You are on page 1of 20

Anatomi dan Fisiologi

Sistem saraf dibagi menjadi dua bagian besar yaitu susunan saraf pusat dan susunan
saraf tepi (Snell, 2006:23). Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang
saling berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf
(neuron) dan sel-sel penyokong (Neuroglia dan sel Schwann). Kedua jenis tersebut demikian
erat berkaitan dan terintegrasi satu sama lain sehingga bersama-sama berfungsi sebagai satu
unit. Neuron mempunyai badan sel dengan satu atau beberapa tonjolan (Price dan Wilson,
2005:1006,1007). Sel neuron mempunyai dua jenis tonjolan yaitu akson dan dendrit (Snell,
2006:25). Tonjolan tunggal dan panjang yang menghantarkan informasi keluar dari badan sel
adalah akson. Sedangan dendrit adalah tonjolan yang menghantarkan informasi menuju ke
badan sel (Price dan Wilson, 2005:1012). Sedangkan salah satu sel penyokong dari sistem
saraf adalah myelin. Myelin merupakan substansi yang ada di sekitar atau menyelimuti
akson-akson saraf dan berperan penting pada transmisi impuls saraf (Smeltzer, 2001:2248).
Serabut saraf yang mempunyai selubung myelin disebut serabut bermyelin dan sedangkan
yang tidak bermyelin disebut serabut tidak bermyelin (Price dan Wilson, 2005:1011).
Sistem saraf tepi terdiri dari 12 pasang saraf kranialis dan 31 pasang saraf
spinalis (Price dan Wilson, 2005:1008). Sebagian besar saraf tepi berisi serabut serabut
sensorik (aferen) dan motorik (eferen) (Bickley, 2009:550). Serabut aferen dan eferen
berjalan bersama dalam arah yang berlawanan disemua saraf spinal dan sebagian besar saraf
kranial. Beberapa saraf kranial hanya membawa informasi aferen. Neuron aferen
menyampaikan informasi ke sistem saraf pusat dari semua organ sensorik, reseptor tekanan
dan volume, reseptor suhu, reseptor regangan, dan reseptor nyeri. Neuron eferen
menyampaikan stimulasi saraf ke otot dan kelenjar (Corwin, 2009).
2.1.1 Saraf Kranial
Saraf-saraf kranial langsung berasal dari otak dan meninggalkan tengkorak melalui
lubang-lubang pada tulang belakang yang disebut foramina (tunggal, foramen). Terdapat 12
pasang saraf kranial yang dinyatakan dalam nama atau angka romawi. Saraf-saraf tersebut
adalah Olfactorius (I), Opticus (II), Oculomotoris (III), Trocklaris (IV),Trigeminus (V), Abdu
cens (VI), Facialis (VII), Vestibulocochlear (VIII),Glossopharyngeal (IX), Vasgus (X), Acce
ssory (XI), Hypoglossal (XII). Saraf kranial I,II, dan VIII merupakan saraf sensorik murni ;
saraf kranial III, IV, XI dan XII terutama merupakan saraf motorik, tetapi juga mengandung
serabut propioseptif dari otot-otot yang dipersarafinnya ; saraf kranial V, VII dan X
merupakan saraf campuran. Saraf kranial III, VII, dan X juga mengandung beberapa searbut
saraf dari cabang parasimpatis sistem saraf otonom (Price dan Wilson, 2005:1033)

Tabel 2.1 Ringkasan fungsi-fungsi Saraf Kranial


Saraf Kranial Komponen Fungsi
I Olfaktorius Sensorik Penciuman

II Optikus Sensorik Penglihatan

III Okulomotorius Motorik Mengangkat kelopak mata atas

Kontraksi pupil

Sebagian besar gerakan ekstraokular

IV Troklearis Motorik Gerakan mata kebawah dan kedalam

V Trigeminus Motorik Otot temporalis dan maseter (menutup rahang dan


mengunyah) gerakan rahang ke lateral

1) Kulit wajah, dua pertiga depan kulit kepala, mukosa


mata, mukosa hidung dan rongga mulut, lidah dan gigi.

Sensorik

2) Reflek kornea atau refleks mengedip; komponen


sensorik dibawa oleh saraf kranial 5, respons motorik
melalui saraf kranial 7

VI Abdusen Motorik Deviasi mata ke lateral

Saraf Kranial Komponen Fungsi

VII Fasialis Motorik 1) Otot-otot ekspresi wajah termasuk otot dahi, sekeliling
mata serta mulut.

2) Lakrimasi dan salivasi

Pengecapan dua per tiga depan lidah (rasa, manis, asam


Sensorik dan asin)

VIIICabang Sensorik Keseimbangan


vestibulokoklearis

Cabang koklearis Sensorik Pendengaran

IX Glosofaringeus Motorik Faring: menelan, refleks muntah

Parotis: salivasi
Sensorik Faring, lidah posterior, termasuk rasa pahit

X Vagus Motorik Faring, faring: menelan, refleks muntah, fonasi; visera


abdomen

Faring, laring: refleks muntah; visera leher, thoraks dan


Sensorik abdomen

XI Asesorius Motorik Otot sternokleidomastoideus dan bagian atas dari otot


trapezius: pergerakan kepala dan bahu

XII Hipoglosus Motorik Pergerakan lidah

Sumber (Price dan Wilson, 2005:1034)

