You are on page 1of 23

HUKUM PEMBUKTIAN DALAM

HUKUM PIDANA DI INDONESIA

DISUSUN OLEH :
NAMA : VIVI RAHAYU SIANTURI
NPM :
DOSEN PENGAMPU :
MATA KULIAH : HUKUM PEMBUKTIAN

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM - UNIVERSITAS PRIMA INDONESIA
SUMATERA UTARA
2018
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan RahmatNya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan
tugas mata kuliah Hukum Pembuktian ini yang berjudul “Hukum Pembuktian Dalam
Hukum Pidana di Indonesia”. Saya berterima kasih kepada Bapak dosen yang
bersangkutan yang sudah memberikan bimbingannya dan pihak-pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.

Saya juga menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu saya minta maaf jika ada kesalahan dalam
penulisan dan saya juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan tugas ini.

Akhir kata saya ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan bisa
menambah pengetahuan bagi pembaca.

Medan, Maret 2018

Penulis
Vivi Rahayu Sianturi

Hukum Pembuktian i
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………….…. i

DAFTAR ISI ……………………………………….……. ii

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………….. 1

1.1. Latar Belakang .............................………………………..….……. 1


1.2. Rumusan Masalah ...........……………………………...…………. 2
1.3. Tujuan Pembahasan ...................................................................... 3
1.4. Kerangka Teori dan Konseptual ...................................................... 3

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN ....………………………….. 5

2.1. Teori Hukum Pembuktian Pidana di Indonesia ............................... 5


Ad.1. Keterangan Saksi ................................................................... 6
Ad.2. Keterangan Ahli .................................................................... 10
Ad.3. Surat ...................................................................................... 10
Ad. 4. Petunjuk ............................................................................... 11
Ad. 5. Keterangan Terdakwa .......................................................... 11
2.2. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-undang ....................... 17
a. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-undang Secara
Negatif ................................................................................... 12
b. Teori Hukum Pembuktian Menurut Undang-undang Secara
Positif ................................................................................... 14
2.3. Konsep Fundamental Terkait Pembuktian .................................. 17

BAB III PENUTUP ................................................................................. 19

3.1. Kesimpulan .................................................................................. 19

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………...........…… 20

Hukum Pembuktian ii
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Pembuktian menjadi
substansi yang begitu penting dalam proses pengadilan, karena dalam pembuktianlah
seseorang dapat dilihat secara kebenaran materiil maupun formil apakah seseorang itu
benar-benar bersalah atau tidak. Di dalam pembutkian juga sangat dibutuhkan
kebijaksanaan dari Majelis Hakim untuk menjadi dasar putusan bersalah atau tidaknya
seorang terdakwa. Seringkali permasalahan hukum yang dihadapi berkaitan dengan
pembuktian, seperti kurangnya alat bukti, keyakinan hakim, atau mungkin kesalahan-
kesalahan dalam melihat alat bukti yang dihadirkan. Keyakinan hakim juga menjadi salah
unsur terpenting di dalam pembuktian.
Di dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjamahkan dalam
Bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, yaitu evidence dan proof. Evidence, berarti informasi
yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian
atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara proof berarti suatu kata yang memiliki
berbagai arti. Namun, dalam hukum proof mengacu kepada hasil suatu proses evaluasi dan
menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk
mengacu kepada proses itu sendiri.2
Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara
perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah
suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di
pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan
itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.3

__________________________

1
Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: PT Citra Aditya
Bakti. 2012. hlm. 1
2
Eddy Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga. 2012. hlm. 2
3
Munir Fuady, Loc. Cit., hlm.1-2

Hukum Pembuktian 1
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Sesuai dengan satu kesatuan dari pertanggungjawaban pidana dan kesalahan dari
4
sebuah perbuatan pidana (strafbaarfeit) menurut Prof. Moeljatno , semua hal ini dapat
terlihat dari dalam pembuktian suatu perkara di pengadilan.Apakah seseorang benar-benar
terpenuhi unsur melawan hukumnya serta kesalahan (feit) dalam perbuatannya sehingga
dapat dikatakan sebagai strafbaarfeit.
Tentu di dalam hukum pembuktian ada serangkaian prosedur atau tata cara untuk
melakukannya untuk usaha penuntut umum dalam membuktikan sebuah perkara bahwa
terdakwa benar-benar bersalah. Sebaliknya, penasehat hukum terdakwa akan berusaha
untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah dengan membuktikan tidak
terpenuhinya unsur-unsur yang didakwakan.
Tata cara itu meliputi; apa saja alat yang dapat dikatakan sebagai alat bukti sehingga
dapat memperkuat pembuktian serta bagaimana cara menentukan sah atau tidaknya alat
bukti tersebut yang diakhiri dengan keyakinan hakim untuk memutus.
Mengingat hukum pidana adalah hukum yang dapat mencerminkan bagaimana kondisi
masyarakat di dalam suatu negara, sesuai pendapat Profesor Satjipto Rahardjo. Maka
penting hukum pidana dapat berlangsung secara tepat sehingga bermanfaat bagi
masyarakatnya.
Melihat hukum pidana yang begitu penting maka perlu dilihat dalam tata beracaranya,
yang mana salah satu unsur terpenting dalam membuktikan seseorang bersalah atau
tidaknya adalah dalam pembuktian. Hal ini terlihat demikian pentingnya hukum
pembuktian. Sumber data yang kami gunakan adalah referensi buku, jurnal dan artikel,
laporan resmi dan media internet. Dengan sumber data yang saya gunakan ini, saya
mencoba untuk membahas lebih dalam bagaimana hukum pembuktian dalam pidana yang
berlaku di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan topik tentang “Hukum Pembuktian dalam Hukum Pidana di Indonesia”,
beberapa hal yang perlu diungkap dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Apa teori hukum pembuktian yang dianut di dalam Hukum Acara Pidana
Indonesia?
2. Apa teori hukum pembuktian menurut undang-undang ?
_________________________
4
Prof. Moeljatno. Asas-asas hukum pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2015. hlm. 62

