Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan antibiotik spektrum luas dan sesuai untuk mengobati
berbagai macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Kloramfenikol
mempunyai rasa sangat pahit karena itu untuk sediaan sirup digunakan bentuk ester
palmitat atau suksinat supaya rasanya tidak pahit. Kloramfenikol juga dapat mengalami
kerusakan akibat cahaya (fotodegradasi) yang menghasilkan warna kuning sampai
kecoklatan karena terjadi proses oksidasi, reduksi, dan kondensasi yang secara
berurutan akan menghasilkan 4-nitrobenzaldehid, 4-nitrosobenzoat, dan asam 4,4’-
asam benzoate. (1)
Kloramfenikol bekerja dengan jalan menghambat sintesis protein kuman. Yang
dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk
membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman, kloramfenikol
umumnya bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang
bersifat bakteriosid terhadap kuman-kuman tertentu. (2)
2. β- Laktam
2.1 Penisilin
Penisilin mempunyai cincin tiazolidin dan cincin β-laktam. Atom H pada –COOH
dapat diganti dengan kation anorganik atau organik membentuk suatu garam. Kation
yang digunakan biasanya natrium, kalium, aluminium, prokain, dan benzatin.
Penggantian gugus R akan berpengaruh terhadap kelarutannya dalam pelarut organik,
penyerapan, stabilitas terhadap asam dan resistensi terhadap penisilinase. Penisilin
mudah sekali terurai baik oleh asam atau basa. (1)
Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk sintesis
dinding sel mikroba, terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan menghasilkan efek
bakteriosid pada mikroba yang sedang aktif membelah. (2)
2.2 Sefalosporin
Sefalosporin merupakan antibiotik golongan β laktam. Sefadroksil merupakan
sefalosporin generasi pertama. Seperti halnya antibiotik betalaktam lain, mekanisme
kerja antimikroba sefalosporin ialah dengan menghambat sintesis dinding sel mikroba.
(2)
3. Kuinolon
Ciprofloksasin termasuk antibiotik golongan flurokuinolon. Golongan
flurokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman dan bersifat
bakterisidal. (2)
4. Tetrasiklin
Doksisiklin termasuk antibiotik golongan tetrasiklin. Golongan tetrasiklin
menghambat sintesis protein bakteri pada ribosom. Paling sedikit terjadi 2 proses dalam
masuknya antibiotik ke dalam ribosom bakteri gram negatif, pertama yang disebut difusi
pasif melalui kanal hidrofilik, kedua iialah sistem transpor aktif. Setelah masuk maka,
antibiotik berikatan dengan ribosom 305 dan menghalangi masuknya kompleks tRNA
asam amino pada lokasi asam amino. (2)
5. Metronidazol
Metronidazol ialah (1β-hidroksi etil)-2 metil-5-nitromidazol yang berbentuk Kristal
kuning muda dan sedikit larut dalam air atau alkohol. Metronidazol memperlihatkan
daya amubisid langsung. Sampai saat ini belum ditemukan amuba yang resisten
terhadap metronidazol. (2)
Analisis kimia farmasi kuantitatif biasanya dibagi menjadi beberapa analisis
berdasarkan metode dan teknik kerjanya (3).
1. Analisis gravimetri
2. Analisis volumetri yang bisa disebut juga analisis titrimetri
3. Analisis gasometri
4. Analisis dengan metode fisika dan kimia.
Analisis titrimetri umumnya dapat dibagi dalam 4 bentuk, yaitu:
1. Reaksi netralisasi atau disebut asidimetri/alkalimetri
2. Reaksi pembentukan kompleks
3. Reaksi pengendapan
4. Reaksi oksidasi-reduksi. (3)
Istilah analisis titrimetri mengacu pada analisis kimia kuantitatif yang dilakukan
dengan menetapkan volume suatu larutan yang konsentrasinya diketahui dengan tepat,
yang diperlukan untuk bereaksi secara kuantitatif dengan larutan dari zat yang akan
ditetapkan (4).
