You are on page 1of 6

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/280239318

Kebijakan Pembentukan Forum DAS Dalam


Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Research · July 2015


DOI: 10.13140/RG.2.1.3494.6407

CITATIONS READS

0 1,675

1 author:

Bejo Slamet
University of Sumatera Utara
24 PUBLICATIONS 3 CITATIONS

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Bejo Slamet on 22 July 2015.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


KEBIJAKAN PEMBENTUKAN FORUM DAS
DALAM PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

Bejo Slamet
Departemen Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

Kondisi Pengelolaan DAS di Indonesia

Fenomena kejadian banjir yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia baru-baru ini
semakin memperkuat indikasi bahwa pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) di Indonesia belum
berjalan dengan optimal. Sampai dengan tahun 2007 terdapat 458 DAS kritis di Indonesia. Dari
jumlah DAS kritis tersebut, sebanyak 60 DAS merupakan prioritas I, 222 DAS termasuk prioritas
II dan sisanya 176 DAS tergolong prioritas III. Adapun jika dilihat dari luasan lahan yang kritisnya,
luasan yang terkategori lahan sangat kritis mencapai 6.890.567 hektar, dan seluas 23.306.233
hektar lainnya merupakan lahan terkategori kritis (Hutabarat 2007). DAS-DAS kritis ini utamanya
adalah DAS yang membentang lintas wilayah administratif baik meliputi beberapa
kabupaten/kota dalam satu propinsi atau meliputi lebih dari satu propinsi. Dampak yang
ditimbulkan dari DAS kritis pada lingkungan adalah beragam bencana dan kondisi kritis mulai dari
erosi, banjir, tanah longsor, sampai hilangnya sumber-sumber mata air, kekeringan, dan
perubahan fungsi lahan.

Kegagalan Pengelolaan DAS di Indonesia

Kegagalan pengelolaan DAS ini utamanya diakibatkan oleh tidak adnya koordinasi antar
sektor dalam pemanfaatan sumberdaya. Harus diakui bahwa kegagalan dalam pengelolaan DAS
ini disebabkan oleh tidak ada landasan kebijakan nasional yang memungkinkan terjadinya
koordinasi antar sektor dalam melakukan pengelolaan sumberdaya alam. Yang ada adalah
bersama-sama memanfaatkan sumberdaya alam berdasarkan acuan setiap Undang-undang
secara parsial (hutan, tambang, pertanian, energi, dll). Karena semua sektor dan daerah
memaksimumkan capaiannya masing-masing dan dibiarkan begitu dari waktu ke waktu, maka
pengendalian dampak kumulatif tidak pernah ada dalam kebijakan nasional (Kartodiharjo 2010).
Namun demikian kesadaran akan pengelolaan DAS yang multipihak sudah mulai tampak dan
dirasakan oleh berbagai stakeholder. Bahkan dalam berbagai pertemuan dan seminar sering
diungkap masalah pentingnya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral ini.

Forum DAS, Peluang Keberhasilan Pengelolaan DAS

Kesadaran perlunya pengelolaan DAS terpadu yang lintas sektoral ini barulah memenuhi
syarat perlu (necessary condition) bagi pengelolaan DAS yang baik. Namun demikian perlu dikaji
lagi apakah sudah terpenuhi syarat cukupnya (sufficient condition). Tindak lanjut dari kesadaran
ini adalah dibentuknya Forum DAS di berbagai daerah. Pada awalnya inisiasi pembentukan
Forum DAS adalah berasal dari Kementerian Kehutanan. Menteri Kehutanan melalui Surat No
S.652/Menhut-V/2006 telah meminta kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan
forum DAS di daerahnya dalam rangka untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS yang
multipihak. Kemudian tahun tahun 2009 dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan
No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu
serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009 tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria
Pengelolaan DAS Terpadu. Peraturan inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan

1
kebijakan pembentukan Forum DAS yang lainnya. Saat ini sudah dibentuk 1 forum DAS tingkat
nasional, 33 forum DAS tingkat provinsi, 12 forum DAS tingkat Kabupaten/Kota dan 3 forum DAS
hasil inisiasi LSM yang belum disahkan SK Bupati/Walikota.
Terbentuknya Forum DAS adalah langkah maju dalam kegiatan pengelolaan DAS untuk
memenuhi syarat perlu pengelolaan DAS yang baik. Namun harus diingat bahwa pada dasarnya
terbentuknya forum ini bukanlah tujuan itu sendiri, akan tetapi forum ini diharapkan menjadi
wadah yang dapat dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan DAS yang terpadu. Setelah
syarat perlu adanya suatu wadah yang bisa mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan sumber
daya alam dalam kawasan DAS, langkah selanjutnya adalah mengkaji apakah forum DAS yang
sudah terbentuk ini mampu memenuhi syarat cukup agar peranannya semakin sempurna dalam
pengelolaan DAS.