Hukum Pembuktian 2
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

3. Apa konsep yang fundamental dari suatu pembuktian?

1.3. Tujuan Pembahasan


Berkenaan dengan permasalahan pada 1.2 di atas, maka tujuan dari peneltian ini
adalah:
1. ingin menjelaskan mengenai teori hukum pembuktian yang dipakai dalam Hukum
Acara Pidana Indonesia;
2. Ingin menjelaskan tentang teori hukum pembuktian menurut undang-undang
3. Ingin menjelaskan tentang konsep fundamental pada pembuktian;

1.4. Kerangka Teori dan Konseptual


Hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara perdata, acara pidana,
maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah,
dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah suatu fakta atau
pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang
diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak
seperti yang dinyatakan itu. (Fuady, 2012:1)
Suatu bukti haruslah dapat diterima atau admisisible. Jika bukti sudah diterima
biasanya sudah dengan sendirinya relevan. (Best, 1994:1)
Exclusionary rule sebagai prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti
yang diperoleh secara melawan hukum. (Gerstenfeld, 2008:348).
Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dapat dievaluasi oleh hakim.
(Hiariej, 2012:12)
Alat bukti yang sah ialah (Pasal 184 ayat (1) KUHAP): (Hamzah, 2014:306)
1. Keterangan Saksi
2. Keterangan Ahli
3. Surat
4. Petunjuk
5. Keterangan Terdakwa
Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia denganr sendiri, lihat

Hukum Pembuktian 3
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Hamzah,
2014:233).
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan. (Hamzah, 2014:233).
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,baik
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (Hiariej, 2012:109).
Cross Examination (Fuady, 2012:110) adalah suatu proses pemeriksaan saksi di
pengadilan, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana, atau proses
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa, yang dengan menggunakan cara tertentu advokat
atau jaksa bertanya sehingga karenanya diharapkan dapat dikorek suatu keterangan yang
benar dari seorang saksi, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saksi
tersebut umumnya merupakan pertanyaan yang mengontrol dan menekan (leading
question) yang dilakukan dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak ada kesempatan
bagi saksi untuk berbohong atau merekayasa jawaban secara tidak benar.
Direct examination (Fuady, 2012:110) adalah eksaminasi langsung atau pertanyaan
yang diajukan kepada saksi dari pihak sendiri atau diajukan oleh advokat kepada
teradakwa yang merupakan kliennya sendiri (direct examination).
Unus testis nullus testis adalah satu saksi bukan saksi. (Fuady, 2012:128)
R. Soesilo menyatakan bahwa kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang lain atau
hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan mengalami
sendiri (testimonium de auditu) saja tak cukup. (Hallaludin, 9)