2.1.2 Saraf Spinal


Medulla spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralis melalui foramina intervetebralis
(tulang pada tulang belakang). Saraf-saraf spinal diberi nama sesuai dengan foramina
interveterbralis tempat keluarnya saraf-saraf tersebut, kecuali saraf servikal pertama yang
keluar diantara tulang oksipital dan vertebra servikal pertama (Price dan Wilson, 2005:1033).
Masing-masing saraf spinal dihubungkan dengan medulla spinalis oleh dua radiks;
radiks anterior dan radiks posterior. Radiks anterior terdiri atas berkas serabut saraf yang
membawa impuls saraf menjauhi susunan saraf pusat. Serabut saraf seperti ini dinamakan
serabut eferen. Serabut eferen yang menuju ke otot skeletal dan menyebabkan otot ini
berkontraksi atau biasanya dinamakan serabut motorik (Snell, 2006:26).
Radiks posterior terdiri atas berkas serabut saraf yang membawa impuls ke susunan
saraf pusat dan dinamakan serabut aferen. Karena serabut ini berkaitan dengan penghantaran
informasi mengenai sensasi raba, nyeri, suhu, dan vibrasi, serabut ini dinamakan serabut
sensorik (Snell, 2006:26).
2.2 Biomekanik
2.2.1 Balance (Equilibrium)
Balance atau stabilitas postural adalah istilah generik yang digunakan untuk
menggambarkan proses dinamis di mana posisi tubuh dipertahankan dalam keseimbangan.
Keseimbangan adalah ketika pusat massa tubuh (Center of Mass) atau pusat gravitasi
(Center of Gravity) berada di atas bidang tumpu (Base of Support) atau kemampuan untuk
menggerakkan tubuh dalam equilibrium dengan gravitasi melalui interaksi sistem sensorik
dan motorik. Equilibrium adalah kondisi tubuh dalam keseimbangan statis maupun dinamis
saat istirahat (Kisner, 2007:251).
Center of mass (COM) adalah titik pusat massa tubuh berada dalam keseimbangan
yang sempurna. Hal ini ditentukan dengan mencari rata-rata keseimbangan dari masing-
masing COM pada setiap segmen tubuh. Center of gravity (COG) mengacu pada proyeksi
vertikal dari pusat massa ke tanah. Dalam posisi anatomi, COG dari orang dewasa terletak
sedikit ke anterior vertebra sakral kedua atau sekitar 55% dari tinggi badan seseorang.Base of
support (BOS) didefinisikan sebagai perimeter bidang kontak antara tubuh dan permukaan
bidang tumpu (Kisner, 2007:251).
Reaksi equilibrium yang baik terlihat dari adanya perubahan otot yang memungkinkan
untuk pemeliharaan postur yang diinginkan atau jika ada gangguan yang lebih besar yang
mengharuskan adanya perubahan reaksi dari gangguan tersebut maka respon tubuh akan
memperpanjang atau memanjangkan sisi weight bearing dengan cara fleksi dari sisi non
weight bearing dengan beberapa rotasi dalam sumbu tubuh. Tingkat rotasi tergantung pada
arah gangguan. Ketika gangguan yang terlalu besar atau terlalu cepat maka reaksi proteksi
akan membantu melindungi individu tersebut dari cedera serta membantu mengembalikan
pusat gravitasi dalam base of support (Edwards, 2002:13).
2.2.2 Gait Cycle
Siklus berjalan (Gait Cycle) adalah interval waktu antara dua kejadian berurutan dari
salah satu peristiwa berulang dari berjalan. Siklus ini terdiri dari dua komponen, yaituStance
Phase dan Swing Phases. Stance phase adalah bagian dari siklus dimana kaki kontak dengan
lantai atau tanah dan Swing phase adalah bagian dari siklus dimana kaki sudah tidak kontak
langsung dengan lantai dan bergerak kedepan untuk mengambil langkah. Presentasi dari gait
cycle adalah 60% Stance dan 40% Swing (Edwards, 2002:56).
2.2.2.1 Stance Phase
Stance phase adalah fase menumpu, atau fase dimana bagian tubuh (kaki) bersentuhan
dengan lantai. Stance phase memberikan stabilitas untuk gait cycle dan penting untuk
fase swing phase yang benar (Irfan, 2002:55). Pada fase ini terdapat tahapan-tahapan yang
terjadi pada fase stance phase, antara lain :
1) Initial Contact
Initial contact merupakan awal dari fase stance phase dengan posisi heel rocker. Fase ini
merupakan momen seluruh COG berada pada tingkat terendah dan seseorang pada tingkat
yang paling stabil (Irfan, 2002:55). Otot-otot yang bekerja pada saat fase initial
contact adalah otot Gluteus maximus, Hamstring dan Tibialis anterior (Edwards, 2002:59).
2) Loading response
Fase ini merupakan periode initial double stance. Awal fase dilakukan dengan permulaan
menyentuh lantai dan dilanjutkan sampai kaki yang lain mengangkat untuk mengayun
yang akhirnya berat tubuh berpindah kedepan pada tungkai (Irfan, 2002:56). Otot yang
berperan pada fase ini adalah otot Hamstring, Tibialis Anterior, Quadrisep, Gluteus
maximus, Abduktor magnus, dan Gluteus medius (Susan Edwards, 2002:59).
3) Midstance
Merupakan sebagian awal dari gerakan satu tungkai dalam mendukung interval. Untuk
awalan gerakannya, kaki mengangkat dan dilanjutkan sampai berat tubuh berpindah pada
kaki yang lain dengan lurus. Saat ankle dorsal fleksi bayangan tungkai mulai bergerak ke
depan sementara knee dan hip ekstensi. Sedangkan tungkai yang berlawanan mulai
bergerak menuju fase mid swing (Irfan, 2002:56). Otot yang berperan pada fase ini adalah
otot Soleus, Quadrisep, dan Gluteus maximus (Edwards, 2002:59).
4) Terminal Stance
Fase ini dimulai dengan mengangkat tumit dan dilanjutkan sampai kaki memijak lantai.
Keseluruhan fase ini berat badan berpindah ke depan dari forefoot. Saat posisi ekstensi
knee yang meningkat dan akan diikuti sedikit fleksi. Dimana posisi tungkai yang lain
berada pada fase terminal swing. Pada fase ini COG berada di depan kaki yang menanpak
jadi tekanan gravity akan meningkatkan lingkup dari ekstensi hip dan dorsal fleksi ankle
(Irfan, 2002:56-57). Otot yang bekerja pada fase ini adalah otot Soleus, Gastrocnemius,
Tibialis posterior, Peroneal, Long toe fleksor (Edwards, 2002:59).
5) Pre swing
Pada akhir fase dari stance adalah interval gerakan kedua double stance pada siklus
berjalan. Dimulai dari initial contact pada anggota gerak bawah kontralateral dan
diakhiri toe-off pada anggota gerak ipsilateral, dengan meningkatnya ankle ke posisi
plantar fleksi diikuti fleksi knee maka hip tidak lagi pada posisi ekstensi. Disaat yang sama
anggota gerak bawah yang lain pada fase laoding response. Menyentuhnya anggota gerak
atau tungkai kontralateral merupakan awal dari terminal double support(Irfan, 2002:56).
Otot Gastrocnemius, Abdduktor longus dan Rektus femoris adalah otot yang bekerja atau
berperan pada fase preswing (Edwards, 2002:59).
2.2.2.2 Swing Phase
Swing phase adalah bagian dari siklus dimana kaki sudah tidak kontak langsung dengan
lantai dan bergerak kedepan untuk mengambil langkah (Edwards, 2002:56). Padaswing
phase, tahapan-tahapan terdiri dari :

