You are on page 1of 8

Tugas Presentasi Kasus

INFEKSI VIRUS DENGUE

Oleh :

Gyanita Windy Herfina G99162013/A-8

Clarissa Adelia Gunawan G99162017/A-6

Pembimbing :

dr. Dyah Lintang, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA

2018
1. Tabel Nilai Cut off Points Anemia pada Anak

Anemia
Kelompok Umur Non-Anemia
Ringan Sedang Berat
6-59 bulan >110 100-109 70-99 <70
5-11 tahun >115 110-114 80-109 <80
12-14 tahun >120 110-119 80-109 <80
Wanita tidak hamil >120 110-119 80-109 <80
( >15 tahun)
Wanita hamil >110 100-109 70-99 <70
Laki-laki >130 110-129 80-109 <80
(>15 tahun)

WHO. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of anaemia and assessment of severity.
Vitamin and Mineral Nutrition Information System. Geneva, World Health Organization,
2011 (WHO/NMH/NHD/MNM/11.1) (http://www.who.int/vmnis/indicators/haemoglobin)
diakses 11 Februari 2018.

2. Manifestasi Kelainan Hematologi pada Demam Berdarah Dengue


a. Vaskulopati
Disfungsi endotel pada infeksi virus dengue tampak dalam manifestasi klinis
berupa peningkatan permiabilitas kapiler, yang bertanggung jawab terhadap
proses kebocoran plasma, hemokonsentrasi, hipoproteinemia atau
hipoalbuminemia, efusipleura, asites dan gangguan sirkulasi. Kebocoran
plasma biasanya terjadi pada fase febris akut dan sangat menonjol terlihat
terutama pada pasien-pasien dengan kegagalan sirkulasi. Tes torniket atau
uji Rumple Leede yang positif menandakan adanya kebocoran plasma, dan
biasanya terjadi pada hari awal serangan. Patomekanisme terjadinya
kebocoran plasma pada DBD disebabkan oleh beberapa faktor, seperti
terlihat pada gambar3. Infeksi virus Dengue pada makrofag dan monosit
selanjutnya akan mengaktivasi limfositT, baik CD4 maupun CD8. Aktivasi
ini makrofag dan monosit akan merangsang infeksi virus dengue untuk
mengaktivasi makrofag dan monosit yang lainnya, yang selanjutnya akan
memproduksi mediator inflamasi seperti TNFα , IL-1, PAF, IL-6, histamin
sedangkan limfosit T menghasilkan mediator inflamasi berupa IL-2, TNFα ,
IL-1, IL-6 dan IFNγ. Peningkatan C3a dan C5a juga mengakibatkan
terjadinya kebocoran plasma melalui anafilaktoksin yang dihasilkannya

b. Koagulopati
Komplek virus antibodi yang terbentuk akan dapat mengaktifkan sistem
koagulasi yang dimulai dari aktivasi factor Haegeman (faktorXII) menjadi
bentuk aktif (faktorXIIa). Selanjutnya factor XIIa ini akan mengaktifkan
factor koagulasi lainnya secara berurutan mengikuti suatu kaskade sehingga
akhirnya terbentuk fibrin. Di samping mengaktifkan sistem koagulasi,
faktorXIIa juga akan mengaktifkan sistem fibrinolisis, yaitu terjadi
perubahan plasminogen menjadi plasmin melalui proses enzimatik. Plasmin
memiliki sifat proteolitik dengan sasaran khusus yaitu firin. Fibrin polimer
akan dipecah menjadi fragmen X dan Y. Selanjutnya fragmen Y dipecah lagi
menjadi fragmen D dan fragmen E yang dikenal sebagai D-dimer. Degradasi
fibrin ini (FDP) memiliki sifat sebagai antikoagulan, sehingga jumlah yang
cukup banyak akan menghambat hemostasis. Aktivasi sistem koagulasi dan
fibrinolisis yang berkepanjangan berakibat menurunnya berbagai factor
koagulasi seperti faktorII, V, VII, VIII, IX, dan X serta plasminogen. Hal ini
memperberat perdarahan yang terjadi pada penderita DBD. Sistem kinin dan
sistem komplemen juga turut diaktifkan oleh faktorXIIa. FaktorXIIa
mengaktifkan prekalikrein menjad kalikrein yang juga merupakan enzim
proteolitik.Kalikrein akan mengubah kinin menjadi bradikinin, suatu zat
yang berperan dalam proses spesifik diantaranya adalah proses inflamasi
yang menyebabkan pelebaran dan peningkatan permeabilitas pembuluh
darah. Sistem komplemen merupakan salah satu mediator dasar pada proses
inflamasi dan memegang peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Komplemen merupakan sejumlah protein inaktif yang
dapat diaktifkan oleh factor XIIa. Sebagai hasil akhir aktivasi ini ialah terjadi
lisis dari sel. Disamping itu terbentuk juga anafilatoksin yang juga
meningkatkan permiabilitas pembuluhdarah.