Hukum Pembuktian 4
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1. Teori Hukum Pembuktian Pidana di Indonesia
Hukum pembuktian merupakan hukum yang penting karena pembuktian merupakan
unsur terpenting dalam hukum acara sehingga dapat membuktikan seseorang bersalah atau
bebas maupun lepas.
Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara
perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah
suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di
pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan
itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.5
Di dalam hukum pembuktian pidana Indonesia berlaku teori yang dikenal sebagai
negative wettelijk stelsel bewisjtheory. Ini tertuang di dalam pasal 183 KUHAP yang
berarti dalam pembuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti ditambah dengan keyakinan
hakim6 . Letak keyakinan hakim harus sesudah dari alat bukti, bukan keyakinan hakim
yang terlebih dahulu. Mengapa? Karena jika keyakinan hakim timbul sebelum adanya alat
bukti maka hakim akan berusaha mencari-cari alasan untuk dapat memutus suatu perkara
tersebut. Apabila demikian, maka Hakim sudah memiliki keyakinan akan suatu
keputusannya terlebih dahulu bahkan sebelum melihat adanya pembuktian terhadap
perkara, maka hal ini akan jelas menimbulkan sifat subyektifitas dari hakim.
Di dalam pembuktian, dikenal ada dua bukti yaitu alat bukti dan barang bukti. Barang
bukti adalah barang yang dapat dihadirkan atau dapat dijadikan pelengkap namun sifatnya
belumlah jelas tanpa adanya keterangan dari saksi, ahli maupun terdakwa, sehingga barang
bukti dapat diartikan adalah barang yang belum dapat terlihat kejelasan atau masih
membutuhkan penjelasan dari pihak-pihak terkait untuk terlihat kejelasannya dalam
perkara. Sedangkan, alat bukti adalah alat yang digunakan untuk dapat membuktikan
sehingga sifatnya sudah jelas.
_________________________

5
Fuady Munir, Op.Cit., hlm.1-2
6
Prof. Andi Hamzah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta, 2014. hlm. 306

Hukum Pembuktian 5
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Sering terjadi permasalahan dalam menentukan yang mana barang bukti dan alat bukti
dalam suatu perkara biasanya berkenaan dengan alat bukti surat. Dalam hal demikian, yang
menentukan barang itu alat bukti surat atau barang bukti adalah kewenangan hakim, dalam
praktik biasanya apa yang dikatakan alat bukti oleh penuntut umum belum tentu demikian
juga yang dilihat hakim.
Alat bukti yang sah tertuang di dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, antara
lain:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.7

Ad. 1. Keterangan Saksi


Keterangan Saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.8
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), persyaratan yang
harus dipenuhi agar suatu keterangan saksi dapat sebagai alat bukti, adalah sebagai
berikut9:
1. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis) sehingga minimal saksi adalah dua
orang. Tujuannya agar dapat dipastikan satu sama lain. Ketarangan satu saksi baru
dapat dijadikan alat bukti jika dikuatkan alat bukti lain atau dikuatkan oleh saksi
lain untuk peristiwa yang lain, tetapi saling berkaitan oleh suatu peristiwa.
2. Saksi mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri (Pasal 1 angka 27
KUHAP). Oleh karena itu, saksi testimonium de auditu (Pasal 185 ayat (5)
KUHAP) tidak dapat dijadikan alat bukti setidak-tidaknya tidak dijadikan alat
bukti secara langsung. Jadi saksi de auditu tidak dapat menjadi alat bukti secara
penuh dan langsung.
_________________________
7
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 306
8
Ibid., hlm. 233
9
Munir Fuady, Op.Cit. hlm. 128

Hukum Pembuktian 6
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

3. Pendapat atau rekaan semata-mata dari saksi (testimonium de auditu) bukan alat
bukti.
4. Saksi harus disumpah (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). Keterangan saksi yang tidak
disumpah bukanlah merupakan alat bukti penuh, melainkan merupakan alat bukti
tambahan yang memperkuat alat bukti lain. Apabila saksi berbohong saksi dapat
dikenakan sumpah palsu yang merupakan tindakan pidana dari pasal 242 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
5. Saksi tidak boleh memiliki hubungan sedarah, semenda sampai tingkat ketiga
dengan majelis hakim, penuntut umum, panitera, dan juga terdakwa. Namun, jika
memang saksi tidak memenuhi kriteria ini dapat dihadirkan tanpa disumpah.
Keterangan saksi yang demikian hanya bersifat sebagai tambahan untuk alat bukti
petunjuk dan menambah keyakinan hakim.

Berikut merupakan hal-hal yang tidak diperkenankan sebagai saksi, antara lain:
1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang tidak waras pikirannya (dalam pengampuan) atau terbelakang
mental;
3. Orang yang sedang mabuk akibat minuman keras, narkotika, dan sebagainya;
4. Orang yang berpengarai sangat jelek, seperti sering mencuri, membunuh, suka
menipu, dan sebagainya.10

Keempat kriteria diatas sesuai dengan pasal 185 ayat (6) huruf d bahwa: “Dalam
menilai kebenaran dari keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.”11

Jenis- jenis saksi:


A. Saksi Korban
Apabila melihat dari konteks saksi korban berdasarkan pengertian dari katakata maka
jelas saksi korban adalah saksi yang merupakan korban dari suatu tindak pidana yang
_________________________

10
Munir Fuady, Op.Cit hlm. 128-129
11
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 307

Hukum Pembuktian 7
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

dilakukan oleh pelaku. Berbeda dengan hukum acara perdata dimana korban menjadi
penggugat terhadap seseorang yang dianggap melakukan pelanggaran. Di sini korban
diwakili oleh pengacara negara atau yang disebut jaksa penuntut umum di persidangan.
Saksi korban merupakan saksi yang menjadi korban itu sendiri atas perbuatan yang
telah dilakukan pelaku yang diduga sebagai tindak pidana. Sehingga penghadirannya
sebagai saksi untuk memberikan keterangan untuk memenuhi alat bukti. Namun,
penyebutan atau pemanggilan terhadapnya dikenal sebagai saksi korban.

