You are on page 1of 30

LAPORAN PRAKTIKUM FARMASI FISIKA

MODUL 1
KELARUTAN

Disusun oleh:
Kelompok A/5

Devita Gustini 10060316033


Nadia Zulfa Sabrina 10060316034
Nadia Paramitha 10060316036
Indah P Mulyantini 10060316037
Resti Darojatin H 10060316038
Gita Ratu K 10060316040
Anggun Putri 10060316041

Asisten:., S.Farm

Tanggal Praktikum : 5 Oktober 2017


Tanggal Pengumpulan : 12 Oktober 2017

LABORATORIUM FARMASI TERPADU UNIT E-FARMASETIKA


PROGRAM STUDI FARMASI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG
1439H / 2017
MODUL 1
“KELARUTAN”

I.Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan asam salisilat secara kuantitatif yang dipengaruhi oleh
pelarut campur, penambahan surfaktan, dan perubahan pH
II.Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu, untuk :
1. Penentuan kelarutan asam salisilat berdasarkan pengaruh pelarut campur
etanol dan propilen glikol pada komposisi tertentu.
2. Penentuan kelarutan asam salisilat berdasarkan pengaruh penambahan
surfaktan Tween 80 pada komposisi tertentu
3. Penentuan kelarutan asam salisilat berdasarkan pengaruh perubahan pH 5,
6, 7, 8, dan 9
III.Landasan Teori
3.1 Kelarutan
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan
dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu
pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat
tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut.
Contohnya adalah etanol di dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris
lebih tepatnya disebut miscible. (Sukardjo. 1997)
Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni
ataupun campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat.
Kelarutan bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit
terlarut, seperti perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering
diterapkan pada senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada
sangat sedikit kasus yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam
beberapa kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk
menghasilkan suatu larutan yang disebut lewat jenuh (supersaturated) yang
metastabil. (Sukardjo. 1997)
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut
tersebut. Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut
sampai batas daya melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh. Karena
suatu larutan jenuh yang berhubungan dengan kelebihan solut membentuk
kesetimbangan dinamik, maka bila mana sistem tersebut diganggu, efek
gangguan tersebut dapat diramalkan berdasarkan kaidah Le Chatelier.
Perubahan temperatur merupakan salah satu gangguan. Kita tahu bahwa
kenaikan temperatur menyebabkan posisi kesetimbangan bergeser ke arah
yang akan mengabsorbsi panas. Karena, kalau solut tambahan yang ingin
melarut dalam larutan jenuh harus mengabsorbsi energi, maka kelarutan zat
tersebut akan bertambah jika temperatur dinaikkan. Sebaliknya, jika solut
tambahan yang dimasukkan ke dalam larutan jenuh menimbulkan proses
eksotermik, maka solut akan menjadi kurang larut jika temperatur dinaikkan.
(Martin et al., 1993)

3.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain:

1. pH

2. Temperatur

3. Jenis pelarut

4. Bentukdan ukuran partikel zat

5. Konstanta dielektrik pelarut

6. Adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks, ion


sejenis dll. (Genaro, R.A., 1990)

Zat aktif yang sering digunakan di dalam dunia pengobatan


umumnya adalah Zat organik yang bersifat asam lemah, dimana
kelarutannya sangat dipengaruhi oleh pH pelarutnya. Kelarutan asam-asam
organik lemah seperti barbiturat dan sulfonamida dalam air akan
bertambah dengan naiknya pH karena terbentuk garam yang mudah larut
dalam air. Sedangkan basa-basa organik lemah seperti alkoholida dan
anastetika lokal pada umumnya sukar larut dalam air. Bila pH larutan
diturunkan dengan penambahan asam kuat maka akan terbentuk garam
yang mudah larut dalam air. (Genaro, R.A., 1990)

Hubungan antara pH dengan kelarutan asam dan basa lemah


digambarkan oleh persamaan sebagai berikut :
Untuk asam lemah :
𝑆−𝑆𝑜
pHp = pKw + log ( )
𝑆𝑜

Untuk basa lemah :


𝑆−𝑆𝑜
pHp = pKw - pKb + log ( )
𝑆𝑜

Keterangan :
pHp = harga pH terendah/tertinggi dimana zat yang berbentuk asam atau
basa lemah masih dapat larut.
S = Konsentrasi molar zat dalam yang ditambahkan
So = Kelarutan molar fraksi asam atau basa yang tidak terdisosiasi

