You are on page 1of 17

Kurikulum untuk anak usia dini,

perlukah?
Anak-anak usia dini hidup dalam dunia bermain. Meskipun demikian,tak ada salahnya
jika orang tua memiliki rancangan bahan atau materi untuk mengisi hari-hari mereka.
Hal yang pasti, kurikulum untuk anak usia dini haruslah sangat fleksibel, sesuai dengan
kemampuan dan minat anak.

Kelas-kelas pra-sekolah seperti Play Group (PG) atau Taman Kanak-Kanak (TK) pasti
memiliki kurikulum dan target-target, namun karena tuntutan aturan formal, mau tidak
mau guru akan menilai perkembangan anak secara kasar, berdasarkan akumulasi
kemampuan yang dikuasai anak selama kurun waktu tertentu. Jelas penilaian itu tidak
valid, karena ketika guru memasuki kurikulum mewarnai misalnya, beberapa anak
mungkin belum siap dengan fase itu. Mereka mungkin menolak untuk melakukannya
atau hanya membubuhkan satu coretan pendek di kertasnya, karena dia memang belum
berminat.

Di sinilah peran orang tua sangat dibutuhkan. Tak peduli apakah anak-anak masuk TK
ataupun tidak, tugas orang tua-lah untuk memahami anak-anaknya dengan baik, sehingga
tahu kapan harus memperkenalkan sebuah keterampilan, kapan harus menundanya, kapan
harus memacunya lebih kencang, dan bagaimana membuat anak menjadi tertarik untuk
mempelajari sesuatu tanpa harus dipaksa oleh waktu dan penilaian pihak lain.

Pendidikan sungguh jauh melampaui batas-batas nilai kuantitatif seperti diterapkan di


sekolah. Pendidikan adalah rangkaian proses belajar untuk menjadi manusia yang terus
tumbuh, baik secara fisik, mental, maupun spiritual.

Menyusun kurikulum untuk anak usia dini berarti siap mengikuti irama mereka dan siap
untuk melangkah lebih jauh saat mereka berminat untuk tahu lebih banyak. Ketika anak-
anak diperkenalkan tentang kuda misalnya, bisa jadi rasa ingin tahu mereka berkembang,
ingin tahu tentang makanannya, di mana tidurnya, dan mungkin ingin mencoba
menaikinya dan mengoleksi gambar-gambarnya.

Adapun secara terstruktur, ada banyak model kurikulum anak usia dini yang telah
dikembangkan di dunia. Kurikulum Montessori adalah salah satu di antaranya. Model ini
cocok bagi mereka yang senang dengan keteraturan dan mengharapkan anak-anak juga
bersikap teratur dan runut. Sebuah buku berjudul Montessori untuk Prasekolah yang
disusun oleh seorang praktisi kurikulum Montessori bernama Elizabeth G. Hainstock dan
diterbitkan edisi terjemahannya oleh penerbit Delapratasa Publishing, bisa menjadi
pilihan untuk mengetahui lebih detail kegiatan-kegiatan ala Montessori.

Melalui buku tersebut akan kita temukan bahwa model Montessori lebih banyak
mempergunakan perabotan rumah tangga sebagai media dan mempergunakan kegiatan
rutin sehari-hari di rumah sebagai aktivitas belajar.

Temuan tentang multi kecerdasan oleh Howard Gardner juga bisa menginspirasi kita
untuk menyusun kurikulum. Delapan bahkan sembilan jenis kecerdasan versi Gardner,
yaitu: kecerdasan bahasa, logika-matematika, visual-spasial, fisik, interpersonal,
intrapersonal, musikal, natural, dan spiritual bisa dijadikan acuan untuk memilih ragam
kegiatan belajar-bermain di rumah.

Buku yang ditulis Thomas Amstrong berjudul Sekolah Para Juara mencoba
menjabarkan konsep multi kecerdasan tersebut dalam konteks sekolah formal untuk anak-
anak yang lebih besar. Namun bukan tidak mungkin hal itu bisa menginspirasi para orang
tua yang memiliki anak usia dini untuk menerapkan jalan pikiran Amstrong ke dalam
konteks belajar anak usia dini di rumah.

Kurikulum berdasarkan Perkembangan Anak


Perkembangan anak secara umum ternyata bisa diukur dengan beberapa ukuran berikut:
perkembangan fisik motorik, perkembangan kognitif, perkembangan moral & sosial,
emosional, dan komunikasi (Slamet Suyanto, Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia
Dini:192. Penerbit: Hikayat Publishing. Yogyakarta)
Kita bisa menciptakan kurikulum dengan mengacu pada teori tersebut. Berikut gambaran
kasar kurikulum yang mungkin diterapkan:

Perkembangan fisik motorik


- Motorik Kasar: Berlari, memanjat, menendang bola, menangkap
bola, bermain lompat tali, berjalan pada titian keseimbangan, dll.

