Professional Documents
Culture Documents
Sistem Repiratorius adalah satu sistem dari proses pernafasan dimana terjadinya pertukaran
gas (O2 dan CO2) pada tubuh ada 2 sistem. Dalam sistem respirasi terjadi proses sbb:
Mulai waktu menarik nafas (inspirasi) → udara yang masuk hidung membawa O2 ditarik ke
dalam saluran nafas intuk diteruskan ke paru-paru dan waktu mengelurakan nafas (ekspirasi)
udara yang membawa CO2 didorong keluar dari paru-paru.
Skematis Anatomi dalam proses respirasi adalah sbb:
1. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui kedua nares anterior → vestibulum nasi → cavum
nasi → yang dibatasi oleh septum nasi.
2. Udara keluar dari cavum nasi → nares posterior = choanae → masuk ke nasophaarybx
3. Masuk ke laryngopharynx (epiglotis membuka aditus laryngis/ pintu larynx) → daerah
larynx → trachea.
4. Masuk bronchus primer → bronchus sekunder → bronchiolus segmentalis (tersier) →
brochiulus terminalis → melalui brochiulus respiratorius → masuk organ paru → ductus
alveolaris → alveoli
5. Pada alveoli terjadi difusi pertukaran CO2 (yang dibawa a.pulmonalis) keluar paru dan O2
masuk ke dalam vena pulmonalis.
6. Masuk atrium sinistra → ventrikel sinistra → dipompakan melalui aorta ascendens → masuk
sirkulasi sistemik → oksigen (O2) didistribusikan
Anatomi Hidung
Organ hidung merupakan organ yang pertama berfungsi dalam saluran napas. Terbentuk oleh
tulang (os nasal), tulang rawan (cartilago) dan otot.
Pada sudut mata medial terdapat hubungan hidung dan mata melalui "ductus nasolacrimalis"
tempat keluarnya air mata ke hidung melalui meatus inferior. Pada nasopharynx terdapat
hubungan antara hidung dengan rongga telinga melalui O.P.T.A. (Osteum Pharyngeum Tuba
Auditiva) yang dikenal dengan Eustachii.
Dalam ilmu THT pemeriksaan hidung ada 2 cara sbb:
1. Rhinoscopy anterior (langsumg meilhat cavum nasi bagian depan serta isinya dengan Head
Lamp)
2. Rhinoscopy posterior (melihat bagian belakang cavum nasi dan oropharynx dengan pakai
kaca pembesar)
Pada tulang neurocranium dan splachnocranium terdapat rongga-rongga yang disebut dengan
sinus. Sinus-sinus berhubungan dengan cavum nasi dikenal dengan Sinus-sinus Paranasalis,
antara lain:
1. Sinus sphenodalis, mergeluarkan sekresinya melalu meatus superior
2. Sinus frontalis, ke meatus media
3. Sinus maxillaris ke meatus media
4. Sinus ethmoidalis ke meatus superior dan media
Bila terdapat infeksi pada sinus dinamakan dengan: sinusitis yang sering terjadi pada komplikasi
penderita infeksi rongga hidung dan sakit gigi (rhinitis chronis) yaitu sinus maxilaris.
Persarafan hidung
Persarafan sensorik dan sekremotorik hidung: bagian depan dan atas cavum nasi mendapat
persarafan sensorik dari cabang nervus opthalmicus, bagian lainnya termasuk mucusa hidung
dipersarafi oleh “gangglion sfenopalatinum”.
Daerah nasopharynx dan concha nasalis mendapat persarafan sensorik dari cabang “gangglion
pterygopalatinum”. Serabut-serabut nervus olfactoris (keluar dari cavum cranii melalui lamina
cribosa ethmoidalis) bukan untuk mensarafi hidung tapi untuk fungsional penciuman.
Vaskularisasi hidung
Pembuluh darah, berasal dari Arteri carotis externa dan interna (A. carotis eksterna & interna).
A. carotis eksterna mensuplai darah ke hidung lewat A. maksilaris interna dan A. fasialis.
Cabang terminal A. fasialis yaitu A. labialis superior, mensuplai darah ke dasar hidung dan
septum bagian anterior. Sedangkan A. maksilaris interna akan masuk fossa pterigomaksilaris dan
kemudian membentuk 6 percabangan arteri, yaitu: posterior superior alveolar, descending
palatine, infraorbital, sphenopalatine, pterygoid canal, dan pharyngeal. A.descending palatine
berjalan ke bawah melalui kanalis palatina mayor dan mensuplai darah ke dinding lateral hidung,
serta juga septum hidung bagian anterior lewat percabangan ke foramen incisivus. Adapun A.
sfenopalatin masuk hidung dekat area perlekatan posterior konka media untuk kemudian
mensuplai dinding lateral hidung, dan juga memberikan percabangannya ke septum hidung
anterior. Arteri carotis interna memberikan kontribusi pada sistem vaskularisasi hidung, terutama
lewat cabangnya, A. ophtalmicus. (Megantara, Imam. 2008)
Pharynx adalah bagian dari traktus digestivus dan traktus respiratorius yang terletak
dibelakang cavum nasi, cavum oris, dan di belakang larynx. Merupakan saluran
musculomembranosus yang berbentuk kerucut dengan basis diatas dan apex dibawah. Pharynx
membentang dari basis cranii (tuberculum pharyngeum) sampai setinggi cartilgo cricoid di
bagian depan dan setinggi VC 6 di bagian belakang.