Titrasi bebas air adalah suatu titrasi yang tidak menggunakan air sebagai pelarut,
tetapi menggunakan pelarut organik. Bila asam/ basa bersifat lemah seperti halnya
asam-asam organik atau alkaloida-alkaloida, cara titrasi dalam lingkungan berair ini
tidak dapat dilakukan karena disamping sukar larut air, juga kurang reaktif dalam air.
Titrasi dalam lingkungan bebas air ini mempunyai keuntungan-keuntungan misalnya
zat-zat yang dapat larut dalam air, terutama basa-basa organik dapat dititrasi dalam
pelarut dimana zat itu dapat segera akan larut. Senyawa-senyawa yang mempunyai
sifat basa yang sangat lemah, yang tidak dapat dititrasi dalam air, masih memberikan
titik akhir yang cukup tajam dalam berbagai pelarut organik dan dapat langsung
ditentukan.
Banyak senyawa-senyawa yang tidak larut dalam air, bila dilarutkan dalam pelarut
organik akan menaikkan sifat asam atau basanya. Dengan demikian perlu pemilihan
pelarut yang sesuai untuk menentukan berbagai macam senyawa dengan titrasi dalam
lingkungan bebas air.
Garam-garam asam halida dapat dititrasi dalam asam cuka setelah penambahan
raksa (II) asetat yang dapat merubah ion halida menjadi raksa (II) halide yang tidak
terdisossiasi. (3).
Teori TBA sangat singkat, sebagai berikut air dapat bersifat asam lemah dan basa
lemah. Oleh karena itu, dalam lingkungan air, air dapat berkompetisi dengan asam-
asam atau basa-basa yang sangat lemah dalam hal menerima atau memberi proton.
Asam perklorat dalam larutan asam asetat merupakan asam yang paling kuat
diantara asam-asam umum yang digunakan untuk titrasi basa lemah dalam medium
bebas air. Dalam TBA biasanya ditambah dengan asam asetat anhidrida dengan tujuan
untuk menghilangkan air yang ada dalam asam perklorat
Jika basa yang dianalisis dalam bentuk garam yang berasal dari asam lemah,
maka penghilangan anion yang berasal dari asam kurang, begitu penting. Akan tetapi,
jika basa dalam bentuk garam klorida atau bromida, maka bromida atau klorida harus
dihilangkan sebelum dititrasi. Penghilangan bromida atau klorida dilakukan dengan
penambahan merkuri asetat. Adanya asam klorida atau bromida dan asam-asam kuat
lain harus dihindari karena bisa mengakibatkan penetapan kadar tidak kuantitatif karena
asam-asam kuat ini juga bisa bereaksi dengan senyawa sampel yang bersifat basa. (5)
Pada pelaksanaan titrasi dalam pelarut bebas air sebenarnya tidak berbeda
dengan titrasi dalam larutan air. Titik akhir dalam hal ini dapat kembali ditentukan
secara elektometri atau dengan bantuan indikator. Harus diperhatikan bahwa larutan
asam asetat menunjukkan pemuaian termik yang besar. Berdasarkan ini maka harus
bekerja dengan larutan dengan suhu sama atau volume pentitrasi harus dikoreksi. Pada
penggantian indikator atau pelarut, faktor larutan pengukur harus ditentukan kembali.
Dapat dimengerti, bahwa juga larutan volumetrik dan indikator serta larutan uji harus
dibuat bebas air.
