Professional Documents
Culture Documents
MUHAMMAD SIRAJUDDIN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
ANALISA RUANG EKOLOGI UNTUK PENGELOMPOKAN
ZONA PENGEMBANGAN BUDIDAYA RUMPUT LAUT
(Eucheuma cottonii) DI TELUK WAWORADA
KABUPATEN BIMA
MUHAMMAD SIRAJUDDIN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magíster Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2008
PENGUJI TAMU
Key words : seaweed, carragenan, spacial ecology, zonasi, PCA, GIS, waworada
bay
Judul Tesis : Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona
Pengembangan Budidaya Rumput Laut (Eucheuma cottonii)
di Teluk Waworada Kabupaten Bima
Disetujui
Komisi Pembimbing
Diketahui
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Kata kunci : rumput laut, karaginan, ruang ekologi, zonasi, PCA, GIS, teluk
waworada
PRAKATA
Penulis
UCAPAPAN TERIMA
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, atas segala
berkah dan karuniaNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan judul
“Analisa Ruang Ekologi Untuk Pengelompokan Zona Pengembangan Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma cottoni) di Teluk Waworada Kabupaten Bima”
Dengan hati yang tulus dan penghargaan yang tinggi serta ucapan terima
kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. H. Bambang Widigdo dan Bapak
Ir. Agustinus Samosir, M.Phil selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang
telah banyak memberikan kritikan, masukan untuk kesempurnaan tesis ini. Bapak
Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya
Pesisir dan Lautan IPB Bogor, Team Komisi Akademik dan Bapak Prof. Dr. Ir.
Rohmin Dahuri, MS dan Dosen-dosen Pasca Sarjana yang yang telah banyak
memberikan pencerahan ilmu perikanan khususnya yang berhubungan dengan
pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Tidak lupa disampaikan terima kasih
kepada Ibu Dr. Dewayany Sutrisno, M.App.Sc atas kritikan, sumbang saran untuk
kesempurnaan tesis ini.
Penghargaan yang mendalam penulis sampaikan kepada Pemerintah
Daerah Kabupaten Bima yang telah memberikan kesempatan dan dukungan dana
bagi penulis untuk mengikuti pendidikan Program Pasca Sarjana (S2) pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian
Bogor. Ibu Ida Nurlaila, SE, MM yang banyak membantu di Pemda Bima.
Gubernur NTB, Direktur Yayasan Danamandiri, dan Direktur Coremap II atas
dukungan dana dalam penyelesaian Tesis ini. Teman-teman angkatan XIII SPL
terima kasih juga atas kerjasama yang baik selama mengikuti pendidikan.
Ungkapan terima kasih dan doa yang tak terhingga disampaikan kepada
almarhum (Ayahanda H. M. Said) yang telah mendorong untuk melanjutkan studi
pascasarjana di IPB, ibu, mertua serta seluruh keluarga terutama istriku tercinta
Irma Suryani, SP dan anak-anakku tersayang Nadira Khairunnisa (Anis) dan
Muhammad Rafi’ Maulana atas segala doa, pengertian dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2008
Penyusun
RIWAYAT HIDUP
Halaman
I. PENDAHULUAN ............................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Perumusan Masalah ..................................................................... 2
1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian ..................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian ....................................................................... 4
1.5. Kerangka Pendekatan Masalah .................................................... 4
Halaman
10. Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput
Laut ...................................................................................................... 38
11. Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan
Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama ..................... 51
15. Matrik, Bobot dan Skor Untuk Kesesuaian Lokasi Budidaya Rumput
Laut ...................................................................................................... 53
Halaman
7a. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 Maret 2003 ......... 41
7b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Tanggal 01 April 2003 ......... 41
7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Maret – April 2003 ............... 42
Halaman
.
1
I. PENDAHULUAN
Selatan, sedangkan untuk jenis Eucheuma tersebar dari Pantai Barat Pulau
Sumatra, Kepulauan Riau, Kepulauan Seribu, Pantai Jawa bagian Selatan,
Madura, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Suryaningrum, et
al. 2000).
Pada beberapa daerah lain pengembangan budidaya rumput laut sudah
cukup instensif, namun mengalami penurunan akhir-akhir ini. Hal yang sama
terjadi pada teluk Waworada Kabupaten Bima. Di kawasan tersebut telah
berkembang budidaya rumput laut, dengan luas 934 ha pada tahun 2001 dan
meningkat menjadi 1.825 ha pada tahun 2005. Namun sayangnya peningkatan
skala usaha tersebut tidak diikuti oleh peningkatan teknologi dan regulasi
pemerintah sehingga produksi biomas kering turun drastis dari 8.891,68 ton pada
tahun 2001 menjadi 175 ton pada tahun 2005 (Badan Pusat Statistik, 2005).
Penurunan suatu produksi dapat disebabkan antara lain oleh lemahnya
teknologi budidaya (bibit, metode budidaya, umur panen, dan penanganan pasca
panen), dan regulasi pemerintah (penataan ruang, sumberdaya). Akibat simultan
yang tampak dari kelemahan-kelemahan di atas pada budidaya rumput laut antara
lain menyebabkan komoditi tersebut menjadi mudah terserang penyakit, seperti
ice-ice juga menyebabkan rendahnya kandungan karaginan rumput laut (Carte,
1996).
Salah satu cara untuk menjamin kontinuitas penyediaan produksi dan
kandungan karaginan rumput laut dalam jumlah yang dikehendaki adalah dengan
pemilihan lokasi budidaya, rekomendasi luasan yang optimal dan teknologi
budidaya (Rorrer, et al. 1998; Peira, 2002). Pemilihan lokasi dapat dilakukan
dengan memperhatikan berbagai faktor lingkungan (Chua, 1992; Gurno, 2004),
terutama pengaruh kondisi fisika, kimia dan biologi lingkungan perairan terhadap
kualitas rumput laut. Dalam hal ini kajian tentang penggunaan komponen utama
lingkungan perlu terus dilakukan agar dapat memudahkan pemilihan lokasi yang
selanjutnya dapat meningkatkan produksi dan kualitas rumput laut.
Studi
Pustaka
Survey lapangan
Kondisi Lingkungan Produksi biomas dan
perairan Kandungan Karaginan
Penentuan Parameter
Utama Lingkungan
Perairan (Analisis PCA)
Kriteria Kesesuaian
Perairan
Analisis Spasial
(Analisis GIS)
Pengelompokan Zona
Budidaya Rumput Laut
Menurut Sulistijo (1987) bahwa salah satu syarat untuk menentukan lokasi
Eucheuma adalah adanya arus dengan kecepatan 0,33 – 0,66 m/dtk. Selain itu
penyerapan unsur hara akan terhambat karena belum sempat terserap, telah
terbawa kembali oleh arus gelombang. Agar rumput laut dapat menempel pada
substratnya, maka spora rumput laut lebih menyenangi perairan dengan arus yang
tenang.
Kedalaman Perairan
Kedalaman perairan rata-rata yang diperlukan untuk pertumbuhan rumput
laut tergantung pada jumlah intensitas cahaya matahari. Menurut Kadi dan
Atmadja (1988), kedalaman yang ideal bagi pertumbuhan rumput laut di
Kepulauan Seribu dengan metode dasar adalah 0,3 – 0,6 m pada saat surut
terendah. Keadaan yang demikian dapat mencegah kekeringan bagi tanaman.
Salinitas
Salinitas laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti sirkulasi air,
penguapan, curah hujan dan aliran sungai. Masing-masing rumput laut dapat
tumbuh dengan baik pada kisaran salinitas tertentu tergantung pada toleransinya
dan adaptasinya terhadap lingkungan (Tromo dan Fortes, 1988). Penyebaran
rumput laut juga ditentukan oleh adanya percampuran air tawar dan sungai.
Pengaruh salinitas dapat dilihat dengan membandingkan komposisi species
rumput laut di dekat muara sungai dengan daerah terumbu karang. Rumput laut
(Gracilaria) dapat tumbuh pada kisaran salinitas yang tinggi dan tahan sampai 50
ppt. Gelidium hidup pada perairan yang memiliki kisaran salinitas antara 13 – 17
ppt. Gelidium yang tumbuh pada perairan indonesia adalah yang menyukai
salinitas tinggi yaitu 30 ppt (Aslan, 1988).
pH
Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor penting dalam
kehidupan rumput laut (Luning, 1990). Menurut Kadi dan Atmaja (1988), derajat
keasaman (pH) yang baik bagi pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma sp.
berkisar antara 7 – 9 dengan kisaran optimum 7,3 – 8,2. Menurut Sulistijo (1987),
pH air laut berkisar antara 7,9 – 8,3. Dengan meningkatnya pH akan berpengaruh
terhadap kehidupan rumput laut. Kisaran toleransi pH dimana alga ditemukan
adalah sebesar 6,8 – 9,6 (Luning, 1990).
12
konsentrasi COD yang jauh dari pemukiman dan lokasi tambak cenderung
menurun, karena terjadinya pengenceran konsentrasi COD di dalam perairan.
Timbal (Pb)
Kualitas perairan sangat ditentukan oleh adanya logam berat (Chou, et al.
2004). Logam berat (Pb) biasanya sangat sedikit sekali ditemukan dalam air
secara alamiah yaitu kurang dari 1 mg/liter. Bila terjadi pencemaran yang
disebabkan oleh buangan limbah dan bahan kimia lainnya kosentrasi logam berat
(Pb) akan meningkat Contoh kasus di perairan teluk Loreto California Mexico
ditemukan rumput laut yang hidup di sekitarnya mengandung kadnium (Cd)
dalam kosentrasi cukup tinggi yang bersumber dari buangan limbah industri dan
peleburan timbal (Pb) (Rodriquez, et al. 2002). Demikian juga pada alga merah
(P. Colombina) di Gulf San Jorge Argentina sudah banyak terkontaminasi dengan
logam berat (Cu, Cr, dan Zn) (Muse, at al, 1999).
Berkaitan dengan contoh kasus di atas, apabila dalam rumput laut
mengandung logam berat (Pb) yang cukup tinggi dapat menurunkan nilai jual
bahkan dapat ditolak oleh konsumen. Menurut Palupi (1994), standar timbal
dalam air yang direkomendasikan 0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter
Selanjutnya Suwirma, et al. (1981), batas rekomendasi timbal (Pb) hasil perikanan
untuk konsumsi manusia 2,0 mg/liter. Sedangkan spesifikasi mutu karaginan yang
ditetapkan oleh Food Chemical Codex (1981) mengandung timbal (Pb) sebesar
0,004%. Selanjutnya standar mutu yang baik untuk rumput laut yang diekstraksi
menjadi asam alginat, natrium alginat, dan propilen glikol alginat mengandung
Pb < 10 mg/liter (King, 1983).
