Professional Documents
Culture Documents
FLU BURUNG
PAPER
Disusun Oleh :
Dalam agenda setting sangat penting untuk menentukan isu publik yang akan
diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Isu new emerging disease yang akan
penulis ambil yaitu penyakit Flu Burung. Proses penyusunan agenda kebijakan
(policy agenda) menurut Widodo1 dalam bukunya yang berjudul Analisis Kebijakan
Publik (2008:57) secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :
Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1997, peneliti menemukan bahwa virus
H5N1 terus berevolusi dengan melakukan perubahan di zat antigen dan struktur gen
internal yang kemudian dapat menginfeksi beberapa spesies yang berbeda. Virus
yang pertama kali ditemukan di Hongkong pada tahun 1997 dan 2001 tidak mudah
ditularkan dari burung satu ke lainnya dan tidak menimbulkan penyakit yang
mematikan pada beberapa binatang. Namun pada tahun 2002, jenis baru virus H5N1
muncul, dikenal dengan virus H5N1 tipe gen Z yang menjadi tipe gen dominan, yang
menyebabkan penyakit akut pada populasi burung di Hongkong, termasuk disfungsi
neurologi dan kematian pada bebek dan jenis unggas lainnya.
Virus dengan tipe gen inilah yang menjadi epidemic di Asia Tenggara yang
menyebabkan kematian jutaan ekor ayam dan dari 2 sub klas yang tercipta akibat
mutasi virus yang selalu berubah telah menimbulkan korban ratusan manusia yang
meninggal dunia. Mutasi yang terjadi dari jenis virus ini meningkatkan patogen virus
yang dapat memperparah serangan virus ke berbagai spesies dan ditakutkan nantinya
mampu menularkan virus dari manusia ke manusia lainnya. Mutasi tersebut terjadi di
dalam tubuh burung yang menyimpan virus dalam jangka waktu lama di dalam
tubuhnya sebelum akhirnya meninggal akibat infeksi.
Mutasi yang terjadi pada virus H5N1 merupakan karakteristik jenis virus
influenza, dimana virus tersebut mampu mengkombinasikan jenis 2 jenis virus
influenza yang berbeda yang berada dalam 1 jenis reseptor pada saat yang
bersamaan. Kemampuan virus untuk bermutasi menghasilkan jenis yang mampu
menginfeksi berbagai jenis spesies adalah karena adanya variasi yang ada di dalam
gen hemagglutinin. Mutasi genetik dalam gen hemaglutinin menyebabkan
perpindahan asam amino yang pada akhrinya dapat mengubah kemampuan protein
dalam hemagglutinin untuk mengikat reseptor dalam permukaan sel.
Mutasi inilah yang dapat mengubah virus flu burung H5N1 yang tadinya tidak
dapat menginfeksi manusia menjadi dapat dengan mudah menular dari unggas ke
manusia. Oleh karena itu peneliti sekarang sedang giat-giatnya mencoba memahami
sifat virus ini dan berusaha melakukan rekayasa genetika dengan memasukkan 2
asam amino virus flu spanyol H1N1 ke dalam hemaglutinin H5N1 sehingga nantinya
virus H5N1 tidak menjadi pandemik yang membahayakan manusia seperti yang
terjadi pada wabah tahun 1918. Penelitian itu membuahkan hasil yang
menggembirakan dimana objek penelitian dapat tetap sehat meskipun ditempatkan
dalam 1 ruangan bersama objek yang sakit4.
2. Public Problem
Kasus flu burung ini berawal dari private problem dan berkembang menjadi
public problem, karena dalam perkembangannya virus penyebabnya mengalami
mutasi genetik sehingga juga dapat menginfeksi manusia. Mutasi ini dalam
perkembangannya dapat menyebabkan pandemik. Di Indonesia, flu burung telah
menyerang peternakan unggas pada pertengahan Agustus 2003. Sampai awal 2007
menurut Direktorat Kesehatan Hewan, Ditjen Peternakan Departemen Pertanian
tercatat 30 provinsi mencakup 233 kabupaten/kota yang dinyatakan tertular flu
burung pada unggas. Pada manusia pertama kali terjadi pada bulan Juni 2005 dimana
virus flu burung/H5N1 telah menyerang tiga orang dalam satu keluarga dan
mengakibatkan kematian ketiganya. Sejak saat itu jumlah penderita flu burung terus
bertambah, sampai Maret 2007 jumlah penderita flu burung yang terkonfirmasi
sebanyak 89 orang dan 68 orang diantaranya meninggal (berarti Case Fatality
Ratenya sekitar 76,4%). Hal ini bisa disebabkan sifat karakteristik virus yang sangat
ganas, keterlambatan dalam deteksi dini (belumadanya kit diagnosa cepat yang
mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi), keterlambatan rujukan ke rumah
sakit dan satusatunya obat yang tersedia adalah oseltamivir yang harus diberikan
dalam 48 jam pertama sejak timbul gejala.
