You are on page 1of 44

BAB 1

PENDAHULUAN

Trauma toraks adalah luka atau cedera yang mengenai rongga toraks yang dapat

menyebabkan kerusakan pada dinding toraks ataupun isi dari cavum toraks yang disebabkan

oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thoraks akut.

Secara keseluruhan angka mortalitas trauma toraks adalah 10 %, dimana trauma toraks

menyebabkan satu dari empat kematian karena trauma yang terjadi di Amerika Utara. Banyak

penderita meninggal setelah sampai di rumah sakit dan banyak kematian ini seharusnya dapat

dicegah dengan meningkatkan kemampuan diagnostik dan terapi. Kurang dari 10 % dari

trauma tumpul toraks dan hanya 15 – 30 % dari trauma tembus toraks yang membutuhkan

tindakan torakotomi.2

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma

tajam. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan

tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang ,

Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-

paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks.

Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung

besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas

pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat

berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio

paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma

langsung pada jantung. Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat

menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler.Gangguan

sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan

anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas,

1
perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma

toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah.

2
BAB 2

LAPORAN KASUS

2.1 Anamnesis

1. Identitas Pasien:

Nama : Ny. E

Usia : 47 Th / 19/09/1971

Jenis Kelamin: Perempuan

Alamat : Dandangan , Kota : Kediri

Status : Menikah

MRS : 14 Februari 2018

2. Keluhan Utama: Sesak nafas

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Kecelakaan lalu lintas pada jam 19.00 pada tanggal 14-11-2016 , Sepeda motor vs

sepeda motor, px mengendarai sepeda motor pulang dari senam, px berusaha

menyabrang ke sebelah kanan, tiba2 ditabrak oleh sepeda motor dari arah berlawanan,

pingsan (+), px datang di igd sadar , nyeri dada sebelah kanan (+) , sesak (+), muntah

darah (-), keluar darah dari telinga (-) , Racoon eye (-) , Betle sign (-), Jejas & hematom

pada reg. kepala (-), luka robek pada pipi kiri (+), luka robek pada tangan kiri (+) , mual

muntah (-) , sakit kepala (-).

4. Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat jantung  minum digoxin, riwayat HT (+)

5. Riwayat Penyakit Keluarga : (-)

6. Riwayat Sosial : (-)

3
2.2 Pemeriksaan Fisik

1. Keadaan Umum

- Kesadaran : compos mentis

- Keadaan sakit : Tampak sakit

2. Tanda vital :

- Tekanan Darah : 150/90 mmHg

- RR : 26 kali/menit

- Suhu : 36,4 oC

- Nadi : 120 kali/menit

2.3 PRIMARY SURVEY

Aiway : Sumbatan jalan nafas (-)

Breathing : RR 26 x/menit , gerak dinding dada simetris , takipnea (+)

Circulasi : Hipertensi (+) , takikardi (+) ,CRT (<2menit) , anemis (-)  Infus RL

extra 2 flash + injeksi ketorolac 3x1 + inj ranitidin 2x1 + inj ceftriakson

Disabilities&Level of Consciousness : GCS E=4 V=5 M=6

Exposure : vulnus laseratum at regio antebrachii sinistra

2.4 SECONDARY SURVEY

4
Kepala dan leher : Konjunctiva anemis (-), sklera ikterik (-), racoon eye (-), betle

sign (-), edema palpebra (-) ,bloody rinore (-) , muntah darah (-) , deviasi trakea (-)

Thorax :

Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, takipnea

Palpasi : Krepitasi (-), nyeri tekan (+)

Perkusi : lapang paru dekstra redup di bag. Inferior dan sonor lapang paru

sinistra

Auskultasi : suara paru dekstra melemah, wheezing (-), Ronkhi (-), S1/S2 tunggal

reguler, tidak ada gallop, tidak ada murmur.

Abdomen

Inspeksi : flat ,

Palpasi : keras, hepar/lien tidak teraba,

Perkusi : timpani seluruh lapang abdomen

Auskultasi : bising usus (+) normal

Ekstremitas

Edema : superior(-/-), inferior (-/-)

Sensorik : superior(+/+), inferior (+/+)

Motorik : superior(5/5), inferior (5/5)

2.5 Pemeriksaan Penunjang

1. Foto polos Thorak AP (14-02-2018):

Cardiomegali dengan elongasi aorta

5
Sudut costophrenicus dextra kabur dan sinistra lancip

2. Darah Lengkap (15-02-2018):

RBC 4,38

HGB 12,8

HCT 37,1

MCV 85

MCH 29,3

MCHC 34,5

PLT 194

WBC 29,7

NEU 81,1

LYM 10,5

MON 5,9

EOS 1,3

BAS 1,2

LED 75

HBsAg Non reaktif

PPT T:12,0 C:10,3

- INR 1,07

APTT T:31,9 C:26,5

2.6 Diagnosis

Dyspneu e.c Trauma thorax + OF antebrachii (S)

2.7 Penatalaksanaan Awal

6
Infus RL extra 2 flash 20tpm

Injeksi ketorolac 2x1

Injeksi anbacim 3x1

Psg jarum + thoracostomi

Pro : WSD

2.8 Prognosis

Dubia at malam

2.9 Follow Up

Tanggal S O A P
14-02- Post op : nyeri dada KU: tampak sakit Post op: Infus RL 20tpm
kanan , sesak WSD Hemithoraks 2flash
2018 TD = 150/90
(2) mmHg dextra Injeksi ketorolac
2x1
N = 108 kali/menit DX pasca op :
Hematothorax (D) + Injeksi anbacim
RR = 28 kali/menit
OF antebrachii (S) 3x1
o
Suhu = 36,4 C
Injeksi kalnex
Auskultasi paru sin 3x1g
: Rh (-) Wh (-)
Isi Tabung WSD =
Cairan bening

15-02- nyeri dada kanan , TD = 144/81 Hematothorax (D) + Infus RL 1500 &
2018 sesak, nyeri tangan mmHg OF antebrachii (S) D5 1000 dalam
kanan (+), mual 24 jam
N = 98 kali/menit
muntah (-), pusing Injeksi
(-), makan minum RR = 22 kali/menit
pantoprazole
dbn Suhu = 37,4 C
o
40mg 1x1
WSD  Cairan Injeksi ketorolac
bening 2x1
Injeksi anbacim
3x1

7
Injeksi kalnex
3x1g
Tranfusi darah 1
klof prc

16-02- nyeri dada kanan TD = 115/80 Hematothorax (D) + Infus RL 1500 &
2018 berkurang, sesak mmHg OF antebrachii (S) D5 1000 dalam
berkurang, nyeri 24 jam
N = 88 kali/menit
tangan kanan (+), Injeksi
pusing (+), mual RR = 25 kali/menit
pantoprazole
muntah (-), pusing o
Suhu = 37 C 40mg 1x1
(-), makan minum
dbn WSD  berisi Injeksi ketorolac
cairan berwarna 2x1
merah
Injeksi anbacim
3x1
Injeksi kalnex
3x1g
Tranfusi darah 2
klof prc

