Professional Documents
Culture Documents
MODUL 1
KELARUTAN
Disusun oleh:
Kelompok A/5
Asisten:., S.Farm
I.Prinsip Percobaan
Penentuan kelarutan asam salisilat secara kuantitatif yang dipengaruhi oleh
pelarut campur, penambahan surfaktan, dan perubahan pH
II.Tujuan Percobaan
Setelah melakukan percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu, untuk :
1. Penentuan kelarutan asam salisilat berdasarkan pengaruh pelarut campur
etanol dan propilen glikol pada komposisi tertentu.
2. Penentuan kelarutan asam salisilat berdasarkan pengaruh penambahan
surfaktan Tween 80 pada komposisi tertentu
3. Penentuan kelarutan asam salisilat berdasarkan pengaruh perubahan pH 5,
6, 7, 8, dan 9
III.Landasan Teori
3.1 Kelarutan
Kelarutan atau solubilitas adalah kemampuan suatu zat kimia tertentu, zat
terlarut (solute), untuk larut dalam suatu pelarut (solvent). Kelarutan
dinyatakan dalam jumlah maksimum zat terlarut yang larut dalam suatu
pelarut pada kesetimbangan. Larutan hasil disebut larutan jenuh. Zat-zat
tertentu dapat larut dengan perbandingan apapun terhadap suatu pelarut.
Contohnya adalah etanol di dalam air. Sifat ini lebih dalam bahasa Inggris
lebih tepatnya disebut miscible. (Sukardjo. 1997)
Pelarut umumnya merupakan suatu cairan yang dapat berupa zat murni
ataupun campuran. Zat yang terlarut, dapat berupa gas, cairan lain, atau padat.
Kelarutan bervariasi dari selalu larut seperti etanol dalam air, hingga sulit
terlarut, seperti perak klorida dalam air. Istilah "tak larut" (insoluble) sering
diterapkan pada senyawa yang sulit larut, walaupun sebenarnya hanya ada
sangat sedikit kasus yang benar-benar tidak ada bahan yang terlarut. Dalam
beberapa kondisi, titik kesetimbangan kelarutan dapat dilampaui untuk
menghasilkan suatu larutan yang disebut lewat jenuh (supersaturated) yang
metastabil. (Sukardjo. 1997)
Kelarutan suatu bahan dalam suatu pelarut tertentu menunjukkan
konsentrasi maksimum larutan yang dapat dibuat dari bahan dan pelarut
tersebut. Bila suatu pelarut pada suhu tertentu melarutkan semua zat terlarut
sampai batas daya melarutkannya, larutan ini disebut larutan jenuh. Karena
suatu larutan jenuh yang berhubungan dengan kelebihan solut membentuk
kesetimbangan dinamik, maka bila mana sistem tersebut diganggu, efek
gangguan tersebut dapat diramalkan berdasarkan kaidah Le Chatelier.
Perubahan temperatur merupakan salah satu gangguan. Kita tahu bahwa
kenaikan temperatur menyebabkan posisi kesetimbangan bergeser ke arah
yang akan mengabsorbsi panas. Karena, kalau solut tambahan yang ingin
melarut dalam larutan jenuh harus mengabsorbsi energi, maka kelarutan zat
tersebut akan bertambah jika temperatur dinaikkan. Sebaliknya, jika solut
tambahan yang dimasukkan ke dalam larutan jenuh menimbulkan proses
eksotermik, maka solut akan menjadi kurang larut jika temperatur dinaikkan.
(Martin et al., 1993)
3.2 Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat antara lain:
1. pH
2. Temperatur
3. Jenis pelarut
Keterangan :
pHp = harga pH terendah/tertinggi dimana zat yang berbentuk asam atau
basa lemah masih dapat larut.
S = Konsentrasi molar zat dalam yang ditambahkan
So = Kelarutan molar fraksi asam atau basa yang tidak terdisosiasi
𝑆 2.𝛶.𝑉
log 𝑆𝑜 = 2,303.𝑅.𝑇.𝑟
Keterangan :
S = Kelarutan dari partikel halus
So = Kelarutan zat padat yang ukuran partikelnya lebih
besar
r = Jari-jari Partikel
v = Volume partikel dalam cm2 per mol
R = Konstanta Gas
T = Temperatur absolute/Suhu
γ = Tegangan Permukaan
Konfigurasi molekul dan bentuk susunan kristal
juga berpengaruh terhadap kelarutan zat. Partikel yang
bentuknya tidak simetris lebih mudah larut bila
dibandingkan dengan partikel yang bentuknya simetris.