3.2.1 Pengaruh temperatur (suhu)

Kelarutan zat padat dalam larutan ideal tergantung kepada


temperatur, titik leleh zat padat dan panas peleburan molar zat
tersebut. Kelarutan suatu zat padat dalam air akan semakin tinggi
bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor) mengakibatkan
semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut.
Merenggangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan
kekuatan gaya antar molekul tersebut menjadi lemah sehingga
mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air. Berbeda
dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan
menyebabkan kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini
disebabkan karena gas yang terlarut di dalam air akan terlepas
meninggalkan air bila suhu meningkat. (Sri Wahyuni, Y, 2005)

3.2.2 Pengaruh jenis pelarut

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas


pelarut. Pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan
ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan juga bergantung pada
struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari
suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat,
makin sukar zat tersebut larut dalam air. (Martin et al., 1993)

Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah


larut dalam senyawa polar. Misalnya gula, NaCl, alkohol, dan
semua asam merupakan senyawa polar sehingga mudah larut
dalam air yang juga merupakan senyawa polar. Sedangkan
senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar,
misalnya lemak mudah larut dalam minyak. Senyawa nonpolar
umumnya tidak larut dalam senyawa polar, misalnya NaCl tidak
larut dalam minyak tanah. (Martin et al., 1993)

Pelarut polar bertindak sebagai pelarut dengan mekanisme


sebagai berikut:

1. Mengurangi gaya tarik antara ion yang berlawanan dalam


Kristal.

2. Memecah ikatan kovalen elektrolit-elektrolit kuat, karena


pelarut ini bersifat amfiprotik.
3. Membentuk ikatan hidrogen dengan zat terlarut.

Pelarut non polar tidak dapat mengurangi daya tarik-menarik


antara ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Iapun
tidak dapat memecahkan ikatan kovalen dan tidak dapat membentuk
jembatan hidrogen. Pelarut ini dapat melarutkan zat-zat non polar
dengan tekanan internal yang sama melalui induksi antara aksi dipol.
Pelarut semi polar dapat menginduksi tingkat kepolaran molekul-
molekul pelarut non polar. Ia bertindak sebagai perantara
(Intermediete Solvent) untuk mencampurkan pelarut non polar
dengan non polar. (Martin et al., 1993).

4. Pengaruh bentuk dan ukuran partikel

Kelarutan suatu zat akan naik dengan berkurangnya ukuran


partikel suatu zat, sesuai dengan persamaan berikut :

𝑆 2.𝛶.𝑉
log 𝑆𝑜 = 2,303.𝑅.𝑇.𝑟

Keterangan :
S = Kelarutan dari partikel halus
So = Kelarutan zat padat yang ukuran partikelnya lebih
besar
r = Jari-jari Partikel
v = Volume partikel dalam cm2 per mol
R = Konstanta Gas
T = Temperatur absolute/Suhu
γ = Tegangan Permukaan
Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal
juga berpengaruh terhadap kelarutan zat. Partikel yang
bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila
dibandingkan dengan partikel yang bentuknya simetris.
(Martin et al., 1993).
5. Pengaruh konstanta dielektrik

Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas


pelarut. Pelarut polar mempunyai konstanta dielektrik yang
tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar sukar larut di
dalamnya, begitu pula sebaliknya. Besarnya tetapan dielektrik
ini menurut moore dapat diatur dengan penambahan pelarut
lain. Tetapan dielektrik suatu campuran pelarut merupakan
hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang
sudah dikalikan dengan % volume masing-masing komponen
pelarut. Adakalanya suatu zat lebih mudah larut dalam pelarut
campuran dibandingkan pelarut tunggalny. Fenomena ini
dikenal dengan istilah co-solvency dan pelarut yang mana
dalam bentuk campuran dapat menaikkan kelarutan suatu zat
diseut co-solvent. Etanol, gliserin dan propilen glikol adalah
co-solvent yang umum digunakan dalam bidang farmasi untuk
pembuatan eliksir. (Martin et al., 1993)

