You are on page 1of 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menjadi guru adalah menghayati profesi. Apa yang membedakan sebuah profesi dengan pekerjaan lain adalah bahwa untuk sampai pada
profesi itu seseorang berproses lewat belajar. “Profesi merupakan pekerjaan, dapat juga berwujud sebagai jabatan dalam suatu hierarki birokrasi,
yang menuntut keahlian tertentu serta memiliki etika khusus untuk jabatan itu serta pelayanan baku terhadap masyarakat profesi, lembaga
pendidikan hanya akan diisi orang-orang yang bernafsu memuaskan kepentingan diri dan kelompok. Tanpa etika profesi, nilai kebebasan dan
individu tidak dihargai. Untuk inilah, tiap lembaga pendidikan memerlukan keyakinan normatif bagi kinerja pendidikan yang sedang diampunya.
Sekolah dan guru tidak lagi percaya dan dipercaya sebagai pendidik dan pengajar. Tugas mereka telah digantikan lembaga bimbingan belajar
atau bimbel. Etika profesi pun digadaikan demi uang! Silap terhadap uang akan membuat sebuah pemerintahan hancur. Juga berlaku bagi dunia
pendidikan kita. Jika mereka yang bertanggung jawab dalam mengurus pendidikan di negeri ini silap uang, mulai dari pejabat di tingkat pusat
sampai guru di tingkat sekolah negeri, akhir dunia pendidikan kita ada di depan mata. Kehadiran lembaga bimbel di sekolah negeri adalah tanda
paling jelas tentang hancurnya moralitas dan matinya etika profesi.

B. Tujuan
1 Mengetahui Profesi Guru.yang sebenarnya
2 Untuk mengetahui etika profesi guru.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan tujuan di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :
1. Apakah arti prifesi guru.
2. Bagaimanakah menjaga pofesi guru

D. Lingkup Penelitian
Pembahasan resume ini hanya terbatas pada Guru profesi
BAB II
ANALISIS

A. Pengertian Profesi

Menurut Kartadinata frofesi guru adalah orang yang Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam
melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu, dan kemampuan tersebut tidak dimiliki
oleh warga masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Makagiansar, M. 1996 profesi guru adalah orang
yang Memiliki latar belakang pendidikan keguruan yang memadai, keahlian guru dalam melaksanakan tugas-tugas kependidikan diperoleh
setelah menempuh pendidikan keguruan tertentu Nasanius, Y. 1998 mengatakan profesi guru yaitu kemampuan yang tidak dimiliki oleh warga
masyarakat pada umumnya yang tidak pernah mengikuti pendidikan keguruan. Ada beberapa peran yang dapat dilakukan guru sebagai tenaga
pendidik, antara lain: (a) sebagai pekerja profesional dengan fungsi mengajar, membimbing dan melatih (b) pekerja kemanusiaan dengan fungsi
dapat merealisasikan seluruh kemampuan kemanusiaan yang dimiliki, (c) sebagai petugas kemashalakatkatan dengan fungsi mengajar dan
mendidik masyarakat untuk menjadi warga negara yang baik.

Galbreath, J. 1999 frofesi gurtu adalah orang yang Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada
masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat
mencerdakan anak didik.

Gagasan pendidikan profesi guru semula dimaksudkan sebagai langkah strategis untuk mengatasi problem mutu keguruan kita karena perbaikan
itu tidak akan terjadi dengan menaikkan remunerasi saja. Oleh sebab itu, pendidikan profesi diperlukan sebagai upaya mengubah motivasi dan
kinerja guru secara terencana, terarah, dan berkesinambungan. Tetapi sangat disayangkan implementasi gagasan pendidikan profesi lebih
ditekankan pada uji sertifikasi (terutama untuk guru dalam jabatan). Padahal, Pasal 11 UU Sisdiknas mensyaratkan untuk memperoleh sertifikat
pendidik tidak lain adalah kualifikasi S1/D4 dan menempuh pendidikan profesi guru. Program uji sertifikasi yang tengah dijalankan pemerintah
dengan mengandalkan penilaian portofolio, dipilih oleh pemerintah kabupaten/kota. Bahkan akan dibuka peluang bagi mereka yang tidak
berkualifikasi S1/D4. Kenyataan ini bukan saja tidak menghasilkan perbaikan mutu, tetapi akan memunculkan masalah birokratisasi yang pada
akhirnya mempersulit guru.
Program sertifikasi tidak boleh dilepaskan dari proses pendidikan profesi, dan tidak seharusnya dipandang sekadar cara memberikan
tunjangan profesi. Tunjangan profesi hanyalah insentif agar para guru mau kembali belajar, sedangkan perbaikan kesejahteraan guru harus
diberlakukan kebijakan lain tentang remunerasi.
"Ada piti (uang) muncul dignity," seloroh seorang guru. Memang persoalan ekonomi yang dihadapi guru sangat memengaruhi kinerja dan
citranya di dalam masyarakat. Melalui tunjangan profesi kesejahteraan guru sulit diperbaiki karena mensyaratkan adanya kualifikasi dan
sertifikat pendidik.