Pharynx mempunyai panjang sekitar 12,5 cm, diameter transversal dari lumen pharynx lebih
besar daripada diameter antero-posterior lumen pharynx. Batas-batas dan hubungan pharynx :
Cranial : corpus os sphenoidalos dan pars basilaris os occipitalis.
Caudal : lanjut ke esophagus
Ventral : choanae menghubungkan ke cavum nasi, isthmus faucium menghubungkan dengan
cavum oris, dan aditus laryngis menghubungkan dengan larynx.
Dorsal : fascia prevertebralis dan jaringan ikat longgar areolar dengan bagian cervical dari
clumna vertebralis.
Lateral : processus styloideus, a. carotis comunis dan interna, vena jugularis interna, nervus
glossopharyngeal, vagus, dan hypoglossal, dan trunkus simpatikus, dan di atas dengan
bagian-bagian kecil dari Pterygoidei interni.
Anatomi Larnyx
Daerah dimulai dari aditus laryngis sampai batas bawah cartilagp cricoid. Larynx merupakan
bagian terbawah dari saluran nafas bagian atas menyerupai limas “cavum laryngis”, bagian atas
adalah “aditus laryngis” (pintu) lebih besar dari bagian bawah yaitu cartilago cricoid yang
berbentuk lingkaran.
Rangka dibentuk oleh:
1. Tulang, yakni os.hyoid (1 buah), yang:
a. dapat diraba di daerah batas atas leher dengan batas bawah dagu
b. terbentuk dari jaringan tulang, seperti besi telapak kuda
c. berfungsi tempat perlekatan otot mulut dan cartilago thryroid
2. Tulang rawan
1. Cartilago thyroid (1 buah)
Terletak di bagian depan dan dapat diraba tonjolan yang dikenal dengan “prominen’s
laryngis” atau “jakun”, lebih jelas pada laki-laki.
Melekat ke atas dengan os hyoid dan ke bawah dengan cartilago cricoid, ke belakang
dengan arytenoid
Jaringan ikat nya “membrana thyrohyoid”
Mempunyai cornu superior dan inferior
Perdarahan dari a.thyroidea superior dan inferior
2. Cartilago arytenoid (2 buah)
Terletak posterior dari lamina cartilago thyroid dan di atas dari cartilago cricoid
Mempunyai bentuk seperti burung penguin
Bagian ujung (apex) terdapat tulang rawan kecil cartilago cornuculuta dan cuneiforme
(sepasang)
Kedua arytenoid dihubungkan oleh m.arytenoideus tranversus
3. Epiglotis (1 buah)
Tulang rawan berbentuk sendok
Melekat di antara kedua cartilago arytenoid
Berfungsi membuka dan menutup aditus laryngis
Berhubungan dengan cartilago arytenoid melalu m.aryepiglotica
Pada waktu biasa epiglotis terbuka, tetapi pada waktu menelan epiglotis menutup
aditus laryngis supaya makanan tidak masuk ke larynx
Cartilago criocoid
Batas bawah cartilago thyroid (daerah larynx)
Berhubungan dengan thyroid debgan ligamentum cricothyroid dan m,cricothyroid medial
lateral
Batas bawah adalah cinci pertama trachea
Berhubungan dengan cartilago arytenoid dengan otot m.cricoarytenoideus posterior dan
lateralis
Anatomi Larynx
Otot-otot larnyx
Otot external larynx yang membantu pergerakan larynx adalah:
Otot-otot suprahyoid → menarik larynx ke bawa (m.digastricus, m.geniohyoideus, dan
m.mylohyoideus)
Otot-otot infrahyoid → menarik larynx ke atas (m.sternohyodeus, m.omohyoideus,
m.thyrohyodeus)
Otot internal larynx:
M.crycoarytenoideus posterior dikenal debagai “safety of muscle larynx”, berfungsi untuk
membuka kedua pita suara, kalau ada gangguan pada fungsi otot tsb dapat menyebabkan
orang bisa tercekik dan bisa mati, karena rima glotis tertutup, misal trauma pada nervus
vagus yang mensyarafi otot-otot larynx.
M.crycoarytenoideus lateralis untuk menutup rima glotis.
M.arytenoideus transversus dan arytenoideus obliq
M.vocalis
M.aryepiglotica
Persarafan daerah larynx
Berasal dari serabut-serabut nervus cranialis ke 10 (vn.vagus) dengan cabang-cabang ke larynx
sebagai n.laryngis superior dan n.reccurent (n.laryngis inferior).
1.2 Mikroskopik
Sistem pernapasan merupakan sistem yang berfungsi untuk mengabsorbsi oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida dalam tubuh yang bertujuan untuk mempertahankan homeostasis.
Fungsi ini disebut sebagai respirasi. Sistem pernapasan dimulai dari rongga hidung/mulut hingga
ke alveolus, di mana pada alveolus terjadi pertukaran oksigen dan karbondioksida dengan
pembuluh darah.
Sebagian besar bagian konduksi dilapisi epitel respirasi, yaitu epitel bertingkat silindris
bersilia dengan sel goblet. Dengan menggunakan mikroskop elektron dapat dilihat ada 5
macam sel epitel respirasi yaitu sel silindris bersilia, sel goblet mukosa, sel sikat (brush cells), sel
basal, dan sel granul kecil.