Menurut World Health Organization (WHO), beberapa logam berat yang
berbahaya antara lain cadnium (Cd), copper (Co), zinc (Zc), besi (Fe), mercury
(Cu) dan timbal (Pb) (Handal, 1998) dalam (Kaur, 2008). Menurut Villares et. al.
(2002), bahwa rumput laut banyak yang terakomulasi dengan logam berat pada
berbagai musim baik pada musim panas maupun pada musim dingin. Wright dan
Mason, (1999) menemukan logam berat pada alga laut (Enteromorpha, sp) dan
(Pelvetia canaliculata) pada musim panas. Konsentrasi logam berat ini akan
sangat berpengaruh terhadap alga laut dan organisme lainnya terutama
mengganggu kelancaran metabolisme dan reproduksi. Pada berbagai penelitian
15
kosentrasi logam berat pada alga laut ditemukan pada periode pertumbuhan
(Catsiki dan Papathanassion, 1993) dalam (Wrigh dan Mason, 1999). Selanjutnya
Wrigh dan Mason (1999), melaporkan bahwa kosentarsi logam berat pada alga
laut (Ulva lactuca) terjadi pada musim panas. Menurut Muse, et al. (1999), bahwa
pada alga merah (P. columbina) telah terjadi akomulasi dengan logam berat (cu,
cr, dan zn) akan tetapi tidak ditemukan adanya logam berat seperti timbal (Pb).
Hama dan Penyakit
Penyebab kegagalan budidaya rumput laut adalah masalah hama dan
penyakit sehingga menimbulkan kerusakan dan kematian tanaman. Organisme
pengganggu lainnya, seperti bulu babi (Diademasetosum sp.), bulu babi duri
pendek (Tripneustes sp.), ikan-ikan herbivora antara lain beronang (Siganus sp.),
ikan kerapu (Epinephellus, sp.) bintang laut (Protorester nodusus), dan penyu
hijau (Chelonia mydas). Binatang-binatang laut tertentu seperti molusca dan ikan
dapat berpengaruh terhadap persporaan rumput laut dan menghambat
pertumbuhan rumput laut. Cara menghindari organisme tersebut yaitu dengan
pemagaran di sekeliling tanaman dengan jaring (Anggadiredja, et al. 2006).
Penyakit yang sering timbul pada rumput laut, khususnya dari jenis
Eucheuma sp. yang dikenal dengan nama ice-ice yang menyebabkan tanaman
tampak memutih. Ini disebabkan terjadi perubahan lingkungan (arus, suhu dan
kecerahan) sehingga memudahkan bakteri hidup. Kerusakan tanaman akibat ice-
ice dapat mencapai 90%, bahkan 100% bila kondisi serangan berlangsung lama.
Kondisi ini akan diperparah karena adanya serangan sekunder dari Peryphyton
yang merupakan mikroorganisme akuatik yang umumnya berukuran plantonik,
fitoplankton, maupun zooplankton. Serangan sekunder sebagai lanjutan dari
kondisi serangan ice-ice dapat pula dilakukan oleh bakteri patogen seperti
Pseudomonas dan Staphylococcus (Ditjenkanbud, 2005).
sedangkan parameter yang lain misalnya gelombang, suhu, DO, pH, substrat
dasar, biota pengganggu, keamanan, keterjangkauan, dan tenaga kerja merupakan
parameter penunjang, namun saling melengkapai artinya tanpa parameter
penunjang tidak mungkin suatu usaha budidaya rumput laut dapat berhasil.
Tabel 1. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Skor (S)
Bobot (%)
Parameter Satuan Tidak sesuai Sesuai Sangat sesuai
1 2 3 5
Arus m/dtk < 10 atau > 40 10 – 20 atau 30- 40 20 – 30 8
Kecerahan cm <3 3–5 >5 12
Keterlindungan - Terbuka Agak terlindung Terlindung 8
Suhu ºC < 20 atau > 30 20 – 24 24 – 30 8
Kedalaman m < 2 atau > 15 1–2 2–5 8
Gelombang cm > 30 10 – 30 < 10 4
Salinitas ppt < 28 atau > 37 34 – 37 28 – 34 12
Nitrat mg/l < 0,01 atau > 1,0 0,8 – 1,0 0,01 – 0,07 12
Phosfat mg/l < 0,01 atau >0,30 0.21 – 0.30 0,10 – 0,20 12
Substrat - Lumpur pasir berlumpur pasir 8
Pencemaran - - sedang tidak ada 8
Jumlah 100
Sumber : Aslan (1988)
Tabel 2. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Skor (S)
Parameter Satuan S1 S2 S3 N Bobot
80 60 40 10 (%)
Kedalaman M 1–5 - - - 35
Oksigen (DO) mg/l >6 >5–6 4–5 <4 10
Salinitas ppt 28 – 36 > 20 – 28 20 - < 24 < 20 10
Suhu °C 26 – 31 > 31 – 33 > 33 – 35 > 35 10
Kecerahan % > 75 50 – 75 25 - < 50 < 25 25
pH - 7,5 – 8,5 > 8,5 – 8,7 6,5 - < 7 > 8,8 10
Jumlah 100
Sumber : Bakosurtanal (2005)
Tabel 3. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Skor (S)
Parameter Satuan S1 S2 S3 N Bobot
4 3 2 1 (%)
Kecerahan M 1 4/3 2 4 0.4
Kedalaman M ¾ 1 3/2 3 0.3
Arus cm/s ½ 2/3 1 2 0.2
Gelombang Cm ¼ 1/3 ½ 1 0.1
Jumlah 1.0
Sumber : Mubarak, et al. (1990) dan Tiensongrusmee (1990) dalam Radiarta, et
al. (2007)
18
Tabel 4. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Bobot Nilai (value)
Parameter Satuan
(%) 30 20 10
Morfologi 15 Terlindung Cukup Terbuka
terlindung
Kedalaman M 15 1 – 10 11 – 15 < 1 & > 15
Arus Cm/dtk 10 20 – 30 31 – 40 < 20 & > 40
Substrat dasar 10 Pasir dan Pasir Lumpur
pecahan berlumpur
Kecerahan M 10 >3 1–3 <1
Salinitas Ppt 10 28 - 31 32 – 34 < 28 & > 34
Pencemar 10 Tidak ada Sedang Tinggi
Hewan Ekor 5 Tidak ada Sedang Tinggi
herbivora
Keamanan 5 Aman Agak aman Tidak aman
Keterjangkauan 5 Mudah Agak sulit Sulit
Tenaga kerja 5 Mudah Agak sulit Sulit
Jumlah 100
Sumber : Radiarta et al. (2005)
Tabel 5. Matrik kesesuaian untuk lokasi budidaya rumput laut. (seaweed culture)
Bobot Nilai (value)
Parameter Satuan
(%) 4 3 2 1
Morfologi 0.1 Terlindung Agak Terlindung Tidak
terlindung sesaat terlindung
Substrat dasar 0.1 Pasir dan Pasir sedikit Pasir Pasir
pecahan berlumpur berlumpur berlumpur
karang sedang banyak
Kecerahan % 0.1 80 – 100 70 – 79 60 – 69 < 60
Logam berat mg/l 0.1 < 0.01 0.01 – 0.04 0.03 – 0.06 < 0.06
Arus cm/s 0.09 20 – 30 31 – 40 41-50 < 20&>50
Kedalaman M 0.09 5 – 10 11 – 15 16 – 20 <5&>
20
Salinitas Ppt 0.09 31 – 35 28 – 30 25 – 27 <25&>35
Hewan air Ekor 0.08 Tidak ada Kurang Banyak Sangat
banyak
Keterjangkauan 0.07 Lancar Cukup Kurang Tidak
lancar lancar lancar
Tenaga kerja 0.06 Banyak Cukup Kurang Tidak
tersedia tersedia tersedia
Keamanan 0.06 Aman Cukup aman Insidentil Tidak
aman
Pemasaran 0.06 Lancar Cukup Kurang Tidak
lancar lancar lancar
Jumlah 1.00
Sumber : Mubarak, et al. (1990) dalam Utojo, et al. (2007)
19
rumput laut diperoleh dari hasil bobot kering rumput laut yang diekstrasi dengan
metode sederhana skala rumah tangga berkisar antara 54,0 – 72,8% (Tabel 6).
Tabel 6. Kandungan karaginan beberapa rumput laut jenis Eucheuma yang
dinyatakan dalam persen.
Kandungan
No Jenis karaginan Lokasi Keterangan
(%)
1 Eucheuma spinosum 72,8 Tanzania
2. Eucheuma striatum 69,0 Tanzania
3. Eucheuma platycladum 85,0 Tanzania
4. Eucheuma okamurai 58,0 Tanzania
5. Eucheuma spinosum 54,0 Tanzania
6. Eucheuma spinosum 65,7 – 67,5 Indonesia
7. Eucheuma cottonii 61,5 Indonesia
Sumber : Gliksman (1983).
Menurut Kadi dan Atmaja (1987), bahwa kandungan karaginan dalam
rumput laut sangat ditentukan oleh jenisnya, iklim serta lokasi budidaya.
Sedangkan kandungan senyawa di dalam rumput laut sangat dipengaruhi oleh
musim, habitat dan umur tanaman. Selanjutnya Chen et al. (1973), kandungan
karaginan sangat dipengaruhi kondisi setempat (lokasi budidaya). Menurut
Papalia (1997) dalam Anonymous (2008), bahwa ketersediaan unsur hara erat
kaitannya dengan pembentukan karaginan pada dinding sel rmput laut.
Selanjutnya Mayunar (1989) dalam Anonymous (2008), bahwa kualitas dan
kuantitas cahaya matahari dalam perairan dapat menambah pigmen fitoentrim
pada rumput laut sehingga dapat meningkatkan kandungan karaginan rumput laut.
Hasil analisa SIG diperoleh lokasi seluas 1.576 ha yang ideal untuk
pengembangan budidaya laut di teluk Ekas.
Tata Ruang. Untuk itu penataan ruang wilayah pesisir juga sangat diperlukan
dalam optimalisasi pemanfaatan ruang.
Wilayah pesisir merupakan wilayah yang dinamis tetapi juga sangat
rawan. Dinamis karena wilayah ini merupakan pertemuan antara ekosistem darat
dan ekosistem laut dimana mengandung berbagai sumberdaya yang cukup
potensial baik hayati, non hayati maupun jasa-jasa lingkungan. Rawan karena
wilayah pesisir berpotensi besar terhadap perubahan dan tekanan akibat interaksi
manusia dengan berbagai ekosistem yang ada. Perkembangan pembangunan di
suatu wilayah pesisir melalui berbagai aktivitas seperti pemukiman, pertanian,
perikanan, industri, pariwisata, perhubungan dan lain-lain telah membawa
kecenderungan menurunnya atau bahkan rusaknya kondisi biofisik di wilayah
pesisir tersebut. Keadaan ini berdampak pada berbagai masalah lingkungan seperti
erosi, sedimentasi, polusi atau pencemaran. Pemanfaatan ruang pesisir yang tidak
terencana akan berakibat buruk, selain dalam penggunaan lahan itu sendiri juga
pada perairan yang merupakan habitat berbagai biota laut.
