Professional Documents
Culture Documents
Oleh :
Pembimbing:
Dr.dr. Widjajalaksmi, Sp KFR-K
1
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN……………………………………………………………………….. 3
BAB 2 STROKE ISKEMIK …………………………………………………………………….. 4
2.1. Definisi ……………………………………………… …………………………………4
2.2. Epidemiologi ………………………………………………………………………….. 4
2.3. Faktor Resiko…………………………………………………………………………… 4
2.4. Patofisiologi …………………………………………………………………………… 5
BAB 3 KOMPLIKASI POST STROKE ISKEMIK………………………………………………...8
3.1. Hemiplegic Shoulder Pain……………………………………………………………………... 9
3.2. Spastisitas …………………………………………………………………………………….. 10
3.3. Kontraktur…………………………………………………………………………................…12
BAB 4 POSITIONING PADA PASIEN POST STROKE ISKEMIK ……………………………. 14
4.1. Posisi Supine………………………………………………………………………………… 16
4.2. Posisi miring menumpu pada sisi hemiplegi………………………………………………….. 17
4.3 Posisi Miring menumpu pada sisi normal …………………………………………………… 19
4.4 Posisi Prone…………………………………………………………………………………… 19
4.5 Posisi Kepala ………………………………………………………………………………… 20
4.6 Posisi duduk ……………………………………………………………………………………22
BAB 5 KESIMPULAN…………………………………………………………………………….. 25
Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………… 26
BAB 1
2
PENDAHULUAN
Sekitar 780.000 penduduk amerika mengalami stroke iskemik setiap tahun dan
menyebabkan kematian pada 136.000 penduduk setiap tahunnya. Terapi fase akut maupun
rehabilitasi pada pasien stroke iskemik ada suatu proses yang lama yang menghabiskan dana
dan waktu . Salah satu faktor berhasil atau tidaknya proses rehabilitasi tidak ditentukan oleh
lamanya paralysis yang disebabkan oleh stroke melainkan munculnya atau tidak adanya
komplikasi yang dapat dicegah. Komplikasi yang dapat timbul antara lain kontraktur dan
deformitas yang memerlukan tindakan pencegahan yang dimulai pada fase awal dan
berkelanjutan.1
Rehabilitasi pada pasien hemiplegi dimulai dengan positioning yang benar , karena
dengan positioning yang benar dapat mencegah komplikasi terutama komplikasi
musculosceletal . 1
Positioning yang paling baik untuk pasien stroke belum memiliki banyak data yang
mendukung . Namun, tujuan utama positioning adalah untuk membantu proses pemulihan
secara optimal dengan modulasi tonus otot , memfasilitasi informasi sensorik yang sesuai dan
meningkatkan fungsi spasial dan mencegah komplikasi seperti : ulkus decubitus , kontraktur,
nyeri dan masalah respirasi serta risiko aspirasi. Pada tinjauan pustaka ini difokuskan efek
positioning untuk pencegahan kontraktur dan penurunan lingkup gerak sendi pada stroke
iskemik .1,8
BAB 2
3
STROKE ISKEMIK
2.1 Definisi
Stroke iskemik adalah penyakit yang mengenai jaringan otak non traumatik yang
disebabkan oleh oklusi dari pembuluh darah otak dan menimbulkan defisit neurologis
mendadak yang mempunyai karakteristik berupa : penurunan kontrol motorik,
gangguan sensorik, gangguan fungsi berbahasa ataupun kognitif , disequilibrium atau
koma3
2.2 Epidemiologi
Menurut data Riset Kesehatan Dasar 2013, prevalensi stroke di Indonesia 12,1 per
1.000 penduduk. Angka tersebut naik dibandingkan Riskesdas 2007 yang sebesar 8,3
persen. Stroke telah jadi penyebab kematian utama di hampir semua rumah sakit di
Indonesia, yakni 14,5 persen.
Stroke iskemik menempati 85 % dari semua kejadian stroke, sementara 15 %
disebabkan oleh stroke hemoragik.2,3
2.3.2 Merokok
Merokok adalah salah satu faktor penting penyebab penyakit jantung .
Penelitian oleh Framingham menunjukkan bahwa merokok berkaitan dengan
meningkatnya resiko stroke atherothrombotik dengan resiko relatif 2 x lipat .