Pada awalnya virus ini dikenal tidak berbahaya karena tidak dapat menyerang
spesies lain termasuk manusia karena perbedaan jenis reseptor virus, namun setelah
ditemukan bahwa flu yang menyerang unggas ini juga menyerang 2 anak laki-laki
pada tahun 1997 di Hongkong dan menyebar ke seluruh Asia, serentak kasus flu
burung menjadi pandemik yang mengkhawatirkan semua pihak di dunia. 1
Pada akhirnya seluruh kasus flu burung tersebar di sembilan provinsi yang
merupakan daerah KLB AI pada unggas yaitu Sumatera Utara, Sumatera Barat,
Lampung, Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi
Selatan. Penderita Flu Burung paling banyak ditemukan di Provinsi Jawa Barat
(32,6%), kedua di DKI Jakarta (24,9%) dan ketiga di Banten (13,5%). Hal ini bisa
disebabkan karena di ketiga provinsi tersebut tingkat kepadatan populasi manusia
dan populasi unggas dalam suatu wilayah yang tinggi.
3. Issues
Penyakit flu burung telah menjadi isu global sehingga penanganan yang serius
perlu segera diambil agar KLB flu burung tidak bermutasi menjadi flu yang menular
dari manusia ke manusia dan menjadi wabah pandemi influenza. Menurut WHO,
terdapat enam fase global pandemi influenza berdasarkan faktor epidemiologi pada
manusia sebelum suatu pandemi ditetapkan. Flu burung berdasarkan data yang
diperoleh dari WHO masuk pada fase ke-3 yaitu periode kewaspadaan terhadap
pandemi.9
Data tahun 2003 hingga tanggal 27 Februari 2006, tercatat jumlah kasus Avian
Influenza yang confirmed laboratorium mencapai 173 kasus dan 93 kasus (55%) di
antaranya meninggal dunia. Negara dengan jumlah kasus Avian Influenza terbanyak
adalah Vietnam (93 kasus) sekitar 53,8% dari total kasus di seluruh dunia dengan
kematian 45,16%. Indonesia menempati urutan kedua kasus terbanyak di seluruh
dunia dengan 28 kasus (15,6%) dan kematian 74,1%, setelah Thailand dengan 22
kasus (12,72%) dan kematian 63,6%. Area periode kewaspadaan terhadap pandemi
penyakit flu burung di Asia Tenggara terlihat pada Gambar 1.1.
Gambar 1. Area Periode Kewaspadaan Pandemik Flu Burung
Indonesia saat ini berada di tengah krisis flu burung. Kasus flu burung pertama
kali dilaporkan Indonesia pada tahun 2003. Penyakit ini sekarang endemis di
populasi ayam dibeberapa daerah di Indonesia ; jutaan unggas mati karena
penyakit ini dan juga dimusnahkan sebagai wujud penanganan kasus penularan flu
burung. Untuk kasus flu burung pada manusia pertama kali dilaporkan pada tahun
2005. Sejak itu Indonesia sudah mencatat lebih dari 130 kasus flu burung pada
manusia dan lebih dari 110 korban meninggal – paling tinggi di dunia. Di
Indonesia, anak-anak merupakan salah satu kelompok yang paling beresiko
terkena penyakit ini karena sekitar 40 persen dari korban flu burung adalah-adalah
mereka yang berusia dibawah 18 tahun.5
Bandung - Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Kehutanan Kabupaten
Bandung Tisna Umaran mengatakan sudah melakukan pemusnahan terhadap
415 ekor unggas dan vaksinasi pada lebih dari 700 ekor unggas untuk mencegah
penyebaran virus flu burung di wilayahnya. Target vaksinasi diprioritaskan pada
ternak unggas yang berada di seputaran Desa Sekarwangi, Kecamatan Soreang.
Vaksin flu burung yang ada saat ini cukup untuk 10 ribu ekor unggas. Diseluruh
wilayah Kabupaten Bandung, populasi unggas menembus 400 ribu ekor.6
Berdasarkan riwayat epidemiologis 54% mempunyai riwayat kontak langsung
dengan unggas sakit/mati; 30% kontak dengan lingkungan dimana terdapat
kematian unggas akibat H5N1; 1% kontak dengan pupuk kandang tercemar; 15%
tidak diketahui sebabnya.Dari 86 kasus konfirmasi diperoleh sebanyak 56% laki-
laki dan 44% perempuan. Sebaran kasus menurut kelompok usia 0-5th sebanyak
11,24%; 6-15th sebanyak 28,09%; 15-45 th sebanyak 59,55%; > 45 thsebanyak
1,12%.