17-02- nyeri dada kanan TD = 120/85 Hematothorax (D) + Infus pz 1000 &
2018 berkurang, sesak mmHg OF antebrachii (S) D5 dalam 24
berkurang, nyeri jam
N = 98 kali/menit
tangan kanan (+), Injeksi
pusing (+), mual RR = 20 kali/menit
pantoprazole
muntah (-), pusing o
Suhu = 37 C 40mg 1x1
(-), makan minum
dbn WSD  berisi Injeksi ketorolac
cairan berwarna 2x1
merah
Injeksi anbacim
3x1
Injeksi kalnex
3x1g
Tranfusi darah 1
klof prc

8
18-02- nyeri dada kanan TD = 120/80 Hematothorax (D) + Inf RL 2 fl &
2016 berkurang, sesak mmHg OF antebrachii (S) D5 2 fl / 24 jam
berkurang, nyeri N = 74 kali/menit Injeksi
tangan kanan (+), pantoprazole
mual muntah (-), RR = 19 kali/menit
40mg 1x1
pusing (-), makan Suhu = 36,4 C
o

minum dbn Injeksi ketorolac


WSD lepas sendiri 2x1
Injeksi anbacim
3x1
Injeksi kalnex
3x1g
Tranfusi darah 1
klof prc

19-02- nyeri dada kanan TD = 128/90 Hematothorax (D) + Inf RL 2 fl &


2016 berkurang, sesak mmHg OF antebrachii (S) D5 2 fl / 24 jam
berkurang, nyeri N = 74 kali/menit Injeksi
tangan kanan (+), pantoprazole
mual muntah (-), RR = 19 kali/menit
40mg 1x1
pusing (-), makan Suhu = 36,4 C
o

minum dbn Injeksi ketorolac


WSD lepas sendiri 2x1
Injeksi anbacim
3x1
Injeksi kalnex
3x1g
Tranfusi darah 1
klof prc

20-02- KRS KRS KRS KRS


2018

9
14-02-2018 15-02-2016

WSD 15-02-2018 WSD 16-02-2018

10
WSD 17-02-2018

11
BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Thorax

3.1.1 Otot Dada

Otot-otot dinding dada maupun dinding abdomen tersusun dalam beberapa lapisan

yaitu lapisan eksternal, lapisan medial dan lapisan internal. Untuk dinding toraks, lapisan

eksternal, medial dan internal berturut-turut adalah musculus intercostalis externus,

musculus intercostalis internus, dan musculus subcostalis serta musculus transversus

thoracis. Otot-otot lain yang ikut membentuk dinding toraks termasuk dalam kelompok

otot-otot ekstremitas superior. Otot-otot dinding abdomen dan otot-otot tertentu punggung,

semuanya terletak di sebelah luar costae dan spatium intercostales. Musculi levator

costarum berkaitan dengan otot-otot punggung, tetapi fungsional berkaitan dengan

musculus intercostales.Selama inspirasi tenang pergerakan diafragma menyumbangkan

75% perubahan volume intratoraks. Diafragma melekat sekitar dasar rongga toraks, otot ini

melengkung di atas hati dan bergerak ke bawah seperti piston bila ia berkontraksi. Jarak

pergerakannya berkisar dari 1,5 cm sampai sejauh 7 cm dengan inspirasi dalam.5

Otot-otot inspirasi utama lainnya adalah musculus intercostalis externus, yang

berjalan miring ke atas dan ke bawah dari iga ke iga. Poros iga bersendi pada vertebra

sehingga bila musculus intercostalis externus berkontraksi mereka menaikkan costae bagian

bawah. Hal ini mendorong sternum ke luar dan menaikkan diameter anteroposterior dada.

Diameter transversal sebenarnya sedikit berubah atau tidak sama sekali. Baik diafragma

maupun musculus intercostalis externus sendiri dapat mempertahankan ventilasi yang cukup

pada keadaan istirahat. Pemotongan transversal medulla spinalis di atas segmen servikal ke

tiga adalah fatal bila tanpa pernapasan buatan, tetapi transeksi di bawah asal nervus phrenicus

yang mempersarafi diafragma (segmen servikal ketiga sampai kelima) tidak fatal. Sebaliknya,

12
pada penderita dengan kelumpuhan nervus phrenicus bilateral, respirasi cukup untuk

mempertahankan hidup. Muskulus scalenus dan muskulus sternicleidomastoideus pada leher

adalah otot pembantu inspirasi yang membantu menaikkan rongga toraks selama pernapasan

dalam.Penurunan volume intratoraks dan ekspirasi yang kuat terjadi bila otot ekspirasi

berkontraksi. Muskulus interkostalis internus mempunyai kerja ini sebab mereka berjalan

miring ke bawah dan posterior dari iga ke iga dan oleh karena itu menarik rongga toraks ke

bawah bila mereka berkontraksi. Kontraksi otot-otot dinding depan abdomen juga membantu

ekspirasi dengan menarik rongga iga ke bawah dan dalam dan dengan meningkatnya tekanan

intra-abdominal, yang mendorong diafragma ke atas.5

3.1.2 Paru

Paru memiliki area permukaan alveolar kurang lebih seluas 40 m pertukaran udara.

Tiap paru memiliki: apeks yang mencapai ujung sternal kosta pertama, permukaan

costovertebral yang melapisi dinding dada, basis yang terletak di atas diafragma dan

permukaan mediastinal yang menempel dan membentuk struktur mediastinal di

sebelahnya.Paru kanan terbagi menjadi lobus atas, tengah, dan bawah oleh fissura obliqus

dan horizontal. Paru kiri hanya memiliki fissura obliqus sehingga tidak ada lobus tengah.

13
Segmen lingular merupakan sisi kiri yang ekuivalen dengan lobus tengah kanan. Namun,

secara anatomis lingual merupakan bagian dari lobus atas kiri. Untuk Struktur yang masuk

dan keluar dari paru melewati hilus paru yang diselubungi oleh kantung pleura yang

longgar.13

Bronki dan jaringan parenkim paru mendapat pasokan darah dari arteri bronkialis

cabang-cabang dari aorta thoracalis descendens. Vena bronkialis, yang juga berhubungan

dengan vena pulmonalis, mengalirkan darah ke vena azigos dan vena hemiazigos. Alveoli

mendapat darah deoksigenasi dari cabang-cabang terminal arteri pulmonalis dan darah yang

teroksigenasi mengalir kembali melalui cabang-cabang vena pulmonalis. Dua vena

pulmonalis mengalirkan darah kembali dari tiap paru ke atrium kiri jantung.Drainase limfatik

paru mengalir kembali dari perifer menuju kelompok kelenjar getah bening trakeobronkial

hilar dan dari sini menuju trunkus limfatikus mediastinal.Paru dipersarafi oleh pleksus

pulmonalis terletak di pangkal tiap paru. Pleksus ini terdiri dari serabut simpatis (dari truncus

simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri vagus). Serabut eferen dari pleksus

mempersarafi otot-otot bronkus dan serabut aferen diterima dari membran mukosa bronkioli

dan alveoli.13

3.1.3 Fisiologi paru

14
Paru-paru dapat dikembangkempiskan melalui dua cara ; (1) dengan gerakan naik

turunnya diafragma untuk memperbesar atau memperkecil rongga dada dan (2) dengan

depresi dan elevasi tulang iga untuk memperbesar atau memperkecil diameter anteroposterior

rongga dada.5

Pernafasan normal dan tenang dapat di capai dengan hampir sempurna melalui

metode pertama, yaitu melalui metode pertama, melalui gerakan diafragma. Selama inspirasi,

kontraksi diafragma menarik permukaan bawah ke arah bawah. kemudian, selama ekspirasi,

diafragma mengadakan relaksasi, dan sifat elastis daya lenting paru (elastic recoil), dinding

dada, dan struktur abdomen akan menekan paru-paru dan mengeluarkan udara. Namun,

selama bernapas kuat, daya elastis tidak cukup kuat untuk menghasilkan ekspirasi cepat yang

diperlukan. Sehingga diperlukan tenaga ekstra yang terutama diperoleh dari kontraksi otot-

otot abdomen, yang mendorong isi abdomen ke atas melawan dasar diafragma, sehingga

mengkompresi paru.5

Metode kedua untuk mengembangkan paru adalah dengan mengangkat rangka iga.