Berbeda dengan wilayah daratan, paradigma yang dikembangkan di
wilayah pesisir bersifat lebih kompleks karena disamping tempat bermuaranya
segala kegiatan, wilayah pesisir juga merupakan tempat bertemunya berbagai
macam ekosistem, oleh karenanya dalam penataan ruang pesisir perlu diupayakan
cara atau metode yang tidak hanya sekedar mengadopsi tata ruang daratan, tetapi
perlu dikembangkan suatu rencana kelola dengan pendekatan keruangan yang bisa
mengakomodir kepentingan berbagai stakeholders. Harapan ini akan lebih
realistis dan dapat dipertanggungjawabkan jika kita dapat menempatkan pola
pemanfaatan ruang dan arahan pengembangan berdasarkan analisis kesesuaian
lahan (Dahuri, et al. 1997)..
Zonasi wilayah pesisir dan laut adalah pengalokasian pesisir dan laut ke
dalam zona-zona yang sesuai dengan maksud dan keinginan pemanfaatan setiap
zona. Rencana ini menerangkan nama zona yang terseleksi dan kondisi zona yang
dapat ditetapkan peruntukannya bagi setiap kegiatan pembangunan yang
didasarkan pada persyaratan-persyaratan pembangunan. Suatu zona adalah suatu
kawasan yang memiliki kesamaan karakteristik fisik, biologi, ekologi dan
ekonomi dan ditentukan oleh kriteria terpilih (Ditjen Bagda Depdagri, 1998).
24
pengambilannya adalah pada satu meter di bawah permukaan, bagian tengah, dan
0,5 meter di atas dasar laut (Hutagalung, 1997). Pengambilan sampel kualitas air
dilakukan pada pukul 08.00 – 17.00 WITA. Pengamatan parameter fisika dan
kimia perairan pada penelitian pendahuluan meliputi suhu, salinitas, pH,
kedalaman, kecerahan dan arus dilakukan di 30 titik pengamatan. Parameter
fisika, kimia dan biologi pada penelitian utama meliputi DO, pH, nitrat, fosfat,
COD, Pb, suhu, kedalaman, kecerahan, salinitas, arus dan hama diukur di 15 titik
pengamatan. Sedangkan rumput laut untuk ditimbang berat panen dan kandungan
karaginan yang dianalisa di laboratorium diambil di 5 (lima) stasiun pada 15 titik
secara acak.
Tabel 7. Parameter Fisika dan Kimia Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima
Stasiun Arus Suhu pH Salinitas Kedalaman Kecerahan
(m/dtk) (°C) (ppt) (m) (m)
I 0.18 ± 29.67 ± 8.00 ± 32.67 ± 3.33 ± 1.33±
0.03 0.58 1.00 0.58 1.50 0.58
II 0.20 ± 30.67 ± 8.67 ± 34.00 ± 4.67 ± 2.67 ±
0.01 0.58 0.58 1.00 1.53 1.15
III 0.35 ± 31.00 ± 8.67 ± 34.67 ± 5.33 ± 3.67 ±
0.01 1.00 0.58 0.58 1.15 0.58
IV 0.34 ± 29.67 ± 8.33 ± 34.67 ± 9.67 ± 5.33 ±
0.01 0.58 0.58 0.58 2.52 0.58
V 0.34 ± 30.67 ± 8.33 ± 34.33 ± 13.33 ± 5.67 ±
0.01 0.58 0.58 0.58 1.53 0.58
VI 0.18 ± 29.67 ± 8.00 ± 32.67 ± 21.33 ± 7.00 ±
0.01 0.58 1.00 0.58 1.53 0.00
VII 0.20 ± 29.67 ± 8.67 ± 32.67 ± 20.67 ± 7.00 ±
0.01 0.58 0.58 0.58 3.06 0.00
VIII 0.35 ± 30.00 ± 8.67 ± 34.67 ± 4.00 ± 3.67 ±
0.01 1.00 0.58 0.58 1.00 0.58
IX 0.35 ± 30.33 ± 8.33 ± 35.00 ± 5.00 ± 5.00 ±
0.01 0.58 0.58 1.00 1.00 1.00
X 0.35 ± 29.33 ± 8.67 ± 34.67 ± 8.00 ± 6.67 ±
0.01 0.58 0.58 0.58 3.61 0.58
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
2. Kimia
• Salinitas Refraktometer 3 Insitu
• pH Kertas lakmus merah 3 Insitu
• Fosfat Spektrofotometer 3 Laboratorium
• Nitrat Spektrofotometer 3 Laboratorium
• DO Titrimetrik 3 Laboratorium
• COD Spektrofotometer 3 Laboratorium
Spektrofotometer 3 Laboratorium
• Logam berat (Pb)
3. Biologi
• Hama Visual dan Wawancara - Insitu
Pengganggu
Frekwensi : 3 kali/42 hari (Minggu kedua, keempat dan keenam).
a. Parameter Fisika
Parameter fisika yang diamati meliputi : Kecerahan (m) : alat yang
digunakan untuk mengukur kecerahan adalah secci disk, alat ini diturunkan
sampai kedalaman tertentu kemudian diukur kecerahannya sampai dengan batas
penglihatan. Suhu permukaan (°C) : alat yang digunakan adalah termometer
dengan dicelupkan sampai kedalaman ± 30 cm. Kecepatan arus (m/detik) : alat
yang digunakan adalah floating roach dan stopwatch. Cara pengukurannya dengan
menurunkan alat tersebut ke dalam air sampai pada kedalaman tertentu atau ± 30
cm dari permukaan air. Untuk mendapatkan nilai kecepatan arus maka dihitung
sampai sejauhmana alat tersebut dibawa oleh arus. Standar yang digunakan adalah
tali yang diikatkan pada floating roach. Apabila floating roach tersebut berpindah
atau dibawa oleh arus, maka tali itu akan renggang, sehingga dengan demikian
dapat ketahui bahwa floating roach tersebut sudah berpindah sepanjang tali yang
telah ditentukan. Misalnya panjang tali 5 meter, memerlukan waktu beberapa
31
menit berpindah dari tempat semula. Dari uraian tersebut dapat diperjelas dengan
rumus V = L/S dimana V = kecepatan arus (m/dtk), L = jarak tempuh (m), dan S =
waktu (detik). Selanjutnya untuk kedalaman perairan (m) diukur dengan
menggunakan alat meteran dan tali penduga. Secara keseluruhan pengamatan
parameter fisika perairan dilakukan secara langsung di lapangan.
b. Parameter Kimia
Pengambilan contoh air untuk mengukur parameter kimia dilakukan pada
minggu kedua, keempat dan keenam. Contoh air diambil dengan menggunakan
kemmerer water sampler, secara vertikal yaitu permukaan (± 30 cm dari atas
permukaan), pertengahan (± 1.5 m atau tergantung kedalaman air) dan dasar (± 30
cm dari dasar).
Beberapa parameter kimia meliputi : salinitas (ppt), alat yang digunakan
adalah refraktometer dengan mengambil contoh air permukaan lalu diukur
salinitasnya; pH diukur langsung ke lapangan dengan mencelupkan kertas lakmus
merah ke dalam air kemudian dibandingkan warna yang ada di tabel; kelarutan
oksigen (DO) diukur secara langsung di lapangan dengan cara titrasi (metode
winkler). Sedangkan fosfat, nitrat, COD, dan logam berat (Pb), contoh air diambil
langsung pada setiap stasiun pengamatan dengan menggunakan kemmerer water
sampler kemudian disimpan dalam botol sampel setelah terlebih dahulu dilakukan
pengawetan dengan asam sulfat (H2SO4) kemudian disimpan dalam box yang
berisi es. Selanjutnya dianalisis di Laboratorium Manajemen Produktivitas
Lingkungan IPB Bogor.
c. Parameter Biologi
Hama pengganggu
Pengamatan hama pengganggu dilakukan dengan metode visual sensus
dan wawancara langsung dengan nelayan. Pengamatan secara visual yaitu
pengamatan untuk mengetahui jumlah hama pengganggu baik yang menempel
langsung ke thallus rumput laut maupun yang berada di dasar perairan.
Metode pengamatan yang digunakan adalah metode sensus yaitu dengan
melakukan pengamatan langsung pada thallus rumput laut dan snorkling di sekitar
area budidaya rumput laut. Untuk mengelilingi area tersebut dengan
menggunakan sampan supaya memudahkan mengamati hama yang menempel
32
pada thallus rumput laut. Sedangkan untuk mengamati hama yang ada di dasar
perairan dengan melakukan snorkling di permukaan air. Metode pengamatan
sensus ini diawali dengan pemasangan garis transect dengan ukuran 50 m dengan
menarik garis lurus ke depan dengan perkiraan jarak pandang pada waktu
snorkling ke arah kanan 2,5 m dan ke arah kiri 2,5 m sehingga keseluruhan 5 m
(English, et al, 1994).
Luasan area budidaya rumput laut dalam satu stasiun pengamatan seluas
1.000 m2 (10 tali). Dalam pengamatan satu tali membutuhkan waktu 30 menit dan
untuk 10 tali membutuhkan waktu 300 menit atau 5 jam/petak (stasiun)
pengamatan. Selama pengamatan berlangsung dicatat apa yang diamati meliputi
hama mikro seperti larva bulu babi (Tripneustes) dan larva teripang yang
menempel pada thallus rumput laut. Sedangkan hama makro seperti ikan
beronang (Siganus spp.), ikan kerapu (Epinephelus sp.), bintang laut
(Protoneustes nodosus), dan penyu hijau (Chelonia midas) digunakan metode
snorkling yaitu pengamatan secara visual di permukaan air sambil berenang lurus
ke depan sampai sejauh 50 m.
Untuk membantu penglihatan di dalam air maka digunakan masker dan
alat bantu pernapasan. Untuk lokasi (stasiun) pengamatan yang kedalamannya > 5
m, maka digunakan metode wawancara dengan nelayan sebanyak 15 orang yang
berpengalaman menyelam dan menangkap ikan di sekitar stasiun pengamatan
yang telah ditetapkan pada waktu penelitian berlangsung.
d. Produksi
Untuk menghitung produksi rumput laut, maka dilakukan pengambilan
sampel rumput laut yang dibudidayakan oleh nelayan. Budidaya rumput laut
biasanya dilakukan dengan menggunakan tali. Ada 2 (dua) jenis tali untuk
budidaya rumput laut yaitu tali induk dan tali ris. Tali induk adalah tali utama
tempat tali ris diikatkan. Sedangkan tali ris adalah tali dimana rumput laut
diikatkan. Lebar ke samping (tali induk atau tali untuk mengikatkan tali ris) 20 m,
panjang tali ris (tali untuk mengikatkan rumput laut) 50 m, jarak antara tali ris
(tali tempat rumput laut diikatkan) ± 2 m, dan jarak tanam antar rumpun ± 25 cm.