1) Initial Swing
Diawali dengan memngangkat kaki dari lantai dan diakhiri ketika mengayun kaki sisi
kontralateral dari kaki yan menumpu. Pada saat posisi initial swing hip bergerak fleksi dan
knee naik menjadi fleksi dan ankle pada posisi setengah dorsal fleksi. Di saat yang sama
sisi yang kontralateral bersiap pada fase mid swing (Irfan, 2002:57). Otot yang berperan
pada fase ini adalah otot Hip fleksor group (iliacus, adduktor longus, Sartorius, dan
gracilis), Bisep femoris, Tibialis anterior, dan Long toe ekstensor (Edwards, 2002:59).
2) Mid Swing
Pada fase kedua dari periode swing dimulai, saat mengayun anggota gerak bawah yang
berlawanan dari tungkai yang menumpu. Akhir dari fase ini ketika tungkai mengayun
kedepan dan tibia vertikal atau lurus. Saat mid swing hip fleksi dengan knee bergerak
ekstensi untuk merespon gravitasi, dan diikuti dengan ankle dorsifleksi menuju posisi
netral (Irfan, 2002:57-58). Otot yang berperan pada fase ini adalah otot Tibialis anterior
(Edwards, 2002:59).
3) Terminal Swing
Akhir dari fase swing dimulai dari tibia vertikal dan diakhiri saat kaki menyentuh lantai.
Posisi akhir dari fase terminal swing adalah posisi ekstensi knee dan hip mempertahankan
fleksi sedangkan ankle bergerak dari dorsifleksi ke arah netral (Irfan, 2002:58). Otot yang
berperan adalah otot Hip fleksor, Hamstring, Quadrisep, dan Tibialis anterior (Edwards,
2002:59).
2.3 Deskripsi Kasus
2.3.1 Pengertian
Guillain barre syndrome (GBS) adalah polineuropati inflamasi akut yang mengalami
demielinisasi (Ginsberg, 2005:192). Dalam pemahaman yang serupa GBS adalah penyebab
paling umum dari polineuropati demielinasi inflamasi akut yang disebabkan oleh serangan
imun (faktor seluler dan humoral) terhadap selubung myelin yang mengakibatkan
kelumpuhan motorik umum pada orang sehat (Pourmnad, 2008:207).
2.3.2 Etiologi
Penyebab dari GBS sampai sekarang tidak diketahui, namun mekanisme patogenetik
mencakup demielinisasi inflamasi dengan berbagai kerusakan akson pada sistem saraf
perifer. Namun penyakit ini juga diantarai oleh berbagai proses autoimun sepertiCytomegalo
Virus (CMV), Epstein-barr Virus, Mycoplasma Pneumonia dan Compylobacter
Jejuni (Ginsberg, 2005:192). Kebanyakan klien mengalami infeksi umum dalam 3 minggu
sebelum timbul gejala GBS dan faktanya infeksi tersebut yang akhirnya memicu terjadinya
GBS (Pieter A, 2004:3).
Paling banyak klien dengan sindroma ini ditimbulkan oleh adanya infeksi pernapasan
dan gastrointestinal 1 sampai 4 minggu sebelum terjadinya serangan neurologik. Pada
beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi dan pembedahan. Ini juga dapat diakibatkan
oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan beberapa proses lain, atau sebuah kombinasi
proses. Salah satu hipotesis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi auoimun
yang menyerang myelin saraf perifer (Smeltzer, 2001:2248).
Keadaan pencetus yang yang paling sering dilaporkan adalah infeksi Campylobacter
jejuni, yang secara khas menyebabkan penyakit gastrointestinal yang ditandai dengan diare,
nyeri abdomen, dan demam (Price dan Wilson, 2005:1152). Bagian proksimal saraf
cenderung paling sering terserang, dan akar saraf dalam ruang subarakhoid biasanya
terpengaruh oleh infeksi virus tersebut (Smeltzer, 2001:2248). Akibat tersering dari kejadian
ini adalah virus atau inflamasi merubah sel dalam sistem saraf sehingga sistem imun
mengenali sel tersebut sebagai sel asing (Price dan Wilson, 2005:1152).
2.3.3 Patologi
Manifestasi patologis yang utama adalah demielinisasi segmental saraf perifer.
Keadaan ini yang akhirnya menghalangi transmisi impuls elektris yang normal disepanjang
radiks saraf sensomotorik (Kowalak, 2011:293). Temuan patologis demielinisasi
polineuropati inflamasi akut adalah infiltrasi inflamasi (terutama terdiri dari sel T dan
makrofag) dan daerah demielinasi segmental, yang sering dikaitkan dengan tanda-tanda
degenerasi aksonal sekunder, yang dapat dideteksi pada akar tulang belakang serta akar
saraf motorik dan sensorik (Yuki, 2012:2297). Pola perubahan patologi mengikuti pola yang
tetap dari infiltrasi limfosit yang terjadi dalam ruang perivaskular yang berdekatan dengan
saraf tersebut dan menjadi fokus degenerasi myelin (Price dan Wilson, 2005:1152).