6. Pengaruh penambahan zat-zat lain

Surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk


menaikan kelarutan suatu zat. Molekul surfaktan terdiri atas
dua bagian yaitu bagian polar dan non polar.apabila
didispersikan dalam air pada konsentrasi yang rendah, akan
berkumpul pada permukaan dengan mengorientasikan bagian
polar ke arah air dan bagian non polar kearah udara, surfaktan
mempunyai kecenderungan berasosiasi membentuk agregat
yang dikenal sebagai misel. Konsentrasi pada saat misel mulai
terbentuk disebut konsentrasi misel kritik (KMK). (Attwood &
Florence, 1985)
Kosolven merupakan pelarut atau solven organik yang dapat
campur dengan air, digunakan dalam formulasi sediaan cair untuk
meningkatkan kelarutan bahan yang memiliki kelarutan rendah dalam air
atau untuk meningkatkan stabilitas kimiawi-nya. Kosolven dengan
signifikan dapat meningkatkan kelarutan suatu bahan aktif obat, bisa
mencapai 500 kali lipat bahkan lebih. Pemakaian kosolven dalam
formulasi sediaan cair sangat disukai karena sederhana dan efektif.
Kerugian kosolven terkait dengan efek biologisnya sehingga pemakaian
kosolven dibatasi untuk menghindari toksisitas, iritasi jaringan, respon
tonisitas pada membran biologis. Di samping itu, kemungkinan dapat
terjadi pengendapan bahan aktif obat pada sediaan yang perlu diencerkan
sebelum diaplikasikan, contohnya untuk sediaan injeksi. Pertimbangan
lain ketika menggunakan kosolven adalah viskositas, tonisitas, rasa,
kelarutan dan stabilitas kosolven terhadap komponen selain bahan aktif
obat. (Attwood & Florence, 1985)
Surfaktan merupakan molekul yang memiliki gugus polar yang
suka air (hidrofilik) dan gugus non polar yang suka minyak (lipofilik)
sekaligus, sehingga dapat mempersatukan campuran yang terdiri dari
minyak dan air. Surfaktan adalah bahan aktif permukaan, yang bekerja
menurunkan tegangan permukaan cairan, sifat aktif ini diperoleh dari sifat
ganda molekulnya. Bagian polar molekulnya dapat bermuatan positif,
negatif ataupun netral, bagian polar mempunyai gugus hidroksil semetara
bagian non polar biasanya merupakan rantai alkil yang panjang. Surfaktan
pada umumnya disintesis dari turunan minyak bumi dan limbahnya dapat
mencemarkan lingkungan, karena sifatnya yang sukar terdegradasi, selain
itu minyak bumi merupakan sumber bahan baku yang tidak dapat
diperbarui. (Attwood & Florence, 1985)
Tween 80 dapat menurunkan tegangan antarmuka antara obat dan
medium sekaligus membentuk misel sehingga molekul obat akan terbawa
oleh misel larut ke dalam medium (Martin et al., 1993). Penggunaan
surfaktan pada kadar yang lebih tinggi akan berkumpul membentuk
agregat yang disebut misel. Selain itu pada pemakaiannya dengan kadar
tinggi sampai Critical Micelle Concentration (CMC) surfaktan
diasumsikan mampu berinteraksi kompleks dengan obat tertentu
selanjutnya dapat pula mempengaruhi permeabilitas membran tempat
absorbsi obat karena surfaktan dan membran mengandung komponen
penyusun yang sama (Attwood & Florence, 1985; Sudjaswadi, 1991).
Salah satu sifat penting dari surfaktan adalah kemampuan untuk
meningkatkan kalarutan bahan yang tidak larut atau sedikit larut dalam
medium dispersi. Surfaktan pada konsentrasi rendah, menurunkan
tegangan permukaan dan menaikkan laju kelarutan obat (Martin et al.,
1993). Sedangkan pada kadar yang lebih tinggi surfaktan akan berkumpul
membentuk agregat yang disebut misel (Shargelet al., 1999)
Asam salisilat merupakan serbuk hablur halus putih, biasanya
berbentuk jarum halus, rasa agak manis, tajam dan stabil di udara. Bentuk
sintetis warna putih dan tidak berbau. Asam salisilat sukar larut dalam air
dan dalam benzena, mudah larut dalam etanol dan dalam eter, larut dalam
air mendidih dan agak sukar larut dalam kloroform (Martin et al., 1993).

Struktur Asam salisilat :

Asam salisilat (asam ortohidroksibenzoat) merupakan asam yang


bersifat iritan lokal, yang dapat digunakan secara topikal. Terdapat
berbagai turunan yang digunakan sebagai obat luar, yang terbagi atas 2
kelas, ester dari asam salisilat dan ester salisilat dari asam organik. Di
samping itu digunakan pula garam salisilat. Turunannya yang paling
dikenal asalah asam asetilsalisilat. (Martin et al., 1993)
Asam salisilat mendapatkan namanya dari spesies dedalu (bahasa
Latin: salix), yang memiliki kandungan asam tersebut secara alamiah, dan
dari situlah manusia mengisolasinya. Penggunaan dedalu dalam
pengobatan tradisional telah dilakukan oleh bangsa Sumeria, Asyur dan
sejumlah suku Indian seperti Cherokee. Salisilat umumnya bekerja melalui
kandungan asamnya. Hal tersebut dikembangkan secara menetap ke dalam
salisilat baru. Selain sebagai obat, asam salisilat juga merupakan hormon
tumbuhan. (Martin et al., 1993).

