Professional Documents
Culture Documents
DISUSUN OLEH :
NAMA : VIVI RAHAYU SIANTURI
NPM :
DOSEN PENGAMPU :
MATA KULIAH : HUKUM PEMBUKTIAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan RahmatNya sehingga kami dapat menyusun dan menyelesaikan
tugas mata kuliah Hukum Pembuktian ini yang berjudul “Hukum Pembuktian Dalam
Hukum Pidana di Indonesia”. Saya berterima kasih kepada Bapak dosen yang
bersangkutan yang sudah memberikan bimbingannya dan pihak-pihak yang telah
membantu dalam pembuatan makalah ini.
Saya juga menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih
banyak kekurangan. Oleh karena itu saya minta maaf jika ada kesalahan dalam
penulisan dan saya juga mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
kesempurnaan tugas ini.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih semoga dapat bermanfaat dan bisa
menambah pengetahuan bagi pembaca.
Penulis
Vivi Rahayu Sianturi
Hukum Pembuktian i
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
DAFTAR ISI
Hukum Pembuktian ii
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1
Masalah hukum adalah masalah pembuktian di pengadilan. Pembuktian menjadi
substansi yang begitu penting dalam proses pengadilan, karena dalam pembuktianlah
seseorang dapat dilihat secara kebenaran materiil maupun formil apakah seseorang itu
benar-benar bersalah atau tidak. Di dalam pembutkian juga sangat dibutuhkan
kebijaksanaan dari Majelis Hakim untuk menjadi dasar putusan bersalah atau tidaknya
seorang terdakwa. Seringkali permasalahan hukum yang dihadapi berkaitan dengan
pembuktian, seperti kurangnya alat bukti, keyakinan hakim, atau mungkin kesalahan-
kesalahan dalam melihat alat bukti yang dihadirkan. Keyakinan hakim juga menjadi salah
unsur terpenting di dalam pembuktian.
Di dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama-sama diterjamahkan dalam
Bahasa Indonesia sebagai ‘bukti’, yaitu evidence dan proof. Evidence, berarti informasi
yang memberikan dasar-dasar yang mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian
atau keseluruhan fakta itu benar. Sementara proof berarti suatu kata yang memiliki
berbagai arti. Namun, dalam hukum proof mengacu kepada hasil suatu proses evaluasi dan
menarik kesimpulan terhadap evidence atau dapat juga digunakan lebih luas untuk
mengacu kepada proses itu sendiri.2
Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara
perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah
suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di
pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan
itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.3
__________________________
1
Munir Fuady. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: PT Citra Aditya
Bakti. 2012. hlm. 1
2
Eddy Hiariej. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga. 2012. hlm. 2
3
Munir Fuady, Loc. Cit., hlm.1-2
Hukum Pembuktian 1
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Sesuai dengan satu kesatuan dari pertanggungjawaban pidana dan kesalahan dari
4
sebuah perbuatan pidana (strafbaarfeit) menurut Prof. Moeljatno , semua hal ini dapat
terlihat dari dalam pembuktian suatu perkara di pengadilan.Apakah seseorang benar-benar
terpenuhi unsur melawan hukumnya serta kesalahan (feit) dalam perbuatannya sehingga
dapat dikatakan sebagai strafbaarfeit.
Tentu di dalam hukum pembuktian ada serangkaian prosedur atau tata cara untuk
melakukannya untuk usaha penuntut umum dalam membuktikan sebuah perkara bahwa
terdakwa benar-benar bersalah. Sebaliknya, penasehat hukum terdakwa akan berusaha
untuk membuktikan bahwa terdakwa tidak bersalah dengan membuktikan tidak
terpenuhinya unsur-unsur yang didakwakan.
Tata cara itu meliputi; apa saja alat yang dapat dikatakan sebagai alat bukti sehingga
dapat memperkuat pembuktian serta bagaimana cara menentukan sah atau tidaknya alat
bukti tersebut yang diakhiri dengan keyakinan hakim untuk memutus.
Mengingat hukum pidana adalah hukum yang dapat mencerminkan bagaimana kondisi
masyarakat di dalam suatu negara, sesuai pendapat Profesor Satjipto Rahardjo. Maka
penting hukum pidana dapat berlangsung secara tepat sehingga bermanfaat bagi
masyarakatnya.