Myelin mempercepat proses perjalanan impuls elektris saraf ke otak untuk


diintrepretasikan. Kompleks lipoprotein yang dibentuk oleh sel-sel glia atau oligendrosit ini
melindungi akson neuron. Resistensi elektrisnya yang tinggi dan kapasitansi (kemampuan
menyimpan muatan listrik) yang rendah memungkinkan selubung myelin menghantarkan
impuls saraf dari nodus Ranvier yang satu ke nodus berikutnya (Kowalak, 2011:318). Myelin
bersifat rentan terhadap cidera. Selubung myelin yang rentan terhadap respon autiomun akan
mengalami inflamasi dan lapisan membrannya akan rusak atau pecah menjadi komponen
yang lebih kecil, yang akan diselubungi oleh plak dengan batas yang jelas (terisi oleh unsur-
unsur mikrogila, makrogila dan limfosit). Proses tersebut yang dinamakan demielinisasi.
Selubung myelin yang rusak tidak dapat menghantarkan impuls saraf secara normal. Dispersi
saraf atau kehilangan parsial potensial aksi menyebabkan disfungsi neurologi (Kowalak,
2011:318).
Guillian barre syndrome menyerang saraf perifer sehingga serabut saraf tersebut tidak
dapat menyampaikan pesan saraf ke otot dengan benar. Selubung myelin yang mengalami
degenerasi membungkus akson serabut saraf dan menghantarkan impuls elekstris disepanjang
lintasan saraf. Degenerasi tersebut menimbulkan inflamasi, pembengkakan, dan bercak-
bercak demielinisasi (patchy demyelination) (Kowalak, 2011:294). Proses inflamasi juga
dapat dilihat di akar dorsal dan ganglia otonom (Umphred, 2001:386). Akibatnya selubung
myelin hancur, sehingga nodus Ranvier (yang terdapat di selubung myelin) akan melebar
(Kowalak, 2011:294). Keadaan ini yang memperlambat dan menganggu transmisi impuls
disepanjang radiks anterior dan posterior (Kowalak, 2011:294). Terdapat tiga fase yang
menyertai pada proses patologi GBS. Yang pertama adalah fase akut. Fase akut dimulai pada
awitan gejala definitif yang pertama dan berakhir 1 hingga 3 minggu kemudian. Fase plateu
berlangsung beberapa hari sampai 2 minggu. Dan yang terakhir fase pemulihan terjadi
bersamaan dengan remielinisasi dan pertumbuhan kembali tonjolan akson. Fase ini
melampaui 4 sampai 6 bulan, tetapi dapat berlangsung hingga 2 sampai 3 tahun jika penyakit
itu berat (Kowalak, 2011:292).
Karena sindrom ini menyebabkan inflamasi dan perubahan degeneratif pada radiks
posterior (sensorik) dan anterior (motorik), maka tanda-tanda gangguan sensorik dan motorik
akan terjadi secara bersamaan (Kowalak, 2011:293). Radiks saraf dorsalis menangani fungsi
sensorik, klien dapat mengalami rasa kesemutan. Demikian pula pada radiks saraf anterior
bertanggung jawab atas fungsi motorik (Kowalak, 2011:294).
2.3.4 Tanda dan Gejala
Karakteristik GBS pada anak-anak dan orang dewasa dapat berkembang secara pesat
atau progresif, dan secara relatif ciri kelemahan klien GBS berupa symmetrical
ascendingatau flaccid paralysis (Umphred, 2001:387). Pada kasus polineuropati gangguan
sistem saraf motorik paling dominan terlihat (Price dan Wilson, 2005:1152). Kerusakan
motorik pada kasus GBS dapat bervariasi mulai dari kelemahan ringan dari distal otot
ekstremitas bawah sampai kelumpuhan total otot perifer, aksial, wajah, dan otot ekstraokular
serta refleks tendon biasanya berkurang atau tidak ada. 20 persen sampai 30 persen dari klien
mungkin memerlukan ventilasi akibat dari kelumpuhan atau kelemahan otot-otot interkostal
dan diafragma. Penurunan kekuatan otot pernapasan dapat menyebabkan ketidakmampuan
untuk batuk atau menangani sekresi dan penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan saturasi
oksigen. Dan sekitar 50 persen klien juga mengalami ganguan pada saraf kranial, yang
ditandai dengan kelemahan otot wajah, okular dan otot orofaring (Umpherd, 2001:387), yang
dapat menyebabkan kesukaran berbicara, mengunyah dan menelan (Smelzter, 2001:2249).
Istilah bulbar palsy kadang-kadang digunakan secara khusus untuk paralisis rahang, faring
dan otot lidah yang disebabkan oleh kerusakan saraf kranial IX, X, dan XI (Price dan Wilson,
2005:1152).
Disfungsi otonom yang sering terjadi dan mempelihatkan bentuk reaksi berlebihan atau
kurang bereaksinya sistem saraf simpatis dan parasimpatis, seperti dimanifestasikan oleh
gangguan frekuensi jantung dan ritme, perubahan tekanan darah (hipotensi ortostatik) dan
gangguan vasomotor lainnya (Smelzter, 2001:2249). Gejala sensorik
sepertihyperparestesia distal, parestesia (kesemutan, terbakar), mati rasa, dan penurunan rasa
getaran atau posisi tubuh yang umum, namun gejala sensorik ini tidak berlangsung secara
progresif atau terus-menerus. Meskipun gangguan sensorik jarang melumpuhkan, tetapi bagi
klien dalam tahap fase akut gangguan sensorik dapat menjengkelkan atau membinggungkan
(Umphred, 2001:387).
Nyeri identifikasi sebagai gejala yang signifikan. Beberapa klien melaporkan nyeri
muncul sebelum timbulnya gejala neurologik atau awal dari gejala neurologik namun
beberapa klien juga mengatakan bahwa nyeri dirasakan selama proses penyakit tersebut.
Nyeri biasanya simetris dan dilaporkan paling sering pada otot-otot besar seperti gluteus,
quadrisep, hamstring dan kadang-kadang muncul pada tungkai bawah dan ekstremitas atas.
Dan pada malam hari biasanya klien sering mengalami nyeri. Beberapa klien merasakan rasa
terbakar yang hebat atau hipersentifitas terhadap sentuhan dan gerakan udara (Umphred,
2001:387).
Gejala-gejala tersebut akan memuncak dalam satu minggu tetapi dapat berkembang
selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja berhenti setiap saat dan fungsi motorik
akan kembali membaik dengan pola desending. Demielinisasi terjadi dengan cepat tetapi
kecepatan remielinisasi hanya sekitar 1-2 mm per hari (Corwin, 2009).
2.3.5 Komplikasi
Komplikasi yang sering ditemukan pada kasus guillian barre syndrome adalah
gangguan gagal napas akut yang dapat menimbulkan kematian. Distrimia jantung, yang
terlihat melalui pemantauan electromyography (EKG) dan tidak luput untuk mengobservasi
klien terhadap tanda thrombosis vena profunda dan emboli paru yang sering mengancam
klien immobilisasi dan paralisis (Smeltzer, 2001:2249).
Komplikasi lain yang mencakup pada kasus guillian barre syndrome adalah dekubitus,
sepsis, kontraktur sendi, dan gangguan kontrol spinchter kandung kemih dan usus (Kowalak,
2011:293).
2.3.6 Prognosis
GBS memiliki prognosa yang baik, dilaporkan 15% dari kasus GBS pemulihannya
baik tanpa ada kecacatan, 5 sampai 10% mengalami kecacatan signifikan, cacat minimal
dilihat sampai dengan 65% dari kasus dan kematian hanya sekitar 5% karena akibat
dysautonomia, serangan jantung, sepsis, emboli paru, atau sindrom gangguan pernapasan
(Pourmand, 2007:208). Indikator prognosis yang buruk dapat dilihat dari usia klien yang
terus meningkat, onset kelemahan yang sangat cepat, kebutuhan ventilasi yang terus-
menerus, parameter elektrofisiologis menunjukkan degenerasi aksonal yang signifikan
(Ginsberg, 2005:194)