3.3 Monografi Asam Salisilat


Zat aktif yang digunakan pada saat praktikum adalah Asam
Salisilat, dengan monografi sebagai berikut (Farmakope Indonesia, Ed.
III, 1979. Hal 56) :

ACIDUM SALICYLICUM
Asam Salisilat

C7H6O3 BM 138,12
Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% C7H6O3 .

Pemerian Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih; hampir
tidak berbau; rasa agak manis dan tajam.

Kelarutan Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%);
mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P; larut dalam larutan
amonium asetat P, dinatrium hidrogenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium
sitrat P.

Penetapan kadar Timbang seksama 3g, larutkan dalam 15ml etanol (95%) P
hangat yang telah dinetralkan terhadap larutan merah fenol P, tambahkan
20ml air. Titrasi dengan natrium hidroksida 0,5N menggunakan indikator
merah fenol P.
1ml natrium hidroksida 0,5N ≈ 69,06mg C7H6O3

Penyimpanan Dalam wadah tertutup baik.

Khasiat dan penggunaan Keratolitikum, antifungi.

IV.Prosedur Percobaan

4.1 Pengaruh Pelarut Campur

Buat 50 mL pelarut campur dengan komposisi sebagai berikut :

Solvent (% v/v) Cosolvent (% v/v)


No.
Air Etanol Propilen glikol

1 100 0 0
2 60 10 30
3 60 20 20
4 60 30 10
5 60 40 0
6 60 0 40
Larutan 1 gram asam salisilat dimasukkan ke dalam masing masing campuran.
pelarut

Larutan dikocok menggunakan pengocok orbital (lab. shaker) selama 1 jam.

Ditambahkan sejumlah tertentu asam salisilat sampai kondisi kembali jenuh,


jika terdapat endapan yang terlarut selama pengocokkan

Larutan disaring sebanyak 20 mL dan ditentukan kadar asam salisilat


terlarutnya dengan titrasi asam-basa menggunakan indikator fenolftalein
dengan pentiter NaOH 0,1 N

Dibuat kurva antara kelarutan asam salisilat dengan konstanta dielektrik


campuran pelarut

Gambar 4.1 Diagram Alir Prosedur Pengaruh Pelarut Campur

4.2 Pengaruh Penambahan Surfaktan

4.3 Pengaruh Penambahan Surfaktan

Dibuat larutan seri yang mengandung Tween 80 dengan konsentrasi:

(0,1 | 0,2 |0,3 |0,4 |0,5 | 1,0 |2,0 |3,0 |4,0 )g Tween 80
ad.100 ml Air

Kemudian ditambahkan 1 gram Asam salisilat kedalam setiap komposisi


pelarut

Larutan dikocok menggunakan lab. sheaker selama 1 jam


Jika ada endapan yang terlarut selama pengocokan, ditambahkan sejumlah
tertentu Asam salisilat sampai kondisi kembali jenuh

Larutan disaring, lalu 20 ml filtrat ditentukan kadar Asam salisilat terlarutnya


dengan titrasi asam basa menggunakan indikator Fenolftalein dengan peniter
NaOH 0,1 N

Dibuat kurva antara kelarutan Asam salisilat dengan konsentrasi surfaktan,


serta ditentukan KMK (Konsentrasi Misel Kritis) Tween 80

4.4 Pengaruh pH terhadap Kelarutan

100 ml larutan dapar Fosfat dibuat dengan ph 5, 6, 7, 8, dan

25 ml diambil dari setiap larutan, lalu ditambahkan 0,5 g Asam salisilat

Larutan dikocok menggunakan lab. sheaker selama 1 jam

Jika ada endapan yang terlarut selama pengocokan, ditambahkan sejumlah


tertentu Asam salisilat sampai kondisi kembali jenuh

Disaring dan 20 ml filtrat ditentukan kadar Asam salisilat yang terlarutnya


dengan titrasi asam basa menggunakan indikator Fenolftalein dengan peniter
NaOH 0,1 N

Dibuat kurva antara kelarutan konsentrasi zat yang diperoleh dengan pH


larutan
V.Data Pengamatan dan Perhitungan

5.1 Data Pengamatan

Tabel 5.1 Pengaruh Pelarut Campur

3. 50 ml Air 2. 30 ml Air + 5 1. 30 ml Air + 10


ml Etanol + 15 ml Etanol + 10
ml propilen ml propilen
glikol glikol

6. 30 ml Air + 15 5. 30 ml Air + 20 4. 30 ml Air +20


ml Etanol + 5 ml Etanol ml propilen
ml propilen glikol
glikol
Gambar 5.1
Tabel 5.2 Pengaruh Penambahan Surfaktan

Konsentrasi V. NaOH Konsentrasi As.