Rongga hidung
Rongga hidung terdiri atas vestibulum dan fosa nasalis. Pada vestibulum di sekitar nares
terdapat kelenjar sebasea dan vibrisa (bulu hidung). Epitel di dalam vestibulum merupakan epitel
respirasi sebelum memasuki fosa nasalis. Pada fosa nasalis (cavum nasi) yang dibagi dua oleh
septum nasi pada garis medial, terdapat konka (superior, media, inferior) pada masing-masing
dinding lateralnya. Konka media dan inferior ditutupi oleh epitel respirasi, sedangkan konka
superior ditutupi oleh epitel olfaktorius yang khusus untuk fungsi menghidu/membaui. Epitel
olfaktorius tersebut terdiri atas sel penyokong/sel sustentakuler, sel olfaktorius (neuron bipolar
dengan dendrit yang melebar di permukaan epitel olfaktorius dan bersilia, berfungsi sebagai
reseptor dan memiliki akson yang bersinaps dengan neuron olfaktorius otak), sel basal
(berbentuk piramid) dan kelenjar Bowman pada lamina propria. Kelenjar Bowman
menghasilkan sekret yang membersihkan silia sel olfaktorius sehingga memudahkan akses
neuron untuk membaui zat-zat. Adanya vibrisa, konka dan vaskularisasi yang khas pada rongga
hidung membuat setiap udara yang masuk mengalami pembersihan, pelembapan dan
penghangatan sebelum masuk lebih jauh.
Sinus paranasalis
Terdiri atas sinus frontalis, sinus maksilaris, sinus ethmoidales dan sinus sphenoid, semuanya
berhubungan langsung dengan rongga hidung. Sinus-sinus tersebut dilapisi oleh epitel respirasi
yang lebih tipis dan mengandung sel goblet yang lebih sedikit serta lamina propria yang
mengandung sedikit kelenjar kecil penghasil mukus yang menyatu dengan periosteum.
Aktivitas silia mendorong mukus ke rongga hidung.
Faring
Nasofaring dilapisi oleh epitel respirasi pada bagian yang berkontak dengan palatum mole,
sedangkan orofaring dilapisi epitel tipe skuamosa/gepeng.
Laring
Laring merupakan bagian yang menghubungkan faring dengan trakea. Pada lamina propria
laring terdapat tulang rawan hialin dan elastin yang berfungsi sebagai katup yang mencegah
masuknya makanan dan sebagai alat penghasil suara pada fungsi fonasi. Epiglotis merupakan
juluran dari tepian laring, meluas ke faring dan memiliki permukaan lingual dan laringeal.
Bagian lingual dan apikal epiglotis ditutupi oleh epitel gepeng berlapis, sedangkan permukaan
laringeal ditutupi oleh epitel respirasi bertingkat bersilindris bersilia. Di bawah epitel terdapat
kelenjar campuran mukosa dan serosa.
Di bawah epiglotis, mukosanya membentuk dua lipatan yang meluas ke dalam lumen laring:
pasangan lipatan atas membentuk pita suara palsu (plika vestibularis) yang terdiri dari epitel
respirasi dan kelenjar serosa, serta di lipatan bawah membentuk pita suara sejati yang terdiri
dari epitel berlapis gepeng, ligamentum vokalis (serat elastin) dan muskulus vokalis (otot
rangka). Otot muskulus vokalis akan membantu terbentuknya suara dengan frekuensi yang
berbeda-beda.
Epiglottis
Fungsi chonca :
Meningkatkan luas permukaan epitel respirasi
Turbulensi udara dimana udara lebih banyak kontak dengan permukaan mukosa
RESPIRASI merupakan dua proses terintegrasi : internal dan eksternal respirasi.
Eksternal respirasi, merupakan proses yang mencangkup pertukaran O2 dan CO2 pada cairan
intestinal tubuh dengan lingkungan luar. Tujuan dari eksternal respirasi dan fungsi primer dari
system respirasi adalah memenuhi kebutuhan respirasi sel. Respirasi internal merupakan proses
absorpsi O2 dan pelepasan CO2 oleh sel tersebut. Yang diatur oleh mitokondria pada sel.
(sellular respirasi).
1. Ventilasi pulmonal atau bernafas, dimana secara fisih udara keluar-masuk paru.
2. Diffusi gas , proses pernafasan membrane antara ruang alveolar dengan kapiler
alveolar, dan dinding kapiler antara sel darah dengan jaringan lainya.
3. Perfusi : pengangkutan O2 dan CO2 oleh sistem pembuluh darah dari paru ke
jaringan,sebaliknya
4. Transport O2 dan CO2 antara kapiler alveolar dan ruang kapiler dalam jaringan.
Kelainan pada salah satu tahap respirasi eksternal dapat mempengaruhi kadar gas cairan
intestinal dan juga aktivitas sel. Contohnya Hipoksia (kurangnya level oksigen pada tingkat sel)
yang mempengaruhi aktivitas sel sekitarnya. Jika suplai oksigen benar-benar terhalang ( anoxia).
Dapat mengakibatkan mati.
Ventilasi pulmonal, merupakan proses pergerakan aliran udara keluar masuk saluran
pernafasan. Yang tujuan utamanya mengatur kecukupan pergerakan ventikular alveolar udara
keluar-masuk aveoli.