Pengembangan paru ini dapat terjadi karena pada posisi istirahat iga miring ke bawah, dengan

demikian sternum turun ke belakang ke arah kolumna vertebralis. Tetapi, bila rangka iga

dielevasikan tulang iga lagsung maju sehingga sternum sekarang bergerak ke depan menjauhi

spinal, membentuk jarak anteroposterior dada kira-kira 20% lebih besar selama inspirasi

maksimum dibandingkan selama ekspirasi. Oleh karena itu, otot-otot yang mengelevasikan

dada diklasivikasikan sebagai otot-otot inspirasi , dan otot-otot mengelevasikan rangka dada

dapat diklasifikasikan sebagai otot-otot ekspirasi.5

Perbedaan tekanan CO2 antara darah dan alveolus yang jauh lebih rendah

menyebabkan CO2 berdifusi ke dalam alveolus . CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atsmosfer,

yang konsentrasi hakekatnya nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus amat kecil

15
namun tetap memadai, karena berdifusi melintasi membrane alveolus kapiler kira-kira 20 kali

lebih cepat, dibandingkan O2 karena daya larutnya lebih besar.13

Permukaan paru yang luas, yang hanya dipisahkan oleh membrane tipis dari sistem

sirkulasi, secara teoritis mengakibatkan seorang rentan terhadap dari benda asing (debu) dan

bakteri yang masuk bersama udara inspirasi: tetapi, saluran respirasi bagian bawah dalam

keadaan normal adalah steril. Reflek menelan atau reflek muntah yang mncegah masuknya

makanan atau cairan ke dalam trakea, juga kerja ekskalator mukosiliaris yang menjebak debu

dan bakteri kemudian memindahkannya salaran respirasi bagian atas.kemudian ,lapisan

mukus mengandung faktor-faktor yang mungkin efektif sebagai pertahanan,yaitu

immunoglobulin (terutama IgA),PMN,dan interferon. Reflek batuk merupakan mekanisme

lain yang lebih kuat mendorong sekresi ke saluran respirasi atas sehingga dapat ditelan atau

dikeluarkan.13

Makkrofag alveolar merupakan pertahanan terkahir dan terpenting untuk melawan

invasi bakteri ke dalam paru. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dengan sifat dapat

bermigrasi dan aktivitas enzimatik yang unik. Sel inibergerak bebas pada permukaan alveolus

dan meliputi serat menelan benda atau bakteri. Sesudah partikel mikroba tertelan , metabolit-

metabolit O2 akan aktif kembali,seperti hydrogen peroksida di dalam makrog, akan

membunuh dan mencerna mikroorganisme tersebut tanpa menyebabkan reaksi peradangan

yang jelas partikel debu atau mikroorganisme ini kemudian diangkut oleh makrofag ke

pembuluh limfe atau ke bronkiolus tempat mereka akan dibuang oleh escalator mukosiliaris.

Makrofag alveolar dapat membersihkan paru dari bakteri yang masuk sewaktu inspirasi

dengan kecepatan yang menakjubkan.13

3.2 Trauma toraks

Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra

toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena traumatajam.Memahami kinematis

16
dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma

sehingga penanganannya dapatdilakukan dengan segera.16

Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen

yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura

jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius,

m.rhomboideus mayor dan minor, m.serratus anterior , dan m.intercostalis. Tulang dinding

dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam

rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan

sistem limfatik.11

3.2.1 Epidemiologi

Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan

kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data yang akurat mengenai trauma toraks di

Indonesia belum pernah diteliti. Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 2011

didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000

kematian pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung. Di

Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma pada

toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Pneumotoraks,

hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat meningkatkan kematian : 38%,42%,56%

dan 69% .10

3.2.2 Etiologi

Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma

tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor

(63-78%). Dalam trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis tabrakan (impact) yang berbeda,

yaitu depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus

dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki

17
pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan

menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi

rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol)

dan trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan

melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan

yang berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks.

3.2.3 Mekanisme Trauma

 Akselerasi

 Kerusakan yang terjadi merupakan akibat langsung dari penyebab trauma. Gaya perusak

berbanding lurus dengan massa dan percepatan (akselerasi); sesuai dengan hukum

Newton II (Kerusakan yang terjadi juga bergantung pada luas jaringan tubuh yang

menerima gaya perusak dari trauma tersebut).

 Pada luka tembak perlu diperhatikan jenis senjata dan jarak tembak; penggunaan senjata

dengan kecepatan tinggi seperti senjata militer high velocity (>3000 ft/sec) pada jarak

dekat akan mengakibatkan kerusakan dan peronggaan yang jauh lebih luas dibandingkan

besar lubang masuk peluru.

 Deselerasi

 Kerusakan yang terjadi akibat mekanisme deselerasi dari jaringan. Biasanya terjadi pada

tubuh yang bergerak dan tiba-tiba terhenti akibat trauma. Kerusakan terjadi oleh karena

pada saat trauma, organ-organ dalam yang mobile (seperti bronkhus, sebagian aorta,

organ visera, dsb) masih bergerak dan gaya yang merusak terjadi akibat tumbukan pada

dinding thoraks/rongga tubuh lain atau oleh karena tarikan dari jaringan pengikat organ

tersebut.

 Torsio dan rotasi

18
 Gaya torsio dan rotasio yang terjadi umumnya diakibatkan oleh adanya deselerasi organ-

organ dalam yang sebagian strukturnya memiliki jaringan pengikat/fiksasi, seperti

Isthmus aorta, bronkus utama, diafragma atau atrium. Akibat adanya deselerasi yang tiba-

tiba, organ-organ tersebut dapat terpilin atau terputar dengan jaringan fiksasi sebagai titik

tumpu atau poros-nya.

 Blast injury

 Kerusakan jaringan pada blast injury terjadi tanpa adanya kontak langsung dengan

penyebab trauma. Seperti pada ledakan bom.

 Gaya merusak diterima oleh tubuh melalui penghantaran gelombang energi.