Penghasilan guru seharusnya diperbaiki--agar profesi ini menjadi kompetitif--dengan menaikkan tunjangan fungsional secara progresif dan
mengoptimalisasi peran pemerintah daerah dalam pemberian insentif seperti yang telah dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta sekarang ini.
Dengan demikian perbaikan remunerasi terlaksana secara merata dan proses sertifikasi tidak didesak untuk mengambil jalan pintas.
Begitulah guru dan pendidikan di negara maju dan ingin maju, senantiasa berada pada top of mind para pemimpin dan masyarakatnya.
Bangsa Indonesia perlu belajar lebih banyak lagi. Jika konflik kepentingan muncul, manakah standar moral dan etika profesi yang dipakai
sebagai sarana untuk memecahkan konflik? Maksim moral Kant Setiap profesi, apa pun, termasuk guru, tidak dapat melepaskan diri dari
prinsip moral dasar yang diajukan Immanuel Kant. Dengan memperlakukan individu atau pribadi dalam kerangka tujuan keberadaan mereka,
Kant implisit mengakui, tiap individu memiliki nilai-nilai intrinsik. Individu itu bernilai dalam diri sendiri. Karena itu, tiap penguasaan atau
perbuatan yang menundukkan mereka, menjadi sarana bagi tujuan pribadi individu, merupakan pelanggaran atas norma moral. Kerja sama
antara lembaga sekolah dan lembaga bimbel menyiratkan adanya konflik kepentingan. Demi kepentingan siapa lembaga bimbel itu ada?
Siswa, guru dan sekolah, orangtua, atau lembaga bimbel? Mungkin ada yang berpendapat, yang diuntungkan adalah semua, yaitu siswa,
guru/sekolah, orangtua, dan lembaga bimbel. Siswa bisa kian percaya diri dalam menghadapi ujian nasional (UN). Orangtua merasa nyaman
dan aman anaknya akan siap menghadapi UN dan tes ujian masuk perguruan tinggi negeri, sekolah untung karena prestasi menjadi tinggi,
guru untung sebab dapat tambahan uang saku, dan lembaga bimbel untung karena dapat fulus dari proyek ini. Namun tidak semua
berpendapat demikian sebab tidak semua siswa, guru, dan orangtua diuntungkan! Kehadiran lembaga bimbel di sekolah merupakan indikasi
konflik kepentingan yang mengorbankan martabat guru, memperalat siswa, mengelabui orangtua, dan menipu masyarakat. Maksim moral Kant
mensyaratkan, dalam setiap hal kita harus menghormati pribadi atau yang lain sebagai bernilai dalam diri sendiri dan tidak pernah
memanfaatkan mereka sebagai alat demi tujuan tertentu (bahkan yang tampaknya baik dan menguntungkan!) Tugas mendidik dan mengajar
siswa merupakan hak istimewa yang menjadi monopoli guru. Ketika tugas ini diserahkan kepada lembaga lain yang tidak memiliki monopoli
profesi muncul pertanyaan. Selama ini apa yang telah dilakukan para guru dalam mendidik siswa?

C. Professional
Keinginan menghadirkan lembaga bimbel di sekolah menjadi tanda, guru tidak melaksanakan profesinya secara profesional dan total.
Fenomena bimbel di sekolah menunjukkan kenyataan, kepentingan siswa telah diperalat demi kepentingan lain, terutama demi kepentingan
bisnis. Lembagabimbel yang datang ke sekolah tidak lelahanan (gratis). Mereka dibayar. Demi kepentingan ini, siswa dan orangtua harus
membayar. Aturan moral yang berlaku untuk kasus ini adalah jika bimbel diperlukan sekolah demi perbaikan prestasi siswa, sekolah tidak
berhak menarik bayaran atas kegiatan tambahan ini. Les tambahan merupakan tanggung jawab sekolah demi kepentingan siswa. Namun,
yang gratisan seperti ini tidak ada! Maka, sekolah dan guru telah memanipulasi siswa menjadi alat demi kepentingan sendiri. Guru menarik
keuntungan dengan mengorbankan martabat profesinya sendiri! Apa yang dilakukan? Berhadapan dengan situasi ini, apa yang dapat
dilakukan? Pertama, pemerintah dan guru seharusnya segera bertindak untuk memulihkan martabat profesionalnya. Praksis kerja sama
sekolah dengan lembaga bimbel harus dihentikan, jika perlu sekolah yang melakukan diberi teguran keras, sebab mereka telah melecehkan
etika profesi guru yang membuat fungsi mereka tidak dipercaya lagi dalam masyarakat. Kedua, untuk itu perlu dibentuk Dewan Kehormatan
Guru agar profesi guru tetap terjaga kemartabatannya dan kepentingan masyarakat luas tetap terjamin.