Satu unit budidaya biasanya terdiri dari 10 (sepuluh) tali ris. Satu nelayan
biasanya memiliki 5 – 10 unit budidaya dan lama pemeliharaan biasanya 40 – 42
33
hari. Satu unit budidaya akan menggunakan lahan seluas 1000 m2 atau satu unit
budidaya terdiri dari 2000 rumpun / 1000 m2 (Gambar 6).
Untuk menjaga kemungkinan kematian atau rusak pada rumput laut yang
telah diikatkan sebagai sampel maka dipersiapkan 1 (satu) tali ris sebagai
pengganti (yang sebelumnya juga sudah ditimbang) yang ditempatkan pada lokasi
yang berdekatan. Hal ini dimaksudkan supaya memudahkan dalam pengukuran
berat panen (B42). Sebelum ditimbang, rumput laut terlebih dahulu dicuci dengan
menggunakan air laut supaya bersih dari kotoran dan biota penempel lainnya.
Untuk mendapatkan nilai produksi/ha maka dilakukan perhitungan
sebagai berikut : Berat panen total (Bt) / tali ris dibagi dengan luas panen
budidaya atau dapat digambarkan sebagai berikut:
Bp
P= ...................................................... (1)
Lp
Keterangan :
P = Produksi total (kg/ha)
Bp = Berat panen ( kg)
Lb = Luas panen (ha)
e. Kandungan karaginan
KadarAir (% ) =
KehilanganBobot
x100% ............................... (2)
BobotSampel
Karaginan(% ) =
BeratKaraginan
x100% .............................. (3)
BeratSampel
hama, produksi biomas dan karaginan rumput laut. Hasil analisis dari masing-
masing parameter biofisik dengan PCA (Prinsipil Component Analisis) tersebut
akan diperoleh nilai parameter utama (Faktor utama ke-i) (kolom 3 Tabel 9).
Untuk mendapatkan nilai prosentase (%) (kolom 4 Tabel 9) maka nilai parameter
faktor utama ke-i (kolom 3 Tabel 9) dijumlahkan dan dibagi dengan nilai total
parameter ke-i (Σ Faktor utama ke-i ) dan dikalikan 100% (Tabel 9) :
Tabel 9. Matrik, Prosentase Faktor Utama Parameter Biofisik Usaha Budidaya
Rumput Laut (Eucheuma cottonii) Teluk Waworada Kabupaten Bima.
Parameter Sumber Faktor utama ke-i Prosentase (%)
Bobot
DO 10*** - -
pH 10**** - -
**
Salinitas 10 - -
Suhu 10**** - -
*
Nitrat 12 - -
Fosfat 12* - -
***
COD 10 - -
**
Pb 10 - -
Arus 10** - -
**
Kecerahan 10 - -
Kedalaman 15** - -
**
Hama 5 - -
Jumlah - Σ Faktor utama ke-i 100.00
*
Sumber : Aslan (1988), **Radiarta et al. (2005), ***KLH (1988),
****
Bakosurtanal (2005).
Batimetri
Lokasi penelitian terdiri dari 2 (dua) wilayah perairan utama yaitu Laut
Flores di bagian utara dan Samudra Hindia di bagian selatan. Kedua perairan
tersebut dihubungkan satu sama lain oleh Selat Sape (antara Pulau Sumbawa dan
Pulau Sumba). Selat Sape mempunyai kedalaman air yang menurun dari 1.050 m
di bagian selatan menjadi kurang dari 300 m di bagian barat laut, yaitu di lokasi
ambang Pulau Gili Banta. Menurut Bakosurtanal dan Dishidros (1992), bahwa
kedalaman perairan teluk Waworada berkisar antara 1 – 69 m. Sedangkan DEM
(2008) melaporkan bahwa kedalaman wilayah pesisir teluk Waworada berkisar
antara 1 – 8 m.
Pasang Surut
Pasang surut di wilayah penelitian antara 1 – 1,5 m (Anonymous, 2003).
Pasang surut di Selat Sape mempunyai karakteristik yang unik akibat dipengaruhi
oleh dua rambatan gelombang pasang surut yang berasal dari Samudra Hindia dan
Samudra Pasifik. Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret – April,
2002 dan 2003 berkisar antara 1 – 16 dm (Dinas Dehidros Jakarta, 2002; 2003).
Kondisi pasang surut perairan Bima pada bulan Maret – April 2003 terlihat pada
(Gambar 7a, 7b dan 7c) berikut :
a b
Pasang Surut (1 Maret 2003) Pasang Surut (1 April 2003)
14 14
12 12
T i n g g i A ir (d m )
T in g g i A ir (d m )
10 10
8 8
Series1 Series1
6 6
4 4
2 2
0 0
0 5 10 15 20 25 30 0 5 10 15 20 25 30
Waktu (Jam) Waktu (Jam)
Gambar : 7a.b. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima (01Maret dan 01 April
2003)
42
20
Tinggi Air (Water high)
15
(dm)
10 Series1
0
0 20 40 60 80
Waktu (Bulan)
Gambar : 7c. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima pada Bulan Maret – April
2003
Parameter Ekologi
bagi kehidupan rumput laut dan biota lainnya. DO berkisar antara 5,4 – 6.0 mg/l
(Gambar, 10); dan Pb berkisar antara 0.0006 – 0.001 mg/l (Gambar, 11). Palupi
(1994), melaporkan bahwa standar timbal (Pb) dalam air yang direkomendasikan
0,10 mg/liter, dan air laut 0,03 mg/liter.
30
29
28
27
26
25
24
06
06
5
05
6
5
6
5
05
06
6
.0
l.0
l.0
.0
.0
.0
.0
n.
n.
p.
p.
op
op
ar
ar
ei
ei
Ju
Ju
Ja
Ja
Se
Se
M
M
M
M
N
N
9
8
7
6
5
pH
4
3
2
1
0
5
6
05
06
5
6
5
6
5
6
5
.0
.0
.0
.0
.0
.0
.0
l.0
.0
l.0
n.
n.
op
op
ar
ep
ep
ar
ei
ei
Ju
Ju
Ja
Ja
M
M
N
N
S
6.2
6
DO(mg/l)
5.8
5.6
5.4
5.2
5
05
06
5
6
5
6
5
6
l.0
l.0
.0
.0
.0
.0
n.
n.
kt
kt
Ju
Ju
pr
pr
Ja
Ja
O
O
A
A
Bulan/Tahun (2005 - 2006)
0.0012
0.001
Pb(mg/l)
0.0008
0.0006
0.0004
0.0002
0
05
06
5
6
5
6
5
6
l.0
l.0
.0
.0
.0
.0
n.
n.
kt
kt
Ju
Ju
pr
pr
Ja
Ja
O
O
A
35
Salinitas (ppt)
34.5
34
33.5
33
32.5
32
Se 6
Se 5
06
06
05
6
5
N 6
6
N 5
5
l.0
l.0
.0
.0
.0
.0
0
.0
n.
n.
p.
p.
op
op
ei
ei
ar
ar
Ju
Ju
Ja
Ja
M
M
M
M
bahkan berdampak pada pengembangan budidaya rumput laut yang cukup pesat
(Gambar 13)
Gambar 13. Peta Area Pemanfaatan Budidaya Rumput Laut Teluk Waworada
2.5
2 I
V
-- axe2(17%) --> 1.5
1
pH
0.5 COD Suhu
Kedalama
Hama Karaginan
Nitrat
Arus
0 Keceraha
Produksi
n
Pb Salinitas
n
-0.5 Fosfat
DO
-1 III
II IV
-1.5
-2
-6 -4 -2 0 2 4 6
-- axe 1 (62% ) -->
Gambar 14. Distribusi parameter fisika, kimia dan biologi pada stasiun
pengamatan sumbu 1 dan 2
Tabel 11. Akar Ciri dan Representasi Ragam Parameter Fisika, Kimia dan
Biologi Perairan Teluk Waworada pada Sumbu Utama.
Eigenvaluae % Total Cumulative Cumulative
8.70 0.62 8.70 0.62
2.36 0.17 11.06 0.79
1.99 0.14 13.05 0.93
0.94 0.06 13.99 1.00
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
Tabel 12. Kontribusi variable Terhadap Sumbu Utama Parameter Fisika, Kimia
dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima
Variabel Faktor Utama ke-i Faktor Kedua ke-i
DO 0.7431 -0.5865
PH -0.1525 0.8229
Salinitas 0.9584 -0.2271
Suhu 0.5614 0.5046
Nitrat 0.8749 0.3104
Fosfat -0.0269 -0.4619
COD -0.8153 0.5473
Pb -0.7496 -0.2716
Arus 0.9403 0.2644
Kecerahan 0.9456 -0.0805
Kedalaman 0.9423 0.2403
Hama -0.9550 0.2460
Produksi Biomas 0.9892 0.0587
Karaginan 0.5878 0.3951
Sumber : Data Primer diolah Tahun 2007
52
Dari Tabel 11 terlihat bahwa korelasi antara variabel terpusat pada dua
sumbu utama. Mengingat nilai kontribusi faktor utama ke-i sebesar 62 persen
(kolom 2 Tabel 12) maka faktor utama yang dijadikan bobot matrik kesesuaian
lokasi budidaya rumput laut cukup faktor utama ke-i (kolom 2 Tabel 13).
Tabel 13. Kontribusi Faktor Utama Parameter Fisika dan Kimia terhadap
Produksi dan Karaginan Rumput Laut.
Parameter Faktor Utama
Salinitas 0.9584
Arus 0.9403
Kecerahan 0.9456
Kedalaman 0.9423
Hama -0.9550
Produksi Biomas 0.9892
Karaginan 0.5878
Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Tabel 14. Kontribusi dan Prosentase Faktor Utama Perairan Teluk Waworada
Kabupaten Bima Hasil Analisa Komponen Utama (PCA).
Parameter Faktor Utama ke-i Prosentase (%)
Salinitas 0.96 20.21
Arus 0.94 19.83
Kecerahan 0.95 19.94
Kedalaman 0.94 19.87
Hama -0.95 20.14
Jumlah 4.74 100.00
Sumber : Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Matrik kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut hasil penelitian ini
(Tabel 15), besarnya bobot yang diberikan masing-masing parameter berbeda,
karena pembobotan dilakukan berdasarkan besarnya kontribusi yang diberikan
oleh masing-masing parameter meliputi salinitas (20.21%), hama (20.14%),
kecerahan (19.94%), kedalaman (19.87%) dan arus (19.83%).
Tabel 15. Matrik, bobot, dan skor untuk kesesuaian lokasi budidaya rumput laut.