3.2.4 Kondisi Yang Berbahaya

Berikut adalah keadaan atau kelainan akibat trauma toraks yang berbahaya dan mematikan

bila tidak dikenali dan di-tatalaksana dengan segera:

1. Obstruksi jalan napas

 Tanda: dispnoe, wheezing, batuk darah

 PF:stridor, sianosis, hilangnya bunyi nafas

 Ro toraks: non-spesifik, hilangnya air-bronchogram, atelektasis

2. Tension pneumotoraks

 Tanda : dispnoe, hilangnya bunyi napas, sianosis, asimetri toraks, mediastinal shift

 Ro toraks (hanya bila pasien stabil) : pneumotoraks, mediastinal shift

3. Perdarahan masif intra-toraks (hemotoraks masif)

 Tanda: dispnoe, penampakan syok, hilang bunyi napas, perkusi pekak, hipotensif

 Ro toraks: opasifikasi hemitoraks atau efusi pleura

4. Tamponade

 Tanda: dispnoe, Trias Beck (hipotensi, distensi vena, suara jantung menjauh), CVP >

15

19
 Ro toraks: pembesaran bayangan jantung, gambaran jantung membulat

5. Ruptur aorta

 Tanda: tidak spesifik, syok

 Ro toraks: pelebaran mediastinum, penyempitan trakhea, efusi pleura

6. Ruptur trakheobronhial

 Tanda: Dispnoe, batuk darah

 Ro toraks: tidak spesifik, dapat pneumotoraks, hilangnya air-bronchograms

7. Ruptur diafragma disertai herniasi visera

 Tanda: respiratory distress yang progresif, suara usus terdengar di toraks

 Ro toraks : gastric air bubble di toraks, fraktur iga-iga terbawah, mediastinal shift

8. Flail chest berat dengan kontusio paru

 Tanda: dispnoe, syok, asimetris toraks, sianosis

 Ro toraks: fraktur iga multipel, kontusio paru, pneumotoraks, effusi pleura

9. Perforasi esofagus

 Tanda: Nyeri, disfagia, demam, pembengkakan daerah servikal

 Ro toraks: udara dalam mediastinum, pelebaran retrotracheal-space, pelebaran

mediastinum, efusi pleura, pneumotoraks

3.2.5 Penatalaksanaan Trauma Thorax

Prinsip

 Penatalaksanaan mengikuti prinsip penatalaksanaan pasien trauma secara umum (primary

survey - secondary survey)

 Tidak dibenarkan melakukan langkah-langkah: anamnesis, pemeriksaan fisik,

pemeriksaan diagnostik, penegakan diagnosis dan terapi secara konsekutif (berturutan)

20
 Standar pemeriksaan diagnostik (yang hanya bisa dilakukan bila pasien stabil), adalah :

portable x-ray, portable blood examination, portable bronchoscope. Tidak dibenarkan

melakukan pemeriksaan dengan memindahkan pasien dari ruang emergency.

 Penanganan pasien tidak untuk menegakkan diagnosis akan tetapi terutama untuk

menemukan masalah yang mengancam nyawa dan melakukan tindakan penyelamatan

nyawa.

 Pengambilan anamnesis (riwayat) dan pemeriksaan fisik dilakukan bersamaan atau

setelah melakukan prosedur penanganan trauma.

 Penanganan pasien trauma toraks sebaiknya dilakukan oleh Tim yang telah memiliki

sertifikasi pelatihan ATLS (Advance Trauma Life Support).

 Oleh karena langkah-langkah awal dalam primary survey (airway, breathing, circulation)

merupakan bidang keahlian spesialistik Ilmu Bedah Toraks Kardiovaskular, sebaiknya

setiap RS yang memiliki trauma unit/center memiliki konsultan bedah toraks

kardiovaskular.

PRIMARY SURVEY

Airway

Assessment :

 perhatikan patensi airway

 dengar suara napas

 perhatikan adanya retraksi otot pernapasan dan gerakan dinding dada

Management :

 inspeksi orofaring secara cepat dan menyeluruh, lakukan chin-lift dan jaw thrust,

hilangkan benda yang menghalangi jalan napas

 re-posisi kepala, pasang collar-neck

 lakukan cricothyroidotomy atau traheostomi atau intubasi (oral / nasal)

21
Breathing

Assesment

 Periksa frekwensi napas

 Perhatikan gerakan respirasi

 Palpasi toraks

 Auskultasi dan dengarkan bunyi napas

Management:

 Lakukan bantuan ventilasi bila perlu

 Lakukan tindakan bedah emergency untuk atasi tension pneumotoraks, open

pneumotoraks, hemotoraks, flail chest

Circulation

Assesment

 Periksa frekwensi denyut jantung dan denyut nadi

 Periksa tekanan darah

 Pemeriksaan pulse oxymetri

 Periksa vena leher dan warna kulit (adanya sianosis)

Management

 Resusitasi cairan dengan memasang 2 iv lines

 Torakotomi emergency bila diperlukan

 Operasi Eksplorasi vaskular emergency

3.3 Trauma pada Dinding Dada

3.3.1 Fraktur Iga

Fraktur pada iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma

tumpul pada dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena

22
luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga

terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-

organ intra-toraks dan intra abdomen.

Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat

fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama

ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, a/v subklavia, dsb.), bila terdapat fraktur pada

iga I-III atau fraktur klavikula.

 Penatalaksanaan

1. Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)

2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks)

3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks,

atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah:

o Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)

o Bronchial toilet

o Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah

o Cek Foto Ro berkala

Penatalaksanaan fraktur iga multipel yang disertai penyulit lain (seperti:

pneumotoraks, hematotoraks dsb.), ditujukan untuk mengatasi kelainan yang mengancam

jiwa secara langsung, diikuti oleh penanganan pasca operasi/tindakan yang adekuat

(analgetika, bronchial toilet, cek lab dan ro berkala), sehingga dapat menghindari

morbiditas/komplikasi.

Komplikasi tersering adalah timbulnya atelektasis dan pneumonia, yang umumnya

akibat manajemen analgetik yang tidak adekuat.

3.3.2 Fraktur Klavikula

23
o Cukup sering sering ditemukan (isolated, atau disertai trauma toraks, atau disertai trauma

pada sendi bahu ).

o Lokasi fraktur klavikula umumnya pada bagian tengah (1/3 tengah)

o Deformitas, nyeri pada lokasi taruma.

o Foto Rontgen tampak fraktur klavikula

Penatalaksanaan

o Konservatif : "Verband figure of eight" sekitar sendi bahu. Pemberian analgetika.

o Operatif : fiksasi internal

Komplikasi : timbulnya malunion fracture dapat mengakibatkan penekanan pleksus

brakhialis dan pembuluh darah subklavia.

3.3.3 Fraktur Sternum

o Insidens fraktur sternum pada trauma toraks cukup jarang, umumnya terjadi pada

pengendara sepeda motor yang mengalami kecelakaan.

o Biasanya diakibatkan trauma langsung dengan gaya trauma yang cukup besar

o Lokasi fraktur biasanya pada bagian tengah atas sternum

o Sering disertai fraktur Iga.

o Adanya fraktur sternum dapat disertai beberapa kelainan yang serius, seperti:

kontusio/laserasi jantung, perlukaan bronkhus atau aorta.

Tanda dan gejala : nyeri terutama di area sternum, krepitasi

Pemeriksaan

o Seringkali pada pemeriksaan Ro toraks lateral ditemukan garis fraktur, atau gambaran

sternum yang tumpang tindih.

o Pemeriksaan EKG : 61% kasus memperlihatkan adanya perubahan EKG (tanda trauma

jantung).