Kerangka Pendekatan
Kajian mengenai peran dan fungsi forum DAS dalam pengelolaan DAS didahului dengan
kajian kebijakan yang terkait dengan pembentukan Forum DAS untuk melihat bagaimana forum
ini dibetuk dan berperan. Kebijakan yang dibahas adalah keputusan-keputusan, aturan-aturan
dan program-program yang diberlakukan pemerintah terhadap para pelaku (forum DAS).
Dunn (2003), proses pembuatan kebijakan bersifat politis. Runhaar et al (2005)
mengajukan lima metoda di dalam proses analisa kebijakan, yaitu rekonstruksi teori kebijakan,
analisa stakeholders atau pemangku kepentingan, analisa dampak kebijakan (impact
assesment), analisa biaya-manfaat kebijakan (cost-benefit analyses) dan analisa diskursus
(discourse analysis). IDS (2006) menyatakan bahwa kebijakan dapat dianalisa berdasarkan
proses perumusannya dengan memperhatikan tiga tema pokok, yaitu: (a) diskursus/narasi
(discourse/narrative) yang menjelaskan bagaimana kebijakan tersebut berproses serta berbagai
informasi, pengetahuan atau argumen yang mendasarinya, (b) aktor dan jaringannya
(actors/nettwork) yang menjelaskan siapa dan bagaimana pihak-pihak yang terlibat di dalam
penyusunan kebijakan, serta (c) politik dan kepentingan (politic/interest) dari para aktor yang
menggambarkan dinamika pengaruh atau kekuasaan yang dimiliki oleh para aktor tersebut.
Berkaitan dengan analisa kebijakan yang dikemukakan oleh IDS (2006) tersebut, muncul
pertanyaan terkait dengan pembentukan forum DAS sebagai berikut : (1) Siapa saja yang
berperan dalam pembentukan forum DAS tersebut; (2) politik dan kepentingan siapa saja yang
berperan sehingga forum DAS tersebut dapat terbentuk; dan (2) apakah Forum DAS ini dapat
berperan sebagaimana yang diharapkan (legitimate) diantara para stakeholder yang terdapat
dalam DAS.

Analisis Perumusan Kebijakan Pembentukan Forum DAS


di Provinsi Sumatera Utara

Analisis Narasi dan Diskursus Kebijakan Pembentukan Forum DAS


Narasi Kebijakan atau Policy Narative adalah ”cerita” yang yang menjelaskan
bagaimana suatu kejadian tertentu menjadi sebuah keyakinan, yang di dalamnya terdapat
ideologi, pengetahuan dan pengertian yang sudah tertanam (Sutton 1999: Kartodiharjo
2006). Analisis narasi kebijakan merupakan tahap analisis teori dari proses perumusan
kebijakan. Sedangkan diskursus merupakan cara pikir dan cara memberikan argumen
yang dilakukan dari penamaan dan pengistilahan terhadap sesuatu yang dapat merupakan
cerminan dari kepentingan tertentu (politik) (Kartodihardjo 2006)

Keluarnya Pedoman Pernbentukan Forum DAS (Direktorat PDAS dan Rehabilitasi


Lahan 2003) adalah tonggak awal pembentukan forum DAS. Forum DAS adalah wadah
konsultasi dan komunikasi para pihak yang berkepentingan dengan pengelolaan DAS dalam