3
2.3.3. Hiperkolesterolemia.
Penelitian menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara
peningkatan kadar serum kolesterol dengan peningkatan resiko
stroke.Target kadar kolesterol untuk pasien dengan stroke adalah LDL <
100 mg/dl, total kolesterol <200 mg /dL dan High Density Lipoprotein
( HDL) > 60 mg / dL.3
4
2.3.4 Diabetes Mellitus and faktor resiko lainnya
Diabetes melitus dapat meningkatkan resiko relatif stroke 3 hingga 6 kali .
Prevalensi diabetes diantara para penderita stroke adalah sekitar 20 % .
Obesitas juga menjadi salah satu faktor resiko stroke . Penurunan berat
badan mempunyai pengaruh positif pada tekanan darah dan kontrol
diabetes sehingga menurunkan faktor resiko penyakit stroke .3
Sindrom metabolik merupakan kumpulan dari faktor resiko pemicu
penyakit atherosclerosis. Faktor resiko tersebut meliputi lingkar pinggang
yang besar, peningkatan tekanan darah, kadar HDL serum yang rendah ,
peningkatan trigliserida, peningkatan gula darah puasa, hasil analisis data
menunjukkan adanya keterkaitan antara risiko stroke dengan peningkatan
jumlah komponen sindrom metabolik. Positifnya kelima komponen
sindorm metabolik tersebut berefek pada peningkatan resiko stroke 5 x
lipat.
Penyakit jantung dengan hasil EKG terdapat hipetrofi ventrikel kiri , gagal
jantung , dan nonvalvular fibrilasi atrium meningkatkan resiko stroke 2
hingga 6 x lipat dibanding orang normal. Pencegahan penyakit jantung
dengan modifikasi gaya hidup memiliki efek yang positif pada pencegahan
stroke.3
2.4 Patofisiologi stroke Iskemik
Persamaan patofisiologi dari stroke dengan thrombosis, emboli, maupun lacunar
adalah iskemi cerebri karena adanya penurunan aliran darah cerebri ( Cerebral
Blood Flow (CBF)). Lokasi dan gejala klinis bervariasi tergantung pada
penyebabnya dan regio yang terkena . 3
2.4.1 Trombosis
Patofisiologi penyebab infark dari trombosis cerebri masih dalam kontroversi
namun memiliki keterkaitan yang erat dengan penyakit atherosclerosis
cerebrovascular . Formasi plak atherosclerosis terjadi umumnya pada percabangan
pembuluh darah utama. Atherosclerosis adalah penyakit inflamatori yang
berkembang seiring dengan munculnya hipertensi kronis , dimulai dengan
peningkatan permeabilitas tunika intima vaskuler diikuti oleh proses adhesi dan
infiltrasi leukosit. Akumulasi monosit dan T cell menghasilkan sel foam yang
mengandung lipid yang berlokasi pada dinding pembuluh darah dan melapisi
5
permukaan endotelial. Pada saat terjadi migrasi sel dalam pembuluh darah dapat
memicu munculnya proses inflamasi dan pembentukan lapisan fibrosa yang
menghambat aliran darah dan menyebabkan timbulnya turbulensi. Ruptur dari
lapisan fibrosa dapat secara cepat memicu pembentukan trombus dengan
menstimulasi agregasi platelet dan aktivasi dari sistem koagulasi extrinsik .3
2.4.2 Emboli
Selain mikroemboli yang dihasilkan oleh trombus dari cerebrovasculer,
kebanyakan stroke emboli berasal dari jantung . Emboli yang berasal dari jantung
umumnya disebabkan oleh perubahan mekanik maupun struktural pada jantung.
Fibrilasi arteri merupakan faktor risiko yang signifikan penyebab stroke emboli
yang disebabkan oleh gangguan pada motilitas atrial dan aliran darah atrium
( stasis pembuluh darah dan pembentukan trombus ). Fibrilasi arteri biasanya
disebabkan oleh penyakit jantung reumatik atau penyakit jantung koroner.
