Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut.
Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan
vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid secara klinik
tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi langsung oleh obat
pemberian obat seperti morfin dan relaksan otot non depolarisasi (tubokurare,
(kemerahan dan pembengkakan kulit), biasanya sepanjang vena, kemerahan pada tubuh
Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi alergi tidak
terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi, yang terlibat dalam
menyebabkan reaksi anafilaktik antara lain tiopenton, suksametonium, obat relaksai otot
non depolarisasi, anestetik lokal golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran,
Metode pencegahan rasa sakit yang paling sering digunakan di bidang kedokteran
gigi adalah dengan penghambatan konduksi impuls rasa sakit. Metode semacam ini
disebut dengan anestesi lokal. Anestesi lokal dilakukan dengan menggunakan cairan yang
bersifat analgesia yang disuntikkan di sekitar serat saraf yang dituju. Setelah diobservasi
oleh sel saraf cairan ini dapat menghambat terjadinya depolarisasi pada serat saraf
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
berpotensi mengancam jiwa, yang melibatkan pelepasan mediator dari sel mast,
basofil dan sel inflamasi yang direkrut. Anafilaksis didefinisikan oleh sejumlah tanda
dan gejala, sendiri atau kombinasi, yang terjadi dalam beberapa menit, atau sampai
beberapa jam, setelah terpapar dengan agen yang memprovokasi. Bisa ringan, sedang
sampai berat, atau parah. Sebagian besar kasus ringan tapi Anafilaksis apapun
dengan cepat, biasanya mencapai tingkat keparahan dalam waktu 5-30 menit, dan
tidakjarang terjadi selama beberapa hari. Semua dokter gigi harus menyadari
diagnosis dan penanganan keadaan darurat seperti anafilaksis yang mungkin timbul
dari penggunaan agen anestesi lokal dalam rangkaian klinisnya. (Ronak et al, 2013).
Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi
alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.103.
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
atau cara lain. (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).
Syok anafilaksik dapat berkembang dengan cepat dan biasanya mengancam jiwa
karena gangguan pernafasan. Gejala dan tanda awal meliputi sensasi kehangatan,
gatal terutama pada ketiak dan pangkal paha, dan perasaan cemas dan panik. Ini bisa
berkembang menjadi ruam erythematous atau urticarial, edema pada wajah dan leher,
B. Epidemiologi
angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak
Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien
anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006
perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggj sekitar 35% dan mempunyai
risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur,
anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua
C. Etiologi
sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan
kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang
otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin Bl, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latiban fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan
D. Patofisiologi
tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase
sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk
dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan
ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. (Longecker, 2008).
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di
E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast
(Mastosit) dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula
yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen
yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan
memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di
sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi
beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase
Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ
fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan
penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan
penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut
pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang
E. Manifestasi Klinis
dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam
setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah
terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi
dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan
kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga
berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat
edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,
hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan
reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-
tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.
Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.
Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas,
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,
kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.
Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam
mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.
Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang
alergi ada beberapa tanda, misalnya : allergic salute, yaitu pasien dengan
melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic fades, terdiri dari
pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung
diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip
hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit
penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau
orofaring terhbat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara
sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah
penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila
saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai
terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem
edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal
penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.
Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan
sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada
sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot
polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai
perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus. (Ewan, 1998).
fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan
pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi
insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi
asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel
F. Komplikasi
Komplikasinya meliputi :
pernapasan.
e) Paparan : Kaji kulit dengan paparan yang cukup, tapi hindari kehilangan
panas berlebih.
Pertimbangkan anafilaksis bila ada riwayat cepat onset cepat jenis reaksi
alergi parah dengan kesulitan pernapasan dan / atau hipotensi, terutama jika ada
b. Pengelolaan Disabilitas
lateral kiri minimal 30°. Jika orang tersebut sadar: Dokter gigi harus
menempatkan mereka pada posisi di mana pasien merasa nyaman dan mampu
bernafas, sampai ambulans tiba. Jika pasien pingsan, pasien harus diletakkan rata
di posisi pemulihan (satu kaki dan satu lengan, dengan kepala miring ke belakang
c. Farmakoterapi
a) Adrenalin
(epinefrin).
12 tahun: 500 g IM (0,5 mL) yaitu sama dengan dosis orang dewasa.
(epinephrine) harus diulang setelah 5 menit jika tidak ada perbaikan klinis.