Melihat hukum pidana yang begitu penting maka perlu dilihat dalam tata beracaranya,
yang mana salah satu unsur terpenting dalam membuktikan seseorang bersalah atau
tidaknya adalah dalam pembuktian. Hal ini terlihat demikian pentingnya hukum
pembuktian. Sumber data yang kami gunakan adalah referensi buku, jurnal dan artikel,
laporan resmi dan media internet. Dengan sumber data yang saya gunakan ini, saya
mencoba untuk membahas lebih dalam bagaimana hukum pembuktian dalam pidana yang
berlaku di Indonesia.
Hukum Pembuktian 2
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Hukum Pembuktian 3
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. (Hamzah,
2014:233).
Keterangan Ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki
keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana
guna kepentingan pemeriksaan. (Hamzah, 2014:233).
Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya,baik
antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan
bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (Hiariej, 2012:109).
Cross Examination (Fuady, 2012:110) adalah suatu proses pemeriksaan saksi di
pengadilan, baik dalam perkara perdata maupun dalam perkara pidana, atau proses
mengajukan pertanyaan kepada terdakwa, yang dengan menggunakan cara tertentu advokat
atau jaksa bertanya sehingga karenanya diharapkan dapat dikorek suatu keterangan yang
benar dari seorang saksi, dimana pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada saksi
tersebut umumnya merupakan pertanyaan yang mengontrol dan menekan (leading
question) yang dilakukan dan dirumuskan sedemikian rupa sehingga tidak ada kesempatan
bagi saksi untuk berbohong atau merekayasa jawaban secara tidak benar.
Direct examination (Fuady, 2012:110) adalah eksaminasi langsung atau pertanyaan
yang diajukan kepada saksi dari pihak sendiri atau diajukan oleh advokat kepada
teradakwa yang merupakan kliennya sendiri (direct examination).
Unus testis nullus testis adalah satu saksi bukan saksi. (Fuady, 2012:128)
R. Soesilo menyatakan bahwa kesaksian yang hanya berdasarkan cerita orang lain atau
hanya merupakan kesimpulan saja dari saksi yang mendengar, melihat dan mengalami
sendiri (testimonium de auditu) saja tak cukup. (Hallaludin, 9)
Hukum Pembuktian 4
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN
2.1. Teori Hukum Pembuktian Pidana di Indonesia
Hukum pembuktian merupakan hukum yang penting karena pembuktian merupakan
unsur terpenting dalam hukum acara sehingga dapat membuktikan seseorang bersalah atau
bebas maupun lepas.
Menurut Dr. Munir Fuady hukum pembuktian adalah suatu proses, baik dalam acara
perdata, acara pidana, maupun acara-acara lainnya, dimana dengan menggunakan alat-alat
bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui apakah
suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di
pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan
itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan itu.5
Di dalam hukum pembuktian pidana Indonesia berlaku teori yang dikenal sebagai
negative wettelijk stelsel bewisjtheory. Ini tertuang di dalam pasal 183 KUHAP yang
berarti dalam pembuktian sekurang-kurangnya dua alat bukti ditambah dengan keyakinan
hakim6 . Letak keyakinan hakim harus sesudah dari alat bukti, bukan keyakinan hakim
yang terlebih dahulu. Mengapa? Karena jika keyakinan hakim timbul sebelum adanya alat
bukti maka hakim akan berusaha mencari-cari alasan untuk dapat memutus suatu perkara
tersebut. Apabila demikian, maka Hakim sudah memiliki keyakinan akan suatu
keputusannya terlebih dahulu bahkan sebelum melihat adanya pembuktian terhadap
perkara, maka hal ini akan jelas menimbulkan sifat subyektifitas dari hakim.
Di dalam pembuktian, dikenal ada dua bukti yaitu alat bukti dan barang bukti. Barang
bukti adalah barang yang dapat dihadirkan atau dapat dijadikan pelengkap namun sifatnya
belumlah jelas tanpa adanya keterangan dari saksi, ahli maupun terdakwa, sehingga barang
bukti dapat diartikan adalah barang yang belum dapat terlihat kejelasan atau masih
membutuhkan penjelasan dari pihak-pihak terkait untuk terlihat kejelasannya dalam
perkara. Sedangkan, alat bukti adalah alat yang digunakan untuk dapat membuktikan
sehingga sifatnya sudah jelas.