(seaweed culture) di Teluk Waworada
S1 S2 S3
Bobot Skor Skor Skor
Parameter
(ßi) Kriteria klas ßi x xi Kriteria klas ßi x xi Kriteria klas ßi x xi
(xi) (xi) (xi)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Salinitas < 28 & 202.1
20.21 32 – 34 30 606.3 28 – 31 20 404.2 10
> 34
Hama 20.14 < 10 30 604.2 10 – 70 20 402.8 > 70 10 201.4
Kecerahan 19.94 >3 30 598.2 1–3 20 398.8 <1 10 199.4
Kedalaman <1& 198.7
19.87 1 – 10 30 596.1 11 – 15 20 397.4 10
> 15
Arus 0.20 – 0.31 – < 0.20 198.3
19.83 30 594.9 20 396.6 10
0.30 0.40 & 0.40
Total S1 2.999.7 S2 1999.8 N 999.9
Sumber : Data Hasil Penelitian diolah Tahun 2007
Gambar 16. Peta Tematik Hama Pengganggu Teluk Waworada Kabupaten Bima
Gambar 19. Peta Tematik Kecepatan Arus Teluk Waworada Kabupaten Bima
57
Gambar 20. Arah Arus Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima (Waktu
Pasang Bulan Maret 2007).
Gambar 21. Peta Kesesuaian Lahan Budidaya Rumput Laut Perairan Teluk
Waworada Kabupaten Bima
58
Adapun tingkat kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut dapat dirinci
sebagai berikut :
Sangat Sesuai (S1)
Pada daerah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan tidak
adanya faktor pembatas khusus yang menghambat perlakuan yang diberikan.
Seluruh parameter fisika, kimia dan biologi yang ada membuat daerah ini sangat
sesuai untuk mengembangkan budidaya rumput laut. Hasil analisis spasial yang
dilakukan terhadap parameter tersebut, diketahui bahwa ternyata lokasi yang
sangat sesuai berada pada stasiun 5 (lima) yang arahnya mendekati garis pantai.
Total luasan lokasi yang sangat sesuai adalah 12.26 ha. Perairan yang sangat
sesuai dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas cukup optimal
yaitu berkisar antara 28 – 31 ppt, hama relatif sedikit yaitu kurang dari 10 ekor,
kecerahan cukup optimal yaitu lebih dari 3 meter, kedalaman cukup memadai
yaitu berkisar antara 1 – 10 m, dan kecepatan arus cukup bagus yaitu berkisar
antara 0.21 – 0.35 m/dtk.
Sesuai (S2)
Pada daerah yang termasuk dalam kategori ini dicirikan dengan adanya
faktor-faktor pembatas yang agak serius untuk mempertahankan tingkat perlakuan
yang diterapkan. Dalam hal ini faktor pembatas yang ditemukan tersebar di 10
stasiun pengamatan. Perairan dengan kelas ini dicirikan dengan karakteristik
sebagai berikut : salinitas relatif tinggi yaitu berkisar antara 32 – 39 ppt,
kecerahan sedang yaitu berkisar antara 1 – 3 m, kedalaman tinggi yaitu berkisar
antara 11 – 15 m dan kecepatan arus sedang yaitu berkisar antara 0.10 – 0.20
m/dtk. Untuk kategori sesuai, total luasan perairan adalah 19.287,94 ha.
Tidak Sesuai (N)
Daerah-daerah yang termasuk dalam kategori ini mempunyai pembatas
permanen sehingga mencegah segala kemungkinan masukan/perlakuan yang
diberikan pada daerah-daerah tersebut. Semua parameter yang ada mempunyai
batasan-batasan/hambatan-hambatan untuk mengembangkan budidaya rumput
laut. Sebaran kategori ini hampir di seluruh stasiun pengamatan yang letaknya
berada di dekat pantai. Untuk kategori tidak sesuai, total luasan perairannya
836.48 ha. Perairan ini dicirikan dengan karakteristik sebagai berikut : salinitas
59
cukup tinggi yaitu > 32 ppt, kecerahan sangat kurang yaitu < 1 m, kedalaman
juga relatif dangkal yaitu < 1 m, dan kecepatan arus sangat kurang yaitu < 0.10
m/dtk.
Faktor-Faktor Pembatas
Sebagaimana telah dijelaskan pada hasil analisa spasial/keruangan di atas,
untuk kelas kesesuaian S2 (sesuai) dan N (tidak sesuai) terdapat faktor-faktor
pembatas yang harus dipertimbangkan baik perlakuan maupun dampak dari
perlakuan tersebut. Faktor-faktor pembatas ini merupakan jabaran dari batasan-
batasan nilai yang ada dari setiap parameter-parameter yang berpengaruh
langsung maupun tidak langsung terhadap kelangsungan hidup rumput laut.
Pada daerah dengan kategori S2, syarat hidup rumput laut relatif belum
mencukupi batasan nilai optimal yang dibutuhkan untuk perkembangan rumput
laut. Oleh karena itu, masukan-masukan tertentu masih dibutuhkan untuk
mendapatkan hasil yang optimal, seperti misalnya salinitas yang merupakan faktor
alami yang sukar diubah/diberi masukan untuk meningkatkan kemampuannya.
Salinitas merupakan salah satu parameter yang sangat dibutuhkan oleh rumput
laut untuk menjalankan proses metabolisme penting seperti osmoregulasi, proses
reproduksi, dan pertumbuhan rumput laut.
Salinitas di perairan teluk Waworada berkisar antara 32 – 36 ppt dengan
salinitas rata-rata berkisar antara 32,33 - 35,33 ppt (Gambar 15). Kondisi salinitas
perairan tersebut masih cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut. Menurut Lin,
(1974), bahwa rumput laut (Gracillaria) tumbuh paling cepat pada salinitas 25
ppt. Sedangkan Chen, (1976) melaporkan bahwa rumput laut (Gracillaria)
tumbuh paling cepat pada salinitas antara 18 dan 30 ppt. Salinitas optimum untuk
rumput laut adalah 15 sampai 25 ppt (Anonymous, 1991). Sedangkan (Guanzon
dan De Castro, 1992; De Castro dan Guanzon, 1993) menyatakan bahwa rumput
laut dapat mentolerir salinitas antara 25,5 – 34,5 ppt. Dalam kaitannya dengan
kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut, kondisi salinitas di daerah ini
berada pada kisaran sedikit di atas batasan minimal syarat hidup rumput laut dan
merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam rencana pengembangan
budidaya rumput laut. Salah satu cara yang dilakukan untuk mendapatkan
pertumbuhan rumput laut yang optimal adalah tidak melakukan penanaman pada
60
(7.920 kg/1.000 m2 atau 79.200 kg/ha), desa Laju Kecamatan Langgudu (6.600
kg/1.000 m2 atau 66.000 kg/ha), desa Doro O’o dan Rupe Kecamatan Langgudu
(7.260 kg/1.000 m2 atau 72.600 kg/ha), desa Karampi Kecamatan Langgudu
(7.590 kg/1.000 m2 atau 75.900 kg/ha) dan desa Dumu Kecamatan Langgudu
(8.250 kg/1.000 m2 atau 82.500 kg/ha). Data produksi rumput laut selengkapnya
di beberapa desa sampel termuat pada Lampiran 5.
Di bawah ini ditampilkan perbandingan produktivitas hasil pengukuran
dan wawancara di teluk Waworada dan beberapa lokasi lain di Kabupaten Bima
(Tabel 18).
Tabel 18. Rata-rata produktivitas rumput laut hasil pengukuran di teluk
Waworada dan lokasi-lokasi lain di Kabupaten Bima
Rata-rata Produksi
Musim Hujan Musim Kemarau (kg/ha) Musim Hujan dan Kemarau
(kg/ha) Hasil pengukuran di 5 stasiun (kg/ha)
Hasil pengukuran di 5 pengamatan Hasil wawancara dg petani di 8 desa
stasiun pengamatan lokasi lain
lingkungan dan sesuai dengan daya dukung secara ekologis. Menurut Turner
(1988; Quano, 1993; UNEP, 1993), bahwa daya dukung adalah jumlah populasi
organisme akuatik yang dapat didukung oleh suatu kawasan/areal atau volume
perairan tanpa mengalami penurunan kualitas lingkungan. Sedangkan Gang et al.
(1998) menjelaskan, daya dukung lahan tambak dapat berubah akibat perubahan
input teknologi. Menurut Widigdo, et al. (2000; Krom, 1996), bahwa daya dukung
ekologis adalah kemampuan badan air di suatu kawasan dalam menerima limbah
organik, termasuk di dalamnya kemampuan untuk melakukan asimilasi atau
mendaur ulang limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan.
Penentuan daya dukung lingkungan secara ekologis ini (Monte, 2004)
akan mempertimbangkan status pemanfaatan, dimana dalam analisis spasial dapat
menghitung luasan dan kapasitas jumlah tali/long line maksimum dengan
mempertimbangkan kawasan alur pelayaran, pelabuhan perikanan, budidaya
Karamba Jaring Apung (KJA) dan budidaya kerang mutiara. Hal ini dimaksudkan
untuk menjaga jangan sampai kegiatan budidaya rumput laut akan mengganggu
alur pelayaran, membatasi akses nelayan sehingga terhindar dari konflik
kepentingan antar pengguna perairan tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekologis perairan teluk
Waworada Kabupaten Bima pada saat penelitian masih dalam batas toleransi
untuk budidaya rumput laut. Menurut Ditjenkanbud (2005), bahwa suatu kegiatan
budidaya rumput laut Eucheuma cottonii dikatakan baik jika laju pertumbuhan
harian minimal > 3%. Namun dari segi produksi dan kandungan karaginan masih
dibawah standar mutu, hal ini diduga terjadi karena pemanfaatan usaha rumput
laut yang tidak sesuai dengan daya dukung lingkungan, teknik budidaya, umur
panen dan kualitas bibit yang digunakan tidak sesuai dengan rekomendasi yang
dianjurkan. Berdasarkan hasil overlay, luas lahan di teluk Waworada yang tidak
sesuai 836.48 ha (3.97%), meliputi perairan yang dangkal dan pesisir yang terdiri
atas beragam habitat dan komunitas yang secara ekologis penting dipertahankan
keberadaannya.
Dalam kajian ini luasan satu unit budidaya rumput laut dengan
menggunakan metode rakit/long line 1000 m2/unit. setiap unit panjangnya 50
meter dan lebar 20 meter (10 tali/unit). Berdasarkan analisis pemanfaatan lokasi
67
yang optimal perairan teluk Waworada dari luas lokasi yang layak sebesar 19.300
ha. Menurut Soselisa (2006), apabila lokasi yang layak dimanfaatkan 80 % untuk
usaha budidaya laut maka pemanfaatannya 15.440 ha (80 %). Mengacu pada
luasan lahan yang efektif untuk pemanfaatan budidaya rumput laut sebesar 15.440
ha (80%), apabila rakit/long line 50 meter dan lebar 20 meter dengan banyaknya
tali 10 unit/1.000 m2, maka total jumlah unit yang dapat ditampung sebanyak
15.440 unit.