2.4 Penatalaksanaan Fisioterapi


Pada rencana penatalaksanaan fisioterapi, menjelaskan tentang pengkajian, problema
fisioterapi, tujuan fisioterapi, teknologi intervensi fisioterapi, dan evaluasi fisioterapi.
2.4.1 Pengkajian Fisioterapi
2.4.1.1 Pemeriksaan Subyektif (Anamnesis)
Dalam memeriksa penyakit saraf, data riwayat penyakit merupakan hal yang penting
(Lubantombing, 2012:2). Riwayat medis yang komprehensif tersebut meliputi identifikasi
data dan sumber riwayat medis, keluhan utama (KU), Riwayat penyakit sekarang (RPS),
Riwayat penyakit dahulu (RPD), riwayat keluarga (RK) dan riwayat personal dan sosial (RP
dan S) (Bickley, 2009:2).
1) Identifikasi Data
Identifikasi data meliputi data-data tentang usia klien, jenis kelamin, status perkawinan,
dan pekerjaan (Bickley, 2009:4). Pada kasus GBS didapatkan data terjadi pada segala usia
meskipun paling sering ditemukan pada usia antara 30 dan 50 tahun dan mempunyai
frekuensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras (Kowalak, 2011 :293).
2) Data-data Rumah sakit
Data-data medis rumah sakit berisi informasi tentang riwayat medis yang di dapat dari
klien, keluarga klien, orang terdekat klien, tenaga medis lain, atau rekam
medisnya(Bickley, 2009:3). Pada kasus GBS pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
adalah dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (yang diperoleh melalui pungsi lumbal)
(Lubantombing, 2012:15), yang dapat menunjukkan konsentrasi protein dalam cairan
serebrospinal dengan menghitung jumlah sel normal (disosiasi albuminositologis)
(Ginsberg, 2005:193). Pemeriksaan konduksi saraf mencatat transmisi impuls sepanjang
serabut saraf. Pada klien GBS mengalami penurunan kecepatan konduksi (Ariani,
2012:71).
3) Riwayat Penyakit sekarang
Bagian anamnesis ini merupakan uraian yang lengkap, jelas, dan kronologis mengenai
berbagai permasalahan yang mendorong klien untuk mendapat perawatan (Bickley,
2009:4). Keluhan utama yang sering ditemukan pada klien GBS adalah terjadinya
kelemahan motorik (Price and Wilson, 2005:1152). Pada klien GBS biasanya timbul
demam selama 1 sampai 4 minggu sebelum timbulnya gejala, kemudian timbul rasa
kesemutan (parastesia) pada kaki, lengan, tubuh, dan akhirnya ke wajah. Nyeri biasanya
simetri dan mengenai otot-otot besar seperti gluteal, quadrisep dan hamstring. Dan
kadang-kadang muncul pada tungkai bagian bawah dan ekstremitas atas (Umphred,
2001:387).
4) Riwayat penyakit Dahulu
Berisi daftar penyakit yang dialami pada waktu kanak-kanak, daftar penyakit pada usia
dewasa beserta tanggal kejadiannya yang meliputi empat kategori medis, pembedahan,
obstetri dan ginekologi, dan psikiatri (Bickley, 2009:3). Riwayat penyakit dahulu klien
GBS yang dapat dihubungkan dengan atau menjadi predosposisi keluhan sekarang
meliputi adanya infeksi pernapasan seperti pneumonia, dan infeksi pencernaan (Umphred,
2001 :386).
5) Riwayat Keluarga
Pada riwayat keluarga berisi catatan tentang ada atau tidaknya penyakit spesifik dalam
keluarga, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner, dan lain-lain (Bickley, 2009:3).Pada
klien GBS tidak ada riwayat penyakit spesifik karena GBS bukan termasuk penyakit yang
herediter (Price dan Wilson, 2005:1152).
6) Riwayat Personal dan Sosial
Riwayat sosial meliputi kepribadian serta minat klien, sumber-sumber dukungan, cara
klien mengatasi persoalan, kekuatan dan ketakutannya. Bisa mencakup pekerjaan, situasi
di rumah serta hal-hal signifikan lainnya, aktivitas diwaktu senggang, aktivitas hidup
sehari-hari, serta kebiasaan gaya hidup yang dapat meningkatkan status kesehatan atau
membawa risiko (Bickley, 2009:6). Dibeberapa penelitian tidak disebutkan tentang
riwayat sosial klien GBS, namun klien dengan GBS paling banyak terkena pada musim
semi dan musim dingin. 2 musim tersebut yang akhirnya dihubungkan dengan penyebab
GBS yaitu infeksi pernapasan dan gastrointestinal (Haghighi et all, 2012:60).
2.4.1.2 Pemeriksaan Fisik
1) Vital Sign
Tanda-tanda vital berisi tentang pemeriksaan nadi, respirasi, suhu, dan tekanan darah.
Semua tanda vital tersebut sebaiknya diukur pada setiap pemeriksaan yang lengkap
(Willms, 2003:65). Jika GBS terkena pada saraf otonom maka akan terjadi perubahan
drastis dalam tekanan darah (hipotensi ortostatik) serta perubahan frekuensi jantung
(Ariani, 2012:72), namun didapatkan suhu tubuh normal (Umphred, 2001 :389).
Gangguan sistem saraf otonom dapat dipicu oleh valsava maneuver, batuk, dan perubahan
posisi sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan dengan sangat hati-hati (Ariani,
2012:72).
2) Inspeksi
Pemeriksaan inspeksi dilakukan dengan mengobservasi atau melihat keadaan fisik klien
untuk mendapatkan informasi tentang kecacatan yang terlihat, defisit fungsional, dan
kelainan atau obnormalitas body aligment (Bickley, 2009).
3) Palpasi
Palpasi dilakukan dengan cara meminta klien untuk mengistirahatkan ototnya, kemudian
dipalpasi untuk menentukan konsistensi serta adanya nyeri tekan dan menilai tonus otot
(Lubantombing, 2012). Pada kasus GBS beberapa klien mengalami nyeri tekan (Ariani,
2012:71) dan tonus otot hilang (Price dan Wilson, 2005 :1152).
4) Pemeriksaan Gerak Dasar
Didalam pemeriksaan gerak dapat dilakukan dengan 3 cara, yaitu pemeriksaan gerak aktif
, pemeriksaan gerak pasif dan isometrik. Namun pada klien dengan GBS saat dilakukan
pemeriksaan gerak dasar aktif ditemukan adanya nyeri dan tidak mampu untuk mentolerir
pemeriksaan sehingga klien sulit diajak untuk bekerjasama saat dilakukan pemeriksaan
kekuatan otot (Umphred, 2001:338).
5) Kemampuan Fungsional dan Lingkungan aktivitas.
Pemeriksaan kemampuan fungsional dan aktivitas untuk klien dengan GBS didalamnya
harus ada aktifitas fungsi dari bowel and bladder serta ambulasi (Umprhed, 2001:389).
Indeks Barthel telah lazim dipakai untuk mengukur kemampuan aktivitas klien. Terdiri
dari 10 poin aktivitas yang dikerjakan oleh klien dan nilai oleh fisioterapi. Kesepuluh poin
aktivitas yang akan nilai masing-masing memiliki poin atau nilai, sebagai berikut :
Keterangan tabel 2.2 Penilaian Indeks Barthel
No Aktivitas Nilai
1 Makan 0 – 10

2 Berpindah dari kursi roda ke tempat tidur dan sebaliknya , 0 – 15


termasuk duduk di tempat tidur

3 Kebersihan diri, mencuci muka, menyisir, mencukur, 0–5


menggosok gigi

4 Aktivitas toilet 0 – 10

5 Mandi 0–5

6 Berjalan di jalan yang datar 0 – 15

(jika tidak mampu berjalan, lakukan dengan kursi roda) (0 – 5)

7 Naik turun tangga 0 – 10

8 Berpakain termasuk mengenakan sepatu 0 – 10

9 Kontrol BAB 0 – 10

10 Kontrol 0 – 10
BAK

Sumber (Trisnowiyanto, 2012:99-100)


Intepretasi hasil penilaian setelah dilakukan pemeriksan Indeks Barthel adalah, sebagai
berikut :
Keterangan tabel 2.3 Hasil Penilaian Indeks Barthel
Nilai Keterangan

0 – 20 Ketergantungan penuh

21 – 61 Ketergantungan berat

62 – 90 Ketergantungan moderat

91 – 99 Ketergantungan ringan

100 Mandiri

Sumber (Trisnowiyanto, 2012:100)

6) Pemeriksaan spesifik
Pemeriksaan spesifik mempunyai nilai yang sangat penting untuk memperkuat temuan-
temuan dalam anamnesis. Pemeriksaan Spesifik pada klien GBS adalah MMT (Manual
Muscles Testing), ROM (Range Of Motion), dan pemeriksan sensori (Umphred,
2001:388). Dan juga dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks tendon (Umphred,
2001:389).
(1) MMT (Manual Muscles Testing)
MMT merupakan salah satu bentuk pemeriksaan kekuatan otot yang paling sering
digunakan. Hal tersebut karena penatalaksanaan, intrepetasi, hasil serta validitas dan
realibilitasnya telah teruji. Namun demikian tetap saja, MMT tidak mampu untuk
mengukur otot secara individual melainkan secara kelompok otot (Trisnowiyanto,
2012:30).

Tabel 2.4 Penilaian Manual Muscle Testing


Nilai Keterangan

5 (Normal) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan tahanan
maksimal

4 (Good) Klien dapat melawan gravitasi, LGS penuh dan dapat melawan tahanan minimal

3 (Fair) Klien dapat melawan gravitasi dan LGS penuh.