_________________________
5
Fuady Munir, Op.Cit., hlm.1-2
6
Prof. Andi Hamzah. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana.
Jakarta: Rineka Cipta, 2014. hlm. 306
Hukum Pembuktian 5
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Sering terjadi permasalahan dalam menentukan yang mana barang bukti dan alat bukti
dalam suatu perkara biasanya berkenaan dengan alat bukti surat. Dalam hal demikian, yang
menentukan barang itu alat bukti surat atau barang bukti adalah kewenangan hakim, dalam
praktik biasanya apa yang dikatakan alat bukti oleh penuntut umum belum tentu demikian
juga yang dilihat hakim.
Alat bukti yang sah tertuang di dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, antara
lain:
1. Keterangan Saksi;
2. Keterangan Ahli;
3. Surat;
4. Petunjuk;
5. Keterangan Terdakwa.7
Hukum Pembuktian 6
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
3. Pendapat atau rekaan semata-mata dari saksi (testimonium de auditu) bukan alat
bukti.
4. Saksi harus disumpah (Pasal 160 ayat 3 KUHAP). Keterangan saksi yang tidak
disumpah bukanlah merupakan alat bukti penuh, melainkan merupakan alat bukti
tambahan yang memperkuat alat bukti lain. Apabila saksi berbohong saksi dapat
dikenakan sumpah palsu yang merupakan tindakan pidana dari pasal 242 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
5. Saksi tidak boleh memiliki hubungan sedarah, semenda sampai tingkat ketiga
dengan majelis hakim, penuntut umum, panitera, dan juga terdakwa. Namun, jika
memang saksi tidak memenuhi kriteria ini dapat dihadirkan tanpa disumpah.
Keterangan saksi yang demikian hanya bersifat sebagai tambahan untuk alat bukti
petunjuk dan menambah keyakinan hakim.
Berikut merupakan hal-hal yang tidak diperkenankan sebagai saksi, antara lain:
1. Orang yang belum dewasa;
2. Orang yang tidak waras pikirannya (dalam pengampuan) atau terbelakang
mental;
3. Orang yang sedang mabuk akibat minuman keras, narkotika, dan sebagainya;
4. Orang yang berpengarai sangat jelek, seperti sering mencuri, membunuh, suka
menipu, dan sebagainya.10
Keempat kriteria diatas sesuai dengan pasal 185 ayat (6) huruf d bahwa: “Dalam
menilai kebenaran dari keterangan saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh
memperhatikan cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya
dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.”11
10
Munir Fuady, Op.Cit hlm. 128-129
11
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 307
Hukum Pembuktian 7
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
dilakukan oleh pelaku. Berbeda dengan hukum acara perdata dimana korban menjadi
penggugat terhadap seseorang yang dianggap melakukan pelanggaran. Di sini korban
diwakili oleh pengacara negara atau yang disebut jaksa penuntut umum di persidangan.
Saksi korban merupakan saksi yang menjadi korban itu sendiri atas perbuatan yang
telah dilakukan pelaku yang diduga sebagai tindak pidana. Sehingga penghadirannya
sebagai saksi untuk memberikan keterangan untuk memenuhi alat bukti. Namun,
penyebutan atau pemanggilan terhadapnya dikenal sebagai saksi korban.
B. Saksi Mahkota
Sekarang ini, sering dikenal istilah whistle blower atau saksi mahkota. Walaupun
sebetulnya KUHAP kita tidak mengenal adanya hal demikian, namun hal itu sering
digunakan di dalam praktik pengadilan. Apa yang dimaksud dengan saksi mahkota atau
whistle blower? Whistle blower atau saksi mahkota adalah saksi yang juga merupakan
tersangka atau terdakwa yang karena perbuatannya disertai bukti permulaan yang cukup
dalam perkara yang sama karena adanya penyertaan (deelneming).
Biasanya saksi mahkota ini digunakan sebagai saksi yang memberikan keterangan
pada persidangan yang mana terdakwa merupakan pelaku penyertaan terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh saksi mahkota ini juga. Biasanya ini menjadi upaya penuntut
umum dalam hal melakukan splitsing (pemisahan berkas perkara) untuk memperkuat bukti
yang ada.