2
rangka rnernbantu Gubernur/Bupati/Walikota dalarn rnelaksanakan koordinasi tata pengaturan
DAS di wilayahnya, dan bersifat independen. Setiap stakeholders mempunyai hak dan
kewajiban yang sama. Koordinator Forum dan Sekretariat Forum dipilih dari sesama
anggota. Kemudian ditindaklanjuti dengan Surat No S.652/Menhut-V/2006 telah meminta
kepada seluruh gubernur untuk mendorong pembentukan forum DAS di daerahnya dalam rangka
untuk meningkatkan kinerja pengelolaan DAS yang multipihak. Kemudian tahun tahun 2009
dikeluarkan Peraturan Menteri Kehutanan No.P.39/Menhut-II/2009 tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Pengelolaan DAS Terpadu serta Permenhut No.P.42/Menhut-II/2009
tentang Pola Umum, Standard dan Kriteria Pengelolaan DAS Terpadu. Kebijakan inilah yang
kemudian menjadi landasan bagi daerah untuk membentuk forum DAS. Khusus di Provinsi
Sumatera Utara kebijakan yang dimaksud adalah SK Gubernur Sumut No. 614/2470/K/TAHUN
2009 Tanggal 21 Juli 2009 tentang Forum Komunikasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
Provinsi Sumatera Utara dan SK Gubernur Sumut No 614 /2665/KI TAHUN 2009 tentang Forum
Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wampu, Sungai Deli dan Sungai Ular.
Diskursus yang berkaitan dengan upaya pembentukan forum DAS di Propinsi Sumatera
Utara memang sudah dimulai cukup lama sekitar tahun 2006 dengan inisiasi dari UPT Balai
Pengelolaan DAS Wampu Sei Ular untuk membentuk sebuah forum DAS. UPT BPDAS
mempunyai kepentingan dengan terbentuknya forum DAS ini karena dapat menjadi salah satu
penilaian kinerja UPT tersebut. Inisiasi ini disambut oleh kalangan akademisi yang mempunyai
tingkat pemahaman cukup baik terkait dengan pengelolaan DAS terpadu yang melibatkan multi
pihak. Selain akademisi, yang juga menyambut baik adalah kalangan LSM dan masyarakat yang
memiliki kesadaran baik terkait pengelolaan DAS lestari. Kelompok lain adalah dari kalangan
birokrat di tingkat daerah (propinsi, kabupaten/kota, UPT Pusat di daerah). Kelompok ini lebih
banyak mengedepankan tupoksi dari organisasinya. Satu kelompok lagi adalah kalangan
pebisnis terutama perkebunan yang lebih mengedepankan masalah ekonomi. Pada tahap
selanjutnya tidak semua grup (dari 5 grup/kelompok) tersebut terwakili dalam keanggotaan forum.

Aktor dan jaringan yang berperan dalam pembentukan Forum DAS di Sumut
Dengan terbentuknya forum DAS, maka UPT akan mendapatkan penilaian kinerja yang
baik. Proses pembentukan dan keanggotaan forum DAS inipun masih didominasi oleh kalangan
akademisi dan diketuai oleh kalangan akademisi, dengan sedikit melibatkan unsur-unsur dari
instansi pemerintah terkait. Pada umumnya, unsur keanggotaan yang terlibat dalam forum
ditentukan oleh siapa yang hadir pada saat rapat pembentukan. Hal serupa juga terjadi pada
tahun 2007, saat pembentukan Forum DAS Wampu dan Forum DAS Sei Ular. Ketua dari kedua
forum yang terakhir juga akademisi. Hal ini mengindikasikan bahwa secara keilmuwan, kalangan
akademisi masih mendominasi informasi tentang pengelolaan DAS ini. Terlebih lagi pada saat
pembentukan, peserta yang hadir dan kemudian menjadi anggota forum DAS umumnya
memahami DAS berbeda dengan yang ditetapkan undang-undang.

Politik dan kepentingan yang berperan dalam pembentukan Forum DAS di Sumut
Selama kurun waktu antara tahun 2006-2007, keberadaan forum ini masih belum
mendapatkan legalisasi dari pemerintah provinsi Sumatera Utara. Kemudian karena ketua dari
masing-masing forum memiliki hubungan baik dengan ketua Bappeda Provinsi Sumut, maka
proses penyusunan SK tentang forum DAS di lingkungan provinsi sumatera utara bisa berjalan
dengan baik. Artinya, prosespembuatan kebijakan ini juga melibatkan aktor dan jaringan.
Jaringan yang dimaksud dalam kasus ini adalah jaringan alumni Universitas Sumatera Utara yang
sekaligus juga alumni HMI. Dengan kedekatan secara personal diantara aktor pembuat
kebijakan, maka semakin mempermudah disahkannya forum DAS di lingkungan Provinsi
Sumatera Utara dengan diterbitkannya kedua SK Gubernur tersebut.