2 (Poor) Klien tidak mampu melawan gravitasi namun memiliki LGS penuh

1 (Trace) Hanya terdapat sedikit kontraksi

0 (Zero) Tidak ada kontraksi

Sumber (Carolyn Jarvis, 2008:612)


Tujuan dilakukan MMT adalah untuk mengetahui berapa nilai dari kekuatan otot klien,
memprediksi dan mencegah adanya kontraktur, dan dapat memberikan program latihan
yang tepat sesuai nilai kekuatan otot klien dengan GBS. Namun otot yang akan
dilakukan pemeriksaan MMT hanya merupakan otot-otot spesifik (bukan kelompok otot)
seperti otot sternocleidomastoids, deltoid, triceps, flexor carpi ulnaris, lumbricals,
iliopsoas, gluteus medius, anterior tibialis, dan flexor hallucis longus (Umphred,
2001:388).
(2) ROM (Range Of Motion)
Range Of Motion merupakan bagian integral dari gerakan manusia. Agar seorang individu
untuk bergerak secara efisien dan dengan sedikit usaha, berbagai gerak seluruh sendi
sangat penting. Selain itu, kisaran gerak yang tepat memungkinkan sendi untuk
beradaptasi lebih mudah terhadap tekanan yang dikenakan pada tubuh, serta mengurangi
potensi cedera. Berbagai gerak seluruh sendi sangat tergantung pada dua komponen ROM
dan panjang otot. Alat ukur yang sering digunakan untuk pemeriksaan ROM adalah
Goniometer dan terbagi menjadi empat bidang, yaitu sagital plane, frontal
plane, transversal plane dan rotation (Reese, 2002:4,36).
Joint range motion adalah gerakan yang tersedia di setiap sendi dan dipengaruhi oleh
struktur tulang yang terkait dan karakteristik fisiologis jaringan ikat di sekitar sendi.
Jaringan ikat penting yang membatasi rentang gerak sendi termasuk ligamen dan kapsul
sendi (Reese, 2002:4).
(3) Pemeriksan Refleks Tendon Dalam
Hasil pemeriksaan refleks merupakan informasi penting yang sangat menentukan.
Penilaian refleks selalu berarti penilaian secara banding antara sisi kiri dan sisi kanan
(Ariani, 2012:186). Itulah sebabnya pemeriksaan refleks penting nilainya karena lebih
objektif (Lumbantobing, 2005:135), karena pada klien dengan GBS refleks tendon
biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred, 2001:387). Refleks tendon dalam atau
refleks regangan otot dihantarkan melalui struktur pada sistem saraf pusat atau tepi.
Refleks tersebut menggambarkan satuan fungsi sensorik dan motorik yang sederhana.
Untuk menimbulkan refleks tendon dalam, lakukan pengetukan dengan cepat pada otot
yang akan diperiksa.

Untuk dapat mencetuskan refleks, semua komponen refleks harus utuh, komponen
tersebut meliputi serabut saraf sensorik, sinaps medulla spinalis, serabut saraf motorik,
sambungan serabut muskular, dan serabut-serabut otot. Ketukan pada tendon akan
mengaktifkan serabut-serabut sensorik khusus pada otot yang teregang sebagian dengan
memicu impuls sensorik yang berjalan ke medulla spinalis melalui saraf tepi. Serabut
sensorik yang terangsang itu bersinaps langsung dengan radiks saraf anterior yang
mempersarafi otot yang sama. Ketika impuls saraf melintasi sambungan neuromuskular,
maka otot akan berkontraksi secara tiba-tiba (Bickley, 2009:550). Telah ditemukakan di
atas bahwa timbulnya refleks ini ialah karena teregangnya otot oleh rangsang yang
diberikan dan akan timbul kontraksi otot (Lumbantobing, 2005:136). Tingkat jawaban
refleks dibagi menjadi beberapa tingkat, yaitu :
Keterangan tabel 2.5 Respon Penilaian refleks
Simbol Keterangan

- (negatif) Tidak ada refleks sama sekali

± Kontraksi sedikit

+ Ada kontraksi

++ Kontraksi berlebihan, refleks meningkat

Sumber (Lubantombing, 2005:136)

