You are on page 1of 40

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Syok anafilaktik atau anafilaksis adalah respon imunologi yang berlebihan

terhadap suatu bahan dimana seorang individu pernah tersensitasi oleh bahan tersebut.

Saat pasien kontak dengan bahan tersebut, histamin, serotonin, tryptase dan bahan

vasoaktif lainnya dilepaskan dari basofil dan sel mast. Reaksi anafilaktoid secara klinik

tak dapat dibedakan dengan anafilaksis, tetapi reaksi ini dimediasi langsung oleh obat

atau bahan tertentu, dan tidak melalui sensitasi antibodi IgE.

Pelepasan sejumlah kecil histamin secara langsung sering dijumpai pada

pemberian obat seperti morfin dan relaksan otot non depolarisasi (tubokurare,

alkuronium, atrakurium). Manifestasi klinik biasanya ringan, terdiri dari urtikaria

(kemerahan dan pembengkakan kulit), biasanya sepanjang vena, kemerahan pada tubuh

dan kadang-kadang hipotensi ringan.

Berbagai macam obat secara potensial dapat menyebabkan reaksi alergi tidak

terkecuali bahan yang digunakan dalam praktek anestesi, yang terlibat dalam

menyebabkan reaksi anafilaktik antara lain tiopenton, suksametonium, obat relaksai otot

non depolarisasi, anestetik lokal golongan ester, antibiotik, plasma ekspander (dextran,

kanji dan glatin) serta lateks.

Metode pencegahan rasa sakit yang paling sering digunakan di bidang kedokteran

gigi adalah dengan penghambatan konduksi impuls rasa sakit. Metode semacam ini

disebut dengan anestesi lokal. Anestesi lokal dilakukan dengan menggunakan cairan yang

bersifat analgesia yang disuntikkan di sekitar serat saraf yang dituju. Setelah diobservasi
oleh sel saraf cairan ini dapat menghambat terjadinya depolarisasi pada serat saraf

tersebut sehingga meniadakan kondisi impuls ke susunan saraf pusat.

B. Rumusan Masalah

a. Apa definisi dari syok anafilaktik?

b. Bagaimana etiologi syok anafilaktik?

c. Bagaimana patofisiologi syok anafilaktik?

d. Apa komplikasi syok anafilaktik?

e. Bagaimana manajemen syok anafilaktik di klinik dokter gigi?

C. Tujuan

a. Mengetahui dan memahami definisi dari syok anafilaktik.

b. Mengetahui dan memahami etiologi syok anafilaktik.

c. Mengetahui dan memahami patofisiologi syok anafilaktik.

d. Mengetahui dan memahami komplikasi syok anafilaktik.

e. Mengetahui dan memahami manajemen syok anafilaktik di klinik dokter gigi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Anafilaksis didefinisikan sebagai "reaksi hipersensitivitas akut yang

berpotensi mengancam jiwa, yang melibatkan pelepasan mediator dari sel mast,

basofil dan sel inflamasi yang direkrut. Anafilaksis didefinisikan oleh sejumlah tanda

dan gejala, sendiri atau kombinasi, yang terjadi dalam beberapa menit, atau sampai

beberapa jam, setelah terpapar dengan agen yang memprovokasi. Bisa ringan, sedang

sampai berat, atau parah. Sebagian besar kasus ringan tapi Anafilaksis apapun

berpotensi menjadi ancaman bagi kehidupan "(Alergi Dunia). Anafilaksis berkembang

dengan cepat, biasanya mencapai tingkat keparahan dalam waktu 5-30 menit, dan

tidakjarang terjadi selama beberapa hari. Semua dokter gigi harus menyadari

diagnosis dan penanganan keadaan darurat seperti anafilaksis yang mungkin timbul

dari penggunaan agen anestesi lokal dalam rangkaian klinisnya. (Ronak et al, 2013).

Syok anafilaktik adalah syok yang terjadi secara akut yang disebabkan oleh reasi

alergi. (Prof.Dr. H. Tabrani Rab, Agenda Gawat Darurat (Critical Care), Hal.103.
Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas

generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan

peningkatan permeabilitas vascular. (Robbins & Cotrain (Dasar Patologi Penyakit

Edisi 7, hal 144).


Syok anafilaktik adalah suatu risiko pemberian obat, maupun melalui suntikan

atau cara lain. (Arif Mansjoer, Kapita Selekta Kedokteran Edisi III Jilid I, Hal. 622).
Syok anafilaksik dapat berkembang dengan cepat dan biasanya mengancam jiwa

karena gangguan pernafasan. Gejala dan tanda awal meliputi sensasi kehangatan,

gatal terutama pada ketiak dan pangkal paha, dan perasaan cemas dan panik. Ini bisa
berkembang menjadi ruam erythematous atau urticarial, edema pada wajah dan leher,

bronkospasme dan edema laring. (Ronak et al, 2013)

B. Epidemiologi

Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa

angka kejadian anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak

akibat penggunaan antibiotic golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah

60 menit penggunaan obat. Insiden anafilaksis diperkirakan1-3/10.000 penduduk

dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta penduduk. Sementara di Indonesia, khususnya di

Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien

anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami peningkatan prevalensi pada tahun 2006

sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis. (Mangku, 2007).

Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber

menyebutkan bahwa anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama

perempuan dewasa muda dengan insiden lebih tinggj sekitar 35% dan mempunyai

risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur,

anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan dewasa muda, sedangkan pada orang tua

dan bayi anafilaksis jarang terjadi. (Suryana, 2003).

C. Etiologi

Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah

sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan

alergen. Golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah


makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan

kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan susu adalah makanan yang

biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang bisa menyebabkan

anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena, relaksan

otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin Bl, asam folat, dan lain-lain. Media kontras

intravena, transfusi darah, latiban fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan

anafilaksis. (Longecker, 2008).

D. Patofisiologi

Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas

tipe I (Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase

sensitisasi dan aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk

pembentukan Ig E sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit

dan basofil. Sedangkan fase aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan

ulang dengan antigen yang sama sampai timbulnya gejala. (Longecker, 2008).

Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di

tangkap oleh makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada

Limfosit T, dimana ia akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi

Limfosit B berproliferasi menjadi sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig

E spesifik untuk antigen tersebut kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast

(Mastosit) dan basofil. Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula

yang menimbulkan reaksi pada paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen

yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan

memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan mediator vasoaktif antara lain
histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif lain dari granula yang di

sebut dengan istilah preformed mediators. (Suryana, 2003).

Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran

sel yang akan menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi

beberapa waktu setelah degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase

Efektor adalah waktu terjadinya respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek

mediator yang dilepas mastosit atau basofil dengan aktivitas farmakologik pada organ

organ tertentu. Histamin memberikan efek bronkokonstriksi, meningkatkan

permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema, sekresi mucus, dan

vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan Bradikinin

menyebabkan kontraksi otot polos. Platelet activating factor (PAF) berefek

bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi

trombosit. Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin

leukotrien yang dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi. (Longecker, 2008).

Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya

fenomena maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan

penurunan aliran darah balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan

penurunan tekanan darah. Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut

pada hipoksia ataupun anoksia jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang

membahayakan penderita. (Mangku G, 2007).

Gambar 1. Patofisiologi Reaksi Anafilaksis


Gambar 2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

E. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe

dari reaksi anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam

setelah terpapar dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah
terpapar dengan alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar

dengan alergen . (Sampson, 2006).

Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi

kadang-kadang langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi

dalam derajat ringan, sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan

kesemutan perifer, sensasi hangat, rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga

terjadi kongesti hidung, pembengkakan periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata

berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam pertama setelah pemajanan. Derajat

sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan ditambah bronkospasme dan

edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi. Wajah kemerahan,

hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala sama dengan

reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan tanda-

tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai

kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis.

Bisa diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang.

Henti jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas,

aritmia ventrikel atau renjatan yang irreversible. (Brown, 2004).

Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi

pada satu atau lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal,

kulit, mata, susunan saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain.

Keluhan yang sering dijumpai pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam

mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan kesemutan pada tungkai, sesak, serak,

mual, pusing, lemas dan sakit perut. (Longecker, 2008).

Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan.

Pada rhinitis alergi dapat dijumpai allergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra
inferior yang menjadi gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang

alergi ada beberapa tanda, misalnya : allergic salute, yaitu pasien dengan

menggunakan telapak tangan menggosok ujung hidungnya ke arah atas untuk

menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan sumbatan; allergic crease, garis

melintang akibat lipatan kulit ujung hidung; kemudian allergic fades, terdiri dari

pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi geligi. Bagian dalam hidung

diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk sekret, edema, polip

hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal, urtikaria, kulit

terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis. (Ewan, 1998).

Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun,

penurunan saturasi oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan

penurunan volume tidal. Saluran nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau

orofaring terhbat sehingga terjadi stridor. Suara bisa serak bahkan tidak ada suara

sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi saluran napas yang komplit adalah

penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi napas mengi terjadi apabila

saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema mukosa. Selain itu

juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin. (Ewan, 1998).

Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai

terjadi koma merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem

kardiovaskular terjadi hipotensi, takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda

iskemia otot jantung (angina), kebocoran endotel yang menyebabkan terjadinya

edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal

yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri atau anuri) akibat

penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal akut.
Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan

kandungan elektrolit pada urine. (Ewan, 1998).

Hipoperfiisi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel

sentral, peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada

sistem gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot

polos, berupa nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai

perdarahan rektal yang terjadi akibat iskemia atau infark usus. (Ewan, 1998).

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan

fungsi trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan

pada sistem neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi

insulin, disfungsi tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi

perubahan metabolisme dari aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan

asam laktat dan piruvat. Secara histologis terjadi keretakan antar sel, sel

membengkak, disfungsi mitokondria, serta kebocoran sel. (Ewan, 1998).

F. Komplikasi

Komplikasinya meliputi :

a. Henti jantung (cardiac arrest) dan nafas.


b. Bronkospasme persisten
c. Oedema Larynx (dapat mengakibatkan kematian).
d. Relaps jantung dan pembuluh darah (kardiovaskuler).
e. Kerusakan otak permanen akibat syok.
f. Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan
Kemungkinan rekurensi di masa mendatang dan kematian. (Michael I. Greenberg,

Teks-Atlas Kedokteran Kedaruratan, Hal. 24).

G. Manajemen Syok Anafilaksis Di Klinik Gigi

a. Penatalaksaan dalam keadaan darurat


a) Jalan Nafas : Carilah dan lepaskan sumbatan jalan nafas; Minta bantuan

lebih awal jika ada tanda-tanda penyumbatan. Berikan oksigen aliran

tinggi menggunakan masker dengan reservoir oksigen.

b) Pernafasan : Carilah dan obati bronkospasme dan tanda-tanda gangguan

pernapasan.

c) Sirkulasi : Warna, denyut nadi dan tekanan darah (BP).

d) Cacat : Menilai apakah pasien merespons atau tidak sadar.

e) Paparan : Kaji kulit dengan paparan yang cukup, tapi hindari kehilangan

panas berlebih.

Pertimbangkan anafilaksis bila ada riwayat cepat onset cepat jenis reaksi

alergi parah dengan kesulitan pernapasan dan / atau hipotensi, terutama jika ada

perubahan kulit yang ada. (Ronak et al, 2013).

b. Pengelolaan Disabilitas

Pasien berbaring terlentang: Angkat kaki (perawatan, karena ini bisa

memperburuk masalah pernapasan). Pada pasien hamil, gunakan kemiringan

lateral kiri minimal 30°. Jika orang tersebut sadar: Dokter gigi harus

menempatkan mereka pada posisi di mana pasien merasa nyaman dan mampu

bernafas, sampai ambulans tiba. Jika pasien pingsan, pasien harus diletakkan rata

dengan kaki terangkat tinggi, jika memungkinkan. (Ronak et al, 2013).


Jika pasien tersebut tidak sadar : Dokter gigi harus menempatkan mereka

di posisi pemulihan (satu kaki dan satu lengan, dengan kepala miring ke belakang

dan dagu terangkat). Jika pernapasan atau jantungnya berhenti, resusitasi

kardiopulmoner harus dilakukan. (Ronak et al, 2013).

c. Farmakoterapi

a) Adrenalin

Adrenalin (epinefrin) secara intramuskular (IM) pada aspek anterolateral

pada sepertiga tengah paha (aman, mudah, dan efektif):

 Dosis IM dewasa 0,5 mg IM (= 500 g = 0,5 mL 1: 1000) adrenalin

(epinefrin).

 12 tahun: 500 g IM (0,5 mL) yaitu sama dengan dosis orang dewasa.

 6-12 tahun: 300 g IM (0,3 mL).

 < 6 tahun: 150 g IM (0,15 mL).


Gambar 3 : Pengelolaan Anafilaksis Secara Singkat

Jika anak kecil atau prepubertal 300 g (0,3 mL). IM adrenalin

(epinephrine) harus diulang setelah 5 menit jika tidak ada perbaikan klinis.

Dalam keadaan seperti ini, bantuan ahli diperlukan sesegera mungkin. (Ronak

et al, 2013).

Catatan : IV adrenalin (epinephrine) hanya boleh diberikan oleh mereka yang

memiliki pelatihan dan pengalaman yang diperlukan seperti ahli anestesi,

intensivis dan dokter gawat darurat. (Ronak et al, 2013).

Bila keterampilan dan peralatan yang memadai tersedia, menetapkan

jalan nafas (dalam anafilaksis, penyumbatan saluran napas dari pembengkakan

jaringan sulit diatasi dan intubasi ahli dini sering dibutuhkan). Cairan

intravena: Masukkan satu atau lebih kanalis IV besar-mayur (aktifkan aliran

tertinggi). Gunakan intraosseous Akses (jika dilatih untuk melakukannya)

pada anak-anak bila akses infus sulit dilakukan. Berikan cairan yang cepat:

Dewasa - 500 mL kristaloid (mis., 0,9% garam) pada 5-10. Min jika pasien
normotensif atau 1 L jika pasien hipotensi. Untuk anak-anak - berikan 20 mL /

kg kristaloid.

Catatan: Gunakan volume yang lebih kecil (mis., 250 mL) untuk pasien

dewasa yang diketahui mengalami gagal jantung dan gunakan pemantauan

lebih dekat (periksa bagian dada untuk mengetahui adanya krepitasi setelah

masing-masing bolus). Penggunaan pemantauan invasif, misalnya, tekanan

vena sentral dapat membantu menilai resusitasi cairan. (Ronak et al, 2013).

b) Agonis Beta

Isoproterenol (beta-agonis murni) : Pada pasien yang memakai

adrenalin beta-blocker akan kurang efektif. Berikan epinefrin terlebih dahulu.

Jika pasien tidak ada reaksi dengan epinefrin, gunakan isoproterenol (1 mg

dalam 500 mL). Bila kekurangan pernapasan berlanjut memerlukan perawatan

lebih lanjut dengan bronkodilator, seperti salbutamol (inhalasi atau IV),

Ipratropium (inhalasi), aminofilin (0,25-0,5 g IV). (Ronak et al, 2013).

c) Antihistamin

Klorfinin : (setelah resusitasi awal). Dosis tergantung pada umur :

 12 tahun dan dewasa : 10 mg IM atau IV perlahan.

 6 - 12 tahun : 5 mg IM atau IV perlahan.

 6 bulan sampai 6 tahun : 2,5 mg IM atau IV perlahan.

 < 6 bulan : 250 g / kg IM atau IV perlahan.

Diphenhydramine : 50 mg atau 1 mg / kg IV perlahan diulang jika perlu.

Ranitidin: 50 mg IV 8 jam.

d) Glukagon

Glukagon : Atropin atau glukagon IV jika penderita betablocker gagal

merespons.
Kortikosteroid

Hidrokortison : (setelah resusitasi awal). Dosis tergantung pada umur :

 12 tahun dan dewasa: 200 mg IM atau IV perlahan.

 6-12 tahun: 100 mg IM atau IV perlahan.

 6 bulan sampai 6 tahun: 50 mg IM atau IV perlahan.

 < 6 bulan: 25 mg IM atau IV perlahan.

e) -agonis

Dopamin : Jika hipotensi terus berlanjut. 5 g / kg / menit. Meningkat

menjadi 10-20 g / kg / menit.

d. Monitoring

Semua penderita penyakit kritis harus diberi oksigen. Pertahankan PaO 2

sedekat mungkin dengan normal (kira-kira 13 kPa atau 100 mmHg). Bila / jika

oksimeter pulsa tersedia: Titrasikan oksigen untuk menjaga saturasi oksigen 94-

98%. SpO2 normal pada oksigen tidak berarti ventilasi cukup (karena oksimeter

pulsa mendeteksi oksigenasi dan bukan hiperkapnia). Gunakan ventilasi masker

tas sambil segera menghubungi ahli. Dalam reaksi anafilaksis, penyumbatan

saluran napas atas atau bronkospasme bisa membuat ventilasi masker bag sulit

atau tidak mungkin. Pertimbangkan intubasi trakea dini (jika peralatan dan

keahlian tersedia). Jika pasien diintubasi, berikan oksigen dengan konsentrasi

tinggi dengan tas yang membatasi diri. Terkadang, tracheotomy darurat

dibutuhkan. Cek kembali denyut nadi dan BP secara teratur (setiap 5 menit).

(Ronak et al, 2013).

Bertujuan untuk tekanan darah normal


Pada orang dewasa : BP sistolik> 100 mmHg.

Pada anak-anak : 0-1 bulan: Minimum 50-60 mmHg.

> 1-12 bulan: Minimal 70 mmHg.

> 1-10 tahun 70+ (umur di tahun x 2) mmHg.