Pada penentuan yang sering dalam lingkungan bebas air lebih baik digunakan
buret automatik. Untuk penentuan tunggal digunakan buret yang lazim. Untuk wadah
persediaan larutan pengukur dan larutan indikator digunakan wadah gelas yang
tertutup. (6)
Dikromatometri adalah titrasi redoks yang menggunakan senyawa dikromat
sebagai oksidator. Senyawa dikromat merupakan oksidator kuat, tetapi lebih lemah dari
permanganat. Kalium dikromat merupakan standar baku primer. Penggunaan utama
dikromatometri adalah untuk penentuan besi (II) dalam asam klorida. (7)
Dikromatometri termasuk ke dalam titrasi redoks, karena dalam reaksinya terjadi
perpindahan elektron atau perubahan bilangan oksidasi. Seperti yang diketahui bahwa kemungkinan
terjadinya reaksi redoks dapat dilihat dari 2 hal berikut:
1. Terjadi perubahan biloks (bilangan oksidasi).
2. Bila ada zat reduktor maupun oksidator (dalam hal ini, kalium dikromat selain berfungsi
sebagai bahan baku juga sebagai oksidator).
Kalium dikromat dalam keadaan asam mengalami reduksi menjadi Cr3+. Reaksi:
Cr2O72- + 14 H+ + 6 e ↔ 2 Cr3+ + 7 H2O E0=1,33 V
Karena daya oksidasinya lebih sedikit dibanding dengan KMnO4 dan Ce (IV). Maka hal ini
menyebabkan reaksi sangat lambat. Akan tetapi, dari sifat K2Cr2O7 larutannya sangat stabil, tidak
bereaksi dengan (inert terhadap) Cl-, dengan kemurnian tinggi, mudah diperoleh dan murah.
Metode dikromatometri digunakan terutama untuk penentuan Fe2+, ion klorida dalam jumlah
besar tidak mempengaruhi titer ini. Suatu cara tidak langsung untuk menentukan, oksidasi yang
diberi larutan Fe2+ berlebihan kemudian kelebihan dititrasi dengan standar Dikromat. Maka cara ini
dipakai untuk penentuan NO3-, ClO3-, H2O2, MnO4-dan Cr2O72-.
Kalium Dikromat (K2Cr2O7) bukanlah zat pengoksidasi yang begitu kuat seperti Kalium
Permanganat (KMnO4), tetapi ia mempunyai beberapa keuntungan yaitu dapat diperoleh murni,
stabil sampai titik leburnya dan karenanya merupakan suatu standar primer yang sangat baik.
Larutan standar dengan kekuatan yang diketahui tepat dapat disiapkan dengan menimbang garam
keringnya yang murni dan kelarutannya dalam volume air yang sesuai. Lebih jauh larutannya dalam
air adalah stabil tanpa batas waktu jika dilindungi dengan memadai terhadap penguapan. Kalium
Dikromat (K2Cr2O7) digunakan hanya dalam larutan asam, dan direduksi dengan cepat pada
temperatur biasa menjadi garam Kromium (III) yang hijau. Ia tak direduksi oleh Asam Klorida (HCl)
dingin, asalkan konsentrasi asam itu tak melampaui 1 atau 2 Molar.
Larutan-larutan Dikromat juga kurang mudah direduksi oleh beban organik dibanding
larutan-larutan Permanganat dan juga stabil terhadap cahaya. Karena itu, Kalium Dikromat berharga
khusus dalam penetapan besi dalam bijih besi: Bijih besi itu biasanya dilarutkan dalam Asam
Klorida, Besi (III) direduksi menjadi Besi (II), dan dititrasi dengan larutan Dikromat standar.
Cr2072- + 6 Fe2+ + 14 H+ ↔ 2 Cr3+ + 6 Fe3+ + 7 H2O
Dalam larutan asam, reduksi Kalium Dikromat dapat dinyatakan sebagai :
Cr2072- + 14 H+ + 6 e ↔ 2 Cr3+ + 7 H2O
Jadi ekuivalennya adalah seperenam mol, yaitu 294,18/6 atau 49,030 g. Maka suatu larutan
0,1 N mengandung 4,9030 g dm-3.