B. Saksi Mahkota
Sekarang ini, sering dikenal istilah whistle blower atau saksi mahkota. Walaupun
sebetulnya KUHAP kita tidak mengenal adanya hal demikian, namun hal itu sering
digunakan di dalam praktik pengadilan. Apa yang dimaksud dengan saksi mahkota atau
whistle blower? Whistle blower atau saksi mahkota adalah saksi yang juga merupakan
tersangka atau terdakwa yang karena perbuatannya disertai bukti permulaan yang cukup
dalam perkara yang sama karena adanya penyertaan (deelneming).
Biasanya saksi mahkota ini digunakan sebagai saksi yang memberikan keterangan
pada persidangan yang mana terdakwa merupakan pelaku penyertaan terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh saksi mahkota ini juga. Biasanya ini menjadi upaya penuntut
umum dalam hal melakukan splitsing (pemisahan berkas perkara) untuk memperkuat bukti
yang ada.
Namun, ada pertentangan terhadap hal ini. Hal ini pada umumnya menunjukkan
bahwa penuntut umum kekurangan alat bukti sehingga menggunakan upaya ini untuk
mencukupi alat buktinya. Ini juga dapat bertentangan dengan asas non-self incrimination
(yang berarti memiliki hak ingkar) yang dimiliki seorang terdakwa, karena saksi ini juga
merupakan terdakwa dalam berkas terpisah.
12
Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/1989 juga memperkuat untuk adanya
penghadiran saksi mahkota. Pada putusan tersebut, saksi mahkota boleh dihadirkan asalkan
kedudukannya tetap menjadi seorang saksi bukan terdakwa maka pertanyaan yang
diajukan kepadanya tidak boleh menjerat dirinya sendiri.
_________________________

12
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaan-
tersangkasebagai-saksi-di-persidangan

Hukum Pembuktian 8
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

C. Saksi Memberatkan
Saksi yang memberatkan adalah saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum.
Penghadiran saksi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa terdakwa benar-benar bersalah.
Sehingga saksi ini berfungsi untuk memberatkan posisi terdakwa di dalam persidangan.
Saksi ini menunjukkan biasanya dihadirkan penuntut umum untuk menunjukkan
kesalahan-kesalahan terdakwa.

D. Saksi Meringankan
Saksi yang meringankan (ade charge) adalah saksi yang dihadirkan oleh pihak
terdakwa atau penasihat hukumnya. Saksi ini bertujuan memberikan fakta-fakta yang
meringankan posisi terdakwa.

E. Saksi Yang Tidak di Sumpah


Saksi yang tidak disumpah ini sesuai dengan pasal 171 KUHAP bahwa ada dua syarat
saksi untuk dapat diperiksa di pengadilan tanpa disumpah, yaitu:
1. Saksi yang belum mencapai umur lima belas tahun dan belum pernah kawin;
2. Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa yang kadang-kadang ingatannya baik
kembali.13
Apabila keterangan dari saksi yang tidak disumpah ini meskipun bersesuaian antara
saksi yang tidak disumpah belum dapat dikatakan sebagai alat bukti. Dapat dikatakan
sebagai alat bukti ketika keterangan yang diberikan bersesuaian dengan saksi yang
disumpah (Pasal 185 ayat (7)).14

F. Saksi Yang Berhubungan Darah atau Semenda Sampai Tingkat Ketiga dengan
Terdakwa
Hakim di dalam pengadilan akan menanyakan setiap saksi apakah memiliki hubungan
darah, semenda sampai tingkat ketiga dengan terdakwa. Apabila memang memilikinya
maka saksi itu tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti. Namun, saksi ini tetap boleh
memberikan keterangan hanya saja keterangan yang diberikan untuk membantu
memberikan petunjuk serta memberi keyakinan hakim.
____________________
13
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 301
14
Ibid. hlm. 307

Hukum Pembuktian 9
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Ad.2. Keterangan Ahli