c. Trombositopenia
Trombositopenia merupakan salah satu kriteria sederhana yang diajukan
oleh WHO sebagai diagnosis klinis penyakit DBD. Jumlah trombosit
biasanya masih normal selama 3 hari pertama. Trombositopenia mulai
tampak beberapa hari setelah panas dan mencapai titik terendah pada fase
syok. Penyebab trombositopenia pada DBD masih kontroversial, disebutkan
terjadi karena adanya supresi sumsum tulang serta akibat destruksi dan
pemendekan masa hidup trombosit. Mekanisme peningkatan destruksi ini
belum diketahui dengan jelas. Ditemukannya kompleks imun pada
permukaan trombosit yang mengeluarkan ADP (adenosin di posphat) diduga
sebagai penyebab agregasi trombosit yang kemudian akan dimusnahkan oleh
sistem retikuloendotelial khususnya limpa dan hati. Agregasi trombosit ini
akan menyebabkan pengeluaran platelet factor III yang mengakibatkan
terjadinya koagulopati konsumtif. Pada suatu studi yang dilakukan pada 35
anak anak dengan DBD di Thailand, ditemukan pada fase akut infeksi DBD
baik dengan ataupun tanpa syok terjadi penurunan aktivitas agregasi
trombosit, hal ini diimbangi dengan meningkatnya betatromboglobulin
(BTG) dan platelet factor-4 (PF4) dalam plasma. Pada beberapa kasus,
penurunan jumlah trombosit ini bias terjadi hingga waktu yang cukup lama.
Suatu laporan kasus di Malaysia melaporkan bahwa pemulihan jumlah
trombosit pada seorang penderita DBD sampai mencapai hari ke-40. Setelah
menyingkirkan kemungkinan dari penyebab lain terjadinya trombositopenia,
diperkirakan hal ini terjadi karena infeksi virus Dengue yang menyerang
berasal dari jenis virus yang mengalami mutasi. Atau kemungkinan lain
diperkirakan penderita terinfeksi virus dengue yang baru saat berada dalam
fase konvalesen. Terdapat beberapa pendapat mengenai indikasi dan dosis
pemberian transfusi trombosit. Departemen Kesehatan merekomendasikan
transfusi trombosit konsentrat pada penderitaDBD diberikan hanya pada
kasus dengan perdarahan massif dan jumlah trombosit <100.000.
Perdarahan spontan dan massif termasuk perdarahan yang tampak ataupun
yang tersembunyi dengan jumlah perdarahan sebanyak 4 –5cc/kg berat
badan/jam. Nimamanitya menuliskan indikasi transfusi pada DBD bila
perdarahan yang volumenya melebihi 10% dari jumlah cairan tubuh aktif.
Makroo di India tahun 2007 menuliskan bahwa penderita dengan kadar
trombosit <20.000/cumm termasuk kedalam kelompok risiko tinggi terjadi
perdarahan karenanya indikasi untuk diberikan transfusi trombosit,
Sedangkan kelompok risiko sedang terjadi perdarahan (trombosit 20.000–
40.000/cumm) indikasi diberikan trombosit bila terjadi perdarahan.
Kelompok dengan risiko ringan perdarahan (trombosit 41.000 –
50.000/cumm) tidak diberikan transfusi trombosit.