>10 tahun: Minimum 90 mmHg

e. Pencegahan

Jika dokter gigi mengetahui apa yang memicu anafilaksis, penting untuk

mengambil langkah-langkah untuk menghindari pemaparan lebih lanjut terhadap

pemicu serupa. Jika penyebab reaksi alergi tidak diketahui, pasien harus dirujuk

ke klinik alergi spesialis di mana tes dapat dilakukan untuk membantu

mengidentifikasi kemungkinan pemicu. Dokter gigi dapat diberi injector adrenalin

untuk digunakan selama episode anafilaksis di masa mendatang. (Ronak et al,

2013).

BAB III
LAPORAN KASUS

A. LAPORAN KASUS I
ANAPHYLACTIC REACTION TO LOCAL ADMINISTRATION OF
LIDOCAIN: A CASE REPORT
Dr. Umashanker Pd Keshri1* dan Md.Rashid Haider Khan2.
1* Associate Professor, Department of Pharmacology, Rajendra Institute of Medical
Ilmu, Ranchi.
2 Pharmacovigilence Techinical Associate, Pusat Pemantauan ADR, RIMS, Ranchi.
REAKSI ANAPHYLACTIC TERHADAP ADMINISTRASI LOKAL
LIDOCAINE: LAPORAN KASUS
Laporan Kasus
Seorang pria berusia 40 tahun mengalami nyeri pada premolar ke-1.
Dokter gigi dari pusat perawatan tersier setelah pemeriksaan fisik (tidak termasuk
penyakit jantung, pernapasan atau hati) dan nvestigasi memutuskan untuk
melakukan ekstraksi gigi yang terkena. Pada tanggal dan waktu yang pasti proses
ekstraksi gigi dimulai di bagian rawat jalan dengan tindakan pencegahan aseptik
dan antiseptik penuh. Dokter gigi bertugas menyuntikkan 2% xylocaine (injeksi A-
Caine, 2%, 3ml) tanpa vasokonstriktor di tempat ekstraksi untuk menganalisa
daerah setempat dengan teknik infiltrasi sehingga dia melanjutkan pekerjaan.
Setiap ml obat mengandung lignocaine hydrochloride 21,3 mg, natrium klorida 6
mg dan metil paraben sebagai pengawet 1 mg. Tepat setelah pemberian pasien
injeksi di atas mengalami kesulitan, pusing, gelisah, otot berkedut, dan kram di
ekstremitas. Dia menjadi pulseless dan tekanan darahnya tidak terjangkau dan
memiliki sakit kepala ringan, sakit kepala, dan perasaan akan malapetaka. Segera
disuntik adrenalin satu cukup (1mg / ml inj yang mengandung adrenalin 0,5mg)
IM dan bergeser ke keadaan darurat. Diagnosis sementara reaksi anafilaksis A-
Caine diinduksi berdasarkan tanda dan gejala dan pasien dikelola secara
konservatif oleh adrenalin, hidrokortison, obat antihistamin dan cairan intravena.
Diperlukan investigasi yang diperlukan untuk mengecualikan penyakit dan obat
lain untuk ini kondisi. Vitalnya meningkat secara bertahap dan dia dipecat setelah
3 hari tanpa gejala sisa.
DISKUSI
Ada laporan kasus dermatitis lokal dan umum karena penggunaan obat bius
lokal. Sebagai dokter gigi sering terpapar kontak dengan mereka sehingga mereka
merasakannya sesekali8. Dalam kasus ini laporkan obat ini digunakan oleh dokter
gigi tersier untuk ekstraksi gigi. Tidak ada riwayat paparan sebelumnya dengan
reaksi lidokain dan hipersensitif terhadapnya.
Reaksi muncul dalam beberapa menit setelah pemberian obat. Setelah
penanganan yang suportif dan penarikan kondisi darurat obat pasien berhasil dan
pasien membaik dan tidak ada pengulangan kondisi ini lagi. Pasien juga tidak
menderita penyakit seperti penyakit jantung, paru-paru atau neural, serangan
vasovagal atau sindrom adams yang menjelaskan reaksi tersebut. Pola EKG
normal. Tingkat keparahan reaksi menurun seiring waktu dan pasien dipulangkan
dari rumah sakit pada hari ketiga. Tidak ada riwayat reaksi atau asupan obat yang
sama sebelumnya. Diagnosis reaksi anafilaksis didasarkan pada bukti objektif.
Gambaran klinis yang disajikan pasien adalah yang terlihat pada reaksi anafilaksis
yang khas. Tidak ada penyebab alternatif [selain obat] yang hanya bisa
menyebabkan reaksi? Juga tidak ada riwayat penggunaan obat lain secara
bersamaan. Juga tidak ada riwayat penyalahgunaan zat. Uji coba ulang tidak
dilakukan karena sifat penyakit dan alasan etis yang serius. Reaksi ini tidak terkait
dan dapat diberi label sebagai tipe B efek samping yang merugikan. [9] Hal ini
juga dapat dianggap sebagai kemungkinan / kemungkinan sesuai penilaian korban.
[10] Ada laporan bahwa anestesi tipe amida dapat menyebabkan reaksi anafilaksis.
Ini disebabkan oleh bahan pengawet atau antioksidan yang ada pada agen anestesi.
[5] Dalam kasus ini dilaporkan bahwa metil paraben hadir sebagai pengawet
sehingga ada kemungkinan zat kimia ini merupakan agen penyebab reaksi
anafilaksis.
Dalam resep FDA petunjuk larutan anestesi lokal yang mengandung
methylparaben tidak diizinkan untuk digunakan sebagai anestesi epidural atau
spinal karena keamanan agen ini belum dilakukan sehubungan dengan suntikan
intratekal, baik yang disengaja atau tidak disengaja5.

KESIMPULAN
Reaksi anafilaksis karena lidokain jarang dilakukan, namun profesional
perawatan kesehatan harus selalu waspada terhadap reaksi berat ini dan hanya
dokter berpengalaman yang berpengalaman dan dapat melakukan pengelolaan
reaksi toksik dan keadaan darurat yang sesuai harus menangani obat ini untuk
keselamatan pasien.
Pengakuan : Tidak ada
Pendanaan : Tidak ada sumber pendanaan
Konflik kepentingan : Tidak ada yang diumumkan
Persetujuan etis : Tidak diperlukan

B. LAPORAN KASUS II
ANAPHYLAXIS TO LIDOCAINE WITH TOLERANC TO ARTICAINE IN A
12 YEARS OLD GIRL
Khalid AlDosary, Ahmad Al-Qahtani, Abdullah Alangari
Anafilaksis untuk lidokain dengan toleransi terhadap artikain Pada seorang
gadis berusia 12 tahun
Laporan Kasus
Seorang gadis berusia 12 tahun yang sehat sebelumnya mendapat suntikan
lidokain lokal untuk prosedur gigi. Sekitar 1 jam kemudian ia mengalami
pembengkakan, gatal, dan urtikaria. Tak lama kemudian, dia mulai mengantuk dan
mengalami hipotensi. Pasien diresusitasi dan sembuh dengan baik. Tidak
menyadari kemungkinan bahwa reaksi tersebut mungkin sekunder akibat lidokain,
pasien juga menerima obat anestesi lokal yang sama yang diberikan pada
kesempatan lain saat pasien mengalami urtikaria umum dan kompromi kesulitan
bernapas selama 5 menit dari pemberian obat. Pasien berhasil diresusitasi. Kedua
kejadian tersebut terjadi di institusi yang berbeda dan kami sayangnya tidak bisa
mendapatkan semua rincian klinis terkait. Pasien tidak memiliki riwayat alergi
atopi, makanan, atau lingkungan. Tidak ada riwayat reaksi sebelumnya terhadap
obat-obatan.
Skin Prick Testing (SPT) dengan lidokain 2% bebas pengawet dan bebas
epinefrin positif dengan wheal 6 mm. Pasien menunjukkan reaksi positif terhadap
kontrol histamin (wheal 10 mm) dan reaksi negatif terhadap garam normal (0 mm
wheal). Pasien kemudian dievaluasi untuk hipersensitivitas terhadap artikain,
sebagai alternatif lidokain (Gambar 1). Articaine forte 4% (dengan epinefrin dan
natrium sulfit anhidrat sebagai pengawet) adalah satu-satunya bahan yang
dipersiapkan yang tersedia untuk diuji. SPT negatif dengan 0 mm wheal
dibandingkan dengan histamin positif dan kontrol normal garam normal.
Pasien kemudian diuji dengan konsentrasi injeksi inkremental 0,1 ml
subkutan (SQ) seperti yang ditoleransi, dimulai dengan pengenceran 1:100,
pengenceran 1:10, dan akhirnya konsentrasi penuh dengan interval 15 menit antara
masing-masing injeksi. Terakhir, pasien diberi 1 ml konsentrasi penuh articaine
subcutan. Pasien tidak bereaksi terhadap suntikan apa pun. Pasien kemudian
menjalani prosedur gigi dengan menggunakan articaine forte tanpa komplikasi.

