs (Central Java’s BKK Program, South Kalimantan’s BKK Program, BKD
Program), and various NGOs involvement.

Although there are many research evidences on the positive relationship between microfinance
and poverty reduction, research conducted in Sri Lanka arrives at contradictory findings. Shaw
documented that micro-enterprise development programs must be complemented with social and
physical infrastructure investment. A lack of rural financial service accessibility and afforda bility
must be solved by capital spending from government and international donors to bring in positive
results from the microfinance programs. Gehlich-Shillabeer conducted a research in Bangladesh
and found that microfinance existence did not show a positive impact on poverty level since the
existence of financial constraints resulting from the lower debt capacity, higher indebtedness and
poverty trap. In addition, Nkamnebe and Idemobi explained that higher indebtedness in the MFIs
caused by lack of ability of the MFIs staff and poor infrastructure. These conditions are the
challenges for the MFIs in reducing the incidence of low-credit recovery.

For the Islamic MFIs, there are various available schemes and instruments to alleviate poverty.
Khaleequzzaman conducted an extensive review by suggesting an alternative mechanism of
Islamic MFI to alleviate poverty. Islamic values provide a mechanism of trust between clients and
the MFIs. Moreover, Bhuiyan et al. reviewed rural development scheme of Islami Bank
Microcredit in Bangladesh and found that this scheme is important for socio -economic
development and improve the living standard of the poor without interest charge. In practice, the
need to link Islamic commercial bank and Islamic microfinance is important t o create accessibility
to credit by the poor. However, in the current practice of Islamic banking, the linkage between
MFIs and Islamic banks is difficult to be implemented. Based on this problem, Dusuki suggested
the use of special purpose vehicle (SPV) for the Islamic bank to channel funds to the poor people.
The role of the SPV is important to protect Islamic banks from MFI failure.

Furthermore, participatory schemes such as mudharabah and musyārakah can satisfy risk sharing
needs of the poor people. The main objectives of Islamic MFI are to alleviate poverty and enable
the poor acquainted closer with Islamic ethical principles (unity, equilibrium, free will and
responsibility). For example, the Muslim NGO in India conducts a poverty alleviation program b y
linking Islamic MFI programs with income generating activities (Hassan, 2014).

Lastly, zakah and waqf are also tools in Islamic MFI to reduce poverty by covering loss from
default, and expense coverage. Another method has been done by providing qardhul
hasan financing and building capacities. This means that the Islamic MFIs not only provide credit
for the poor, but also provide credit-plus service to alleviate poverty.

2.2. BMT and microfinance in Indonesia


Studies on BMT have focussed on various aspects of its operations. Several studies analyze the
efficiency of the BMTssuch as that of Cokro and Ismail (2009) which found that the efficiency of
the BMTs in Central Java is relatively low and below the optimal level. The study finds that
the BMTs face issues in managing resources due to management weakness, tendency to serve
many micro-enterprises resulting in increased operating costs, zakah obligations and payment
result in reduced profitability, increasing salary and allowance of employee, double mission, and
double jobs of the manager. Despite the issues, the BMTs have been successful in benefiting the
society by increasing saving and ability to fulfill borrowers need, providing Islamic micro -
financing for many people in the long run, giving easy procedure and requirement, and creating
job opportunities for the poor.

Similarly, Nasution (2013) analyzes the efficiency of BMTs using the data envelopment analysis.
In total, 12 BMTs were involved in the research and the results show that financing and human
resource are the two main sources of the inefficiency. The inefficient BMTs are suggested to
optimize input and maximize output practice as being adopted by efficient BMTs.

Hamzah et al. analyze the issues facing the BMT and found that many BMTs suffer bankruptcy
problem because of operational failure. Focussing on the case of BMT in Pekanbaru, the study
documents that the BMT faces problems such as lack of quality human resource and absence of
specific regulations. It is suggested that the problem of lack of quality human resource can be
resolved through education and training.

In addition, Alaeddin and Anwar (2012) studied the diverse funding in BMT Amanah
Ummah Surabaya Indonesia. They found that BMT Amanah Ummah faced a bad debt problem
because of inadequate screening process. Furthermore, BMT Amanah Ummah does not have any
source of subsidy especially for cheap credit. The study suggests that a smart subsidy application
to be implemented to cover the costs of extending small financing.

Another research attempts to provide solution on how to improve the effectiveness and efficiency
of BMT(Hadisumarto and Ismail, 2010). The implementation of Islamic MFI preceded by selection
process of micro-enterprises with additional business control, create a good relationship and
incentive system is effective in micro-enterprises development and also improve household
income. Thus, the study concludes that designing integrated program to
improve BMT effectiveness is highly important to ensure sustainability of the BMT.

Apart from studying its efficiency, other studies look at critical factors ensuring the determinants
of BMT’s success. Hosen and Syukriyah (2012) study the determinants of BMT success which
include characteristics of customers, capability of financial management and risk management ,
information technology and network and familiarity among customers and managerial team
of BMT. Dariah (2012) analyzes the procedure of social capital in BMT Lathifah in Sumedang,
Indonesia and finds that the financing issues faced by the BMT can be resolved by rescheduling,
restructuring and reconditioning using human resources development, creating good accounting
management, building good relationship with customer, and increasing qardhul hasan financing
(interest-free loan) using the zakah, infaq and sadaqah which reflect the social capital.

From the literature review, it is obvious that the BMT faces several issues and challenges in their
operation and financing activities, which are sometimes unique in the case of financing for the
poor. There is an urgent need to re-assess these issues and provides practical solutions so that the
role of BMT in alleviating poverty in Indonesia can be enhanced.

3. Research methodology

Section:
There are several stages of qualitative research involved in this study, namely: development and
preparation of topic selection, design, ethics, initial trustworthiness decision and selection of
research team members; data collection; data analysis and interpretation; and, application
(Lyons et al., 2013). By conducting the qualitative research, this study aims to discover interesting
aspects that could not be achieved through the quantitative research approach (Ambert et al.,
1995). In particular, the qualitative analysis is the most suitable approach in describing the
behavior of the respondents in this research area (Effendi, 2013).

In adopting the qualitative analysis, this study conducts a series of structured interviews with the
chairman and staff of the Central BMT (INKOPSYAH) in Jakarta which is the head-quarter of
382 BMTs throughout Indonesia. In addition, the chairman and shari’ah supervisor of the
Central BMT (Pusat Koperasi Syariah) in Makassar which headquartered 15 BMTs in East
Indonesia were also interviewed. These samples were selected because they generally represent
the BMTs in Indonesia. Moreover, these samples are selected as representatives of those who
design the suitable product for the poor being implemented in other BMTs. As a consequence, they
have more knowledge about issues and challenges faced by the poor before designing the product.
Representative from the 382 BMTs throughout Indonesia always attend Central BMT meeting at
least once in a year to discuss the problem related to issues and challenges which are faced by the
poor.

The selection of the two BMTs is highly suitable since the Central BMT in Jakarta represents
the BMTs in the central region, while the Central BMT in Makassar represents the BMTs in the
Western region. Subsequently, the results from the structured interviews are analyzed using the
qualitative analysis to arrive at the model of the peculiarities of financing for the poor in In donesia.
There are five employees involved as a sample in this research. These respondents are selected
because they fulfill the required criteria of the research: employee of Central BMT; minimum
employment duration of at least two years; involve in the capacity of processing financing at BMT;
and keep a record of Central BMT annual meeting related to issues and challenges that faced by
the poor. The profiles of the respondents are shown in Table I.

The interviews were based on open-ended questions to enable the respondents to express freely
about the issues and challenges faced by BMT in financing the poor in Indonesia. Each interview
lasts for approximately 150 minutes and being recorded. The researcher then transcribed the
audiotapes and coded the data. Issues and challenges were summarized and reported.

In preparing the qualitative content analysis, one cannot differentiate the data collection and
content analysis process as the early involvement in analysis phase will benefit the researcher to
move back and forth between concept development and data collection, especially in inductive
area where the research question may be developed further depending on the situation. To conduct
reliable inferences, qualitative content analysis involves a set of systematic and transparent
procedures for processing data, similar to the traditional quantitative content analysis procedures.
Qualitative content analysis can be used to analyze various types of data, but mostly in written
text data. The process of defining unit analysis of the data refers to the basic unit of t ext to be
classified during content analysis. The unitized data have a significant impact on coding decision,
as well as the comparability with the similar study.

The unit used in the qualitative analysis can be word, sentence or paragraph, and this paper chooses
sentence and word as the units of analysis. Categories and a coding scheme could be developed
from previous related studies, theories or data generated. It could also serve as the inductive or
deductive data development. Glaser and Strauss suggested when inductive method is used during
raw material development, constant comparative method is recommended. The constant
comparative method is essentially the systematic comparison of each text assigned to a category
with each of those already assigned to that category, to reveal the theoretical properties of the
category; and second, integrating categories and their properties by developing interpretive
memos. After the categorization and abstraction, the final output of this paper is to reveal patterns,
themes and categories important to a social reality. The main theme of this research is to reveal
the issues and challenges in BMT financing for the poor in Indonesia. In the classical literature, it
is always started with the categorization of the main issues from the previous literature which are
divided into five variables: the practice of subsidy, the role of collateral, the role of joint liability,
credit-plus financing and financing default case. Table II shows selected examples of interview
questions and focus group discussion’s materials.

4. Results and findings

Section:
4.1. Financing sources for the poor
The Islamic microfinance providers face the issue of high operating costs in order to maintain
financial sustainability despite the lack of economies of scale. High margin in financing will be
implemented to cover high cost (Hosen and Syukriyah, 2012). In providing financing for the
poor, BMT relies on subsidy since the cost of financing incurred is the same regardless of the size
of the loans. The Chief of BMT Jakarta said:

Every rupiah that I lent to the poor means that I must spent half rupiah as the cost of financing.
It is because poor borrowers also need monitoring to make sure that they can repay on time and
it is fixed cost for BMT. Although several people said that poor people are trustworthy people,
they still need monitoring to prevent moral hazard.

Moreover, the staff of BMT Jakarta also agrees with this statement:
Financing for the poor is expensive without subsidy. If BMT only depends on internal funds,
they will lose their profit. Many BMT cannot survive for two years or more without subsidy.
Subsidy will create sustainability.

Moreover, high margin will reflect the problems of high transaction cost in the case of loan
processing. In addition, the problems of high cost will conduct as a road block in financial
inclusion areas (Serrano-Cinca and Gutiérrez-Nieto, 2014). This problem also occurred in BMT.
Since BMT usually handle people at the bottom of the pyramid, funding nominal
that BMT distributed usually around US$80-US$400. This is categorized as small loan. The
administration cost that must covered by BMT is around 50 percent from the nominal funding. It
means that if there is no subsidy in BMT, they must charge high margin to borrowers. So, the
subsidy role is very important for BMTsuccess. The sources of subsidy in Indonesia BMT came
from many institutions.

About the sources of BMT subsidy in Indonesia, chairman BMT Jakarta said:

BMT gets funding from many sources like from national company. National companies usually
give their corporate social responsibility fund for community engagement to BMT. In
Inkopsyah, we use this fund to build new BMT which focus on giving funding to the poor,
infrastructure, and training. After that, this new BMT established and get profit. Next, this new
BMT must give initial funding back to Inkopsyah then Inkopsyah build new BMT again using
that funding. This is the scheme in Inkopsyah to realize one village one BMT.

Similar to INKOPSYAH; chairman of Central BMT in Makasar also said that government give
subsidy to BMT by creating BMT KUBE with 87 branches in Indonesia:

In Makasar, we have 5 BMT KUBE which are subsidized BMTs in Indonesia with total 87
branches all around Indonesia. This BMT focuses on poor borrowers financing which is
supported by Social Ministry in Indonesia.

BMT shariah supervisor in Makassar also adds that BMT has another source of funding, i.e. from
an international donor:

Although it does not exist in Makassar, several BMTs (because I am in BMT Mataram before)
have a source from international funding like Muslim aid. They will give cheap credit to BMT
sometimes without margin which requires BMT to distribute again to the poor. Besides
distributing funding, they usually held cheap market for the poor in special events like Holly
day.
Subsidy has an impact to microfinance. Subsidized lending will have a positive impact on reducing
financing rate/margin, especially in BMT. Moreover, it is explained that donor funds are more
effective to have more benefit in group lending scenario rather than individual lending scenario
which is supported by collateral. Private subsidizes will decide to share part on MFI’s lending risk
and reduce loan rates. Most MFIs usually do not ask for public subsidies but rely on private donor
(Becchetti and Pisani, 2010). This theory also occurred in BMT which many of them searching for
private donor because the administration is easier than public subsidies. In this case, subsidy has
a positive impact on microfinance efficiency (Hudon and Traca, 2011).