No.
Tween 80 dibutuhkan (ml) Salisilat (N)
1 0.1 4 0.002
2 0.2 4.5 0.022
3 0.3 5.3 0.026
4 0.4 5.6 0.028
5 0.5 6.9 0.034
6 1 9.1 0.045
7 2 13.2 0.066
8 3 15.7 0.078
9 4 22.3 0.11

Gambar 5.2 (buat foto pengamatan)


Tabel 5.3 Pengaruh pH terhadap Kelarutan

Gambar 5.3 Pengamatan terhadap pengaruh pH

5.1.2 Grafik
b. Pengamatan terhadap pengaruh surfaktan
Gambar. Grafik Pengaruh Penambahan Surfaktan
c. Pengaruh terhadap pH

Gambar. Grafik Terhadap Pengaruh pH


5.2 Perhitungan

a.

b. Pengaruh terhdap penambahan surfaktan

K 0,1
V1N1 = V2N2
4 x 0,1 = 20 x N2
0,4 = 20 x N2
N2 = 0,02 ̴ 20 x 10−3

K 0,2
V1N1 = V2N2
4,5 x 0,1 = 20 x N2
0,45 = 20 x N2
N2 = 0,022 ̴ 22 x 10−3

K 0,3
V1N1 = V2N2
5,3 x 0,1 = 20 x N2
0,53 = 20 x N2
N2 = 0,02 ̴ 26 x 10−3

K 0,4
V1N1 = V2N2
5,6 x 0,1 = 20 x N2
0,56 = 20 x N2
N2 = 0,028 ̴ 28 x 10−3
K 0,5
V1N1 = V2N2
6,9 x 0,1 = 20 x N2
0,69 = 20 x N2
N2 = 0,034 ̴ 34 x 10−3

K1
V1N1 = V2N2
9,1 x 0,1 = 20 x N2
0,91 = 20 x N2
N2 = 0,045 ~ 45 x 10-3

K2
V1N1 = V2N2
13,2 x 0,1 = 20 x N2
1,32 = 20 x N2
N2 = 0,066 ~ 66 x 10-3

K3
V1N1 = V2N2
15,7 x 0,1 = 20 x N2
1,57 = 20 x N2
N2 = 0,078 ~ 78 x 10-3

K4
V1N1 = V2N2
22,3 x 0,1 = 20 x N2
2,23 = 20 x N2
N2 = 0,111 ~ 111 x 10-3
c. Pengaruh pH terhadap kelarutan

Rumus dasar perhitungan kadar:

V NaOH × N NaOH = V as.salisilat × N As. Salisilat

1. pH 5

V1 × N1 = V2 × N2

9 ml x 0,1 N = 20 ml x N2

0,9
N2 = 20

N2 = 0,045 N = 45 x 10-3 N

50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,045 = 0,1125 𝑁

2. pH 6

V1 × N1 = V2 × N2

12,5 ml x 0,1 N = 20 ml x N2

1,25
N2 = 20

N2 = 0,0625 N = 62,5 x 10-3N

50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,0625 = 0,1562 𝑁

3. pH 7

V1 × N1 = V2 × N2

15 ml x 0,1 N = 20 ml x N2
1,5
N2 = 20

N2 = 0,075 N = 75 x 10-3N

50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,075 = 0,1875 𝑁

4. pH 8

V1 × N1 = V2 × N2

19,2 ml x 0,1 N = 20 ml x N2

1,92
N2 = 20

N2 = 0,096 N = 96 x 10-3N

50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,096 = 0,24 𝑁

5. pH 9

V1 × N1 = V2 × N2

24 ml x 0,1 N = 20 ml x N2

2,4
N2 = 20

N2 = 0,12N = 120 x 10-3N

50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,12 = 0,3 𝑁
VI. Pembahasan

a. Pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan

Pada percobaan ini dilakukan penentuan kelarutan asam salisilat


pada komposisi pelarut campur yang berbeda dan dibandingkan pada nilai
Konstanta Dielektrik (KD) pelarut campur manakah yang akan
meningkatkan kelarutan asam salisilat. Pada awal prosedur dibuat pelarut
campur sesuai dengan komposisinya dan dihitung nilai KDnya masing-
masing, Tujuannya untuk membandingkan nilai KD dengan nilai hasil
penentuan kelarutan zat asam salisilat. Kemudian asam salisilat dilarutkan
sebanyak 1 gram ke dalam masing-masing campuran pelarut dan dikocok
menggunakan pengocok orbital (lab. shaker). Tujuan pengocokan adalah
agar asam salisilat dapat mudah dilarutkan dalam pelarut campur yang
telah dibuat. Dan ditambahkan sejumlah tertentu asam salisilat, jika terjadi
endapan yang terlarut saat pengocokan sampai kondisi larutan kembali
jenuh. Kemudian dilakukan titrasi asam-basa menggunakan indikator
fenolftalein dengan pentiter NaOH 0,1 N, untuk ditentukan konsentrasi
asam salisilatnya. Lalu dibuat kurva antara kelarutan asam salisilat dengan
konstanta dielektrik pelarut campur. Tujuannya adalah untuk mengetahui
pengaruh konstanta dielektrik pelarut campur dengan kelarutan asam
salisilat.

Gambar grafik pengaruh konstanta dielektrik terhadap kelarutan


zat asam salisilat

Berdasarkan gambar grafik diatas ditunjukan bahwa kepolaran


suatu larutan dipengaruhi oleh nilai KD pelarut campur. Semakin besar
nilai KD pelarut campur maka semakin polar suatu larutan. Sedangkan
asam salisilat merupakan zat yang mudah larut dalam etanol. Nilai KD
etanol adalah 25,7 sehingga etanol merupakan pelarut yang bersifat
nonpolar. Hal ini menunjukan bahwa asam salisilat merupakan zat yang
bersifat nonpolar sehingga kelarutan asam salisilat akan meningkat pada
nilai KD pelarut campur yang rendah. Namun pada data ke-6 terjadi
kenaikan nilai konsentrasi asam salisilat yang seharusnya menurun karena
nilai KD pada data ke-6 bernilai tinggi yaitu sebesar 68,3. Hal ini dapat
terjadi karena adanya kesalahan pada saat titrasi asam-basa saat
menentukan titik ekivalennya, sehingga volume NaOH yang dibutuhkan
jumlah volumenya melebihi titik ekivalensi sehingga mempengaruhi
konsentrasi yang didapat.

Pada percobaan ini dilakukan penentuan kelarutan suatu zat dengan


pengaruh penambahan surfaktan. Surfaktan terdiri dari dua bagian yaitu
bagian polar dan non polar, bila didispersikan dalam air pada konsentrasi
rendah akan berkumpul pada permukaan.

Pada percobaan ini diawali dengan melakukan pencampuran


larutan yaitu antara air dan surfaktan dengan perbandingan yang berbeda-
beda sesuai dengan yang telah ditentukan. Kemudian sampel (asam
salisilat) dilarutkan dalam pelarut yang telah ditambahakn surfaktan
tersebut dan dilakukan pengocokan dengan menggunakan pengocokan
menggunakan Lab. Sheaker selama 1 jam. Hal ini dimaksudkan agar
didapatkan campuran yang homogen.

Surfaktan yang digunakan pada percobaan ini adalah tween-80


dengan berbagai konsentrasi yang akan meningkatkan kelarutan asam
salisilat. Hubungan suatu surfaktan mempengaruhi kelarutan asam salisilat
yaitu dimana surfaktan adalah suatu zat yang sering digunakan untuk
menaikkan kelarutan suatu zat.Oleh karena surfaktan mempunyai
kecenderungan berasosiasi membentuk agregat yang dikenal dengan misel
dimana misel ini dapat menaikkan kelarutan asam salisilat yang sukar larut
dalam air. Dengan penambahan surfaktan terdiri dua bagian yaitu bagian
polar dan non polar, bila didispersikan dalam air pada konsentrasi rendah,
akan berkumpul pada permukaandengan mengorientasikan bagian polar ke
arah bagian air.

Setelah itu dilakukan titrasi pembakuan terhadap larutan baku


sekunder (NaOH 0,1N). Titrasi yang dilakukan adalah titrasi asam-basa,
yaitu titrasi terhadap larutan asam salisilat terhadap larutan yang berasal
dari basa dengan menggunakan indikator fenolptalein (pp).

Indikator fenolptalein dipilih karena rentang pH yang dimilikinya,


yaitu berkisar 8,0 - 10,0. Indikator fenolptalein berfungsi untuk
menetapkan atau mengetahui titik akhir titrasi atau titik ekuivalen. Titik
ekuivalen titrasi adalah titik dimana larutan titran dan larutan uji telah
bereaksi sempurna yang ditandai dengan terjadinya perubahan warna dari
tidak berwarna menjadi warna merah muda. Sehingga diperoleh larutan
jenuh, yaitu larutan dimana zat terlarut ada yang tidak larut dalam
pelarutnya.