Penatalaksanaan

24
o Untuk fraktur tanpa dislokasi fragmen fraktur dilakukan pemberian analgetika dan

observasi tanda2 adanya laserasi atau kontusio jantung

o Untuk fraktur dengan dislokasi atau fraktur fragmented dilakukan tindakan operatif untuk

stabilisasi dengan menggunakan sternal wire, sekaligus eksplorasi adanya perlukaan pada

organ atau struktur di mediastinum.

3.3.4 Dislokasi Sendi Sternoklavikula

o Kasus jarang

o Dislokasi anterior : nyeri, nyeri tekan, terlihat "bongkol klavikula" (sendi sternoklavikula)

menonjol kedepan

o Posterior : sendi tertekan kedalam

o Pengobatan : reposisi

3.3.5 Flail Chest

Flail chest adalah area thoraks yang “melayang” (flail) oleh sebab adanya fraktur iga

multipel berturutan ≥ 3 iga , dan memiliki garis fraktur ≥ 2 (segmented) pada tiap iganya

dapat tanpa atau dengan fraktur sternum. Akibatnya adalah: terbentuk area “flail” segmen

yang mengambang akan bergerak paradoksal (kebalikan) dari gerakan mekanik pernapasan

dinding dada.

Area tersebut akan bergerak masuk saat inspirasi dan bergerak keluar pada ekspirasi,

sehingga udara inspirasi terbanyak memasuki paru kontralateral dan banyak udara ini akan

masuk pada paru ipsilateral selama fase ekspirasi, keadaan ini disebut dengan respirasi

pendelluft. Fraktur pada daerah iga manapun dapat menimbulkan flail chest.

Dinding dada mengambang (flail chest) ini sering disertai dengan hemothoraks,

pneumothoraks, hemoperikardium maupun hematoma paru yang akan memperberat keadaan

25
penderita. Komplikasi yang dapat ditimbul yaitu insufisiensi respirasi dan jika korban trauma

masuk rumah sakit, atelectasis dan berikut pneumonia dapat berkembang.

Karakteristik

o Gerakan "paradoksal" dari (segmen) dinding dada saat inspirasi/ekspirasi; tidak

terlihat pada pasien dalam ventilator

o Menunjukkan trauma hebat

o Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas)

Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air

movement, yang seringkali diperberat oleh edema/kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien

dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara

eksterna, seperti melakukan splint/bandage yang melingkari dada, oleh karena akan

mengurangi gerakan mekanik pernapasan secara keseluruhan.

Penatalaksanaan

o Sebaiknya pasien dirawat intensif bila ada indikasi atau tanda-tanda kegagalan

pernapasan atau karena ancaman gagal napas yang biasanya dibuktikan melalui

pemeriksaan AGD berkala dan takipneu

o pain control

o stabilisasi area flail chest (memasukkan ke ventilator, fiksasi internal melalui operasi)

o bronchial toilet

o fisioterapi agresif

o tindakan bronkoskopi untuk bronchial toilet

Indikasi Operasi (stabilisasi) pada flail chest:

1. Bersamaan dengan Torakotomi karena sebab lain (cth: hematotoraks masif, dsb)

2. Gagal/sulit weaning ventilator

3. Menghindari prolong ICU stay (indikasi relatif)

26
4. Menghindari prolong hospital stay (indikasi relatif)

5. Menghindari cacat permanen

Tindakan operasi adalah dengan fiksasi fraktur iga sehingga tidak didapatkan lagi area "flail"

3.4 Trauma pada Pleura dan Paru

3.4.1 Pneumothorak

Pneumothorak adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas didalam kavum

pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena tersering disebabkan oleh ruptur

spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udara ke rongga toraks. Udara dalam

kavum pleura ini dapat ditimbulkan oleh :

a) Robeknya pleura visceralis sehingga saat inspirasi udara yang berasal dari alveolus

akan memasuki kavum pleura. Pneumothorax jenis ini disebut sebagai closed pneumothorak .

Apabila kebocoran pleura visceralis berfungsi sebagai katup, maka udara yang masuk saat

inspirasi tak akan dapat keluar dari kavum pleura pada saat ekspirasi. Akibatnya,udara

semakin lama semakin banyak sehingga mendorong mediastinum kearah kontralateral dan

menyebabkan terjadinya tension pneumothorax.

b) Robeknya dinding dada dan pleura parietalis sehingga terdapat hubungan antara

kavum pleura dengan dunia luar. Apabila lubang yang terjadi lebih besar dari 2/3 diameter

trakea, maka udara cenderung lebih melewati lubang tersebut dibanding traktus respiratorius

yang seharusnya. Pada saat inspirasi,tekanan dalam rongga dada menurun sehingga udara

dari luar masuk ke kavum pleura lewat lubang tadi dan menyebabkan kolaps pada paru ipsi

lateral. Saat ekspirasi, tekanan rongga dada meningkat, akibatnya udara dari kavum pleura

keluar melalui lubang tersebut. Kondisi ini disebut sebagai open pneumothorak.

 Berdasarkan jenis fistulanya

1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax)

27
Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding

dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura

awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh

jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi,

sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan didalamnya sudah kembali negatif.

Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. Adapun

Manifestasi klinis yang dijumpai :

a. Paru pada sisi yang terkena akan kolaps, parsial atau total

b. Tidak dijumpai mediastinal shift

c. Dijumpai hipersonor pada daerah yang terkena,

d. Dijumpai suara napas yang melemah sampai menghilang pada daerah yang terkena.

e. Dijumpai kolaps paru pada daerah yang terkena.

f. Pada pemeriksaan foto toraks dijumpai adanya gambaran radiolusen atau gambaran

lebih hitam pada daerah yang terkena, biasanya dijumpai gambaran pleura line.

Penatalaksanaan simple pneumotoraks dengan Torakostomi atau pemasangan selang intra

pleural + WSD.

2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax)

Terjadi karena luka terbuka yang cukup besar pada dada sehingga udara dapat keluar

dan masuk rongga intra toraks dengan mudah. Tekanan intra toraks akan sama dengan

tekanan udara luar. Dikenal juga sebagai sucking-wound. Terjadi kolaps total paru.

Penatalaksanaan open pneumotoraks :

a. Luka tidak boleh di eksplore.

b. Luka tidak boleh ditutup rapat yang dapat menciptakan mekanisme ventil.

c. Luka ditutup dengan Occlusive dressing tape 3 sisi

d. Torakostomi + WSD dulu baru tutup luka

28
e. Singkirkan adanya perlukaan atau laserasi pada paru-paru atau organ intra toraks lain.

f. Umumnya disertai dengan perdarahan atau hematotoraks.

Occlusive Dressing 3 Sisi

3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorak)

Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin

bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi

udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju

pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara didalam rongga pleura tidak dapat

keluar . Akibatnya tekanan didalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi

29
tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru

sehingga sering menimbulkan gagal napas. Adapun manifestasi klinis yang dijumpai :

a. Terjadi peningkatan intra toraks yang progresif, sehingga terjadi kolaps total paru,

mediastinal shift atau pendorongan mediastinum ke kontralateral, deviasi trachea, hipotensi

&respiratory distress berat.

b. Tanda dan gejala klinis: sesak yang bertambah berat dengan cepat, takipneu, hipotensi,

tekanan vena jugularis meningkat, pergerakan dinding dada yang asimetris.