On the other hand, subsidy shows bad impact and also good impact to BMT operation. The bad
impact comes because subsidy will force a manager to operate more efficiently and it will create
cost. Because of that, microfinance can be more efficient without subsidy (Caudill et al., 2012).
But Chakravarty and Pylypiv (2015) said that donor funding will promote better microfinance
performance because donor funding usually increase as well as increasing institutional
performance. Subsidy also associated with better social performance and un -subsidized
microfinance is more suitable to target fewer poor clients (D’Espallier et al., 2013).
Because BMT specialized in giving funding to poor people, the subsidy existence is important.
Although the way to get a subsidy incurred a lot of costs, the cost that spent to get a subsidy is
cheaper than the cost to cover high margin. In this practice, the bad impact of subsidy will not
occur in BMT since they specialized on poor people financing.

Subsidy is needed to create business sustainability (Nawaz, 2010). Sustainability is building


positive flow of benefit as long as poor people need. Moreover, sustainability implies the
continuance of microfinance production to alleviate poverty and this concept helps microfinance
to balance social value with financial goals. There are three level of sustainability: financial,
organizational and benefits sustainability (Sama and Casselman, 2013). First is financial
sustainability which is the operational cost of lending retrieved by mix income from microfinance
income and subsidy or grants. Second, organizational sustainability which defines as c apabilities
to back up programs that added social values. Last, benefit sustainability which explain as benefit
available to clients in the form of income generation (Hermes and Lensink, 2011).

The issue of financial sustainability becomes an important aspect in microfinance since poverty
lending approach focussed on distributing credit to the poor with lower margin ( Doshi, 2010).
Subsidy is one approach which contributes to a sustainability problem. Moreover, subsidy
existence takes a part in economy life but subsidy from donor usually targeted to the biggest
microfinance. This condition because donor provide subsidy based on performance record
(internal control existence, efficient staffing, response to market condition and good IT
system; Hartarska, 2009). There two types of subsidy in microfinance: type A and type B. Type
A (commercial) views subsidy as compulsory thing for start-up microfinance while type B (non-
profit) views subsidy as important thing for sustainability (Pischke, 2012). In reality, many
financial subsidies from external to microfinance are unstable because it usually depends on the
performance. Furthermore, unstable subsidy will cause a problem to sustainability. The issue that
occurred in BMT is many BMT only sustain in the first two years without subsidy. After that, many
of them collapse. Subsidy from external is important for BMT sustainability especially for
small BMT. Maintaining BMTperformance by maintain subsidy stability is a challenge
for BMT sustainability.

4.2. Screening process


The role of collateral
Collateral is the value of the asset or valuable items that can conduct as a guarantee of the borrower
for a specific amount of financing. Micro-credit bank usually used a combination of guarantees
and collateral in the loan award. The practice of collateral also occurred in Islamic microfinance.
Islamic microfinance finances only real transactions with underlying assets and any debt created
must be backed by collateral. As a result, only well-performing clients are financed by Islamic
microfinance (Masyita and Ahmed, 2013).

In BMT practice, chairman of BMT said that:

To propose financing even poor borrowers and under the scheme of qardhul hasan financing,
poor borrowers must sent their collateral to BMT usually 50 to 100% nominal value of collateral
from their total financing. It is to make sure that they have an effort to repay and also conduct
as risk management aspect in BMT. Otherwise, they must join group lending with joint l iability
scheme but only small percentage of BMT that have this program.

Furthermore, this concept was agreed by Central BMT staff:

Collateral requirement will decrease margin given to the poor people because BMT can make
sure that poor borrowers can repay their financing or their collateral will be confiscated by
BMT.

This statement align with Turvey et al. (2011) who conducted a research to study relationship
between borrowing capacity and asset to farmers. The result shows many disagreements that
having asset will affect the interest rate increase. Moreover, farmer with greater assets will be
credited as trustworthy person that can access and obtain more credit. Another resea rch Turvey et
al. (2011) strengthen the relationship between collateral and interest rate. This research found that
collateral has an impact to interest rate with opposite direction. Collateral conducted as risk
mitigation to cover default financing from the poor borrowers. In contrast, poor borrowers view
the collateral requirement as incriminating requirement because they cannot fulfill the collateral
that BMT asked. The value of collateral is sometimes too high for the poor borrowers.

Moreover, the difference in collateral requirement depends on the advantage of information


availability about the clients characteristics (Jia et al., 2010). This concept is being implemented
in BMT. For repeated financing in BMT, they get easier access to financing compare to the new
one. Lower margin is usually given by BMT to repeated borrowers with good payment history.
For repeated borrowers, some BMT do not require them to guarantee their financing. Based on
Islamic practice, the challenge to both Islamic micro-bank and MFIs must have a purpose that
everyone in the economy is entitled with economic justice (believe that every consumer is
creditworthy) and must offer collateral free loans (Masyita and Ahmed, 2013). Yet, this practice
is difficult to be implemented. It is the challenge to BMT to make sure that their borrowers’
especially poor borrowers do not face constraint by collateral implementation in BMT.

The role of group lending joint liability


Joint liability is a mechanism in the case of asymmetric information that involve s local
information to reduce credit market failure. Moreover, joint liability can conduct as a solution
when dealing with credit rationing constraints related to collateral requirement for the poor people
even in some region they still need group collateral. This mechanism can be utilized to give
solution to borrower asymmetric information (Ghatak, 2014). Furthermore, it can improve
efficiency comparing with standard debt contracts in the existence of asymmetric information
(Gangopadhyay et al., 2005). Moreover, group lending scheme involves sequential financing or
combination between lender monitoring and joint liability. In the case of serious default, joint
liability lending is not feasible. The feasible one is group lending schemes with sequential
financing without joint liability. In contrast, if the default is not serious, group lending schemes
should also involve joint liability (Chowdhury, 2005).

In the case of BMT, chairman of central BMT said that:

Sometimes I found that many poor people did not have any collateral to show as BMT
requirements but several BMTs provide group lending with joint liability scheme. This scheme
usually consists of 5 to 10 people with one leader. The leader will conduct as liaison officer to
BMT and manage the funding amount to every member. In the case of one member default,
other member will responsible to repay (managed by the leader). Group member also need to
show join collateral as screening process.

The benefit of joint liability is efficiency improvement because it can hand le asymmetric
information about unknown borrowers compare with conventional debt contracts. An example of
joint liability lending in BMT show that collateral can be used easier than the case in developing
countries. It is because even poor people can have collateral, it cannot be used because of lack
financial institution or the collateral does not meet the microfinance requirements in developing
countries. Moreover, credit rating that informs financial condition of the poor also available in
developed countries. It means that joint liability lending in developed countries is not proper to
be used to handle credit market failures (Ghatak, 2014).

Furthermore, like in BMT, factor that influence success in group lending performance is social
cohesiveness between members with peer monitoring which can use as insurance substitutes.
Group which is located in different area will enforce repayment among their member by simulatio n
of intra-group insurance with intensive monitoring. However, it is really difficult to measure group
lending in rural areas (Tassel, 2000). Poor borrower will prefer joint liability/group lending
because the amount of loan is larger and cheaper. But the amount is smaller than individual loan
for wealthy people (Madajewicz, 2011). As a result, group lending is an effective way to alleviate
poverty in developing countries which face a problem of asymmetric information. Group lending
is effective in the area where social ties between members are strong (Tassel, 2000). Many micro-
credit lenders offer joint-liability loans as an access of poor borrower to microfinance funding
(Gangopadhyay et al., 2005).

To be more specific, the staff of Central BMT said that:

Group lending scheme sometimes has negative sides in the case when borrower doesn’t know
each other. Sometimes they envy to other members who get more funding but have more
probability to default. Monitoring from BMT to this kind of group is important but sometimes
people in the group said that they fell uncomfortable because they will think they are under
pressure.

This statement is aligned with Karlan et al. (2009). Although group lending offered many benefits
for poor borrowers, it also contained negative sides. Many clients do not like the pressure among
peer in group lending scheme. The tendency of joint liability/group lending situation is older
clients borrow more than newer clients. This condition will cause high tension among members
because newer clients do not want to take responsible of larger loans. Social capital is a solution
of group lending program that offers not only joint liability lending but also community b uilding,
infrastructure improvement and lower transaction cost. This concept is being made for
microfinance sustainability that purpose to improve welfare of the poor ( Kropp et al., 2009).
Islamic microfinance has been adopted social capital in their daily funding activities. The practice
of joint liability must be implemented in BMT because BMTprovide financing for the poor who
usually do not have individual collateral as guarantee. This practice must be followed by good
monitoring to make sure the repayment performance.

4.3. Credit-plus financing


Credit-plus financing is a factor that contributed to the microfinance success. This concept must
be applied in Islamic microfinance. Hereinafter, the term of credit plus means that a focus of
microfinance not only provide financing to the poor but also integrate other service like leadership
training, soft skill, religious aspect and so on (Serrano-Cinca and Gutiérrez-Nieto, 2014).

Credit-plus financing is being implemented in BMT. One of the practices of credit-plus financing
is the weekly/monthly religious event conducted by BMT (depends on BMT policy). Moreover,
this religious event not only conducts meeting and training but also as risk management aspect.
Every client is being asked about his/her financing status in this meeting. The moderator of
religious meeting also teach financial planner for the poor so they can learn how to pay their
financing on time. Sometimes, BMT held a business and entrepreneurial skills training to enhance
the capacity of poor people to repay. Staff of Central BMT said:

BMT has uniqueness financing program on which other microfinance maybe not concern about
it. How to build the community is our target not just focus on giving financing to the poor
people. Several BMT provide religious event every week to enhance costumer knowledge and
also giving financial training. Besides training, if we found bad infrastructure condition in
several villages, BMT will take care to that problem. This condition will give positive impact to
BMT that every borrower will easier to reach BMT and BMT can perform their operational
activity properly.

If this training concept success in application, it can create easy access to credit, availability of
skill training and easy to access information like what have done in women micro entrepreneurship
in Bangladesh. Besides training, MFI also provide intermediation service both financial and social
intermediation. In this concept, microfinance positioned its self as development tool which
involves “small loans for working capital, informal appraisal of borrowers and investments,
collateral substitutes, such as group guarantees and compulsory savings, access to repeat and
larger loans, based on repayment performance, streamlined loan disbursement and monitoring and
secure saving products” (Nor and Hashim, 2014). Agree with this statement, chairman of
Central BMT said:

We call it credit plus financing for financing plus community engagement in BMT. Based on
BMT practice, it provides small loans usually from (Rp 500.000/US$ 35) to (Rp
5.000.000/US$350). Some of BMT require collateral from the borrowers but only a little of them
require to join a group guarantees. Poor people can only ask for repeat and larger financi ng if
they have paid all previous financing to prevent from spiraling debt. Beside financing, we also
have saving that we target in 2015 to have APEX BMT to make sure every saving is guaranteed
and secured which is treat like the function of deposit insurance agency in bank.

The other uniqueness of credit-plus financing in BMT is the value added for the poor. Poor people
must not be afraid to go to BMT whatever clothes they wear. Many poor borrowers can come
to BMT using informal clothes even farmer usually used dirty clothes after farming and using
sandals. Many poor people afraid to go to the bank because many bank usually require more formal
clothes. This characteristic characterize low profile in BMT compare to formal one. Creating and
maintenance of credit-plus financing in BMT are challenges for BMT success.

4.4. Poor borrower case of default


Many people (around 40 percent) in the world now dealing with poverty on which world bank
describe as a condition on which people will live with income lessthan US$2 per day. As a
solution, Islam has been equipped with multiple weapons to fight poverty through zakah,
awqaf and interest-free loan (qard hasan). Moreover, (Raimi et al., 2014) describe the problems
and consequences of poverty in Muslim-majority nations and integrate corporate social
responsibility, awqaf system and zakat system as faith-based intervention tool for poverty
reduction in Muslim-majority nations.

There are four meanings of poverty: “inadequacy of income and lack of material things apart from
food; lack of physical capacity and lack of assorted human needs ranging from material and non -
material needs that are essential for quality well-being (Raimi et al., 2014).” Furthermore the
conceptualization of poverty has four approaches: monetary approach, capability approach, social
exclusion approach and participatory approach. Monetary approach is a condition of lack of
financial which appear from people inability due to paucity of income, lower income and inflation
effect. Capability approach is a condition of lack of capability to fulfill basic needs as a survival
requirement. Social exclusion approach is an unfair situation which marginalized people from
having basic need access. Last, participatory approach is a condition when people are not allowed
to have socio-economic input.

Poverty usually concentrated in rural area because urban area will provide more job opportunities.
Moreover, the bad impact of poverty can create violent and extreme behavior (Raimi et al., 2014).
It also can said that poverty is economic problem which has linkage with political and social issues
(Hassan, 2010).
As a solution, there are two strategies of poverty alleviation programs: indirect strategy and direct
strategy. Indirect strategy is a strategy by formulating macro -economic policy to maintain stable
growth while direct strategy is a strategy which targeted to poor population and give credit,
education and health access to reduce poverty. Indonesia, Malaysia and Thailand is the success of
indirect strategy while Bangladesh is direct strategy (Hassan, 2010). The poverty alleviation based
on Islam said that a condition of which individual failed to meet five basic requirements: religion,
physical self, knowledge, offspring and wealth (Hassan, 2010). Islam require more than faith but
also human being freedom (Yumna and Clarcke, 2009). The first issue from (Raimi et al., 2014)
stated that poverty, unemployment, low per capita income, large unutilized population are the
bane of crises in the Muslim-majority nations.