(Martin et al., 1993).
5. Pengaruh konstanta dielektrik
ACIDUM SALICYLICUM
Asam Salisilat
C7H6O3 BM 138,12
Asam salisilat mengandung tidak kurang dari 99,5% C7H6O3 .
Pemerian Hablur ringan tidak berwarna atau serbuk berwarna putih; hampir
tidak berbau; rasa agak manis dan tajam.
Kelarutan Larut dalam 550 bagian air dan dalam 4 bagian etanol (95%);
mudah larut dalam kloroform P dan dalam eter P; larut dalam larutan
amonium asetat P, dinatrium hidrogenfosfat P, kalium sitrat P dan natrium
sitrat P.
Penetapan kadar Timbang seksama 3g, larutkan dalam 15ml etanol (95%) P
hangat yang telah dinetralkan terhadap larutan merah fenol P, tambahkan
20ml air. Titrasi dengan natrium hidroksida 0,5N menggunakan indikator
merah fenol P.
1ml natrium hidroksida 0,5N ≈ 69,06mg C7H6O3
IV.Prosedur Percobaan
1 100 0 0
2 60 10 30
3 60 20 20
4 60 30 10
5 60 40 0
6 60 0 40
Larutan 1 gram asam salisilat dimasukkan ke dalam masing masing campuran.
pelarut
(0,1 | 0,2 |0,3 |0,4 |0,5 | 1,0 |2,0 |3,0 |4,0 )g Tween 80
ad.100 ml Air
5.1.2 Grafik
b. Pengamatan terhadap pengaruh surfaktan
Gambar. Grafik Pengaruh Penambahan Surfaktan
c. Pengaruh terhadap pH
a.
K 0,1
V1N1 = V2N2
4 x 0,1 = 20 x N2
0,4 = 20 x N2
N2 = 0,02 ̴ 20 x 10−3
K 0,2
V1N1 = V2N2
4,5 x 0,1 = 20 x N2
0,45 = 20 x N2
N2 = 0,022 ̴ 22 x 10−3
K 0,3
V1N1 = V2N2
5,3 x 0,1 = 20 x N2
0,53 = 20 x N2
N2 = 0,02 ̴ 26 x 10−3
K 0,4
V1N1 = V2N2
5,6 x 0,1 = 20 x N2
0,56 = 20 x N2
N2 = 0,028 ̴ 28 x 10−3
K 0,5
V1N1 = V2N2
6,9 x 0,1 = 20 x N2
0,69 = 20 x N2
N2 = 0,034 ̴ 34 x 10−3
K1
V1N1 = V2N2
9,1 x 0,1 = 20 x N2
0,91 = 20 x N2
N2 = 0,045 ~ 45 x 10-3
K2
V1N1 = V2N2
13,2 x 0,1 = 20 x N2
1,32 = 20 x N2
N2 = 0,066 ~ 66 x 10-3
K3
V1N1 = V2N2
15,7 x 0,1 = 20 x N2
1,57 = 20 x N2
N2 = 0,078 ~ 78 x 10-3
K4
V1N1 = V2N2
22,3 x 0,1 = 20 x N2
2,23 = 20 x N2
N2 = 0,111 ~ 111 x 10-3
c. Pengaruh pH terhadap kelarutan
1. pH 5
V1 × N1 = V2 × N2
9 ml x 0,1 N = 20 ml x N2
0,9
N2 = 20
N2 = 0,045 N = 45 x 10-3 N
50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,045 = 0,1125 𝑁
2. pH 6
V1 × N1 = V2 × N2
12,5 ml x 0,1 N = 20 ml x N2
1,25
N2 = 20
50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,0625 = 0,1562 𝑁
3. pH 7
V1 × N1 = V2 × N2
15 ml x 0,1 N = 20 ml x N2
1,5
N2 = 20
N2 = 0,075 N = 75 x 10-3N
50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,075 = 0,1875 𝑁
4. pH 8
V1 × N1 = V2 × N2
19,2 ml x 0,1 N = 20 ml x N2
1,92
N2 = 20
N2 = 0,096 N = 96 x 10-3N
50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,096 = 0,24 𝑁
5. pH 9
V1 × N1 = V2 × N2
24 ml x 0,1 N = 20 ml x N2
2,4
N2 = 20
50
Untuk 25ml setiap konsentrasi : 20 𝑥 0,12 = 0,3 𝑁
VI. Pembahasan
Pada grafik terlihat bahwa kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh pH.