(4) Pemeriksaan Sensori


Tujuan dilakukan pemeriksaan sensori pada klien GBS adalah untuk mengidentifikasi
jenis tertentu dari perubahan sensori, seperti parasthesia atau hypesthesia (Umphred,
2001:389). Pemeriksaan sensori atau sensibilitas merupakan pemeriksaan yang tidak
mudah. Kita tergantung kepada perasaan klien, jadi bersifat subjektif (Lumbantobing,
2005:118). Oleh sebab itu, pemeriksaan ini sebaiknya dilakukan setelah pemeriksaan
motorik termasuk refleks. Karena subjektivitas ini, pemeriksa dapat salah, baik karena
keinggginan klien yang besar untuk membantu atau klien berpura-pura mengerti sehingga
memberikan informasi yang salah. Pemeriksaan sensorik paling baik dilakukan secara
cepat, selain tidak melelahkan bagi pemeriksa dan klien, juga mengurangi kemungkinan
yang terjadi kesalahan informasi yang diberikan.
Pemeriksaan sensori suhu dan nyeri dihantarkan oleh jaras traktur spinotalamikus di
medulla spinalis. Disini neuron sensorik primer memasuki medulla spinalis melalui radiks
dorsalis (Ginsberg, 2005:51-52). Pemeriksaan rasa nyeri dapat dilakukan dengan
menggunakan jarum dan kita menanyakan rasa nyeri yang dirasakan klien. Pemeriksaan
rasa suhu, ada dua macam rasa suhu yaitu rasa panas dan rasa dingin. Rasa suhu diperiksa
dengan menggunakan tabung reaksi yang diisi dengan air es untuk rasa dingin, dan untuk
rasa panas dengan air panas (Lumbantobing, 2005:125-126).
2.4.2 Diagnosis Fisioterapi
Diagnosa fisioterapi merupakan hasil analisa dari pemeriksaan (assesment) dan evaluasi
yang menunjukkan atau mengekspresikan adanya disfungsi gerak dan dapat mencakup:
2.4.2.1 Impairment
Menggambarkan hilangnya atau terjadinya kelainan struktur tubuh dari fungsi
psikologis atau fisiologis (Edwards, 2002:26). Pada klien GBS didapatkan impairmentberupa
kelemahan ringan sampai kelumpuhan total otot ekstremitas bagian distal, refleks tendon
biasanya berkurang atau tidak ada (Umphred, 2001:387), nyeri, dan adanya perubahan
sensasi (Lennon dan Stokes, 2009:137).
2.4.2.2 Functional Limition
Menggambarkan sifat dan tingkat kinerja klien dalam kegiatan fungsional sehari-
harinya (Edwards, 2002:26). Pada klien GBS didapatkan penurunan kemampuan untuk
mobilitas di tempat tidur, transfer, ADL (Activity daily living), dan mobilisasi (diluar maupun
didalam ruangan) (Lennon dan Stokes, 2009 :131).
2.4.2.3 Participation Restriction
Menggambarkan sifat dan keterlibatan klien di tempat mereka tinggal pada tingkat
bermasyarakat. Hal ini menunjukan keterkaitan yang erat antara impairment danfunctional
limitation (Edwards, 2002:26). Pada klien GBS yang mengalami kelemahan neurologi yang
diakibatkan dari berkurangnya mobilitas sendi akan mengalami ketidakmampuan
bersosialisasi selama 1 sampai 3 tahun (Edwards, 2002:131).
2.4.3 Intervensi Fisioterapi
Tujuan dari pemberian intervensi pada klien GBS adalah mengurangi nyeri,
menghindari terjadi kontraktur, dekubitus, dan kelemahan atau denervated otot (Umphred,
2001:390). Namun konsep yang paling penting untuk diingat dalam merancang program
latihan untuk klien GBS adalah latihan tidak akan mempercepat atau meningkatkan
regenerasi saraf, dan tidak akan mempengaruhi tingkat reinnervation selama
prosesrehabilition. Tujuan utama manajemen terapi adalah hanya menjaga sistem
muskuloskeletal klien dalam keadaan yang optimal, mencegah overwork, dan memacu proses
pemulihan untuk mendapatkan fungsi maksimal pada saat terjadinya
prosesreinnervation (Umphred, 2001: 392).
Program rehabilitasi untuk klien dengan GBS harus dinilai dengan hati-hati sesuai
dengan tahap penyakit tersebut. Dalam kondisi akut bila terjadi defisit pernapasan, penekanan
awal yang harus dilakukan untuk mendukung status pernapasan maksimal dapat dilakukan
melalui breathing exercise (Umphred, 2001:397). Breathing exercisemerupakan suatu
intervensi mendasar untuk pencegahan atau penanganan yang komprehensif
pada impairment yang berhubungan dengan gangguan pernafasan akut maupun
kronis. Breathing exercise merupakan satu aspek manajemen untuk memperbaiki status paru
dan meningkatkan daya tahan tubuh secara keseluruhan. Tujuan dari breathing
exercise adalah meningkatkan efektivitas mekanisme batuk dan membantu dalam
pembersihan jalan nafas, meningkatkan kekuatan, daya tahan, dan koordinasi dari otot-otot
pernapasan, mempertahankan atau meningkatkan mobilitas dada, memperbaiki pola
pernapasan yang tidak efisien atau abnormal dan mengurangi kerja pernapasan,
meningkatkan kapasitas fungsional klien dalam kehidupan sehari-hari, pekerjaan dan
rekreasi. Ekspirasi secara paksa tidak diperbolehkan pada saat breathing exercise karena
dapat meningkatkan turbulensi dan restriksi pada jalan nafas, serta
menyebabkanbronkospasme. Klien juga tidak diperbolehkan melakukan ekspirasi terlalu
lama atau panjang karena dapat menyebabkan klien kesulitan dalam melakukan inspirasi
yang selanjutnya sehingga pola nafas klien menjadi tidak teratur dan efesien. Selain itu, klien
juga tidak diperbolehkan untuk melakukan inspirasi dengan menggunakan otot-otot bantu
pernapasan dan upper chest, sarankan agar klien menggunakan otot-otot bantu pernapasannya
secara minimal selama bernafas. Breathing exercise ini hanya dilakukan sebanyak 3 sampai 4
kali inspirasi dan ekspirasi agar mencegah terjadinya hiperventilasi (Kisner, 2007:861).
Program latihan berikutnya yang juga dapat dilakukan pada kondisi akut adalah
program latihan positioning. Positioning merupakan program latihan yang harus dilakukan
dengan segera yang bertujuan untuk mencegah luka akibat tekanan. Dalam program latihan
ini fisioterapi sangat berperan aktif dalam beberapa hari pertama klien di rawat inap
khususnya bagi klien yang memiliki kelumpuhan total atau kelumpuhan
ringan.Positioning merupakan sebuah program latihan untuk klien yang dependent dan
dilakukan dengan segera mungkin untuk mencegah adanya komplikasi seperti
dekubitus. Positioningjuga dapat dilakukan dengan menggunakan tempat tidur khusus seperti
matras listrik yang khusus dirancang untuk mengubah posisi klien secara terus-menerus atau
menyebarkan tekanan di atas permukaan yang luas (Umprhed, 2001:390-391).
Untuk klien dengan GBS yang memiliki bentuk tubuh yang kurus dan terlihat adanya
tonjolan tulang, mungkin perlu membutuhkan alat bantu tambahan seperti busa berbentuk
“donuts” untuk melindungi tekanan tersebut. Sedangkan untuk klien yang mengalami nyeri
otot biasanya klien lebih suka untuk menekuk pinggul serta lututnya sehingga fisioterapi
harus mengatur atau mengubah posisi klien keluar dari posisi tertekuk dalam beberapa jam.
Sebagai kelengkapan program positioning, terapis juga harus mempertimbangkan cara terbaik
untuk mempertahankan posisi fisiologis tangan dan kaki dengan menggunakan
fasilitas footboard untuk mengontrol gerakan psaif dorsiflleksi pergelangan kaki
dengan ankle foot splint, yang dapat dikenakan saat klien berada dalam posisi apapun.
Sedangkan pemasangan splints pada pergelangan tangan dan tangan dapat
menggunakan resting-style splints atau dibentuk sesuai dengan kebutuhan klien yang
tujuannya untuk menjaga pergelangan tangan yang baik, ibu jari, dan alignment jari
(Umprhed, 2001:390-391).
Program latihan yang dapat diberikan selanjutnya adalah passive exercise. Pada klien
GBS dikemukakan bahwa dengan dilakukan passive exercise dapat mengurangi rasa nyeri
atau mengontrol rasa nyeri tersebut (Umphred, 2001:390), serta memelihara lingkup gerak
sendi klien (Lennon and Stokes, 2009:132). Menurut Kisner (2007:44) Salah satu
tujuan passive exercise adalah penurunan atau menghambat nyeri, membantu sirkulasi dan
dinamika vaskular, membantu menjaga kesadaran gerakan klien, serta dapat meminimalkan
efek dari pembentukan kontraktur. Passive exercise ditujukan pada klien dengan kondisi
koma, paralysis, lumpuh, atau bed rest yang mana klien tidak mampu untuk menggerakkan
anggota tubuhnya secara aktif sehingga butuh gaya eksternal untuk menggerakkan anggota
tubuhnya. Gaya eksternal tersebut adalah fisioterapis. Pemberian frekuensi latihan passive
avercise pada klien GBS sebaikknya lebih sering digerakkan dengan durasi yang rendah
sehingga tidak boleh menimbulkan nyeri atau kelelahan (Umphred, 2001:392).
Klien tetap harus dimotivasi untuk dapat menggerakkan anggota tubuhnya jika sudah
mulai muncul kontraksi dari ototnya, namum fisioterapi tetap harus memperhatikan atau
mengamati gerakan yang dihasilkan oleh klien supaya dapat mengetahui adanya perubahan
kualitas gerakan yang mungkin berhubungan dengan penurunan kekuatan. Jika klien tidak
mampu menyelesaikan latihan tersebut sendiri maka fisioterapi membantu meyelesaikan
latihan tersebut sampai batas normal ROM atau dengan active assisted exercise, namun harus
hati-hati dan peka terhadap reaksi klien (Umphred, 2001:392).
Ketika klien sudah merasa cukup stabil maka active exercise dapat dialakukan dengan
diikuti periode latihan yang pendek sesuai dengan kekuatan klien dan tanpa menyebabkan
kelelahan. Pada tahap awal latihan, pengulangan per periode latihan harus rendah dan
frekuensi latihan jangka pendek harus tinggi. Untuk mendorong kontraksi otot aktif, terapis
harus hati-hati menunjukkan kepada klien gerakan yang diharapkan. Terapis kemudian
mengerakkan anggota tubuh klien dan menjelaskan gerakan tersebut, setelah mendapatkan
penjelasan yang jelas tentang gerakan yang sudah dijalaskan, klien didorong untuk
mengkontraksikan atau menggerakkan otot nya (Umphred, 2001:392-393).
Menurut penelitian Tara Beth (2008) intervensi fisioterapi melibatkan program latihan
fungsional progresif serta pemantauan overuse dan fatigue harus dilakukan. Hal ini
dimengerti bahwa penguatan dicapai sebanding dengan jumlah motor unit yang utuh,
demikian juga kemajuan peningkatan kekuatan yang diharapkan akan dibatasi oleh tingkat
kerusakan yang ada dalam sistem motorik. Seperti yang disarankan untuk kondisi neuropati
perifer, peningkatan aktivitas atau tingkat latihan yang dilaksanakan hanya jika ada perbaikan
atau tidak ada penurunan setelah satu minggu setelah diberikan intervensi dengan intensitas
tertentu.
Peningkatan program latihan dimulai dari passive exercise, active asissted exercise,
dan active exercise pada ekstremitas atas, ekstremitas bawah, dan trunk. Latihan dilakukan
dengan durasi yang rendah, biasanya 5 sampai 10 pengulangan, dan selalu dihentikan jika
klien mengeluh lelah. Waktu istirahat sering diberikan, dan respon klien terhadap latihan
secara konsisten harus dimonitor seperti sesak napas atau tanda-tanda lain dari kelelahan.
Sesi per latihanen GBS adalah 60 menit per sesi (Tara Beth, 2008).
2.4.4 Evaluasi Fisioterapi
Evaluasi bisa dilihat dengan menggunakan MMT, LGS, pemeriksaan refleks,
pemeriksaan sensori, dan pemeriksaan kemampuan fungsional serta melihat proses dari
patologi klien tersebut. Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu :
2.4.4.1 Evaluasi Berhasil
Evaluasi berhasil jika kekuatan otot tidak mengalami penurunan atau peningkatan
(tetap) diketahui dengan menggunakan MMT, luas gerak sendinya meningkat diketahui
dengan menggunakan penilaian atau pengukuran ROM, munculnya refleks tendon diketahui
dengan menggunakan tes refleks tendon dalam, tidak adanya gangguan sensori diketahui
dengan pemeriksan sensori, serta peningkatan kemampuan fungsional diketahui dengan
menggunakan Indeks Barthel.
2.4.4.2 Evaluasi Tidak Berhasil
Evaluasi tidak berhasil jika kekuatan otot menurun diketahui dengan menggunakan
MMT, luas gerak sendinya berkurang diketahui dengan menggunakan penilaian atau
pengukuran ROM, penurunan refleks tendon diketahui dengan menggunakan tes refleks
tendon dalam, adanya gangguan sensori diketahui dengan pemeriksan sensori, serta
penurunan kemampuan fungsional diketahui dengan menggunakan Indeks Barthel.
Selanjutnya apabila tidak berhasil, maka akan dilakukan reevaluasi untuk menentukan
intervensi lain yang sesuai (Pryor dan Webber, 2001:4).