Dalam keadaan seperti ini, bantuan ahli diperlukan sesegera mungkin. (Ronak
et al, 2013).
jaringan sulit diatasi dan intubasi ahli dini sering dibutuhkan). Cairan
pada anak-anak bila akses infus sulit dilakukan. Berikan cairan yang cepat:
Dewasa - 500 mL kristaloid (mis., 0,9% garam) pada 5-10. Min jika pasien
normotensif atau 1 L jika pasien hipotensi. Untuk anak-anak - berikan 20 mL /
kg kristaloid.
Catatan: Gunakan volume yang lebih kecil (mis., 250 mL) untuk pasien
lebih dekat (periksa bagian dada untuk mengetahui adanya krepitasi setelah
vena sentral dapat membantu menilai resusitasi cairan. (Ronak et al, 2013).
b) Agonis Beta
c) Antihistamin
Ranitidin: 50 mg IV 8 jam.
d) Glukagon
merespons.
Kortikosteroid
e) -agonis
d. Monitoring
sedekat mungkin dengan normal (kira-kira 13 kPa atau 100 mmHg). Bila / jika
oksimeter pulsa tersedia: Titrasikan oksigen untuk menjaga saturasi oksigen 94-
98%. SpO2 normal pada oksigen tidak berarti ventilasi cukup (karena oksimeter
saluran napas atas atau bronkospasme bisa membuat ventilasi masker bag sulit
atau tidak mungkin. Pertimbangkan intubasi trakea dini (jika peralatan dan
dibutuhkan. Cek kembali denyut nadi dan BP secara teratur (setiap 5 menit).
e. Pencegahan
Jika dokter gigi mengetahui apa yang memicu anafilaksis, penting untuk
pemicu serupa. Jika penyebab reaksi alergi tidak diketahui, pasien harus dirujuk
2013).
BAB III
LAPORAN KASUS
A. LAPORAN KASUS I
ANAPHYLACTIC REACTION TO LOCAL ADMINISTRATION OF
LIDOCAIN: A CASE REPORT
Dr. Umashanker Pd Keshri1* dan Md.Rashid Haider Khan2.
1* Associate Professor, Department of Pharmacology, Rajendra Institute of Medical
Ilmu, Ranchi.
2 Pharmacovigilence Techinical Associate, Pusat Pemantauan ADR, RIMS, Ranchi.
REAKSI ANAPHYLACTIC TERHADAP ADMINISTRASI LOKAL
LIDOCAINE: LAPORAN KASUS
Laporan Kasus
Seorang pria berusia 40 tahun mengalami nyeri pada premolar ke-1.
Dokter gigi dari pusat perawatan tersier setelah pemeriksaan fisik (tidak termasuk
penyakit jantung, pernapasan atau hati) dan nvestigasi memutuskan untuk
melakukan ekstraksi gigi yang terkena. Pada tanggal dan waktu yang pasti proses
ekstraksi gigi dimulai di bagian rawat jalan dengan tindakan pencegahan aseptik
dan antiseptik penuh. Dokter gigi bertugas menyuntikkan 2% xylocaine (injeksi A-
Caine, 2%, 3ml) tanpa vasokonstriktor di tempat ekstraksi untuk menganalisa
daerah setempat dengan teknik infiltrasi sehingga dia melanjutkan pekerjaan.
Setiap ml obat mengandung lignocaine hydrochloride 21,3 mg, natrium klorida 6
mg dan metil paraben sebagai pengawet 1 mg. Tepat setelah pemberian pasien
injeksi di atas mengalami kesulitan, pusing, gelisah, otot berkedut, dan kram di
ekstremitas. Dia menjadi pulseless dan tekanan darahnya tidak terjangkau dan
memiliki sakit kepala ringan, sakit kepala, dan perasaan akan malapetaka. Segera
disuntik adrenalin satu cukup (1mg / ml inj yang mengandung adrenalin 0,5mg)
IM dan bergeser ke keadaan darurat. Diagnosis sementara reaksi anafilaksis A-
Caine diinduksi berdasarkan tanda dan gejala dan pasien dikelola secara
konservatif oleh adrenalin, hidrokortison, obat antihistamin dan cairan intravena.
Diperlukan investigasi yang diperlukan untuk mengecualikan penyakit dan obat
lain untuk ini kondisi. Vitalnya meningkat secara bertahap dan dia dipecat setelah
3 hari tanpa gejala sisa.