Hal ini dikarenakan reaksi asam basa yang terjadi yang membuat asam
salisilat berikatan dengan basa membentuk molekul garam dan air. Dalam
hal ini asam salisilat dapat terionisasi sehingga dapat mudah larut. (Martin,
2008)
Reaksi netralisasi dapat dipakai untuk menentukan konsenterasi
larutan asam atau basa. Caranya dengan menambahkan setetes demi
setetes larutan basa kepada larutan asam. Setiap basa yang diteteskan
bereaksi dengan asam, dan penetesan dihentikan pada saat ion H+ dari
asam dan ion OH– dari basa akan bergabung membentuk molekul air.
Pada saat itu larutan bersifat netral dan disebut titik ekivalen. (Syukri,
1999:427-428).
Jika larutan asam dan basa dicampur maka, anion dari asam dan
kation dari basa akan berikatan membentuk senyawa garam. Karena hasil
reaksi antara asam dengan basa membentuk air yang bersifat netral, maka
reaksi tersebut disebut reaksi penetralan. Tetapi karena reaksi tersebut
menghasilkan garam, maka reaksi tersebut juga sering dikenal dengan
sebutan reaksi penggaraman.
Reaksi asam basa:
Asam + Basa → Garam + Air
Walaupun reaksi asam-basa disebut reaksi penetralan, tetapi reaksi
tersebut menghasilkan bentuk garam yang tidak selalu bersifat netral,
melainkan tergantung pada kekuatan asam–basa yang membentuknya. Jika
larutan asam dan basa dicampur, maka sifat garam yang terbentuk ada tiga
kemungkinan, yaitu:
1. Jika asam kuat + basa kuat = garam (netral)
Asam salisilat yang bersifat asam lemah akan lebih mudah larut
dalam pelarut yang bersifat basa. Dalam hal ini, asam salisilat larut dengan
baik pada pH 8. Semakin tinggi pH-nya maka semakin larut pula asam
salisilatnya. Dalam perhitungan juga terbukti jelas konsentrasi maksimum
pelarutan ada di pH 9 sebesar 0,096 N lebih besar dibandingkan pH
dibawahnya.
Attwood, D., & Florence, A.T., 1985, Surfactan System, 1st Ed., Chapman
and Hall, London, New York.
Ditjen POM ( 1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI.Hal 56
Genaro, R.A., 1990, Rhemingtons Pharmaceutical Science, 18th ed, Mack
Printing Company, Easton, Pennsylvania, USA, 267.
Martin, A., Swarbick, J., dan A. Cammarata. 1993. Farmasi Fisik 2. Edisi III.
Jakarta: UI Press.
Shargel, L. dan Yu. (1999). Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan.
Edisi Kedua. Surabaya: Airlangga University Press.
Sinko, J. Patrick.2011.Martin : Farmasi Fisika dan Ilmu Farmasetika. Jakarta:
EGC
Sudjaswadi, R., 1991, Tween 80 dan Stabilitas Asetosal, Majalah Farmasi
Indonesia, 2, 28-34.
Sukardjo. 1997. Kimia Fisika. Jakarta: Rineka Cipta
Sri Wahyuni, Y, (2005)”Pengaruh Besar aukuran Partikel dan Suhu terhadap
Solubilisasi Paracetamol Menggunakan Tween 80”,Skripsi S1,Jurusan
Farmasi,STIFI Perintis Padang.
Syukri, 1999. Kimia Dasar 2. Bandung :ITB.