Keterangan ahli atau expert testimony menurut Arthur Best adalah kesaksian yang
didasarkan pengalaman pada umumnya dan pengetahuan yang didasarkan pada
keahliannya terhadap fakta-fakta suatu kasus. Kesaksian ahli dibutuhkan ketika
penyelesaian sengketa menyangkut informasi atau analisis terhadap suatu pengetahuan
untuk meyakinkan juri atau hakim di persidangan.15
Namun, di dalam KUHAP Indonesia Pasal 1 angka 28 sendiri juga memberikan
penjelasan definisi dari keterangan ahli, yaitu keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan.16
KUHAP Indonesia tidak mengatur tentang bagaimana seseorang dapat dikatakan
sebagai ahli serta apa persyaratannya. Pada praktiknya, biasanya keweangan itu diserahkan
kepada Hakim untuk melihat apakah ahli memang benar-benar seorang ahli.
Ahli dihadirkan oleh Penuntut Umum atau Penasihat Hukum Terdakwa untuk
memberikan keterangan di depan pengadilan.
Penghadiran ahli sebelum memberikan keterangannya juga wajib disumpah sama
halnya dengan saksi yang disumpah untuk memberikan keterangan. Tetapi, pada ahli ada
perbedaan letak sumpah apabila saksi menggunakan kata-kata “mendengar, melihat,
mengalami sendiri” maka ahli menggunakan “memberikan keterangan sesuai dengan
keilmuan dan keahlian yang saya miliki”.
Apabila ahli memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan keahlian atau
keilmuannya maka ahli pun dapat dikenakan sumpah palsu sama dengan saksi sesuai pasal
242 ayat (1) KUHP.

Ad. 3. Surat
Alat bukti yang dikatakan sebagai alat bukti surat atau dokumen termasukn juga di
dalamnya dokumen elektronik. Di dalam perkara pidana, surat dan alat bukti tertulis
lainnya hanya menjadi bukti jika berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan.
____________________

15
Arthur Best, Evidence: Examples and Explanations. Boston-New-York-Toronto-London:
Little, Brown and Company. 1994. hlm. 157
16
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 233

Hukum Pembuktian 10
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Meskipun demikian, kebenaran isi surat dan alat bukti tertulis lainnya, termasuk dokumen
elektronik, haruslah juga dibuktikan.17
Kemudian, untuk dapat dikatakan sebagai alat bukti surat selain relevan harus
berkesesuaian dengan hukum atau yang berarti tidak boleh mendapatkannya dengan cara
melawan hukum atau yang dikenal sebagai exclusionary rules.
Selain itu, pembuktian dokumen sebagai bukti surat terletak pada keasliannya, baru
kemudian isi dokumen tersebut.18

Ad. 4. Petunjuk
Petunjuk adalah alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri, karena kehadiran alat bukti
ini timbul dari pemikiran hakim terhadap segala keterkaitan antara pembuktian-
pembuktian yang dilakukan. Dengan kata lain, alat bukti petunjuk adalah hasil dari
pemikiran hakim atas dasar alat bukti lain.
Segala relevansi atau keterkaitan antara bukti yang satu dengan yang lain akan
menjadi suatu kesatuan dari missing pieces atau bagian yang hilang yang telah menyatu
menjadi petunjuk bagi hakim.
Kekuatan petunjuk adalah tergantung bagaimana penuntut umum dapat mekorelasikan
antara bukti-bukti yang ada supaya dapat menunjukkan petunjuk bahwa terdakwa yang
bersalah atas suatu perbuatannya yang dilakukannya.

Ad. 5. Keterangan Terdakwa


Selain keterangan-keterangan yang diberikan oleh saksi maupun ahli, terdakwa pun
memiliki hak yang sama untuk dapat memberikan keterangan untuk dapat membela dirinya
sendiri di depan pengadilan.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, terdakwa memiliki hak untuk ingkar atau
yang disebut non-self incrimination sesuai dengan pasal 175 KUHAP. Bahwa terdakwa
memiliki hak untuk tidak menjawab maupun berbohong dalam memberikan
keterangannya. Untuk kebohongan itu terdakwa tidak dapat dikenakan sanksi pidana
apapun, karena ini memang merupakan salah satu bentuk perlindungan hak yang dimiliki
____________________

17
Eddy Hiariej. Op. Cit. hlm. 69
18
Eddy Hiariej, Op. Cit., hlm 72

Hukum Pembuktian 11
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

oleh terdakwa.
Secara psikologis, manusia cenderung akan menutup-nutupi kesalahannya dengan
berbagai kebohongan. Demikian pula hal yang diterapkan dalam hukum acara pidana
tepatnya maka terdakwa pun diberikan hak untuk mengingkar.

2.2. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang


a. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif
1. Kesalahan Terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah
Apabila hanya satu (1) alat bukti saja dengan demikian asas “minimum
pembuktian” tidak tercapai sehimgga terdakwa tidak dapat dijatuhkan pidana. Aspek ini
dapat dilihat misalnya pada PutusanMahkamah Agung RI No. 1704 K/Pid/1986 tanggal
7 januari 198719, bahwa pada pokoknya putusan yudex facti di batalkan karena hanya
didasarkan alat bukti berupa petunjuk semata-matatanpa dukungan oleh alat-alatbukti
lainnya,sehingga tidak memenuhi syarat-syarat pembuktian yang mengharuskan hakim
untuk menjatuhkan pidana berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah
seperti yang dikehendaki oleh pasal 183 KUHAP yang dimaksud untuk menjamin
kebenaran,keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Selain itu,karena terdakwa
telah memungkiri semua dakwaan,sedangkan bukti para saksi tidak satu pun yang
mendukung kebenaran dakwaan,dakwaan harus dinyatakan harus dinyatakan tidak
terbukti.sehingga alasan ini,Mahkamah Agung RI memberikan putusan bebas kepada
terdakwa serta memulihkan hak terdakwa dalam kedudukan,harkat serta martabatnya.