Diskusi
Pasien kami yang dilaporkan memiliki reaksi hipersensitivitas tipe 1 klasik
terhadap lidokain dalam bentuk yang paling parah ''anafilaksis''. Reaksi keduanya
terhadap lidocaine terjadi jauh lebih cepat daripada yang pertama. Ini khas reaksi
hipersensitivitas tipe 1, dimana eksposur selanjutnya menyebabkan reaksi yang
lebih cepat dan lebih serius. Sebagian besar reaksi yang mengikuti pemberian
anestesi lokal disebabkan oleh kecemasan, episode vasovagal atau injeksi
intravaskular secara tidak disengaja. Riwayat medis yang rinci harus memberikan
petunjuk pertama untuk diagnosis. Jika hal ini menunjukkan dugaan atau
kecurigaan terhadap reaksi mediasi IgE ke obat anestesi lokal, pasien harus diuji
sebelum melakukan pemaparan lebih lanjut terhadap obat tersebut.
Untuk alasan yang tidak jelas, tampaknya ada kecenderungan perempuan
untuk alergi terhadap obat anestesi lokal (Fuzier et al., 2009; Sambrook et al.,
2011). Lebih sering daripada tanpa bahan pengawet dalam larutan anestetium lokal
seperti sulfites atau benzoat bertanggung jawab atas reaksi alergi (Ring et al.,
2010). Amide dan anestetikum local ester jarang bereaksi silang (Caron, 2007). Di
sisi lain, anestetikum local amida dapat saling bereaksi satu sama lain sesekali,
walaupun lebih sering daripada dengan ester (Calderon et al., 2013; Fuzier et al.,
2009). Pengalaman kami dalam hal ini konsisten dengan pengamatan reaktivitas
non-silang yang lebih umum. Pada situasi sebaliknya, pasien yang alergi pada
articaine dapat mentolerir lidocaine dalam beberapa laporan kasus ( Davila-
Ferna'ndez et al., 2012; El-Qutob et al., 2005; Moreno Escobosa et al., 2011 ).
Tidak ada reaktivitas silang yang dilaporkan antara kedua obat tersebut.
Kesimpulan
Meski sangat jarang, alergi terhadap lidokain harus dipertimbangkan secara
serius dengan adanya riwayat sugestif. Atricaine bisa menjadi alternatif yang
sesuai, sebaiknya setelah diperiksa dengan skin prick test yang negatif. Ini adalah
laporan pertama, sampai pengetahuan kami, tentang pasien yang memiliki alergi
lidokain tapi masih menoleransi artikain.