Pada saat mulai bernafas, tekanan dalam dan luar cavum toraks adalah sama, (tidak ada
pergerakan udara keluar-masuk paru).
Pada saat cavum toraks membesar, paru melebar untuk mengisi udara tambahan, yang
menjadikan peningkatan volume dan penurunan tekanan di dalam paru.
Aliran udara masuk kedalam paru pada saat tersebut, dikarenakan tekanan di dalam paru lebbih
kecil daripada tekanan luar paru.
Udara terus masuk kedalam paru sampai volume berhenti meningkat dan pekanan internalsama
dengan tekanan eksternal.
Ketika volum cavum toraks menurun, tekanan dalam paru akan meningkat, dan udara terhembus
keluar system pernafasan.
Mekanisme pernapasan berdasarkan antomi
Pada waktu inspirasi udara masuk melalui kedua nares anterior → vestibulum nasi →cavum nasi
lalu udara akan keluar dari cavum nasi menuju → nares posterior (choanae) → masuk ke
nasopharynx,masuk ke oropharynx (epiglottis membuka aditus laryngis) → daerah larynx →
trakea.masuk ke bronchus primer → bronchus sekunder → bronchiolus segmentalis (tersier) →
bronchiolus terminalis → melalui bronchiolus respiratorius → masuk ke organ paru → ductus
alveolaris → alveoli.pada saat di alveoli terjadi pertukaran CO2 (yang dibawa A.pulmonalis)lalu
keluar paru dan O2 masuk kedalam vena pulmonalis.lalu masuk ke atrium sinistra → ventrikel
sinistra → dipompakan melalui aorta ascendens → masuk sirkulasi sistemik → oksigen (O2) di
distribusikan keseluruh sel dan jaringan seluruh tubuh melalui respirasi internal,selanjutnya CO2
kembali ke jantung kanan melalui kapiler / vena → dipompakan ke paru dan dengan ekspirasi
CO2 keluar bebas.
Lamina propria dibawah dari epitel ini banyak mengandung pembuluh darah yang berguna
untuk menghangatkan udara masuk serta dibantu dengan silia yang membersihkan udara dari
partikel asing dan kelenjar serosa dan mukosa yang melembabkan udara masuk.Kombinasi hal
ini memungkinkan tubuh untuk mendapatkan udara lembab, hangat serta bersih.
Selain itu, epitel respiratorius dilapisi oleh 5-10 μm lapisan mukus gelatinosa (fase gel) yang
mengambang pada suatu lapisan cair yang sedikit lebih tipis (fase sol).Lapisan gel/mukus dan
cair/sol mengandung mekanisme pertahanan imunitas humoral dan seluler.
1. Lapisan gel terdiri atas albumin, glikoprotein, IgG, IgM, dan faktor komplemen.
2. Lapisan cair terdiri atas sekresi serosa, laktoferin, lisozim, inhibitor sekresi
leukoprotease, dan sekretorik IgA.
Silia pada sel-sel epitel berdenyut secara sinkron, sehingga ujungnya dijumpai pada fase gel
dan menyebabkannya bergerak ke arah mulut, membawa partikel dan debris seluler bersamanya
(transpor mukosilier atau bersihan).Banyak faktor dapat mengganggu mekanisme tersebut,
termasuk peningkatan viskositas atau ketebalan mukus, membuatnya lebih sulit untuk bergerak
(misalnya peradangan, asma), perubahan pada fase sol yang menghambat gerakan silia atau
mencegah perlekatan pada fase gel dan gangguan aktivitas silia (diskinesia silia).Transpor
mukosilier ini menurun performanya akibat merokok, polutan, anestetik, dan infeksi serta pada
fibrosis kistik dan sindrom silia imotil kongenital yang jarang terjadi.Transpor mukosilier yang
berkurang menyebabkan infeksi respirasi rekuren yang secara progresif merusak paru, misalnya
bronkiektasis.Pada keadaan tersebut dinding bronkus menebal, melebar, dan meradang, secara
permanen.
Mukus (sekret kelenjar) dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar
submukosa.Unsur utamanya adalah glikoprotein kaya karbohidrat yang disebut musin yang
memberikan sifat seperti gel pada mukus.Fluiditas dan komposisi ionik fase sol dikontrol oleh
sel-sel epitel. Mukus mengandung beberapa faktor yang dihasilkan oleh sel-sel epitel dan sel lain
atau yang berasal dari sel plasma: antiprotease seperti α1-antitripsin yang menghambat aksi
protease yang dilepaskan dari bakteri dan neutrofil yang mendegradasi protein, defisiensi α1-
antitripsin merupakan predisposisi terjadinya gangguan elastin dan perkembangan emfisema.
Protein surfaktan A, terlepas dari aksinya pada tegangan permukaan, memperkuat fagositosis
dengan menyelubungi atau mengopsonisasi bakteri dan partikel-partikel lain. Lisozim disekresi
dalam jumlah besar pada jalan napas dan memiliki sifat antijamur dan bakterisidal; bersama
dengan protein antimikroba, laktoferin, peroksidase, dan defensin yang berasal dari neutrofil,
enzim tersebut memberikan imunitas non spesifik pada saluran napas.