2. Kesalahan Terdakwa haruslah terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat


bukti yang sah.
Berdasarkan aspek ini dapat dikonsklusikan bahwaadanya “dua alat bukti” yang
sah tersebut adalah belum cukup bagi hukum untuk menjatuhkan tindak pidana terhadap
terdakwa apabila hakim tidak memperoleh “keyakinan”bahwa tindak pidana
tersebutmemqang benar-benar terjadi dan bahwa terdakwa telah bersalah
melakukantindak pidana tersebut.
____________________

19
Majalah Varia Peradilan, No. 19, Penerbit : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), April,
1987, hlm. 9-36
Hukum Pembuktian 12
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Kedua, terhadap penerapan teori hukum pembuktianyang terjadi dalam praktik


peradilan tampaknya akan mengarah kepada teori hukum pembuktian menurut undang-
undang secara positif. Hal ini karena aspek “keyakinan” pada pasal 183 KUHAP Tidak
diterapkan secara limitatif.
Bahwa apabila dalam suatu putusan hakim pada “diktu/ammar” tidak
dicantumkan rumusan keyakinan nyayang berupa “secara sah dan
menyakinkan”,kelalaian tersebut tidak menyebabkan batal demi hukum. Akan tetapi,
praktiknya dalam tinmgkat banding atau kasasi hanya akan “diperbaiki” dengan
penambahan kata-kata “secara sah dan menyakinkan” dalam ammar/diktum putusan.20
M .Yahya Harahap menegaskan,bahwa : “Pada lazimnya jika kesalahan benar-
benar terbukti menurut ketentuan cara lewat alat-alat bukti yang sahmenurut undang-
undan,keterbuktian kesalahan tersebut akan membantu dan mendorong hati nurani
hakim untuk menyakini kesalahan terdakwa. Apalagi seorang hakim yang memiliki
sikap hati-hati dan bermoral baik.tidak mungkin keyakinan nya yang muncul
kepermukaan mendahului keterbuktian kesalahan terdakwa. Akan tetapi, bagi seorang
hakim yang jujurdan waspada prasangkanya baru semakinmembentuk suatu
keyakinan,apabila hal diprasangkainyaitu benar-benar terbukti dipersidangan
berdasarkan ketentuan,caradan dengan alat-alat bukti yang sah menurutundang-
undang.21
Akhirnya dari argumentasi diatas, sudah sebenarnya secara teoritis dan normatif
hukum pembuktian di Indonesia mempergunakan teori hukum pembuktian yang
negatif,tetapi dalam praktikperadilan selintas dan nampak penerapan pasal 183
KUHAPmulai terjadi pergeseran pembuktian pada teori hukum pembuktian menurutu
undang-undang secara positif bahwa unsur “sekurang-kurangnya dua alat bukti”
merupakan aspek dominan,sedangkan segmen “keyakinan hakim” hanyalah bersifat
“unsur pelengkap” karena tanpa adanya aspek tersebut tidak mengakibatkan batalnya

____________________

20
Majalah Varia Keadilan, Thn. VI. No.71, Penerbit : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Agustus, 1991, hlm. 803-804
21
M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II),
penerbut Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, Hal. 868

Hukum Pembuktian 13
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

putusan,dan praktiknya hanya “diperbaiki” dan “ditambah “pada tingkat banding oleh
Pengadilan Tinggi ataupun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI.