C. LAPORAN KASUS III


CASE REPORT: INVESTIGATION AND DIAGNOSIS OF AN IMMEDIATE
ALLERGY TO AMIDE LOCAL ANAESTHETIC IN A PEDIATRIC DENTAL
PATIENT
Dr. Gabrielle Allen, Dr. Damien Chan, A/Prof Sam Gue
BDS, BSciDent(Hons, DClintDent (Paed, FRACDS
Dental Fellow
Department of Paediatrict Dentisty, Women’s and Children’s Hospital North Adelaide,
South Australia
Laporan Kasus: Investigasi dan Diagnosis Alergi Seketika pada Amide
Anestetik Lokal pada Pasien Gigi Pediatrik
Laporan Kasus
Seorang pria berusia 16 tahun dirujuk ke Departemen Kedokteran Gigi
Anak untuk pemeriksaan gigi komprehensif dan keterlibatan gigi dalam pengujian
alerginya oleh Departemen Alergi dan Imunologi Klinis di Rumah Sakit Wanita
dan Anak di Adelaide Utara. Pasien mendapat keluhan utama dari riwayat reaksi
setelah perawatan gigi dua kali sebelumnya. Reaksi pertama terjadi sekitar 10
menit setelah pemberian Scandonest (mepivacaine) 2% anestesi lokal khusus.
Pasien mengalami kemerahan pada wajah dan gatal di sekitar leher, siku dan
pergelangan kaki.
Dia menunggu di ruang tunggu operasi gigi selama 15 menit setelah
perawatan dan pulih dengan lancar. Reaksi kedua terjadi dua minggu kemudian
setelah pemberian Scandonest (mepivacaine) 3% polos. Reaksi tersebut serupa
dengan yang dijelaskan pada contoh pertama tapi onset yang lebih cepat. Pada
kedua kesempatan sarung tangan lateks dan prosedur bedah mulut digunakan
secara tata letak. Bahan restoratif pada penunjukan pertama adalah amalgam dan
liner Vitrebond dan etchant, bond dan composite resin untuk restorasi kedua.
Karena reaksi yang disebutkan di atas pasien memiliki sejumlah
pemeriksaan dan membersihkan dengan sarung tangan karet, prosedur peri
mouthne dan restorasi tanpa anestesi lokal; Lapisan vitrebond dan restorasi semen
ionomer kaca seluruhnya tanpa kejadian. Pasien tersebut telah ditemukan oleh
seorang Ahli Alergi Anak dan Imunologi Klinis yang melaporkan bahwa meskipun
alergi terhadap anestesi lokal amida sangat langka, tinjauan sejarah
mengidentifikasi hubungan temporal dan oleh karena itu kemungkinan yang perlu
dieksplorasi. Selain itu, kemungkinan lain termasuk lateks dan klorheksidin yang
lebih umum juga perlu dikeluarkan.
Investigasi dan pengujian alergi melibatkan sejumlah langkah untuk
menghilangkan kemungkinan lain dan secara positif mengidentifikasi alergen
sebagai mepivakain. Skandin 2% spesial, tercantum dalam tabel 2, memiliki
sejumlah bahan; Mepivakain, adrenalin, kalium metabisulfit, natrium hidroksida,
asam klorida dan disodium edatat. Namun, reaksinya juga terjadi setelah
pemakaian polong Scandonest 3% yang terlihat mengandung alergen potensial
yang lebih sedikit, hanya mengandung bahan aktif mepivacaine dan sodium
klorida dan sodium hidroksida dan air.
Tes darah IgE spesifik untuk klorheksidin dan lateks diorganisir dan
masuknya unit hari medis yang diatur untuk tes tusukan kulit dengan stiker
Scandonest 3% diikuti oleh pengujian intradermal dengan pengenceran 1:10 sesuai
Jaringan Antibiotik Obat Eropa (ENDA) Dan European Laboratory of Allergy and
Clinical Immunology (EAACI) pedoman kelompok alergi obat-obatan (9). Uji
kulit untuk chlorhexidine, ekstrak lateks dan tusukan lateks melalui sarung tangan
juga diatur. Semua tes kulit negatif, ada tes intradermal positif dengan
pengenceran 1:10 dengan polong Scandonest 3% yang menghasilkan
perkembangan wust lebih besar dari 18mm 20 menit setelah pemberian. Karena
reaksi yang dikonfirmasi, pengujian subkutan tidak dilanjutkan.
Ada sedikit reaksi terhadap semua tes lateks dan klorheksidin yang
dilakukan. Setelah diskusi pengujian ini dilakukan antara Departemen Alergi dan
Imunologi Klinis dan Departemen Kedokteran Gigi Anak untuk mengidentifikasi
kemungkinan alternatif anestesi lokal untuk pengujian. Alergi terhadap sejumlah
anestesi lokal amida berbeda telah dilaporkan dalam kasus alergi mepivacaine.
Saat ini di Australia semua anestesi lokal suntik yang umum digunakan dalam
kedokteran gigi adalah varietas amida. Artikain unik dalam struktur molekuler
karena hanya anestesi lokal amida yang mengandung kelompok thiophene dan
merupakan satu-satunya amida yang banyak digunakan yang juga mengandung
gugus ester (10).
Pengujian setiap agen alternatif mengharuskan masuk ke unit hari medis
selama setengah hari pada kesempatan terpisah. Untuk meminimalkan jumlah
penerimaan, diputuskan bahwa dua alternatif yang telah diuji dan terbukti tidak
menimbulkan reaksi akan cukup. Karena pengujian kami terbatas, diputuskan akan
menjadi yang terbaik dari sudut pandang holistik untuk menguji dua agen anestesi
lokal yang banyak tersedia dan digunakan dalam sejumlah setting bedah.
Lignocaine dan bupivacaine kedua varietas amida adalah anestesi lokal yang biasa
digunakan dalam prosedur bedah di sejumlah disiplin bedah dan bedah umum.
Oleh karena itu, diputuskan bahwa paling praktis menguji lignocaine dan
bupivacaine sebagai pilihan alternatif anestesi lokal yang potensial. Penerimaan
unit hari kedokteran diatur untuk pengenceran intradermal 1:100, 1:10
pengenceran dan pelepasan polos Lignocaine 1% polos dan 0,5% uji coba
bupivakain polos dan subkutan dengan polos Lignocaine 1% polos dan polos
bupivakain 0,5%. Semua tes gagal menunjukkan bukti adanya reaksi alergi
terhadap salah satu agen.
Oleh karena itu, langkah terakhir adalah melakukan tantangan intraoral
dengan anestesi lokal alternatif. Dua penerimaan unit hari medis lebih lanjut diatur
untuk memungkinkan pengujian intraoral lignokain dan bupivakain setiap
kesempatan terpisah. Diputuskan untuk menguji formulasi karena akan digunakan
dalam setting klinis. Jadi pada kesempatan pertama 0.1mL 2% lignocaine dengan
formulasi adrenalin 1:80.000 yang mengandung; Lignokain hidroklorida,
adrenalin, natrium klorida, kalium metabisulfit, disodium edetat, natrium
hidroksida, diuji. Tes pertama melibatkan injeksi 0,1 mL di vestibulum maksila
kanan.
Pasien diamati selama 30 menit setelah administrasi ini tidak ada bukti
adanya reaksi. Oleh karena itu, tes kedua yang melibatkan injeksi 0,5 mL di
vestibulum rahang bawah kiri dilakukan lagi tanpa reaksi selama 30 menit berikut.
Oleh karena itu, uji lignocaine ketiga dan terakhir telah selesai yang melibatkan
injeksi 1.5mL lignokain 2% dengan 1: 80.000 adrenalin saat infiltrasi di ruang
depan yang tepat telah selesai. Pasien diamati secara seksama di unit hari medis
selama 3 jam setelah pemberian dan tidak ada tanda atau gejala lokal atau sistemik
dari reaksi alergi. Pada kesempatan terpisah 2 minggu setelah tantangan ini, proses
yang sama diulang untuk menguji 0.5% bupivacaine dengan 1: 200.000 adrenalin
yang mengandung; Bupivakain hidroklorida, epinefrin bitartrat, natrium
metabisulfit, monothiogliserol, asam askorbat, buffer natrium laktat, disodium
edukat sodium hidroksida, asam klorida, telah selesai dan lagi tidak ada bukti
adanya reaksi yang diamati. Kesimpulan dari pengujian ini adalah bahwa
formulasi adrenalin lignocaine dan bupivacaine +/- adalah anestetik lokal alternatif
yang aman untuk pasien ini.
Pasien memerlukan empat restorasi gigi dan dengan demikian setelah
selesainya pengujian alergi dan tantangan yang berhasil di unit medis dijadwalkan
untuk restorasi gigi pada tiga kesempatan berbeda di Departemen Kedokteran Gigi
Anak. Penunjukan ini dilakukan dengan 2% lignokain, 1: 80.000 adrenalin yang
diberikan sebagai infiltrasi bukal rahang atas dan rahang bawah dan blok alveolar
dan lingfer inferior yang sesuai. Bendungan karet, sarung tangan karet dan
amalgam dan restorasi resin komposit semuanya digunakan tanpa kejadian. Pasien
telah dipulangkan ke dokter gigi setempat untuk mendapatkan perawatan gigi
secara umum dengan bantuan detak jantung dan toleransi mepivacaine untuk
lignocaine dan bupivacaine yang sesuai dengan alternatif anestesi lokal. Pasien
juga memakai gelang peringatan medis dengan rincian alerginya.
Hasil
Kasus di atas menggambarkan proses identifikasi positif alergen yang
bertanggung jawab atas reaksi alergi di kantor gigi. Ini juga menjelaskan proses
identifikasi dan pengujian alternatif yang sesuai untuk memungkinkan perawatan
gigi rutin yang aman. Proses ini dari titik rujukan ke hasil dan debit dirangkum
dalam Gambar 1.
Diskusi:
Pemberian anestesi lokal untuk memudahkan perawatan gigi adalah
prosedur yang sangat umum. Ada sejumlah reaksi merugikan yang dapat terjadi
agak sering mengikuti pemberian anestesi lokal pada pengaturan gigi. Namun,
meski sering mendapat penjelasan dari pasien bahwa mereka alergi terhadap
anestesi lokal, alergi sejati, terutama anestesi lokal amida sangat jarang terjadi.
Rood dan rekan (2000) menyelesaikan tantangan kulit dan intra-oral dari 44 pasien
dewasa yang dicurigai memiliki alergi anestesi lokal untuk menyimpulkan bahwa
alergi yang dikonfirmasi tidak ada dalam kasus apa pun, namun sebagian besar
reaksi berasal dari psikogenik.
Gall dan rekannya 1996 juga melaporkan serangkaian pasien dengan
penilaian 43 pasien dewasa yang semuanya pernah melaporkan alergi mepivaciane
selama periode 10 tahun yang diuji dengan pengujian kulit, intradermal dan
tantangan. Hanya satu dari pasien ini yang memiliki alergi mepivacaine yang
dikonfirmasi pada periode waktu ini yang menunjukkan betapa langkanya alergi
yang dikonfirmasi terhadap anestesi lokal gigi adalah.
Ada sejumlah panduan yang dapat dirujuk saat mencari konfirmasi atau
diskon alergi pasien terhadap anestesi lokal. Standar Komite Perawatan
Masyarakat Inggris untuk Alergi dan Imunologi Klinis (BSACI) menggambarkan
proses penyelidikan dugaan anafilaksis selama anestesi umum. Hal ini
menjelaskan bahwa karena kelangkaan alergi anestesi lokal yang sebenarnya,
belum memungkinkan untuk memvalidasi tes tusukan kulit dan pengujian
intradermal.
Oleh karena itu, setelah tes tersebut dianjurkan untuk melanjutkan ke
tantangan subkutan tambahan seperti yang dipersyaratkan/sesuai. Dalam kasus ini
laporkan pengujian tusukan kulit dengan mepivacaine adalah negatif dan dengan
demikian pengujian berlanjut ke pengujian kulit intradermal. Tes tusukan kulit
negatif adalah temuan umum pada kasus alergi anestesi lokal seperti yang
dilaporkan oleh Gerishuys (2004). Gerishuys (2004) mengamati pada populasi 104
pasien, 64 di antaranya memiliki diagnosis dermatitis kontak positif dengan
campuran caine dan 12 memiliki hasil tes kulit intradermal positif terhadap
anestesi lokal, tidak ada hasil positif untuk pengujian tusuk kulit.
Tes kulit intradermal selesai pada konsentrasi 1:10 seperti yang
direkomendasikan oleh European Network on Drug Alergi (ENDA) dan European
Medicine of Allergy and Clinical Immunology (EAACI) Drug Alergi Interest
Group guidelines. Ada risiko anafilaksis yang sangat rendah setelah suntikan
intradermal pada konsentrasi ini dan 1:10 pengenceran anestesi lokal telah terbukti
nonirritant. Pasien memiliki reaksi positif terhadap pengujian intradermal dengan
mepivacaine dan oleh karena itu tidak ada pengujian subkutan dengan agen ini.
Namun, selama proses identifikasi alternatif yang tepat ada tantangan subkutan
inkremental yang diselesaikan dengan 1: 100, 1:10 dan kemudian formulasi rapi
dari agen alternatif. Seperti yang dilakukan dalam kasus ini, penting agar LA yang
apik digunakan sebagai pengujian intradermal dengan anestesi lokal yang
mengandung vasokonstriktor dapat menutupi reaksi wheal dan flare lokal. Selain
itu, sejumlah eksipien yang mungkin ada dalam anestetik lokal seperti bisulphites
dan EDTA telah dilaporkan menyebabkan anafilaksis.
Ada laporan kasus dalam literatur wanita berusia 35 tahun dan pria berusia
14 tahun yang juga secara positif menguji sensitivitas mepivacaine namun
memiliki toleransi dan tidak menunjukkan reaksi terhadap lignocaine atau
bupivacaine. Sharmer dan rekannya mengklaim ini sebagai kasus anak pertama
dari alergi terhadap mepivacaine yang dilaporkan dalam literatur. Pentingnya
pengujian anestesi lokal alternatif yang sesuai disoroti laporan kasus alergi
mepivacaine terjadi adanya reaksi terhadap anestesi lokal amida lainnya seperti
lignocaine dan repivicaine.
Segera, alergi yang dimediasi IgE terhadap anestesi lokal seperti yang
diamati dalam kasus ini jarang terjadi. Namun, dalam kasus di mana alergi
dicurigai penting bahwa mereka sepenuhnya diselidiki karena risiko pasien
mengembangkan anafilaksis. Kasus ini menyoroti pentingnya rujukan awal dan
penyelidikan menyeluruh dalam kasus di mana alergi terhadap anestesi lokal
dicurigai. Proses investigasi yang menghilangkan reaksi potensial dan alergen
lainnya dibahas melalui identifikasi dan pengujian alternatif toleransi yang tepat
untuk diakhiri dengan pilihan anestesi lokal alternatif yang telah ditantang untuk
keamanan klinis.

