Professional Documents
Culture Documents
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “Sarkoma
Kaposi” ini. Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang dalam kepada dr.
Retno Sawitri, Sp.KK dan dr. Shinta, Sp.KK atas bimbingan yang diberikan,
sehingga penulis dapat menyelesaikan referat ini, serta kepada semua pihak yang
telah membantu.
Semoga referat ini dapat menambah pengetahuan bagi setiap pembaca dalam
bidang ilmu kesehatan kulit dan kelamin. Penulis menyadari bahwa referat ini masih
jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan sarannya untuk
menjadikan referat ini lebih baik. Atas perhatiannya, penulis ucapkan terima kasih.
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
Bab I Pendahuluan 1
2.1 Definisi 2
2.3 Histogenesis 3
2.4 Histopatologi 3
2.5 Patofisiologi 4
2.6 Klasifikasi 5
2.10 Komplikasi 14
PENDAHULUAN
Virus penyebab tumor ini ditemukan pada tahun 1994. HHV8 dapat
ditularkan melalui kontak seksual sehingga risiko untuk tertular juga ada. Bahkan,
penyakit ini telah diidentifikasi pada pasien transplantasi organ dengan HIV negative
yang menerima terapi immunosupresif. Sejak tahun 1990-an sarkoma kaposi semakin
diteliti hingga didapatkan 4 jenis sarkoma kaposi dengan manifestasi klinis yang
berbeda namun patofisiologinya sama, diantaranya : SK klasik, SK endemik pada
orang Afrika, SK pada pasien dengan terapi immunosupresan, dan SK terkait AIDS.
Sarkoma kaposi ini mengakibatkan beberapa gejala klinik mulai dari gangguan kulit
ringan sampai mempengaruhi organ tubuh.( 1-7 )
SK tipe klasik biasanya menyerang orang tua dari wilayah Laut Tengah atau
keturunan Eropa Timur. SK endemik pada orang Afrika yang masih muda terutama
dari daerah Afrika Sub-Sahara sebagai penyakit yang lebih agresif menyerang kulit
terutama anggota badan bagian bawah dengan prevalensi pria dan wanita 3:1. 10%
laki-laki yang menderita kanker di Afrika penyebabnya adalah SK. SK pada pasien
dengan terapi immunosupresan termasuk didalamnya pasien post transplantasi organ
dan terbanyak pada pasien dengan penyakit autoimun. Lebih dari 20 % penderita
AIDS di Eropa menderita SK dan SK ini didapat pada pasangan muda homoseksual
BAB II
SARKOMA KAPOSI
2.1 DEFINISI
Pada beberapa dekade sebelumnya dapat dilihat dari epidemiologi yang ada
dan pemeriksaan mikroskopik yang pernah dilakukan yang menjelaskan etiologi dari
sarkoma kaposi. Sejak tahun 1994 ketika Chang dan rekan – rekannya menemukan
DNA dari sebuah virus pada lesi dari sarkoma kaposi yang belum diketahui jenisnya.
Penemuan ini lalu diklon, diisolasi dan diteliti dan ternyata virus tersebut merupakan
sebuah virus herpes pada manusia yang sekarang dikenal dengan sarkoma kaposi –
terkait dengan herpesvirus ( KSHV ) atau family human herpes virus 8 ( HHV8 ).
1. Genom dari HHV8 dideteksi pada lesi sarkoma kaposi di semua stadium
dari semua varian yang ada.
2. Pada lesi sarkoma kaposi, HHV8 terdapat pada semua sel tumor.
3. Tumor sel sarkoma kaposi ini menunjukkan integrasi monoclonal dari virus
DNA.