b. Teori Hukum Pembuktian menurut Undang-Undang secara Positif


Dalam aspek ini,hakim terikat kepada adigum kalau alat alat bukti ntersebut telah
dipakai sesuai ketentuan undang-undang, hakim mesti menentukan terdakwa
bersalah,walaupun hakim “berkeyakinan”baswa sebenarnya terdakwa tidak bersalah.
Demikian sebaliknya,apabilatidak dapat dipenuhi cara mempergunkan alat bukti
sebagaimana ditetapkan undang-undang,hakimharus menyatakanterdakwa tidak
bersalah walaupun menurut “keyakinannya” sebenarnya terdakwa bersalah.
Dengan demikian, pada esensinya menurut D.simons,sistem atau teori
pembuktianberdasarkan undang-undang secara positif ini berusaha untuk
menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat
menurut peraturan-peraturan pwmbuktian yang keras. 22
Teori ini dianut oleh KUHAP,sebagaimana ternyata dalam ketentuan pasal183
KUHAP . pasal 183 KUHAP berbunyi,sebagai berikut : “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah iya memperoleh keyakinan ia bahwa suatu tindak pidana benar sah
iya memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadidan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
M.Yahya Harahap beramsumsi sebagai berikut: “Pembuktian menurut undang-
undang secara positif,keyakinan hakim tidak ikut ambil bagiandalam membuktikan
kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini,tidak ikut berperan menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan
alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikansalah atau tidaknya
terdakwa semata-mata bergantung kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi
syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undang-undang,sudah cukup
menentukan kesalahan terdakwatanpa mempersoalkankeyakinan hakim. Dalam sistem
ini, hakim seolah-olah hakim robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati
nurani.
____________________
22
D. Simons, Beknopte handleiding tot het wwetboekl van Strafvordering, Haarlem, de
Erven F Bohn, 1952, Hal. 114

Hukum Pembuktian 14
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Hati nurani nya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya
terdakwa.
Sistem ini benar-benar menuntut hakim,suatu nkewajiban mencari dan
menemukan salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan
alat-alatbukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan
perkara,hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor
keyakinanya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa
mempercampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh oleh persidangan dengan unsur
subjektif keyakinanya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang
objektif sesuai dengancara dan alat bukti yang sah ,memurut undangf-
undang,merekatidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan
keyakinan hatii nuraninya.23
Ketentuan pasal 184 KUHAP menentukan alat-alat bukti atau kombinasi alat-alat
bukti yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP adalah laindanberbeda dengan alat bukti
dalam HIR.
HIR tidak menyebutkan secara tegas dengan alat bukti minimun yang dikehendaki
oleh undang-undang. Ajaran pembuktian yang dianut HIR tercantum dalam pasal 295
HIR. pada prinsip

c. Teori Hukum Pembuktian menurut Keyakinan Hakim


Pada teori hukum pembuktian berdeasarkan keyakinan hakim, hakim dapat
menjatuhkan putusan berdasarkan “keyakinan” belaka dengan tidak terikat oleh suatu
peraturan (bloot gemeodelijke overtuiging,conviction intime). Dalam peekembangan,lebih
lanjut teori hukun pembuktian berdasarkab keyakinan hakim mempunyai 2 (dua) bentuk
polarisasi,yaitu: “conviction intime”, dan “conviction Raisonce”. Melalui pembuktian
“conviction intime”,kesalahan terdakwa bergantung pada “keyakinan”
belaka,sehinggahakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian, putusan hakim
disini tampak timbul nuansa subjektifnya. Misalnya dalam putusan hakim dapat
berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun dan lain sebagainya sebagaimana
pernah diterapkan dahulu pada praktik pengadilan distrik dan pengadilan kabupaten.

____________________
23
M.Yahya Harahap, Pembuktian Permasalahan dan ..., op.cit, , hlm. 789-799

Hukum Pembuktian 15
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan teori hukum
pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subjektif, yaitu :
“Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah
yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik
dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga pemeriksaan alat-alat bukti ini
diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau
pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang
tertentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman, pada
seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa di dukung
oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa
dan tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa, telah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun
kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat
dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan
terdakwa “tidak terbukti” berdasaralat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa
dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan
hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling menentukan salah atau
tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan
sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
ini.24
Teori hukum pembuktian “Conviction Raisonce” asasnya identik sistem
”Conviction Intime”. Lebih lanjut lagi, pada teori hukum pembuktian “Conviction
Raisonce” keyakinan hakim telah memegang peranan penting untuk menentukan
tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut
dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung
____________________
24
M.Yahya Harahap, Pembuktian Permasalahan dan ...,ibid. , hlm. 799-798

Hukum Pembuktian 16
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan.

2.3. Konsep Fundamental Terkait Pembuktian


Ada empat hal terkait pada konsep pembuktian itu sendiri:
1. Suatu bukti haruslah relevan dengan sengketa atau perkara yang sedang diproses.25 Ini
berarti bahwa suatu bukti baru dikatakan relevan ketika bukti telah bememiliki kaitan
dengan fakta- fakta yang telah ada serta menunjukkan kebenaran pada suatu peristiwa.
2. Suatu bukti haruslah dapat diterima atau admissible. Biasanya suatu bukti yang
26
diterima maka dengan sendirinya relevan. Namun, suatu bukti yang relevan belum
tentu dapat diterima. Misalnya, testimonium de auditu dalam hal ini mungkin saja
keterangan yang diberikan dari seorang yang auditu itu relevan pada fakta- faktanya
sehingga memenuhi poin pertama dari konsep pembuktian, tetapi hal ini tidak dapat
diterima. Primafacie dari bukti yang admissible adalah bukti yang relevan. Dalam
Encyclopedia of Crime and Justice, admissible evidence didefinisikan sebagai lisan,
tulisan, fotografi atau bukti materiil lainnya yang dipertimbangkan oleh hakim untuk
dapat diterima berdasarkan hukum pembuktian.27 Berarti, dapat atau tidak diterimanya
suatu bukti adalah tergantung daripada pertimbangan hakim.
3. Exclusionary rules atau dalam bebearapa literature dikenal dengan istilah exclusionary
28
discretion. Phyllis B. Gerstenfeld mendefiniskan bahwa exclusionary rules sebagai
prinsip hukum yang mensyaratkan tidak diakuinya bukti yang diperoleh secara
melawan hukum. 29