DISKUSI
Ada laporan kasus dermatitis lokal dan umum karena penggunaan obat bius
lokal. Sebagai dokter gigi sering terpapar kontak dengan mereka sehingga mereka
merasakannya sesekali8. Dalam kasus ini laporkan obat ini digunakan oleh dokter
gigi tersier untuk ekstraksi gigi. Tidak ada riwayat paparan sebelumnya dengan
reaksi lidokain dan hipersensitif terhadapnya.
Reaksi muncul dalam beberapa menit setelah pemberian obat. Setelah
penanganan yang suportif dan penarikan kondisi darurat obat pasien berhasil dan
pasien membaik dan tidak ada pengulangan kondisi ini lagi. Pasien juga tidak
menderita penyakit seperti penyakit jantung, paru-paru atau neural, serangan
vasovagal atau sindrom adams yang menjelaskan reaksi tersebut. Pola EKG
normal. Tingkat keparahan reaksi menurun seiring waktu dan pasien dipulangkan
dari rumah sakit pada hari ketiga. Tidak ada riwayat reaksi atau asupan obat yang
sama sebelumnya. Diagnosis reaksi anafilaksis didasarkan pada bukti objektif.
Gambaran klinis yang disajikan pasien adalah yang terlihat pada reaksi anafilaksis
yang khas. Tidak ada penyebab alternatif [selain obat] yang hanya bisa
menyebabkan reaksi? Juga tidak ada riwayat penggunaan obat lain secara
bersamaan. Juga tidak ada riwayat penyalahgunaan zat. Uji coba ulang tidak
dilakukan karena sifat penyakit dan alasan etis yang serius. Reaksi ini tidak terkait
dan dapat diberi label sebagai tipe B efek samping yang merugikan. [9] Hal ini
juga dapat dianggap sebagai kemungkinan / kemungkinan sesuai penilaian korban.
[10] Ada laporan bahwa anestesi tipe amida dapat menyebabkan reaksi anafilaksis.
Ini disebabkan oleh bahan pengawet atau antioksidan yang ada pada agen anestesi.
[5] Dalam kasus ini dilaporkan bahwa metil paraben hadir sebagai pengawet
sehingga ada kemungkinan zat kimia ini merupakan agen penyebab reaksi
anafilaksis.
Dalam resep FDA petunjuk larutan anestesi lokal yang mengandung
methylparaben tidak diizinkan untuk digunakan sebagai anestesi epidural atau
spinal karena keamanan agen ini belum dilakukan sehubungan dengan suntikan
intratekal, baik yang disengaja atau tidak disengaja5.
KESIMPULAN
Reaksi anafilaksis karena lidokain jarang dilakukan, namun profesional
perawatan kesehatan harus selalu waspada terhadap reaksi berat ini dan hanya
dokter berpengalaman yang berpengalaman dan dapat melakukan pengelolaan
reaksi toksik dan keadaan darurat yang sesuai harus menangani obat ini untuk
keselamatan pasien.
Pengakuan : Tidak ada
Pendanaan : Tidak ada sumber pendanaan
Konflik kepentingan : Tidak ada yang diumumkan
Persetujuan etis : Tidak diperlukan
B. LAPORAN KASUS II
ANAPHYLAXIS TO LIDOCAINE WITH TOLERANC TO ARTICAINE IN A
12 YEARS OLD GIRL
Khalid AlDosary, Ahmad Al-Qahtani, Abdullah Alangari
Anafilaksis untuk lidokain dengan toleransi terhadap artikain Pada seorang
gadis berusia 12 tahun
Laporan Kasus
Seorang gadis berusia 12 tahun yang sehat sebelumnya mendapat suntikan
lidokain lokal untuk prosedur gigi. Sekitar 1 jam kemudian ia mengalami
pembengkakan, gatal, dan urtikaria. Tak lama kemudian, dia mulai mengantuk dan
mengalami hipotensi. Pasien diresusitasi dan sembuh dengan baik. Tidak
menyadari kemungkinan bahwa reaksi tersebut mungkin sekunder akibat lidokain,
pasien juga menerima obat anestesi lokal yang sama yang diberikan pada
kesempatan lain saat pasien mengalami urtikaria umum dan kompromi kesulitan
bernapas selama 5 menit dari pemberian obat. Pasien berhasil diresusitasi. Kedua
kejadian tersebut terjadi di institusi yang berbeda dan kami sayangnya tidak bisa
mendapatkan semua rincian klinis terkait. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
atopi, makanan, atau lingkungan. Tidak ada riwayat reaksi sebelumnya terhadap
obat-obatan.