Tension pneumotoraks merupakan keadaan life-threatening, maka tidak perlu

dilakukan pemeriksaan foto toraks. Penatalaksanaan tension pneumotoraks berupa

dekompresi segera dengan needle insertion pada sela iga II linea mid-klavikula pada daerah

yang terkena. Sehingga tercapai perubahan keadaan menjadi suatu simple pneumotoraks dan

dilanjutkan dengan pemasangan Torakostomi + WSD.12

Pada pneumotoraks kecil (<20 %), gejala minimal dan tidak ada respiratory distress,

serangan yang pertama kali, sikap kita adalah observasi dan penderita istirahat 2-3 hari. Bila

pneumotoraks sedang, ada respiratory distress atau pada observasi nampak progresif foto

toraks, atau adanya tension pneumothorax, dilakukan tindakan bedah dengan pemasangan

torakostomi + WSD untuk pengembangan paru dan mengatasi gagal nafas. Tindakan

torakotomi dilakukan bila:

1. Kebocoran paru yang masif sehingga paru tak dapat mengembang (bullae / fistel

bronkopleura).

2. Pneumotoraks berulang.

3. Adanya komplikasi (Empiema, Hemotoraks, Tension pneumothorax).

4. Pneumotoraks bilateral.

5. Indikasi social (pilot, penyelam, penderita yang tinggal di daerah terpencil)

6. Teknik bedah

30
3.4.2 Hematothorax

Terakumulasinya darah pada rongga toraks akibat trauma tumpul atau tembus pada

toraks. Sumber perdarahan umumnya berasal dari interkostalis atau mamaria interna. Perlu

diingat bahwa rongga hemitoraks dapat menampung 3 liter cairan, sehingga pasien

hematotoraks dapat terjadi syok hipovolemik berat yang mengakibatkan terjadinya kegagalan

sirkulasi, tanpa terlihat adanya perdarahan yang nyata oleh karena perdarahan masif yang

terjadi, yang terkumpul di dalam rongga toraks.

Manifestasi klinis yang ditemukan pada hematotoraks sesuai dengan besarnya

perdarahan atau jumlah darah yang terakumulasi. Perlu diperhatikan adanya tanda dan gejala

dari instabilitas hemodinamik dan depresi pernapasan. Pemeriksaan foto toraks boleh

dilakukan bila keadaan pasien stabil. Pada kasus hematotoraks terlihat bayangan difus radio-

opak pada seluruh lapangan paru, dijumpai bayangan air-fluid level pada kasus

hematopneumotoraks.

 Pemeriksaan

o Ro toraks (yang boleh dilakukan bila keadaan pasien stabil)

o Terlihat bayangan difus radio-opak pada seluruh lapangan paru

o Bayangan air-fluid level hanya pada hematopneumotoraks

 Indikasi Operasi

o Adanya perdarahan masif (setelah pemasangan WSD):

o Ditemukan jumlah darah inisial > 750 cc, pada pemasangan WSD < 4 jam setelah

kejadian trauma.

o Perdarahan 3-5 cc/kgBB/jam dalam 3 jam berturut-turut

o Perdarahan 5-8 cc/kgBB/jam dalam 2 jam berturut-turut

o Perdarahan > 8cc/kgBB/jam dalam 1 jam

Bila berat badan dianggap sebagai 60 kg, maka indikasi operasi, bila produksi WSD:

31
o ≥ 200 cc/jam dalam 3 jam berturut-turut

o ≥ 300 cc/jam dalam 2 jam berturut-turut

o ≥ 500 cc dalam ≤ 1 jam

 Penatalaksanaan hematotoraks

1. Penanganan hemodinamik segera untuk menghindari kegagalan sirkulasi.

2. Pada 90 % kasus hematotoraks tindakan bedah yang dilakukan hanya dengan

Torakostomi + WSD.

3. Tindakan operasi torakotomi emergensi dilakukan untuk menghentikan

perdarahan apabila dijumpai :

a. Dijumpai perdarahan massif atau inisial jumlah produksi darah diatas 1500 cc.

b. Bila produksi darah di atas 5 cc/kgBB/jam.

c. Bila produksi darah 3-5 cc/kgBB selama 3 jam berturut-turut. Bila kita

memiliki fasilitas, sarana, dan kemampuan tindakan video assisted thoracic

surgery atau VATS dapat dilakukan evakuasi darah dan penjahitan fistula atau

robekan paru pleura parieatali.

3.4.3 Kontusio Paru

Kontusio paru sering dijumpai pada kasus trauma tumpul toraks dan dapat pula

terjadi pada trauma tajam dengan mekanisme perdarahan dan edema parenkim konsolidasi.

Patofisiologi yang terjadi adalah kontusio atau cedera jaringan yang menyebabkan edema dan

reaksi inflamasi sehingga terjadinya lung compliance menurun, ventilation-perfusion

mismatch yang hipoksia dan work of breathing yang meningkat.9 Diagnosis dapat dilakukan

dengan pemeriksaan foto toraks dan pemeriksaan laboratorium analisa gas darah yang

menunjukan penurunan nilai PaO2. Penatalaksanaan dapat dilakukan dengan :

1. Mempertahankan oksigenasi

2. Mencegah/mengurangi edema

32
3. Tindakan: bronchial toilet, batasi pemberian cairan isotonik atau hipotonik, terapi

oksigen, pain control, diuretika, bila perlu ventilator dengan tekanan positif (PEEP

>5)

3.4.4 Tamponade Jantung

Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma thoraks yang berat,

trauma tajam yang mengenai jantung akan menyebabkan tamponade jantung dengan gejala

trias Beck yaitu distensi vena leher, hipotensi dan menurunnya suara jantung. Kontusio

miokardium tanpa disertai ruptur dapat menjadi penyebab tamponade jantung.

Kecurigaan trauma jantung :

o Trauma tumpul di daerah anterior

o Fraktur pada sternum

o Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela iga II kiri, grs

mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri)

Diagnostik

o Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB / Troponin T)

o Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour pada mediastinum

menunjukkan kecurigaan efusi pericardium

o Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade

Penatalaksanaan

1. Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi dilakukannya

torakotomi eksplorasi emergency

2. Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan indikasi dilakukannya

torakotomi eksplorasi.

3. Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan observasi ketat

untuk mengetahui adanya tamponade

33
Komplikasi

Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya aneurisma ventrikel

beberapa bulan/tahun pasca trauma.

3.4.5 Ruptur Diafragma

Ruptur diafragma pada trauma toraks biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada

daerah toraks inferior atau abdomen atas. Trauma tumpul di daerah toraks inferior akan

mengakibatkan peningkatan tekanan intra abdominal yang diteruskan ke diafragma. Ruptur

terjadi bila diafragma tidak dapat menahan tekanan tersebut. Dapat pula terjadi ruptur

diafragma akibat trauma tembus pada daerah toraks inferior. Pada keadaan ini trauma tembus

juga akan melukai organ-organ intratoraks atau intraabdominal Ruptur diafragma umumnya

terjadi di puncak atau kubah diafragma. Kejadian ruptur diafragma sebelah kiri lebih sering

daripada diafragma kanan. Pada ruptur diafragma akan terjadi herniasi organ viseral abdomen

ke toraks dan dapat terjadi ruptur ke intra perikardial.