Trombus juga dapat terbentuk pada ventrikel kiri setelah terjadinya infark miokard
ataupun setelah operasi jantung. Katup jantung mekanik juga dapat menyebabkan
emboli cerebri jika tidak diberikan antikoagulan yang cukup.3
Emboli cerebri menyumbat pada cabang arteri utama dan menyebabkan
sumbatan pada satu atau beberapa cabang arteri secara mendadak sehingga
muncul gangguan neurologis fokal
Reperfusi dari arteri yang tersumbat dapat terjadi karena fibrinolisis endogen
namun karena kerusakan pada arteri biasanya cukup signifikan, kapiler menjadi
tidak kompeten dan terjadi pendarahan cerebri sekunder . 3
Tidak seperti pada stroke trombosis, mikroemboli tidak menyebabkan stroke
cardioemboli namun biasanya muncul dalam gejala TIA ( transcient Ischemic
Attack).3
6
Infark lakunar adalah lesi kecil dan tersebar dengan ukuran diameter kurang dari
1,5 cm dan berlokasi pada area subkortikal di basal ganglia, kapsula interna, pons
dan cerebellum .
Area infark lakunar tergantung pada teritori vaskular yang diperdarahi oleh
cabang kecil dan dalam dari sirkulus wilisi atau arteri cerebral utama. Stroke
lakunar secara signifikan berhubungan dengan hipertensi dan secara patologis
berhubungan dengan perubahan mikrovaskular yang sering muncul pada
hipertensi kronis. Selain hipertensi , diabetes melitus juga berhubungan dengan
stroke lakunar karena adanya perubahan mikrovaskular.3
BAB 3
Stroke iskemik cenderung terjadi pada individu yang lebih tua sehingga setelah terjadinya
stroke akan lebih lemah dan risiko tinggu terjadinya komplikasi . Komplikasi post stroke
menurut literatur berkisar 40 -96 % . Komplikasi tersebut terjadi baik pada fase akut maupun
subakut dan kronis. Diperkirakan 1/3 hingga ¾ pasien dapat mengalami kompliksi yang dapat
mengganggu proses pemulihan .19
7
Komplikasi yang umumnya terjadi pada pasien
stroke
Osteoporosis
Nyeri bahu
Jatuh/ fraktur
Spastisitas
Inkontinensia urin
Kontraktur
Subluksasi sendi bahu hemiplegi
Disfungsi seksual
Kejang
Nyeri sentral post stroke
Deep Vein Thrombosis
Inkontinensia fecal
Ulkus decubitus
Disfagia dan pneumonia
Infeksi Saluran kemih
Konstipasi
Depresi / anxietas
Ketidakstabilan emosional
Demensia
Gangguan atensi
Gangguan memory
Apraxia
Gangguan fungsi eksekutif
Spatial Neglect
Salah satu komplikasi yang sering muncul pada pasien post stroke adalah komplikasi
musculosceletal . Hampir 1/3 pasien post stroke mengalami komplikasi tersebut dan
4
yang paling sering terjadi adalah nyeri regio bahu.
8
pectoralis
Sendi Sublukasasi Glenohumeral
Bursa Bursitis
Tendon Tendonitis/ Tear
Kapsul sendi Frozen atau shoulder Contraction
(adheisve capsulitis)
Lain – lain Complex Regional Pain Syndrome
Tabel 2. Penyebab terjadiya hemiplegic shoulder pain20
Positioning yang benar dan proses handling pada sendi bahu merupakan salah satu
komponen penting pada pencegahan hemiplegic shoulder pain. Gilmore et al.
(2004) menyatakan nyeri bahu dapat dicegah melalui positioning yang tepat .