Di area dengan insidensi rendah seperti Amerika Serikat dan Eropa Utara,
infeksi HHV8 sangat jarang ( dibawah 0,1% ). Namun, di daerah insidensi tinggi
seperti Italia Selatan, prevalensi dari HHV8 mencapai 20%. Dan prevalensi tertinggi
di daerah Afrika Tengah yaitu 22 – 71% pada orang dewasanya yang menjadikan
daerah tersebut merupakan endemik dari sarkoma kaposi. Pada pasien dengan
transplantasi organ ( khususnya pada resipien ), manifestasi penyakit mulai terlihat 1
– 2 tahun setelah transplant dan pada pasien dengan HIV-1 menderita sarkoma kaposi
pada 5 – 10 tahun setelah terinfeksi.
Derivat histogenetik dari sel tumor pada sarkoma kaposi sudah diteliti lebih
dari dua dekade sebelumnya. Immunophenotipe dari sel ini (rWF+/-, PAL – E-,
CD31+, CD34-, VEGFR3+) memiliki karakteristik pada sel endothelial dari system
limfatik. Beberapa kontroversi yang menanyakan sarkoma kaposi itu merupakan
suatu gangguan proliferasi yang reversible atau merupakan suatu neoplasma sejati.
Dan analisa pada reseptor androgen manusia menunjukkan lesi ini merupakan
proliferasi klonal dan poliklonal.
Papul dari jaringan keras dan fascicles dari sel spindel, nodul dari sel spindel
yang berkelompok, ireguler pada garis endothelial. Pada semua stadium dari sarkoma
kaposi terdapat peradangan yang umumnya berisi limfosit, histiosit, sel plasma,
sporadic dan neutrofil.
Gambar . Penampang lesi sarkoma kaposi.
KSHV memiliki genom yang luas sampai lebih dari 85 antigen. Pemakaian
ELISA sampai pemakaian antigen sudah dipakai untuk menghitung antibodi KSHV.
Beberapa studi molekular disampaikan bahwa sarkoma kaposi berasal dari satu klon
sel lebih banyak dibandingkan berasal dari multifokal sel. Walaupun demikian,
banyak data terbaru yang berasal dari studi terhadap 98 pasien dengan sarkoma
kaposi dengan penyakit yang menyerang sel kutaneus dianalisa dengan teknik
diagnostic molekular dibandingkan dengan virus DNA HHV8 dari tumor tersebut
menunjukkan sekitar 80% dari tumor berasal dari multiple sel.
Kesimpulannya bahwa sedikit dari sarkoma kaposi berasal dari sel tunggal
dan sarkoma kaposi mungkin tidak berasal dari metastasis tapi berasal dari
multifocal dan independen pada beberapa tempat. Data ini sesuai dengan sarkoma
kaposi kutaneus yang kurang agresif. Hal ini tidak sesuai dengan sarkoma kaposi di
organ viseral yang agresif. Virus HHV8 telah diidentifikasi lebih dari 90% pada
semua tipe sarkoma kaposi dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR),
hipotesis terbaru mengatakan bahwa HHV8 harus ada untuk penyakit tersebut dapat
berkembang. Penyakit ini ditularkan melalui saliva. HIV meningkatkan resiko
imunosupresi.
Jenis sarkoma kaposi ini sering terjadi pada pasien manula pada suku
Mediterania dan Eropa Timur. Dengan ratio pria banding wanita 10-15 : 1. Dengan
usia berkisar 50-70 tahun. Penyakit ini jarang terdapat adanya benjolan limfe,
membrane mukosa, atau keterlibatan organ viseral. Kekambuhan bisa terjadi karena
imunosupresi oleh karena faktor umur, genetic, sejarah pernah terkena keganasan,
dan kemungkinan karena infeksi malaria. Tingkat kebersihan juga berpengaruh dalam
resiko terjadinya sarkoma kaposi tipe klasik.
Tumor ini selalu dimulai pada kulit bagian distal dari ekstremitas bawah baik
unilateral maupun bilateral berbentuk makula berwarna merah sehingga terlihat
seperti hematom. Lesi ini perjalanannya perlahan bisa vertikal maupun horizontal dan
berkembang sampai menjadi plak atau kadang – kadang nodul. Awalnya tumor
berwarna coklat dan hiperkeratosis dan pada ekstremitas bawah bisa terjadi ulserasi.