Pada umumnya sistem budidaya rumput laut yang selama ini dilakukan
oleh para petani di teluk Waworada Kabupaten Bima adalah metode tali rakit/long
line. Metode ini memiliki beberapa kelemahan yaitu pada saat terjadi arus,
gelombang dan angin kencang, tali-tali tersebut merapat dan bersentuhan sehingga
bisa terjadi thallus rumput laut menjadi rusak bahkan tali-tali tersebut putus. Hal
ini akan berpengaruh kepada produksi dan kandungan karaginan rumput laut.
Selain itu dengan bentangan long line yang terlalu panjang dan letaknya tidak
teratur maka akan menyulitkan untuk pengontrolan baik gangguan hama dan
binatang penempel lainnya maupun arus lalu lintas pada saat kegiatan penanaman
dan pemanenan rumput laut.
Strategi yang diperlukan dalam penataan kawasan adalah berupa
pembenahan keharmonisan antar ruang untuk berbagai kegiatan lainnya seperti
budidaya mutiara, kawasan pelabuhan perikanan dan alur lalu lintas kapal.
Diharapkan budidaya laut dengan menerapkan budidaya beberapa komoditas
secara sekaligus seperti pemeliharaan ikan dalam KJA (Karamba Jaring Apung),
pemeliharaan rumput laut dan kerang hijau/kima di sekitar karamba secara
proporsional yang sekaligus meningkatkan probabilitas usaha secara
berkelanjutan (Hanafi, et al. 2001) dalam (Radiarta, et al. 2005).
Dengan demikian untuk pengembangan budidaya rumput laut yang
berkelanjutan di teluk Waworada maka pemanfaatannya tidak lebih dari 30% dari
luas lokasi yang layak. Sedangkan 70% lagi dimanfaatkan untuk kepentingan
yang lain. Untuk budidaya rumput laut apabila pemanfaatannya 30 % dari lokasi
yang layak 15.440 ha maka luas lahan yang digunakan sebesar 4.632 ha. Menurut
Mubarak et al. (1990) dalam Radiarta, et al. (2005), pemanfaatan lahan untuk
pengembangan budidaya rumput laut tergantung dari metode yang digunakan.
68
Jika metode rakit/long line yang digunakan maka 1 ha lahan dapat dimanfaatkan
secara efektif untuk 20 unit usaha dengan menggunakan ukuran 2,5 x 5 m2.
Namun apabila metode lepas dasar yang digunakan maka 1 ha lahan dapat
dimanfaatkan secara efektif untuk 60 unit usaha dengan menggunakan ukuran 10
x 10 m2. Dengan demikian untuk luas lokasi pengembangan budidaya rumput laut
di teluk Waworada yang direkomendasikan sebesar 15.440 ha (80%), sehingga
jumlah rakit/long line berukuran 2,5 x 5 m2 yang dapat dioperasikan mencapai
92.640 unit dan 277.920 unit dengan rakit berukuran 10 x 10 m2 pada metode
lepas dasar.
Sedangkan untuk budidaya ikan dalam KJA, jika 1 unit karamba terdiri
atas 4 karamba dengan ukuran 2x2x2 m3 maka 1 ha lahan pengembangan
budidaya dapat dimanfaatkan sebanyak 60 unit karamba. Dengan memperhatikan
luasan lokasi budidaya rumput laut di teluk Waworada yang direkomendasikan
sebesar 15.440 ha (80%), apabila dimanfaatkan hanya 20% Hanafi et al, (2001)
dalam Radiarta, et al. (2005), maka luasan lahan budidaya sebesar 3.088 ha maka
jumlah karamba (KJA) dengan ukuran 2x2x2 yang dapat dioperasikan adalah
mencapai 185.280 unit. Kepadatan tebar ikan yang disarankan menurut
APEC/SEAFDEC (2001) dalam Radiarta, et al. (2005) adalah 5 – 20 ekor/m3.
Untuk budidaya kerang mutiara, jika pemanfaatannya 10 % dari lokasi
yang layak 15.440 ha maka luasan area yang dapat dimanfaatkan adalah seluas
1.544 ha. Metode yang digunakan adalah metode rakit /long line. Metode rakit
digunakan di lokasi yang cukup terlindung sedangkan lokasi yang agak terbuka
penggunaan metode long line lebih sesuai. Ukuran rakit yang biasa digunakan
adalah 6 x 5 m2.
Mengingat hasil penelitian ini bahwa lokasi yang tidak sesuai berada
dipinggir teluk. Maka lokasi tersebut direkomendasikan untuk hutan mangrove,
terumbu karang dan dibagian tengah merupakan lokasi penangkapan ikan.
Demikian juga disekitar lokasi pelabuhan / pelabuhan perikanan pantai tidak
diperuntukkan untuk lokasi budidaya rumput laut meskipun lokasi tersebut layak
untuk pengembangan budidaya rumput laut. kapal dan lain-lain akan menyebar
terbawa arus sampai ke lokasi budidaya tersebut.
69
5.5. Rekomendasi
Hasil penelitian tidak bisa diacu sepenuhnya untuk pengelompokan zonasi
budidaya rumput laut di teluk Waworada Kabupaten Bima karena masih banyak
kelemahan terutama sekali dalam pengambilan titik sampel. Penelitian ini hanya
menggunakan 10 (sepuluh) stasiun pengamatan dan 30 titik sampel pada
penelitian pendahuluan dan pada penelitian utama dengan 5 (lima) stasiun
pengamatan dan 15 titik sampel. Mengingat hasil perhitungan dengan
menggunakan GIS bahwa luasan teluk Waworada ± 20.135,24 ha, maka perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut dengan mengambil titik sampel yang lebih
banyak dan dilakukan pada tiap musim yang berbeda.
70
6.1. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
1. Kondisi lingkungan fisik, kimia dan biologi teluk Wawaroda cukup
mendukung (sesuai dengan baku mutu) bagi pertumbuhan rumput laut, kecuali
pada stasiun satu (St1) yang mempunyai nilai COD melebihi baku mutu.
2. Hasil analisis komponen utama (PCA) menunjukkan bahwa korelasi antara
variabel terpusat pada dua sumbu utama dengan akar ciri komponen utamanya
masing-masing 8.70 dan 2.36, yang memberikan kontribusi sebesar 62 persen,
dan 17 persen dengan ragam totalnya 79 persen.
3. Korelasi positif terjadi antara produksi biomas dengan DO, salinitas, suhu,
nitrat, fosfat, arus, kecerahan, kedalaman dan berkorelasi negatif terjadi antara
produksi biomas dengan pH, COD, Pb, dan hama. Sedangkan karaginan
berkorelasi positif dengan DO, pH, salinitas, suhu, nitrat, fosfat, Pb, arus,
kecerahan, kedalaman dan yang berkorelasi negatif antara karaginan dengan
COD, Pb dan hama.
4. Hasil pengukuran rata-rata produksi rumput laut dari hasil pengamatan pada
minggu ke-6 (42 hst) berkisar antara 3.260 – 4.880 kg/10 tali (32.600 – 48.800
kg/ha) dengan kandungan karaginan berkisar antara 19.13 – 30.05 persen.
Stasiun lima (St5) mempunyai kandungan karaginan tertinggi, diduga karena
stasiun tersebut memiliki intensitas cahaya yang cukup tinggi dan ruang gerak
arus yang cukup besar sehingga dapat mempercepat proses fotosintesa.
5. Pengelompokan zona pengembangan budidaya rumput laut terdiri dari dua
yaitu zona sangat sesuai yaitu di stasiun lima (St5) yang mengarah dekat
pantai dan zona sesuai yaitu meliputi seluruh stasiun pengamatan.
6. Hasil perhitungan dengan menggunakan GIS, dan setelah dioverlay beberapa
peta tematik, luas wilayah pesisir bagian utara teluk Waworada berdasarkan
kesesuaian lokasi untuk budidaya rumput laut sebesar 20.135,24 ha meliputi
12.26 ha (0.06%) tergolong sangat sesuai, 19.287,94 ha (95.79%)
dikategorikan sesuai, 835,04 ha (4.15%) tergolong tidak sesuai.
71
6.2. Saran
Penelitian ini merupakan simulasi, untuk mendapatkan hasil yang akurat
maka perlu diberikan saran sebagai berikut :
1. Untuk lebih akuratnya data kualitas perairan maka perlu dilakukan
penelitian lebih lanjut dengan frekwensi pengukuran lebih tinggi dan
sepanjang tahun, titik sampling lebih banyak dan cakupan daerah lebih luas
serta menggunakan alat yang lebih canggih.
2. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kandungan karaginan rumput laut pada
umur tiap minggu untuk melihat perubahan kandungan karaginan.
3. Perlu penelitian lebih lanjut tentang kelayakan lokasi untuk pengembangan
budidaya rumput laut dengan mengambil lebih banyak titik sampel untuk
memperoleh nilai yang akurat dan dilakukan dalam 3 – 4 musim tanam.
72
DAFTAR PUSTAKA
Aderhold, D. Williams, CJ. and Edyvean, GJ. 1996. The Removal of Heavy Metal
Ions by Seaweeds and Their Derivatives Bioresource Tecnology.
Science Limited Printed in Great Britain, pp. 1 – 6.
Anonymous, 2003. Rencana Tata Ruang Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil
Kabupaten Bima 2003 – 2013.
Archibold, O.W. 1995. Ecology of World Vegetation. Chapmann & Hall. New
York 510 p.
Atmadipoera, A.S., Purba, M., Nurjaya, W.I., Illahude, A.G. 1990. Suatu Studi
Tentang Topografi Dinamik di Perairan Selatan Jawa-Sumbawa pada
Bulan Maret-April 1990 hal. 1 – 14.
Badan Pusat Statistik, 2005. Bima Dalam Angka. Badan Pusat Statistik
Kabupaten Bima.
Bappeda Propinsi NTB, 2006. Draf Akhir Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)
Propinsi NTB 2006 – 2020. Pemerintah Daerah Propinsi Nusa
Tenggara Barat. Badan Perencana Pembangunan Daerah.
73
Biro Pusat Statistik, 2000. Ekspor Statistik Perdagangan Hasil Laut Negeri
Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Chen L.C. McLachlan J, Neish AC and Shocklock PE. 1973. The Rasio of Kappa
– to – Lamda – Carragenan in Nucleas Phases of the Rhodophyceae
Algae (Chondrus crispus and Gigartinales stellata). Journal Mar. Bio.
Ass. U.K. 53 : 11 – 16.
Chou, CL. Paon, LA. Moffatt, JD. Buzeta, MI. Fenton, D. and Ruther Ford, RJ.
2004. Distribution Contamination in Biota and Sediments in the
Musquash Estuary Atlantic Canada, Marine Protected Area Site
Initiative and Contaminant Exclusion Zona. Marine Pollution Bulletin
48 : 884 – 893.