Saat ini jumlah kasus flu burung pada manusia di Indonesia terbanyak ke-2
setelah Vietnam, dengan angka kematian tertinggi di dunia. Dibandingkan negara-
negara lain yang juga tertular avian influenza/H5N1, penyakit flu burung di
Indonesia terus berkembang dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Para ahli memperkirakan setiap 10-40 tahun, apabila muncul subtipe virus
influenza A yang baru, akan muncul suatu pandemi seperti yang terjadi pada
tahun 1918 (H1N1), 1957 (H2N2) dan 1968 (H3N2). Pada saat ini telah
teridentifikasi subtipe baru yaitu virus H5N1 yang terus menyebar ke berbagai
negara sehingga diprediksi virus pandemi influenza berasal dari mutasi virus
(reassortment) H5N1sakit/mati .
Dan berikut awal munculnya flu burung di Indonesia sampai akhirnya dinyatakan
sebagai wabah (kejadian luar biasa/KLB) :
29 Agustus 2003 : Muncul penyakit yang mematikan di peternakan ayam di
Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Setelah itu menyebar di sejumlah
kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
23 Oktober 2003 : Deptan mengonfirmasi wabah itu sebagai virus tetelo
dengan jenis vilogenik viserotropik berdasarkan pengujian beberapa lembaga
dan laboratorium.
28 Oktober 2003 : Otoritas Agrifood and Veterinary Authority (AVA)
Singapura telah melarang sementara impor burung dan unggas lainnya dari
Indonesia karena adanya informasi wabah penyakit flu burung di beberapa
daerah.
19 November 2003 : Dua sumber independen yang layak dipercaya di
Indonesia telah mengirim informasi adanya wabah flu burung ke International
Society for Infectious Diseases (ISID). Mereka mengabarkan, wabah tersebut
telah terjadi di Jawa Barat dan Sumatera.
22 Desember 2003 : Pusat Informasi Unggas Indonesia (Pinsar) menyebutkan
adanya keikutsertaan flu burung dalam wabah tetelo yang terjadi di Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Virus tersebut tidak hanya diisolasi, tetapi sudah
diidentifikasi melalui berbagai metode diagnostik. Pinsar menyarankan virus
flu burung yang ditemukan sebaiknya dikirim ke laboratorium rujukan
internasional di Australia, Inggris, Jerman, dan Amerika Serikat.
15 Januari 2004 : Sebuah tim yang terdiri atas Kepala Badan Karantina dan
Direktur Kesehatan Hewan pergi ke Cina sekitar enam hari untuk mempelajari
kasus flu burung, termasuk pengadaan vaksin.
21 Januari 2004: Dirjen Bina Produksi Peternakan menginformasikan bahwa
pemerintah menunjuk PT Bio Farma untuk mengimpor vaksin flu burung
dengan jenis patogenitas rendah.
24 Januari 2004: Ketua I Persatuan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) CA
Nidom mengumumkan, dari identifikasi DNA dengan sampel 100 ayam yang
diambil dari daerah wabah diketahui positif telah berjangkit flu burung.
25 Januari 2004: Deptan mengumumkan secara resmi kasus avian influenza
terjadi di Indonesia, namun belum ditemukan korban manusia akibat wabah
tersebut.
4. Systemic Agenda
Dengan hampir sepertiga dari kasus kematian pada manusia terjadi di Indonesia
dan jumlah ini tercatat paling tinggi di dunia, maka Indonesia diperkirakan akan
menjadi negara di mana pandemi influenza berawal. Per November 2006, jumlah
kematian manusia karena flu burung di Indonesia mencapai 56 orang. Di seluruh
dunia, jumlah kematian seluruhnya 153 orang di sembilan negara.
Dengan melihat situasi terakhir flu burung di Indonesia, maka Pemerintah
langsung menyatakan bahwa diperlukan kesungguhan dalam mengatasi masalah ini.
Perlu digarisbawahi bahwa Indonesia di satu sisi memiliki keterbatasan dalam
sumber daya dan dana untuk mengatasi krisis flu burung, di samping banyaknya
masalah bencana nasional dan serangan penyakit menular yang dialami belakangan
ini. Masalah kasus Flu burung ini kemudian masuk dalam agenda pemerintah,
diantaranya yaitu :
1) Mencegah agar pandemi global tidak terjadi, maka seluruh upaya yang
dilakukan untuk memerangi flu burung perlu dikonsolidasikan ke dalam suatu
upaya bersama pemerintah, swasta, dan seluruh masyarakat Indonesia serta
dukungan dunia internasional.
2) Diperlukan adanya penyelenggaraan kegiatan yang paling mendasar adalah
pelatihan untuk tenaga pelatih (training for trainers), surveilans, dan respons
cepat.