Skin Prick Testing (SPT) dengan lidokain 2% bebas pengawet dan bebas
epinefrin positif dengan wheal 6 mm. Pasien menunjukkan reaksi positif terhadap
kontrol histamin (wheal 10 mm) dan reaksi negatif terhadap garam normal (0 mm
wheal). Pasien kemudian dievaluasi untuk hipersensitivitas terhadap artikain,
sebagai alternatif lidokain (Gambar 1). Articaine forte 4% (dengan epinefrin dan
natrium sulfit anhidrat sebagai pengawet) adalah satu-satunya bahan yang
dipersiapkan yang tersedia untuk diuji. SPT negatif dengan 0 mm wheal
dibandingkan dengan histamin positif dan kontrol normal garam normal.
Pasien kemudian diuji dengan konsentrasi injeksi inkremental 0,1 ml
subkutan (SQ) seperti yang ditoleransi, dimulai dengan pengenceran 1:100,
pengenceran 1:10, dan akhirnya konsentrasi penuh dengan interval 15 menit antara
masing-masing injeksi. Terakhir, pasien diberi 1 ml konsentrasi penuh articaine
subcutan. Pasien tidak bereaksi terhadap suntikan apa pun. Pasien kemudian
menjalani prosedur gigi dengan menggunakan articaine forte tanpa komplikasi.
Diskusi
Pasien kami yang dilaporkan memiliki reaksi hipersensitivitas tipe 1 klasik
terhadap lidokain dalam bentuk yang paling parah ''anafilaksis''. Reaksi keduanya
terhadap lidocaine terjadi jauh lebih cepat daripada yang pertama. Ini khas reaksi
hipersensitivitas tipe 1, dimana eksposur selanjutnya menyebabkan reaksi yang
lebih cepat dan lebih serius. Sebagian besar reaksi yang mengikuti pemberian
anestesi lokal disebabkan oleh kecemasan, episode vasovagal atau injeksi
intravaskular secara tidak disengaja. Riwayat medis yang rinci harus memberikan
petunjuk pertama untuk diagnosis. Jika hal ini menunjukkan dugaan atau
kecurigaan terhadap reaksi mediasi IgE ke obat anestesi lokal, pasien harus diuji
sebelum melakukan pemaparan lebih lanjut terhadap obat tersebut.
Untuk alasan yang tidak jelas, tampaknya ada kecenderungan perempuan
untuk alergi terhadap obat anestesi lokal (Fuzier et al., 2009; Sambrook et al.,
2011). Lebih sering daripada tanpa bahan pengawet dalam larutan anestetium lokal
seperti sulfites atau benzoat bertanggung jawab atas reaksi alergi (Ring et al.,
2010). Amide dan anestetikum local ester jarang bereaksi silang (Caron, 2007). Di
sisi lain, anestetikum local amida dapat saling bereaksi satu sama lain sesekali,
walaupun lebih sering daripada dengan ester (Calderon et al., 2013; Fuzier et al.,
2009). Pengalaman kami dalam hal ini konsisten dengan pengamatan reaktivitas
non-silang yang lebih umum. Pada situasi sebaliknya, pasien yang alergi pada
articaine dapat mentolerir lidocaine dalam beberapa laporan kasus ( Davila-
Ferna'ndez et al., 2012; El-Qutob et al., 2005; Moreno Escobosa et al., 2011 ).
Tidak ada reaktivitas silang yang dilaporkan antara kedua obat tersebut.
Kesimpulan
Meski sangat jarang, alergi terhadap lidokain harus dipertimbangkan secara
serius dengan adanya riwayat sugestif. Atricaine bisa menjadi alternatif yang
sesuai, sebaiknya setelah diperiksa dengan skin prick test yang negatif. Ini adalah
laporan pertama, sampai pengetahuan kami, tentang pasien yang memiliki alergi
lidokain tapi masih menoleransi artikain.