E. Kode Etik Guru

Sebagai kalangan profesional, sudah waktunya guru Indonesia memiliki kode etik dan sumpah profesi. Guru juga harus memiliki kemampuan
sesuai dengan standar minimal sehingga nantinya “tidak malapraktik” ketika mengajar. Direktur Program Pascasarjana Uninus, Prof. Dr. H.
Achmad Sanusi, M.P.A., menyatakan hal itu di ruang kerjanya Jln. Soekarno-Hatta, Kamis (4/10). “Dibandingkan dengan profesi lain seperti
dokter, guru masih tertinggal karena belum memiliki sumpah dan kode etik guru,” katanya. Adanya sumpah profesi dan kode etik guru, menurut
Achmad Sanusi, sebagai rambu-rambu, rem, dan pedoman dalam tindakan guru khususnya saat kegiatan mengajar. Alasannya, guru harus
bertanggung jawab dengan profesi maupun hasil dari pengajaran yang ia berikan kepada siswa. Jangan sampai terjadi malapraktik pendidikan.

KODE ETIK GURU INDONESIA

1. Guru berbakti membimbing peserta didik untuk membentuk manusia indonesia seutuhnya berjiwa Pancasila
2. Guru memiliki dan melaksanakan kewjujuran professional
3. Guru berusaha memperoleh informasi tentang peserta didik sebagai bahan melakukan bimbingan dan pembinaan
4. Guru menciptakan suasana sekolah sebaik-baiknya yang menunjang berhasilnya proses belajar mengajar
5. guru memelihara hubungan baik dengan orang tua murid dan masyarakat sekitarnya untuk membina peran serta dan tanggung jawab
bersama terhadap pendidikan
6. guru secara pribadi dan secara bersama-sama mengembangkan dan meningkatkan mutu da martabat profesinya
7. guru memelihara hubungan profesi semangat kekeluargaan dan kesetiakawanana nasional
8. guru secara bersama-sama memelihara dan meningkatkan mutu organiosasi PGRI sebagai sarana perjuangan dan pengabdian
9. guru melaksanaakn segala kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Pada prinsipnya profesionalisme guru adalah guru yang dapat menjalankan tugasnya secara profesional, yang memiliki ciri-ciri antara lain:
Ahli di Bidang teori dan Praktek Keguruan. Guru profesional adalah guru yang menguasai ilmu pengetahuan yang diajarkan dan ahli mengajarnya
(menyampaikannya). Dengan kata lain guru profesional adalah guru yang mampu membelajarkan peserta didiknya tentang pengetahuan yang
dikuasainya dengan baik.

Senang memasuki organisasi Profesi Keguruan. Suatu pekerjaan dikatakan sebagai jabatan profesi salah satu syaratnya adalah pekerjaan itu
memiliki organiasi profesi dan anggota-anggotanya senang memasuki organisasi profesi tersebut. Guru sebagai jabatan profesional seharusnya guru
memiliki organisasi ini. Fungsi organisasi profesi selain untuk menlindungi kepentingan anggotanya juga sebagai dinamisator dan motivator anggota
untuk mencapai karir yang lebih baik (Kartadinata dalam Meter, 1999). Konsekuensinya organisasi profesi turut mengontrol kinerja anggota,
bagaimana para anggota dalam memberikan pelayanan pada masyarakat. PGRI sebagai salah satu organisasi guru di Indonesia memiliki fungsi: (a)
menyatukan seluruh kekuatan dalam satu wadah, (b) mengusahakan adanya satu kesatuan langkah dan tindakan, (3) melindungi kepentingan
anggotanya, (d) menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya, (e) menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan dalam
rangka peningkatan kemampuan profesional, dan (f) mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun
psychologis.

B. Saran
Sebagai seorang guru kita harus menjaga etika profesi. Tidak silap uang karena suatu pendidikan bukan suatu sarana untuk menciptakan uang
karena para orang tua mulai tidak percaya dengan suatu lembaga pendidikan. Mari menjadi guru yang professional
DAFTAR PUSTAKA

-----------, 2006. Undang Undang No.14 tahun 2005 pendidikan nasional Indonesia , Jakarta: Depdiknas RI
-----------, 2003. Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 manajemen pendidikan , Jakarta: Depdiknas RI

-----------,2002. Masalah manajemen pendidikan di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikan dan kebudayaan Ditjen Dikdasmen - Dik menum.

Wanto, 2005. manajemen dan pendidikan, Surabaya; Tabloid Nyata IV Desember

You might also like