Diagnostik dapat ditegakkan dari anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan

penunjang, yaitu riwayat trauma tumpul toraks inferior atau abdomen. Tanda dan gejala klinis

sesak atau respiratory distress, mual-muntah, tanda-tanda akut abdomen.

Dari pemeriksaan foto toraks dengan NGT terpasang dijumpai pendorongan

mediastinum kontralateral dan terlihat adanya organ viseral ditoraks. Penatalaksanaan dapat

dilakukan dengan torakotomi eksplorasi emergensi dan dapat diikuti dengan laparotomi

apabila diperlukan.4

3.4.6 Ruptur trakhea dan bronkus

Ruptur trakea dan bronkus utama dapat disebabkan oleh trauma tajam maupun trauma

tumpul dimana angka kematian akibat penyulit ini adalah 50%. Pada trauma tumpul ruptur

terjadi pada saat glottis tertutup dan terdapat peningkatan hebat dan mendadak dari tekanan

saluran trakeobronkial yang melewati batas elastisitas saluran trakeobronkial ini.

34
Kemungkinan kejadian ruptur bronkus utama meningkat pada trauma tumpul thoraks yang

disertai dengan fraktur iga 1 sampai 3, lokasi tersering adalah pada daerah karina dan

percabangan bronkus. Pneumothoraks, pneumomediatinum, emfisema subkutan dan

hemoptisis, sesak nafas,dan sianosis dapat merupakan gejala dari ruptur ini.

3.5 Water Seal Drainage (WSD)

Mekanisme pernapasan normal bekerja dengan prinsip tekanan negative. Tekanan di

dalam rongga paru lebih rendah dari pada tekanan pada atmosfer, yang akan mendorong

udara masuk ke dalam paru selama inspirasi. Ketika rongga dada terbuka, untuk beberapa

alasan, akan menyebabkan paru kehilangan tekanan negative yang berakibat pada kolapsnya

paru.

Pengumpulan udara, cairan atau substansi lain di dalam rongga paru dapat

mengganggu fungsi kardiopulmonal dan bahkan menyebabkan paru kolaps. Substansi

patologik yang terkumpul dalam rongga pleura dapat berupa fibrin, bekuan darah,

cairan(cairan serous, darah, pus) dan gas. Tindakan pembedahan pada dada hampir selalu

menyebabkan pneumotoraks. Udara dan cairan yang terkumpul dalam rongga intrapleura

dapat membatasi ekspansi paru dan mengurangi pertukaran gas.

Setelah tindakan operasi, perlu mengevakuasi dan mempertahankan tekanan negative

dalam ruangan pleura. Dengan demikian selama dan segera setelah pembedahan toraks,

kateter dada diletakkan secara strategis pada ruangan pleura, dijahit pada kulit dan

dihubungkan dengan alat drainase untuk mengeluarkan sisa udara atau cairan dari ruangan

pleura maupun mediastinum. WSD merupakan pipa khusus yang dimasukkan kerongga

pleura dengan perantaraan trokar atau klem penjepit bedah.

Pada trauma toraks WSD dapat berarti:

35
1. Diagnostik : menentukan perdarahan dari pembuluh darah besar atau kecil, sehingga

dapat ditentukan perlu operasi torakotomi atau tidak, sebelum penderita jatuh dalam

shok.

2. Terapi : Mengeluarkan darah,cairan atau udara yang terkumpul di rongga pleura.

Mengembalikan tekanan rongga pleura sehingga "mechanic of breathing", dapat

kembali seperti yang seharusnya.

3. Preventive : Mengeluarkan udara atau darah yang masuk ke rongga pleura sehingga

"mechanic of breathing" tetap baik.

Penyulit pemasangan WSD adalah perdarahan dan infeksi atau super infeksi. Oleh karena itu

pada pemasangan WSD harus diperhatikan anatomi pembuluh darah interkostalis dan harus

diperhatikan sterilitas.

Indikasi pemasangan WSD :

1. Hematotoraks

2. Pneumotoraks

Indikasi pemasangan WSD pada pneumotoraks karena trauma tajam atau trauma tembus

toraks :

1. sesak nafas atau gangguan nafas

2. bila gambaran udara pada foto toraks lebih dari seperempat rongga torak sebelah luar

3. bila ada pneumotorak bilateral

4. bila ada tension pneumotorak setelah dipunksi

5. bila ada haemotoraks setelah dipunksi

6. bila pneumotoraks yang tadinya konservatif pada pemantauan selanjutnya ada

perburukan

Macam-macam WSD :

1. Single Bottle Water Seal System

36
Ujung akhir pipa drainase dari dada pasien dihubungkan ke dalam satu botol yang

memungkinkan udara dan cairan mengalir dari rongga pleura tetapi tidak mengijinkan udara

maupun cairan kembali ke dalam rongga dada. Secara fungsional, drainase tergantung pada

gaya gravitasi dan mekanisme pernafasan, oleh karena itu botol harus diletakkan lebih

rendah. Ketika jumlah cairan di dalam botol meningkat, udara dan cairan akan menjadi lebih

sulit keluar dari rongga dada, dengan demikian memerlukan suction untuk mengeluarkannya.

Sistem satu botol digunakan pada kasus pneumothoraks sederhana sehingga hanya

membutuhkan gaya gravitasi saja untuk mengeluarkan isi pleura. Water seal dan penampung

drainage digabung pada satu botol dengan menggunakan katup udara. Katup udara digunakan

untuk mencegah penambahan tekanan dalam botol yang dapat menghambat pengeluaran

cairan atau udara dari rongga pleura. Karena hanya menggunakan satu botol yang perlu

diingat adalah penambahan isi cairan botol dapat mengurangi daya hisap botol sehingga

cairan atau udara pada rongga intrapleura tidak dapat dikeluarkan14.

2. Two Bottle System

System ini terdiri dari botol water-seal ditambah botol penampung cairan. Drainase

sama dengan system satu botol, kecuali ketika cairan pleura terkumpul, underwater seal

system tidak terpengaruh oleh volume drainase. Sistem dua botol menggunakan dua botol

yang masing-masing berfungsi sebagai water seal dan penampung. Botol pertama adalah

37
penampung drainage yang berhubungan langsung dengan klien dan botol kedua berfungsi

sebagai water seal yang dapat mencegan peningkatan tekanan dalam penampung sehingga

drainage dada dapat dikeluarkan secara optimal. Dengan sistem ini jumlah drainage dapat

diukur secara tepat.

3. Three Bottle System

Pada system ini ada penambahan botol ketiga yaitu untuk mengontrol jumlah cairan

suction yang digunakan. Sistem tiga botol menggunakan 3 botol yang masing-masing

berfungsi sebagai penampung, "water seal" dan pengatur; yang mengatur tekanan penghisap.