The current approach to alleviate poverty is using corporate social responsibility. But the practice
still questionable because many company usually conduct mission drift when they are doing
corporate social responsibility (Raimi et al., 2014). There are several alternative models to curb
poverty. Faith-based model is a solution for Muslim-majority nations. Since Islamic finance
system grow rapidly, Islamic financial institutions dealing with ethical busines s. As a solution,
institutions will pay zakah, waqf and conduct CSR programs to alleviate poverty (Raimi et al.,
2014). Raimi et al. (2014) stated that corporate social responsibility, zakah and waqf could be
integrated in faith-based system to alleviate poverty in the Muslim-majority nations.

There are three components of faith-based system: corporate social


responsibility, zakah and waqf (Raimi et al., 2014). Corporate social responsibility is a voluntary
obligation like the practice of zakah in Islam (Raimi et al., 2014). Corporate Social responsibility
is an action of a company to the society. It is involved five areas: social, environment, voluntary,
economics and stakeholder. Moreover, the common forms of corporate social responsibility are
charity and how to save environment. Furthermore, helping the poor also conduct as a part of
corporate social responsibility. The applicability of this concept can be used both ethicality and
socially (Kamla and Rammal, 2013).

While, awqaf is a tool that has been developed to fulfill crucial needs like education,
transportation, health care, etc. (Mohsin, 2013). It also refers as valuable property or tangible
assets as a gift to God. In practice, it could be monetized as leasing facility but cannot be sold that
can improve social well-being (Raimi et al., 2014). Moreover, awqaf is a charity to hold specific
property for sustainability (Hassan, 2010).

There are three kinds of awqaf: religious awqaf (focus on building and maintenance religious
institutions), philanthropic awqaf (providing support for the poor like health service) and
family awqaf (given to family first) (Hassan, 2010). Nowadays is the era of cash awqaf by using
several amount of money to build property in order to create the welfare of the society (Mohsin,
2013). Several awqaf integrated with microfinance. Waqf-based Islamic MFI will give
microfinance and facilitate wealth construction of the poor. It can reduce financing cost which can
create wider access to the poor (Ahmed, 2007).

The last is zakah which is a compulsory tax to be paid by wealthy Muslim at 2.5 percent from
taxable amount (nisab) equals to 20 dinar (gold) or 200 dirham (silver) (Raimi et al., 2014). It is
a unique instrument for poverty alleviation. It can be used on eight purposes. Five are meant for
poverty eradication such as the poor, the needy, the debtors, the slaves (to free them from
captivity) and the travelers in need. Other are the administrative cost of zakat, “those whose hearts
are made inclined” (to Islam), and in the way of Allah called asnaf (Hassan, 2010). Zakat usually
integrated with microfinance like the case in Indonesia. Zakat and Islamic charities can be used
as microfinance’s source of fund. Moreover it has targeted to low-income people. It usually
conduct as a tool for alleviate poverty especially extreme poverty. They usually given qardhul
hasan financing scheme (without interest and margin) (Yumna and Clarcke, 2009). Zakah is
compulsory, while awqaf is voluntary. It is usually fixed rate and spent only one in a year and it
only applied to Muslim (Hassan, 2010).

The practice in BMT shows dual functions. First is Baitul Maal and second is Baitul Tamwil.
Since BMT perform two functions: Baitul Maal (managing zakah, infaq and sadakah) and Baitul
Tamwil (managing saving and funding). BMTcan manage charity fund by collecting zakah,
infaq and sadaqah donation. The main purpose of BMT not only provide funding but also
community development by cutting the role of money shark in community ( Kamla and Rammal,
2013).

Moreover, BMT distribute zakah, infaq and sadakah in the form financing that do not requires
collateral with zero margin (or known as qardhul hasan loan or benevolent loan). Poor borrowers
have obligation to pay. BMT never stated that the source of fund comes from zakah,
infaq and sadakah to prevent moral hazard. Other form, BMT used zakah, infaq and sadaqah as
source in the case of borrowers default. Chairman of BMT said:

As you know that we have separate functions which are mixed into one Baitul Maal wa Tamwil.
Ideally every BMT has these two functions with different department but we only found it in big
BMT like BMT Beringharjo Yogjakarta. Other BMT usually do not separate these functions.
Besides distributing qardhul hassan financing, BMT also used zakah, infaq and sadakah as a
buffer in the case of poor borrower default.
Furthermore, zakah, infaq and sadakah can increase the welfare of the poor because it will be
given to the poor people to alleviate poverty by creating additional income (Junaidi and Rizkiyah,
2013). Zakah, infaq and sadakah will create value for society (Kamla and Rammal, 2013).

The challenge that occurred in BMT in Indonesia is most of them rarely used the concept of Baitul
Maal. This condition occurred because only poor people come to them for funding and only small
percentage of wealthy people come to pay their zakah, infaq and sadakah in Indonesia. This
makes many microfinance depends on donors to distribute qard al hasan financing. Revitalization
of the Baitul Maal concept is really important since donor fund is not unlimited. So, Islamic
microfinance can continuously give cheap fund for the poor and qard al hasan for the poorest of
the poor.

Based on the qualitative analysis, the output post-categorization of issues and challenges
in BMT can be summarized as in Figure 1.

5. Conclusion

Section:
While BMT has been effective in alleviating poverty in Indonesia by enabling the poor to have
access to credit, it faces several issues and challenges in providing financing to the poor. This
study observed the practices of BMT in Indonesia to highlight the issues and challenges faced
by BMT in order to understand factors that are critical to ensure the sustainability of this
institution.

Based on the qualitative analysis, the study documents four categories of issues facing BMT in
providing financing to the poor. First is financing sources for the poor in BMT. The first issue
states that government, national private company and international donor to provide subsidized
financing sources for the poor using BMT. Maintaining subsidy stability is a challenge
for BMT sustainability. Second is screening process. This issue describes two screening pr ocess
in BMT: poor people must send their individual collateral as a requirement when proposing
funding to BMTor in the case of individual collateral absence, poor borrowers must joint group
lending scheme with joint liability. BMT must conduct good monitoring to make sure the
repayment performance. Third is credit-plus financing. This issue suggests that the BMT to
provide credit-plus financing which is not only giving financing but also build infrastructure
building and maintenance and give routine training plus religious activities to borrowers. Creating
and maintenance of credit-plus financing in BMT are challenges for BMT success. The last is poor
borrower case of default issue. This issue states that zakah, infaq, sadaqah and waqf to take a role
in the case of poor borrowers financing default.
5.1. Policy implication
The findings of this study have several important implications for the BMT and policy makers.
This study highlights the need for a range of strategies to ensure success and sustainabi lity of BMT.
This includes maintaining the flow of subsidy into BMT by showing good financial and
operational performance; providing group lending scheme as an alternative of poor borrowers’
lack of collateral; creating good credit-plus program with innovative and uniquely designed
programs and activities; and optimizing the Baitul Maal function in BMT as a division focussing
on managing the funds from zakah and charity.

In order to effectively addressing these issues and challenges, the role of the government is indeed
crucial. Specific strategies in terms of special incentives and support from the government would
go a long way in supporting BMT’s success and effectiveness and to remain sustainable.
Additionally, the government’s role to create good business climate is an important contributing
factor toward improving the socio-economic standing of the poor in Indonesia.

Figure 1 Issues and challenges faced byin financing for the poor

Table I Profile of respondents

Table II Questionnaire

References
1.

Abdul Rahman, R. and Dean, F. (2013), “Challenges and solutions in Islamic


microfinance”,Humanomics , Vol. 29 No. 4, pp. 293-306. doi: 10.1108/H-06-2012-
0013. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]
2.

Ahmed, H. (2007), “Waqf-based microfinance: realizing the social role of Islamic


finance”, Integrating Awqaf in the Islamic Financial Sector, Dhaka, pp. 1 -22. [Google
Scholar]

3.

Alaeddin, O. and Anwar, N. (2012), “Critical analysis of diverse funding of Islamic


microfinance institution: a case study in BMT Amanah Ummah Surabaya Indonesia”, 2nd
ISRA Colloquium, Kuala Lumpur, pp. 1-33. [Google Scholar]

4.

Ambert, A.-M. , Adler, P.A. , Adler, P. and Detzner, D.F. (1995), “Understanding and
evaluating qualitative research”, Journal of Marriage and the Family , Vol. 57 No. 4,
pp. 879-893. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

5.

Becchetti, L. and Pisani, F. (2010), “Microfinance, subsidies and local


externalities”, Small Business Economics , Vol. 34 No. 3, pp. 309-321. doi:
10.1007/sl. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

6.

Caudill, S.B. , Gropper, D.M. and Hartarska, V. (2012), “Microfinance institution costs:
effects of gender, subsidies and technology”, Journal of Financial Economic Policy , Vol.
4 No. 4, pp. 292-304. doi: 10.1108/17576381211279271. [Google
Scholar] [Link] [Infotrieve]

7.
Chakravarty, S. and Pylypiv, M.I. (2015), “The role of subsidization and organizational
status on microfinance borrower repayment rates”, World Development , Vol. 66, pp. 737-
748. doi: 10.1016/j.worlddev.2014.09.007. [Google Scholar] [Crossref], [ISI]

8.

Chowdhury, P.R. (2005), “Group-lending: sequential financing, lender monitoring and


joint liability”, Journal of Development Economics , Vol. 77 No. 2, pp. 415-439. doi:
10.1016/j.jdeveco.2004.05.005. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

9.

Cokro, W.M. and Ismail, A.G. (2009), “Sustainability of BMT financing for developing
micro-enterprises”, Munich Personal Repec Archive , Vol. 7434 No. 7434, pp. 1-
31. [Google Scholar][Infotrieve]

10.

D’Espallier, B. , Hudon, M. and Szafarz, A. (2013), “Unsubsidized microfinance


institutions”,Economics Letters , Vol. 120 No. 2, pp. 174-176. doi:
10.1016/j.econlet.2013.04.021. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

11.

Dariah, A.R. (2012), “Improving social capital of BMT (Baitul Maal Wa Tamwil): an
experience from BMT Lathifah, Sumedang Indonesia”, International Journal of Social
Sciences , Vol. 4 No. 1, pp. 64-70. [Google Scholar] [Infotrieve]

12.
Doshi, K. (2010), Positive Design and Appreciative Construction: From Sustainable
Development to Sustainable Value. Advances in Appreciative Inquiry , Vol. 3, Emerald
Group Publishing, Bingley, pp. 275-295. [Google Scholar]

13.

Effendi, J. (2013), “The role of Islamic microfinance in poverty alleviation and


environmental awareness an Pasuruan, East Java, Indonesia”, Universitatsverlag
Gottingen, Gottingen, pp. 1-150. [Google Scholar]

14.

Gangopadhyay, S. , Ghatak, M. and Lensink, R. (2005), “Joint liability lending and the
peer selection effect”, The Economic Journal , Vol. 115 No. 506, pp. 1005-1015. [Google
Scholar][Crossref], [ISI] [Infotrieve]

15.

Ghatak, M. (2014), “Screening by the company you keep: joint liability lending and the
peer selection effect”, The Economic Journal , Vol. 110 No. 465, pp. 601-631. [Google
Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

16.

Hadisumarto, W.B.M.C. and Ismail, A.G.B. (2010), “Improving the effectiveness of


Islamic micro-financing: learning from BMT experience”, Humanomics , Vol. 26 No. 1,
pp. 65-75. doi: 10.1108/08288661011025002. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

17.
Hartarska, V. (2009), “The impact of outside control in microfinance”, Managerial
Finance , Vol. 35 No. 12, pp. 975-989. doi: 10.1108/03074350911000034. [Google
Scholar] [Link] [Infotrieve]

18.

Hasanah, A. and Yusuf, A.A. (2013), “Determinants of the establishment of Islamic micro
finance institutions: the case of Baitul Maal wa Tamwil (BMT) in Indonesia”, Working
Paper in Economics and Development Studies No. 201308(6), Center for Economics and
Development, Jakarta, pp. 1-16. [Google Scholar]

19.

Hassan, A. (2014), “The challenges in poverty alleviation: role of Islamic microfinance


and social capital”, Humanomics , Vol. 30 No. 1, pp. 76-90. doi: 10.1108/H-10-2013-
0068. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

20.

Hassan, M.K. (2010), “An integrated poverty alleviation model combining zakat, awqaf
and micro-finance”, Seventh International Conference – The Tawhidi Epistemology2,
pp. 261-281. [Google Scholar]

21.

Hermes, N. and Lensink, R. (2011), “Microfinance: its impact, outreach, and


sustainability”,World Development , Vol. 39 No. 6, pp. 875-881. doi:
10.1016/j.worlddev.2009.10.021. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

22.
Hosen, M.N. and Syukriyah, L. (2012), “Determinant factors of the successful of Baitul
Maal Wat Tamwil (BMT)”, International Journal of Academic Research in Economics
and Management Sciences , Vol. 1 No. 4, pp. 36-55. [Google Scholar] [Infotrieve]

23.