Warna hijau yang ditimbulkan oleh ion-ion Cr3+ yang terbentuk oleh reduksi Kalium Dikromat
membuat tak mungkin titik akhir suatu titrasi dengan Dikromat hanya dengan meneliti larutan secara
visual sehingga harus digunakan suatu indikator redoks yang memberi perubahan warna yang kuat
dan tak bisa disalahtafsirkan. Indikator yang sesuai untuk digunakan dengan titrasi Dikromat
meliputi asam 2 N-Fenilan Tranilat (larutan 0,1 % dalam NaOH 0,005 M) danNatrium
Difenilaminasufonat atau senyawa Na/Badifenilamina Sulfonat (larutan 0,2 % dalam air). Indikator ini
hanya digunakan dalam suasana Asam Sulfat-Asam Fosfat. (8)
4. Amilum (9)
: Amilum solani
: Pati kentang
: Serbuk halus, putih, tidak berbau
: Praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol 95% P
: Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya
: Sebagai indikator
8. Kloramfenikol (9)
: Chloramphenicolum
: Kloramfenikol, D(-) treo-2-diklorasetamida-1-p-nitrofenil propana-1,3-diol.
: C11H12Cl2N2O5/323,12
: Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang, putih, tidak berbau, rasa
sangat pahit.
: Larut dalam lebih kurang 400 bagian air, dalam 2,5 bagian etanol 95% P, sukar larut
dalam kloroform P dan eter P.
: Antibiotikum
: Sebagai sampel
: Dalam wadah tertutup baik
adar : Mengandung tidak kurang dari 92,5% dan tidak lebih dari 107,5%.
9. Ciprofloxacin Hydrochloride (10)
: Ciprofloxacin Hydrochloride
: C12H18FN3O3.HCl / 367,8
: Kuning lemah, serbuk kristaline, sedikit higroskopik
: Larut dalam air, sedikit larut dalam metanol, sangat mudah larut dalam etanol, praktis
tidak larut dalam aseton, etil asetat dan metilen klorida
: Dalam tempat kedap udara, terlindung dari cahaya
3. Sefadroksil
- Metode : Iodatometri. Transfer sampel 1 unit secar kuantitatif ke dalam 250 mL
Erlenmeyer yang berisi iodine dan tambahkan 0,1 mol/L NaOH, sebanyak 2 mL. kocok
dan biarkan bereaksi (panaskan pada suhu 80° di water bath dengan panas yang
terkontrol selama 10-15 menit. Setelah dibiarkan bereaksi, campuran tersebut
didinginkan pada suhu ruangan. Kemudian tambahkan 0,3 mL HCl 1,0 mol/ L dan 5 mL
karbon tetraklorida. Titrasi campuran dengan 0,01 mol/L KIO 3 sambil dikocok hingga
warna lapisan karbon tetraklorida berubah warna menjadi merah.
4. Ciprofloksasin
- Timbang setara tablet 0,1 g , 0,2 g atau 0,3 g ciprofloksasin hidroklorida. Larutkan
dengan 15 mL asam aseta glasial dan juga tambahkan raksa (II) asetat (0,5 mL, 1,0
mL, dan 1,5 mL) dan tambahkan dengan asetat anhidrat (2 mL, 4 mL, dan 5 mL). Titrasi
larutan dengan 0,1 M asam perklorat 0,5 % w/v dan gunakan Kristal violet sebagai
indikator. Catat perubahan warna.
5. Doksisiklin Hyclate
- Metode Iodometri : timbang setara tablet doksisiklin hyclate sebanyak 1-8 mg. Transfer
ke dalam Erlenmeyer 100 mL dan tambahkan dengan 10 mL air. Larutan diasamkan
dengan penambahan 5 mL HCl 2 M. 10 mL bromate-bromide larutan (5 mM KBrO3)
ditambahkan ke dalam Erlenmeyer menggunakan pipet. Campur dengan baik dan
diamkan selama 20 menit. Cuci dengan air sebanyak 5 mL dan 5 mL kalium iodida 10
%. Kelebihan iodine kemudian dititrasi dengan 0,03 M natrium tiosuldat dan tambahkan
larutan kanji. Lakukan titrasi blanko.