Jika drainage yang ingin, dikeluarkan cukup banyak biasanya digunakan mesin penghisap

(suction) dengan tekanan sebesar 20 cmH20 untuk mempermudah pengeluaran. Karena

dengan mesin penghisap dapat diatur tekanan yang dibutuhkan untuk mengeluarkan isi

pleura. Botol pertama berfungsi sebagai tempat penampungan keluaran dari paru-paru dan

tidak mempengaruhi botol "water seal". Udara dapat keluar dari rongga intrapelura akibat

tekanan dalam bbtol pertama yang merupakan sumber-vacuum. Botol kedua berfungsi

sebagai "water seal" yang mencegah udara memasuki rongga pleura. Botol ketiga merupakan

pengatur hisapan. Botol tersebut merupakan botol tertutup yang mempunyai katup atmosferik

atau tabung manometer yang berfungsi untuk mengatur dan mongendalikan mesin penghisap

yang digunakan.

38
Tempat insersi slang WSD :

untuk pengeluaran udara dilakukan pada intercostals 2-3 garis midclavicula untuk

pengeluaran cairan dilakukan pada intercostals 7-8-9 mid aksilaris line/dorsal axillar line

Teknik pemasangan :

1. Bila mungkin penderita dalam posisi duduk. Bila tidak mungkin setengah duduk, bila tidak

mungkin dapat juga penderita tiduran dengan sedikit miring ke sisi yang sehat.

2. Ditentukan tempat untuk pemasangan WSD. Bila kanan sela iga (s.i) VII atau VIII, kalau

kiri di s.i VIII atau IX linea aksilaris posterior atau kira-kira sama tinggi dengan sela iga dari

angulus inferius skapulae. Bila di dada bagian depan dipilih s.i II di garis midklavikuler

kanan atau kiri.

3. Ditentukan kira-kira tebal dinding toraks.

4. Secara steril diberi tanda pada slang WSD dari lobang terakhir slang WSD tebal dinding

toraks (misalnya dengan ikatan benang).

39
C. Evaluasi Paru

1. Dengan WSD diharapkan paru mengembang

2. Kontrol pengembangan paru dengan pemeriksaan fisik dan radiologik.

3. Latihan nafas ekpirasi dan inspirasi yang dalam.

4. Latihan batuk yang efisien.

5. Pemberian antibiotika

6. Expectorant

Dinyatakan berhasil, bila:

1. Paru sudah mengembang penuh pada pemeriksaan fisik atau radiologik.

2. Darah cairan tidak keluar dari WSD.

3. Tidak ada pus dari slang WSD (tidak ada empyema).

Dikatakan baik dan dapat dipulangkan:

1. Keadaan umum memungkinkan

2. Pada kontrol 1 -2 hari pasca pengangkatan WSD paru tetap mengembang penuh

3. Tanda-tanda infeksi/empiema tidak ada

Komplikasi Pemasangan WSD:

1. Komplikasi primer : perdarahan, edema paru, tension pneumothoraks, atrial aritmia

2. Komplikasi sekunder : infeksi, emfiema

40
41
BAB 4

KESIMPULAN

4.1 KESIMPULAN

Trauma Thoraks adalah suatu kondisi dimana terjadinya benturan baik tumpul

maupun tajam pada dada atau dinding thorax, yang menyebabkan abnormalitas (bentuk) pada

rangka thoraks. Perubahan bentuk pada thorax akibat trauma dapat menyebabkan gangguan

fungsi atau cedera pada organ bagian dalam rongga thorax seperti jantung dan paru-paru,

sehingga dapat terjadi beberapa kondisi patologis traumatik seperti Haematothorax,

Pneumothorax, Tamponade Jantung, Fraktur costae , flail chest , fraktur clavikula, dsb.

4.2 Saran

1. Memberikan informasi secara lengkap kepada pasien dan keluarga tentang penyakit

yang diderita.

2. Memberikan informasi kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan

dilakukan.

3. Memberikan informasi tentang komplikasi dari penyakit maupun tindakan yang

dilakukan kepada pasien dan keluarga.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Bill F L, Walter. (2008). Trauma dalam : Brunicardi C, peyunting Schwartz

Principles of Surgery. New York : McGraw Hill.

2. David A Fullerton, Frederick L.Grover (2005) , Pathophysiology and initial

management of Thorac Injury In Thoracic Surgery, 1523-1534,

3. Dolan, B., Holt, L., 2008. Trauma Life Support. In: Holt, L., ed. Accident and

4. Donlan RM (2002). Biofilms: Microbial life in surfaces. Emerg Infect Dis (serial

Emergency. 2th ed. Philadelphia: Elseiver.

5. Guyton & Hall , 2007, Fisiologi Manusia: Ventilasi Paru, Pengangkutan Oksigen dan

Karbon Dioksida, Pengaturan Pernafasan, Jakarta: EGC, hal 495-506

6. Hafen, B.Q., Ph.D., Karren, K.J., Ph.D. 1992. Patient Assessment. In: Hafen, B.Q.,

Ph.D.,

7. Karren, K.J., Ph.D., ed. Prehospital Emergency Care and Crisis Intervention. 4 th ed.

New Jersey: Prentice Hall.

8. Hagberg, C., Georgi, R., Krier, 2005. Complications of Managing the Aiway. In:

Best Practise and Research Clinical Anaesthesiology. Elsevier 19 (4): 641. Available

from:http://clinicaldepartments.musc.edu/anesthesia/education/medicalstudent/outline

/airway%20complications.pdf. [Accesed 17 april 2012].

9. Jaber, B. L(2005). Chest Tube Thoracostomy and complication, Am J Respir Crit

Care Med Vol 170. P3-P4.

10. Jean Deslauriers (2005), Empyema And Bronchopleural Fistel. In Thoracic Surgery.

1017-1025

11. Kukuh B. Rachmad (2002). Penanganan Trauma Toraks. Pendidikan berkelanjutan

untuk Ahli Bedah, Jakarta, 10-84,

43
12. Olgac et al (2006), Antibiotics Are Not needed during tube thoracostomy for

spontaneous pneumothorax; an observational study, Journal of cardiothoracic surgery,

1:43,online) 2002 Sep;8(9):(21screens). Available from:

http://www.medscape.com/viewarticle/441355

13. Price dan Wilson,2006, Pola Obtruktif Pada Penyakit

Pernafasan,Jakarta,EGC,Pp.736-759

14. Saryono ,2012 . Laboratorium Keterampilan Medik PPD UNSOED , Modul Skill Lab

Jilid 1.

15. Sitohang. R., 2012. Aplikasi System ABCD pada Primary Survey Pasien Trauma.

Dalam: Hakim, A.A., et al. Modul Keterampilan klinik. Medan: Fakultas Kedokteran

Universitas Sumatera Utara, 3-7.

16. Sjamsoehidajat R (2010), Trauma Toraks, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah , Pusat

Penerbitan Buku Kedokteran, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Hal: 403-

518.

17. Smith, T., Davidson, S., 2007. Dokter di Rumah Anda. Jakarta: Dian Rakyat, 290-296.

18. Walls, M.H., 2010. Airway. In: Walls, M.H., ed. Rosen’s Emergency Medicine

Concept and Clinical practice. 7th ed. Philadelphia: Elsevier, 28-47.

44

You might also like