D. LAPORAN KASUS IV
FATAL VISIT TO THE DENTIST
Vera Sterzik & Thomas Tatschner & Norbert Roewer & Daniel Barrera & Michael
Bohnert
Kunjungan Fatal ke Dokter Gigi
Laporan Kasus
Situasi sebelum kejadian dan temuan di tempat kejadian
Seorang wanita berusia 23 tahun, yang sangat takut akan perawatan gigi
dan memiliki riwayat perdarahan, memutuskan untuk mengekstraksi giginya di
bawah anestesi endotrakeal. Menurut berkas medis, hal ini dianggap sebagai
intervensi rutin pilihan pada pasien yang dikategorikan sebagai ASA I dan
Mallampati II. EKG dan tes darah dilakukan sebelum operasi menunjukkan hasil
yang baik. Operasi sebelumnya dengan anestesi umum telah dilakukan tanpa
komplikasi. Segera setelah inisiasi anestesi dengan menggunakan propofol,
remifentanil dan suksinilkolin. Saturasi O2 dan tekanan darah turun, dan tak lama
kemudian, wanita muda tersebut meninggal meski dilakukan tindakan resusitasi.
Dalam laporannya, dokter IGD yang bertugas menyatakan "inisiasi anestesi
dengan propofol/ultiva, relaksasi dengan suksinilcholine. Pertama, bronkospasme,
akhirnya, gagal jantung. Tidak ada bukti hipertermia malignan. Diduga bereaksi
terhadap suksinilkolin."
Pemeriksaan teknis peralatan anestesi
Peralatan anestesi disita dan diperiksa secara teknis oleh pabrikan tersebut
bekerjasama dengan Rumah Sakit Anaesthesiologi Universitas Würzburg. Cek
tersebut tidak menimbulkan keraguan mengenai pengoperasian perangkat yang
benar. Capnometri yang mengukur kandungan karbon dioksida dalam napas yang
dihembuskan tidak digunakan dalam operasi yang sedang diperiksa.
Temuan otopsi
Otopsi wanita (tinggi 166 cm dan berat 90 kg) menunjukkan kemacetan
darah dan overhidrasi organ dalam serta pembesaran limpa. Pada mukosa
esofagus, lesi yang ditentukan terletak 19 cm dari ujung lidah ditemukan (Gambar
1). Di jaringan lunak antara esofagus dan trakea, perdarahan tersembunyi dapat
dilihat pada tingkat yang sama. Tabung pernapasan diposisikan dengan benar di
trakea; Tidak ada perdarahan pada selaput lendir trakea. Tidak ada hubungan
patologis seperti fistula antara trakea dan kerongkongan, dan tidak ada
hiperekstensi yang luar biasa dari perut dan usus kecil.
Gbr. 1 Lesi yang ditentukan pada mukosa esofagus di bagian tengahnya 19 cm dari ujung lidah
E. LAPORAN KASUS V
A CURIOUS CASE OF UNEXPLAINED PHYSICAL REACTION TO
DENTAL LOCAL ANAESTHETIC
H. Crane, A. Carter & E. Andresen
University Dental Hospital of Manchester, Manchester, UK
Sebuah Kasus Aneh Reaksi Fisik yang Tidak Dapat Dijelaskan terhadap
Obat Bius Lokal
Laporan Kasus
Laporan ini berfungsi sebagai contoh pasien yang mengembangkan reaksi
fisik yang tidak dapat dijelaskan ke lokal, Anestesi pada dokter gigi umum (PDB)
dan kemudian dirawat oleh Departemen Bedah Mulut di University Dental
Hospital, Manchester. Seorang 40 tahun dirujuk ke Rumah Sakit Gigi Universitas,
Manchester oleh PDBnya pada tahun 2014. Pasien pada awalnya dilihat oleh
konsultan restoratif, yang kemudian merujuknya ke departemen bedah mulut.
Rujukan menyatakan bahwa pasien mengalami reaksi parah setelah
pemberian anestesi lokal yang digambarkan sebagai 'pingsan dalam-dalam', di
mana dia tampak tidak responsif selama 20 menit. PDB telah mengidentifikasi
pasien memerlukan ekstraksi UL7 dan perawatan saluran akar UR5, dan meminta
bantuan untuk pengelolaan pasien. PDB juga telah menjelajahi rujukan ke Rumah
Sakit Royal Derby, yang lebih dekat ke rumah pasien. Namun, Royal Derby
Hospital merekomendasikan rujukan ke University Dental Hospital Manchester,
karena tes alergi anestesi lokal dilakukan secara rutin di rumah sakit ini.