Hudon, M. and Traca, D. (2011), “On the efficiency effects of subsidies in microfinance:
an empirical inquiry”, World Development , Vol. 39 No. 6, pp. 966-973. doi:
10.1016/j.worlddev.2009.10.017. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

24.

Jia, X. , Heidhues, F. and Zeller, M. (2010), “Credit rationing of rural households in


China”,Agricultural Finance Review , Vol. 70 No. 1, pp. 37-54. doi:
10.1108/00021461011042620. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

25.

Junaidi, E. and Rizkiyah, P.D. (2013), “Does contract type influence the zakat, infaq and
shadaqah donation of Islamic microfinance customers? Case study of Baitul Maal Wat
Tamwil”, 8th Conference on Islamic Economics and Finance, pp. 1-27. [Google Scholar]

26.

Juwaini, A. and Mintarti, N. (2010), “BMT (Baitulmaal wa Tamwil) Islamic micro


financial services for the poor”, ISO/Copolco Workshop Bali, Bali, pp. 1-15. [Google
Scholar]

27.
Kamla, R. and Rammal, H.G. (2013), “Social reporting by Islamic banks: does social
justice matter?”, Accounting, Auditing & Accountability Journal , Vol. 26 No. 6, pp. 911-
945. doi: 10.1108/AAAJ-03-2013-1268. [Google Scholar] [Link], [ISI] [Infotrieve]

28.

Karlan, D. , Harigaya, T. , Nadel, S. and Evaluating, S.N. (2009), Moving Beyond


Storytelling: Emerging Research in Microfinance. Contemporary Studies in Economic and
Financial Analysis , Vol. 92, Emerald Group Publishing, Bingley, pp. 215-249. [Google
Scholar]

29.

Kropp, J.D. , Turvey, C.G. , Just, D.R. , Kong, R. and Guo, P. (2009), “Are the poor really
more trustworthy? A micro-lending experiment”, Agricultural Finance Review , Vol. 69
No. 1, pp. 67-87. doi: 10.1108/00021460910960471. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

30.

Lyons, H.Z. , Bike, D.H. , Ojeda, L. and Flores, L.Y. (2013), “Qualitative research as
social justice practice with culturally diverse populations university of LaVerne”, Journal
for Social Action in Counseling and Psychology , Vol. 5 No. 2, pp. 10-25. [Google
Scholar] [Infotrieve]

31.

Madajewicz, M. (2011), “Joint liability versus individual liability in credit


contracts”, Journal of Economic Behavior & Organization , Vol. 77 No. 2, pp. 107-123.
doi: 10.1016/j.jebo.2008.01.007. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]

32.
Masyita, D. and Ahmed, H. (2013), “Why is growth of Islamic microfinance lower than
its conventional counterparts in Indonesia?”, Islamic Economic Studies , Vol. 21 No. 1,
pp. 35-62. [Google Scholar] [Crossref] [Infotrieve]

33.

Mohsin, M.I.A. (2013), “Financing through cash-waqf: a revitalization to finance different


needs”, International Journal of Islamic and Middle Eastern Finance and Management ,
Vol. 6 No. 4, pp. 304-321. doi: 10.1108/IMEFM-08-2013-0094. [Google
Scholar] [Link] [Infotrieve]

34.

Nasution, A.C. (2013), “Efficiency of Baitul Maal Wa Tamwil (BMT): an effort towards
Islamic wealth management in microfinance institution”, Proceeding of the 5th Islamic
Economics System Conference, pp. 156-164. [Google Scholar]

35.

Nawaz, A. (2010), “Performance of microfinance: the role of subsidies”, Saving and


Development , Vol. 34 No. 1, pp. 97-138. [Google Scholar] [Infotrieve]

36.

Nor, S.M. and Hashim, N.A. (2014), “CSR and sustainability dimension in Islamic
banking in Malaysia: a management insight”, Proceedings of 26th International Business
Conference, Imperial College, London, pp. 1-15. [Google Scholar]

37.

Obaidullah, M. (2008), Role of Microfinance in Poverty Alleviation , Islamic Research


and Training Institute, Jedah, p. 65. [Google Scholar]
38.

Pischke, J.D.V. (2012), “Ethical issues in micro and small business finance”, Saving and
Development , Vol. 32 No. 3, pp. 127-152. [Google Scholar] [Infotrieve]

39.

Raimi, L. , Patel, A. and Adelopo, I. (2014), “Corporate social responsibility, waqf system
and zakat system as faith-based model for poverty reduction”, World Journal of
Entrepreneurship, Management and Sustainable Development , Vol. 10 No. 3, pp. 228-
242. doi: 10.1108/WJEMSD-09-2013-0052. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

40.

Saefullah, K. (2010), “Cultural aspects on the Islamic microfinance: an early observation


on the case of Islamic microfinance institution in Bandung, Indonesia”, Strasbourg
Workshop on Islamiic Finance, Strasbourg, pp. 1-32. [Google Scholar]

41.

Sama, L.M. and Casselman, R.M. (2013), “Profiting from poverty: ethics of microfinance
in BOP”, South Asian Journal of Global Business Research , Vol. 2 No. 1, pp. 82-103.
doi: 10.1108/20454451311303301. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

42.

Serrano-Cinca, C. and Gutiérrez-Nieto, B. (2014), “Microfinance, the long tail and


mission drift”, International Business Review , Vol. 23 No. 1, pp. 181-194. doi:
10.1016/j.ibusrev.2013.03.006. [Google Scholar] [Crossref], [ISI] [Infotrieve]
43.

Tassel, E.V. (2000), “A study of group lending and incentives in Bolivia”, International
Journal of Social Economics , Vol. 27 Nos 7-10, pp. 927-943. [Google
Scholar] [Infotrieve]

44.

Turvey, C.G. , He, G. , Kong, R. , Ma, J. and Meagher, P. (2011), “The 7 Cs of rural credit
in China”, Journal of Agribusiness in Developing and Emerging Economies , Vol. 1 No.
2, pp. 100-133. doi: 10.1108/20440831111167146. [Google Scholar] [Link] [Infotrieve]

45.

Yumna, A. and Clarcke, M. (2009), “Integrating zakat and Islamic charities with
microfinance initiative in the purpose of poverty alleviation in Indonesia”, 8th
International Conference on Islamic Economics and Finance, pp. 1-18. [Google Scholar]

Further reading
1.

El-Komi, M. and Croson, R. (2013), “Experiments in Islamic microfinance”, Journal of


Economic Behavior & Organization , Vol. 95, pp. 252-269. doi:
10.1016/j.jebo.2012.08.009. [Google Scholar] [Crossref], [ISI]

Tujuan
Makalah ini bertujuan untuk menyoroti aspek unik keuangan mikro Islam berdasarkan pengalaman
Baitul Maal Wa Tamwil (BMT) di Indonesia.

Desain / metodologi / pendekatan


Ini mengadopsi pendekatan analisis isi dan berfokus pada tiga tahap pembiayaan, yaitu pembiayaan
pra-pembiayaan, pembiayaan dan pasca-pembiayaan dengan menggunakan bangunan pengkodean dan
model. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam dengan sampel perwakilan BMT yang
menawarkan produk berdasarkan prinsip Islam untuk masyarakat miskin yang berada di Jakarta,
Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi (JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Nusa
Tenggara Barat (sampel dipilih berdasarkan area keuangan mikro syariah paling konservatif yang
menawarkan produk berdasarkan prinsip-prinsip Islam). Pada akhirnya, model yang didasarkan pada
fitur unik keuangan mikro Islam akan dikembangkan berdasarkan temuan analisis isi.

Temuan
Model yang diusulkan menggabungkan kekhasan orang miskin dalam kegiatan pembiayaan,
pembiayaan dan pembiayaan pasca pembiayaan untuk dijadikan rujukan bagi pembuat kebijakan.
Makalah ini juga menemukan bahwa masing-masing daerah memiliki preferensi produk yang unik
tergantung pada karakteristik orang miskin.

Keterbatasan penelitian / implikasi


Penelitian ini hanya dilakukan di empat wilayah dengan perwakilan BMT, yaitu Jakarta, Bogor,
Depok, Tangerang, Bekasi (sering disingkat JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan
Nusa Tenggara Barat) di Indonesia. Meskipun cakupannya terbatas, temuan ini memiliki aplikasi
yang luas untuk pembiayaan mikro syariah pada umumnya.

Orisinalitas / nilai
Makalah ini menambahkan nilai pada literatur tentang keuangan mikro Islam dengan memungkinkan
para periset dan praktisi memahami model pembiayaan tiga langkah (pra-pembiayaan, pembiayaan
dan pasca pembiayaan) dalam keuangan mikro Islam di Indonesia. Meskipun bukan isu baru, makalah
ini memberikan praktik proses pra-pembiayaan, pembiayaan dan pasca pembiayaan yang mungkin
berbeda dari praktik keuangan mikro syariah di lingkungan lain karena pengaruh budaya yang
berbeda yang unik di setiap wilayah

Artikel
1. Perkenalan
Bagian: Bagian selanjutnya
Keuangan mikro adalah layanan keuangan berskala kecil yang diberikan kepada orang-orang yang
bertani atau berkelompok atau ternak; yang mengoperasikan usaha kecil atau mikro dimana barang
diproduksi, didaur ulang, diperbaiki, atau diperdagangkan; yang menyediakan layanan; yang bekerja
untuk upah atau komisi; yang mendapatkan penghasilan dari menyewakan sejumlah kecil tanah,
kendaraan, hewan rancangan, atau mesin dan peralatan; dan kepada individu dan kelompok lain di
tingkat lokal negara-negara berkembang, baik pedesaan maupun perkotaan (Robinson, 2002).

Islam adalah agama yang dominan di Indonesia dengan populasi Muslim terbesar di dunia. Berdasarkan
statistik resmi, sebanyak 237.641.326 orang Indonesia (atau 87,18 persen dari total penduduk
Indonesia) menganggap diri mereka Muslim (BPS, 2010).

Indonesia adalah negara berkembang dengan tingkat inklusi keuangan yang rendah. Salah satu indikator
untuk penyertaan keuangan, yaitu rekening tabungan per 1.000 penduduk dewasa hanya sebesar 504,7
atau 50,47 persen (sumber kutipan, tahun). Sisanya 49,53 persen yang tidak memiliki akses terhadap
layanan perbankan sebagian besar adalah Muslim dengan agama sebagai salah satu alasan untuk tidak
merendahkan layanan perbankan. Akibatnya, sistem keuangan Islam yang menawarkan alternatif
pembiayaan berbasis bunga (terlarang dalam Islam) dan memiliki potensi besar untuk meningkatkan
penyertaan keuangan, terutama di kalangan mayoritas Muslim di Indonesia.

Dalam hal ini, Baitul Maal wa Tamwil (BMT) atau di beberapa daerah yang disebut Baitul Qirad
berfungsi seperti koperasi Islam di Indonesia yang dilisensikan di bawah pengawasan Kementerian
Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Masyita dan Ahmed, 2013). Tujuan BMT adalah untuk
menyediakan layanan keuangan Syari'ah-compliant, khususnya bagi kaum miskin Muslim. Dalam
prakteknya, BMT menawarkan fungsi ganda sebagai Baitul Maal, bertindak sebagai amil dengan
mengelola dan mengelola zakat (pengumpulan dan distribusi) dan sebagai Baitul Tamwil yang
melakukan intermediasi keuangan dengan mengelola dana dan tabungan. Ini juga menunjukkan fungsi
bisnis atau komersial, serta peran sosial BMT. Dengan peran unik BMT, beberapa celah sistem
keuangan konvensional dapat diatasi.

Karlan dan Morduch (2009) menekankan pentingnya pilihan mikroekonomi yang ditawarkan dan
berpendapat bahwa hal itu mungkin lebih penting daripada pilihan ekonomi murni mengenai tingkat
kenaikan. Dehejia dkk. (2009) juga menemukan bahwa berbagai kategori masyarakat miskin merespons
secara berbeda terhadap kenaikan suku bunga. Mereka menaikkan suku bunga di daerah kumuh Dhaka,
Bangladesh, dari 2 sampai 3 persen per bulan dan mendapati bahwa peminjam yang lebih miskin lebih
sensitif terhadap kenaikan suku bunga (dengan elastisitas -0,86) daripada peminjam yang relatif lebih
kaya (dengan elastisitasnya -0.26). Sedikit referensi yang ada dalam menciptakan keuangan mikro
syariah untuk pengentasan kemiskinan terutama di Indonesia. Sangat menarik untuk menemukan faktor
penting yang dibutuhkan dalam menciptakan keuangan mikro syariah di Indonesia. Juga masyarakat
tidak mendapatkan informasi yang tepat dan memadai mengenai keberadaan keuangan mikro syariah
di Indonesia dan dampak pengentasan kemiskinan. Berdasarkan isu di atas, sangat menarik untuk
meneliti produk keuangan mikro syariah untuk pengentasan kemiskinan (produk pembiayaan untuk
masyarakat miskin), dinamika penawaran dan permintaan, serta faktor keberhasilan utama secara
mendalam.