- Metode TBA : sebanyak 4,0-40,0 mg doksisikline dan transfer ke Erlenmeyer bersih dan
kering dan tambahkan dengan 10 mL asam asetat glasia. Kemudian, tambahkan 2 mL
raksa (II) asetat 5 % dan campur / kocok selama 2 menit. Tambahkan 2 tetes Kristal
violet sebagai indikator dan titrasi dengan asam perklorat 0,01 M dengan titik akhir
titrasi berwarna biru. Lakukan titrasi blanko.
6. Metronidazol
- Ukur secar akurat sebanyak 0,1 g metronidazol dan suspensikan dengan 30 mL 6 N
asam klorida. Tambahkan 0,5 g serbuk zink dan kocok hingga terjadi reaksi komplit.
Campuran reaksi di saring dengan menggunakan filter whatman dengan kertas ukuran
no.41 dan pindahkan endapan, residu tersebut kemuidan dicuci dengan 10 mL air
sebanyak 3 kali. Dinginkan larutan dengan suhu 5-10° C. Tambahkan 0,5 g kalium
bromide dan titrasi dengan 0,1 natrium nitrit dan gunakan kertas kanji iodida sebagai
indikato.
Tiap mL 0,1 M natrium nitrit setara dengan 0,01712 g C6H9N3O3
- Pindahkan sejumlah serbuk tablet setara dengan 200 mg metronidazol ke dalam
penyaring kaca masir, saring 6 kali, tiap kali dengan 10 mL aseton P. titrasi dengan
asam perklorat 0,1 N menggunakan indikator 2 tetes lrutan hijau berlian P 1 % b/v
dalam asam asetat glasial P hingga warna hijau kekuningan. Lakukan penetapan
blanko. (9)
1 mL asam perklorat setara dengan 17,12 mg C6H9N3O3
- Larutkan 100 mg metronidazole yang ditimbang seksama, tambahkan 20 mL asetat
anhidrat, panaskan sebentar. Dinginkan dan tambahkan 1 tetes hijau malakit dan titrasi
dengan 0,1 N asam perklorat. Dan titik akhir berwarna kuning-kehijauan. Lakukan titrasi
blanko. (12)
Tiap mL 0,1 N asam perklorat setara dengan 17,12 C6H9N3O3
B. Uji Kualitatif
1. Kloramfenikol
- Sejumlah 10 mg zat dan 2,0 g NaOH ditambahkan 3 ml air, lalu dipanaskan samapi mendidih,
larutan berwarna kuning kuat. (11)
- Sejumlah 50 mg zat dilarutkan dalam 3 ml etanol 70 %, ditambahkan 7 ml air dan 200 mg bubuk
Zink. Dipanaskan dipenangas air selama 10 menit, kemudian disaring. Ke dalam 2 ml filtrate
ditambahkan dua tetes benzoiklorida, dikocok 1 menit, lalu ditambahkan 3 tetes larutan besi (III)
klorida, terbentuk warna merah jingga. Filtrate yang diasamkan dengan asam nitrat dan ditambah
AgNO3, membentuk endapan perak klorida. (11)
2. Ampisilin
- Ke dalam suspensi 10 mg zat dalam 1 ml air ditambahkan 2 ml larutan Fehling encer (2:6), timbul
warna ungu (faksin). (11)