Ariani, Tutu April. 2012. Sistem Neurobehavior. Jakarta : Salemba Medika


Bickley, L dan Szilagyi, P. 2009. Buku Ajar Pemeriksaan Fisik Dan Riwayat Kesehatan.
Ahli Bahasa : Andry Hartono. 2009. Ed. 8, Jakarta : EGC

Corwin, Elizabeth J. 2009. Patofisiologi : Buku Saku. Alih Bahasa Nike Budhi Subekti.
2009. Jakarta : EGC

Edwads, Susan. 2002. Neurological Physiotherapy. Second Edition. London : Churcill


Livingstone

Ginsberg, Lionel. 2005. Lecture Notes Neurologi. Alih bahasa Indah Retno Wardhani. 2005.
Jakarta : Penerbit Erlangga

Haghighi, Afshin Borhani et all. 2012. Vol :12. Seasonal Variation of Guillain-Barré
Syndrome Admission in a Large Tertiary Referral Center in Southern Iran: A
10 Year Analysis. Iran : Acta Neural Taiwan

Irfan, Muhammad. 2010. Fisioterapi Bagi Insan stroke. Yogyakarta : Graha Ilmu

Jarvis, Carolyn. 2008. Physical Examination & Health Assessment. Fifth Edition. Canada:
Saunders Elsevier

Kisner, Carolyn. 2007. Therapeutic Exercise. 5th Edition. Philadelphia: F. A Davis


Company

Kowalak, Jenifer. P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi: Proses Penyakit, Tanda dan Gejala,
Penatalaksanaan, Efek, Pengobatan, Ilustrasi. Alih Bahasa Andry Hartono. 2011.
Jakarta: EGC

Lennon, Sheila dan Maria Stokes. 2009. Pocketbook Of Neurogical Physiotherapy.


:Philadelphia : Churcill Livingstone

Lumbantobing. 2012. Neurologi Klinik Pemeriksaan dan Mental. Jakarta : FKUI

Netter, Frank H et all. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA :


ComTam

Pieter A. 2004. Gullian Barre Syndrome. Netherlands : University Medical Center


Rotterdam

Pourmand, Rahman. 2008. Practicing Neurology : What You Need To Know What You
Need To do. New Jersey: Humana Press

Price, Sylvia Anderson dan Lorraine Mccarty Wilson. 2005. Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-Proses penyakit. Alih bahasa Brahm U. 2005. Ed. 6. Jakarta : EGC

Pryor, Jennifer. A. et all. 2001. Physiotherapy for Respiratory and Cardiac Problems.
Second Edition. London: Churchill Livingstone

Reese, Nancy Berryman dan William D. Bandy. 2002. Joint Range Of Motion and Manual
Muscle Testing. Philadelphia : W.B. Saunders Company

Rohkamm. 2004. Color Atlas of Neurology. German : Thieme Stuttgart

Scanlon, Valerie C dan Tina Sanders. 2006. Essentials of anatomy and


physiology.Philadelphia : F. A. Davis Company
Smelzter, Suzanne C. 2001. Buku Ajar Medikal Bedah. Alih bahasa Agung Waluyo. 2001.
Ed. 8. Jakarta : EGC

Snell, Richard S. 2006. Anantomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Alih Bahasa
Liliana Sugiarto. 2006. Jakarta : EGC

Tara Beth, Fisher and Stevens Jennifer E. 2008. Vol : 3. Journal Of Neurologic Physical
Therapy. Philadelphia : Kivmars Bowling

Trisnowiyanto, Bambang. 2012. Instrumen Pemeriksaan Fisoterapi Dan Penelitian


Kesehatan. Yogyakarta : Nuha Medika

Umpred, Darcy A. 2001. Neurological Rehabilition. Fourth Edition. United States


Amerika : Mosby

Yuki, Naburiko and Hans Peter Hartung. 2012. The New England JournaL OfMedicine.
National University of Singapore : Department of Medicine

You might also like