Larutan kemudian difiltrasi dengan kertas saring untuk


memisahkan endapan dan pengotor.Larutan yang telah disaring kemudian
di titrasi dengan larutan NaOH dan indikator pp hingga diperoleh titik
ekuivalen. Volume NaOH yang dibutuhkan untuk menitrasi asam salisilat
dalam berbagai konsentrasi pelarut dan surfaktan, berbeda-beda.

Dari data hasil percobaan didapat pada konsentrasi


surfaktan(Tween-80) 0.1 gram dibutuhkan volume NaOH 4mL, 0,2 gram
dibutuhkan volume NaOH 4.5 mL, 0,3 gram dibutuhkan volume NaOH
5,3 mL, 0,4 gram dibutuhkan volume NaOH 5,6 gram, 0,5 gram
dibutuhkan NaOH 6,9 mL, 1 gram dibutuhkan volume NaOH 9.1 mL, 2
gram dibutuhkan volume NaOH 13,2 mL, 3 gram dibutuhkan volume
NaOH 15,7 mL dan 4 gram, dibutuhkan volume NaOH 22.3 mL.

Dari hasil yang didapat bahwa semakin besar konsentrasi surfaktan


yang ditambahkan ke dalam larutan asam salisilat maka semakin besar
pula volume NaOH yang dibutuhkan. Hal ini menunjukkan bahwa
semakin besar konsentrasi surfaktan maka akan semakin tinggi pula
kelarutan asam salisilat di dalam air. Hal ini terjadi karena surfaktan
merupakan molekul ampifilik yaitu memiliki gugus hidrofilik (suka
air,polar) dan gugus lipofilik (suka minyak, nonpolar), sehingga surfaktan
memiliki aftinitas dengan pelarut polar (air) ataupun nonpolar (minyak).

Berdasarkan grafik hasil percobaan, menunjukkan bahwa kadar


asam salisilat semakin meningkat seiring dengan meningkatnya
konsentrasi surfaktan. Grafik setelah naik akan memperlihatkan garis lurus
yang berarti konsentrasinya menjadi konstan. Hal ini menunjukan
surfaktan tersebut telah menurunkan tegangan permukaan pada larutan
asam salisilat sampai pada titik Critical Micelle Concentration (CMC).

Pada titik Critical Micelle Concentration (CMC) ini surfaktan


menjadi jenuh dan surfaktan yang berlebih akan membentuk misel. Misel
sendiri adalah suatu agregat yang mengandung monomer-monomer
surfaktan. Pada konsentrasi setelah CMC, surfaktan akan meningkatkan
kelarutan zat yang tidak larut air karena zat tersebut dapat tersembunyi di
dalam misel. Misel ini berperan dalam proses solubilisasi miselar.
Solubilisasi miselar adalah suatu pelarutan spontan yang terjadi pada
molekul zat yang sukar larut dalam air melalui interaksi yang reversibel
dengan misel dari surfaktan larutan sehingga terbentuk suatu larutan yang
stabil secara termodinamika.

Dari hasil praktikum di dapat titik Critical Micelle


Concentration (CMC) pada konsentrasi ke TOLONG DIISI YA,
DILIAT DARI GRAFIK YG PENINGKATAN NYA PALING
TINGGI ITU TITKK KML NYA, DAN JANGAN LUPA DI GRAFIK
DITANDAIN JUGA YA TITIK KMK NYA, MAAF INI NENG
NGEDIT DI HAPE JADI SUSAH:(
b. Pengaruh pH terhadap kelarutan

Tujuan percobaan ini untuk mengetahui pengaruh pH terhadap


kelarutan atau pada pH manakah asam salisilat dapat mudah larut. Kadar
keasaman suatu senyawa dapat dihitung dengan mentitrasi asam atau basa
dengan menggunakan metode asdimetri dan alkalimetri. Pada percobaan
ini menggunakan tittrasi asam basa dengan itu suatu senyawa dapat
dihitung kadarnya dengan menggunakan metode alkalimetri. Titik akhir
titrasi ditandai dengan perubahan warna pada larutan titer yang telah
ditambahkan indikator. Pada percobaan ini indikator yang digunakan
fenolftalein,indikator fenolftalein berfungsi untuk mengetahui titik
ekuivalen dalam titrasi. Titik ekuivalen merupakan titik dimana senyawa
tepat habis bereaksi. Titik akhir titrasi ditandai dengan adanya perubahan
warna pada larutan titer yang telah ditambahkan indikator. Perubahan
warna tersebut yang menandakan titik akhir titrasi.

Pada grafik terlihat bahwa kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh pH.
Hal ini dikarenakan reaksi asam basa yang terjadi yang membuat asam
salisilat berikatan dengan basa membentuk molekul garam dan air. Dalam
hal ini asam salisilat dapat terionisasi sehingga dapat mudah larut. (Martin,
2008)
Reaksi netralisasi dapat dipakai untuk menentukan konsenterasi
larutan asam atau basa. Caranya dengan menambahkan setetes demi
setetes larutan basa kepada larutan asam. Setiap basa yang diteteskan
bereaksi dengan asam, dan penetesan dihentikan pada saat ion H+ dari
asam dan ion OH– dari basa akan bergabung membentuk molekul air.
Pada saat itu larutan bersifat netral dan disebut titik ekivalen. (Syukri,
1999:427-428).
Jika larutan asam dan basa dicampur maka, anion dari asam dan
kation dari basa akan berikatan membentuk senyawa garam. Karena hasil
reaksi antara asam dengan basa membentuk air yang bersifat netral, maka
reaksi tersebut disebut reaksi penetralan. Tetapi karena reaksi tersebut
menghasilkan garam, maka reaksi tersebut juga sering dikenal dengan
sebutan reaksi penggaraman.
Reaksi asam basa:
Asam + Basa → Garam + Air
Walaupun reaksi asam-basa disebut reaksi penetralan, tetapi reaksi
tersebut menghasilkan bentuk garam yang tidak selalu bersifat netral,
melainkan tergantung pada kekuatan asam–basa yang membentuknya. Jika
larutan asam dan basa dicampur, maka sifat garam yang terbentuk ada tiga
kemungkinan, yaitu:
1. Jika asam kuat + basa kuat = garam (netral)

2. Jika asam kuat + basa lemah = garam (asam)

3. Jika asam lemah + basa kuat = garam (basa)

Asam salisilat yang bersifat asam lemah akan lebih mudah larut
dalam pelarut yang bersifat basa. Dalam hal ini, asam salisilat larut dengan
baik pada pH 8. Semakin tinggi pH-nya maka semakin larut pula asam
salisilatnya. Dalam perhitungan juga terbukti jelas konsentrasi maksimum
pelarutan ada di pH 9 sebesar 0,096 N lebih besar dibandingkan pH
dibawahnya.

Penentuan pH optimum tidak dapat ditentukan dikarenakan


percobaan ini dilakukan hanya pada pH 5-9 sedangkan pH dibawah dan
diatasnya tidak diuji cobakan.
VII. Kesimpulan

Kelarutan zat asam salisilat dipengaruhi oleh nilai konstanta dielektrik


pelarut campurnya, karena asam salisilat merupakan senyawa nonpolar karena
mudah larut dalam etanol yang sifatnya nonpolar. Maka semakin rendah nilai
konstanta dielektrik pelarut campur maka kelarutan asam salisilat meningkat.
Dapat dilihat pada grafik berikut ini.

(gambar grafik pengaruh konstanta dielektrik terhadap kelarutan zat asam


salisilat)

Namun terjadi kesalahan pada data nomor 6 dikarenakan adanya kelebihan


penggunaan NaOH yang menyebabkan meningkatnya konsentrasi asam
salisilat yang seharusnya menurun karena nilai konstanta dielektriknya tinggi
dan bersifat polar.
VIII. Daftar Pustaka

Attwood, D., & Florence, A.T., 1985, Surfactan System, 1st Ed., Chapman
and Hall, London, New York.
Ditjen POM ( 1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.Hal 56
Genaro, R.A., 1990, Rhemingtons Pharmaceutical Science, 18th ed, Mack
Printing Company, Easton, Pennsylvania, USA, 267.
Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Jakarta: UI Press.
Shargel, L. dan Yu. (1999). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
Sinko, J. Patrick.2011.Martin : Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika. Jakarta:
EGC
Sudjaswadi, R., 1991, Tween 80 dan Stabilitas Asetosal, Majalah Farmasi
Indonesia, 2, 28-34.
Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta: Rineka Cipta
Sri Wahyuni, Y, (2005)”Pengaruh Besar aukuran Partikel dan Suhu terhadap
Solubilisasi Paracetamol Menggunakan Tween 80”,Skripsi S1,Jurusan
Farmasi,STIFI Perintis Padang.
Syukri, 1999. Kimia Dasar 2. Bandung :ITB.

You might also like