2. Kerangka kerja konseptual skema keuangan mikro


Bagian: Bagian sebelumnya Bagian selanjutnya
Salah satu model keuangan mikro yang paling terkenal adalah model Grameen Bank di Bangladesh
yang dikembangkan oleh Profesor Muhamad Yunus. Bank Grameen dimiliki oleh peminjam miskin
dan bekerja secara eksklusif untuk mereka. Bank Dunia hadir karena hambatan yang signifikan bagi
masyarakat miskin untuk mengakses uang dari bank konvensional. Dengan menghasilkan "kredit
Grameen", Bank Grameen bertujuan untuk mempromosikan kredit sebagai hak asasi manusia dan
membantu keluarga miskin untuk mengatasi kemiskinan. Faktor pembeda dari kredit Grameen adalah
bahwa hal itu tidak didasarkan pada kontrak jaminan atau kontrak yang mengikat secara hukum namun
terutama berdasarkan kepercayaan. Secara khusus, kredit Grameen mengharuskan peminjam untuk
bergabung dengan kelompok untuk mendapatkan pinjaman. Tiga jenis pinjaman diberikan, yaitu
pinjaman yang menghasilkan pendapatan (dengan tingkat bunga 20 persen), pinjaman perumahan
(dengan tingkat bunga 8 persen) dan pinjaman pendidikan tinggi untuk anak-anak keluarga Grameen
(dengan tingkat suku bunga dari 5 persen) berdasarkan metode saldo dikurangi. Konsep Grameen Bank
efektif untuk mengurangi kemiskinan di Bangladesh. Namun, ia menyimpang dari Syariah karena
mengenakan bunga.

Konsep keuangan mikro lainnya adalah program Kalanjiam di India yang diperkenalkan oleh Yayasan
Pengembangan Aksi Manusia (DHAN) yang dimulai pada bulan Oktober 1997. Program ini merupakan
program kredit unik yang melampaui pendekatan "pengiriman keuangan" yang sempit yang fleksibel
dan disesuaikan dengan kebutuhan orang miskin dalam upaya untuk mengatasi "kebocoran" yang ada
dalam sistem pemberian uang sehingga dapat meningkatkan kemampuan meminjam orang miskin.
Program keuangan mikro ini bekerja melalui kelompok swadaya (self swadaya) dan bertujuan untuk
menanamkan demokrasi dengan mendorong kepemimpinan akar rumput untuk muncul dan memastikan
kepemilikan masyarakat terhadap pekerjaan umum. Model SHG telah sukses di India. Setiap SHG
terbentuk dengan sekitar 10-15 anggota (homogen dalam hal pendapatan). Model yang dipromosikan
dan didukung oleh LSM, yang bertindak sebagai perantara keuangan, biasanya menggabungkan
keuangan mikro dengan kegiatan pembangunan.

Model ketiga yang telah banyak diterapkan di Amerika Latin dan Afrika adalah model bank desa
(Obaidullah, 2009). Model ini melibatkan lembaga pelaksana yang membentuk bank desa masing-
masing dengan sekitar 30 sampai 50 anggota dan memberikan modal eksternal untuk pembiayaan
selanjutnya kepada anggota perorangan. Pinjaman individual dilunasi dalam interval mingguan selama
empat bulan dimana bank desa mengembalikan pokok pinjaman dengan bunga / keuntungan ke agen
pelaksana. Pelunasan secara penuh akan memungkinkan anggota untuk memenuhi syarat untuk
mendapatkan pinjaman berikutnya dengan ukuran pinjaman terkait dengan kinerja anggota bank desa
dalam mengumpulkan tabungan. Model ini telah berhasil diimplementasikan dengan cara yang sesuai
dengan syari'ah di Jabal al Hoss, Syria.

Meskipun popularitasnya meningkat sebagai mekanisme untuk mengurangi kemiskinan, terutama di


negara-negara berkembang, keuangan mikro syariah masih menghadapi beberapa isu terutama produk
dan jangkauan terbatas. Beberapa telah diberi mandat oleh negara namun tidak mendapat permintaan
populer seperti di Iran. Yang lainnya muncul sebagai tanggapan atas permintaan rakyat, namun
kurangnya dukungan peraturan oleh negara seperti di Suriah. Industri keuangan syariah secara
keseluruhan diperkirakan mencapai lebih dari $ 2 miliar pada tahun 2012 dan merupakan sektor yang
terus berkembang karena tidak bergantung pada pinjaman berdasarkan bunga, serta prinsip etika yang
dimilikinya.

Konsep keuangan mikro Islam menganut prinsip-prinsip Islam dan merupakan bentuk investasi yang
bertanggung jawab secara sosial. Investor yang menggunakan kekayaan mereka untuk proyek keuangan
mikro Islam hanya melibatkan diri mereka dalam proyek halal (diperbolehkan atau diizinkan
berdasarkan Syari'ah) yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan. Proyek semacam itu
termasuk zakat, yaitu proyek amal atau perdagangan dan industri untuk mengembangkan ekonomi suatu
negara. Mekanisme pemberian pinjaman dalam keuangan mikro syariah berbeda dengan pembiayaan
mikro konvensional karena larangan Riba. Tidak seperti keuangan mikro konvensional, keuangan
mikro syariah menawarkan cara bebas bunga untuk memberikan pinjaman kecil kepada orang-orang
yang miskin dan membutuhkan. Salah satu metode utama pemberian pinjaman adalah melalui
instrumen keuangan Islam, Qardhul-hasan, yang merupakan pinjaman yang telah diberikan oleh
pemberi pinjaman dengan dasar niat baik dan peminjam hanya diminta untuk membayar jumlah
pinjaman yang tepat tanpa biaya tambahan atau bunga (Tasnem , 2012).

Berdasarkan hadis, kondisi fundamental yang spesifik dari program keuangan mikro Islam yang sukses
adalah akses orang miskin paling miskin ke program yang dilakukan oleh lembaga keuangan mikro,
penilaian hati-hati terhadap kesehatan keuangan masyarakat miskin, transformasi aset tidak produktif
penerima manfaat menjadi perusahaan yang menghasilkan pendapatan melalui penilaian yang ketat
(berdasarkan penemuan harga melalui metode lelang), keterlibatan masyarakat yang lebih besar dalam
prosesnya, memenuhi kebutuhan dasar berdasarkan prioritas dan investasi surplus dalam aset produktif,
keterlibatan langsung program dalam pengembangan kapasitas menjelang perolehan pendapatan dan
bantuan teknis kepada penerima manfaat, bantuan teknis dalam bentuk memberikan pelatihan yang
diperlukan kepada penerima manfaat untuk menjalankan rencana bisnis / proyek yang menghasilkan
pendapatan dan perhitungan yang transparan terhadap hasil operasional dan kebebasan untuk
menggunakan sebagian dari pendapatan untuk memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi.

Tantangan utama bagi lembaga keuangan mikro Islam seperti BMT adalah menciptakan keuangan
mikro yang melibatkan karakteristik orang miskin karena orang-orang di dasar piramida memiliki
karakteristik sosio-ekonomi yang unik yang perlu dipertimbangkan. Beberapa jenis penelitian telah
meneliti keuangan mikro syariah, namun sepengetahuan kami, tidak ada yang berfokus pada kekhasan
model keuangan mikro Islam yang menanamkan karakteristik berbeda dari orang miskin. Kesenjangan
literatur ini memotivasi penelitian ini.

3. Desain dan metode penelitian

Bagian: Bagian sebelumnyaBagian selanjutnya


Metode kualitatif biasanya dipilih untuk penelitian mengenai masalah sosial ekonomi, khususnya di
BOP (Pansera dan Owen, 2014). Analisis kualitatif paling baik digunakan dalam menggambarkan
perilaku daerah penelitian (Effendi, 2013). Analisis isi kualitatif dianggap sebagai metode yang paling
sesuai untuk penelitian ini karena dua ciri penting penelitian ini:

Untuk memenuhi penjelajahan penelitian, faktor-faktor yang menentukan karakteristik produk untuk
keuangan mikro syariah jarang disajikan sebagai penulisan ilmiah dan juga faktor-faktor yang terbatas
dalam literatur sekarang. Untuk menghindari bias peneliti dalam mendasari teorinya, metode eksploratif
dianggap aman.
Untuk mendapatkan jawaban yang paling andal, sifat persepsi Syari'ah seringkali tersembunyi, tidak
jelas, mudah bias dan agak tidak nyaman bagi kebanyakan orang. Seseorang tidak dapat menuduh
institusi keuangan tertentu dari masyarakat kurang dekat dengan Syariah daripada yang lain tanpa
menarik sentimen pribadi pemain tersebut.
Cole (1988) mendefinisikan analisis isi sebagai metode untuk menganalisis pesan komunikasi tertulis,
verbal atau visual. Metode ini digunakan pertama sebagai metode untuk menganalisis himne, artikel
koran dan majalah, iklan dan pidato politik di abad kesembilan belas (Harwood and Garry, 2003). Saat
ini, analisis isi digunakan dalam politik, jurnalistik, sosiologi, psikologi dan bisnis dan telah
berkembang pesat selama dekade yang lalu (Neundorf, 2002).

Penggunaan unit yang tersedia ada dalam kata, kalimat, atau paragraf, dan tulisan ini menggunakan
kalimat dan kata sebagai unit analisis. Kategori dan skema pengkodean dapat dikembangkan dari studi,
teori, atau data yang terkait sebelumnya. Ini juga bisa berfungsi sebagai pengembangan data induktif
atau deduktif. Glaser dan Strauss (1967) mengemukakan bahwa ketika metode induktif digunakan
selama pengembangan bahan baku, metode perbandingan konstan direkomendasikan. Metode
komparatif konstan pada dasarnya adalah perbandingan sistematis dari setiap teks yang diberikan ke
kategori dengan masing-masing kategori yang telah ditetapkan ke kategori tersebut untuk
mengungkapkan sifat teoritis kategori tersebut dan untuk mengintegrasikan kategori dan propertinya
dengan mengembangkan memo interpretatif. Setelah kategorisasi dan abstraksi, hasil akhir dari
makalah ini adalah untuk mengungkapkan pola, tema dan kategori yang penting bagi realitas sosial.

Serangkaian wawancara dilakukan dengan responden terpilih yang terdiri dari Ketua dan staf beberapa
BMT di JABODETABEK, Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan. Ada lima BMT
yang bertugas sebagai perwakilan di masing-masing daerah (seperti yang diinformasikan oleh Kepala
BMT di masing-masing daerah) karena BMT ini sudah ada cukup lama, kecuali di NTB, sehingga perlu
tambahan BMT di NTB sebagai perbandingan. Selanjutnya, hasil dari wawancara terstruktur dianalisis
dengan menggunakan analisis kualitatif untuk sampai pada model keunikan dalam fase pembiayaan
kepada masyarakat miskin di Indonesia. Termasuk dalam responden adalah lima karyawan yang dipilih
berdasarkan dua kriteria utama: pegawai BMT dan yang telah bekerja lebih dari dua tahun dan sedang
menangani pembiayaan BMT. Profil peserta ditunjukkan di bawah ini (Tabel I).

Wawancara didasarkan pada pertanyaan terbuka tentang proses profil, pra pembiayaan, pembiayaan
dan pasca pembiayaan sehingga responden dapat secara bebas mengungkapkan permasalahan dan
tantangan di BMT di Indonesia. Setiap wawancara memakan waktu sekitar 180 menit dan dicatat.
Selanjutnya, wawancara ditranskrip dan data dikodekan. Kemudian, isu dan tantangan dirangkum dan
dilaporkan.

Hasil
Bagian: Bagian sebelumnyaBagian selanjutnya
Ada tiga area sampling utama - wilayah Indonesia bagian barat, daerah pusat di Indonesia dan kawasan
timur. Daerah barat diwakili oleh JABODETABEK dan Yogyakarta, daerah tengah yang diwakili oleh
Sulawesi Selatan dan daerah timur diwakili oleh Lombok, Nusa Tenggara Barat. Kota-kota dipilih
karena mereka memiliki jumlah BMT dan konsentrasi penduduk miskin paling tinggi, menurut data
primer BMT dan Biro Statistik. Berikut adalah output pasca kategorisasi proses pembiayaan BMT yang
dihasilkan dari analisis kualitatif (Gambar 1).

Karakter 4.1Poor dan karakteristik Baitul Maal Wa Tamwil


4.1.1Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi.
(Tabel II) JABODETABEK adalah ibu kota Indonesia. Banyak orang dari luar daerah ini datang untuk
bekerja di sini. Tapi, karena pekerjaan terbatas, banyak di antaranya bekerja di sektor informal dan
berpenghasilan lebih rendah dari kebutuhan mereka. Ciri unik orang miskin adalah mereka biasanya
berkumpul dan menghabiskan waktu bersama. Kondisi ini menciptakan kemiskinan di
JABODETABEK. BMT mencoba memberikan layanan keuangan mikro Islami kepada mereka. Salah
satu BMT paling sukses di JABODETABEK adalah BMT Al Huwaiza.

4.1.1.1Baitul Maal Wa Tamwil Huwaiza kisah sukses.