Namun, ada pertentangan terhadap hal ini. Hal ini pada umumnya menunjukkan
bahwa penuntut umum kekurangan alat bukti sehingga menggunakan upaya ini untuk
mencukupi alat buktinya. Ini juga dapat bertentangan dengan asas non-self incrimination
(yang berarti memiliki hak ingkar) yang dimiliki seorang terdakwa, karena saksi ini juga
merupakan terdakwa dalam berkas terpisah.
12
Putusan Mahkamah Agung No. 1986K/Pid/1989 juga memperkuat untuk adanya
penghadiran saksi mahkota. Pada putusan tersebut, saksi mahkota boleh dihadirkan asalkan
kedudukannya tetap menjadi seorang saksi bukan terdakwa maka pertanyaan yang
diajukan kepadanya tidak boleh menjerat dirinya sendiri.
_________________________
12
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan-penggunaan-
tersangkasebagai-saksi-di-persidangan
Hukum Pembuktian 8
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
C. Saksi Memberatkan
Saksi yang memberatkan adalah saksi yang dihadirkan oleh penuntut umum.
Penghadiran saksi ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa terdakwa benar-benar bersalah.
Sehingga saksi ini berfungsi untuk memberatkan posisi terdakwa di dalam persidangan.
Saksi ini menunjukkan biasanya dihadirkan penuntut umum untuk menunjukkan
kesalahan-kesalahan terdakwa.
D. Saksi Meringankan
Saksi yang meringankan (ade charge) adalah saksi yang dihadirkan oleh pihak
terdakwa atau penasihat hukumnya. Saksi ini bertujuan memberikan fakta-fakta yang
meringankan posisi terdakwa.
F. Saksi Yang Berhubungan Darah atau Semenda Sampai Tingkat Ketiga dengan
Terdakwa
Hakim di dalam pengadilan akan menanyakan setiap saksi apakah memiliki hubungan
darah, semenda sampai tingkat ketiga dengan terdakwa. Apabila memang memilikinya
maka saksi itu tidak dapat dikatakan sebagai alat bukti. Namun, saksi ini tetap boleh
memberikan keterangan hanya saja keterangan yang diberikan untuk membantu
memberikan petunjuk serta memberi keyakinan hakim.
____________________
13
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 301
14
Ibid. hlm. 307
Hukum Pembuktian 9
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Ad. 3. Surat
Alat bukti yang dikatakan sebagai alat bukti surat atau dokumen termasukn juga di
dalamnya dokumen elektronik. Di dalam perkara pidana, surat dan alat bukti tertulis
lainnya hanya menjadi bukti jika berhubungan dengan tindak pidana yang dilakukan.
____________________
15
Arthur Best, Evidence: Examples and Explanations. Boston-New-York-Toronto-London:
Little, Brown and Company. 1994. hlm. 157
16
Prof. Andi Hamzah. Op. Cit. hlm. 233
Hukum Pembuktian 10
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Meskipun demikian, kebenaran isi surat dan alat bukti tertulis lainnya, termasuk dokumen
elektronik, haruslah juga dibuktikan.17
Kemudian, untuk dapat dikatakan sebagai alat bukti surat selain relevan harus
berkesesuaian dengan hukum atau yang berarti tidak boleh mendapatkannya dengan cara
melawan hukum atau yang dikenal sebagai exclusionary rules.
Selain itu, pembuktian dokumen sebagai bukti surat terletak pada keasliannya, baru
kemudian isi dokumen tersebut.18
Ad. 4. Petunjuk
Petunjuk adalah alat bukti yang tidak dapat berdiri sendiri, karena kehadiran alat bukti
ini timbul dari pemikiran hakim terhadap segala keterkaitan antara pembuktian-
pembuktian yang dilakukan. Dengan kata lain, alat bukti petunjuk adalah hasil dari
pemikiran hakim atas dasar alat bukti lain.
Segala relevansi atau keterkaitan antara bukti yang satu dengan yang lain akan
menjadi suatu kesatuan dari missing pieces atau bagian yang hilang yang telah menyatu
menjadi petunjuk bagi hakim.
Kekuatan petunjuk adalah tergantung bagaimana penuntut umum dapat mekorelasikan
antara bukti-bukti yang ada supaya dapat menunjukkan petunjuk bahwa terdakwa yang
bersalah atas suatu perbuatannya yang dilakukannya.