3
Ketidakoptimalan peran Forum DAS di Sumut
Hasil analisis terhadap forum yang sudah ada menunjukkan bahwa forum belum memiliki
kapasistas yang baik terutama dilihat dari kualitas jaringan diantara stakeholder yang terlibat
dalam penyusunan forum DAS (kalangan swasta, satuan kerja pemerintah daerah /SKPD dan
lain-lainnya). Kondisi ini mengakibatkan keberadaan forum DAS yang telah legal karena di-SK-
kan oleh gubernur belum legitimate dimata para stakeholder yang seharusnya terlibat dalam
forum tersebut. Keenam Forum DAS yang sudah terbentuk di Propinsi Sumatera Utara, belum
bisa memenuhi tuntutan untuk menjadi forum yang bisa dijadikan sebagai sarana untuk
komunikasi, konsultasi dan koordinasi dalam rangka memberikan rekomendasi atau
masukan kepada pembuat keputusan tentang kebijakan, implementasi kegiatan dan
pengendalian pengelolaan sumber daya alam secara terpadu di Daerah Aliran Sungai,
dengan tugas, wewenang dan fungsi sebagaimana dalam SK. Lemahnya peran forum DAS
ini karena lemahnya koordinasi diantara stakeholders yang berperan dalam pengelolaan DAS.
Lemahnya koordinasi diakibatkan oleh tupoksi dan sumberdaya stakeholders yang tidak
mendukung koordinasi, selain juga karena masalah koordinasi ini memang juga terjadi secara
struktural.
Ketidakoptimalan forum DAS juga bisa dilihat orientasi stakeholders yang masih tertuju
pada ekonomi komoditi sumber daya alam (terutama dari kalangan perkebunan) dan bukan
orientasi pengelolaan bentang alam (wilayah) sumber daya alam. Perkebunan masih belum bisa
menginternalisasi eksternalitas mana kala aktifitas pengelolaan di lahannya mengakibatkan
bencana di tempat lain. Kasus ini terjadi misalnya di DAS Padang yang sering banjir jika musim
hujan bersamaan dengan kegiatan replanting dari perkebunan besar.
Secara umum forum DAS di Sumatera Utara tidak berperan optimal karena masalah yang
dihadapi adalah bersifat struktural dan bukan fungsional. Masing-masing stakeholders sudah
memiliki program yang “menginduk” pada strata organisasi yang lebih tinggi terkait dengan
pengelolaan DAS. Karena masing-masing sudah punya rencana sendiri-sendiri maka peran
koordinasi yang seharusnya dilakukan forum DAS menjadi sesuatu yang sangat sulit terjadi.
Kegagalan fungsi ini mengakibatkan masing-masing forum DAS di Sumut melakukan
aktifitas yang berbeda-beda. Dua forum yang penulis amati (Forum DAS Deli dan Forum DAS
Sei Ular) tidak berjalan. Bahkan setelah difasilitasi untuk melakukan kunjungan studi banding ke
Forum Komunikasi DAS Cidanau pun belum bisa mengangkat kinerja kedua forum DAS ini. Hasil
wawancara singkat penulis dengan salah seorang pengurus inti forum DAS Deli diketahui bahwa
forum ini bukan prioritas karena tidak menghasilkan penghasilan tambahan (bersifat volunter)
dan tidak ada honor yang diperoleh, sehingga keberadaannya dalam forum DAS tersebut tidak
ada.
Sedangkan forum DAS Wampu karena sulitnya melakukan koordinasi diantara
stakeholder yang ada di DAS Wampu, lebih banyak melakukan aktifitas pemberdayaan
masyarakat desa yang tinggal di wilayah bantaran sungai maupun masyarakat yang tinggal di
hulu DAS. Kegiatannya seperti pembinaan penangkaran tanaman, pembibitan, penanaman
pohon sosialisasi pertanian konservasi kepada petani dan lain-lain. Artinya meskipun tidak ada
honor yang diperoleh dari forum namun motivasi para anggota forum mampu untuk berperan
dalam pengelolaan DAS dengan mencari segmen kegiatan yang sesuai dengan
kemampuan/kapabilitas pengurus forum. Dengan begitu, meskipun dikalangan instansi
pemerintah daerah dan UPT Pusat forum ini tidak legitimate, namun di masyarakat forum ini
berperan dengan cukup baik.
Berdasarkan kenyataan yang terjadi pada 3 forum DAS yang dijadikan bahan kajian ini
dapat diambil pelajaran setidaknya terhadap dua hal. Pertama, bahwa pasal-pasal yang terdapat
dalam Surat Keputusan Gubernur Sumut tersebut hanyalah berupa panduan yang dapat
melahirkan implementasi yang berbeda diantara Forum yang berbeda. Para pengurus forum
masih mendapat keleluasan untuk berinovasi di dalam koridor tersebut. Inovasi hanya dapat
dilakukan apabila terdapat informasi, pengetahuan, maupun kreativitas berdasarkan analogi-