Huwaiza adalah salah satu koperasi Syariah yang telah diawasi oleh Pusat Koperasi Syariah
(Puskopsyah). Berlokasi di Depok - Sawangan, Jawa Barat; BMT ini didirikan pada tahun 2002 oleh
empat pendiri. Beradaptasi dengan lingkungannya selama bertahun-tahun, Huwaiza telah berkembang
menjadi koperasi Syariah yang terkenal di Depok dengan asetnya mencapai Rp. 4m. Dengan mematuhi
peraturan produk Syariah dari inkopsyah dan puskopsyah, Huwaiza meluncurkan produknya bernama
Kegiatan Pemberdayaan Perempuan Usaha Syariah (KP2UH) untuk masyarakat berpenghasilan
menengah dan rendah. Produk ini bertujuan untuk mengurangi kemiskinan di masyarakat sekitar pada
saat pertama. Mengadopsi sistem dari Grameen Bank, KP2UH telah ditawarkan kepada masyarakat
sekitar sepuluh wanita dalam sebuah kelompok. Berfokus pada perempuan adalah ciri khas Grameen
Bank (Conroy, 2003; Herfandy et al., 2009).

Tujuan KP2UH dibangun untuk dua kondisi - untuk pengembangan masyarakat dan spiritual.
Dibanding pelopornya - produk Grameen Bank - KP2UH memiliki kompetensi inti untuk bersaing
dengan perantara keuangan menengah dan berpenghasilan rendah lainnya. Pendampingan spiritual dari
guru Islam bernama "ustadz / ustadzah" mampu membentuk kelompok yang solid. Memiliki bimbingan
spiritual dan penawaran kredit, setiap anggota mampu melakukan penghematan, meminjam uang dan
pendampingan dalam kelompok (Tabel III).

4.1.2NTB.
NTB adalah sebuah provinsi yang terkenal dengan aktivitas pariwisata di barat (kawasan kota Lombok)
dengan kondisi kemiskinan yang memburuk di wilayah tengah dan timur provinsi ini. Ini karena banyak
daerah yang tidak subur. Kekeringan adalah masalah yang terjadi di provinsi NTB. Karena masalah
kekeringan, mudah untuk menemukan orang miskin di daerah NTB. Orang miskin bekerja sebagai
pedagang tradisional dengan pendidikan minimal. Menjadi petani tidak menguntungkan di daerah
dengan masalah kekeringan. Karena mereka memiliki pendidikan minimal, sangat sulit menerapkan
keuangan mikro berbasis syariah berbasis keuntungan karena keterbatasan untuk membuat laporan
keuangan tradisional. Banyak dari mereka lebih memilih skema pembiayaan murabahah (beli dan jual).

Kisah sukses 4.1.2.1Baitul Maal Wa Tamwil Al Hidayah.


Keuangan mikro itu sendiri dinamakan BMT Al Hidayah, dan ini juga merupakan BMT tertua di NTB.
Didirikan pada tahun 1996, dengan modal Rp. 5m sebagai starter. Saat ini, keuntungan tahunan BMT
adalah Rp. 7 miliar, dengan target bulanan Rp. 1.2bn. Dari Rp. 7 miliar, 35 persennya adalah dana
tabungan. Dana simpanan tersebut, beserta modal dari Inkopsyah, BSM dan Muamalat, adalah dana
yang akan dibagikan untuk pembiayaan. Tidak jelas berapa biaya rata-rata dana, namun yang
diwawancarai menyebutkan bahwa biaya dana tergantung pada setiap tingkat bagi hasil. Akad
mudharabah dengan klien adalah 40:60 dan margin 9 persen setara dengan pembagian keuntungan
tersebut.

Karena BMT tertua di Kotaraja, NTB, sering BMT yang lebih baru (seperti BMT Permata
Hidayatullah), mengambil personilnya dari BMT al Hidayah. Produk utama tidak berbeda dengan
lembaga keuangan lainnya, yaitu murabahah dan mudharabah; Namun, BMT Al Hidayah juga memiliki
lebih banyak variasi pada lini produknya. Bukan hanya pembiayaan dan penghematan produk, BMT al
Hidayah juga melayani layanan berbasis biaya seperti pembayaran listrik (bill), pembayaran pulsa
telepon. Untuk layanan tertentu, BMT Al Hidayah bermitra dengan Bank Syariah Mandiri. Karena
persaingan ketat BMT, terutama di kota (Kotaraja), BMT Al Hidayah adalah head-to-head dengan
banyak pendatang baru. Namun, mereka tidak merasa terancam. BMT Al Hidayah bahkan menyatakan
bahwa mereka bersyukur dengan pendatang baru karena ini mengindikasikan bahwa bisnis berkembang
dan permintaan meningkat. BMT Al Hidayah berharap BMT baru membutuhkan mitra, misalnya, untuk
menghemat uang mereka; Oleh karena itu, BMT Al Hidayah mencari peluang ini sebagai sumber
kerjasama mereka. BMT baru bisa menghemat uang mereka di BMT Al Hidayah dan juga bantuan.

4.1.2.2 Kisah sukses Baitul Maal Wa Tamwil Permata Hidayatullah.


Keuangan mikro lainnya adalah keuangan mikro muda lainnya yang bernama BMT Permata
Hidayatullah. BMT ini berdiri sejak 2012; Oleh karena itu, ini adalah BMT yang relatif muda. Sebagai
langkah kasar, bagi setiap lembaga keuangan mikro Islam yang baru dibentuk, mereka dianggap
berhasil saat bertahan melalui beberapa kali Idul Fitri. Alasannya karena inflasi, masyarakat akan
mengalami situasi keuangan yang ketat mulai dari bulan suci Ramadhan hingga perayaan Idul Fitri,
termasuk klien BMT. Pada saat itu, BMT akan menjadi sumber pinjaman pinjaman mereka, sekaligus
menarik simpanan mereka. BMT yang bisa menjaga likuiditas dan kegiatan operasional sehari-hari,
meski permintaan arus kas keluar, sudah dialami.

Di BMT Permata Hidayatullah, sebagian besar tuntutannya berbentuk murabahah; Namun, untuk
melayani kelas terendah, BMT Permata Hidayatullah menyediakan qardhul hasan. Dana untuk qardhul
hasan berasal dari sadaqah atau amal. Operasi dasar mereka telah mencapai 1.500 klien. Sebagian besar
klien dipertahankan sebagai klien jangka panjang dan tidak ada pergantian klien yang signifikan.
Sebagian besar penyebab pembiayaan penghentian pembiayaan macet adalah karena kematian klien
atau ketika klien menderita penyakit terminal.

Sebagaimana dinyatakan di atas, produk utama BMT Permata Hidayatullah adalah murabahah. Produk
komersial BMT lainnya adalah mudharabah, dan permintaan untuk kedua produk tergantung pada
preferensi klien. Produk amal BMT ini adalah Qardhul Hasan dan Zakkah, Infaq dan Shadaqa (ZIS), di
mana Qardhul Hasan ditujukan untuk tujuan produktif dan ZIS untuk konsumsi segera. Keempatnya di
atas bisa dikategorikan sebagai produk pembiayaan. Murabahah adalah jenis pembiayaan favorit; Ini
menyumbang 70 persen dari total pembiayaan dan plafon paling favorit adalah Rp. 1m. Pembiayaan
murabahah maksimum maksimum adalah Rp. 3m untuk satu klien karena BMT menekankan tidak lebih
dari Rp. 3m untuk setiap klien baru. Pertimbangan atas pengambilan risiko adalah perhatian utama.
Demografi nasabah pembiayaan menunjukkan bahwa sebagian besar kliennya adalah pedagang mikro
atau produsen mikro, dan rata-rata total kliennya adalah mustahiq atau mereka yang berhak
mendapatkan zakat. Sebenarnya, program BMT Hidayatullah memainkan peran penting dalam
mentransformasikan orang-orang mustahiq menjadi muzzaki (mereka yang memiliki kewajiban
membayar zakkah). Ini menyiratkan bahwa BMT Permata Hidayatullah berperan penting dalam
mentransformasikan klien dari kelas produktif yang buruk ke kelas yang lebih tinggi.

4.1.3Sulawesi Selatan.
(Tabel IV).

4.1.3.1Baitul Maal Wa Tamwil Kube kisah sukses.


BMT yang khusus dengan orang miskin, yaitu, BMT Kube (program pemerintah berkoordinasi
dengan kementerian sosial untuk memberikan dana murah bagi masyarakat miskin). BMT Kube
biasanya terletak di daerah miskin. Ada lima BMT Kubes yang berada di Sulawesi Selatan.
Karakteristik sebagian besar masyarakat miskin (orang dengan pendapatan di bawah $ 2 / hari) di
Sulawesi Selatan bekerja sebagai nelayan, penjual ikan dan sayuran. Kondisi ini karena Sulawesi
Selatan dikelilingi oleh lautan biru.
Ada tiga produk yang ditawarkan BMT Kube: pertama, produk berbasis Murabaha. Produk ini
ditandai dengan nominal dana sekitar Rp. 500.000,00 sampai Rp. 5.000.000,00 dengan tujuan
produktif. Setiap minggu, produk ini dipantau oleh tim kepatuhan syariah untuk memastikan
kepatuhannya terhadap syariah. Kedua, produk gadai emas (rahn based). Ini adalah produk yang
paling terkenal di semua BMT Kube. Meski pendapatan mereka di bawah $ 2 / hari, tradisi di
Sulawesi Selatan yang didominasi suku Bugis ini memakai perhiasan emas sebagai investasi mereka.
Jadi, produk di BMT Sulawesi Selatan didasarkan pada rahn dengan sedikit pembatasan regulasi
dibandingkan dengan pegadaian pemerintah Indonesia. Kebutuhan produk ini sangat sederhana -
orang-orang di Sulawesi Selatan hanya perlu membayar biaya administrasi minimum dibandingkan
dengan pegadaian konvensional lainnya. Pemalsuan emas mudah dilakukan karena kategori produk
ini tidak memerlukan survei orang untuk memastikan pengembaliannya karena BMT memiliki
jaminan untuk mereka.

Yang terakhir adalah mendanai program yayasan dengan pilihan agunan atau tanpa agunan. Jika
orang miskin di Sulawesi Selatan memiliki jaminan, mereka hanya perlu menunjukkan BMT 50
persen dari jumlah nominal pembiayaan. Pembiayaan kelompok sedang dilaksanakan dalam skema ini
sebagai aspek manajemen risiko untuk memastikan jika seseorang dalam pembiayaan kelompok tidak
dapat mengembalikan dana dari BMT; yang lain dalam kelompok akan mengembalikannya dengan
masa tunggu dua bulan. Namun dalam praktiknya, skema ini belum berhasil diimplementasikan. BMT
juga mencoba menerapkan produk loss sharing. Karlan dan Morduch (2009) menunjukkan bahwa
produk berdasarkan kontrak bagi hasil dan kerugian berkontribusi pada beragam pilihan keuangan
mikro yang menghasilkan tingkat kenaikan produk keuangan mikro yang lebih tinggi karena mereka
lebih efisien dibandingkan dengan kontrak berbasis minat bahkan pada populasi non-Muslim Tapi,
produk ini memiliki pelanggan minimum karena orang miskin di Sulawesi Selatan biasanya
mengubah bisnis mereka tergantung musimnya. Misalnya, di musim penghujan, mereka menjual
bakso, tapi di musim kemarau, mereka menjual es krim. Hal ini menciptakan praktik pembagian
keuntungan dan kerugian sulit dilaksanakan.

4.1.4DI Yogyakarta.
(Tabel V)

4.1.4.1Baitul Maal Wa Tamwil Kisah sukses Bringharjo.


BMT Bringharjo dimulai pada tahun 1994 dengan harga Rp. 1m sebagai dana awal. BMT ini datang
dengan latar belakang aksesibilitas yang sulit di pasar Bringharjo (hanya tersedia hiu pinjaman). Pada
2014, BMT Bringharjo menjadi BMT terbesar tidak hanya di DI Yogyakarta tapi juga di Indonesia
dan memiliki 12 cabang di seluruh Indonesia. Karakteristik orang miskin di DI Yogyakarta adalah
banyak yang memiliki tekanan dalam aspek ekonomi. Kesadaran konsumen terhadap keuangan Islam
tinggi. BMT Bringharjo mencoba menciptakan nilai DI Yogyakarta (jujur dan tidak menjebak harga
tinggi kepada konsumen). Ada banyak produk pembiayaan yang ditawarkan BMT Bringharjo: SIM
Sahabat Ikhtiar Mandiri (pembiayaan bersama dari desa ke desa), SIMBAHARJO (pembiayaan
khusus untuk orang-orang yang sangat miskin / 8 asnaf di bawah skema Qardhul hassan), KOMPAK
HARJO (becak pembiayaan untuk supir becak Bringharjo masyarakat) dan BRUNO (wakaf produktif
untuk budidaya ikan lele).