Bender and McKenna (2001) menyatakan bahwa goal utama pada manajemen
stroke pada fase awal adalah pencegahan ataupun mengurangi hipertonus.4.20
3.2 Spastisitas
Ciri utama dari spastisitas adalah munculnya reflex regang disertai peningkatan
resistensi pada suatu otot atau sekelompok otot yang diberikan regangan pasif
dengan kecepatan tertentu.16
9
Setelah terjadinya stroke , muncul kelemahan dan hilangnya fungsi sebagian
extremitas . Gejala klinis yang lain dapat berupa hipertonia dan hilangnya (atau
berkurangnya) refleks tendon yang dikenal dengan gejala negatif . Beberapa
waktu kemudian muncul gejala positif berupa : overaktivitas otot, spastisitas ,
peningkatan refleks tendon , spasm extensor, spasm fleksor , tanda babinski,
spastic dystonia.16
Selain tergantung pada kecepatan , spastisitas juga dipengaruhi oleh panjang
otot. Pada otot quadriceps , spastisitas akan muncul lebih tinggi ketika otot berada
pada posisi lebih pendek dibandingkan pada posisi panjang. Spastisitas umumnya
lebih sering muncul pada otot- otot flexor extremitas atas dan extensor extremitas
bawah.16
Spastisitas terjadi pada 26 % pasien dengan hemiplegia akut dan 28 % pada 3
bulan setelah stroke. Spastisitas dapat menyebabkan menurunkan lingkup gerak
sendi dan berhubungan dengan gangguan motorik dan penurunan fungsi ADL 10
Spastisitas merupakan faktor kritis dalam perkembangan komplikasi
musculosceletal . Nyeri bahu lebih sering muncul akibat spastisitas dibandingkan
karena flaccid hemiplegi. Keadaan patologis spesifik seperti : capsulitis dan
impingement syndrome tidak muncul tanpa didahului spastisitas . Kontraktur
dapat timbul pada sendi yang mengalami spastic paralysis . 10
Positioning yang benar terutama pada pasien dengan immobilisasi merupakan
aspek yang penting. Positioning yang salah terutama pada fase awal stroke adalah
penyebab utama spastisitas tambahan yang muncul. Baik posisi miring, duduk
maupun berdiri perlu adanya positioning dengan fasilitasi penggunaan otot
antagonis sehingga mengurangi spastisitas. Guidelines yang ada menyarankan
setiap sendi diposisikan pada lingkup gerak sendi maksimal, dengan durasi
minimal selama 2 jam dalam sehari.14
Melalui positioning yang benar, otot – otot dapat dipertahankan pada posisi yang
memanjang sehingga teregang dalam waktu lama dan diharapkan mampu
mencapai tujuan mempertahankan atau meningkatkan lingkup gerak sendi. Otot
yang mengalami elongasi diharapkan dapat memberikan efek desentisisasi berupa
efek regang yang perlahan dan lama.17
Positioning yang optimal adalah salah satu komponen penatalaksanaan
spastisitas. Secara umum benefit dari positioning adalah :17
1. Dapat memanjangkan jaringan lunak regio yang rentan dengan beberapa
jenis postitioning sepanjang hari.
10
2. Mengubah pola spastisitas dan mengurangi spasm dengan pola positioning
yang berlawanan dengan pola spastisitas atau spasm ( misalnya : jika
terjadi spasm extensor maka positioning dilakukan pada posisi fleksi )
3. Posisi asimetris yang benar , terutama pada tulang belakang dan pelvis
yang dipengaruhi oleh posisi extremitas bawah.
4. Menyokong tubuh pada posisi yang nyaman sehingga memberikan efek
relaksasi dan penyesuaian dari penyokong tubuh ( base of support ) .
Spastisitas yang terjadi pada pasien post stroke iskemik umumnya terjadi pada
regio otot sebagai berikut :17
1. Internal rotasi dan adduksi sendi bahu : Pectoralis Major, Teres Major,
Latissimus Dorsi, Anterior Deltoid, Subscapularis .
2. Fleksi siku : Teres Major, Latissimus Dorsi, Long head Triceps, Posterior
Deltoid
3. Pronasi lengan: Pronator Teres, Pronator quadratus.
4. Fleksi pergelangan tangan : Fleksor carpi radialis, fleksor carpi ulnaris,
Palmaris Longus, Extensor carpi Ulnaris .
5. Posisi tangan menggenggam : fleksor digitorum sublimis dan profundus
6. Fleksi hip : Illiopsoas dan Rectus Femoris
7. Adduksi hip : Pectineus, Adductors longus dan brevis ,Gracilis, Iliopsoas,
Pectineus
8. Fleksi lutut : Medial and lateral hamstring.
9. Kaki equinovarus : Medial and lateral gastrocnemius, Tibialis anterior dan
posterior, Extensor halluces longus.
