You are on page 1of 4

Ia menghisap cerutu dibalik pipa baja miliknya.

Wajahnya tampak tenang meski tubuhnya tak berhenti


untuk bergerak ke kanan dan ke kiri. Menghembuskan asap putih hingga memenuhi sudut ruangan
dengan pencahayaan remang –akibat beberapa bohlam yang menggantung indah di langit-langit plafon
tampak pecah dan sebagian hangus. Seseorang terbatuk-batuk dengan tangan mengibas tak suka pada
asap dari pipa sialan yang di keluarkan tanpa sopan oleh gadis berperawakan kecil. Ketukan langkah yang
berirama dengan pecahan beling dilantai akibat terinjak oleh high heels 5 cm tersebut membuatnya sedikit
jengah.

Ia menyerngit kesal. Tangannya memutar bohlam setengah pecah tersebut agar terlepas dengan mulut
yang meracau pelan. Sedangkan yang diracaukan hanya tak peduli dan terus melakukan kegiatan tak
bergunanya.

“Berhenti merokok disini. Apa kau tak bisa melihat kalau disini tak ada ventilasi udara?” Ia menghela
napas lega ketika akhirnya kalimat protes lolos dari mulutnya. Sedari tadi ia tak tahan untuk terbatuk-
batuk karena aroma asap yang mengganggu pernapasannya itu.

Gadis itu berdehem pelan lalu menendang sudut tangga besi tersebut hingga si pemuda mengumpat pelan.
Ia mendengus pelan lalu mengeluarkan cerutunya dari balik pipa dan mematikannya dengan sedikit air
dari dalam gelas bekas. Menyebabkan lantai yang memang sudah berantakan malah bertambah jorok
dengan genangan air bercampur abu. “Lakukan saja tugasmu dan terima saja hukumanmu karena
membuatku seperti orang tolol di rumah yang harusnya sudah tersegel rapi. Lagipula ini bukan rumahku
ataupun punyamu. Kenapa kau harus bersikeras meminjam tangga pada penjaga gedung dan
menanggalkan semua bohlam?”

Satu lampu berhasil dan ia bergerak turun dari tangga dengan kerutan di dahinya meski ada setitik rasa
bangga yang hampir membuat si gadis memuntahkan asap-asap yang ia hirup tadi. Meletakkan bohlam
pecah tersebut ke dalam kantong plastic. “Nah, aku adalah laki-laki baik dan aku hanya tak ingin gedung
ini terbakar ketika tanpa sengaja salah satu polisi menekan saklar lampu.”

“Dengan menahanku disini bersamamu, begitu? Hell, kau bahkan mengurangi jam tidurku sekarang.”
Umpatnya. Pemuda itu mengedik bahu pelan, menggeser tangga besi tersebut kearah bohlam terakhir.
Kembali menjejakkan kakinya menaiki tangga tersebut. “Memangnya kau pernah tidur dibawah pukul
dua malam?” Sarkasnya.

Ia berdecak pelan. Kembali menendang sudut tangga hingga menghasilkan geraman kesal dari korbannya.
“Sialan. Itu juga karena kau yang menggangguku tiap malam. Sudahlah, cepat kerjakan. Besok aku harus
ke rumah sakit.”

“Mau ngapain?”

“Mendaftarkanmu ke bagian kejiwaan ataupun kamar mayat. Oh, opsi terakhir terdengar menggiurkan.”
Ia mengumpat pelan lalu turun dari tangga begitu lampu terakhir berhasil ia lepas. Melepas sarung tangan
pekerja miliknya lalu menyentil pelan dahi gadis beraksen Victoria abad 18-an dengan pakaian hitam
mengembang yang memiliki banyak renda dimana-mana dan sebuah bando hitam sebagai pelengkapnya.
Ayolah, sekarang sudah abad 21. Era modern dimana pakaian mengembang hanya dipakai saat
pernikahan ataupun berkabung. Orang-orang lebih memilih memakai jeans butut dibanding dengan
berjalan di tengah kota dengan pakaian kuno. Apalagi ditengah musim panas begini.

“Kuingatkan saja kalau rumah sakit yang menjadi tujuanmu itu adalah milikku.”