3. Hepatomegali Pada Infeksi Dengue

Hapatomegali dapat menunjukkan proliferasi, pembesaran atau malfungsi dari


salah satu atau lebih komponen penyusun hepar, seperti parenkim hepar
(hepatosit), kantung empedu (kolangiosit), sistem retikuloendotel (sel Kupffer),
jaringan interstitial (kolagen, sel stelat), darah, dan pembuluh darah. Ukuran
hepar juga bertambah pada tumor hepar, kista jinak dan infiltrasi sel-sel inflamasi
atau sel malignansi. Hepar rawan terhadap cedera yang tidak hanya disebabkan
oleh obat dan toksin eksogen, namun juga dari endotoksin yang meningkat
setelah aktivasi sel-sel inflamasi dan produksi sitokin. Hepar dapat membesar
karena simpanan glikogen, lipid atau glikolipid pada hepatosit.

Hepar merupakan organ retikoloendotel terbesar, dan sel Kupffer yang


merupakan sel fagositik adalah penyusun 15% dari semua sel di hepar. Pada
sepsis, hepatitis dan kondisi inflamasi lainnya, hepatomegali dapat terjadi karena
proliferasi dan hiperplasi sel Kupffer. Sel Kupffer terlibat dalam respon seluler
terhadap kerusakan hepatoseluler.

Hepatomegali pada DBD terjadi akibat kerja berlebihan hepar untuk


mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu, sel-sel
hepar terutama Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat infeksi virus
dengue.

4. Infeksi Virus Dengue Dibandingkan dengan Infeksi Virus Chikungunya


Dengue dan chikungunya adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengan
gejala yang sangat mirip. Infeksi keduanya sama-sama ditularkan oleh nyamuk
Aedes. Keduanya memiliki gejala seperti demam, myalgia dan letargi. Pada
beberapa pasien juga dapat ditemukan ruam makulopapular, mual, muntah dan
nyeri kepala. Gejala yang membedakan chikungunya adalah poliarthralgia
bilateral yang berpotensi melemah serta pada beberapa kasus dapat ditemukan
arthritis. Infeksi dengue lebih umum dijumpai namun lebih berbahaya,
sedangkan chikungunya menyebabkan nyeri sendi yang lebih lama dan dapat
menurunkan kualitas hidup seseorang.
Tabel 1. Perbedaan Dengue dan Chikungunya
Dengue Chikungunya
Masa inkubasi 3 – 7 hari Masa inkubasi 1 – 12 hari
Durasi penyakit
dan durasi penyakit dan durasi penyakit
bervariasai dari 4 – 7 bervariasi dari 1 – 2
minggu minggu. Namun, gejala
seperti nyeri sendi dapat
bertahan lebih lama
Demam, nyeri sendi, Demam, nyeri sendi,
Gejala awal
nyeri kepala, ruam nyeri otot, nyeri kepala,
infeksi mata, ruam
Nyeri otot punggung, Nyeri sendi pada tangan
Nyeri sendi dan otot
lengan dan tungkai. dan kaki. Bengkak dan
Nyeri sendi lutut dan lebih nyeri saat pagi hari
siku
Ruam biasanya terbatas Ruam pada tubuh,
Ruam kulit
pada wajah anggota anggota gerak, wajah,
gerak telapak tangan dan kaki
Mengancam nyawa, 10% pasien menderita
Komplikasi
seperti syok, kesulitan nyeri sendi kronik.
bernapas dan perdarahan Kerusakan syaraf
berat mungkin terjadi, namun
jarang
Tabel 2. Perbandingan Klinis dan Laboratorium Dengue dengan Chikungunya
Infeksi Virus Dengue Infeksi Virus
Chikungunya
Demam (>39°C) ++ +++
Arthralgia +/- +++
Arthritis - +
Nyeri Kepala ++ ++
Ruam + ++
Myalgia ++ +
Perdarahan ++ +/-
Syok + -
Lymphopenia ++ +++
Neutropenia +++ +
Trombositopenia +++ +
Hemokonsentrasi ++ -

Medscape. Differrentiating chikungunya from dengue: A clinical challenge.


Medscape & CDC, 2014. (https://www.medscape.com/viewarticle/831523) diakses
11 Februari 2018.

You might also like