3.3 Kontraktur
Kontraktur merupakan komplikasi yang umum post stroke yang timbul akibat
kombinasi penyebab immobilisasi, spastisitas , paralysis dan ketidakseimbangan
otot. Immobilisasi sendi yang lama menghasilkan deposit kolagen dan
penumpukan struktur fibrosa di sekitar jaringan lunak yang lebih mengenai
muscle belly dibandingkan daerah tendon. Sejumlah efek dapat terjadi antara lain
hilangnya gerakan fungsional dan risiko munculnya ulkus decubitus. Secara
umum, goal utama adalah pencegahan pemendekan otot permanen atau kontraktur
. Insiden terjadinya kontraktur pada frozen shoulder didapatkan antara 54,6 –
76,7 % (Hakuno et al., 1984; Rizk et al., 1984)10
Pencegahan kontraktur memerlukan inisiasi dari manajemen sehari – hari ,
dimulai saat 24 – 48 jam onset setelah stroke. Latihan lingkup gerak sendi pasif ,
pemasangan splint dan positioning adalah modal utama untuk pencegahan
kontraktur.1
11
Positioning pada tempat tidur merupakan satu kunci utama pencegahan kontraktur.
Positioning dengan memperhatikan adduksi dan internal rotasi sendi bahu, dan
positioning prone dapat mengurangi flexion kontraktur pada sendi hip.10
BAB 4
Positining dianggap sebagai komponen yang penting pada tata laksana post stroke dan
memerlukan pemantauan hingga 24 jam agar efektif. Banyak hal yang perlu
dipertimbangkan saat melakukan positioning pada pasien , salah satu elemen penting
yang memerlukan peran antar disiplin adalah risiko ulkus decubitus .9
Pasien stroke iskemik akut lebih banyak tidak aktif sepanjang hari dan dan menurut
penelitian rata –rata pasien hanya mampu aktif 27 menit hingga 2,8 jam sehari .
Latihan untuk extremitas atas hanya dapat dilakukan 4 – 11 menit per sesi. Beberapa
faktor menjadi penyulit dan menyebabkan pasien cenderung imobilisasi dan
menggerakkan extremitas misalnya : gangguan atensi, kelamahan otot, gangguan
sensoris, dan perubahan tonus otot. Pada kondisi – kondisi tersebut pasien memelukan
12
bantuan untuk bergerak dan perubahan posisi untuk mencegah timbulnya komplikasi
karena positioning yang salah.9
Jaringan lunak akan mengalami pemendekan pada minggu pertama post stroke
sehingga positioning awal pada post stroke bermanfaat untuk menjaga lingkup gerak
sendi dibandingkan dengan positioning yang dilakukan pada stadium lanjut post
stroke. Hasil meta analisis lainnya menunjukkan bahwa positioning selama 20 – 30
menit , 2 – 3 sehari belum cukup untuk mengurangi pembentukan kontraktur
sehingga masih perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk penentuan durasi optimal
pencegahan kontraktur.10
Posisi extremitas atas yang sering dipertahankan oleh pasien stroke iskemik dengan
hemiplegia adalah posisi fleksi dan adduksi karena otot – otot fleksor dan adduktor
cenderung lebih kuat dibandingkan dengan extensor dan abduktor . Selain itu, pasien
merasa lebih nyaman saat berada pada posisi adduksi dan fleksi .Karakteristik
deformitas extremitas atas yang sering muncul pada pasien hemiplegia meliputi :
adduksi dan internal rotasi sendi bahu, fleksi sendi siku, pergelangan tangan dan jari
10
– jari
Kontraktur pada sendi hip pada posisi external rotasi dapat menimbulkan instabilitas
pola jalan dan kontraktur pada sendi lutut lebih dari 20 derajat dapat menyebabkan
gangguan ADL , transfer dan pola jalan .10
Pada orang sehat dengan posisi berdiri dapat melakukan hip dan knee locking pada
posisi extensi untuk menahan berat badan namun ketika pasien dengan posisi berada
di tempat tidur , ligamen illiofemoral akan mengalami relaksasi dan hip joint
diposisikan pada sedikit fleksi dan external rotasi 10
13
extremitas lemah
- Modulasi tonus
Konraktur Meningkatkan Membantu
otot
fungsi fungsi makan
- Adaptasi postur
Edema sirkulasi dan menelan
normal
- Stabilisasi
segmen tubuh Infeksi Mencegah
- Melatih
saluran nafas hipotensi
pergerakan
postural
kompensasi dari
Perburukan
extremitas yang
pada area lesi
mengalami
kelemahan
- Meningkatkan
input sensoris
Contoh beberapa efek yang timbul pada positioning yang tidak benar :10
Posisi supine yang lama dapat meningkatkan spastisitas extensor batang tubuh
sehingga disarankan positioning juga dilakukan pada posisi miring . Positioning supine