Imunoglobulin sekretori (IgA) adalah imunoglobulin utama dalam sekresi jalan napas dan
dengan IgM dan IgG mengaglutinasi dan mengopsonisasi partikel antigenik; IgA juga menahan
perlekatan mikroba ke mukosa.IgA sekretori terdiri dari suatu dimer dua molekul IgA yang
dihasilkan oleh sel-sel plasma (limfosit B teraktivasi) dan suatu komponen sekretori
glikoprotein.Komponen tersebut dihasilkan pada permukaan basolateral sel-sel epitel, tempatnya
mengikat dimer IgA.Kompleks IgA sekretori kemudian dipindahkan ke permukaan luminal sel
epitel dan dilepaskan ke dalam cairan bronkial. Kompleks tersebut merupakan 10% protein total
dalam cairan lavase bronkoalveolar.
Jaringan Limfoid
Struktur jaringan limfoid membentuk sistem limfoid yang terdiri dari limfosit, sel
epitelial, dan sel stromal.Terdapat dua organ limfoid yaitu primer dan sekunder.Organ limfoid
primer merupakan tempat utama pembentukan limfosit (limfopoesis) yaitu timus dan sumsum
tulang. Limfosit dewasa yang diproduksi organ limfoid primer akan bermigrasi menuju organ
limfoid sekunder. Organ limfoid sekunder merupakan tempat terjadinya interaksi antara limfosit
dengan limfosit dan antara limfosit dengan antigen, dan diseminasi respons imun.Organ limfoid
sekunder yaitu limpa dan jaringan limfoid pada mukosa seperti tonsil, BALT (bronchus-
associated lymphoid tissue), GALT (gut-associated lymphoid tissue)/Peyer’s patch. Sirkulasi
limfe akan berlanjut menuju duktus torasikus yang akan berhubungan dengan sistem pembuluh
darah sehingga dapat mengirimkan berbagai unsur sistem limfoid.
Di dalam jaringan limfoid mukosa (MALT) terdapat sel dendrit yang berasal dari
sumsum tulang.Sel dendrit berfungsi sebagai Antigen Presenting Cell (APC) dan mengirim
sinyal aktivasi kepada limfosit T naive atau virgin untuk memulai respon imun, karena itu sel
dendrit disebut juga imunostimulatory cells. Sel dendrit dapat mengekspresikan MHC-kelas II
sendiri pada level yang tinggi serta MHC-kelas I dan reseptor komplemen tipe 3. Sinyal dari Th
(CD4+) akan menginduksi limfosit untuk menghasilkan sitokin. Aktivasi limfosit B dibantu oleh
sel Th2 (IL-2, IL-4, IL-5) serta membentuk diferensiasi sel B menjadi klon yang memproduksi
antibodi berupa sekretorik IgA.MALT tidak ada di saluran napas bawah.
MEKANISME BATUK
Seluruh saluran nafas dari hidung sampai bronkiolus terminalis, dipertahankan agar tetap lembab
oleh selapis mukosa yang melapisi seluruh permukaan. Mukus ini disekresikan sebagian oleh sel
goblet dalam epitel saluran nafas, dan sebagian lagi oleh kelenjar submukosa yang kecil. Batuk
yang tidak efektif dapat menimbulkan penumpukan sekret yang berlebihan, atelektasis, gangguan
pertukaran gas dan lain-lain.
Fase 1 (Inspirasi)
Paru2 memasukan kurang lebih 2,5 liter udara, oesofagus dan pita suara menutup, sehingga
udara terjerat dalam paru-paru.
Fase 2 (Kompresi)
Otot perut berkontraksi, diafragma naik dan menekan paru2, diikuti pula dengan kontraksi
intercosta internus. Pada akhirnya akan menyebabkan tekanan pada paru2 meningkat hingga
100mm/hg.
Fase 3 (Ekspirasi)
Spontan oesofagus dan pita suara terbuka dan udara meledak keluar dari paru
MEKANISME BERSIN
Reflek bersin mirip dengan reflek batuk kecuali bahwa refleks ini berlangsung pada saluran
hidung, bukan pada saluran pernapasan bagian bawah. Rangsangan awal menimbulkan refleks
bersin adalah iritasi dalam saluran hidung, impuls saraf aferen berjalan dalam nervus ke lima
menuju medulla tempat refleks ini dicetuskan. Terjadi serangkaian reaksi yang mirip dengan
refleks batuk tetapi uvula ditekan, sehingga sejumlah besar udara dengan cepat melalui hidung,
dengan demikian membantu membersihkan saluran hidung dari benda asing.
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut WHO
ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan
pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung
terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.2 Etilogi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca.