Chua, TE. 1992. Coastal Aquaculture Development and the Environment. The
Role of Coastal Area Management. International Center for Living
Aquatic Resources Management M.C. P.O. Box 1501, Makati Metro
Manila, Philippines.
Chung, LK. and Y.H. Kang. 2004. Roles of Seaweed cultivation in sustainable
mariculture industri in China. Institut of Hydrology, Jinan University.
Guangzhou. http//www.cae.cu/forum/forum_posis. Jsp?
Clark, W.A.V. and Hosking, P.L. 1986. Statistical Methods for Geographers.
John Wiley & Sons, Inc. 513 pp.
Dahuri, R., J. Rais, S.P. Ginting, M.J Sitepu, 1997. Pengelolaan Sumberdaya
Wilayah Pesisir Secara Terpadu. Penerbit Pradnya Paramita Jakarta.
74
Dawes. CJ. 1981. Marine Botany. John Wiley Dawson University of South
Florida New York. 268 hal.
Dawson, E.Y. 1956. How to Know the Seaweed. W.MC. Brown Company
Publisher. Dubuque, Lowa 270 p.
De Castro, TR. and Guanzon, NG. 1993. Growth of Gracilaria sp. (Gracillariales,
Rhodophyta) in Brackiswater Ponds at Different Stocking Densities.
The Israel Journal of Aquaculture Bamidgeh 49 : 89 – 94.
Dinas Dehidros, 2002. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Pada Bulan Maret –
April 2002. Dinas Dehidros Jakarta.
Dinas Dehidros, 2003. Kondisi Pasang Surut Perairan Bima Pada Bulan Maret –
April 2003. Dinas Dehidros Jakarta.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima, 2003. Laporan Tahunan Dinas
Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bima.
Esri, 1990. Understending GIS the Arc/Info Method Enviroment All Sistem
Recearch Institute FAO Soil Bull : 1 (1) : 1 – 12
Effendie, H., 2000. Telaahan Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumberdaya dan
Lingkungan Perairan. Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB Bogor. 259 hal.
Fritz GJ. 1986. The Strukture and Reproduction of the Algae Vol. 2 VICAS
Puslishing House.
Guanzon, NG.Gr. and De Castro, TR. 1992. The Effect of Different Stocking
Densities and Some Abiotic Factors on Cage Culture of Gracillaria sp.
(Rhodophyta, Gigartinales). Botanica Marina 35 : 239 – 243
Halid, I., Siregar, P.V. dan Indya 2004. Analisis Spasial dan Temporal Daerah
Potensi Penangkapan Ikan di Perairan Selat Makasar Bagian Selatan.
Ritek vol. 4 No. 1 Hal. 27 – 39.
Harimi, W.S., Siregar, V.P., Jaya, I. dan Khafid 2004. Studi Pola Arus Permukaan
di Perairan Indonesia dengan Menggunakan Data Satelit Altimetri
TOPEX/POSEIDON. Maritek Vol.4 No.2 hal. 47 – 62.
Hellebust, JA. and Cragie, JS. 1978. Handbook of Phycological Methods. London
: Cambridge University Press.
Ismail, W. Wardoyo, SE. Dan Priono, B. 1998. Lokasi-lokasi Potensial bagi Panti
Benih Terapung Ikan Karang di Selatan Pulau Bintang dan Karimun
Jawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Volume IV No.4, Edisi
Akuakultur. BRKP-DKP Jakarta.
Ismail, W., Imanto, T.P., Priono, B., dan Praseno 2003. Pemilihan Lokasi Ideal
Bagi Penempatan KJA Reservat di Kepulauan Riau, Lombok dan
Sumbawa. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.4 hal. 1 –
16.
Jones, AB. Preston, NP. and Dennison WC. 2003. The Efficiency and Condition of
Oysters and Macroalgal Used as Biological Filters of Shrimp Pond
Effluent. Aquaculture 33 : 1 – 19.
Kadi A.dan Atmaja WS. 1988. Rumput Laut (Algae). Jenis, Reproduksi,
Produksi, Budidaya dan Pasca Panen. Proyek Studi Potensi Sumberdya
Alam Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi. LIPI
Jakarta. 71 hal.
Kaur, S. Walia, TPS. and Mahajan, 2008. Compative Studies of Zinc, Cadnium,
Lead, and Copper on Economically Viable Adsorbents. Journal
Environmment Eng. Sci. 7 : 83 – 90.
King, A.H., 1983. Brown Seaweed Extract (Alginat). in Glickman, M.(Ed.). Food
Hydrocolloids, Volume 11 CRC Press, Inc. Florida : 118 – 130.
Lee, TM. Chang, YC. Lin, YH. 1999. Differences in Physyiological Responses
between Winter and Summer (Gracilaria) Tenuistipitaa to Varying
Temperatur. Bot. Bull. Acad. Sin. 49 : 93 – 100.
77
Levina, HG. 1984. The Use the Seaweeds for Monitoring Control Water Alga as
Ecological Indicator, Academic Press London.
Lin, MN. 1974. Culture of Gracillaria. Fish Research Institute. Keelung Taipei.
p 1-8.
Matos, JS. Costa, A. Rodrigues, Pereira, R. and Pinto, IS. 2006. Experimental
integrated aquaculture of fish and red seaweed in Northern Portugal.
. Aquaculture (252): 3 1 -42.
Monte, LP. Brook, BW. Manuel, J. Rezon, Z. and Escalona, VHC. 2004. The
Carryng Capacity of Ecosystem. Global Ecology and Biogeography 13
: 485 – 495.
Msuya, FE. And Neori, AM. 2002. Ulva Reticulata and Gracilaria Crassa
Macroalgae that Can Biofilter Effluent from Tidal Fishponds in
Tanzania. Western Indian Ocean J. Mar. Sci 1 (2) : 117 – 126.
Neori, A. Krom, MD. Ellner, SP. Boyd, CE. Popper, D. Rabinovitch, R. Davison,
PJ. Orit, D. Zuber, D. Ucko, M. Angel, D. and Gordin, H. 1996.
Seaweed Biofilters as Regulators of water Quality in Integrated Fish,
Seaweed Culture Units. Aquaculture 141 : 183 199
Neori, A. Ragg, LC. and Shpigel, M. 1998. The Integrated Culture of Seaweed,
Abalone, Fish, and Clems in Modular Intensive Land-Based System :
II. Performance and Nitrogen Partitioning Within an Abalone
(Haliotis tuberculata) and Macroalgae Culture Syastem. Aquacultural
Engineering 17 : 215 – 239.
Neori, A. Shpigel, and Ezra, DB. 2000. A Sustainable Integrated System for
Culture of Fish, Seaweed and Abalone. Aquaculture 186 : 279-291.
Odum, E.P, 1989. Ecology and Our Endagered Life Support Systems. Sinaeur
Associates, Inc., Publ. Sunderland Massachusetts.
PKSPL dan Enesar, 2007. Penempatan Tailing di Dasar Laut dalam Laporan
Pemantauan Lingkungan. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Institut Pertanian Bogor dan Enesar Consulting Pty Ltd Australia.
Penerbit PT. Newmont Nusa Tenggara. Mataram 1 – 54 hal.
Radiarta, N. Adang Saputra, dan Ofri Johan, 2005. Penentuan Kelayakan Lahan
untuk Mengembangkan Usaha Budidaya Laut dengan Aplikasi
Inderaja dan Sistem Informasi Geografis di Perairan Lemito Propinsi
Gorontalo. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. 11 No.1 : 1 –
14.
Radiarta, N. Prihadi, TH. Saputra, A. Haryadi, J. Dan Ofri Johan, 2007. Penentuan
Lokasi Budidaya Rumput Laut (Eucheuma, spp.) Berdasarkan
Parameter Lingkungan di Perairan Kecamatan Moro Propinsi
Kepualauan Riau. Jurnal Riset Akuakultur Vol.2 No.3 : 319 – 328.
Rahayu, S. 1991. Penelitian Kadar Oksigen Terlarut (DO) dalam Air Bagi
Kehidupan Ikan. BPPTP No. XLV/91 Jakarta. 91 – 101 hal.
Rodríguez, SI. Huerta Diaz, MA.. Choumiline, Guinozes, HO. and Gonjalez JA.,
2002. Elemental Concentrations in Different Species of Seaweeds
from Loreto Bay, Baja California Sur, Mexico. Implication for the
Geochemical Control of Metal in Alga Tissue. Environmental
Pollution 114 : 145 – 160.
Rorrer, GL. Mullikin, RK. Huang, B. Gerwick, WH. Maliakel, S. Cheney, DP.
1998. Production of Bioactive Metabolites by Cell and Tissue Cultures
of Marine Macroalga in Bioreactor System. In FU.T.J. Singh, G.
Curtis (Eds). Plant Cell and Tissue Cultural for the Production of
Food Ingredients, Cluwer Academic/Plenum Publishing New York pp.
165 – 184.
Rorrer, GL. 2000. Cell and Tissue Cultures of Marine Seaweeds. In Spier, R.E.
(Ed.) Encyclopedia of Cell Technology Willey, pp. 1105 – 1116.
Rorrer, GL. and Cheney, DP. 2004. Bioprocess Enginering of Cell and Tissue
Cultures for Marine Seaweeds. Aquacultural Engeneering 32 : 11 – 41.
Ross, LG. Mendoza EAQM, and Beveridge MCM, 1993. The Application of
Geographical Informasi System to Site Selection for Coastal
Aquaculture : an Example Based on Salmonid Cage Culture
Aquaculture, 112 : 165 – 178.
Suwirma, S. Surtipanti, S. dan Yatim (1981). Studi Kandungan Logam Berat Hg,
Pb, Cd, dan Cr dalam Beberapa Jenis Hasil Laut Segar. Majalah Batan
14 (1) : 2 – 8.
Tabachnick, B.G. dan L.S. Fidell., 1996. Using Multivariate Statistic. Third
Sdition Harpercollius College Publishers New York. P : 635 – 707.
Trono, G.C. and Fortes. 1988. Philippina Seaweed. National Book Store, Inc
Metro. Manila 330 p.
Turner, G.E., 1988. Codes of practice and manual of procedures for consideration
on introductions and transfer of marine and freshwater organisms,
EIFAC/CECPI, Occasional Paper No.23, 44pp.
UNEP, 1993. Training Manual on Assessment of the Quantity and Type of Land-
Based Pollutant Discharges Into the Marine and Coastal Environment.
RCU/EAS Technical Reports Series No.1. Bangkok, 65p.
Utojo, Mansyur, A., Pirjan, AM., Mulia, T., dan Pantjara, B. 2004. Identifikasi
Kelayakan Lokasi Lahan Budidaya Laut di Perairan Teluk Saleh
Kabupaten Dompu Nusa Tenggara Barat. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol.10 No.5 hal. 1 – 18.
Wang, WL. dan Chiang, YM. 1994. Potential Economic Seaweed of Hengchun
Peninsula Taiwan. Economic Botany 48 (2) : 182 – 189.