pada pasien post stroke:13
14
2. Pelvis diposisikan pada protraksi pada sisi yang mengalami kelemahan .
3. Elevasi sisi lengan dan tangan yang mengalami kelemahan dengan posisi sedikit
di atas jantung dengan sendi bahu sedikit abduksi dan sendi siku dan pergelangan
tangan dalam posisi lurus sejajar dengan tubuh
4. Letakkan bantal penyangga ataupun roll yang panjang pada sepanjang femur
untuk mencegah external rotasi berlebihan sendi hip.
Gambar 2. Contoh positioning pada pasien dengan hemiplegi dextra pada posisi
supine . Perhatikan penggunaan bantal dibawah kaki untuk proteksi area
calcaneus dan mencegah flexion contracture serta elevasi yang dilakukan
pada area lengan dan tangan .13
Louise et all (2005) melakukan studi dengan tujuan menilai manfaat signifikan dari
positioning untuk mencegah kontraktur external rotator pada sendi glenohumeral ,
pada penelitian ini positioning dilakukan 2 minggu post stroke .8.9
15
Penelitian yang dilakukan oleh Ada et al (2005) melaporkan adanya hasil
signifikan dalam pencegahan kontraktur sendi bahu dan fleksor sendi siku dengan
melakukan positioning selama 30 menit dalam waktu 4 minggu pada sendi bahu
selama 60 menit selama 5 minggu pada sendi siku.7
Hal senada juga ditemukan oleh de Jong et al (2006) yang melakukan pilot study
untuk menilai efektivitas positioning pencegahan kontraktur untuk pasien post
stroke subakut dengan defisit motorik pada lengan yang mengalami hemiplegi..
Sendi bahu diposisikan external rotasi, abduksi untuk mencegah penjepitan atau
cedera pada otot – otot rotator cuff. Sendi siku dalam posisi extensi dan supinasi.
Pasien diinstruksikan tidak mengubah posisi batang tubuh untuk tetap menjaga otot
pectoralis mayor dalam posisi elongasi .18
Posisi miring pada sisi yang mengalami kelemahan adalah positioning yang
paling penting . Pasien cenderung lebih dominan pada posisi ini karena biasanya
sisi yang lebih sehat lebih nyaman berada di atas . Manfaat lainnya adalah sisi
tangan yang normal pada pasien dapat melakukan beberapa aktivitas misalnya :
menarik selimut, mengatur bantal ataupun mengangkat telepon. 11
Posisi miring dengan menumpu pada sisi yang hemiplegi melatih efek fase
awal penumpuan berat badan pada sisi yang mengalami kelemahan. Hal yang perlu
diperhatikan adalah sendi bahu dalam posisi yang sesuai dan pasien biasanya
membutuhkan bantuan saat inisiasi gerakan.11
Posisi ideal adalah kepala posisi netral, batang tubuh dalam posisi rotasi dan
bersandar pada bantal di belakang punggung pasien .Lengan yang hemiplegic
diposisikan ke depan dengan sudut tidak melebihi 90 °dan supinasi, pergelangan
tangan pada posisi dorsofleksi. Sendi bahu dan scapula diposisikan dalam protraksi .
Berat badan pasien mempertahankan posisi protraksi dan ketika terjadi protraksi
pada scapula , spastisitas pada lengan dan tangan akan berkurang . Untuk
memastikan scapula pada posisi protraksi yang benar , pemeriksa dapat melakukan
palpasi di daerah posterior thoraks . Ketika pasien sudah berada dalam positioning
yang benar , bagian medial scapula tidak teraba protraksi namun teraba datar dengan
dinding dada bagian belakang. Positioning dengan protraksi yang tidak pas akan
16
menyebabkan pasien sering mengeluh nyeri bahu atau rasa tidak nyaman pada
bahu.11
Lengan yang sehat diistirahatkan pada tubuh atau pada bantal di belakang tubuh.