3) Pembentukan Pusat Pengendali Penyakit (Local Disease Control Center) di
tingkat kabupaten yang difokuskan sementara ini di wilayah-wilayah dengan
tingkat kejadian wabah unggas tinggi.
4) Pembentukan tim Participatory Disease Surveillance (PDS) dan Participatory
Disease Response (PDR) yang merupakan ujung tombak di lapangan
bekerjasama dengan masyarakat setempat di tingkat desa.
Semua kegiatan tersebut diselaraskan dengan kampanye komunikasi yang juga
diterapkan dengan strategi berbasis masyarakat dengan memanfaatkan keikutsertaan
tenaga-tenaga sukarelawan yang direkrut dari dua organisasi masyarakat berbasis
akar rumput, seperti Muhammadiyah dan Palang Merah Indonesia (PMI).
Keseluruhan bantuan dana yang masuk akan terus berlanjut dalam jangka waktu
tertentu dan perlu diketahui efektivitasnya dengan mempelajari kelemahan dan
kekuatan serta menganalisis pencapaian keluaran melalui pengukuran indikator kunci
keberhasilan. Dengan demikian, Indonesia bisa merasakan manfaat dari bantuan
tersebut sebagai bagian dari tanggung jawab dan kerjasama internasional (KOMNAS
FBPI).
5. Instituional Agenda
Wabah flu burung sebenarnya telah mendapatkan perhatian dari pemerintah. Hal
ini dapat dibuktikan dengan turunnya peraturan presiden nomor 7 tahun 2006 tentang
pembentukan Komite Nasional Pengendalian Flu Burung (KNPFB). Proses ini
sebenarnya telah didahului dengan terbitnya SK Dirjen Peternakan yang mengatur di
wilayah budidaya ayam ras. Menurut SK Dirjen No. 17 tahun 2004 telah dinyatakan
bahwa prioritas nasional untuk pengendalian wabah flu burung adalah dengan
sembilan strategi pengendalian AI yaitu: 1) peningkatan biosekuriti, 2) vaksinasi
daerah tertular dan tersangka, 3) depopulasi terbatas dan kompensasi, 4)
pengendalian lalu-lintas unggas dan produknya, 5) surveilans dan penelusuran
kembali, 6) pengisian kandang kembali, 7) stamping out di daerah tertular baru, 8)
public awareness , dan 9) monitoring dan evaluasi (Anonimus, 2004).
Undang-Undang No 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular (pengganti
UU No 6 Tahun 1962 tentang Wabah dan UU No. 7 Tahun 1968 tentang perubahan
Pasal 3 UU No. 6 Tahun 1962) memang tidak secara spesifik mengatur tentang
Wabah Flu Burung. Namun secara insplisit terakomudir di dalam undang-undang
tersebut sebagai wabah penyakit menular.
Selain undang-undang diatas, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang No.
6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan
Hewan. Pemberlakuan UU No. 4 Tahun 1984 haruslah terintegrasi bersama-sama
dengan UU No. 6 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan
Kesehatan Hewan. Keterpaduan ini penting sebab Negara Republik Indonesia yang
agraris tidak lepas dari soal peternakan dan oleh karena itu Pemerintah wajib
memajukannya, setidak-tidaknya mencegah penyakit-penyakit hewani, baik yang
menular maupun yang tidak menular, sebab tanpa usaha itu rakyat akan kehilangan
sumber protein-hewani yang diperlukan, padahal sumber yang dimaksud berada di
tangan rakyat sendiri.
Keseriusan Indonesia menghadapi masalah flu burung ini, baik pada hewan
(unggas) sebagai sumber penularan yang utama maupun pada manusia dapat
ditunjukkan dengan telah terbentuknya dan tersusun beberapa dokumen strategi,
yaitu sebagai berikut :
1) Pemerintah mengeluarkan Kepmenkes No. 1371/MENKES/SK/IX/2005
tentang Penetapan Flu Burung (Avian Influenza) sebagai Penyakit yang dapat
Menimbulkan Wabah serta Pedoman Penanggulangannya, yang ditetapkan
pada 19 September 2005.
4) Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2007, ditetapkan pada tanggal 13 Maret 2006
tentang Komite Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan
Menghadapi PAndemi Influenza (Komnas FBPI). Dokumen ini merupakan
dasar keberadaan Komnas FBPI sekaligus menjadi dasar lingkup tugas dan
fungsi serta kegiatan Komnas FBPI. Pendekatan strategis seperti
pengembangan Komite Daerah, Panel Kelompok, Kelompok Kerja,
Sekretariat Komnas FBPI, dan sebagainya didasarkan pada ketentuan dalam
Perpres 7/2006 ini.