Wright, P. and Mason, CP. 1999. Spacial and Seasonal Variation in Heavy Metal
in the Sediments and Biota of Two Adjacent Estuaries, the Orwell and
the Stour. In Eastern England. The Science of the Total Environment
226 : 139 – 156.
Lampiran 1. Data Parameter Fisika dan Kimia Hasil Pengukuran Penelitian Pendahuluan di Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima
Stasiun Sampel Suhu pH Salinitas Kedalaman Kecerahan Arus Stasiun Sampel Suhu pH Salinitas Kedalaman Kecerahan Arus
(°C) (ppt) (m) (m) (m/dtk) (°C) (ppt) (m) (m) (m/dtk)
1 29 7 32 2 1 0.15 1 29 7 32 20 7 0.15
2 30 9 33 3 1 0.20 2 30 9 33 21 7 0.20
I 3 30 8 33 5 2 0.20 VI 3 30 8 33 23 7 0.20
SUM 89 24.00 98 10.00 4.00 0.55 SUM 89 24 98 64.00 21.00 0.55
RATA2 29.67 8.00 32.67 3.33 1.33 0.18 RATA2 29.67 8.00 32.67 21.33 7.00 0.18
STDEV 0.58 1.00 0.58 1.53 0.58 0.03 STDEV 0.58 1.00 0.58 1.53 0.00 0.03
1 30 9 33 3 2 0.21 1 30 9 33 20 7 0.21
2 31 8 35 5 2 0.20 2 30 8 34 18 7 0.20
II 3 31 9 34 6 4 0.20 VII 3 31 9 34 24 7 0.20
SUM 92 26.00 102 14.00 8.00 0.61 SUM 91 26.00 101 62.00 21.00 0.61
RATA2 30.67 8.67 34.00 4.67 2.67 0.20 RATA2 30.33 8.67 33.67 20.67 7.00 0.20
STDEV 0.58 0.58 1.00 1.53 1.15 0.01 STDEV 0.58 0.58 0.58 3.06 0.00 0.01
1 30 9 34 4 3 0.35 1 29 9 34 3 3 0.34
2 31 9 35 6 4 0.34 2 30 9 35 5 4 0.34
III 3 32 8 35 6 4 0.35 VIII 3 31 8 35 4 4 0.36
SUM 93 26.00 104 16.00 11.00 1.04 SUM 90 26.00 104 12.00 11.00 1.04
RATA2 31 8.67 34.67 5.33 3.67 0.35 RATA2 30 8.67 34.67 4.00 3.67 0.35
STDEV 1.00 0.58 0.58 1.15 0.58 0.01 STDEV 1.00 0.58 0.58 1.00 0.58 0.01
1 29 8 34 7 5 0.35 1 30 8 34 6 6 0.34
2 30 9 35 10 5 0.34 2 31 9 36 5 5 0.35
IV 3 30 8 35 12 6 0.33 IX 3 30 8 35 4 4 0.35
SUM 89 25.00 104 29.00 16.00 1.02 SUM 91 25.00 105 15.00 15.00 1.04
RATA2 29.67 8.33 34.67 9.67 5.33 0.34 RATA2 30.33 8.33 35.00 5.00 5.00 0.35
STDEV 0.58 0.58 0.58 2.52 0.58 0.01 STDEV 0.58 0.58 1.00 1.00 1.00 0.01
1 30 8 34 12 6 0.35 1 29 9 34 12 7 0.34
2 31 9 34 13 5 0.34 2 29 9 35 7 6 0.35
V 3 31 8 35 15 6 0.33 X 3 30 8 35 5 7 0.35
SUM 92 25.00 103 40.00 17.00 1.02 SUM 88 26.00 104 24.00 20.00 1.04
RATA2 30.67 8.33 34.33 13.33 5.67 0.34 RATA2 29.33 8.67 34.67 8.00 6.67 0.35
STDEV 0.58 0.58 0.58 1.53 0.58 0.01 STDEV 0.58 0.58 0.58 3.61 0.58 0.01
STASIUN Sampel DO pH Salinitas Suhu Nitrat Fosfat COD Pb Arus Kecerahan Kedalaman Hama
(mg/l) (‰) (ºC) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (mg/l) (m/dtk) (m) (m) (Ekor)
1 5.50 9.00 32.00 28.00 0.003 0.031 91.61 0.007 0.12 1.00 2.00 10.00
2 5.80 9.00 33.00 31.00 0.001 0.029 90.61 0.007 0.13 2.00 3.00 13.00
I 3 5.90 8.00 32.00 32.00 0.002 0.014 91.30 0.006 0.12 2.00 5.00 9.00
SUM 17.20 26.00 97.00 91.00 0.006 0.074 273.52 0.020 0.37 5.00 10.00 32.00
RATA2 5.73 8.67 32.33 30.33 0.002 0.02 91.17 0.007 0.12 1.67 3.33 10.67
STDEV 0.208 0.577 0.577 2.082 0.001 0.009 0.512 0.001 0.006 0.577 1.528 2.08
1 6.50 8.00 33.00 28.00 0.026 0.046 55.29 0.005 0.13 1.00 3.00 8.00
2 6.40 7.00 34.00 31.00 0.025 0.016 55.32 0.005 0.14 3.00 5.00 9.00
II 3 6.40 8.00 34.00 32.00 0.023 0.013 55.49 0.006 0.16 3.00 6.00 9.00
SUM 19.30 23.00 101.00 91.00 0.07 0.08 166.10 0.016 0.43 7.00 14.00 26.00
RATA2 6.43 7.67 33.67 30.33 0.02 0.03 55.37 0.005 0.14 2.33 4.67 8.67
STDEV 0.058 0.577 0.577 2.082 0.002 0.018 0.108 0.001 0.015 1.155 1.528 0.577
1 6.10 8.00 34.00 28.00 0.080 0.016 53.22 0.009 0.16 3.00 4.00 7.00
2 6.30 7.00 35.00 31.00 0.079 0.014 53.36 0.008 0.15 5.00 6.00 7.00
III 3 6.30 7.00 35.00 33.00 0.080 0.013 53.37 0.008 0.17 5.00 6.00 7.00
SUM 18.70 22.00 104.00 92.00 0.24 0.04 159.95 0.025 0.48 13.00 16.00 21.00
RATA2 6.23 7.33 34.67 30.67 0.08 0.01 53.32 0.008 0.16 4.33 5.33 7.00
STDEV 0.115 0.577 0.577 2.517 0.001 0.002 0.084 0.001 0.010 1.155 1.155 0.000
1 6.50 8.00 35.00 28.00 0.026 0.072 53.22 0.004 0.21 5.00 7.00 9.00
2 6.40 8.00 34.00 32.00 0.024 0.070 53.40 0.005 0.23 5.00 10.00 5.00
IV 3 6.50 7.00 35.00 33.00 0.024 0.068 53.46 0.004 0.23 6.00 12.00 5.00
SUM 19.40 23.00 104.00 93.00 0.074 0.210 160.08 0.013 0.67 16.00 29.00 19.00
RATA2 6.45 8.00 34.50 30.00 0.025 0.071 53.31 0.005 0.22 5.00 8.50 7.00
STDEV 0.058 0.577 0.577 2.646 0.001 0.002 0.125 0.001 0.012 0.577 2.517 2.309
1 6.50 9.00 36.00 28.00 0.135 0.015 49.18 0.007 0.32 6.00 12.00 3.00
2 6.40 8.00 35.00 32.00 0.193 0.013 49.31 0.007 0.31 6.00 13.00 9.00
V 3 6.40 8.00 35.00 33.00 0.132 0.011 49.42 0.006 0.32 5.00 15.00 6.00
SUM 19.30 25 106.00 93.00 0.460 0.039 147.91 0.020 0.95 17.00 40.00 18.00
RATA2 6.43 8.33 35.33 31.00 0.153 0.013 49.30 0.007 0.32 5.67 13.33 6.00
STDEV 0.058 0.577 0.577 2.646 0.034 0.002 0.120 0.001 0.006 0.577 1.528 3.000
Sumber : Data Hasil Pengukuran Parameter Fisika, Kimia dan Biologi Perairan Teluk Waworada Kabupaten Bima pada Bulan Maret - April Tahun 2007
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Parameter Biologi (Hama Pengganggu) Pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Teluk Waworada Kabupaten Bima
1 0 0 0 0 0 0 10 10
2 0 0 4 0 0 0 9 13
I 3 0 0 0 0 0 0 9 9
SUM 0 0 4 0 0 0 28 32
RATA2 0 0 1.33 0 0 0 9.33 10.7
STDEV 0 0 2.31 0.00 0.00 0.00 0.58 2.89
1 0 0 0 0 1 0 7 8
2 0 0 0 1 1 0 7 9
II 3 0 0 0 0 0 0 9 9
SUM 0 0 0 1 2 0 23 26
RATA2 0 0 0 0.33 0.67 0 7.67 8.67
STDEV 0 0 0.00 0.58 0.58 0.00 1.15 2.31
1 0 0 1 0 1 0 5 7
2 0 0 0 1 0 0 6 7
III 3 0 0 0 0 0 0 7 7
SUM 0 0 1 1 1 0 18 21
RATA2 0 0 0.33 0.33 0.33 0 6 7
STDEV 0 0 0.58 0.58 0.58 0.00 1.00 2.73
1 0 0 0 2 1 0 6 9
2 0 0 0 0 0 0 5 5
IV 3 0 0 0 0 0 0 5 5
SUM 0 0 0 2 1 0 16 19
RATA2 0 0 0 0.67 0.33 0 5.33 6.33
STDEV 0 0 0.00 1.15 0.58 0.00 0.58 2.31
1 0 0 0 0 0 0 3 3
2 0 0 2 0 2 0 5 9
V 3 0 0 1 0 0 0 5 6
SUM 0 0 3 0 2 0 13 18
RATA2 0 0 1 0 0.67 0 4.33 6.0
STDEV 0 0 1.00 0.00 1.15 0.00 1.15 3.31
Sampel Berat Bibit Produksi Produksi Produksi Produksi (1.000 M2) Produktivitas
(Kg/16.500 rmp/50
Lokasi Petani (Gr/rmpun) (Gr/rmpun) (Kg/rmp) (kg/330 rmp/tali) tali) (Kg/ha)
1 2 3 5 6 7 8 9
Desa Tanjung Mas 1 30 300 0.300 99 4,950.00 49,500.00
Kec. Monta 2 40 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00
3 30 500 0.500 165 8,250.00 82,500.00
4 40 400 0.400 132 6,600.00 66,000.00
5 30 600 0.600 198 9,900.00 99,000.00
Jumlah 170 2400 2.4 792 39,600.00 396,000.00
Rata-rata 34.00 480.00 0.48 158.40 7,920.00 79,200.00
STDEV 5.477 130.384 0.130 43.027 2,151.34 21,513.37