BMT Bringharjo telah mengelompokkan orang miskin ke dalam beberapa tahap. Pertama adalah
BINAR, yaitu orang miskin di bawah area hijau yang harus diberi dana tanpa agunan. Jika mereka
menunjukkan usaha untuk menambahkan agunan, mereka akan memasuki langkah MENTAS
UNGGUL. Terakhir, jika mereka memiliki stabilitas keuangan lebih, mereka akan menjadi orang
miskin dengan karakter bagus (MITRA BERKARAKTER). Orang miskin di bawah BINAR akan
menerima dana dari Baitul Maal Bringharjo (dari zakat, infaq dan shadakah). Sementara orang-orang
di bawah MENTAS UNGGUL dan MITRA BERKARAKTER akan menerima dana dari Baitul
Tamwil Bringharjo (dari tabungan).
.
Proses penyertaan
Ada tiga tahap proses pembiayaan yang akan dijelaskan dalam tulisan ini, yaitu pra pembiayaan,
pembiayaan dan pasca pembiayaan.

4.2.1JABODETABEK
4.2.1.1 Pembiayaan pajak.
Pada pre-financing, dua metode telah diterapkan dalam proses analisis risiko pada analisis referensi
lokasi dan kredit. Analisis di tempat bertujuan untuk memperkirakan risiko default dengan
mengunjungi klien untuk mengumpulkan semua informasi mengenai kondisi kehidupan, data sosial
ekonomi mengenai keluarga, tempat usaha, karakteristik klien, dll. Wawancara dan daftar periksa
standar digunakan untuk mengumpulkan data dalam waktu singkat. waktu. Selanjutnya, referensi
dibuat dengan pemimpin kelompok untuk menganalisis kesediaan klien untuk melunasi sebagai alat
analisis sejarah kredit. Alat lain untuk memperkirakan pelunasan kapasitas klien adalah riwayat
kredit. Analisis sejarah kredit ditujukan kepada nasabah pinjaman berulang untuk menunjukkan
kemampuan mereka membayar kembali kinerja pelunasan di masa lalu. Riwayat kredit klien ini dapat
diakses dengan menggunakan data informasi tentang jenis pinjaman, ukuran pinjaman dan kinerja
pinjaman (grace period, on-time payment). Riwayat kredit ini dapat diterapkan dengan menggunakan
efisiensinya untuk mengurangi biaya analisis dan risiko risiko klien.
4.2.1.2 Pembiayaan
Tahap pembiayaan melibatkan pertanggungjawaban bersama, tabungan dan agunan. Pertama,
tanggung jawab bersama terlibat dalam manajemen risiko sebagai asuransi kepada anggota lainnya
dalam kelompok pada tahap kredit. Tanggung jawab bersama adalah strategi bank Grameen dimana
semua anggota dalam kelompok diperlakukan secara default jika ada anggota lain dalam kelompok
yang sama gagal memenuhi kewajiban mereka (Besley and Coate, 1995). Selain itu, strategi ini telah
diterapkan sebagai cara lain untuk mendukung pemenuhan kredit. Serupa dengan metode sebelumnya,
skema ini diterapkan saat anggota tidak dapat memenuhi hutang anggota dan telah berhasil
diimplementasikan untuk menghindari kecacatan pembayaran kredit.

Kedua, tabungan telah digunakan untuk produk KP2UH dengan mengumpulkan dana kelompok yang
disebut "kas kelompok" yang merupakan kewajiban untuk mengatur sistem kredit sebagai
pembayaran cadangan sehingga peminjam tidak dapat memenuhi hutang anggota. Sistem kedua ini
sejalan dengan model bank pedesaan yang digunakan di Bolivia untuk mendukung penghematan
sebagai basis asuransi (Chua et al., 2006; Berglind dan Karimi, 2007). Akhirnya, agunan adalah
sistem terakhir KP2UH pada tahap kredit. Berbeda dengan model bank Grameen, KP2UH telah
menggunakan agunan untuk keamanan jaminan pinjamannya. Dengan pendekatan ini, risiko kredit
peminjam telah dianalisis, tertimbang terhadap satu sama lain dan digunakan untuk membuat
keputusan kredit akhir. Kelima "C" adalah Karakter, Kapasitas, Modal, Kondisi dan Jaminan (Balke,
2005). Dengan pengalaman bertahun-tahun, mereka memperbaiki peraturan agunan dengan
menggunakan modal, aset berharga atau tabungan untuk menjamin pembayaran kredit. Selain itu,
rekening tabungan peminjam harus sama atau lebih dari seratus persen dari pinjaman itu sendiri.

4.2.1.3Post pembiayaan.
Sistem penjadwalan ulang diterapkan di KP2UH untuk fleksibilitas kontrak. Jika tidak, kontrak masa
tenggang ini mungkin kurang dimanfaatkan oleh klien yang bias sekarang (Fischer and Ghatak, 2010).
Selain itu, temuan lain juga menyarankan bahwa kontrak masa tenggang tingkat bunga yang lebih
tinggi tidak sesuai karena pilihan adverse selection dan moral hazard yang terkait (Erica et al., 2013).
Cukup mandiri, tidak tergantung pada risiko default dari pihak luar, adalah tujuan pengelolaan risiko
kredit KP2UH. Layanan keuangan mikro mencakup pemberian pinjaman kecil, penilaian informal
terhadap peminjam dan investasi, substitusi agunan, akses terhadap pinjaman berulang dan yang lebih
besar tergantung pada kinerja pembayaran, penyaluran kredit jalur kasir dan pemantauan dan
penghematan produk terjamin (Ledgerwood, 2000; Herath, 2007).

4.2.2NTB
4.2.2.1 Pembiayaan pajak.
Langkah pertama proses seleksi untuk klien memerlukan bukti identifikasi formal dari klien dan
kunjungan khusus ke rumah klien atau situs bisnis hariannya. Disebut karakter, masyarakat, cek BI
dan juga kunjungan berfungsi sebagai verifikasi. Proses verifikasi lebih kompleks untuk plafon
pembiayaan yang lebih tinggi. Mereka yang mengajukan pembiayaan lebih tinggi dari Rp. 3m juga
dianggap bankable, dan BMT akan memeriksa BI sebagai verifikasi akhir mereka. Adalah umum
untuk mengasumsikan bahwa klien bank yang memilih pembiayaan BMT adalah mereka yang
memiliki masalah sebelumnya dengan bank karena bank dapat menawarkan persyaratan pembiayaan
yang lebih baik untuk bankable; maka pemeriksaan BI akan menjadi proses verifikasi yang penting.
Karena sebagian besar klien memilih di bawah Rp. Pembiayaan 3m, sebagian besar klien tidak
memerlukan jaminan apapun.

Klien yang berkinerja baik dalam masa pembiayaan diperbolehkan memilih plafon pembiayaan yang
lebih tinggi; Oleh karena itu, mereka yang telah menyelesaikan Rp. Plafon 1m dibiarkan seharga Rp.
Plafon 2m dan sebagainya. Jika mereka memilih pembiayaan di bawah Rp. 1m, BMT tidak
diwajibkan menunjukkan agunan, tapi kalau lebih dari Rp. 1m, orang miskin harus menunjukkan
agunan.

4.2.2.2 Pembiayaan

Karakteristik setiap BMT, yaitu pinjaman fleksibel dan angsuran, adalah atribut utama pilihan
berbasis emosional dan familiaritas dalam BMT ini. Karena setiap anggota didorong untuk menabung,
penghematan itu sendiri nampaknya menjadi penyangga untuk setiap keterlambatan dalam
pengumpulan dana. Koleksi harian sering tertunda karena ketidakhadiran petugas pemasaran, kendala
kecil dalam mengumpulkan pembayaran (jalan diblokir karena hujan deras), dll. Bila cicilan harian
tidak terpenuhi, misalnya ganti gaji Rp. 6.000, klien membayar Rp. 3.000 dari situasi sulitnya, jumlah
tersebut ditempatkan di rekening tabungan klien dan akan dikumpulkan kemudian setelah jumlah
tersebut mencukupi. Tapi, jika koleksi tertunda berhari-hari, BMT akan mengambil dana tabungan
(didebet) untuk menutupi masa penagihan. Sekali lagi, ini bukan kepatuhan syariah, namun
nampaknya personil BMT tidak mengetahui secara seksama persyaratan syariah institusi Islam.
Dalam kasus kredit bermasalah, petugas pemasaran harus bertanggung jawab dan jumlah pinjaman
bermasalah akan didebet dari gajinya. Tanggung jawab ini bahkan disebutkan dalam kontrak personil
pemasaran. Pemilihan emosional dan keakraban lainnya adalah hubungan antara tenaga pemasaran
dan klien yang sangat dekat, terutama bila harus bertemu setiap hari untuk pembayaran angsuran.
Produk pembiayaan di NTB terbagi dalam tiga skema, yaitu pinjaman yang baik hati, pinjaman
produktif dan pinjaman konsumtif. Dengan pinjaman yang baik, BMT Hidayatullah bekerja sama
dengan (saat wawancara dilakukan) Muslim Aid, sebuah lembaga donor dari Inggris. Tujuan dari
kemitraan pembiayaan khusus adalah untuk melayani petani dan memanfaatkan pinjaman tanpa bunga
atau qardhul hasan. Produk pembiayaan lainnya adalah pinjaman produktif berdasarkan murabahah
dan mudharabah. Murabahah menyumbang 70 persen transaksi di institusi tersebut, dan mudharabah
mencapai 25 persen; sisanya untuk layanan fee-based. Pembiayaan yang paling umum berkisar antara
Rp. 500.000 sampai 1m dengan cicilan harian. Istilah pembayarannya adalah karena sebagian besar
klien bekerja sebagai penjual di pasar lokal; Oleh karena itu, mereka mampu menuai keuntungan
harian. Untuk pembiayaan lebih dari Rp. 5m, disarankan agar mereka mengambil cicilan bulanan,
kecuali jika klien membuatnya spesifik sehingga mereka ingin membayar setiap hari. Pembiayaan
produktif diberikan untuk sektor riil produktif dan belum tentu untuk nasabah dengan modal lebih
atau lebih banyak kekayaan. Hal ini cukup bertentangan dengan temuan perbankan syariah, dimana
nasabah korporat (plafon yang lebih tinggi) sering ditawari pembiayaan mudharabah. Klien yang
memilih murabahah atau mudharabah (dalam plafon) dianalisis berdasarkan wawancara. Yang
terakhir adalah pembiayaan konsumtif; hanya ada 5 persen pembiayaan konsumtif, dan itu dalam
bentuk atau murabahah. Tujuan utama kredit konsumtif adalah membiayai sepeda motor dan
membayar uang sekolah anak-anak mereka. Kredit konsumtif dianalisis dengan seksama, dan BMT
lebih memilih klien yang bekerja sebagai salarymen. Untuk kedua produktif dan konsumtif (lebih
hati-hati pada konsumtif), latar belakang klien diperiksa secara menyeluruh. Karena BMT bekerja
sama dengan perbankan syariah, sebelum menerima proposal pembiayaan, BMT akan menggunakan
bantuan BSM untuk memeriksa latar belakang klien. Apakah mereka sudah menumpuk pinjaman dari
lembaga lain atau riwayat pembayaran mereka buruk, semua sudah diperiksa. Persyaratan umum
untuk pemberian pinjaman adalah 30 persen dari gaji di rumah. Prosedur wawancara ditetapkan
sebagai langkah yang diperlukan untuk persetujuan pemberian pinjaman, dan klien akan ditanyai
mengenai keuntungan harian mereka per biaya harian sebagai dasar perhitungan angsuran.

Poin yang paling menguntungkan bagi klien adalah tingkat yang lebih rendah dan kompetitif,
dibandingkan dengan institusi formal lainnya seperti BMT dan bank. Keseluruhan produk BMT
memiliki persyaratan seleksi klien yang lebih rendah, dibandingkan dengan bank formal; Oleh karena
itu, keputusan untuk menerima atau menolak klien terletak pada pemantauan harian dan pengalaman
sebelumnya dari petugas lapangan (PL). Metode ini mengurangi kebutuhan akan penilaian formal dari
BMT dan mengurangi potensi risiko bahaya moral. Metode seleksi dinilai unggul (oleh klien)
dibandingkan dengan bank formal. Namun, BMT perlu mendapatkan sumber daya lokal untuk PL
mereka karena PL biasanya mengenal atau mengenal klien. Keuntungan klien sebelumnya, karena PL
berada di wilayah yang sama, merupakan senjata utama dalam menilai potensi klien. Klien yang
melakukan inferior dalam lingkungan sosial, serta mereka yang memiliki masalah konstan dengan
tetangga dan keluarga, dianggap tidak memenuhi syarat untuk pembiayaan:
Jika Anda berurusan dengan bank, Anda datang ke bank, Anda datang ke ATM, tapi jika Anda
berurusan dengan kami, kami akan mendatangi Anda, mesin ATM akan datang kepada Anda (perwira
PL).
Di atas adalah slogan pemasaran yang diadopsi oleh BMT yang dianggap sebagai 'kata-kata ajaib'
untuk calon klien. Karakteristik pemasaran terkuat untuk BMT adalah layanan penjemputan mereka.
Ketika klien ingin menyimpan dana dan pembayarannya, petugas PL akan datang ke rumah atau
tempat usaha mereka dan mengirimkan atau mengumpulkan uangnya. Ini memiliki daya tarik bagi
klien sektor mikro karena pekerjaan kerah biru yang mereka lakukan biasanya membayar setiap jam
atau jumlah produksi. Jelas bahwa klien sektor mikro tidak punya waktu atau tenaga untuk pergi ke
suatu tempat untuk mendapatkan dana atau meminta pembiayaan.