Tumor ini bisa menimbulkan pitting edema sampai terjadi fibrosis.
Sebelum dekade pertama pandemi AIDS, SK didiagnosis > 20% pada pasien
HIV-1 di Eropa. Frekuensinya pada pria dan wanita yang berhubungan seks, pada
pengguna narkoba suntik, hemofilia, resipien transfusi darah dan bayi yang lahir dari
ibu positif HIV di kota industri. Hal inilah yang menyebabkan sarkoma kaposi
merupakan keganasan yang paling sering dijumpai pada pasien terinfeksi HIV,
khususnya pada daerah yang terbatas ketersediaan HAART (highly active
antiretroviral therapy).
AIDS – SK memiliki lesi berupa makula bentuk oval kecil yang akan
berkembang menjadi plak dan nodul kecil. Lesi biasanya di wajah khususnya di
hidung, alis, telinga dan bisa juga di tenggorokan. Lesi bisa menjadi plak yang besar
di area yang luas pada wajah, tenggorokan atau ekstremitas dan menyebabkan
gangguan fungsi. Mukosa mulut bisa terkena sarkoma kaposi juga pada 10 – 15%
pada kasus ini. Dan lesi pada faring menyebabkan sulitnya menelan, berbicara dan
bernafas.
Lesi pada lambung dan duodenum merupakan lesi yang paling sering
menyebabkan perdarahan dan ileus. Walaupun mungkin terlihat di gastroskopi,
beberapa lesi tidak terdiagnosa histologisnya karena lokasi lesinya di submukosa dan
bisa diambil dengan forsep biopsi. Sarkoma kaposi pulmonal dapat menyebabkan
gejala tertentu seperti spasmebronkus, batuk, penurunan fungsi respirasi.
Bronkoskopi dengan transbronkhial biopsi penting untuk diagnosa sarkoma kaposi
pulmonal.
Gambar 3. Terdapat multipel lesi yaitu makula, papul dan nodul pada SK-AIDS
Kejadian ini dapat terjadi pada pasien yang menjalani transplantasi organ atau
pasien yang mendapatkan terapi immunosupresor seperti penderita penyakit
autoimun. Insiden sarkoma kaposi meningkat 100x lipat pada pasien yang menjalani
transplantasi. Pada pasien dengan penyakit kongenital yang menyebabkan
imunodefisiensi tidak terjadi peningkatan resiko. Rata-rata peningkatan terjadinya
sarkoma kaposi pada pasien transplantasi di waktu 1 sampai 10 tahun setelah
transplantasi. Penanganan agresif perlu dilakukan bila ada keterlibatan organ viseral.
Penyakit ini utama terjadi pada pria juga pada wanita dan anak-anak dengan
seronegative HIV di Afrika. Sejak terjadi penyebaran penyakit AIDS, kejadian ini
meningkat sampai 20x lipat. Jarangnya pemakaian alas kaki berkaitan dengan
endemik sarkoma kaposi. Lesi sarkoma kaposi yang tampak yaitu berupa nodul,
vegetatif atau infiltrat dan tipe limfadenopati. Tipe vegetatif atau infiltrat ini memiliki
karakteristik lebih agresif pada proses biologis dan lesi bisa lebih dalam sampai ke
dermis, subkutis, otot dan tulang. Tipe limfadenopati dominan menyerang anak –
anak dan usia muda.
Sarkoma kaposi terkait AIDS, tidak seperti jenis sarkoma kaposi yang lain
karena jenis ini lebih agresif. Morbiditas bisa terjadi karena terkaitnya gangguan
kutaneus, mucosa dan organ visceral secara luas. Pada pasien yang menerima
HAART, sarkoma kaposi lebih tersembunyi akan tetapi dapat menjadi parah dengan
mendadak. Morbiditas paling umum termasuk lesi kutaneus yang parah,
lymphedema, saluran pencernaan, atau terkaitnya paru-paru dalam penyakit ini.
Gangguan paru-paru merupakan penyebab umum mortalitas dikarenakan adanya
pendarahan paru.
Lesi pada kulit biasanya menyerang anggota tubuh bagian bawah, wajah,
mulut dan alat kelamin. Lesi biasanya berbentuk nodul atau bisul yang dapat
berwarna merah, ungu, coklat atau hitam, tetapi kadang-kadang berbentuk
seperti plak (sering ada pada telapak kaki), atau bahkan menyebabkan
kerusakan kulit. Pembengkakan mungkin dapat berasal dari peradangan atau
limfedema (kerusakan sistem limfatik yang disebabkan oleh lesi). Lesi pada
kulit memperburuk penampilan penderita, dan menyebabkan patologi
psikososial.
Gambar 3 dan 4. Lesi pada badan dan punggung berbentuk nodul warna merah
atau ungu.
Gambar 5. Lesi pada telapak kaki Gambar 6. Lesi pada
tungkai bawah
Gambar 7 dan 8. Tampak nodul berwarna merah dan ungu
Pada mulut, sarkoma kaposi berperan sebesar 30%, dan merupakan 15% awal
dari sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS. Pada mulut, sarkoma
kaposi paling sering menyerang langit-langit keras, diikuti oleh gusi. Lesi
pada mulut mudah rusak dengan digigit dan berdarah atau menderita infeksi
sekunder, dan bahkan mengganggu penderita untuk makan dan berbicara.
Gambar 9 dan10. Lesi sarkoma kaposi pada mulut
Sarkoma kaposi pada saluran pernapasan muncul dengan adanya sesak napas,
demam, batuk, hemoptisis (batuk darah), atau nyeri pada dada, atau sebagai
penemuan insiden pada sinar x tulang rusuk. Diagnosis dikonfirmasi oleh
bronkoskopi ketika lesi secara langsung terlihat dan biasanya dibiopsi.
Gambar 12. Sarkoma kaposi pulmonal Gambar 13. Sarkoma kaposi
tracheal
Pemberian terapi dengan HAART pada 40% atau lebih pasien dengan
sarkoma kaposi yang berhubungan dengan AIDS lesinya akan mengecil
dengan pemberian terapi ini. Terapi paliatif dengan kombinasi kemoterapi
atau terapi radiasi. HAART mensupresi replikasi HIV-1 dan melindungi
imunitas. HAART juga menurunkan insiden SK – AIDS, berefek untuk
menghambat protease ( kombinasi antiretroviral terapi ). Terapi dengan
liposomal anthracycline ( liposomal doxorubicin ) lebih efektif daripada
kombinasi bleomycin dan vincristine atau doxorubicin. Dosis liposomal
anthracycline yaitu 20 mg/m2 i.v setiap 2 – 4 minggu. Atau bisa juga
diberikan paclitaxel 100 mg/m2 setiap 2 minggu.
Komplikasi yang umum pada sarkoma kaposi tipe klasik adalah vena statis
dan lymphedema. Sebanyak 30 % pasien dengan sarkoma kaposi tipe klasik akan
berisiko terjadi keganasan kedua, dan yang paling sering terkena limfoma non-
hodgkin. Kekambuhan bisa terjadi karena imunosupresi oleh karena faktor umur,
genetik, sejarah pernah terkena keganasan, dan kemungkinan karena infeksi malaria.
Tingkat kebersihan juga berpengaruh dalam resiko terjadinya klasik Kaposi sarcoma.
Sarkoma kaposi terkait AIDS, tidak seperti jenis sarkoma kaposi yang lain
karena jenis ini lebih agresif. Morbiditas bisa terjadi karena terkaitnya gangguan
kutaneus, mukosa dan organ visceral secara luas. Lesi pada lambung dan duodenum
merupakan lesi yang paling sering menyebabkan perdarahan dan ileus dan bisa
menyebabkan kematian apabila tidak diatasi dengan baik. Sarkoma kaposi pulmonal
dapat menyebabkan gejala tertentu seperti spasmebronkus, batuk, penurunan fungsi
respirasi. Penyebab umum terjadinya kematian untuk lesi di paru dikarenakan adanya
pendarahan paru.
Tipe vegetatif atau infiltrat pada sarkoma kaposi terkaid AIDS memiliki
karakteristik lebih agresif pada proses biologis dan lesi bisa lebih dalam sampai ke
dermis, subkutis, otot dan tulang. Lesi pada mulut yang mudah rusak dengan digigit
dan berdarah atau menderita infeksi sekunder, dan bahkan mengganggu penderita
untuk makan dan berbicara.
BAB III
KESIMPULAN
Klasifikasi yang ada untuk sarkoma kaposi diantaranya : sarkoma kaposi tipe
klasik, sarkoma kaposi terkait dengan AIDS, sarkoma kaposi terkait dengan pasien
terapi immunosupresan dan sarkoma kaposi di daerah endemik. Tipe yang progresif
yaitu tipe sarkoma kaposi terkait dengan AIDS serta yang lambat tipe klasik dan
biasanya pasien sarkoma kaposi tipe klasik bukan meninggal karena tumornya namun
karena penyakit yang lain.
Pengobatan bisa terai lokal dan sistemik. Terapi lokal ini bermacam – macam
seperti eksisi, destruksi lokal dengan cairan nitrogen – laser, terapi
sinar/photodynamic dan terapi topical dengan 9-cis retinoic acid. Terapi radiasi juga
bisa diberikan pada lesi yang sulit dijangkau seperti lesi pada mukosa. Terapi
sistemik diberikan pada pasien yang dicurigai memiliki lesi di organ viseralnya.
Terapi sistemik ini tergantung pada variannya. Misalnya kemoterapi pada pasien tipe
klasik, penurunan dosis immunosupressan, sampai pemberian HAART pada pasin
AIDS.
Komplikasi dari sarkoma kaposi ini bisa menyebabkan gangguan pada sistem
pencernaannya, gangguan fungsi paru, gangguan berbicara dan makan serta yang
paling akhir adalah kematian. Untuk itu kita harus melakukan skrining dengan tes
darah untuk mendeteksi antibodi melawan virus herpes penyebab sarkoma kaposi,
menentukan apakah pasien memberikan risiko transmisi infeksi pada partner
seksualnya atau bisa juga dilakukan skrining terhadap sebuah organ yang akan
digunakan untuk transplantasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Tschachler E. Kaposi Sarcoma. In : Fitzpatrick’s Dermatology In General
Medicine. Vol 1. Seventh Edition. New York : The McGraw-Hill Companies ;
2008. Pg. 1183 – 1188.
5. James WD, Berger TG, Elston DM. Kaposi Sarcoma. In : Andrew’s Disease
of The Skin Clinical Dermatology. Tenth Edition. Philadelphia : WB
Saunders Company ; 2006. Pg. 418 – 419, 599 – 601.
9. Fauci AS, Lane HC. Human Immunodeficiency Virus Disease : AIDS and
Related Disorders. In : Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th
Edition. New York : McGraw-Hill ; 2005. Pg. 1098.
10. Handsfield HH. Color Atlas and Synopsis of Sexually Transmited Disease. 3rd
Edition. New York : McGraw-Hill ; 2011. Pg. 174 – 175.
11. Rugo SH. Cancer. In : Current Medical Diagnosis & Treatment. 45th Edition.
New York : McGraw-Hill ; 2006.
12. Gasparetto TD, et al. Pulmonary involvement in Kaposi sarcoma: correlation
between imaging and pathology. Orphanet Journal of Rare Diseases. 2009. 4.
1 – 7.