Jika lengan yang sehat diletakkan di depan tubuh , tubuh akan cendurung berada
pada posisi lebih maju yang secara otomatis menyebabkan retraksi pada scapula sisi
hemiplegi.11
Kaki berada pada posisi seperti berjalan dengan sisi kaki yang normal difleksikan
pada sendi hip dan sendi lutut dengan penyangga bantal di antara kedua kaki. Baik
sendi lutut maupun hip tidak difleksikan lebih dari 80 °. Sedangkan pada sisi yang
hemiplegi , sendi hip dalam posisi extensi dan fleksi minimal sendi lutut.11
17
Gambar 4 . Positioning miring dengan menumpu pada sisi normal10
Beberapa landasan teori menyebutkan bahwa vertikalisasi yang terlalu dini pada
pasien stroke iskemik akut dapat menyebabkan timbulnya hipoperfusi pada jaringan
stroke dimana sistem autoregulasi belum normal. Vertikalisasi pada stroke iskemik
akut tidak menurunkan tekanan darah sistemik namun menurunkan aliran darah
intrakranial beberapa bulan setelah stroke.10
Pasien dengan stroke iskemik akut disarankan untuk tidak dimobilisasi pada 0
-24 jam pertama untuk mencegah area penumbra menjadi area infark.
Mempertahankan perfusi jaringan otak lebih penting dibandingkan dengan adanya
risiko bronchoaspirasi pada fase ini. Pasien dapat diposisikan vertikal pada hari ke 2
18
dan turun dari bed hari ke 3 jika tidak ada tanda – tanda perburukan saat proses
mobilisasi.10
Gambar 6 . Aliran darah cerebri diukur dalam 25 menit dari 2 subyek . Grafik sebelah
kiri mewakili 75 % persen populasi di mana area periinfark menunjukkan
peningkatan signifikan aliran darah cerebri sebagai respon dari penurunan posisi
kepala. Gambar sebelah kanan menunjukkan respon paradoksikal dimana aliran
darah cerebri menurun sebagai respon dari penurunan posisi kepala. 7
Chritopher et al ( 2015) menilai kecepatan aliran darah pada arteri cerebri media (
MCA) menggunakan TCD ( Transcranial Doppler) dan aliran darah mikrovaskular
korteks cerebri dengan spectroscopy pada pasien stroke iskemik akut dengan
onset <72 jam . Pengukuran dilakukan pada saat sudut kepala diposisikan 0º, 15º,
30º, 0º, -5º setiap posisi dievaluasi selama 5 menit dan dilakukan pengukuran tekanan
darah secara continue. 6
19
Gambar 7. Aliran darah cerebral ( dengan menggunakan spectomery ) dan rata – rata
kecepatan aliran darah ( dengan transcranial doppler) pada setiap positioning sudut
kepala 6
Positioning di tempat tidur maupun saat duduk memiliki data yang belum cukup
untuk mendukung efisiensi efektivitasnya.8
Ada beberapa alasan mengapa pasien tidak mampu duduk secara independen post
stroke . Kemampuan duduk pasien dipengaruhi oleh gangguan pada motorik,
sensorik dan kognitif post stroke. Hal tersebut meliputi : 8
1. Motorik :
- Hemiplegia ( batang tubuh dan extremitas)
- Peningkatan atau penurunan tonus otot
- Fatique dan penurunan edurance fisik
2. Sensorik
- Penurunan fungsi sensorik dan propioseptif
3. Koqnitif
- Penurunan kesadaran
- Penurunan atensi termasuk terutama atensi pada sisi tubuh yang hemiplegi
- Penurunan fungsi spasial dan gangguan persepsi midline
- Perubahan pola tingkah laku
Sebagai akibat dari gejala – gejala tersebut , pasien post stroke cenderung
mempunyai karakteristik pola duduk yang asimetris. Postur tersebut juga
dipengaruhi oleh efek gravitasi sementara pasien berusaha untuk
mempertahankan posisi tegak . Konsekuensi dari posture tersebut adalah pasien
duduk dalam posisi tidak segaris dan terjadi distribusi berat tubuh yang tidak
20
merata . Selain itu akan terjadi komplikasi dari positioning yang salah seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya yaitu : pemendekan jaringan otot, nyeri, ulkus