D. LAPORAN KASUS IV
FATAL VISIT TO THE DENTIST
Vera Sterzik & Thomas Tatschner & Norbert Roewer & Daniel Barrera & Michael
Bohnert
Kunjungan Fatal ke Dokter Gigi
Laporan Kasus
 Situasi sebelum kejadian dan temuan di tempat kejadian
Seorang wanita berusia 23 tahun, yang sangat takut akan perawatan gigi
dan memiliki riwayat perdarahan, memutuskan untuk mengekstraksi giginya di
bawah anestesi endotrakeal. Menurut berkas medis, hal ini dianggap sebagai
intervensi rutin pilihan pada pasien yang dikategorikan sebagai ASA I dan
Mallampati II. EKG dan tes darah dilakukan sebelum operasi menunjukkan hasil
yang baik. Operasi sebelumnya dengan anestesi umum telah dilakukan tanpa
komplikasi. Segera setelah inisiasi anestesi dengan menggunakan propofol,
remifentanil dan suksinilkolin. Saturasi O2 dan tekanan darah turun, dan tak lama
kemudian, wanita muda tersebut meninggal meski dilakukan tindakan resusitasi.
Dalam laporannya, dokter IGD yang bertugas menyatakan "inisiasi anestesi
dengan propofol/ultiva, relaksasi dengan suksinilcholine. Pertama, bronkospasme,
akhirnya, gagal jantung. Tidak ada bukti hipertermia malignan. Diduga bereaksi
terhadap suksinilkolin."
 Pemeriksaan teknis peralatan anestesi
Peralatan anestesi disita dan diperiksa secara teknis oleh pabrikan tersebut
bekerjasama dengan Rumah Sakit Anaesthesiologi Universitas Würzburg. Cek
tersebut tidak menimbulkan keraguan mengenai pengoperasian perangkat yang
benar. Capnometri yang mengukur kandungan karbon dioksida dalam napas yang
dihembuskan tidak digunakan dalam operasi yang sedang diperiksa.
 Temuan otopsi
Otopsi wanita (tinggi 166 cm dan berat 90 kg) menunjukkan kemacetan
darah dan overhidrasi organ dalam serta pembesaran limpa. Pada mukosa
esofagus, lesi yang ditentukan terletak 19 cm dari ujung lidah ditemukan (Gambar
1). Di jaringan lunak antara esofagus dan trakea, perdarahan tersembunyi dapat
dilihat pada tingkat yang sama. Tabung pernapasan diposisikan dengan benar di
trakea; Tidak ada perdarahan pada selaput lendir trakea. Tidak ada hubungan
patologis seperti fistula antara trakea dan kerongkongan, dan tidak ada
hiperekstensi yang luar biasa dari perut dan usus kecil.
Gbr. 1 Lesi yang ditentukan pada mukosa esofagus di bagian tengahnya 19 cm dari ujung lidah

Gbr. 2 Hemorrhagic pulmonary edema


Histologi
Selain pewarnaan HE, kami melakukan pewarnaan CD117 untuk
memvisualisasikan membran sel mast dan pewarnaan Giemsa untuk
memvisualisasikan butiran yang terkandung dalam sel mast untuk penilaian
histologis apakah telah ada reaksi alergi terhadap obat apa pun yang digunakan
[10, 22, 24 ]. Terlebih lagi, pewarnaan PAS, tryptase dan CD25 dilakukan.
Namun, tidak ada peningkatan jumlah atau degranulasi sel mast yang
terdeteksi pada jaringan pulmonary, walaupun edema hemoragik dapat dilihat di
paru-paru (Gambar 2). Pemeriksaan histologis dari lesi makroskopis terlihat pada
mukosa esofagus menunjukkan perdarahan minor bersamaan, nekrosis sel dan
migrasi leukosit. Tidak ada tanda-tanda penyembuhan luka yang baru jadi namun
(Gambar 3 dan 4).
Gbr. 3 Pandangan histologis dari lesi makroskopis terlihat pada mukosa esofagus, gambaran
umum
Tes laboratorium
Dalam analisis gas darah yang dilakukan selama upaya resusitasi, pO2
adalah 56 mmHg dan pCO2 adalah 54 mmHg. Dalam sampel darah yang diambil
selama otopsi 93 jam setelah kematian, nilai IgE total 113 kU/l (kisaran normal
<100 kU/l) serta peningkatan konsentrasi tryptase meningkat 49 g/l ( kisaran
normal <11,4 G/l ) ditentukan. Terlepas dari bukti propofol yang digunakan untuk
memulai anestesi,penyelidikan kimia dan toksikologi termasuk tes konsentrasi
alcohol dalam darah adalah negatif.
Investigasi lebih lanjut
Kemudian, ditemukan bahwa kematian disebabkan oleh misintubasi yang
awalnya tidak disadari ke dalam kerongkongan. Ahli anaestesiologi tidak
menggunakan capnometer untuk memeriksa kandungan CO 2 dari napas yang
dihembuskan dan juga tidak memeriksa penempatan tabung dengan benar dengan
laringoskopi.
Gbr. 4 Pandangan histologis lesi makroskopis mukosa esofagus dengan disertai perdarahan minor (A),
nekrosis sel (A) dan migrasi leukosit (di tengah gambar). Tidak ada tanda-tanda penyembuhan luka yang
baru jadi.
Kesalahan intubasi itu akhirnya terdeteksi dan dikoreksi oleh seorang rekan
yang dipanggil sebelum kedatangan dokter jaga, yang membuat sebuah pernyataan
ke polisi hanya setelah dipanggil oleh jaksa sebagai saksi. Dokter yang merawat
dipanggil dalam beberapa menit setelah peredaran pasien mulai rusak. Dokter
butuh beberapa menit untuk sampai ke dokter gigi. Setelah sampai, dia pertama
kali memeriksa peralatan teknis karena ahli anaestesiologi mengklaim bahwa
intubasi itu baik-baik saja. Karena dokter kerja tidak menemukan apa pun yang
bisa menjelaskan masalah pasien, dia mencari tabung pernapasan dan
menentukannya di kerongkongan. Karena tidak ada dokumentasi intubasi kedua,
durasi misintubasi hanya dapat diperkirakan.
Diskusi
Setelah misintubasi ke kerongkongan, kekurangan oksigen yang dihasilkan
menyebabkan penurunan pO2 berturut-turut dan kenaikan pCO2, karena CO2 tidak
dapat dihembuskan lagi. Karena tidak ada capnometer yang terhubung ke sistem,
tidak diketahui bahwa napas yang dihembuskan tidak mengandung CO 2. Kenaikan
pCO2 juga tetap tidak terdeteksi. Pada saat otopsi, tidak ada informasi tentang
misintubasi yang tersedia.
Reaksi alergi terhadap suksinilkolin yang digunakan sebagai pelemas otot
(atau obat lain) karena itu diduga pada awalnya, sebagaimana juga diasumsikan
oleh dokter darurat. Namun, tidak ada bukti histologis dari peningkatan jumlah sel
mast atau degranulasi mereka di jaringan pulmonal, seperti yang diamati pada
reaksi anafilaksis fatal lainnya [10, 22, 24]. Berkas medis tidak memberi petunjuk
tentang hipertermia ganas, dan temuan otopsi juga tidak menyarankan adanya
kejutan anafilaksis. Paling banter, konsentrasi tryptase yang meningkat pada darah
almarhum bisa menjadi pertanda bahwa reaksi alergi telah terjadi [1, 6, 7, 16, 17,
21, 24, 26]. Di sisi lain, Randall dkk.
Disarankan berhati-hati untuk menggunakan tingkat tryptase yang
meningkat sendiri sebagai kriteria diagnostik anafilaksis, karena tingkat tryptase
yang meningkat juga ditemukan pada kematian yang tidak terkait dengan
anafilaksis [19]. Secara histologis, edema paru hemoragik telah ditentukan, yang
dianggap disebabkan oleh asfiksia dan bukti kematian akibat sesak napas yang
berlarut-larut [2, 5, 9, 12, 13, 15]. Lesi mukosa esofagus dilokalisasi kira-kira di
tempat posisi akhir tabung setelah misintubasi yang diasumsikan.
Perdarahan kecil secara histologis terlihat dan migrasi leukosit yang baru
jadi menunjukkan bahwa luka tersebut terjadi saat pasien masih hidup. Namun,
karena tidak ada tanda-tanda penyembuhan luka yang baru jadi, luka itu
tampaknya berasal dari masa lalu. Dengan demikian, anggapan itu tampak masuk
akal bahwa luka itu bertahan sesaat sebelum kematian, dan itu disebabkan oleh
trauma mekanis. Akhirnya, misintubasi ke kerongkongan didiskusikan sebagai
nyebab kematian potensial. Karena hasil investigasi medis-medico, banyak saksi
dipanggil untuk diinterogasi saat rekan dipanggil sebelum dokter darurat akhirnya
melaporkan bahwa dia telah menemukan tabung pernapasan di kerongkongan.
Ahli anaesthesiologi yang bertanggung jawab dijatuhi hukuman 1 tahun
dan 9 bulan penjara dalam masa percobaan dan pembayaran 20.000 EUR untuk
"Dokter Tanpa Batas" untuk pembunuhan melalui kelalaian yang salah.
Pemantauan yang memadai akan menyelamatkan nyawa wanita muda tersebut.
Selama kunjungan medicolegal ke tempat kejadian, tim perawatan telah
menyuarakan kecurigaan bahwa kematian telah terjadi karena intoleransi obat
terlarang, walaupun mereka tahu tentang misintubasi tersebut. Kasus yang
disajikan menggambarkan peran obat-obatan legal sebagai komponen penting
dalam proses penyelidikan untuk kematian yang tidak jelas.

E. LAPORAN KASUS V
A CURIOUS CASE OF UNEXPLAINED PHYSICAL REACTION TO
DENTAL LOCAL ANAESTHETIC
H. Crane, A. Carter & E. Andresen
University Dental Hospital of Manchester, Manchester, UK
Sebuah Kasus Aneh Reaksi Fisik yang Tidak Dapat Dijelaskan terhadap
Obat Bius Lokal
Laporan Kasus
Laporan ini berfungsi sebagai contoh pasien yang mengembangkan reaksi
fisik yang tidak dapat dijelaskan ke lokal, Anestesi pada dokter gigi umum (PDB)
dan kemudian dirawat oleh Departemen Bedah Mulut di University Dental
Hospital, Manchester. Seorang 40 tahun dirujuk ke Rumah Sakit Gigi Universitas,
Manchester oleh PDBnya pada tahun 2014. Pasien pada awalnya dilihat oleh
konsultan restoratif, yang kemudian merujuknya ke departemen bedah mulut.
Rujukan menyatakan bahwa pasien mengalami reaksi parah setelah
pemberian anestesi lokal yang digambarkan sebagai 'pingsan dalam-dalam', di
mana dia tampak tidak responsif selama 20 menit. PDB telah mengidentifikasi
pasien memerlukan ekstraksi UL7 dan perawatan saluran akar UR5, dan meminta
bantuan untuk pengelolaan pasien. PDB juga telah menjelajahi rujukan ke Rumah
Sakit Royal Derby, yang lebih dekat ke rumah pasien. Namun, Royal Derby
Hospital merekomendasikan rujukan ke University Dental Hospital Manchester,
karena tes alergi anestesi lokal dilakukan secara rutin di rumah sakit ini.
Selama konsultasi awal, pasien menggambarkan dua episode 'reaksi
merugikan' terhadap anestesi umum pada tahun 2006 dan 2008. Dia ingat bahwa
dia gemetar hebat, tidak dapat bergerak atau berbicara, merasa kedinginan dan
tidak sehat. Dia melaporkan butuh 24 jam baginya untuk pulih. Dia melaporkan
bahwa sebelum tahun 2008 dia tidak memiliki masalah dengan anestesi lokal
untuk perawatan gigi rutin. Dia ingat bahwa setelah menjalani anestesi umum
terakhir pada tahun 2008, dia menghadiri dokter gigi untuk perawatan rutin
dimana anestesi lokal diberikan. Setelah anestesi lokal, pasien menggambarkan
reaksi, Tidak berbeda dengan yang dia alami setelah operasi, dimana dia tidak
dapat bergerak atau berbicara selama 20 menit dan tidak dapat merasakan lengan
kanannya.
Dia teringat membutuhkan oksigen dan glukosa Untuk membantunya
sembuh Dia tidak ingat mengalami masalah pembengkakan, ruam atau pernapasan
selama episode ini. Riwayat medisnya menunjukkan bahwa dia tidak memiliki
alergi dan tidak minum obat apapun. Pada tahun 2006 dan 2008, dia telah
menjalani dua operasi setelah pielonefritis dan fungsi ginjalnya sekarang
berkurang menjadi 60%. Dia juga menderita migrain basilar dan melaporkan
kecemasan gigi ringan.
Pengaturan dilakukan agar pasien terlihat dalam uji coba uji anestesi lokal.
Hal ini telah dijelaskan dalam literatur before5; Namun, kami akan merangkum di
bawah protokol yang digunakan di University Dental Hospital, Manchester.
Protokol
1. Persetujuan dan riwayat kesehatan dikonfirmasikan dengan pasien pada saat
kedatangan ke departemen.
2. Pengamatan awal selesai. Ini termasuk laju pernafasan, tekanan darah, saturasi
oksigen, detak jantung, dan suhu.
3. Kanal diletakkan dalam kasus reaksi anafilaksis dan ini disiram dengan garam
heparinised.
4. Injeksi anestesi lokal disiapkan.
5. Suntikan intradermal dari solusi berikut diberikan :
• Garam normal (kontrol negatif)
• lidokain 2% dengan adrenalin 1:80 000
• Articaine 4% dengan adrenalin 1: 100 000
• 3% mepivakain
• 3% prilokain dengan 0,54 lg / mL felypressin
6. Setelah suntikan intradermal, pengamatan dilakukan setiap 15 menit selama satu
jam berikutnya. Lengan terus dinilai untuk tanda-tanda ruam pembengkakan atau
urtikaria.
7. Jika tidak ada respon yang terlihat pada suntikan intradermal maka 0,5 mL
lignokain 2% dengan adrenalin 1:80 diberikan sebagai suntikan intraoral.
8. Mengikuti suntikan intraoral, pengamatan dilakukan setiap 15 menit selama satu
jam.
9. Jika tidak ada reaksi buruk yang terlihat, pasien dapat dipulangkan.

Pasien menerima suntikan intradermal (ekstraoral) sebesar 0,1 mL garam


normal, artikain, lidokain, mepivakain dan prilokain diberikan ke lengan kanan
kanan. Ini tidak lancar dan tidak ada reaksi terhadap solusi yang tercatat di kulit.
Namun selama suntikan ekstraoral ini, pasien berhenti berbicara dan setelah
pengamatan awal dilakukan, dia merasa datar namun tetap tidak responsif terhadap
stimulus verbal. Semua pengamatan normal: tekanan darah, 128/86; Pulsa, 82
bpm; Tingkat pernafasan, 14; Dan saturasi O2, 97%. Dia pulih perlahan selama
satu jam berikutnya namun tidak komunikatif. Pemantauan dilanjutkan selama
reaksinya dan dia pulih sebelum injeksi intraoral diberikan.
Selama injeksi intraoral, pasien memiliki reaksi yang sama, dia tidak
responsif dan memiliki lengan hipotonik. Semua pengamatan normal: tekanan
darah, 120/80; Pulsa, 64 bpm; Laju pernafasan, 18; Dan saturasi O2, 98%. Dia
terbaring datar dan pulih perlahan beberapa jam kemudian. Hasil penelitian
mengkonfirmasi bahwa tidak ada alergi yang benar terhadap anestesi lokal.
Kemungkinan diagnosis sindrom somatisasi atau konversi dilakukan. Hal
ini dibahas panjang lebar dengan pasien. Pasien diberi tahu bahwa dia mungkin
mendapat manfaat dari terapi psikologis yang tersedia melalui dokter umumnya
(GMP) dan rujukan yang sesuai diberikan kepada GMP-nya untuk mencoba
menetapkan akar penyebab reaksi buruk ini. Setelah ini, pasien menjalani
perawatan gigi di bagian bedah mulut di University Dental Hospital Manchester
karena PDBnya tidak merasa nyaman menyelesaikan perawatan. Meski tidak ada
alergi yang benar terhadap anestesi lokal, ada reaksi fisik yang membuat
perawatan gigi menantang untuk disampaikan.
Diskusi
Ini adalah reaksi yang sangat tidak biasa terhadap anestesi lokal dan tidak
dapat dikategorikan menjadi reaksi alergi atau toksik yang khas. Gejala somatik
dan gangguan terkait, seperti yang dijelaskan dalam DSM-57, adalah penjelasan
yang mungkin untuk gejala yang terlihat dalam kasus ini. Hemiplegic migraine
adalah diagnosis diferensial lebih lanjut yang perlu dipertimbangkan.
Kondisi ini perlu dipertimbangkan oleh dokter setelah menyaksikan reaksi
yang merugikan dan tidak biasa terhadap intervensi gigi, dan saat memikirkan
bagaimana mengelola pasien ini dengan sangat efektif. Hemiplegic migrain adalah
bagian dari migrain yang terutama berhubungan dengan motor aura. Hal ini dapat
diwujudkan dalam beberapa cara, termasuk hemiparesis yang berkepanjangan dan
gangguan bicara. Itu terjadi dalam bentuk sporadis dan kekeluargaan; Bentuk
sporadis sangat jarang dengan prevalensi 0,002% 8. Riwayat medis pasien
menunjukkan fakta bahwa dia menderita migrain basilar; Oleh karena itu, migrain
hemiplegia akan layak dikecualikan. Hal ini tidak mungkin bahwa ini akan
menjadi diagnosis, karena pasien tidak melaporkan sakit kepala selama reaksinya
ke LA dan literatur menunjukkan bahwa sakit kepala hadir pada 95% migren
hemiplegia.
Migrain hemiplegia juga umumnya terkait dengan aura visual di samping
aura motor dan onset biasanya terjadi pada dekade pertama atau kedua
kehidupan8; Tidak satu pun dari ini benar untuk pasien ini, oleh karena itu,
menurut kami ini adalah diagnosis yang tidak mungkin. Sebuah rujukan ke ahli
saraf akan memungkinkan pengecualian migrain hemiplegia sebagai penyebab
gejala dirinya. Gejala somatik dan kelainan terkait ditandai dengan adanya gejala
somatik dengan penjelasan medis terbatas.
Mereka sering dikaitkan dengan tekanan psikologis dan kejadian traumatis.
Telah dibahas dalam literatur bahwa pasien dengan perilaku somatis dapat menjadi
pendatang yang sering dan memiliki kebutuhan pengobatan yang tidak dapat
dijelaskan9. Gejala somatik dan gangguan terkait adalah kondisi yang dapat
membantu dokter memahami reaksi fisik yang tidak dapat dijelaskan dan tidak
biasa terhadap intervensi gigi. Ada sejumlah kelainan yang terjadi di bawah
payung gejala somatik dan gangguan terkait7: termasuk gangguan gejala somatik,
gangguan kecemasan penyakit, gangguan faktisi, dan sindrom konversi. Kami
merasa bahwa laporan kasus ini paling sesuai dengan kriteria sindrom konversi.
Sindrom konversi didefinisikan sebagai 'perubahan atau hilangnya fungsi
fisik yang menunjukkan adanya kelainan fisik yang dianggap disebabkan oleh
tekanan psikologis atau konflik'10. Kasus ini dapat menggambarkan hubungan
antara kejadian psikologis traumatis dan perkembangan reaksi fisik yang tidak
dapat dijelaskan terhadap intervensi medis 11. Timbulnya gejala pasien
menunjukkan bahwa intervensi medis traumatis yang dijelaskan pasien, yang
melibatkan operasi dengan anestesi umum, mungkin merupakan pemicu. Atau
faktor penyebab.
Mungkin hipotesa bahwa injeksi intraoral saline normal akan memancing
reaksi yang sama pada pasien ini, oleh karena itu mengkonfirmasikan bahwa
reaksinya tidak spesifik pada agen anestesi lokal dan bersifat psikosomatik.
Namun, ini bukan praktik standar dan tidak selesai pada pasien ini karena tujuan
klinik alergi LA adalah untuk menyingkirkan reaksi imunologis terhadap anestesi
lokal. Mungkin tepat untuk mempertimbangkan modifikasi protokol untuk
memungkinkan suntikan garam intraoral sebelum injeksi agen anestesi lokal,
untuk memungkinkan pemahaman yang lebih baik mengenai kondisi psikosomatik
yang dihadapi pada pasien yang tidak biasa ini. Peningkatan kesadaran akan
kondisi semacam itu akan memungkinkan pemahaman yang lebih baik mengenai
perawatan yang diperlukan untuk mengelola pasien ini.
Mudah-mudahan dengan menyoroti kasus seperti ini, kami akan
memperbaiki jalur perawatan untuk kelompok pasien ini. Kita perlu
mempertimbangkan pilihan untuk perawatan multidisiplin dan memperbaiki
hubungan dengan profesional perawatan kesehatan lainnya, seperti praktisi medis
umum dan psikolog, untuk memungkinkan pasien menyelesaikan hambatan ini
untuk mengakses perawatan gigi. Jika kita tidak mengenali kondisi ini dan
mencoba mengatasinya, perawatan gigi di tempat perawatan primer tidak akan
pernah dapat dicapai dan dapat menyebabkan ketegangan yang tidak perlu pada
layanan perawatan sekunder. Karena kasus ini menyoroti, sangat sulit bagi kohort
pasien ini untuk mengakses penyelidikan medis dan pengobatan yang tepat agar
mereka dapat segera menerima perawatan gigi pada waktu yang tepat. Satu-
satunya pilihan yang tepat saat pasien tersebut rujukan ke klinik alergi LA, yang
mungkin bukan rute paling tepat untuk mendiagnosis dan mengelola gejalanya.
Kesimpulan
Tantangan bagi dokter gigi adalah mengetahui kapan, bagaimana, dan di
mana merujuk pasien untuk menampilkan karakteristik ini. Mengakui pasien mana
yang memerlukan penilaian kejiwaan adalah masalah yang sulit dan sensitif. Hal
ini disoroti dalam kasus ini, di mana beberapa konsultasi dengan spesialis yang
berbeda tidak mengarah pada pengobatan yang efektif untuk pasien ini.
Pemborosan dengan dokter umum pasien sangat penting untuk rujukan ke spesialis
yang paling tepat untuk menyingkirkan penyebab lain dari gejala pasien dan untuk
memungkinkan diagnosis yang benar.
Kami berharap dengan menulis laporan kasus ini, kami menyoroti kasus
yang tidak biasa dan menantang ini yang memerlukan hubungan yang lebih baik
dan jalur rujukan yang lebih baik dengan 36rofessional perawatan kesehatan
lainnya untuk berhasil dalam jangka panjang. Hubungan langsung dengan layanan
psikologis dan perawatan gigi sekunder harus dilakukan, Dikejar untuk
memperbaiki perawatan pasien.

BAB IV
KESIMPULAN

1. Syok anafilaksis adalah suatu keadaan yang dipicu oleh respon hipersensivitas
generalisata yang diperantai oleh IgE menyebabkan vasodilatasi sistemik dan
peningkatan permeabilitas vaskular.
2. Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat
alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen.
3. Gejala dan tanda anafilaksis berdasarkan organ sasaran:
Lesu, lemas, rasa tak enak di dada, dan perut, rasa gatal di hidung dan Palatum.
rasa tercekik, suara serak, sesak napas, stridor, lidah edema, batuk, sesak, mengi,
spasme. pingsan, sinkop, palpitasi, takikardia, hipotensi sampai syok, aritmia,
disfagia, mual, muntah, kolik,diare yang kadang-kadang disertai darah, peristaltik
usus meninggi, urtika, angiodema di bibir, muka, atau ekstermitas, lakrimasi
gelisah, kejang.
4. Penatalaksaan dalam keadaan darurat
f) Jalan Nafas : Carilah dan lepaskan sumbatan jalan nafas; Minta bantuan

lebih awal jika ada tanda-tanda penyumbatan. Berikan oksigen aliran

tinggi menggunakan masker dengan reservoir oksigen.

g) Pernafasan : Carilah dan obati bronkospasme dan tanda-tanda gangguan

pernapasan.

h) Sirkulasi : Warna, denyut nadi dan tekanan darah (BP).

i) Cacat : Menilai apakah pasien merespons atau tidak sadar.

j) Paparan : Kaji kulit dengan paparan yang cukup, tapi hindari kehilangan

panas berlebih.

5. Pengelolaan Disabilitas

Pasien berbaring terlentang: Angkat kaki (perawatan, karena ini bisa


memperburuk masalah pernapasan). Pada pasien hamil, gunakan kemiringan
lateral kiri minimal 30°. Jika orang tersebut sadar: Dokter gigi harus
menempatkan mereka pada posisi di mana pasien merasa nyaman dan mampu
bernafas, sampai ambulans tiba. Jika pasien pingsan, pasien harus diletakkan rata
dengan kaki terangkat tinggi, jika memungkinkan.
6. Monitoring: Semua penderita penyakit kritis harus diberi oksigen. Pertahankan
PaO2 sedekat mungkin dengan normal (kira-kira 13 kPa atau 100 mmHg).
7. Pencegahan:
Jika dokter gigi mengetahui apa yang memicu anafilaksis, penting untuk
mengambil langkah-langkah untuk menghindari pemaparan lebih lanjut terhadap
pemicu serupa. Jika penyebab reaksi alergi tidak diketahui, pasien harus dirujuk
ke klinik alergi spesialis di mana tes dapat dilakukan untuk membantu
mengidentifikasi kemungkinan pemicu. Dokter gigi dapat diberi injector adrenalin
untuk digunakan selama episode anafilaksis di masa mendatang.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, Mansjoer, dkk., 2000. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi 3, Medica Aesculpalus, FKUI,
Jakarta.

Brown SGA. 2004. Clinical Feature and Severity Grading of Anaphylaxis. Allergy Clinical
Immunology. Hobat Australia; pp.371-376.

Ewan, PW. 1998. Anaphylaxis dalam ABC of Allergies. BMJ. Vol 316. Hal 1442-1445.

Greenberg, Michael I. 2007. Teks-Atlas kedokteran Kedaruratan. Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Longecker, DE. 2008. Anaphylactic Reaction And Anesthesia dalam Anastheology. Chapter
88,hal 1948-1963
Mangku, G. 2007. Diktat Kuliah: Syok, Bagian Anestesiologi dan Reaminasi FK UNUD/RS
Sanglah, Denpasar.

Prof .Dr. H. Tabrani Rab. 2008. Agenda Gawat Darurat (Critical Care). Edisi 2. Alumni.
Hal.103.

Ronak, det al. 2013. Anaphylactic Shock Management In Dental Clinics: An overview.
Department of Prosthodontics and Oral Pathology and Microbiologi, Ahmedabat
Dental College and Hospital, Gujarat University, Santej.

Robbins and Cotran. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta: EGC. hlm.
649.

Sampson HA, et al. 2006. Slinical Immunologist and Allergiest Prices. Margaret and
Fremantle Hospitals, Westers Australia.

Suryana K. 2003. Diktat Kuliah. Clinical Allergy Immunologi. Divisi Alergi Immunologi
Bagian/SMF Ilmu Penyakit Dalam FK UNUD/RS Sanglah, Denpasar.

You might also like