17
Eddy Hiariej. Op. Cit. hlm. 69
18
Eddy Hiariej, Op. Cit., hlm 72
Hukum Pembuktian 11
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
oleh terdakwa.
Secara psikologis, manusia cenderung akan menutup-nutupi kesalahannya dengan
berbagai kebohongan. Demikian pula hal yang diterapkan dalam hukum acara pidana
tepatnya maka terdakwa pun diberikan hak untuk mengingkar.
19
Majalah Varia Peradilan, No. 19, Penerbit : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), April,
1987, hlm. 9-36
Hukum Pembuktian 12
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
____________________
20
Majalah Varia Keadilan, Thn. VI. No.71, Penerbit : Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI),
Agustus, 1991, hlm. 803-804
21
M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid II),
penerbut Pustaka Kartini, Jakarta, 1988, Hal. 868
Hukum Pembuktian 13
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
putusan,dan praktiknya hanya “diperbaiki” dan “ditambah “pada tingkat banding oleh
Pengadilan Tinggi ataupun pada tingkat kasasi oleh Mahkamah Agung RI.
Hukum Pembuktian 14
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Hati nurani nya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah atau tidaknya
terdakwa.
Sistem ini benar-benar menuntut hakim,suatu nkewajiban mencari dan
menemukan salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tatacara pembuktian dengan
alat-alatbukti yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan
perkara,hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor
keyakinanya. Hakim semata-mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa
mempercampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh oleh persidangan dengan unsur
subjektif keyakinanya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang
objektif sesuai dengancara dan alat bukti yang sah ,memurut undangf-
undang,merekatidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan
keyakinan hatii nuraninya.23
Ketentuan pasal 184 KUHAP menentukan alat-alat bukti atau kombinasi alat-alat
bukti yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP adalah laindanberbeda dengan alat bukti
dalam HIR.
HIR tidak menyebutkan secara tegas dengan alat bukti minimun yang dikehendaki
oleh undang-undang. Ajaran pembuktian yang dianut HIR tercantum dalam pasal 295
HIR. pada prinsip
____________________
23
M.Yahya Harahap, Pembuktian Permasalahan dan ..., op.cit, , hlm. 789-799
Hukum Pembuktian 15
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Apabila dikaji secara detail, mendalam dan terinci, penerapan teori hukum
pembuktian “Conviction Intime” mempunyai bias subjektif, yaitu :
“Apabila pembuktian conviction-intime menentukan salah tidaknya terdakwa,
semata-mata ditentukan oleh penilaian “keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah
yang menentukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Dari mana hakim menarik
dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini.
Keyakinan boleh diambil dan disimpulkan hakim dari alat-alat bukti yang
diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa juga pemeriksaan alat-alat bukti ini
diabaikan hakim, dan langsung menarik kesimpulan dari keterangan atau
pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction-intime ini, sudah barang
tertentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menjatuhkan hukuman, pada
seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa di dukung
oleh alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa
dan tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa, telah cukup
terbukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas
kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction-intime, sekalipun
kesalahan terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat
dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan
terdakwa “tidak terbukti” berdasaralat-alat bukti yang sah, terdakwa bisa
dinyatakan bersalah semata-mata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan
hakimlah yang paling “dominan” atau yang paling menentukan salah atau
tidaknya terdakwa. Keyakinan tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Seolah-olah sistem ini menyerahkan
sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan
hakimlah yang menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
ini.24
Teori hukum pembuktian “Conviction Raisonce” asasnya identik sistem
”Conviction Intime”. Lebih lanjut lagi, pada teori hukum pembuktian “Conviction
Raisonce” keyakinan hakim telah memegang peranan penting untuk menentukan
tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut
dilakukan secara selektif dalam arti keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung
____________________
24
M.Yahya Harahap, Pembuktian Permasalahan dan ...,ibid. , hlm. 799-798
Hukum Pembuktian 16
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
_______________________
25
Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 10
26
Arthur Best, Op. Cit. hlm. 1
27
Joshua Dressler (Ed.), Encyclopedia of Crime & Justice, Second Edition, volume 4:
Wiretapping & Eavesdropping. New York: Gale Group Thomson Learning, 2002. hlm.