- Reaksi asam hidroksamat : ke dalam larutan (5 mg zat dalam 2 ml NaOH) ditamahkan 0,3 g
Hidroksilamin hidroklorida dan biarkan selama 5 menit. Larutan di asamkan dengan beberapa tetes
6 N HCl, kemudian ditambahkan 1 ml besi(III)klorida 1 %, timbul warna ungu merah kotor. (11)
- Reaksi iodazida : positif. (11)
- Teteskan 0,1 ml larutan ninhidrina P 0,1 % b/v di atas kertas saring, keringkan pada suhu 105oC,
lapiskan 0,1 ml larutan uji 0,2 b/v, panaskan pada suhu 105oC selama 5 menit, biarkan hingga
dingin, terjadi warna lembayung muda. (9)
- Suspensikan 10 mg dalam 1 ml air, tambahkan 2 ml larutan kalium tembaga (II) tartrat P dan 6 ml
air, segera terjadi warna violet. (9)
3. Tetrasiklin
- Kira-kira 0,5 mg zat direaksikan dengan 2 ml asam sulfat pekat, terbentuk warna ungu. Setelah
ditambah 1 tetes larutan besi (III) klorida 1 %, warna berubah menjadi coklat/merah coklat. (11)
4. Doksisiklin
- 2 mg sampel ditambahkan 5 ml asam sulfat. Warna kuning. (10)
C. Prosedur Preparatif
1. Kloramfenikol
Dua kapsul setara dengan 300 mg kloramfenikol ditimbang seksama, dilarutkan dalam alcohol 95%
v/v dan disaring endapan yang tidak larut. Endaan tersebut kemudian dikeringkan di water bath.
Material yang telah kering kemudian dilarutkan di air hangat, disaring jika perlu, dan buat volume
hinga 500 ml.
3. Sefadroksil
- Larutan Injeksi:
Larutan dilarutkan dengan air 1 mg/ml larutan dan ikuti prosedur yang telah disarankan tanpa
modifikasi.
- Kapsul:
Timbang dan campurkan 4 kapsul. Timbang setara 250 mg sefalosforin dan larutkan dengan air.
Kocok larutan, saring residu dengan whatmann no.1 kertas saring dan cuci dengan air.
4. Ciprofloksasin
Timbang setara tablet 0,1 g, 0,2 g, 0,3 g ciprofloxacin murni tablet.
5. Doksisklin hyclate
20 tablet setara dengan 100 mg DCH ditimbang seksama dan dipindahkan ke erlenmeyer 100 ml,
kemudian kocok dengan 70 ml air selama 20 menit. Disaring dengan whatmann no.42 filter paper.
10 ml larutan pertama dibuang dan 5 ml diambil untuk dilakukan analisis.
6. Metronidazol
Timbang 20 tablet setara 0,1 g metronidazol dan serbukkan.
BAB III
METODE KERJA
III.1.2 Bahan
Bahan-bahan yang digunakan antara aluminium foil, air suling, sampel kapsul
kloramfenikol dan tablet ciprofloksasin, reagen seperti asam asetat glasial, indikator
kanji atau indikator kloroform, indikator Kristal violet, larutan baku asam perklorat, dan
larutan baku natrium tiosulfat, larutan baku kalium dikromat.