2.3 Epidemiologi
Prevalensi rinitis alergika diberbagai negara berkisar antara 3%-19%. Angka kejadian
rinitis alergika di beberapa negara seperti Amerika Utara sebesar 10-20%, di Eropa sekitar 10-
15%, Thailand sekitar 20% dan di Jepang sekitar 10%. Di Indonesia sendiri sebanyak 10-26%
pengunjung poliklinik THT di beberapa rumah sakit besar datang dengan keluhan rinitis
alergika. Di unit rawat jalan Alergi Imunologi THT RS dr Wahidin Sudirohusodo Makassar
selama 2 tahun (2004-2006) didapatkan 64,4% pasien rinitis alergika dari 236 pasien yang
menjalani tes cukit kulit. Angka kejadian rinitis alergika pada anak juga meningkat. Penelitian
menunjukkan bahwa kejadian rinitis alergika pada anak mencapai 42% pada anak usia 6 tahun.1
Rinitis alergika yang muncul pada usia di bawah 20 tahun ditemukan sebanyak 80% dari
keseluruhan kasus. Gejala rinitis alergika muncul 1 dari 5 anak pada usia 2 sampai 3
tahun dan sekitar 40% pada anak usia 6 tahun. Sebanyak 30% pasien akan menderita
rinitis pada usia remaja. Walaupun semua kelompok usia dapat terkena rinitis alergika,
tetapi rinitis alergika ini biasanya lebih sering muncul pada usia kanak-kanak awal
setelah terpapar atau tersensitisasi alergen tertentu. Rinitis alergika sering terjadi pertama
kali pada kelompok anak-anak antara usia 5-10 tahun dengan puncaknya pada usia
remaja antara 10 dan 20 tahun dan cenderung menurun sesuai dengan pertambahan usia.
Rinitis alergika biasanya didapat pada penderita atopi.
2.4 Klasifikasi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4
minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet
et al, 2001).
2.5 Patofisiologi
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis.
Keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Garis hitam melintang pada bagian tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute). Pucat dan edema mukosa
hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak disertai dengan sekret
mukoid atau cair.
Edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Suara serak dan edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga
sebagai bersin patologis.
Keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi).
Garis hitam melintang pada bagian tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute). Pucat dan edema mukosa
hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak disertai dengan sekret
mukoid atau cair.
Edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Suara serak dan edema pita suara
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi,
penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa orang juga mengalami lemah
dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
2.8 Komplikasi
2.9 Prognosis
Kebanyakan pasien dapat hidup normal dengan gejala.
Hanya pasien yang menerima imunoterapi spesifik-alergen sembuh dari penyakit, namun
banyak pasien melakukannya dengan sangat baik dengan perawatan gejala intermiten. Gejala
rhinitis alergi bisa kambuh 2-3 tahun setelah penghentian imunoterapi alergen.
Sebagian kecil pasien mengalami perbaikan selama masa remaja, tapi di sebagian besar,
gejala muncul kembali di awal dua puluhan atau lebih. Gejala mulai berkurang ketika pasien
mencapai dasawarsa kelima kehidupan.
2.10 Pencegahan
Pada dasarnya penyakit alergi dapat dicegah dan dibagi menjadi 3 tahap, yaitu:
1. Pencegahan primer untuk mencegah sensitisasi atau proses pengenalan dini terhadap alergen.
Tindakan pertama adalah mengidentifikasi bayi yang mempunyai risiko atopi. Pada ibu hamil
diberikan diet restriksi (tanpa susu, ikan laut, dan kacang) mulai trimester 3 dan selama
menyusui, dan bayi mendapat ASI eksklusif selama 5-6 bulan. Selain itu kontrol lingkungan
dilakukan untuk mencegah pajanan terhadap alergen dan polutan.
2. Pencegahan sekunder untuk mencegah manifestasi klinis alergi pada anak berupa asma dan
pilek alergi yang sudah tersensitisasi dengan gejala alergi tahap awal berupa alergi makanan
dan kulit. Tindakan yang dilakukan dengan penghindaran terhadap pajanan alergen inhalan
dan makanan yang dapat diketahui dengan uji kulit.
3. Pencegahan tersier untuk mengurangi gejala klinis dan derajat beratnya penyakit alergi
dengan penghindaran alergen dan pengobatan
2. Pengobatan medikamentosa
Cara pengobatan ini merupakan konsep untuk mencegah dan ataumenetralisasi kinerja
molekul-molekul mediator yang dilepas sel-sel inflamasi alergis dan atau mencegah
pecahnya dinding sel dengan harapan gejala dapat dihilangkan. Obat-obat yang digunakan
untuk rinitis pada umumnya diberikan intranasal atau oral.
Pemilihan obat-obatan dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa hal antara lain :
a. Obat-obat yang tidak memiliki efek jangka panjang.
b. Tidak menimbulkan takifilaksis.
c. Beberapa studi menemukan efektifitas kortikosteroid intranasal. Meskipun demikian
pilihan terapi harus dipertimbangkan dengan kriteria yang lain.
d. Kortikosteroid intramuskuler dan intranasal tidak dianjurkan sehubungan dengan adanya
efek samping sistemik.
3. Imunoterapi spesifik
Imunoterapi spesifik efektif jika diberikan secara optimal. Imunoterapi subkutan masih
menimbulkan pertentangan dalam efektifitas dan keamanan. Oleh karena itu, dianjurkan
penggunaan dosis optimal vaksin yang diberi label dalam unit biologis atau dalam ukuran
masa dari alergen utama. Dosis optimal untuk sebagian besar alergen utama adalah 5 sampai
20µ g. Imunoterapi subkutan harus dilakukan oleh tenaga terlatih dan penderita harus
dipantau selama 20 menit setelah pemberian subkutan. Indikasi imunoterapi spesifik
subkutan:
Penderita yang tidak terkontrol baik dengan farmakoterapi konvensional
Penderita yang gejala-gejalanya tidak dapat dikontrol baik dengan antihistamin H1 dan
farmakoterapi
Penderita yang tidak menginginkan farmakoterapi
Penderita dengan farmakoterapi yang menimbulkan efek samping yang
tidak diinginkan
Penderita yang tidak ingin menerima terapi farmakologis jangka
panjang.