decubitus, dan risiko tergelincir dari kursi sehingga meningkatkan resiko jatuh.8
Tabel 4. Tipe postur duduk pasien post stroke iskemik dengan hemiplegi.8
Regio tubuh Posisi
Kepala Fleksi ke lateral ke arah lesi , rotasi berlawanan
dengan arah lesi
Scapula Depresi, retraksi
Bahu Adduksi, Internal Rotasi
Siku Fleksi
Lengan Pronasi
Pergelangan tangan Fleksi
Jari Fleksi
Batang Tubuh Fleksi lateral ke arah lesi
21
Gambar 8. Tipe posisi duduk pada pasien stroke8
Posisi duduk yang optimal adalah posisi tegak , simetris dan segaris. Hal ini berasal
dari teori ergonomis yang dapat mencegah komplikasi dan mendukung struktur
anatomi tubuh. Posisi duduk optimal yang dijelaskan dalam beberapa literatur yaitu :
8
22
BAB 5
KESIMPULAN
Komplikasi Musculosceletal sering muncul pada pasien stroke , mengenai 1/3 dari
pasien post stroke selama rawat inap di rumah sakit Komplikasi yang dapat timbul antara
lain kontraktur dan deformitas yang memerlukan tindakan pencegahan yang dimulai pada
fase awal dan berkelanjutan
Penelitian menunjukkan 16 % - 72% dari penderita stroke mengalami nyeri bahu dan
prevalensi meningkat hingga 80 % pada pasien yang memiliki kekuatan motorik minimal
atau tidak ada kekuatan motorik. Keadaan patologis yang sering terjadi menurut literatur
adalah : subluksasi sendi bahu, impingement syndrome, rotator cuff injury , tendonitis,
bursitis, capsulitis, lesi saraf perifer, complex regional pain syndrome. Positioning yang benar
dan proses handling pada sendi bahu merupakan salah satu komponen penting pada
pencegahan hemiplegic shoulder pain
Spastisitas terjadi pada 26 % pasien dengan hemiplegia akut dan 28 % pada 3 bulan
setelah stroke. Spastisitas dapat menyebabkan menurunkan lingkup gerak sendi dan
berhubungan dengan gangguan motorik dan penurunan fungsi ADL. Spastisitas yang terjadi
pada regio sendi bahu tidak hanya mengenai otot regio bahu namun juga stabilisator scapula
Posisi yang umumnya terjadi adalah internal rotasi dan adduksi. Positioning yang benar
terutama pada pasien dengan immobilisasi merupakan aspek yang penting. Positioning yang
salah terutama pada fase awal stroke adalah penyebab utama spastisitas tambahan yang
muncul.
Jaringan lunak akan mengalami pemendekan pada minggu pertama post stroke
sehingga positioning awal pada post stroke bermanfaat untuk menjaga lingkup gerak sendi
dibandingkan dengan positioning yang dilakukan pada stadium lanjut post stroke.
Dengan dilakukannya positioning yang benar pada pasien stroke , diharapkan dapat
mengurangi komplikasi terutama komplikasi musculosceletal yang muncul sehingga dalam
23
jangka panjang dapat meningkatkan fungsi ADL dan membantu proses penyembuhan post
stroke yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien post stroke iskemik.
DAFTAR PUSTAKA
11. Davies Patricia. Steps to Follow: The Comprehensive Treatment of Patients with
Hemiplegi. 2nd ed. berlin: Springer Science; 2000
13. Charity Johansson SAC. Mobility in Context: Principles of Patient Care Skill. 1st ed.
Philadelphia: davish company; 2012.
24
14. Anju G, Nidhi G. Spasticity – Pathogenesis, prevention and treatment strategies.
Saudi Journal of Anesthesia. 2013;7:453–60.
15. Chae J. Stroke Rehabilitation, An Issue of Physical Medicine and Rehabilitation. 1st
ed. Philadelphia: Elsevier; 2015. p. 644.
19. Bruce O, Turan TN. Ischemic Stroke Therapeutics: A Comprehensive Guide. 1st ed.
New york: Springer Science; 2016.
20. Cotoi A, Viana R, Wilson R, Chae J, Miller T. Evidence Based Review of Stroke
Rehabilitation [Internet]. 13th ed. London; 2016. p. 1–54. Available from:
www.ebrsr.com
25
26