4
analogi dan pengalaman-pengalaman di lapangan (Kartodihardjo, 2006). Dari salah satu forum
yang berhasil memberdayakan masyarakat tersebut terlihat bahwa pengalaman lapangan
berhubungan dengan masyarakat menjadi poin penting aktifitas yang bersifat volunterisme
tersebut. Dengan hubungan baik tersebut ternyata mampu mengurangi biaya-biaya transaksi
yang timbul dari kegiatan yang dilakuakn oleh forum. Kedua, terbitnya Surat Keputusan
Gubernur tersebut telah melalui proses yang cukup panjang meskipun belum memenuhi seluruh
harapan tujuan awalnya, misalnya upaya untuk memastikan forum terlibat dalam semua
pembahasan perencanaan yang terkait dengan pemanfaatan ruang di wilayah DAS yang
bersangkutan. Upaya ini masih mendapatkan hambatan terutama karena adanya peraturan
perundangan lain yang mengatur tata pemerintahan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sehingga
keberadaan forum ini lebih pada fungsi untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada
stakeholder terkait pemanfaat ruang dan sumber daya di dalam kawasan DAS. Namun tidak
mengikat kepada stakeholder yang dimaksud.
Masalah yang dihadapi selama ini ternyata bukan tidak ada pengetahuan dan informasi
yang diperlukan untuk melakukan pembaruan kebijakan dan praktek-praktek kerja di lapangan,
melainkan lemahnya prakondisi, cara, maupun pembaruan kerangka pemikiran yang
mempengaruhi adaposi pengetahuan dan informasi sebagai dasar pembaruan kebijakan dan
praktek di lapangannya (Lackey, 2007). Dalam kasus pembentukan Forum DAS di Provinsi
Sumut ini, keberadaan pengetahuan dan informasi yang dipergunakan sebagai landasan
pembentukan forum DAS belum dibarengi dengan prakondisi dan cara serta pembaruan
kerangka pemikiran dari semua stakeholder yang terlibat sehingga kinerja dari forum DAS ini
belum optimal. Masalah utama yaitu gagalnya koordinasi karena problem struktural bukan
problem fungsional.

DAFTAR PUSTAKA

Direktorat Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Lahan Departemen Kehutanan. 2003. Pedoman
Pembetukan Forum DAS. Jakarta
Dunn W. 2003. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Wibawa S, dkk (penerjemah). Terjemahan
dari :Public Polycy Analysis. An Introduction. Yogyakarta. Gadjahmada University Press.
IDS (Institute of Development Studies). 2006. Understanding policy processes: A review of IDS
research on the environment. Institute of Development Studies – University of Sussex.
UK.
Kartodihardjo, H. 2006. Masalah Kapasitas Kelembagaan Dan Arah Kebijakan Kehutanan: Studi
Tiga Kasus (Problem Of Institutional Capacity And Direction Of Forestry Policy: Three
Cases Study). Jurnal Manajemen Hutan Tropika Vol. XII No. 3 : 14-25 (2006) Artikel
(Article) Trop. For. Manage. J. XII (3) : 14-25 (2006)
Kartodihardjo, H. 2010. Pengelolaan Hutan Bagi Penurunan Emisi Karbon dan Menjaga
kelestarian Lingkungan Hidup : Masalah “the trapped administrators”. Tanggapan terhadap
materi ceramah Menteri Kehutanan sebagai bahan diskusi di Lembaga Ketahanan
Nasional, 3 Juni 2010.
Lackey, R. T. 2007. Science, scientist, and policy advocacy. Conservation Biology. Vol. 21(1):
12-17.
Runhaar, H., Dieperink, C., and Driessen, P. 2005. Policy Analysis for Sustainable Development:
Complexities and methodological responses. Paper for the Workshop on Complexity
and Policy Analysis. Cork, Ireland ‐ 22‐24 June 2005.

View publication stats

You might also like