Indikasinya mengikuti indikasi dari suntikan subkutan Pada anak-anak, imunoterapi spesifik
adalah efektif. Namun tidak direkomendasikan untuk melakukan imunoterapi ada anak
dibawah umur 5 tahun.
4. Imunoterapi non-spesifik
Imunoterapi non-spesifik menggunakan steroid topikal. Hasil akhir sama seperti pengobatan
imunoterapi spesifik-alergen konvensional yaitu sama-sama mampu menekan
reaksi inflamasi, namun ditinjau dari aspek biomolekuler terdapat mekanisme yang sangat
berbeda.
Glukokortikosteroid (GCSs) berikatan dengan reseptor GCS yang berada di dalam sitoplasma
sel, kemudian menembus membran inti sel dan mempengaruhi DNA sehingga tidak
membentuk mRNA. Akibat selanjutnya menghambat produksi sitokin pro-inflammatory.
5. Edukasi
Pemeliharaan dan peningkatan kebugaran jasmani telah diketahui berkhasiat dalam
menurunkan gejala alergis. Mekanisme biomolekulernya terajadi pada peningkatan populasi
limfosit TH yang berguna pada penghambatan reaksi alergis, serta melalui mekanisme
imunopsikoneurologis.
6. Operatif
Tindakan bedah dilakukan sebagai tindakan tambahan pada beberapa
penderita yang sangat selektif. Seperti tindakan konkotomi (pemotongan konka
inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil
dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau triklor asetat.
7. Dekongestan hidung
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena efeknya pada reseptor-
reseptor α-adrenergi. Efek vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama 1
sampai 12 jam. Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi
tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10 hari
Medikamentosa
Antihistamin antagonis H-1 sebagai inti pertama pengobatan rhinitis alergi dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Dibagi menjadi
2 golongan, generasi-1 (klasik) dan generasi-2 (non-sedatif). Generasi H-1 bersifat
hipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak dan plasenta serta mempunyai
efek kolinergik.
Kortikosteroid Nasal
merupakan obat yang paling efektif untuk mengatasi rhinitis alergi hingga saat ini.
Efek utama steroid topikal pada mukosa hidung antaralain mengurangi inflamasi
dengan memblok pelepasan mediator, menekan kemotaksis
neutrofil, mengurangi edema intrasel, dan menghambat reaksi fase lambat yang
diperantarai sel mast. Sedangkan efek sampingnya meliputi bersin, perih pada
mukosa hidung, sakit kepala dan infeksi Candidia albicans.
Sodium Kromolin
bekerja dengan mencegah degranulasi sel mast danpelepasan mediator, termasuk
histamin. Efek sampingnya paling sering adalah iritasilokal.
Ipratropium Bromida
Bermanfaat pada rhintis alergi perennial atau rhinitis alergi yang persisten, obat ini
memiliki sifat antisekretori jika digunakan secara lokaldan bermanfaat untuk
mengurangi hidung berair. Efek sampingnya tingan, meliputi sakit kepala, epistaksis,
dan hidung terasa kering.
Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) bila konka hipertrofi berat dan
tidak dapat dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau troklor
asetat.
Imunoterapi
Jenisnya desensitasi, hiposensitasi dan netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan.
Bersifat kausatif artinya imunoterapi merupakan proses yang lambat dan bertahap
dengan menginjeksikan alergen yang diketahui memicu reaksi alergi pada pasien
dengan dosis yang semakin meningkat.
Caranya: Larutan alergen yang sangat encer (1:100.000 sampai 1:1000.000.000 b/v)
diberikan 1 – 2 kali seminggu. Konsentrasi kemudian ditingkatkan sampai tercapai
dosis yang dapat ditoleransi. Dosis ini kemudian dipertahankan setiap 2-6
minggu,tergantung pada respon klinik.
Terapi dilakukan sampai pasien dapat mentoleransi alergen pada dosis yang
umumnya dijumpai pada paparan alergen. Parameter efektifitas ditunjukkan dengan
berkurangnya produksi IgE, meningkatnya produksi IgG, perubahan pada limfosit T,
berkurangnya pelepasan mediator dari sel yang tersensitisasi, dan berkurangnya
sensitivitas jaringan terhadap alergen. Namun, imunoterapi terbilang mahal dan butuh
waktu lama, membutuhkan komitmen yang besar dari pasien.
1. Hukum Istinsyaq
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum Istinsyaq, sebagaimana mereka juga berselisih
tentang hukum Madhmadhoh (berkumur). Setidaknya ada tiga sampai dengan empat pendapat di
dalam penentuan hukum istinsyaq.
1. Istinsyaq dan Madhmadhah adalah sunnah, dan inilah pendapat Malik, Syafi’ie dan Abu
Hanifah. Adapaun alasan atau hujjah mereka antara lain;
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu rasulullah shallallah ‘alaihi wa salam bersabda;
ْ َو َم ِن ا، ث ُ َّم ْليَ ْنث ُ ْر،ضأ َ أ َ َح ُد ُك ْم َف ْليَجْ َع ْل فِي أ َ ْن ِف ِه َما ًء
»ستَجْ َم َر فَ ْليُوتِ ْر َّ « ِإذَا ت َ َو
“Barangsiapa diantara kalian berwudhu, maka hendaklah ia masukan air ke dalam hidungnya
(Istinsyaq), lalu ia keluarkan (Istintsar), barangsiapa yang beristijmar, maka ganjilkanlah” (H.R
Bukhori, Muslim, Nasa’I dan selainnya).