IV.1 Tabel
Kel Sampel Metode Berat Volume Normalitas Persen
Sampel Titran Titran (N) Kadar
(mg) (mL) (%)
1 Kloramfenikol Dikromatometri 50 V1 : 20 N1 : 0,134 102,61
V2 : 10,5 N2 : 0,098
Cyprofloksasin TBA 100 2,6 0,0539 51,54
2 Doksisiklin TBA 100 Vblanko 0,0539 17,44
:0,4
Vtitran :
1,8
3 Ampisilin Iodometri 100 V1 : 10 N1:0,1006 93,96
V2 : 7,5 N2:0,1005
Doksisiklin TBA 150 V1: 10 0,0539 19,10
V2 :7,7
4 Amoksisilin Bromometri 100 V1 :10 N1:0,1070 15,74
V2 : 8 N2:0,1005
Amoksisilin Iodimetri 100 9 0,1505 79,10
5 Doksisiklin TBA 100 5,9 0,0539 51,09
6 Ampisilin Iodometri 100 V1 : 15 N1:0,1006 64,2
V2:13,3 N2:0,1005
Data Kualitatif
Pereaksi Y3 W5 W2 Q3 Z7
Zat + 2 g NaOH Kuning Kuning Kuning Kuning Kuning
+ 3 mL air kuat (+) muda muda (+) kuat (+) muda
(+) (+)
Zat + fehling A & _ _ _ Hijau (-) _
B
Zat + Kuning (+) Kuning Kuning Kuning Kuning
formaldehid + (+) (+) (+) (+)
H2SO4
Zat + Kuning _ _ Kuning _
H2SO4 pekat muda (+) muda
(+)
Zat + pereaksi _ Jingga Jingga (-) Kuning Jingga
marquis (-) (+) (-)
FeSO4 + HNO3 _ Jingga Jingga (-) _ Jingga
(-) (-)
Zat + NaoH Jingga (+) _ _ Jingga Jingga
(panaskan) (+) (+)
Keterangan :
Y3= + kloramfenikol dan
+ Amoxicilin
W5= + kloramfenikol
+ ampicillin
W2= + kloramfenikol
+ ampicillin
Q3= + Kloramfenikol
Z7= + Kloramfenikol
+ Cefadroxil
BAB V
PEMBAHASAN
BAB VI
PENUTUP
VI. Kesimpulan
Dari hasil percobaan, pada uji kuantitatif, diperoleh persen kadar kloramfenikol
102,61 %, sedangkan persen kadar untuk ciprofloksasin yaitu 51,54 %. Hasil ini sesuai
dengan persentase kadar pada literature (FI.III) yaitu tidak kurang dari 92,5 % dan tidak
lebih dari 107,5 % untuk kloramfenikol dan tidak sesuai dengan persentase kadar pada
literature (British Pharmacopeia) yaitu tidak kurang dari 98,0 % dan tidak lebih dari
102,0% untuk ciprofloksasin
Pada uji kualitatif, diperoleh hasil bahwa sampel sampel Y3 mengandung
kloramfenikol dan amoksisilin, sampel W5 dan W2 mengandung kloramfenikol dan
ampisilin, sampel Q3 mengandung kloramfenikol, dan sampel Z7 mengandung
kloramfenikol dan sefadroksil
VI.2 Saran
Asisten agar lebih sabar dan semangat dalam membimbing praktikan
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudjadi. 2008. Analisis Kuantitatif Obat. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 108,
119, 121
2. Ganiswarna, Sulistia G. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Jakarta : Universitas
Indonesia. 622, 651
3. Susanti, S., Jeanny Wunas. 1997. Analisa Kimia Farmasi Kuantitatif. Makassar : UNHAS.
1, 29,30, 70, 71, 74. 75, 144, 151, 196-198
4. Basset, J., dkk. 1994. Buku Ajar Vogel; Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik Edisi 4. Jakarta
: EGC. 259
6. Roth, Hermann J.1981. Analisis Farmasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 241,
270, 271
8. Budiman, Melisa. 2011. Oksidasi dengan Kalium Dikromat dan Metode Titrasi
Dikromatometri. Diakses darihttp://www.chem-is-
try.org/materi_kimia/instrumen_analisis/dikromatometri/metode-titrasi-dikromatometri/.
Diakses tanggal 16 November 2011
9. Dirjen POM. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Jakarta : Depkes RI. 42, 47, 48, 58, 94,
96, 151, 316, 598, 651, 698, 724
10. The Department of Health. 2009. British Pharmacopeia. London : The Stationery Office on
behalf of the Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency (MHRA). 1381,
3954
11. Auterhoff & Kovar. 2002. Identifikasi Obat. Bandung : ITB. 90, 141
12. Officers of the USP convention. 2007.US Pharmacopeia 30 – NF 25. United States : The
United States Pharmacopeial Convention.