1697
28
Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 11
29
Phyllis B. Gerstenfeld, Crime & Punishment In The United States. Pasadena California:
Salem Press, Inc. 2008. hlm. 348
Hukum Pembuktian 17
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
Sehingga ini berarti suatu perolehan alat bukti harus dengan cara yang tidak melawan
hukum. Walaupun suatu alat bukti relevan dan dapat diterima dari sudut pandang
penuntut umum, bukti tersebut dapat dikesampingkan30 oleh hakim bilamana
perolehan bukti tersebut dilakukan tidak sesuai dengan aturan.31 Bagi negara-negara
yang cenderung menggunakan due process model dalam peradilan pidananya yang
mana menjunjung tinggi hak asasi manusia termasuk di dalamnya hak-hak tersangka,
sehingga sering kali seorang tersangka dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan
praperadilan lantaran alat bukti yang diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang
disebut dengan istilah unlawful legal evidence32 sehingga melanggar prinsip
exclusionary rules. Ini terjadi pada teori pembuktian yang menggunakan dasar
bewijsvoering yang berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti
kepada hakim di pengadilan.
33
4. Setiap bukti yang relevan dan dapat diterima harus dievaluasi oleh hakim. Ini sudah
masuk ke dalam wewenang hakim dimana hakim menggunakan buktibukti tersebut
untuk menjadi dasar pertimbangan dalam mengambil keputusan.
__________________________
30
Ian Dennis, Op. Cit. hlm. 6
31
Eddy Hiariej, Loc. Cit.
32
Eddy Hiariej, Op. Cit. hlm. 20
33
Ibid. hlm. 12
Hukum Pembuktian 18
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
BAB III
SIMPULAN
3.1 Simpulan
Hukum pidana di Indonesia menganut teori hukum pembuktian yang dikenal dengan
istilah negative wettelijk stelsel bewijstheorie. Bewijstheorie berarti menitik dasarkan
pembuktian kepada keyakinan hakim sedangkan negative wettelijk menggunakan
sekurang-kurangnya dua alat bukti. Ini tertuang dalam pasal 183 KUHAP sebagai dasar
hukum. Keyakinan hakim disini timbul setelah ada sekurangkurangnya dua alat bukti baru
diikuti oleh keyakinan hakim. Prinsip ini digunakan untuk menghindarkan terjadinya
subyektifitas dari hakim terhadap perkara yang diperiksa olehnya.
Hukum pembuktian juga memiliki konsep yang fundamental terhadap alat bukti yang
dihadirkan dipersidangan. Pertama, relevansi dari alat bukti tersebut. Kedua, dapat atau
tidak diterimanya suatu alat bukti. Ketiga, cara memperoleh dari alat bukti itu sendiri. Dan
yang terakhir, pengevaluasian oleh hakim terhadap alat bukti yang dihadirkan sebagai
dasar hakim menjatuhkan putusan. Hal ini bermanfaat agar suatu alat bukti yang
dihadirkan di persidangan tidak semata-mata dapat dikatakan sebagai alat bukti. Tetapi,
tetap ada prosedur tertentu untuk dapat dikualifikasikan sebagai alat bukti.
Hukum Pembuktian 19
Hukum Pembuktian Dalam Hukum Pidana di Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Dennis, Ian. 2007. The Law Evidence. 3rd Edition. London: Sweet and Maxwell.
Dressler, Joshua (Edt). 2002. Encyclopedia of Crime & Justice. 2nd Edition. Volume 2:
Delinquent & Criminal Subcultures-Juvenile Justice: Institusions. New York: Gale
Group Thomson Learning.
Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Jakarta: Pt Citra
Aditya Bakti.
Gerstenfel, Phyllis B. 2008. Crime & Punishment In The United States. Pasadena
California: Salem Press, Inc.
Hiariej, Eddy. 2012. Teori dan Hukum Pembuktian. Jakarta: Erlangga.
Hodgkinson, Tristram & Mark, James 2007. Expert Evidence: Law and Practice. London:
Sweet and Maxwell.
Mulyadi, Lili. 2007. Asas Pemballikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana
Korupsi. Bandung : PT. Alumni
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian. Bandung : PT. Mandar Maju
http://jurnal.untan.ac. id/index.php/nestor/article/viewFile/7978/7968
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt50ec06251d12a/keabsahan penggunaan- tersa
ngka-sebagai-saksi-di-persidangan
Hukum Pembuktian 20