Selama konsultasi awal, pasien menggambarkan dua episode 'reaksi
merugikan' terhadap anestesi umum pada tahun 2006 dan 2008. Dia ingat bahwa
dia gemetar hebat, tidak dapat bergerak atau berbicara, merasa kedinginan dan
tidak sehat. Dia melaporkan butuh 24 jam baginya untuk pulih. Dia melaporkan
bahwa sebelum tahun 2008 dia tidak memiliki masalah dengan anestesi lokal
untuk perawatan gigi rutin. Dia ingat bahwa setelah menjalani anestesi umum
terakhir pada tahun 2008, dia menghadiri dokter gigi untuk perawatan rutin
dimana anestesi lokal diberikan. Setelah anestesi lokal, pasien menggambarkan
reaksi, Tidak berbeda dengan yang dia alami setelah operasi, dimana dia tidak
dapat bergerak atau berbicara selama 20 menit dan tidak dapat merasakan lengan
kanannya.
Dia teringat membutuhkan oksigen dan glukosa Untuk membantunya
sembuh Dia tidak ingat mengalami masalah pembengkakan, ruam atau pernapasan
selama episode ini. Riwayat medisnya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki
alergi dan tidak minum obat apapun. Pada tahun 2006 dan 2008, dia telah
menjalani dua operasi setelah pielonefritis dan fungsi ginjalnya sekarang
berkurang menjadi 60%. Dia juga menderita migrain basilar dan melaporkan
kecemasan gigi ringan.
Pengaturan dilakukan agar pasien terlihat dalam uji coba uji anestesi lokal.
Hal ini telah dijelaskan dalam literatur before5; Namun, kami akan merangkum di
bawah protokol yang digunakan di University Dental Hospital, Manchester.
Protokol
1. Persetujuan dan riwayat kesehatan dikonfirmasikan dengan pasien pada saat
kedatangan ke departemen.
2. Pengamatan awal selesai. Ini termasuk laju pernafasan, tekanan darah, saturasi
oksigen, detak jantung, dan suhu.
3. Kanal diletakkan dalam kasus reaksi anafilaksis dan ini disiram dengan garam
heparinised.
4. Injeksi anestesi lokal disiapkan.
5. Suntikan intradermal dari solusi berikut diberikan :
• Garam normal (kontrol negatif)
• lidokain 2% dengan adrenalin 1:80 000
• Articaine 4% dengan adrenalin 1: 100 000
• 3% mepivakain
• 3% prilokain dengan 0,54 lg / mL felypressin
6. Setelah suntikan intradermal, pengamatan dilakukan setiap 15 menit selama satu
jam berikutnya. Lengan terus dinilai untuk tanda-tanda ruam pembengkakan atau
urtikaria.
7. Jika tidak ada respon yang terlihat pada suntikan intradermal maka 0,5 mL
lignokain 2% dengan adrenalin 1:80 diberikan sebagai suntikan intraoral.
8. Mengikuti suntikan intraoral, pengamatan dilakukan setiap 15 menit selama satu
jam.
9. Jika tidak ada reaksi buruk yang terlihat, pasien dapat dipulangkan.
BAB IV
KESIMPULAN
1. Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
peningkatan permeabilitas vaskular.
2. Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.
3. Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
Lesu, lemas, rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, lidah edema, batuk, sesak, mengi,
spasme. pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia,
disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi, urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas, lakrimasi
gelisah, kejang.
4. Penatalaksaan dalam keadaan darurat
f) Jalan Nafas : Carilah dan lepaskan sumbatan jalan nafas; Minta bantuan
pernapasan.
j) Paparan : Kaji kulit dengan paparan yang cukup, tapi hindari kehilangan
panas berlebih.
5. Pengelolaan Disabilitas
Arif, Mansjoer, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus, FKUI,
Jakarta.
Brown SGA. 2004. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobat Australia; pp.371-376.
Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445.
Longecker, DE. 2008. Anaphylactic Reaction And Anesthesia dalam Anastheology. Chapter
88,hal 1948-1963
Mangku, G. 2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reaminasi FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar.
Prof .Dr. H. Tabrani Rab. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Edisi 2. Alumni.
Hal.103.
Ronak, det al. 2013. Anaphylactic Shock Management In Dental Clinics: An overview.
Department of Prosthodontics and Oral Pathology and Microbiologi, Ahmedabat
Dental College and Hospital, Gujarat University, Santej.
Robbins and Cotran. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC. hlm.
649.
Sampson HA, et al. 2006. Slinical Immunologist and Allergiest Prices. Margaret and
Fremantle Hospitals, Westers Australia.
Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunologi. Divisi Alergi Immunologi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.