. 4.2.2.3Post pembiayaan.
Masa tenggang yang fleksibel dan dapat dinegosiasikan masa tenggang pembiayaan juga bisa menjadi
hal yang penting, semuanya bisa dinegosiasikan terkait penundaan pembayaran. Dalam beberapa
acara keagamaan (seperti pada bulan puasa Ramadhan), BMT juga memberikan hadiah gratis dan
pasar murah bagi pelanggan. Untuk aspek manajemen risiko, setiap nasabah harus menabung untuk
setiap pembiayaan (tidak ada jumlah yang tetap), dan BMT juga menyediakan produk asuransi yang
berkaitan dengan produk pembiayaannya. Ketika klien berkinerja buruk, PL dan manajer lokal selalu
memilih serangkaian mediasi pribadi. Alasan utama menunda pembayaran angsuran adalah karena
sakit atau keuntungan yang rendah karena siklus bisnis; Belum pernah ada kasus bahaya moral
sebelumnya. Oleh karena itu, klien yang berada dalam pemberitahuan khusus akan memiliki kasus per
kasus pemantauan yang memungkinkan dua klien dengan plafon pembiayaan yang sama untuk
menerima perlakuan yang berbeda. Restrukturisasi pembiayaan memerlukan kebijakan yang sama,
dan klien diperbolehkan untuk melakukan restrukturisasi terhadap pembayaran pinjaman yang lebih
rendah atau jangka waktu pembayaran yang lebih lama. Tidak pernah ada kasus dimana BMT perlu
menghubungi polisi atau tindakan agresif lainnya. Jika pelanggan mengajukan pembiayaan 100 juta,
ada rapat panitia khusus mengenai hal itu. Pemeriksaan latar belakang juga digunakan untuk
menangani kecurangan. Metode terakhir untuk aspek manajemen risiko adalah dengan menggunakan
rekening tabungan atau asuransi sebagai pembayaran untuk setiap keterlambatan.

4.2.3Sulawesi Selatan.
4.2.3.1 Pembiayaan pajak.
Produk karakter yang membuat produk mereka unik dibandingkan dengan bank, pegadaian dan dana
lainnya adalah yang pertama; Mereka seperti bank runs yang biasanya datang langsung ke pelanggan.
Sebagian besar masyarakat miskin merasa takut untuk pergi ke bank karena mereka berpikir bahwa
bank selalu memberikan persyaratan pendanaan yang tinggi. BMT hanya membutuhkan saldo
minimal dalam rekening tabungan BMT kepada konsumen yang ingin melakukan pembiayaan dari
BMT. Kedua, pegadaian dan bank biasanya mengambil tarif administrasi, tapi, di BMT, orang miskin
hanya perlu menabung (10 persen dari total dana) setelah itu mereka bisa mendapatkan dana.

4.2.3.2 Pembiayaan
BMT Kube menawarkan margin pembiayaan minimum dibandingkan BMT lainnya karena semua
aktivitas pendanaan untuk masyarakat miskin didukung oleh kementerian sosial Indonesia
(pembiayaan bersubsidi). Seluruh transaksi nominal dana di bawah Rp. 2.000.000 atau kurang adalah
margin minimum. Tidak ada lembaga penjamin simpanan, namun mereka memiliki produk tabungan
kreatif yang memberikan simpanan dengan asuransi dengan biaya asuransi sekitar 10 persen disebut
bungkesmas. Sayangnya, produk ini tidak dijual oleh masyarakat miskin karena mereka tidak
memiliki cukup pengetahuan tentang produk ini. Jadi sekarang, semua tabungan dan dana tidak
diasuransikan. Kemudahan prosedur dan pembayaran merupakan kelebihan di BMT Sulawesi Selatan.
Jika mereka tidak memiliki sumber pendapatan yang jelas, mereka hanya perlu mengasah emas
mereka, tetapi jika memiliki sumber pendapatan yang jelas, mereka hanya perlu menghemat 10 persen
dibandingkan dengan dana mereka.

4.2.3.3Post pembiayaan.
Setiap pembayaran di bank atau pawning shop akan memiliki tindakan khusus seperti denda. Tapi di
BMT Kube, bisa dinegosiasikan. Pelanggan dapat menegosiasikan periode pembiayaan pada tanggal
jatuh tempo.

4.2.4DI Yogyakarta
4.2.4.1Pre-financing.

langkah pertama, BMT Bringharjo akan melakukan survei ekonomi dan keuangan untuk
mengkategorikan panggung orang miskin. Peminjam akan dikategorikan sebagai orang miskin jika
mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka dan akan diberi dana dari dana Baitul Maal.
Pendanaan ini diimplementasikan bebas dari margin (Qhardul Hasan Scheme). Jika peminjam dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka harus memiliki setidaknya 75 persen tabungan satu bulan di
rekening tabungan BMT mereka sebelum mereka mengusulkan pembiayaan sebagai jaminan. Proses
ini bertujuan untuk mengecek karakter orang miskin. Prosedur survei adalah pelanggan pertama
datang ke BMT Bringharjo untuk mengisi beberapa formulir. Setelah itu (dua minggu kemudian), staf
pemasaran akan melakukan survei untuk mengetahui kebutuhan pelanggan dan melakukan studi
kelayakan sebelum memberikan dana kepada masyarakat miskin.

4.2.4.2 Pembiayaan.
BMT Bringharjo memiliki budaya perusahaan yang unik, yaitu CARE (Cepat, Amanah, Resik,
Emphaty / Quick, Trust, Clean, Emphaty). Maksimal pembiayaan Rp. 300m dengan pembiayaan
reguler sekitar Rp. 1 sampai 2m. BMT juga menyediakan pendidikan keuangan bagi setiap peminjam
satu kali dalam setahun terutama bagi masyarakat miskin. Sebagian besar dana BMT Bringharjo
adalah mudharabah (skema bagi hasil) karena sebagian besar peminjam BMT Bringharjo adalah
pedagang tradisional. Apalagi, BMT Bringharjo mewajibkan setiap peminjam untuk
menginformasikan kegiatan ekonominya setiap hari jika berada di 13 target BMT Bringharjo di pasar
tradisional.

Pemasar akan melakukan pelayanan door-to-door, sehingga orang miskin bisa langsung mengajukan
dana, menabung dan juga melunasi dana mereka tanpa pergi ke BMT Bringharjo. Semua akan
dilakukan dengan menggunakan perangkat elektronik digital. Selanjutnya peminjam akan didampingi
oleh pemasar BMT untuk bertemu dalam pertemuan rutin dua kali dalam sebulan. Pertemuan tersebut
tidak hanya membahas tentang pendanaan mereka tapi juga diskusi keagamaan dan pendidikan
keuangan Islam.

4.2.4.3Post-financing.
Dalam kasus skema Qardhul Hasan yang default, semua kerugian akan ditutup dengan dana maal.
Tapi di Baitul Tamwil sheme, mereka akan menghadapi peraturan formal jika standar. Dalam kasus
default, BMT Bringharjo akan menggunakan agunan mereka untuk menutupi, dan peminjam ini
dikategorikan sebagai peminjam daftar hitam. Jadi, mereka tidak bisa mengusulkan dana masa depan
di BMT Bringharjo. Manfaat bagi peminjam yang baik yang selalu melunasi tepat waktu adalah BMT
Bringharjo akan menurunkan marjin masa depan mereka untuk setiap dana tambahan. Konsep ini
akan menciptakan loyalitas pelanggan BMT Bringharjo.

5. Kesimpulan
Bagian: Bagian sebelumnyaBagian selanjutnya
Menciptakan keuangan mikro syariah dengan mempertimbangkan karakteristik masyarakat miskin
merupakan isu terbesar karena BMT dihadapkan pada banyak pesaing yang beroperasi. Penelitian ini
mengamati BMT yang menawarkan produk kepada orang miskin (berpenghasilan di bawah $ 2 / hari
atau tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka). Mengakses orang miskin sulit dilakukan oleh lembaga
keuangan formal dan BMT karena lembaga informal ingin menyelesaikan masalah tersebut dengan
melakukan upaya terobosan untuk mengakses masyarakat miskin. Perhatian terhadap aspek
pembiayaan penting untuk menangkap lebih banyak pelanggan.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menjelaskan keunikan produk pembiayaan keuangan mikro
syariah kepada masyarakat miskin yang mengkategorikan tiga fase: tahap pra pembiayaan,
pembiayaan dan pasca pembiayaan berdasarkan pengalaman BMT sebagai lembaga keuangan mikro
syariah di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yang disebut content analysis
dengan metode coding dan building. Data dikumpulkan di tingkat peserta melalui wawancara
mendalam dengan sampel perwakilan BMT yang menawarkan produk berdasarkan prinsip Islam
untuk masyarakat miskin yang berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang, dan Bekasi
(JABODETABEK), Sulawesi Selatan, Yogyakarta dan Nusa. Tenggara Barat (sampel dipilih
berdasarkan area keuangan mikro syariah paling terkonsentrasi yang menawarkan produk berdasarkan
prinsip Islam). Yang terakhir, penelitian ini akan membangun model keunikan microfinance di
masing-masing wilayah berdasarkan analisis isi.
Temuan penelitian ini sampai pada model unik dengan ciri khas orang miskin yang menghubungkan
produk pembiayaan keuangan mikro untuk masyarakat miskin dalam kegiatan pra-pembiayaan,
pembiayaan dan pasca-pembiayaan yang akan dijadikan acuan bagi pembuat kebijakan di
pemerintahan. Di JABODETABEK, pre-financing digunakan untuk analisis di tempat, analisis
referensi pembiayaan, pendanaan pinjaman kelompok dan penyisihan agunan kelompok. Karakteristik
pembiayaan di JABODETABEK menggunakan sistem pembiayaan dan mengikuti bimbingan
spiritual. Terakhir, proses pasca pembiayaan menggunakan opsi perpanjangan pelunasan. Di NTB,
pre-financing menggunakan karakter cek, latar belakang, penyaluran bank sentral dan kunjungan
lapangan, persyaratan agunan untuk dana di atas Rp. 1m, pilihan seleksi dan penghematan emosional
dan keakraban untuk setiap proposal pembiayaan. Di Sulawesi Selatan, pra pembiayaan menggunakan
kebutuhan emas dan kebutuhan tabungan. Pembiayaan menggunakan biaya administrasi minimum,
sistem pembiayaan, margin minimum dan pertemuan keagamaan mingguan. Pasca-pembiayaan
menggunakan sistem pelunasan yang dapat dinegosiasikan. Terakhir di Yogyakarta, pra-pembiayaan
menggunakan kunjungan lapangan, kebutuhan agunan 75 persen dan kebutuhan spesifik 5Cs.
Pembiayaan menggunakan dua lapisan untuk pembiayaan yang buruk (miskin dan sangat miskin),
rumah digital hingga perbankan rumah dan pendidikan syariah. Pasca-pembiayaan menggunakan
pengecekan pembiayaan unik, spread nilai dan margin bagi hasil yang lebih rendah untuk pembiayaan
berikutnya. Makalah ini juga menemukan bahwa masing-masing daerah memiliki keunikan produk
yang berbeda satu sama lain tergantung pada karakteristik orang miskin.

5.1. Implikasi kebijakan

Konsep pendanaan adalah konsep yang paling penting yang harus diketahui setiap organisasi bisnis
terutama di bidang keuangan mikro syariah. BMT adalah lembaga keuangan mikro yang unik karena
banyak pelanggan beragama Islam di dasar piramida yang mencari keuntungan layanan keuangan
Islam. Tantangan terbesar yang dihadapi BMT adalah bagaimana melibatkan karakteristik orang miskin
terhadap skema pembiayaan mereka untuk mendapatkan lebih banyak konsumen. Program pembiayaan
khusus diperlukan untuk memuaskan nasabah miskin. Untuk memahami pelanggan Muslim terutama
pelanggan miskin di Indonesia, pemasar perlu menerapkan skema pembiayaan khusus. Selain itu,
mengembangkan situasi yang memahami kebutuhan konsumen Muslim penting untuk keberlanjutan
BMT. Sulit menjaga kelestarian BMT di Indonesia. Temuan ini menunjukkan bahwa manajerial BMT
memerlukan kerja ekstra untuk mengidentifikasi skema pembiayaan yang dapat menghasilkan dampak
positif bagi peningkatan pelanggan dan melakukan beberapa perawatan terhadap pendanaan mereka
dengan menyesuaikan dengan permintaan pelanggan. Temuan penelitian ini penting untuk menganalisis
skema pembiayaan yang sesuai dengan karakteristik masyarakat miskin. Selanjutnya, penelitian ini
penting untuk mendeteksi kesenjangan dalam skema pembiayaan BMT.

You might also like