_______________________
25
Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 10
26
Arthur Best, Op. Cit. hlm. 1
27
Joshua Dressler (Ed.), Encyclopedia of Crime & Justice, Second Edition, volume 4:
Wiretapping & Eavesdropping. New York: Gale Group Thomson Learning, 2002. hlm.
1697
28
Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 11
29
Phyllis B. Gerstenfeld, Crime & Punishment In The United States. Pasadena California:
Salem Press, Inc. 2008. hlm. 348

Hukum Pembuktian 17
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

Sehingga ini berarti suatu perolehan alat bukti harus dengan cara yang tidak melawan
hukum. Walaupun suatu alat bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang
penuntut umum, bukti tersebut dapat dikesampingkan30 oleh hakim bilamana
perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan.31 Bagi negara-negara
yang cenderung menggunakan due process model dalam peradilan pidananya yang
mana menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak-hak tersangka,
sehingga sering kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan
praperadilan lantaran alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang
disebut dengan istilah unlawful legal evidence32 sehingga melanggar prinsip
exclusionary rules. Ini terjadi pada teori pembuktian yang menggunakan dasar
bewijsvoering yang berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti
kepada hakim di pengadilan.
33
4. Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dievaluasi oleh hakim. Ini sudah
masuk ke dalam wewenang hakim dimana hakim menggunakan buktibukti tersebut
untuk menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan.

__________________________
30
Ian Dennis, Op. Cit. hlm. 6
31
Eddy Hiariej, Loc. Cit.
32
Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 20
33
Ibid. hlm. 12

Hukum Pembuktian 18
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

BAB III
SIMPULAN
3.1 Simpulan
Hukum pidana di Indonesia menganut teori hukum pembuktian yang dikenal dengan
istilah negative wettelijk stelsel bewijstheorie. Bewijstheorie berarti menitik dasarkan
pembuktian kepada keyakinan hakim sedangkan negative wettelijk menggunakan
sekurang-kurangnya dua alat bukti. Ini tertuang dalam pasal 183 KUHAP sebagai dasar
hukum. Keyakinan hakim disini timbul setelah ada sekurangkurangnya dua alat bukti baru
diikuti oleh keyakinan hakim. Prinsip ini digunakan untuk menghindarkan terjadinya
subyektifitas dari hakim terhadap perkara yang diperiksa olehnya.
Hukum pembuktian juga memiliki konsep yang fundamental terhadap alat bukti yang
dihadirkan dipersidangan. Pertama, relevansi dari alat bukti tersebut. Kedua, dapat atau
tidak diterimanya suatu alat bukti. Ketiga, cara memperoleh dari alat bukti itu sendiri. Dan
yang terakhir, pengevaluasian oleh hakim terhadap alat bukti yang dihadirkan sebagai
dasar hakim menjatuhkan putusan. Hal ini bermanfaat agar suatu alat bukti yang
dihadirkan di persidangan tidak semata-mata dapat dikatakan sebagai alat bukti. Tetapi,
tetap ada prosedur tertentu untuk dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti.

Hukum Pembuktian 19
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Dennis, Ian. 2007. The Law Evidence. 3rd Edition. London: Sweet and Maxwell.
Dressler, Joshua (Edt). 2002. Encyclopedia of Crime & Justice. 2nd Edition. Volume 2:
Delinquent & Criminal Subcultures-Juvenile Justice: Institusions. New York: Gale
Group Thomson Learning.
Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: Pt Citra
Aditya Bakti.
Gerstenfel, Phyllis B. 2008. Crime & Punishment In The United States. Pasadena
California: Salem Press, Inc.
Hiariej, Eddy. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Hodgkinson, Tristram & Mark, James 2007. Expert Evidence: Law and Practice. London:
Sweet and Maxwell.
Mulyadi, Lili. 2007. Asas Pemballikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi. Bandung : PT. Alumni
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian. Bandung : PT. Mandar Maju
http://jurnal.untan.ac. id/index.php/nestor/article/viewFile/7978/7968
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan penggunaan- tersa
ngka-sebagai-saksi-di-persidangan

Hukum Pembuktian 20

You might also like