“Aku lupa. Tampangmu lebih dominan menjadi pelayanku ketimbang kepala dokter bedah.”

~~~

“Oh, kupikir siapa yang memakai kostum dokter. Ternyata itu kau, Steve.” Sapanya memicing jahil pada
lelaki bernama Steve tersebut dari balik topi jeraminya yang berwarna merah darah. Lelaki itu
memandang ngeri plus jengkel pada gadis pendek tersebut.

“Bisakah kau berpakaian lebih normal, Victoria? Kau seperti malaikat pencabut nyawa saja.” Tidak, ia
tidak jengkel pada Victoria yang mengejeknya –meskipun ada sedikit rasa kesal- tapi ia lebih jengkel
pada gaya berpakaian Victoria yang jauh dari kata normal. Lebih mengerikan dari biasanya.

Rambutnya yang diberi warna pirang dan di beri gelombang di ujungnya, dress merah darah yang senada
dengan topi jeraminya dengan banyak renda di mana-mana plus bunga mawar besar di lengan kirinya
yang terekspos sempurna plus sarung tangan putih sepanjang siku. Untung saja parasol merahnya itu kini
terkatup. Jikalau tidak, mungkin ia bisa mengusir gadis ini kapan saja.

“Katakan padaku pemakaman mana yang kau singgahi tadi?” cercanya. Ia berdecak pinggang dan
mengibaskan jas dokternya sebentar. Seorang suster berlari terpogoh-pogoh melewati mereka dengan
senyum mengejek yang kentara sekali.

Dihelanya napas lalu berjalan terlebih dahulu melewati lorong panjang nan sepi. Aroma formaldehid
bercampur tubuh manusia dan sedikit amis darah menyerbak dari satu pintu ke pintu lainnya. Jendela-
jendela kaca tertutup sempurna di setiap sudut kamar tanpa memberi ruang untuk mengintip sama sekali
dan hanya tanda bertuliskan ‘kamar mayat’ dengan setiap nomor ruangnya yang tertempel di depan pintu
besi tersebut. Mereka mendorong pintu besi, memasuki salah satu ruang bernomor 5 dan berjalan santai
saat melewati tubuh-tubuh mayat yang terbungkus kain putih hingga berhenti pada satu mayat yang
terletak di sudut kiri nomor tiga paling ujung. “Aku butuh penyegaran. Anggap saja sebagai penebus
kesalahanku karena sudah meretas computer kerjamu.”

“Sudah kuduga itu kerjaanmu. Apa mencampurkan sulfur ke dalam minumanku semalam belum cukup
bagimu?” deliknya kesal. Teringat akan hal menyebalkan kala ia membeli minuman dari minimarket
sepulang kerja dan hampir meneguknya begitu tercium aroma sulfur dari sudut botol minumannya.
Seharusnya tak ia undang Victoria ke rumahnya untuk makan malam sebagai ungkapan maaf.

Victoria hanya tersenyum tipis pada Steve dan memberi isyarat untuk membuka kain mayat tersebut lewat
gerakan mata.

Ia diam. Ia mengeluarkan pipa cerutunya dari balik kantung dressnya dan membakar tembakau tersebut
dengan tenang. Menyesap asap rokok itu sekali dan menghela napas. “Tebasan katana, huh?”
Steve mengambil catatan medis yang terletak di pinggir kasur mayat tersebut dan memberikannya pada
Victoria. “Ya, dia mengalami luka memar di pelipisnya dan tebasan tambahan di punggungnya. Kurasa
dia dipukul terlebih dahulu di pelipisnya akibat pertengkaran lalu mendapat tebasan pertama di dadanya.”

“Tepat. Lalu bagaimana dengan tebasan punggungnya? Apa menurutmu dia mendapatkannya setelah dia
mati terlebih dahulu atau dia masih melakukan perlawanan?”

“Melakukan perlawanan?” jawabnya ragu. Victoria menggeleng-geleng, menyesap rokoknya sekali lagi
dan tersenyum tipis.

“Kau ingat dengan darah yang ada dilantai tadi malam?” Steve mengangguk perlahan. Ia kembali
menutupi mayat tersebut seperti sedia kala.

Victoria berjalan terlebih dahulu keluar dari ruang otopsi dan duduk dikursi lorong dengan tenang. “Kita
buat tiga hipotesa. Pertama, dia mati terlebih dahulu karena kehabisan darah. Untuk mengelabui polisi,
dia menambahkan tebasan tambahan –hal yang biasanya sering dilakukan seorang mafia bawah tanah-
dipunggungnya dan juga tubuhnya diseret oleh tersangka menuju kasur dan

You might also like