- Motorik Halus: Mewarnai pola, makan dengan sendok, mengancingkan baju, menarik
resluiting, menggunting pola,menyisir rambut, mengikat tali sepatu, menjahit dengan alat
jahit tiruan, dll.

- Organ Sensoris:Membedakan berbagai macam rasa, mengenali berbagai macam bau,


mengenali berbagai macam warna benda, mengenali berbagai benda dari ciri-ciri
fisiknya, mampu membedakan berbagai macam bentuk, dll.

Perkembangan Kognitif
Misalnya: mengenal nama-nama warna,mengenal nama bagian-bagian tubuh, mengenal
nama anggota keluarga,mampu membandingkan dua objek atau lebih, menghitung,
menata, mengurutkan; mengetahui nama-nama hari dan bulan; mengetahui perbedaan
waktu pagi, siang, atau malam; mengetahui perbedaan kecepatan (lambat dan cepat);
mengetahui perbedaan tinggi dan rendah, besar dan kecil, panjang dan pendek; mengenal
nama-nama huruf alfabet atau membaca kata; memahami kuantitas benda, dll.

Perkembangan Moral dan sosial


Misalnya: Mengetahui sopan santun, mengetahui aturan-aturan dalam keluarga atau
sekolah jika ia bersekolah, mampu bermain dan berkomunikasi bersama teman-teman,
mampu bergantian atau antre, dll.

Perkembangan Emosional
Misalnya: Menunjukkan rasa sayang pada teman, orang tua, dan saudaranya;
menunjukkan rasa empati; mengetahui simbol-simbol emosi: sedih, gembira, atau marah
dan mampu mengontrol emosinya sesuai kondisi yang tepat.
Perkembangan Komunikasi (Berbahasa)
Misalnya: Mampu mengungkapkan keinginannya dengan kata-kata,mampu melafalkan
kata-kata dengan jelas (bisa dimengerti oleh orang lain).

Begitu beragam model kurikulum yang ada. Mau pilih yang mana? Mengumpulkan
sebanyak mungkin sumber dan memilahnya sesuai kekhasan keluarga masing-masing
adalah cara paling baik agar kita memiliki bahan yang lebih kaya untuk anak-anak kita.

Bagaimana Seharusnya Anak-Anak


Bersosialisasi
Bersosialisasi adalah fitrah manusia. Bahkan anak-anak yang masih belia sekalipun,
akan menunjukkan ciri ini secara reflek. Lihatlah anak-anak kita saat dibawa ke sebuah
pertemuan dan ada anak-anak lain di sana.

Meski baru pertama kali bertemu, mereka akan saling berinteraksi secara perlahan. Tentu
saja bahasa sosialisasi mereka khas anak-anak. Bisa dengan berbagi makanan, berlarian,
atau sekedar duduk atau bermain bersama. Percakapan biasanya akan bergulir setelah
beberapa lama, tergantung karakter anak.

Terlepas dari semua itu, sosialisasi juga ternyata berdampak pada perkembangan anak-
anak kita. Pengaruh yang paling terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul
dengan teman-teman yang biasa berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi
baik. Namun bersiaplah saat anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor
dan kasar, mereka pun berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.

Memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua masa kini.
Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar, tetangga,
kampung, dan sekolah tak dijamin bebas dari bahasa negatif.
Film anak-anak pun tak ragu bercerita tentang perkelahian, perang, dan permusuhan.
Kata-kata kasar dan sumpah serapah kerap berhamburan dari tokoh-tokoh jahatnya. Ya,
pelajaran apa yang anak-anak tangkap dari film itu? Saya yakin hanya 10 persen saja
mungkin hal positif dari film itu yang diserap anak-anak.

Sisanya, dan yang paling diingat, justru adalah bahasa dan karakter yang buruk. Belum
lagi keluarga besar, tetangga, kampung, dan sekolah, semuanya juga berpotensi
menanamkan saham pada anak-anak kita berupa bahasa dan perilaku negatif.

Sedih ya…
Setiap kali naik kendaraan umum atau berpapasan dengan anak-anak sekolah di jalanan,
entah kenapa, bahasa yang saya dengar dari mereka begitu seragam, seperti halnya baju
mereka. Nama-nama binatang berhamburan tanpa editor. Mereka tertawa dengan
julukan-julukan hewani itu, sama sekali tak sadar nampaknya bahwa hal itu sangat
menyedihkan. Siapa yang bisa disalahkan atas itu semua?

Saya melihat, golden age di tambah dengan masa pra baligh bagi orang Muslim, adalah
masa penting pendidikan.

Menciptakan sinapsis-sinapsis (sambungan-sambungan neuron di otak) yang positif amat


vital pengaruhnya pada perkembangan anak. Tapi, itulah kita, para orang tua yang juga
masih butuh banyak belajar. Kita sering mengabaikan masa-masa itu. Kita biarkan anak-
anak tumbuh tanpa memilihkan untuk mereka lingkungan yang positif dan menjauhkan
mereka dari lingkungan yang negatif.

Di rumah-lah, di dalam naungan kasih sayang orang tua yang peduli, anak-anak
seharusnya mendapat dasar-dasar pendidikan yang baik. Dalam keseimbangan antara
kemerdekaan untuk kreatif dan nilai-nilai etika, orang tua memikul tanggung jawab besar
ini.

Duh, beratnya jadi orang tua. Tak cukup hanya memberi anak-anak makanan bergizi atau
berdoa dan berharap agar anak-anak berakhlak baik, sopan, dan banyak harapan baik
lainnya. Kita juga harus banyak belajar untuk memberi teladan.
Bagaimana Bayi dan Anak-Anak
Belajar?
Gordon Dryden & Dr. Jeannette Vos dalam bukunya The Learning
Revolution, mengungkapkan fakta-fakta yang sangat mengejutkan.

Saat ini, katanya, berbagai metoda belajar tengah berkembang pesat di seluruh dunia,
sehingga setiap anak akan mampu mempelajari apapun secara lebih cepat –sekitar 5
sampai 20 kali lebih cepat– bahkan 10 sampai 100 kali lebih efektif, pada usia
berapapun. Metoda-metoda itu ternyata sederhana, mudah dipelajari, menyenangkan,
logis – dan terbukti andal.

Inilah beberapa fakta itu. Di Christchurch, Selandia Baru, Michael Tan berhasil lulus
ujian matematika tingkat smu pada usia 7 tahun. Dan Stephen Witte, 12 tahun lulus
enam ujian beasiswa universitas dan berhasil meraih hadiah fisika dari SMU Papanui,
tidak lama setelah diizinkan melompati empat kelas.

Di Alaska, para pelajar di SMU MT. Edgecumbe menjalankan empat perusahaan proyek
percontohan. Salah satu proyeknya: ekspor salmon asap ke Jepang senilai us$ 600.000–
mereka sekaligus belajar ilmu pemasaran, bisnis, ekonomi dan Bahasa Jepang.

Di SD Pantai Tahatai Di Selandia Baru, anak-anak berusia 6 tahun menggunakan


komputer untuk membuat cd-rom dan merencanakan “sekolah masa depan” mereka
sendiri. Mereka juga menggunakan komputer untuk mengaktifkan unit-unit pembangkit
energi surya dan angin yang didesain agar setiap rumah mampu memenuhi kebutuhan
energinya sendiri.

Ternyata pembelajaran mandiri adalah salah satu kunci utama. Jika kita bisa
menyediakan lingkungan dan peralatan yang baik untuk pelatihan mandiri, anak-anak
kecil pun akan menjadi pendidik mandiri yang antusias sepanjang hidupnya.
Maria Montessori, dokter wanita pertama asal Iitalia, telah menyediakan lingkungan
semacam itu hampir 100 tahun lalu, membuktikan bahwa anak-anak usia 3 – 4 tahun
dengan mental terbelakang, mampu berkembang baik dalam hal menulis, membaca, dan
perhitungan dasar. Dan sampai sekarang ini di daerah terpencil Montana, negara bagian
Amerika yang berpenduduk paling jarang, semua anak berusia 4 tahun di taman bermain
Montessori International telah mampu mengeja, membaca, menulis dan melakukan
hitungan dasar, bahkan sebelum mereka masuk sekolah. Saat ini mereka mencanangkan
pada usia 4 tahun itu anak-anak bahkan sudah mampu menguasai tiga atau empat bahasa!

Bagaimana dengan anak-anak kita? Lihatlah betapa banyak orang tak menyadari bahwa
mereka telah “merusak” potensi hidup anaknya. Lihatlah anak-anak kita sekarang.
Dimana mereka pada sebagian besar waktu hidupnya? Di depan televisi-kah? Main
seharian dengan anak-anak lainkah? Apa yang mereka pelajari? Siapa guru-guru mereka?
Siapa idola mereka? Apa kata-kata yang meluncur dari pikirannya?

Ternyata, semua ini bergantung bagaimana ia dididik sejak awal kelahirannya! Kita tahu,
setiap anak, anak negara manapun, anak siapapun adalah pemilik otak terhebat di dunia.
Walaupun beratnya kurang dari 1,5 kg, kemampuan otaknya beribu kali lebih hebat dari
super komputer terhebat di dunia. Dan anak-anak kita pun memilikinya! Masing-masing
terdiri dari otak sadar dan otak bawah sadar.

Otak sadar aktif saat kita sengaja melakukan sesuatu. Sedangkan otak bawah sadar selalu
aktif 24 jam sehari terus menerus. Ia bekerja sejak bayi masih dalam kandungan sampai
kita dewasa dan mati.

Dari berbagai hasil penelitian ditemukan bahwa ternyata di bawah sadar inilah
“terinstall” semua potensi hidup kita, yang nantinya akan keluar dalam bentuk sikap,
nilai hidup, skill, kecerdasan, kepribadian dan kebiasaan.

Salah satu sifat otak bawah sadar ini adalah “tidak kritis”. Jadi apapun input yang
masuk ke dalamnya akan tetap disimpan dan dianggap benar. Beda dengan otak sadar …
ia kritis. Oleh karena itulah yang harus kita waspadai justru input-input yang bakal masuk
lewat pintu otak bawah sadar ini.
Benyamin s. Bloom, professor pendidikan dari universitas chicago, menemukan fakta
yang cukup mengejutkan:
- Ternyata 50% dari semua potensi hidup manusia terbentuk ketika kita berada dalam
kandungan sampai usia 4 tahun.
- Lalu 30 % potensi berikutnya terbentuk pada usia 4 – 8 tahun.

Ini berarti 80% potensi dasar manusia terbentuk di rumah, justru sebelum mulai
sekolah. Akan seperti apa kemampuannya, nilai-nilai hidupnya, kebiasaannya,
kepribadiannya, akhlaqnya, dan sikapnya … semua 80% tergantung pada orang tua.
Sadar atau tidak. Baik “dibentuk” secara sengaja atau pun tidak sengaja!

Artinya, akan jadi siapa anak kita, akan bagaimana cara berpikir dan bersikapnya
ditentukan sepenuhnya oleh informasi dan pengetahuan apa yang tersimpan di otak
bawah sadarnya. Panca indera adalah pintu masuk yang langsung masuk ke pusat
kecerdasan anak. Apapun yang ia dengar, apapun yang ia lihat, apapun yang ia
rasakan, semua langsung tersimpan di otak bawah sadarnya.

Ia juga belajar tentang sikap dan kepribadian dari orang-orang yang mengasuhnya.
Bagaimana ayah ibunya berbicara, apa yang dikatakan, bagaimana ia bereaksi terhadap
emosi-emosi tertentu, bagaimana orangtua bereaksi terhadap tekanan amarah, tangisan,
dan kerewelan. Semua bahasa komunikasi anak (dalam bentuk gerakan, tangisan dan
kerewelan) adalah alat-alat ia belajar.

Lantas, apakah bisa kita menghasilkan “anak hebat” hanya dengan cara mendidik “ala
kadarnya”? Dengan “semaunya”, secara naluriah belaka? Tentu tidak bukan!

Hal pertama yang langsung kita sadari adalah, sebagai ayah dan ibu, kita adalah guru
anak-anak kita. Baik kita melakukannya dengan benar ataupun “nggak sengaja” salah.

Pertanyaan berikutnya, sudah tahukah kita kurikulum apa yang sedang berlangsung pada
usia 0 – 4 tahun atau 8 tahun perkembangan pendidikan anak-anak kita?
Ternyata, kebanyakan orang tua tidak punya “kurikulum” pendidikan usia-dini ini. Tentu
tak heran akhirnya kurikulum alamiah lah yang diterapkan. Kurikulum yang akhirnya
dipelajari anak-anak kita adalah kurikulum-alamiah yang diciptakan oleh lingkungan
tempat kita saat ini hidup dan berada. Lewat program-program televisi, pergaulan di
sekitar rumah kita, juga pergaulan antar penghuni di dalam rumah tangga kita sendiri.

Apa yang “diajarkan” (tanpa sengaja) pada bayi dan anak-anak kita?

Secara keilmuan bisa jadi masih kosong! Bagaimana dengan sikap? Tak dapat dibendung,
ternyata banyak sekali hal negatif yang “dipelajari” anak-anak kita.

Lalu adakah kegiatan-kegiatan pembelajaran secara sengaja? By design? Hampir tidak


ada! Ada semacam “keyakinan” yang telah jadi paradigma kuat dalam pikiran para orang
tua, bahwa anak-anak “bersekolah” ya dimulai sejak TK ! Sehingga mengabaikan proses
belajar mengajar “yang umumnya tak sengaja” yang justru berlangsung setiap detik di
rumah kita. Bahkan anehnya tak sedikit yang tega menyerahkan bayi dan anak-anaknya
itu “berguru” kepada para pembantunya!

Jika kita mulai menyadari fakta-fakta ini, ada beberapa tindakan yang bisa segera kita
lakukan, jika memang kita ingin berubah:

1. Orang tua (ayah dan ibu), harus belajar semua hal yang berhubungan dengan metoda-
metoda pendidikan anak

Pada dasarnya orang tua adalah guru terpenting dan rumah adalah sekolah paling penting,
Didiklah anak dengan ilmu. Kenali dan rancang kurikulum sendiri untuk keperluan ini.
Apa muatan sikap dan perilaku yang ingin kita hasilkan pada balita kesayangan kita, dan
bagaimana caranya. Bagaimana pula caranya kita menanamkan aqidah Islam pada balita
kita. Apa yang boleh kita lakukan dan apa yang jangan kita lakukan. Kuncinya belajar!
Orang tua lah yang harus belajar….!
2. Kenali dan kendalikan jenis input informasi
(ucapan/penglihatan/pendengaran/pergaulan) yang masuk lewat pintu otak bawah sadar
balita kita.

Jika kita sadar ini, maka programkan secara sengaja muatan positif. Install-kan program-
program positif ke dalam otak bawah sadar anak-anak kita. Sebagai contoh televisi.
Kendalikan keinginan kita nonton acara tv bersama anak-anak. Beberapa pemimpin
bisnis terkemuka di dunia seperti Mitch Sala, Jim Dornan, Rich De Vos, Bob Andrew,
dan banyak lagi yang lainnya bahkan sangat menyadari betapa berbahayanya “virus
negatif” yang dibawa TV ini. Mereka pun tidak membiarkan dirinya dan bahkan juga
anak-anaknya berada di depan televisi!

Kenali juga bahwa input positif bisa berasal dari pendengaran. Maka kendalikan kata-
kata kita. Apapun situasinya, jaga mulut! “katakan yang baik-baik saja, atau kalau tidak
lebih baik diam”, pesan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya. “…fal yakun
khairan au lisashmut”!

Juga program/install otak balita kita dengan input yang disengaja. Misalkan tatkala
menidurkan bayi kita, apa salahnya kita memperdengarkan ayat-ayat al qur’an kepada
bayi, baik melalui kaset maupun kita sendiri yang membacakannya.

Percayalah semua input yang disengaja ini membekas dan terinstall dengan baik di otak
bawah sadar anak-anak kita.

Programkan dengan sengaja! Itu sebabnya kita perlu punya kurikulum! Ini bukan berarti
kita mau mendikte “masa depan profesi anak kita”. Sama sekali tidak. Apapun jalan
hidup dia nanti setelah dewasa, terserah dia. Yang kita bentuk secara sengaja adalah
potensi dasar “human being”-nya. Sikapnya, perilakunya, kebiasaannya, potensi
aqidahnya. Bukankah ini memang wajib! Bagi setiap orang tua untuk mendidik anaknya
agar menjadi hamba Allah dan khalifah-nya di muka bumi ini?

Ada beberapa contoh tindakan, misalnya dengan membacakan buku-buku cerita-cerita


ilahiyah, kenalkan Allah dan segala konsep ilahiyah lainnya, lalu kisah-kisah perjuangan
rasulullah dan para sahabat, dan berbagai kisah-kisah positif lainnya. Semua kisah itu
akan membekas amat dalam ke dalam jiwa anak-anak kita! Lalu juga hindari cerita-cerita
dan film-film televisi!

Belajar Membaca untuk Anak Usia Dini


oleh Maya A. Pujiati

Bisa membaca di usia dini mungkin bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih penting dari
kemampuan membaca, yang justru agak sering terlewatkan, yaitu bagaimana membuat
anak-anak senang dengan buku dan kegiatan membaca.

Jika pembentukan kebiasaan membaca kurang dibangun, tak jarang, ada anak yang sudah
bisa membaca tetapi tidak tertarik dengan buku.

Akan tetapi, tidaklah pula berlebihan jika orang tua mulai menyediakan media belajar
membaca (apapun itu) pada saat anak-anak terlihat begitu antusias dengan buku dan
kegiatan membaca, meskipun mereka masih berusia balita atau bahkan batita.
Kontroversi tentang hal tersebut memang masih selalu hangat dibicarakan dan tak pernah
ada habisnya dari waktu ke waktu. Beberapa pihak bahkan melarang orang tua atau guru
untuk mengajarkan keterampilan membaca pada usia dini, dengan alasan takut anak-anak
jadi terbebani, sehingga mereka menjadi benci dengan kata “belajar”.

Namun sejauh pengalaman saya, selama prinsip belajar ‘fun’ yang dikembangkan, materi
apapun yang diajarkan kepada anak usia dini selalu direspon dengan baik dan anak-anak
suka untuk belajar. Mengajak anak-anak untuk belajar membaca menurut saya jauh lebih
baik daripada membiarkan mereka menonton TV seharian. Tanpa kita sadari
sesungguhnya anak-anak juga belajar sesuatu lewat TV, yang sayangnya lebih banyak
berupa hal-hal negatif daripada hal-hal yang positif.

Seputar metode belajar


Metode mengajar balita membaca sangatlah beragam. Karena begitu beragamnya, lagi-
lagi kita akan menemukan perbedaan dasar pemikiran dari metode-metode tersebut.
Meskipun kadang-kadang sering mencuat pertentangan yang tajam antar berbagai
metode, kita tak perlu bingung. Kenali saja semua konsep yang ditawarkan, dan kenali
pula gaya belajar anak-anak kita. Jika metode dan gaya belajar cocok, kita bisa lebih
mudah memotivasi anak untuk belajar.

Berdasarkan telaah saya, sejauh ini di dunia belajar ini dikenal 2 metode besar, yaitu
metode terstruktur dan metode tidak terstruktur (acak). Keduanya tidak lebih baik atau
lebih jelek dari yang lainnya. Metode terstruktur dan tidak terstruktur (acak) bisa saling
melengkapi sesuai karakter dua belahan sisi otak kita yang kini populer dengan istilah
otak kiri dan otak kanan.

Otak kiri memiliki karakteristik yang teratur, runut (sistematis), analitis, logis, dan
karakter-karakter terstruktur lainnya. Kita membutuhkan kerja otak kiri ini untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berhubungan dengan data, angka, urutan, dan
logika.

Adapun karakteristik otak kanan berhubungan dengan rima, irama, musik, gambar, dan
imajinasi. Aktivitas kreatif muncul atas hasil kerja otak kanan.

Melalui deskripsi tentang karakteristik dua belahan otak tersebut, kita tentu bisa melihat
bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kita. Apa jadinya para kreator-
kreator seni jika tak punya tim manajemen yang handal. Bisa kita bayangkan pula sepi
dan monotonnya dunia ini jika penghuninya hanyalah para ahli matematika atau
akuntansi yang selalu sibuk dengan angka. Secara personal, kita pun akan menjelma
menjadi orang yang “timpang” jika tidak mampu menyeimbangkan kinerja dua sisi otak
kita. Kita pun bisa tumbuh menjadi orang yang “ekstrem” dalam memandang belajar dan
cara belajar.

Selain metode belajar, karakteristik anak-anak juga perlu kita ketahui dan pahami agar
kita bisa merancang model-model belajar yang menarik minat anak. Beberapa
karakteristik anak secara umum adalah sebagai berikut:
1. Konsentrasi lebih pendek (relatif)

2. Tidak suka diatur/dipaksa

3. Tidak suka dites

Ketiga ciri tersebut jelas menunjukkan kepada kita bahwa mengajar balita membaca tak
bisa dilakukan dengan cara-cara orang dewasa. Kita membutuhkan teknik-teknik yang
lebih bervariasi dan adaptif terhadap kecenderungan anak-anak. Dan hanya satu kegiatan
yang bisa melumerkan 3 karakteristik di atas yaitu BERMAIN. Mengapa? Karena dalam
bermain anak-anak tidak menemukan tes, paksaan, dan batas waktu. Ketika bermainlah
anak-anak menemukan kebebasan dirinya untuk berekspresi. Ketika bermain pula mereka
menemukan kesenangan mereka.

Model-model belajar membaca untuk inspirasi

1. Belajar membaca lewat kosa kata

Kosa kata adalah pembentuk kalimat. Lewat kosa kata yang makin beragam, kalimat
yang kita keluarkan pun akan semakin kaya. Lewat kosa kata, anak-anak akan belajar tak
hanya kemampuan membaca tetapi juga perbendaharaan dan pemahaman akan kata-kata
yang akan mereka gunakan dalam berbicara.

Variasi yang bisa digunakan diantaranya, kartu kata yang disajikan dengan model Glen
Doman, poster kata yang ditempel di dinding, buku-buku bergambar yang kalimatnya
pendek dan ukuran hurufnya cukup besar. Prinsip yang dipakai dari metode tersebut
adalah belajar dengan melakukannya. BELAJAR MEMBACA dengan MEMBACA.

Hal-hal khusus yang menyertai model ini adalah kemungkinan anak-anak untuk
mengenal pola lebih lama. Artinya, bisa jadi untuk bisa benar-benar membaca semua kata
yang diperlihatkan kepada mereka (meski belum diajarkan) membutuhkan waktu yang
cukup lama, tergantung kecepatan anak.

2. Belajar Membaca lewat Suku Kata


Model ini paling banyak digunakan, terutama di sekolah-sekolah. Prinsip dasarnya adalah
terlebih dulu mengenali pola sebelum masuk pada fase membaca.

Belajar lewat suku kata misalnya ba bi bu be bo dan seterusnya juga memiliki efek
tersendiri, diantaranya kecepatan membaca yang sedikit lambat jika tidak diiringi latihan
langsung lewat buku atau bacaan-bacaan. Mengapa demikian? Karena anak-anak akan
terbiasa dengan membaca pola lebih dulu baru membaca. Kerja otak kiri lebih dominan
dalam hal tersebut.

Untuk mengimbanginya, kita harus lebih sering memotivasi anak untuk membaca kata-
kata secara langsung lewat buku tanpa harus memilah suku katanya.

3. Belajar membaca dengan mengeja

Model ini di awali dengan pengenalan huruf baru kemudian merangkainya menjadi
gabungan huruf dan kemudian kata. Sebenarnya metode ini sudah jarang digunakan
orang karena memang terbukti cukup sulit bagi anak.

Kerja otak kiri akan semakin dominan jika kita memakai metode ini. Anak-anak harus
melewati tiga tahapan menuju kata, yaitu huruf, suku kata, lalu kata. Memang ada anak-
anak yang bisa belajar dengan metode ini, tapi lagi-lagi latihan membaca kata secara
intensif harus mengiringinya agar anak-anak merasa percaya diri untuk membaca.

Belajar Multi Metode

Adakalanya spesialisasi itu baik untuk mengenal kedalaman suatu ilmu, tapi dalam
belajar membaca kita bisa mempergunakan multi metode sekaligus tanpa harus merasa
tabu hanya karena teori yang kita peroleh dianggap paling rasional.

Dengan kata lain, kita bisa memperkenalkan pada anak-anak kita semuanya, huruf, suku
kata, ataupun kosa kata. Catatan pentingnya tentu saja: sajikan dengan perasaan riang
sehingga anak-anak kita pun mendeteksi kegembiraan dan ketulusan yang kita berikan
pada mereka. Hal itu jauh lebih berarti dan lebih efektif daripada segudang metode
terhebat sekalipun.
Sosialisasi juga ternyata berdampak pada
perkembangan anak-anak
Salah satu masalah yang paling banyak dikhawatirkan orang tua kalau anaknya
homeschooling adalah persoalan sosialisasi. Kesannya, anak-anak homeschooling itu
nggak gaul, nggak punya teman, terpenjara di rumah dan tak mampu berorganisasi,
setelah mereka besar nanti.

Terus terang, masalah ini memang sudah lama jadi perhatian saya dan istri saya. Kami
memang berniat dua anak kami, Azkia (6 th) dan Luqman (4 th), nantinya akan
menempuh jalur homeschooling. Kami “memilih” (secara sengaja dan sadar) mereka
berdua, insyaAllah, nggak akan sekolah seperti biasa di sekolah formal. Paling tidak,
sampai tingkat SMU.

Apakah pilihan ini tidak beresiko bagi kedua anak kami? Saya dan istri sering
mendiskusikan berbagai resiko paling jelek yang akan mereka hadapi. Ya, soal profesi
dan masa depan mereka nanti. Soal legalitas dan ijazah. Soal nasib mereka kalau ternyata
kami nggak berhasil, dlsb. Termasuk juga tentu saja soal sosialisasi dan dampak
pergaulan mereka diantara teman-temannya. Bisa jadi ‘kan mereka dipandang “rendah”
karena kesannya “mereka nggak sekolah”.

Tapi, ini jangan diartikan bahwa kami anti-sekolah. Kami sadar betul sekolah sangat
penting. Namun kami juga sadar bahwa sekolah bukanlah satu-satunya jalan terbaik
yang harus mereka tempuh. Diantara 4 orang anak saya, 2 diantaranya sekolah kok, yang
satu (Nadya) sekarang kelas 2 SMP dan adiknya (Citra) kelas 5 SD. Keduanya bahkan
termasuk unggul (10 besar) di kelas mereka. Citra selalu juara pertama sejak kelas 1
sampai sekarang, bahkan ia juga juara untuk berbagai perlombaan non-akademis (seni,
olahraga, dan ketrampilan lainnya). Saya pribadi bercita-cita mereka sekolah sampai S3.

Lalu mengapa kami memilih homeschooling? Untuk Azkia (6 th), kami merasa ia lebih
nyaman sekolah dengan cara homeschooling. Mungkin karena ia terbentuk sejak kecil
sudah terbiasa belajar di rumah. Sejak usia 3 th, ia sudah senang belajar. Kesukaannya
pada belajar membuat kami khawatir, ia tak akan “terlayani” oleh sistem sekolah.

Pengetahuannya tentang alam, matematika, bahasa, dan kemampuan logika nya


berkembang “terlalu cepat” menurut saya. Bahkan “mengalahkan” kakak-kakaknya yang
SD atau mungkin yang SMP. Ia melahap buku-buku berbahasa asing hampir setiap hari,
belum lagi buku-buku ensiklopedia dan matematika sekolah. Ia belajar sendiri. Bahkan
kami tak pernah menyuruh atau mendampinginya lagi. Ia telah jadi “mesin belajar” yang
betul-betul mandiri.

Untuk Azkia, dengan keadaaanya begitu, bagaimana kami harus menyekolahkannya?


Ketika kami tanya, apakah ia mau sekolah, dengan mantap dan yakin, ia menjawab
“Tidak!” Apakah kami harus memaksanya? Apakah pilihannya itu salah?

Menurut kami, kecintaannya pada ilmu dan kesukaannya untuk belajar, merupakan harta
yang paling berharga. Kami harus bisa menjaganya. Yang jadi masalah bagi kami
hanyalah bagaimana agar kelak di kemudian hari, jika ia berminat untuk jadi ilmuwan
misalnya, dan harus sekolah ke perguruan tinggi, ia bisa diterima. Setelah kami pelajari
secara mendalam, tampaknya masalah ini sudah bisa kami atasi.

Masalah Sosialiasi

Dalam pandangan saya, kalau orang tua takut memilih homeschooling bagi anak-
anaknya, hanya karena alasan sosialisasi itu terlalu berlebihan. Kemampuan ini selalu
bisa dibangun dan dikembangkan bahkan by desain. Kecerdasan interpersonal anak
memang harus selalu kita kembangkan. Akan tetapi bukan asal-asalan, atau
membiarkannya begitu saja dengan asumsi “mereka bisa dan berkembang dengan
sendirinya”. Tidak!

Anak-anak homeschooling biasanya juga punya komunitas terbatas. Setiap minggu atau
setiap bulan mereka ngumpul “belajar bersama”. Dalam acara itu mereka bisa “belajar”
secara khusus bagaimana bekerjasama, memimpin, berkomunikasi, bersikap sopan,
santun dalam berbahasa, dlsb. By desain. Dan dengan sengaja.
Selain itu anak-anak juga bisa les atau ikut kursus-kursus keterampilan sesuai minat dan
bakat mereka. Les musik misalnya, atau les bahasa Inggris misalnya. Disana mereka juga
akan melihat berbagai karakter orang lain dan jangan lupa ajarkan mereka bagaimana
menghadapinya.

Sosialisasi sangat berdampak pada perkembangan anak-anak kita. Pengaruh yang paling
terlihat adalah bahasa dan sikap. Saat anak-anak bergaul dengan teman-teman yang biasa
berkata baik, bahasa mereka biasanya terbentuk menjadi baik. Namun bersiaplah saat
anak-anak bergaul dengan teman yang biasa berkata kotor dan kasar, mereka pun
berpotensi untuk terbiasa berkata-kata yang sama.

Karena itu, memilihkan lingkungan sosial yang sehat adalah tugas berat bagi orang tua
masa kini. Karakter dan bahasa negatif tersebar terlalu merata. Televisi, keluarga besar,
tetangga, kampung, dan bahkan sekolah pun tak dijamin bebas dari bahasa-bahasa
negatif.

Saya kira, pendidikan interpersonal dan pengembangan sikap/attitude ini merupakan


kewajiban utama orang tua. Yang penting, kita perlu terus mengetahui apa yang terjadi
dan terus mendampingi anak-anak selama masa belajar mereka sampai usia baligh. Tidak
hanya berlaku untuk anak-anak yang homeschooling. Bahkan juga anak-anak kita yang
sekolah formal. Jangan percayakan soal ini 100% kepada sekolah. Ini tugas kita, orang
tua!

You might also like