َ ََض أَ ْو َو َخف
ض َّ ص ْوتَهُ به َها غ
َ
“Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersin, beliau meletakkan tangan atau bajunya
ke mulut dan mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5029; at-Tirmidzi,
no. 2745 dan beliau menshohihkannya. Diriwayatkan pula oleh al-Hakim, IV/293, beliau
menshohikannya dan disepakati oleh adz-Dzahabi).
Di antara hikmahnya, kadangkala ketika seseorang itu bersin, keluarlah air liur dari mulutnya
sehingga dapat menggangu orang yang ada disebelahnya, atau menjadi sebab tersebarnya
penyakit dengan ijin Allah Ta’ala. Maka tidak layak bagi seorang muslim menyakiti saudaranya
atau membuat mereka lari. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam.
Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits di
atas.
س هإذَا
َ ط َ َض َوجْ هه هه َعلَى َكفَّ ْي هه فَ ْلي
َ ض ْع أ َ َحد ُ ُك ْم َع ْ ص ْوتَهُ َو ْليَ ْخ هف
َ
“Apabila salah seorang dari kalian bersin hendaklah ia meletakkan tangannya ke wajahnya dan
mengecilkan suaranya.” (Diriwayatkan oleh al-Hakim, IV/264 dan beliau menshohihkannya.
Disepakati pula oleh adz-Dzahabi, dan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, no. 9353. Hadits ini dinilai
hasan oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 685)
Betapa banyaknya orang yang terganggu atau terkejut dengan kerasnya suara bersin. Maka sudah
selayaknya setiap muslim mengecilkan suaranya ketika bersin sehingga tidak mengganggu atau
mengejutkan orang-orang yang ada di sekitarnya.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya untuk mengucapkan tahmid tatkala
bersin. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
للاُ يَ ْر َح ُمكَ لَهُ قَا َل فَإهذَا، فَ ْليَقُ ْل: ص هل ُح للاُ يَ ْهدهي ُك ُم
ْ ُبَالَ ُك ْم َوي
“Jika salah seorang di antara kalian bersin, hendaklah ia mengucapkan Alhamdulillah, jika ia
mengatakannya maka hendaklah saudaranya atau temannya membalas: yarhamukalloh (semoga
Allah merahmatimu). Dan jika temannya berkata yarhamukallah, maka ucapkanlah:
yahdikumulloh wa yushlihu baalakum (semoga Allah memberimu petunjuk dan memperbaiki
keadaanmu).” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhori, no. 6224 dari Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
“Sesungguhnya Allah menyukai bersin dan membenci menguap. Jika salah seorang dari kalian
bersin dan memuji Allah, maka wajib atas setiap muslim yang mendengarnya untuk
mengucapkan tasymit (yarhamukalloh) …” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh al-Bukhari, no.
6226 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)
Keempat : Mengingatkan Orang Yang Bersin Agar Mengcapkan Tahmid Jika Ia Lupa
Jika kita mendapati orang yang bersin namun tidak memuji Allah Ta’ala, hendaklah kita
mengingatkannya. Ini termasuk bagian dari nasihat.
Kelima : Tidak Perlu Mendo’akan Orang Yang Sudah Bersin Tiga Kali Berturut-Turut
Demikianlah sunnah yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam. Beliau
bersabda:
“Jika salah seorang dari kalian bersin, hendaklah orang yang ada di dekatnya mendo’akannya.
Dan jika (ia bersin) lebih dari tiga kali berarti ia sakit. Janganlah kalian men-tasymit bersinnya
setelah tiga kali.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034; Ibnus Sunni, no. 251; dan Ibnu
‘Asakir, 8/257. Hadits ini dinilai shohih oleh al-Albani dalam Shohiih al-Jaami’, no. 684)
Dalam redaksi lainnya disebutkan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Do’akanlah saudaramu yang bersin tiga kali dan bila lebih dari itu berarti ia sedang
sakit.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5034 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul Iiman, 7/32.
Hadits ini dinilai hasan oleh al-Albani dalam al-Misykah, no. 4743)
Ada seorang laki-laki bersin di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa salla. Maka Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Yarhamukalloh.” Kemudian ia bersin lagi, maka
Rasulullah shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda:
َّ ََم ْز ُك ْوم ا
لر ُج ُل
“Laki-laki ini sedang sakit.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2993)
Keenam : Tidak Mengucapkan Tasymit Terhadap Orang Kafir Yang Bersin Meskipun Ia
Mengucapkan Alhamdulillah
Dahulu orang Yahudi sengaja bersin di dekat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan harapan
Nabi mengatakan, “yarhamukumulloh (semoga Allah merahmatimu)” tetapi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam mengatakan: “Yahdikumulloh wa yushlihu baalakum (semoga Allah
memberimu petunjuk dan memperbaiki keadaanmu).” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, no. 5038
dan At-Tirmidzi, no. 2739. Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih).